Diakui atau tidak, fakta menunjukkan bahwa kaum muslimin saat ini sedang dilanda berbagai
kelemahan. Hal inilah kemudian yang menyebabkan umat Islam hari ini belum mampu
tampil sebagai masyarakat ideal seperti yang dicita-citakan, yaitu menjadi khairu ummah,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
ِ اس ت َأ ْ مُ ُر و َن ب ِ ال ْ مَ ع ْ ُر و
ف َو ت َ ن ْ ه َ ْو َن ع َ ِن ال ْ مُ ن ْ ك َ ِر ِ َّ ت ل ِ ل ن ْ ُ ك ُ ن ْ ت ُ مْ خَ ي ْ َر أ ُ مَّ ة ٍ أ
ْ َخ ِر ج
َّ ِ َو ت ُ ْؤ ِم ن ُ و َن ب
ِ اّلل
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Kelemahan muslimin (dha’ful muslimin) pada saat ini meliputi beberapa aspek:
Tidak sedikit dari umat Islam saat ini yang masih awam terhadap prinsip-prinsip aqidah
Islam; hal ini menyebabkan keterikatan mereka terhadap Islam demikian longgar. Kecintaan,
kesetiaan, pembelaan, kebanggaan, dan komitmen terhadap Islam belum terbangun dengan
kokoh di dalam diri mereka; Begitupula kebencian, pemutusan hubungan, perlawanan,
pengingkaran, dan penyelisihan mereka terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan
kebenaran belum terpatri kuat dalam jiwa mereka. Padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
Kelemahan aspek aqidah juga terlihat dari masih maraknya fenomena kemusyrikan seperti:
praktek ramal, dukun, dan sihir. Selain itu, muncul pula pendangkalan aqidah melalui
penyebaran faham atheisme, pluralisme, liberalisme, dan aliran-aliran sesat.
Oleh karena itu para da’i hendaknya dapat memperhatikan dengan sungguh-sungguh upaya
pengokohan pemahaman serta pengamalan umat terhadap aqidah yang benar, khususnya
adalah pengokohan pemahaman dan pengamalan rukun iman serta rukun Islam.
Kegiatan pembinaan dan pendidikan Islam saat ini seringkali kurang diprioritaskan oleh
umat. Sementara itu secara umum pelaksanaan pendidikan Islam secara formal maupun
informal masih jauh dari ideal, sehingga umat Islam belum bisa memahami ajaran agamanya
secara utuh dan menyeluruh. Tidak sedikit diantara mereka yang mengenal dan mengamalkan
serta berinteraksi dengan ajaran Islam hanya dalam aspek-aspek dan momentum yang
terbatas. Contoh: saat kelahiran bayi, saat khitanan, saat syukuran, saat pernikahan, dan saat
kematian.
Lemahnya aspek tarbiyah menyebabkan sebagian umat Islam hari ini lebih fokus dan
terkonsentrasi pada urusan-urusan pemenuhan kebutuhan materi. Hal-hal yang bersifat
spiritual kadangkala terlupakan dan bahkan diabaikan. Inilah mungkin yang menyebabkan
umat Islam ditimpa penyakit al-wahn (kelemahan), sebagaimana disebutkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Banyak diantara umat Islam yang saat ini cenderung tidak ber-tsaqafah Islamiyah; yakni
berwawasan, berpandangan hidup, berpola pikir dan berideologi yang sesuai dengan aqidah
Islam. Supremasi pemikiran Islam di tengah-tengah umat belum terwujud secara ideal. Umat
Islam belum menjadikan Islam sebagai referensi tertinggi dalam memandang urusan
kehidupannya.
Bahkan, yang terjadi adalah munculnya sikap mengekor (taqlid) dan ikut-ikutan (imma’ah)
terhadap tsaqafah umat/bangsa lain yang tidak selalu sesuai dengan tasaqafah Islamiyah.
ْ َ ال س َّ ا ع َ ة ُ حَ ت َّ ى ت َأ ْ خُ ذ َ أ ُ مَّ ت ِ ى ب ِ أ
شِ ب ْ ًر ا ب ِ شِ ب ْ ٍر َو ذِ َر ا ع ً ا، خ ذِ ال ْ ق ُ ُر و ِن ق َ ب ْ ل َ ه َ ا ُ ال َ ت َق ُ و م
َ ِ اس إ ِ ال َّ أ ُ و ل َ ئ
ك ُ َّ ل َو مَ ِن ال ن َ ف َ ق َ ا. س َو ال ُّر و ِم َ ار َّ َ ف َ ق ِ ي لَ ي َ ا َر س ُ و ل.
ِ َ ّللا ِ ك َ ف ٍ ب ِ ذِ َر اع
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal
demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -
shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?”
Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda,
ل َ ت َت َّ ب ِ ع ُ َّن س َ ن َ َن ال َّ ذِ ي َن ِم ْن ق َ ب ْ ل ِ ك ُ مْ شِ ب ْ ًر ا ب ِ شِ ب ْ ٍر َو ذِ َر ا ع ً ا ب ِ ذِ َر اع ٍ حَ ت َّ ى ل َ ْو د َ خَ ل ُ وا ف ِ ى
ف َ مَ ْن: ل َ ّللا ِ آل ْ ي َ ه ُ و د َ َو ال ن َّ ص َ ا َر ى ق َ ا
َّ لَ ق ُ ل ْ ن َا ي َ ا َر س ُ و, ْح ِر ضَ ب هٍ ال َ ت َّ ب َ ع ْ ت ُ مُ و ه ُ مْ ُج
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal
dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang
dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para
sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan
Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)
ٍ ج ِر ي مَ عَ ك ُ له ِ ِر يح
ْ َي
“Mengikuti semua angin yang bertiup.”[2]
Seharusnya, sebagai umat yang memiliki way of life (manhajul hayah) yang sempurna,
mereka harus komitmen dengan segala sesuatu yang bersumber dari ajaran Islam. Mencakup
aspek keyakinan (al-i’tiqadi), moral (al-akhlaki), sikap (as-suluki), perasaan (as-syu’uri),
pendidikan (at-tarbawi), kemasyarakatan (al-ijtima’i), politik (as-siyasi), ekonomi (al-
iqtishadi), militer (al-‘askari), dan hukum (al-jina’i).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak awal telah mencontohkan tentang pentingnya
menjaga kemurnian tsaqafah para pengikutnya. Telah diriwayatkan secara shahih bahwa
beliau sangat marah ketika melihat Umar bin Khatthab memegang lembaran yang di
dalamnya terdapat beberapa potongan ayat Taurat, beliau berkata,
ت ي َ ا ا ب ْ َن ال ْ خَ ط َّ ا ب ِ ؟ أ َ ل َ ِم آ تِ ب ِ ه َ ا ب َ ي ْ ض َ ا ء َ ن َ ق ِ ي َّ ة ً ؟ ل َ ْو ك َ ا َن مُ و س َ ى أ َ ِخ ي
َ ْ كٍ أ َ ن
أ َف ِ ي شَ ه
س ع َ ه ُ إ ال َّ ات ه ِ ب َ ا عِ ي
ِ حَ ي ًّا مَ ا َو.
“Apakah engkau masih ragu wahai Ibnul Khatthab? Bukankah aku telah membawa agama
yang putih bersih? Sekiranya saudaraku Musa (‘alaihis salam) hidup sekarang ini maka
tidak ada keluasan baginya kecuali mengikuti (syariat)ku.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi dan
lainnya).
Setali tiga uang dengan aspek tarbiyah, aspek dakwah pun mengalami kelemahan; hari ini
kegiatan dakwah nyaris hanya sekedar menjadi entertainment yang tunduk kepada selera
pasar. Kegiatan dakwah seringkali dilakukan serampangan tanpa konsep, tahapan, dan
prioritas yang jelas.
Sementara itu, kebudayaan manusia terus berkembang secara dinamis dipengaruhi oleh
berbagai nilai, norma, dan aturan-aturan serta hukum yang tumbuh di tengah-tengah mereka.
Arus pemikiran dan gaya hidup mengalir deras tak terbendung; jahiliyyah modern tampil
dengan berbagai kemasan yang menggiurkan dan semakin canggih. Sementara itu kita
melihat fenomena para da’i masih lemah dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan kekinian.
Mari kita mengambil hikmah dan manfaat dari apa yang disampaikan Amin Rais. Ia
menawarkan 5 ‘pekerjaan rumah’ yang perlu diselesaikan oleh umat berkenaan dengan
dakwah di era informasi saat ini agar dakwah tetap relevan, efektif, dan produktif:[3]
Dalam aspek tandzim dengan pengertian seperti di atas, umat Islam pun mengalami
kelemahan. Beragamnya tandzim (organisasi) seharusnya melahirkan fastabiqul khairat dan
atau sinergi yang memunculkan berbagai macam kemaslahatan-kemaslahatan, namun yang
terjadi saat ini justru adalah fenomena tafarruq (perpecahan) yang menyebabkan semakin
lemahnya perjuangan.
Padahal fenomena seperti itu seharusnya dapat dihindari oleh umat Islam sejauh-jauhnya,
karena Allah Ta’ala berfirman,
وص
ٌ ٌ ب ال َّ ذِ ي َن ي ُ ق َ ا ت ِ ل ُ و َن ف ِ ي س َ ب ِ ي ل ِ ه ِ ص َ ف ًّ ا ك َ أ َ ن َّ ه ُ مْ ب ُ ن ْ ي َ ا
ُ ن مَ ْر ص َّ إ ِ َّن
ُّ ّللا َ ي ُ ِح
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. As-Shaf: 4)
َ َ ّللا َ َو َر س ُ و ل َ ه ُ َو َال ت َ ن َا َز ع ُ وا ف َ ت َ ف ْ ش َ ل ُ وا َو ت َ ذ ْ ه
َّ ب ِر ي حُ ك ُ مْ َو ا صْ ب ِ ُر وا إ ِ َّن
َّللا َ مَ ع ِ َ َو أ
َّ ط يع ُ وا
ال ص َّ ا ب ِ ِر ي َن
“Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar.”(QS. Al-Anfal: 46)
َ َّ ن لل ْ مُ ْؤ ِم ِن ك َ ال ْ ب ُ ن ْ ي َ ا ِن ي َ ش ُ د ُّ ب َ ع ْ ض ُ ه ُ ب َ ع ْ ضا ً َو ش َ ب
ِ ك ب َ ي ْ َن أ َ ص َ ا ب ِ ِع ه ُ ال ْ مُ ْؤ ِم.
“Seorang mu’min terhadap mu’min yang lain, ibarat sebuah bangunan yang sebagiannya
mengokohkan bagian yang lain” (dan beliau saw. menjalinkan antara jari-
jarinya.)” (Muttafaq ‘alaih).
Secara umum akhlak/moralitas sebagian kaum muslimin pada saat ini berada dalam
kelemahan, dalam arti masih jauh dari nilai-nilai ideal yang diajarkan oleh ajaran Islam.
Tidak sedikit diantara umat Islam saat ini yang terjangkit budaya permissivisme (paham serba
boleh), hedonisme (paham memburu kelezatan materi), gemar bersenang-senang, melepaskan
insting tanpa kendali, berlebih-lebihan dalam memuaskan kesenangan perut, meninggalkan
nilai-nilai kesopanan, kesantunan, dan rasa malu dari kalangan pria maupun wanita.
*****
Ad-da’watul Harakiyyatus Syamilah
Umat Islam dan para da’i yang telah menyadari realita ini, hendaknya bahu membahu
melakukan upaya perbaikan (al-ishlah) dengan melakukan pergerakan dakwah yang
menyeluruh (ad-da’watul harakiyyatus syamilah) yang memiliki karakter sebagai berikut.
Dakwah rabbani yang dimaksud adalah dakwah yang digulirkan harus benar-benar bertujuan
dan berorientasi ketuhanan; bukan untuk mendapatkan keuntungan materi, popularitas, pujian
manusia, atau jabatan.
ج ًر ا إ ِ ْن ه ُ َو إ ِ َّال ذِ ك ْ َر ى ل ِ ل ْ ع َ ا ل َ ِم ي َن
ْ َ ق ُ ْل َال أ َ س ْ أ َل ُ ك ُ مْ ع َ ل َ ي ْ ه ِ أ
“Katakanlah: ‘Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an).” Al-
Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.’” (QS. Al-An’am: 90)
Karakter da’i rabbani (para da’i yang berorientasi ketuhanan) disebutkan dalam firman
Allah Ta’ala berikut ini,
َ ك ُ ون ُ وا َر ب َّا ن ِ ي ه ِ ي َن ب ِ َم ا ك ُ ن ْ ت ُ مْ ت ُ ع َ ل ه ِ مُ و َن ال ْ كِ ت َا
ب َو ب ِ مَ ا ك ُ ن ْ ت ُ مْ ت َ د ْ ُر س ُ و َن
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab
dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran, 3: 79)
Artinya, dakwah yang diserukan harus benar-benar berpedoman dan berpanduan kepada
kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
ّللا ِ َو َم ا أ َ ن َا َ ْ ص ي َر ة ٍ أ َ ن َا َو مَ ِن ات َّ ب َ ع َ ن ِ ي َو س ُ ب
َّ ح ا َن َّ ق ُ ْل ه َ ذِ ه ِ س َ ب ِ ي ل ِ ي أ َ د ْ ع ُ و إ ِ ل َ ى
ِ َ ّللا ِ ع َ ل َ ى ب
ِم َن ال ْ مُ ش ْ ِر ِك ي َن
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik’” (QS. Yusuf: 108)
ِ ك ب ِ ال ْ ِح ك ْ مَ ة ِ َو ال ْ مَ ْو عِ ظ َ ة ِ ال ْ حَ س َ ن َ ة
َ ِ ا د ْ ع ُ إ ِ ل َ ى س َ ب ِ ي ِل َر ب ه
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS.
An-Nahl: 125)
Ustadz Irwan Prayitno menjelaskan tentang karakter dakwah yang manhajiyyah sebagai
berikut: “Kemudian dari panduan ini (Al-Qur’an dan sunnah, red.) kita mempertimbangkan
keadaan lokal seperti situasi, kondisi, keadaan, peristiwa dan sikap yang muncul sehingga
muncul fiqhud dakwah yang dapat dijalankan di tempat tertentu. Minhaj yang jelas akan
membawa kepada jalan yang jelas dan juga akan membawa kita kepada tujuan yang benar
sehingga Allah meridhaunya.”[4]
Kebertahapan dalam dakwah adalah karakter yang sangat penting untuk dijaga. Hal ini
diantaranya tergambar dari apa yang disampaikan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut ini.
ار حَ ت َّ ى إ ِ ذ َ ا ِ َّ إ ِ ن َّ مَ ا ن َ َز لَ أ َ َّو لَ مَ ا ن َ َز لَ ِم ن ْ ه ُ س ُ و َر ة ٌ ِم ْن ال ْ مُ ف َ ص َّ ِل ف ِ ي ه َ ا ذِ ك ْ ُر ال ْ جَ ن َّ ة ِ َو ال ن
ي ٍء َال ت َ ش ْ َر ب ُوا ْ َ اإل ِ س ْ ََل ِم ن َ َز لَ ال ْ حَ ََل لُ َو ال ْ حَ َر ا م ُ َو ل َ ْو ن َ َز لَ أ َ َّو لَ ش ْ اس إ ِ ل َ ى ُ َّ ب ال ن َ ث َا
ْ ل َال ت َ ْز ن ُ وا ل َ ق َ ال ُ وا َال ن َ د َ ع ُ ال ه ِز ن َا أ َ ب َ د ً ا ل َ ق َ د َ ال ْ خَ ْم َر ل َ ق َ ال ُ وا َال ن َ د َ ع ُ ال ْ خَ ْم َر أ َ ب َ د ً ا َو ل َ ْو ن َ َز
ُ ب ب َ ْل ال س َّ ا ع َ ة ُ َ ار ي َ ة ٌ أ َ ل ْ ع
ِ َّللا ُ ع َ ل َ ي ْ ه ِ َو س َ ل َّ م َ َو إ ِ ن ه ِ ي ل َ ج
َّ ح مَّ دٍ ص َ ل َّ ى َ ُن َ َز لَ ب ِ مَ ك َّ ة َ ع َ ل َ ى م
ْ
ُ ت س ُ و َر ة ُ ال ب َ ق َ َر ة ِ َو ال ن ه ِ س َ ا ِء إ ِ َّال َو أ َ ن َا عِ ن ْ د َ ه ْ َ مَ ْو عِ د ُ ه ُ مْ َو ال س َّ ا ع َ ة ُ أ َ د ْ ه َ ى َو أ َ مَ ُّر َو َم ا ن َ َز ل
“Sesungguhnya yang pertama-tama kali turun darinya (Al-Qur’an) adalah surat Al-
Mufashshal yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka. Dan ketika manusia
telah condong ke Islam, maka turunlah kemudian ayat-ayat tentang halal dan haram.
Sekiranya yang pertama kali turun adalah ayat, ‘Janganlah kalian minum khamer.’ Niscaya
mereka akan mengatakan, ‘Sekali-kali kami tidak akan bisa meninggalkan khamer selama-
lamanya.’ Dan sekiranya juga yang pertamakali turun adalah ayat, “Janganlah kalian
berzina..’ niscaya mereka akan berkomentar, ‘Kami tidak akan meniggalkan zina selama-
lamanya.’ Ayat yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Makkah
yang pada saat itu aku masih anak-anak adalah: ‘Bal As Saa’atu Mau’iduhum Was Saa’atu
Adhaa Wa Amarr.(QS. Al-Qamar: 46).’ Dan tidaklah surat Al Baqarah dan An Nisa` kecuali
aku berada di sisi beliau.” (HR. Bukhari).
Tentang marhaliyyah (kebertahapan) ini ada prinsip dan pemahaman dasar yang harus
dipahami, yaitu bahwa aspek aqidah dan ibadah harus diaplikasikan sekaligus. Sedangkan
syariat, penyampaiannya kepada manusia dan aplikasinya pada realitas kehidupan itu
bertahap. Sebagaimana ‘tali Islam’ itu bisa terurai ikatan demi ikatan[5]—maksudnya
bertahap, maka begitu juga upaya kembali kepadanya juga harus bertahap.
Menggiring manusia untuk bergabung lagi di bawah panji Islam, yang mengatur semua aspek
kehidupan manusia itu menuntut langkah bertahap dalam penerapannya. Tidak dikatakan
bahwa prinsip bertahap itu telah terhenti setelah terhentinya wahyu dan disempurnakannya
agama. Karena yang menjadi masalah bukan pentahapan dalam penetapan hukum syariat,
melainkan dalam penerapannya. Tanpa pentahapan, berbagai maslahat tidak dapat
diwujudkan, terjadi kesulitan, dan semua manusia akan berpaling dari syariat.[6]
Keempat, memperhatikan prioritas (al-aulawiyyah).
Dakwah yang benar pasti memperhatikan aulawiyyah (prioritas), yakni memperhatikan hal
penting mana yang harus didahulukan dan mana yang harus diakhirkan; memprioritaskan
perkara pokok di atas perkara cabang, perkara fardhu di atas perkara sunnah atau nawafil,
perkara fardhu ‘ain di atas fardhu kifayah, perkara hak masyarakat di atas hak individu,
perkara loyalitas kepada kepentingan umat di atas loyalitas kepada kepentingan keluarga atau
kelompok, dan lain-lain.[7]
Menegakkan dakwah yang waqi’iyyah sebenarnya adalah bagian dari implementasi ajaran
Islam yang memiliki karakter waqi’iyyah, yakni sejalan dengan realita, situasi, dan kondisi
manusia. Dengan karakternya ini ajaran Islam tidak pernah memerangi fitrah manusia; tidak
pernah mengabaikan kondisi dan kemampuan manusia yang berbeda sehingga ada
berbagai rukhshah (keringanan) di dalam agama; tidak pernah melarang apa yang benar-
benar dibutuhkan manusia, dan Islam tidak pernah menutup mata dari berbagai kondisi
darurat yang dialami manusia.
Dengan memperhatikan karakter ini, maka nilai-nilai Islam menjadi kontekstual dan mampu
menjawab berbagai problematika masyarakat.
Dakwah Islam yang harus ditegakkan adalah dakwah yang memperhatikan seluruh aspek
kehidupan manusia secara seimbang; lahir dan batin, jasmani dan rohani, serta material dan
spiritual. Karena Islam bukanlah agama yang memisahkan antara urusan batin, rohani, atau
spiritual, dengan urusan lahir, jasmani, dan material. Islam tidak menerima
sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam memperhatikan satu aspek, dan membuang aspek
yang lainnya.
Sikap tawazzun tergambar dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
ِ ِ ت أ َ ْز َو اج ِ ال ن َّ ب
ىه ِ ط إ ِ ل َ ى ب ُي ُو ٍ ْ ك – رضى للا عنه – ي َ ق ُ و لُ جَ ا ء َ ث َ َل َ ث َ ة ُ َر ه ٍ ِ َس ب ْ َن َم ا ل َ أ َن
ى ه – صلى للا عليه وسلم – ف َ ل َ مَّ ا ِ ِ – صلى للا عليه وسلم – ي َ س ْ أ َل ُ و َن ع َ ْن عِ ب َ ا د َ ة ِ ال ن َّ ب
ْ ى ه – صلى للا عليه وسلم – ق َ د ِ ِ ن ِم َن ال ن َّ ب ُ ح ْ ُأ
ْ َ خ ب ِ ُر وا ك َ أ َ ن َّ ه ُ مْ ت َ ق َ ال ُّ و ه َ ا ف َ ق َ ال ُ وا َو أ َ ي ْ َن ن
َ ق َ ا لَ أ َ حَ د ُ ه ُ مْ أ َ مَّ ا أ َ ن َا ف َ إ ِ ن ِ ه ى أ ُ ص َ ل ِ ه ى الل َّ ي ْ ل. غ ُ ف ِ َر ل َ ه ُ مَ ا ت َ ق َ د َّ م َ ِم ْن ذ َ ن ْ ب ِ ه ِ َو مَ ا ت َأ َخَّ َر
َ َو ق َ ا لَ آ خَ ُر أ َ ن َا أ َ ع ْ ت َِز لُ ال ن ِ ه س َ ا ء َ ف َ َل. ط ُر ِ ْ َو ق َ ا لَ آ خَ ُر أ َ ن َا أ َ ص ُ و م ُ ال د َّ ه ْ َر َو ال َ أ ُ ف. أ َ ب َ د ً ا
ْل « أ َ ن ْ ت ُ م ُ ال َّ ذِ ي َن ق ُ ل ْ ت ُ م
َ ّللا ِ – صلى للا عليه وسلم – ف َ ق َ ا َّ ُ ف َ جَ ا ء َ َر س ُ و ل. أ َ ت َ َز َّو جُ أ َ ب َ د ً ا
َو أ ُ ص َ ل ِ ه ى، ط ُر ِ ْ ل َ ِك ن ِ ه ى أ َ ص ُ و م ُ َو أ ُ ف، ُ ّلل ِ َو أ َ ت ْ ق َ ا ك ُ مْ ل َ ه َّ ك َ ذ َ ا َو ك َ ذ َ ا أ َ مَ ا َو
ْ َ ّللا ِ إ ِ ن ِ ه ى أل
َّ ِ ْخ ش َ ا ك ُ م
س ِم ن ِ ه ى » رواه البخاري َ ْ ب ع َ ْن س ُ ن َّ ت ِ ى ف َ ل َ ي َ ِ ف َ مَ ْن َر غ، َ َو أ َ ْر ق ُ د ُ َو أ َ ت َ َز َّو جُ ال ن ِ ه س َ ا ء
Anas bin Malik r.a. berkata: “Ada tiga orang yang mendatangi rumah-rumah istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
tatkala diberitahu, mereka merasa seakan-akan (ibadah mereka) tidak berarti (sangat
sedikit). Mereka berkata: ‘Di mana posisi kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan datang.’
Salah satu mereka berkata: ‘Saya akan qiyamul lail selama-lamanya.’ Yang lain berkata:
‘Aku akan puasa selamanya.’ Dan yang lain berkata: ‘Aku akan menghindari wanita, aku
tidak akan pernah menikah.’ Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
bersabda: ‘Kaliankah yang bicara ini dan itu, demi Allah, sungguh aku yang paling takut
dan yang paling takwa kepada Allah. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat, aku
tidur, dan aku juga menikah. Barang siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak
termasuk golonganku.’” (HR. Al-Bukhari).
Renungkan pula hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash radhiyallahu anhuma berikut ini,
Islam tidak menghendaki umatnya bersikap mengagung-agungkan sebuah aspek ajaran atau
amal kebajikan seraya meremehkan aspek ajaran atau amal kebajikan yang lainnya. Maka,
Islam menghargai amalan jihad fi sabilillah; menghargai amalan shaum, shalat, dan
shadaqah; sebagaimana Islam juga menghargai amalan mencari nafkah; menghargai amalan
menegakkan ishlah (perdamaian); menghargai amalan amar ma’ruf nahi munkar; serta
menghargai amalan ‘kecil’ seperti menyingkirkan gangguan di jalan. Renungkanlah hadits-
hadits berikut ini:
اس ب ِ ال َّ ت ِ ي َ َّ ت ع ُ ْر َو ة ٌ ت َ ش َ ب
ُ َّ ث ال ن ْ َ ف َ ك ُ ل َّ مَ ا ا ن ْ ت ُ ق ِ ض، ٌ ل َ ت ُ ن ْ ق َ ض َ َّن ع ُ َر ى ا ِإل س ْ َل َ ِم ع ُ ْر َو ة ٌ ع ُ ْر َو ة
ُ َو آ ِخ ُر ه ُ َّن ال صَّ َل َ ة، ُ ت َ ل ِ ي ه َ ا ف َ أ َ َّو ل ُ ه ُ َّن ن َ ق ْ ض ً ا ال ْ حُ ك ْ م
“Ikatan islam akan terurai satu demi satu, setiap kali lepas satu ikatan, manusia beralih
kepada simpul yang lain. Simpul yang pertama kali lepas adalah hukum dan yang terakhir
adalah sholat.” (HR Ahmad dinyatakan shahih oleh Syeikh Al-Albani )
ِ َ ف َ إ ِ ْن ل َ مْ ي َ س ْ ت، ِ ط ْع ف َ ب ِ ل ِ س َ ا ن ِ ه
ط ْع ِ َ ف َ إ ِ ْن ل َ مْ ي َ س ْ ت، ِ مَ ْن َر أ َ ى ِم ن ْ ك ُ مْ مُ ن ْ ك َ ًر ا ف َ ل ْ ي ُ غ َ ي ه ِ ْر ه ُ ب ِ ي َ دِ ه
ْ ف
اإل ِ ي مَ ا ِن ُ َ ك أ َ ضْ ع َ ِ ف َ ب ِ ق َ ل ْ ب ِ ه ِ َو ذ َ ل
”Barang siapa melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu,
ubahlah dengan lisannya, dan jika dia tidak mampu, ubahlah dengan hatinya. Namun yang
demikian itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi)
ْ َ ب ف ِ ى ا ْ ل جَ ن َّ ة ِ ف ِ ى ش َ جَ َر ة ٍ ق َ ط َ ع َ ه َ ا ِم ْن ظ َ هْ ِر الط َّ ِر ي ْ قِ ك َ ا ن
ت ُ َّ ت َر جُ َل ً ي َ ت َ ق َ ل
ُ ْ ل َ ق َ د ْ َر أ َ ي
ت ُ ْؤ ذِ ى ا ْ ل مُ س ْ ل ِ ِم ي ْ َن.
“Aku telah melihat seorang laki-laki bersenang-senang di surga disebabkan dia memotong
sebuah pohon di jalan yang mengganggu kaum muslimin.” (H.R. Muslim)
Ringkasnya, Islam menghendaki agar umatnya tawazzun seimbang dan proporsional dalam
menjalankan agamanya. Oleh karena itu dakwah yang dilakukan di tengah-tengah umat
hendaknya bersifat mutawazzinah (seimbang/proporsional) dalam memperhatikan seluruh
aspek kehidupan manusia.
CATATAN KAKI:
[1] Dikutip dari: https://rumaysho.com/3076-mengikuti-gaya-orang-kafir-tasyabbuh.html
[6] Lihat: Visi Peradaban Komprehensif Al-Ikhwan Al-Muslimun, Maktaba Syameela, hal.
24.
[7] Pembahasan lengkap mengenai prioritas ini silahkan merujuk ke buku Fiqih
Aulawiyat Syaikh Yusuf Al-Qaradawi.
[8] Khashaisul Islam, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, terjemah Rofi’ Munawwar, hal. 242