Anda di halaman 1dari 11

NAMA : Ari Kusnadi

NIM : 0305161026
KELAS : PMM-4 / V
MATKUL : Administrasi Pendidikan

A. RINGKASAN JURNAL
 Jurnal I
 Identitas Jurnal
Judul : Problematika Pendidikan Islam di Era Globalisasi
Penulis : Ismail, M.Pdi
 Ringkasan Jurnal
Problematika Pendidikan Islam di Era Global
Di Indonesia, Pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam sistem
pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal: Pertama, Pendidikan Islam sebagai
lembaga yang diakui keberadaan lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit.
Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran diakuinya pendidikan agama
sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai
perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (value) yakni
ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan. Walaupun demikian,
pendidikan Islam tidak luput dari problematika yang muncul di era global. Terdapat
dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor Internal
a. Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam.
Barangkali dalam konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau
kabur kehilangan orientasi mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis
dalam masyarakat Indonesia. Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan
pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam
sebagai pondasi budaya, moralitas, dan social movement (gerakan sosial) menjadi
hilang.
b. Masalah Kurikulum.
Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output
pendidikan. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan
kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga seolah-
olah kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas
pendidikan. Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.
c. Pendekatan/Metode Pembelajaran.
Peran guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas
kompetensi siswa/mahasiswa. Hingga sekarang ini siswa masih banyak yang
senang diajar dengan metode yang konservatif, seperti ceramah, didikte, karena
lebih sederhana dan tidak ada tantangan untuk berfikir.
d. Profesionalitas dan Kualitas SDM.
Salah satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak
masa Orde Baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih
belum memadai. Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya
agaknya sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih
belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih
unqualified, underqualified, dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang
mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.
e. Biaya Pendidikan.
Faktor biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan
tersendiri yang seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab
atas persoalan ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam
UUD 45 hasil amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal
20% dari APBN dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang
belum terpenuhi. Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap
20% hingga tahun 2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis
pendidikan.
2. Faktor Eksternal
a. Dichotomic.
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan Islam adalah dichotomy
dalam beberapa aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu
dengan Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi
dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang, gejala
ini mulai tampak pada masa-masa pertengahan.
b. Too General Knowledge.
Kelemahan dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu
pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan
kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving).
c. Lack of Spirit of Inquiry.
Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia
pendidikan Islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan
penelitian/penyelidikan.
d. Memorisasi.
Rahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-
standar akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada
kenyataan bahwa, karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit
sekali, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar
untuk dapat menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti,
tentang aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum
matang. Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi
tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan
dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing) daripada pemahaman
yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan yang
akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-
karya yang pada dasarnya orisinal.
e. Certificate Oriented.
Pola yang dikembangkan pada masa sekarang dalam mencari ilmu
menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge oriented menuju
certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk
mendapatkan sertifikat atau ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan
menempati prioritas berikutnya.(Ahmad Tafsir, 2008;112-125).
 Jurnal II
 Identitas Jurnal
Judul : Pendidikan di Indonesia Meprihatinkan
Penulis : Sujarwo, M.Or

 Ringkasan Jurnal
Pendahuluan
Pendidikan adalah hal pokok yang akan menopang kemajuan suatu bangsa.
Kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kualitas dan sistem pendidikan yang ada.
Tanpa pendidikan, suatu negara akan jauh tertinggal dari negara lain. Kualitas
pendidikan di Indonesia pada dewasa ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan di
antaranya oleh data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan
Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian
pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa
indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun.
Pembahasan
A. Arah dan Tujuan Pendidikan di Indonesia.
Tidak sedikit sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia yang masih
membutuhkan perhatian pemerintah, misalnya: gedung sekolah, alat-alat
laboratorium, buku-buku di perpustakaan, dan sarana prasarana pendukung lain.
Pendidikan Indonesia sudah kehilangan arah.
Pergantian kurikulum maupun pergantian menteri bisa dikatakan progresif,
namun juga bukan suatu pemecahan masalah karena implementasi dan kualitas
sumber daya manusia khususnya pendidik di Indonesia yang terlalu beragam.
B. Potret Pendidikan di Indonesia antara Harapan dan Kenyataan
Film "Laskar Pelangi" telah menyedot perhatian masyarakat di Indonesia
termasuk Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Film
Laskar Pelangi yang berlandaskan kisah nyata ini memberikan wawasan bagaimana
potret pendidikan di Indonesia, bukan hanya di tahun 1970-an seperti dalam cerita
Laskar Pelangi, namun apa yang terjadi di film tersebut masih terjadi sekarang ini
seperti di Momogu, Asmat, Papua. Adolof seorang penjaga sekolah juga terpaksa
mengajar, agar anak-anak di sana tidak buta huruf. Dengan kemampuannya yang
terbatas, ia hanya mengajarkan pelajaran Matematika dan bahasa Indonesia.
Menurutnya, kegiatan belajar seadanya ini akan lebih baik daripada sekolahnya
tertutup rumput seperti sekolah-sekolah yang lain.
Berdasarkan fenomena yang diangkat dari novel maupun film di atas,
kemudian ditelaah lebih jauh dengan melihat kenyataan di lapangan, ternyata potret
pendidikan di Indonesia masih merupakan mimpi anak negeri yang entah tercapai
atau tidak, karena bagi sebagian orang mungkin mimpi tersebut bisa diimbangi
dengan kemampuan-kemampuan yang lain yang dimiliki anak atau keluarga anak
tersebut, begitu juga sebaliknya. Sebagian siswa bisa dilihat perjuangannya dalam
melawan medan untuk mencapai sekolah dalam rangka memperoleh pendidikan.
Namun, perjuangan saja belum cukup untuk mampu meraih suatu mimpi dalam
hidupnya. Masih masif jika dilihat siswa berprestasi yang berasal dari keluarga
menengah ke bawah, peraih medali di olimpiade sains maupun olimpiade ilmiah
lainnya, didominasi dari anak-anak dari golongan menengah ke atas.

 Jurnal III
 Identitas Jurnal
Judul :
Penulis :
 Ringkasan Jurnal
Kurikulum pendidikan sejarah di perguruan tinggi telah menggariskan dan
mengarahkan peserta didik untuk berpikir komprehensif dan kritis. Tetapi, akhir-
akhir ini tampaknya pengajaran sejarah yang dilaksanakan di berbagai jenjang
pendidikan tinggi memberi kesan yang kuat hanya bersifat kognitif dan cenderung
bersifat hapalan. Pendidikan sejarah dilakukan secara terisolasi dari
kenyataankekinian. Dalam hal ini setidaknya ada empat komponen yang saling
berkait yang menjadi penyebab mengapa pengajaran sejarah itu tidak atau kurang
efektif.
Pertama: adalah komponen tenaga pengajar sejarah yang pada umumnya miskin
wawasan kesejarahan. Salah satu penyebab utama dari kemiskinan
wawasan ini adalah kemalasan intelektual untuk menggali sumber
sejarah, baik yang berupa benda-benda, dokumen, maupun literatur,
Pengajar sejarah harus kaya informasi, tidak saja tentang masa lampau
yang sarat dengan berbagai tafsiran, tetapi juga tentang masa kini yang
penuh dinamika dan serba kemungkinan, konstruktif maupun
destruktif.20 Pengajar sejarah yang baik adalah mereka yang mampu
merangsang dan mengembangkan daya imajinasi peserta didik
sedemikian rupa hingga cerita sejarah yang disajikan, dirasakan
senantiasa menantang rasa ingin tahu. Karena sejarah adalah panorama
kehidupan yang penuh warna.
Kedua: adalah komponen peserta didik . Sikap maupun persepsi yang kurang
positif peserta didik terhadap pengajaran sejarah, akan sangat berpengaruh
terhadap hasil tujuan pembelajaran. Tidak sedikit peserta didik yang hanya
mengejar nilai dan popularitas, untuk kegunaan sesaat. Padahal substansi
yang sesungguhnya adalah khasanah keilmuan yang ia pelajari untuk
dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, shingga nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya dapat diinternalisasikan. Sejarah adalah
guru kebijaksanaan yang sejati.
Ketiga: adalah metode pengajaran sejarah yang pada umumnya kurang menantang
daya intelektual peserta didik. Untuk melibatkan subjek-didik dalam
tataran intelektual dan emosional dalam pengajaran sejarah adalah barang
tentu bukan jamannya lagi dengan menggunakan metode dongeng yang
diselimuti oleh pelbagai peristiwa ajaib, mistis, dan supranatural. Kalau
metode itu yang digunakan justru bertentangan dengan tujuan pengajaran
sejarah itu sendiri. Memang dengan menggunakan metode dongeng
peserta didik banyak yang tertarik, tetapai metode itu justru tidak
menjadikan dirinya sebagai sosok manusia yang menyejarah, karena
menganggap bahwa pelbagai pengaruh sejarah berada di luar dirinya.
Keempat: adalah komponen buku-buku sejarah dan media pengajaran sejarah.
Untuk sejarah Indonesia, telah ada sejarah nasional yang jumlahnya
enam jilid itu. Buku itu sebenarnya dapat menolong, sekalipun di sana
sini masih ada celahnya yang perlu dilengkapi dengan sumber-sumber
lain. Tetapi pendekatan yang terlalu Indonesia-sentris seperti yang
terdapat dalam buku sejarah nasional itu, harus disikapi secara hati-hati.
Pendekatan itu dapat menimbulkan kecenderungan “memberhalalkan”
masa lampau suatu bangsa, apalagi bila anyaman masa lampau itu sarat
oleh mitos yang bisa saja melumpuhkan daya kritis peserta didik.
Sebenarnya bukubuku teks lainnya telah bermunculan, tetapi hampir-
hampir tidak ada yang menggunakan pendekatan moral-saintifik
terhadap perjalanan sejarah bangsa. Dalam pada itu, literature tentang
sejarah umum masih amat sedikit, padahal fungsinya sangat penting.
Sejarah nasional khususnya dianggap mempunyai nilai didaktif-edukatif
bagi pembentukan jati diri bangsa dan pemersatu berdasarkan atas
pengalaman kolektif bernegara dan berbangsa.

B. PEMBAHASAN
 Jurnal I
Dalam jurnal ini merceritakan bahwa problematika Pendidikan Islam di era
global ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal yang didalmnya ada :
Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam, Masalah Kurikulum,
Pendekatan/Metode Pembelajaran, Profesionalitas dan Kualitas SDM, dan Biaya
Pendidikan. Dan faktor eksternal yang meliputi Dichotomic, To General
Knowledge, Lack of Spirit of Inquiry, Memorisasi, dan Certificate Oriented.
Solusi dari masalah dijurnal tersebut adalah:
Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam
proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih
komprehensif, dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif
dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus
dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik
mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana
penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Di samping itu, pendidikan
harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala
faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang
menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif
yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
Selain itu, program pendidikan harus diperbaharui, dibangun kembali atau
dimoderenisasi sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan
kepadanya. Sedangkan solusi pokok menurut Rahman adalah pengembangan
wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis dalam sinaran dan terintegrasi
dengan Islam harus segera dipercepat prosesnya. Sementara itu, menurut Tibi,
solusi pokoknya adalah secularization, yaitu industrialisasi sebuah masyarakat
yang berarti diferensiasi fungsional dari struktur sosial dan sistem keagamaannya.

 Jurnal II
Dalam jurnal kedua ini penulis memaparkan kalau pendidikan di Indonesia
memprihatinkan. Pendidikan di Indonesia sampai saat ini belum jelas akan ke mana
arahnya, belum bisa merata antara daerah satu dan daerah yang lain. Pemerintah
sampai saat ini masih mengalami kebingungan apa yang akan mereka harapkan dan
mereka pakai untuk menuju masyarakat pembelajar di negeri ini. Sehingga, banyak
nilai pelajaran yang diambil dari luar atau diadopsi dari negera-negara yang sudah
maju. Meskipun ada sisi positifnya, namun juga tidak boleh dikesampingkan sisi
negatif dari pengadopsian kurikulum dari negara lain.
Solusi dari masalah dijurnal tersebut adalah:
Menurut saya sebaiknya pihak sekolah, pemerintah, dan masyarakat bahu-
membahu dalam upaya mengembangkan bangsa melalui jalur pendidikan. Karena,
tanpa adanya saling bekerjasama tidak mungkin semua akan tercapai dengan baik.
Selanjutnya harapan saya terhadap permasalahan pemerataan pendidikan di
atas adalah pendidikan di Indonesia dapat dilaksanakan secara merata, lebih
maksimal, optimal, dan tidak hanya untuk perekonomian kalangan menengah ke
atas saja, tetapi juga untuk kalangan perekonomian menengah ke bawah.
Pendidikan juga merupakan hak untuk semua warga negara karena mereka juga
berhak memperoleh pendidikan yang layak. Oleh karena itu seiring dengan
berkembangnya suatu bangsa, pendidikan sudah pasti akan mempengaruhi sumber
daya manusia sehingga dihasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.. Maka
dari itu pendidikan adalah salah satu tombak negara untuk mencapai cita-cita
bangsa.
 Jurnal III
Dalam jurnal ketiga ini menceritakan tentang masalah pendidikan terhadap
komponen tenaga pengajar sejarah yang pada umumnya miskin wawasan
kesejarahan, komponen peserta, metode pengajaran sejarah yang pada umumnya
kurang menantang daya intelektual peserta didik, dan komponen buku-buku sejarah
dan media pengajaran sejarah.
Solusi dari masalah dijurnal tersebut adalah:
Pertama : Dalam proses belajar mengajar, guru perlu mengadakan keputusan-
keputusan, misalnya metode apakah yang perlu dipakai untuk mengajar
mata pelajaran tertentu, alat dan media apakah yang diperlukan untuk
membantu siswa membuat suatu catatan, melakukan praktikum,
menyusun makalah diskusi, atau cukup hanya dengan mendengar
ceramah guru saja. Dalam proses belajar mengajar guru selalu
dihadapkan pada bagaimana melakukannya, dan mengapa hal tersebut
perlu dilakukan. Begitu juga dalam hal evaluasi atau penilaian
dihadapkan pada bagaimana sistem penilaian yang digunakan,
bagaimana kriterianya, dan bagaimana pula kondisi siswa sebagai
subjek belajar yang memerlukan nilai itu.
Kedua : siswa akan dapat mengembangkan daya kreativitasnya apabila proses
belajar mengajar dilaksanakan secara terencana untuk meningkatkan
dan membangkitkan upaya untuk kompetitif. Oleh karena itu, proses
belajar mengajar yang memberi peluang kepada siswa untuk
menyelesaikan tugas secara kompetitif perlu disosialisasikan,
kemudian juga perlu adanya penghargaan yang layak kepada mereka
yang berprestasi. Hal ini akan berdampak positif terhadap terbentuknya
rasa percaya diri pada siswa. Pada gilirannya, pengalaman ini
selanjutnya dapat menjaga proses pembentukan kemandirian. Dalam
hal ini siswa juga perlu dilibatkan dalam proses belajar mengajar yang
memberikan pengalaman bagaimana siswa bekerja sama dengan siswa
yang lain seperti dalam hal berdiskusi, membuat artikel kelompok,
pengamatan, wawancara, dan sebagainya untuk dikerjakan secara
kelompok. Pengalaman belajar seperti ini selanjutnya akan dapat
membentuk sikap kooperatif dan ketahanan bersaing dengan
pengalaman nyata untuk dapat menghargai segala kelebihan dan
kelemahan masing-masing.
Ketiga : dalam proses pengembangan kematangan intelektualnya, siswa perlu
dipacu kemampuan berfikirnya secara logis dan sistematis. Dalam
proses belajar mengajar, guru harus memberi arahan yang jelas agar
siswa dapat memecahkan suatu persoalan secara logis dan ilmiah. Oleh
karena itu siswa perlu dilibatkan secara aktif dalam proses belajar
mengajar melalui pemberian tugas. Tugas tidak terlalu berat tetapi
dapat memacu daya berfikir siswa. Salah satu aspek yang penting
adalah bagaimana siswa dapat terlatih berpikir secara deduktif-induktif.
Artinya, dalam proses belajar mengajar siswa perlu diarahkan
sedemikian rupa sehingga siswa dapat mempelajari materi pelajaran
melalui pengalaman. Dengan cara seperti ini mereka dapat secara
langsung dihadapkan pada suatu realita di lapangan. Seperti halnya
siswa disediakan mata pelajaran yang bersifat khusus yang memberikan
pengalaman, berdiskusi, penelitian, dan lain sebagainya yang diarahkan
untuk menarik kesimpulan baik deduktif maupun induktif.
Keempat : siswa harus diberi internalisasi dan keteladanan, dimana siswa dapat
berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Fenomena ini dalam
hal-hal tertentu dapat membentuk semangat loyalitas, toleransi, dan
kemampuan adaptabilitas yang tinggi. Dalam hal pendekatan ini perlu
diselaraskan dengan kegiatan proses belajar mengajar yang memberi
peluang kepada mereka untuk berprakarsa secara dinamis dan kreatif.
Dengan demikian akan tercapai kualitas proses dan hasil belajar yang
berorientasi pada pencapaian tujuan yang jelas, dengan melibatkan
siswa secara maksimal melalui berbagai kegiatan yang konstruktif,
sehingga pengalaman tersebut dapat mengantar siswa dalam suatu
proses belajar yang kondusif dan kreatif.

Anda mungkin juga menyukai