SKIZOFRENIA
Oleh
Prana Dika Ardiyanto (161200092)
Putri Dalem Nuning Stiti (161200093)
Putu Agus Andi Dharma (161200094)
Putu Ita Yuliana Wijayanti (161200095)
Sang Ayu Nyoman Wahyu Astika Dewi (161200097)
Dosen Pengampu: Ida Ayu Manik Partha Sutema, S.Farm., M.Farm., Apt
A. Tujuan Praktikum
1. Mengetahui definisi penyakit Skizofrenia.
2. Mengetahui patofisiologi penyakit Skizofrenia.
3. Mengetahui tatalaksana penyakit Skizofrenia (Farmakologi & Non-Farmakologi).
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit Skizofrenia secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.
B. Dasar Teori
1. Definisi
Skizofrenia secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu schizo
yang berarti „terpotong‟ atau „terpecah‟ dan phren yang berarti pikiran, sehingga
skizofrenia berarti pikiran yang terpecah (Veague, 2007). Arti dari kata-kata tersebut
menjelaskan tentang karakteristik utama dari gangguan skizofrenia, yaitu pemisahan
antara pikiran, emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya.
Definisi skizofrenia yang lebih mengacu kepada gejala kelainannya adalah gangguan
psikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas, penarikan diri dari interaksi sosial, juga
disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognisi (Wiramihardja, 2007).
Skizofrenia ditandai oleh delusi, halusinasi, pemikiran yang tidak teratur dan ucapan,
perilaku motorik abnormal, dan gejala negatif (Dipiro, 2015).
Skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan pola pikir
yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya
gangguan fungsi psikososial (Crismon dkk., 2008).
Skizofrenia adalah pola penyakit bidang psikiatri, merupakan sindroma klinis dari
berbagai keadaan psikopatologis yang sangat menganggu serta melibatkan proses pikir,
persepsi, emosi, gerakan dan tingkah laku. Skizofrenia merupakan gejala yang heterogen
yang mana diagnosisnya belum dapat ditegakkan memakai suatu uji laboratorium
tertentu, diagnosisnya ditegakkan berdasarkan sekumpulan gejala yang dinyatakan
karakteristik untuk skizofrenia (Ahmad Muhyi, 2011).
2. Epidemiologi Skizofrenia
Data WHO menunjukkan bahwa di tahun 2002 saja diketahui tidak kurang dari 154
juta penduduk dunia yang depresi, 25 juta skizofrenia, 91 juta mengalami gangguan mental
akibat alkohol, 15 juta gangguan mental karena penyalahgunaan obat, 50 juta epilepsi, dan
24 juta Alzheimer dan demensia lainnya. Hal yang lebih mencengangkan lagi bahwa
terdapat rata rata 877.000 orang bunuh diri tiap tahun.
Berdasarkan laporan RISKESDAS Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada
tahun 2007 prevalensi gangguan jiwa berat (Skizofrenia) di Indonesia adalah sebesar 4,6%.
Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (20,3%), yang kemudian secara
berturut turut diikuti oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darrusalam (18,5%), Sumatera Barat
(16,7%), Nusa Tenggara Barat (9,9%), Sumatera Selatan (9,2%), dan prevalensi terendah
terdapat di Maluku (0,9%) (Ahmad Muhyi, 2011).
3. Klasifikasi Skizofrenia
Menurut Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder Fourth Edition Text
Revised (DSM-IV-TR) membagi skizofrenia atas subtipe secara klinik yaitu :
a. Tipe Katatonik :
Gejala gejala yang terdapat pada skizofrenia katatonik adalah sebagai berikut :
Stupor katatonik, yaitu pengurangan hebat dalam reaktivitas terhadap
lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakan atau aktivitas spontan
sehingga nampak seperti patung atau diam membisu (mute).
Negativisme katatonik, yaitu suatu perlawanan yang tampaknya tanpa notif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan dirinya.
Kekakuan (rigidity) katatonik, yaitu mempertahankan suatu sikap kaku
terhadap semua upaya yang menggerakkan dirinya.
Kegaduhan katatonik, yaitu kegaduhan aktifitas katatonik, yang
nampaknya tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh rangsang luar.
Sikap tubuh katatonik, yaitu sikap yang tidak wajar dan aneh.
c. Tipe Paranoid
Gejala gejala yang terdapat pada skizofrenia paranoid adalah sebagai berikut :
Waham (delusion), yang menonjol biasanya waham kejar, waham kebesaran
dan lain sebagainya.
Halusinasi yang menonjol misalnya halusinasi auditorik, halusinasi visual
dan lain sebagainya.
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik
secara tidak relative.
e. Tipe residual
Merupakan kelanjutan dari skizofrenia, akan tetapi gejala fase aktif tidak lagi
dijumpai.
4. Patofisiologi Skizofrenia
a. Peranan Dopamin Dan Serotonin
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu
banyaknya penerimaan dopamin oleh otak. Dalam hipotesis dopamin, dinyatakan
bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh aktivitas dopamin pada jalur mesolimbik dan
mesokortis saraf dopamin. Telalu aktifnya saraf dopamin pada jalur mesolimbik
bertanggung jawab menyebabkan gejala positif, sedangkan kurangnya aktivitas
dopamin pada jalur mesokortis akan menyebabkan gejala negatif kognitif dan afektif.
Pelepasan dopamin berkaitan dengan fungsi serotonin. Penurunan aktivitas
serotonin berkaitan dengan peningkatan aktivitas dopamine. Interaksi antara
serotonin dan dopamin, khususnya reseptor 5-HT2A, dapat menjelaskan mekanisme
obat psikotik atipikal dan rendahnya potensi untuk menyebabkan efek samping
ekstrapiramidal. Selain itu, stimulasi 5-HT1A juga meningkatkan fungsi
dopaminergik (Dewi Puspita Apsari, 2018; Crismon dkk, 2008; Ereshefsky., 1999).
b. Peran Glutamat
Disfungsi sistem glutamatergik di korteks prefrontal diduga juga terlibat dalam
patofisiologi skizofrenia. Hipotesis datang dari bukti pemberian antagonis reseptor
N-metil-D-Aspartat (NMDA), seperti phencyclidine (PCP) dan ketamin, pada orang
sehat menghasilkan efek yang mirip dengan spektrum gejala dan gangguan kognitif
yang terkait dengan skizofrenia. Efek dari antagonis NMDA menyerupai baik gejala
negatif dan positif serta defisit kognitif skizofrenia (Dewi Puspita Apsari, 2018;
Ikawati, 2011).
6. Diagnosa Skizofrenia
Menurut Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder, Fifth Edition
(DSM-5), kriteria diagnostik skizofrenia adalah sebagai berikut:
a. Kriteria A Jika ada dua atau lebih gejala dibawah ini, dimana gejala ini tampak secara
signifikan selama period 1 bulan (atau kurang jika dilakuan terapi yang berhasil) dan
sedikitnya satu dari gejala nomor 1,2, atau 3 :
1) Waham
2) Halusinasi
b. Adanya gangguan secara fungsi satu atau lebih fungsi penting, seperti bekerja,
hubungan interpersonal, atau perawatan diri.
c. Gejalanya berlangsung persisten minimal 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus mencakup
sedikitnya 1 bulan dari gejala (atau berkurang karena efek pengobatan) yang dijumpai
pada kriteria A dan juga termasuk gejala prodromal atau gejala sisa. Selama gejala
prodromal atau gejala sisa, keluhan yang nampak berupa gejala negatif atau dua atau
lebih gejala yang ada pada kriteria A (Dipiro, 2015).
Gangguan jiwa skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut
(kronis, menahun). Oleh karena itu terapi skizofrenia memerlukan waktu yang relatif
lama berbulan bulan bahkan bertahun tahun, hal ini bertujuan untuk menekan sekecil
mungkin kekambuhan (relaps) (Ahmad Muhyi, 2011).
Sebelum terapi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan status mental pasien, fisik dan
pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan keadaan keluarga, riwayat sosial, wawancara
dengan psikiatri serta pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium tersebut seperti complete blood count (CBC), elektrolit, fungsi hepar, renal,
ECG, glukosa, kolesterol, fungsi tiroid dan urin (Dipiro et al., 2015).
Adapun terapi farmakologi dan non farmakologi yang dapat diberikan kepada
pasien yakni :
a) Terapi Non Farmakologi
Ada beberapa pendekatan psikososial yang dapat digunakan untuk pengobatan
skizofrenia. Intervensi psikososial merupakan bagian dari perawatan yang komprehensif
dan dapat meningkatkan kesembuhan jika diintegrasikan dengan terapi farmakologis.
Intervensi psikososial ditujukan untuk memberikan dukungan emosional pada pasien.
Pilihan pendekatan dan intervensi psikososial didasarkan kebutuhan khusus pasien sesuai
dengan keparahan penyakitnya (Ikawati, 2011).
Salah satu dari dampak dari gangguan jiwa skizofrenia adalah terganggunya fungsi
sosial penderita. Dengan terapi psikososial ini dimaksudkan penderita agar mampu
kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri,
mampu mandiri sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Penderita
selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap menjalani terapi
psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi. Kepada penderita
skizofrenia diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan, banya
kesibukan dan banyak bergaul (Ahmad Muhyi, 2011).
Selain itu pasien juga dapat dilaukan terapi psikoreligius atau terapi keagamaan,
dimana menurut penelitian Larson, dkk (1982) terapi keagamaan atau psikoreligius
terhadap penderita skizofrenia memiliki manfaat dimana pada penelitiannya
membandingkan keberhasilan terapi terhadap dua kelompok skizofrenia. Dari kelompok
yang mendapatkan terapi keagamaan mempunyai respon gejala klinis gangguan jiwa
skizofrenia yang lebih cepat hilang, lama perawatan lebih pendek, kemampuan adaptasi
lebih cepat dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan terapi keagamaan
(Ahmad Muhyi, 2011).
b) Terapi Farmakologi
Secara umum, terapi penderita skizofrenia dibagi menjadi tiga tahap yakni:
1. Terapi Akut
Terapi akut dilakukan pada tujuh hari pertama dengan tujuan mengurangi agitasi,
agresi, ansietas, dll. Benzodiazepin biasanya digunakan dalam terapi akut.
Penggunaan benzodiazepin akan mengurangi dosis penggunaan obat antipsikotik.
2. Terapi Stabilisasi
Terapi stabilisasi dimulai pada minggu kedua atau ketiga. Terapi stabilisasi
bertujuan untuk meningkatkan sosialisasi serta perbaikan kebiasaaan dan perasaan.
Pengobatan pada tahap ini dilakukan dengan obat-obat antipsikotik.
3. Terapi Pemeliharaan
Terapi pemeliharaan bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Dosis pada terapi
pemeliharaan dapat diberikan setengah dosis akut. Klozapin merupakan
antipsikotik yang hanya digunakan apabila pasien mengalami resistensi terhadap
antipsikotik yang lain (Crismon dkk., 2008).
Gambar 7 Algoritma Terapi Pada Penyakit Skizofrenia
Tabel 7 Antipsikotik dan rentang dosis
8. Farmakologi Obat
Antipsikotik adalah obat yang digunakan untuk mengobati gejala psikotik pada
pasien skizofrenia. Obat ini dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya,
yaitu dopamine receptor antagonis (DRA) atau antipsikotika generasi 1 (APG-1) dan
serotonin-dopamine antagonis (SDA) atau antipsikotika generasi II (APG-II).1
1. Antagonis Reseptor Dopamin
Antagonis reseptor dopamin memiliki afinitas yang tinggi, obat ini efektif dalam
penanganan skizofrenia, terutama terhadap gejala positif. Antagonis reseptor
dopamine mencakup Chlorpromazine, Thioridazine, Fluphenazin, Haloperidol.
Antagonis reseptor dopamin dianggap lebih efektif pada terapi gejala positif
skizofrenia (cth., halusinasi, waham, dan agitasi) dibandingkan terapi gejala negatif
(cth., penarikan diri secara emosional dan ambivalensi) atau disosiasi kognitif.
Antagonis reseptor dopamin itu sendiri juga dapat menimbulkan gejala negatif.
Antagonis serotonin dopamin (SDA) juga disebut sebagai generasi kedua, obat
antipsikotik atipikal atau baru dan mencakup Risperidone, Olanzapine, Quetiapine,
Clozapin, dan Ziprasidone.
1. Haloperidol
Haloperidol merupakan obat antipsikotik generasi pertama yang bekerja dengan
cara memblokade reseptor dopamin pada reseptor pasca sinaptik neuron di otak,
khususnya di sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamin D2 reseptor
antagonists). Efek terhadap sistem otonom, efek antikolinergik dan efek samping
sedatif lemah. Haloperidol sangat efektif dalam mengobati gejala positif pada
pasien skizofrenia, seperti mendengar suara, melihat hal-hal yang sebenarnya tidak
ada dan memiliki keyakinan yang aneh (Jeffrey, K.A., 2006).
2. Chlorpromazine
Chlorpromazin merupakan antagonis reseptor dopamin dan alfa adrenergik
bloker yang tidak selektif memiliki efek sedatif kuat yang dapat mengatasi gejala.
Disinyalir mekanisme kerja chlorpromazin sebagai alfa adrenergik blokerlah yang
menimbulkan efek hipotensi orthostatik yang menghambat vasokonstriksi refleks
ketika naik ke posisi duduk atau berdiri (Ren et al.,2013).
3. Clozapin
Clozapin adalah antipsikotik generasi kedua yang termasuk kelas
dibenzodiazepin, merupakan neuroleptik atipikal dengan afinitas tinggi untuk
reseptor dopamin D4 dan afinitas rendah untuk subtipe lain, antagonis di alpha-
adrenoseptor, reseptor 5-HT2A, reseptor muscarinik, dan reseptor histamin H.
Clozapin telah terbukti memiliki khasiat yang unggul dalam mengurangi perilaku
bunuh diri dan efektif dalam mengobati gejala positif dan negatif pada pasien
dengan skizofrenia yang sulit disembuhkan. Clozapin dapat menyebabkan
hipotensi orthostatik dan efek samping sindrom metabolik berupa peningkatan
enzim Alanine Transaminase (ALT) dan Aspartate Transaminase (AST) pada hati
(Dipiro, 2009).
4. Flufenazine
Flufenazine merupakan antipsikotik golongan tipikal, yang bekerja memblok
ARAS. Karena sifatnya inilah maka kemungkinan terjadinya efek samping
ekstrapiramidal masih sangat tinggi (Tsalatsita, 2013).
5. Aripiprazole
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada
reseptor D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin
5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya
menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-
dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya
lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter dopamin
dan berikatan dengan reseptor dopamin (Amir N, 2013).
6. Trihexyphenidil
Triheksipenidil merupakan obat antimuskarinik yang berfungsi untuk
mengurangi efek samping dari antipsikotik Extrapyramidal Syndrome (Tjay,
2002). Triheksifenidil mengurangi aktivitas kolinergik dengan memblok reseptor
asetilkolin. Triheksifenidil dapat mengatasi distonia akut, akathisia dan parkinson,
(Lehman et al., 2004)
C. STUDI KASUS
a. Alat
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minum Obat
4. Kalkulator Scientific
5. Laptop Dan Koneksi
b. Bahan
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH)
2. Data Nilai Normal Laboratorium
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis)
c. Studi Kasus
IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. An
Umur : 29 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat / TTL : Tanjung Pinang, 23 Mei 1986
Status Perkawinan : Belum Menikah
Jumlah Anak :-
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Tidak Ada
Suku Bangsa : Tionghoa
Agama : Budha
Alamat Sekarang : Jl. Sei Jang
Cara Pemeriksaan : Pemeriksaan Datang Ke Rumah Nn. An
Tanggal Pemeriksaan : 8 Februari 2015
Tempat Pemeriksaan : Rumah Nn. An
RIWAYAT PSIKIATRI
a. Keluhan Utama
Sering mengamuk dan marah-marah kembali kurang lebih 1 minggu terakhir dan masih
dirasakan sampai sekarang.
b. Riwayat Gangguan Dahulu
Autoanamnesis
Tidak dapat menjawab pertanyaan. namun sempat mengaku melihat kerasakti.
Alloanamnesis
Menurut pernyataan ibunya, Nn.AN lahir normal tidak ada gangguan. riwayat
trauma kepala dan sakit berkepanjangan disangkal oleh keluarga. Dari riwayat
keluarga nenek Nn.AN (dari ibu) mempunyai gangguan seperti Nn.AN (berdiam
diri dan tidak mau tau). Nn.AN mengalami perubahan sejak SD namun ibu pasien
membawa ke dukun sampai umur 19 tahun dan berkurang sedikit, umur 19 tahun
terkena serangan kembali dan dibawa ke dokter. Saat ini kegiatan Nn.AN hanya
berdiam diri dirumah , menonton tv, mandi (tanpa bantuan keluarga) dan makan.
Ibu Nn.AN mengaku pada ada awal terkena serangan dan sebelum pengobatan.
Nn.AN sering berdiam diri tidak mau bicara, tertawa sendiri, dan kadang berbicara
sendiri.
c. Riwayat Gangguan Sebelumnya
Riwayat Gangguan Psikiatrik Sebelumnya
Nn. AN mengalami gejala- gejala seperti ini sudah dari SD (berobat ke dukun)
dan berobat ke dokter setelah berumur kurang lebih 19 tahun.
Riwayat Gangguan Medis
pasien tidak dirawat dirumah sakit akibat penyakit lain.
Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif
Pasien tidak pernah menggunakan zat- zat psikoaktif dan alcohol.
KARAKTERISTIK BICARA
Selama wawancara pasien tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik dan selalu
menjawab tidak tau. Artikulasi jelas, volume kuat, dan intonasi jelas, kontak mata dengan
pandangan kosong tanpa ekspresi.
Gangguan Persepsi
Gejala sebelumnya memperlihatkan pasien mengalami halusinasi visual (sering
meringis, tertawa-tawa sendiri, dan kadang berbicara)
PIKIRAN
Proses Pikir
alogia : pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disengaja (miskin
pembicaraan) atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi sangat sedikit ide
yang disamapaikan (miskin isi pembicaraan).
Isi Pikir
tilikan : kebanyakan pasien skizofrenia mengalami pengurangan tilikan yaitu
pasien tidak menyadari penyakitnya serta kebutuhannya terhadap
pengobatan, meskipun gangguan yang ada pada dirinya dapat dilihat oleh orang
lain.
KESADARAN DAN FUNGSI KOGNITIF
Tingkat kesadaran : compos mentis
Orientasi : orientasi waktu, tempat dan orang baik
Daya konsentrasi : menurun
Perhatian : saat wawancara pasien memusatkan perhatinya, namun dengan tatapan
kosong
Daya ingat : daya ingat jangka panjang : tidak terganggu, daya ingat jangka pendek
: tidak terganggu, daya ingat segera : tidak terganggu
Daya nilai : normal
Tilikan : derajat tilikan derajat 2, pasien menyadari dirinya sakit namun pasien
seperti tidak mau mengakuinya karena tidak mau dikatakan “orang gila”
PEMERIKSAAN FISIK
Nadi : 92 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 36,6 C
Leher : dbn
Thorax : dbn
Abdomen : dbn
DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
PEMBAHASAN
PHARMACEUTICAL CARE
1. Patient Profil
Ny. An
Jenis Kelamin : Perempuan Tgl. MRS :-
Usia : 29 tahun Tgl. KRS :-
Tinggi Badan : Normal
Berat Badan : Normal
Drug Allergies : -
Objective (signs)
1) Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4,M6,V5
Tanda vital : TD 130/90
Nadi : 92 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,6˚C
Kepala : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Leher : dbn
Mulut : Hygienis kurang
Thorak : dbn
Abdomen : dbn
Ektremitas : Tremor (-/-), edema (-) , akral hangat
Tilikan : derajat tilikan derajat 2, pasien menyadari dirinya sakit namun pasien seperti tidak mau
mengakuinya karena tidak mau dikatakan “orang.
Monitoring
1. Efektivitas
- Monitoring efektivitas aripiprazole dilihat dari kekambuhan penyakit skizofrenia.
A. Kesimpulan
1. Skizofrenia adalah penyakit gangguan psikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas,
penarikan diri dari interaksi sosial, juga disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognisi.
2. Patofisiologi skizofrenia melibatkan peran Dopamin, Seretonin dan Glutamat.
3. Tujuan tatalaksana terapi penyakit parkinson yaitu Meringankan gejala skizofrenia,
Menghindari efek samping obat, Meningkatkan fungsi psikososial dan produktivitas,
Meningkatkan kepatuhan terapi dari obat yang diresepkan, Melibatkan pasien dalam
rencana pemilihan terapi.
4. Pada kasus terkait penyakit Skizofrenia, pasien diberikan terapi :
Terapi Non Farmakologi:
1. Intervensi Psikososial dengan tujuan memberikan dukungan emosional kepada pasien.
2. Psikoedukasi dengan memberikan Edukasi kepada keluarga pasien terkait penyakit
Skizofrenia.
3. Terapi dukungan keluarga dengan memberikan perhatian lebih kepada pasien karen
pasien sering menyendiri.
Terapi Farmakologi
NO Terapi Dosis Indikasi
Amir N, 2013. Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi kedua. Jakarta
: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia
Crismon, M.L., Argo, T.R., Buckley, P.F., 2008, Schizophrenia, in Dipiro : Pharmachoterapy a
Pathophysiological Approach, 7th ed, McGraw Hill, New York.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke,G.R., Wells, B.G & Posey, L.M. , 2009.
Pharmacotherapy A pathophysiological approach seventh edition, The McGraw-Hill
Companies, Inc United States.
Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and Dipiro C. V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris
Ikawati, Z., 2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat, 249-282 Bursa Ilmu, Yogyakarta.
Jeffrey, K.A. (2006). Meyler's Side Effect of Drugs 15th Edition. Oxford, United Kingdom.
Kasper, S., Lerman, M.N., McQuade Robert D., Saha A., Carson William H., Ali Mirza. 2003.
Efficacy and safety of aripiprazole vs. haloperidol for long-term maintenance treatment
following acute relapse of schizophrenia.International Journal of Neuropsychopharmacology
(2003), 6, 325–337.
Ren, Y., H. Wang., & L. Xiao. 2013. Improving Myelin Oligodendrocyte- Related Dysfunction:
A New Mechanism Of Antipsychotics In The Treatment Of Schizophrenia. International
Journal of Neuropsychopharmacology. 16: 691–700.
Sadock, Benjamin J. Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock, 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi
2. Jakarta:EGC. P.147-168.