Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III

SKIZOFRENIA

Oleh
Prana Dika Ardiyanto (161200092)
Putri Dalem Nuning Stiti (161200093)
Putu Agus Andi Dharma (161200094)
Putu Ita Yuliana Wijayanti (161200095)
Sang Ayu Nyoman Wahyu Astika Dewi (161200097)

Dosen Pengampu: Ida Ayu Manik Partha Sutema, S.Farm., M.Farm., Apt

A1D Farmasi Klinis

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Tujuan Praktikum
1. Mengetahui definisi penyakit Skizofrenia.
2. Mengetahui patofisiologi penyakit Skizofrenia.
3. Mengetahui tatalaksana penyakit Skizofrenia (Farmakologi & Non-Farmakologi).
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit Skizofrenia secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.

B. Dasar Teori
1. Definisi
Skizofrenia secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu schizo
yang berarti „terpotong‟ atau „terpecah‟ dan phren yang berarti pikiran, sehingga
skizofrenia berarti pikiran yang terpecah (Veague, 2007). Arti dari kata-kata tersebut
menjelaskan tentang karakteristik utama dari gangguan skizofrenia, yaitu pemisahan
antara pikiran, emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya.
Definisi skizofrenia yang lebih mengacu kepada gejala kelainannya adalah gangguan
psikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas, penarikan diri dari interaksi sosial, juga
disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognisi (Wiramihardja, 2007).
Skizofrenia ditandai oleh delusi, halusinasi, pemikiran yang tidak teratur dan ucapan,
perilaku motorik abnormal, dan gejala negatif (Dipiro, 2015).
Skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan pola pikir
yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya
gangguan fungsi psikososial (Crismon dkk., 2008).
Skizofrenia adalah pola penyakit bidang psikiatri, merupakan sindroma klinis dari
berbagai keadaan psikopatologis yang sangat menganggu serta melibatkan proses pikir,
persepsi, emosi, gerakan dan tingkah laku. Skizofrenia merupakan gejala yang heterogen
yang mana diagnosisnya belum dapat ditegakkan memakai suatu uji laboratorium
tertentu, diagnosisnya ditegakkan berdasarkan sekumpulan gejala yang dinyatakan
karakteristik untuk skizofrenia (Ahmad Muhyi, 2011).
2. Epidemiologi Skizofrenia
Data WHO menunjukkan bahwa di tahun 2002 saja diketahui tidak kurang dari 154
juta penduduk dunia yang depresi, 25 juta skizofrenia, 91 juta mengalami gangguan mental
akibat alkohol, 15 juta gangguan mental karena penyalahgunaan obat, 50 juta epilepsi, dan
24 juta Alzheimer dan demensia lainnya. Hal yang lebih mencengangkan lagi bahwa
terdapat rata rata 877.000 orang bunuh diri tiap tahun.
Berdasarkan laporan RISKESDAS Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada
tahun 2007 prevalensi gangguan jiwa berat (Skizofrenia) di Indonesia adalah sebesar 4,6%.
Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (20,3%), yang kemudian secara
berturut turut diikuti oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darrusalam (18,5%), Sumatera Barat
(16,7%), Nusa Tenggara Barat (9,9%), Sumatera Selatan (9,2%), dan prevalensi terendah
terdapat di Maluku (0,9%) (Ahmad Muhyi, 2011).

3. Klasifikasi Skizofrenia
Menurut Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder Fourth Edition Text
Revised (DSM-IV-TR) membagi skizofrenia atas subtipe secara klinik yaitu :
a. Tipe Katatonik :
Gejala gejala yang terdapat pada skizofrenia katatonik adalah sebagai berikut :
 Stupor katatonik, yaitu pengurangan hebat dalam reaktivitas terhadap
lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakan atau aktivitas spontan
sehingga nampak seperti patung atau diam membisu (mute).
 Negativisme katatonik, yaitu suatu perlawanan yang tampaknya tanpa notif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan dirinya.
 Kekakuan (rigidity) katatonik, yaitu mempertahankan suatu sikap kaku
terhadap semua upaya yang menggerakkan dirinya.
 Kegaduhan katatonik, yaitu kegaduhan aktifitas katatonik, yang
nampaknya tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh rangsang luar.
 Sikap tubuh katatonik, yaitu sikap yang tidak wajar dan aneh.

b. Tipe Hebefrenik (disogarnized)


Gejala-gejala yang terdapat pada skizofrenia hebefrenik adalah sebagai berikut :
 Inkoherensi, yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa
maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata kata yang diucapkan tidak ada
hubungannya satu dengan yang lain.
 Alam perasaan (mood, affect) yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi.
 Perilaku dan tertawa kekanak kanakan, senyum yang menunjukkan rasa puas
diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
 Waham yang tidak jelas dan tidak sistematis sebagai satu kesatuan dan
biasanya tidak menonjol.
 Halusinasi yang terpecah pecah yang isi temanya tidak terorganisir sebagai
satu kesatuan yang tidak menonjol.
 Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan gerakan
yang aneh, pengucapan kalimat kalimat yang diulang ulang dan
kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial.

c. Tipe Paranoid
Gejala gejala yang terdapat pada skizofrenia paranoid adalah sebagai berikut :
 Waham (delusion), yang menonjol biasanya waham kejar, waham kebesaran
dan lain sebagainya.
 Halusinasi yang menonjol misalnya halusinasi auditorik, halusinasi visual
dan lain sebagainya.
 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik
secara tidak relative.

d. Tipe Tak Terinci (undifferentiated)


Adanya gambaran symptom fase aktif, tetapi tidak sesuai dengan kriteria untuk
skizofrenia katatonik, disorganized, atau paranoid. Atau semua kriteria untuk
skizofrenia katatonik, disorganized, atau paranoid terpenuhi.

e. Tipe residual
Merupakan kelanjutan dari skizofrenia, akan tetapi gejala fase aktif tidak lagi
dijumpai.
4. Patofisiologi Skizofrenia
a. Peranan Dopamin Dan Serotonin
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu
banyaknya penerimaan dopamin oleh otak. Dalam hipotesis dopamin, dinyatakan
bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh aktivitas dopamin pada jalur mesolimbik dan
mesokortis saraf dopamin. Telalu aktifnya saraf dopamin pada jalur mesolimbik
bertanggung jawab menyebabkan gejala positif, sedangkan kurangnya aktivitas
dopamin pada jalur mesokortis akan menyebabkan gejala negatif kognitif dan afektif.
Pelepasan dopamin berkaitan dengan fungsi serotonin. Penurunan aktivitas
serotonin berkaitan dengan peningkatan aktivitas dopamine. Interaksi antara
serotonin dan dopamin, khususnya reseptor 5-HT2A, dapat menjelaskan mekanisme
obat psikotik atipikal dan rendahnya potensi untuk menyebabkan efek samping
ekstrapiramidal. Selain itu, stimulasi 5-HT1A juga meningkatkan fungsi
dopaminergik (Dewi Puspita Apsari, 2018; Crismon dkk, 2008; Ereshefsky., 1999).
b. Peran Glutamat
Disfungsi sistem glutamatergik di korteks prefrontal diduga juga terlibat dalam
patofisiologi skizofrenia. Hipotesis datang dari bukti pemberian antagonis reseptor
N-metil-D-Aspartat (NMDA), seperti phencyclidine (PCP) dan ketamin, pada orang
sehat menghasilkan efek yang mirip dengan spektrum gejala dan gangguan kognitif
yang terkait dengan skizofrenia. Efek dari antagonis NMDA menyerupai baik gejala
negatif dan positif serta defisit kognitif skizofrenia (Dewi Puspita Apsari, 2018;
Ikawati, 2011).

5. Gejala Dan Tanda Skizofrenia


a. Gejala pada saat epidose akut meliputi : jauh dari realitas, halusinasi
(khususnya mendengar suara-suara), delusi (kepercayaan yang salah),
terpengaruh ide (aksi dikontrol oleh pengaruh luar), proses berpikir terputus
(tidak ada hubungan antara yang satu dengan yang lain); ambivalensi (pemikiran
kontradiktif); datar, tidak sesuai, autisme; ketidakberdayaan, agresi verbal atau
fisik; tidak mampu merawat diri, gangguan tidur dan nafsu makan.
b. Setelah episode akut teratasi, biasanya diikuti dengan kecemasan, rasa curiga
tinggi, Kurangnya motivasi, wawasan buruk, penilaian yang terganggu, menarik
diri dari lingkungan sosial, kesulitan dalam belajar dari pengalaman dan tidak
mampu merawat diri).
c. Gejala positif : delusi, tidak terorganisir saat bicara, halusinasi, behavior
disturbance (disorganized or catatonic) dan ilusi.
d. Gejala negatif : alogia (poverty of speech), avolition, flat affect, anhedonia dan
menarik diri dari lingkungan sosial.
e. Disfunsi kognitif : gangguan untuk fokus dan mengingat (Dipiro et al., 2015).

6. Diagnosa Skizofrenia
Menurut Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder, Fifth Edition
(DSM-5), kriteria diagnostik skizofrenia adalah sebagai berikut:
a. Kriteria A Jika ada dua atau lebih gejala dibawah ini, dimana gejala ini tampak secara
signifikan selama period 1 bulan (atau kurang jika dilakuan terapi yang berhasil) dan
sedikitnya satu dari gejala nomor 1,2, atau 3 :
1) Waham

2) Halusinasi

3) Bicara yang kacau

4) Perilaku katatonik atau aneh

5) Simptom negatif (emosi yang hilang, atau penarikan diri)

b. Adanya gangguan secara fungsi satu atau lebih fungsi penting, seperti bekerja,
hubungan interpersonal, atau perawatan diri.

c. Gejalanya berlangsung persisten minimal 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus mencakup
sedikitnya 1 bulan dari gejala (atau berkurang karena efek pengobatan) yang dijumpai
pada kriteria A dan juga termasuk gejala prodromal atau gejala sisa. Selama gejala
prodromal atau gejala sisa, keluhan yang nampak berupa gejala negatif atau dua atau
lebih gejala yang ada pada kriteria A (Dipiro, 2015).

7. Penatalaksanaan Terapi Skizofrenia


Tujuan tatalaksana terapi skizofrenia, yaitu (Dipiro et al., 2015) :
1. Meringankan gejala skizofrenia.
2. Menghindari efek samping obat.
3. Meningkatkan fungsi psikososial dan produktivitas.
4. Meningkatkan kepatuhan terapi dari obat yang diresepkan.
5. Melibatkan pasien dalam rencana pemilihan terapi.

Gangguan jiwa skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut
(kronis, menahun). Oleh karena itu terapi skizofrenia memerlukan waktu yang relatif
lama berbulan bulan bahkan bertahun tahun, hal ini bertujuan untuk menekan sekecil
mungkin kekambuhan (relaps) (Ahmad Muhyi, 2011).
Sebelum terapi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan status mental pasien, fisik dan
pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan keadaan keluarga, riwayat sosial, wawancara
dengan psikiatri serta pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium tersebut seperti complete blood count (CBC), elektrolit, fungsi hepar, renal,
ECG, glukosa, kolesterol, fungsi tiroid dan urin (Dipiro et al., 2015).
Adapun terapi farmakologi dan non farmakologi yang dapat diberikan kepada
pasien yakni :
a) Terapi Non Farmakologi
Ada beberapa pendekatan psikososial yang dapat digunakan untuk pengobatan
skizofrenia. Intervensi psikososial merupakan bagian dari perawatan yang komprehensif
dan dapat meningkatkan kesembuhan jika diintegrasikan dengan terapi farmakologis.
Intervensi psikososial ditujukan untuk memberikan dukungan emosional pada pasien.
Pilihan pendekatan dan intervensi psikososial didasarkan kebutuhan khusus pasien sesuai
dengan keparahan penyakitnya (Ikawati, 2011).

Salah satu dari dampak dari gangguan jiwa skizofrenia adalah terganggunya fungsi
sosial penderita. Dengan terapi psikososial ini dimaksudkan penderita agar mampu
kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri,
mampu mandiri sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Penderita
selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap menjalani terapi
psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi. Kepada penderita
skizofrenia diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan, banya
kesibukan dan banyak bergaul (Ahmad Muhyi, 2011).

Selain itu pasien juga dapat dilaukan terapi psikoreligius atau terapi keagamaan,
dimana menurut penelitian Larson, dkk (1982) terapi keagamaan atau psikoreligius
terhadap penderita skizofrenia memiliki manfaat dimana pada penelitiannya
membandingkan keberhasilan terapi terhadap dua kelompok skizofrenia. Dari kelompok
yang mendapatkan terapi keagamaan mempunyai respon gejala klinis gangguan jiwa
skizofrenia yang lebih cepat hilang, lama perawatan lebih pendek, kemampuan adaptasi
lebih cepat dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan terapi keagamaan
(Ahmad Muhyi, 2011).

b) Terapi Farmakologi
Secara umum, terapi penderita skizofrenia dibagi menjadi tiga tahap yakni:

1. Terapi Akut
Terapi akut dilakukan pada tujuh hari pertama dengan tujuan mengurangi agitasi,
agresi, ansietas, dll. Benzodiazepin biasanya digunakan dalam terapi akut.
Penggunaan benzodiazepin akan mengurangi dosis penggunaan obat antipsikotik.
2. Terapi Stabilisasi
Terapi stabilisasi dimulai pada minggu kedua atau ketiga. Terapi stabilisasi
bertujuan untuk meningkatkan sosialisasi serta perbaikan kebiasaaan dan perasaan.
Pengobatan pada tahap ini dilakukan dengan obat-obat antipsikotik.
3. Terapi Pemeliharaan
Terapi pemeliharaan bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Dosis pada terapi
pemeliharaan dapat diberikan setengah dosis akut. Klozapin merupakan
antipsikotik yang hanya digunakan apabila pasien mengalami resistensi terhadap
antipsikotik yang lain (Crismon dkk., 2008).
Gambar 7 Algoritma Terapi Pada Penyakit Skizofrenia
Tabel 7 Antipsikotik dan rentang dosis

8. Farmakologi Obat
Antipsikotik adalah obat yang digunakan untuk mengobati gejala psikotik pada
pasien skizofrenia. Obat ini dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya,
yaitu dopamine receptor antagonis (DRA) atau antipsikotika generasi 1 (APG-1) dan
serotonin-dopamine antagonis (SDA) atau antipsikotika generasi II (APG-II).1
1. Antagonis Reseptor Dopamin

Antagonis reseptor dopamin memiliki afinitas yang tinggi, obat ini efektif dalam
penanganan skizofrenia, terutama terhadap gejala positif. Antagonis reseptor
dopamine mencakup Chlorpromazine, Thioridazine, Fluphenazin, Haloperidol.

Obat antipsikotik tipikal mengurangi gejala psikotik dengan menghambat


pengikatan dopamin pada reseptor dopamin D2. Efek antipsikotik tampak berasal
dari inhibisi neurotransmisi dopaminergik pada tonjolan dopamin mesokortikal,
sedangkan efek simpang parkinson terjadi akibat blokade jaras nigrostriatal.
Inhibisi jalur tuberoindunfibular bertanggung jawab terhadap efek endokrin obat.
Obat ini mengurangi gejala psikotik akibat gangguan psikiatrik primer, seperti
skizofrenia atau keadaan medis lain.

Antagonis reseptor dopamin dianggap lebih efektif pada terapi gejala positif
skizofrenia (cth., halusinasi, waham, dan agitasi) dibandingkan terapi gejala negatif
(cth., penarikan diri secara emosional dan ambivalensi) atau disosiasi kognitif.
Antagonis reseptor dopamin itu sendiri juga dapat menimbulkan gejala negatif.

2. Antagonis Serotonin-Dopamin (SDA)

Antagonis serotonin dopamin (SDA) juga disebut sebagai generasi kedua, obat
antipsikotik atipikal atau baru dan mencakup Risperidone, Olanzapine, Quetiapine,
Clozapin, dan Ziprasidone.

Antipsikotik atipikal yang baru, Aripirazol (Abilify), dengan mekanisme kerja


yang berbeda, yaitu agonis dopamin parsial, memiliki efektifitas dan profil
keamanan yang sangat menyerupai SDA. Obat ini memperbaiki dua jenis handaya
yang menjadi ciri khas skizofrenia: 1. Gejala positif seperti halusinasi, waham,
pikiran terganggu dan agitasi serta 2. Gejala negatif seperti menarik diri, afek datar,
anhedonia, miskin pembicaraan, katatonia dan hendaya kognitif.

SDA mempunyai risiko gejala ekstrapiramidal yang lebih kecil dibandingkan


antagonis reseptor dopamin, yang menghilangkan kebutuhan penggunaan
antikolinergik dan efek simpangnya yang mengganggu. SDA juga efektif untuk
terapi gangguan mood dengan ciri psikotik atau manik dan untuk gangguan perilaku
yang terkait dengan demensia. Olanzapin diindikasikan untuk terapi jangka pendek
episode manik akut pada gangguan bipolar I. Semua agen ini dianggap lini pertama
kecuali clozapin, yang menimbulkan efek simpang hematologis yang memerlukan
pemeriksaan darah mingguan. SDA sama baiknya, atau lebih baik dibandingkan
dengan, antipsikotik tipikal (antagonis reseptor dopamin) untuk terapi gejala positif
pada skizofrenia dan jelas mengungguli antagonis reseptor dopamin untuk gejala
terapi negatif (Sadock dkk, 2010).
Farmakologi masing-masing contoh obat :

1. Haloperidol
Haloperidol merupakan obat antipsikotik generasi pertama yang bekerja dengan
cara memblokade reseptor dopamin pada reseptor pasca sinaptik neuron di otak,
khususnya di sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamin D2 reseptor
antagonists). Efek terhadap sistem otonom, efek antikolinergik dan efek samping
sedatif lemah. Haloperidol sangat efektif dalam mengobati gejala positif pada
pasien skizofrenia, seperti mendengar suara, melihat hal-hal yang sebenarnya tidak
ada dan memiliki keyakinan yang aneh (Jeffrey, K.A., 2006).
2. Chlorpromazine
Chlorpromazin merupakan antagonis reseptor dopamin dan alfa adrenergik
bloker yang tidak selektif memiliki efek sedatif kuat yang dapat mengatasi gejala.
Disinyalir mekanisme kerja chlorpromazin sebagai alfa adrenergik blokerlah yang
menimbulkan efek hipotensi orthostatik yang menghambat vasokonstriksi refleks
ketika naik ke posisi duduk atau berdiri (Ren et al.,2013).
3. Clozapin
Clozapin adalah antipsikotik generasi kedua yang termasuk kelas
dibenzodiazepin, merupakan neuroleptik atipikal dengan afinitas tinggi untuk
reseptor dopamin D4 dan afinitas rendah untuk subtipe lain, antagonis di alpha-
adrenoseptor, reseptor 5-HT2A, reseptor muscarinik, dan reseptor histamin H.
Clozapin telah terbukti memiliki khasiat yang unggul dalam mengurangi perilaku
bunuh diri dan efektif dalam mengobati gejala positif dan negatif pada pasien
dengan skizofrenia yang sulit disembuhkan. Clozapin dapat menyebabkan
hipotensi orthostatik dan efek samping sindrom metabolik berupa peningkatan
enzim Alanine Transaminase (ALT) dan Aspartate Transaminase (AST) pada hati
(Dipiro, 2009).
4. Flufenazine
Flufenazine merupakan antipsikotik golongan tipikal, yang bekerja memblok
ARAS. Karena sifatnya inilah maka kemungkinan terjadinya efek samping
ekstrapiramidal masih sangat tinggi (Tsalatsita, 2013).
5. Aripiprazole
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada
reseptor D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin
5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya
menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-
dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya
lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter dopamin
dan berikatan dengan reseptor dopamin (Amir N, 2013).
6. Trihexyphenidil
Triheksipenidil merupakan obat antimuskarinik yang berfungsi untuk
mengurangi efek samping dari antipsikotik Extrapyramidal Syndrome (Tjay,
2002). Triheksifenidil mengurangi aktivitas kolinergik dengan memblok reseptor
asetilkolin. Triheksifenidil dapat mengatasi distonia akut, akathisia dan parkinson,
(Lehman et al., 2004)

9. Evidence Based Medicine (EBM) Terkait Terapi Skizofrenia


a. Efek Samping Antipsikotik Pemberian Tunggal
Haloperidol merupakan obat antipsikotik yang termasuk dalam kelas
butirofenon sedangkan chlorpromazin termasuk dalam kelas fenotiazin. Perbedaan
pada kedua obat ini adalah terletak pada afinitas dalam mengikat reseptor dopamin
D2. Haloperidol diperkirakan 50 kali lebih kuat daripada chlorpromazin. Masing-
masing memiliki kekuatan afinitas yang berbeda dalam pengikatan reseptor D2 di
striatum yaitu 70% pada chlorpromazin dan 90% pada haloperidol. Sehingga
pengobatan dengan antipsikotik generasi pertama sering menimbulkan efek samping
berupa sindrom ekstrapiramidal yang lebih besar.
Sebuah studi menggunakan Positron Emission Tomography (PET)
menunjukkan bahwa 78-80% dari antagonis reseptor dopamin D2 menyebabkan
terjadinya sindrom ekstrapiramidal akut. Kebanyakan peneliti memperkirakan bahwa
sindrom ekstrapiramidal muncul pada sekitar 90% dari pasien yang diobati dengan
antipsikotik generasi pertama, seperti haloperidol. Efek samping terbanyak kedua
pada obat chlorpromazin adalah hipotensi orthostatik (66,7%). Selain itu, efek
antikolinergik yang terjadi baik itu pada pemakaian tunggal haloperidol maupun
chlorpromazin adalah konstipasi.
Hal tersebut berkaitan dengan mekanisme kerja dari masing-masing obat.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa jalur dopamin itu sendiri terdiri dari
nigrostriatal, mesolimbik, mesokortikal, tuberoinfundibular yang masing-masing
memiliki fungsi sendiri. Haloperidol efektif memblok reseptor di sistem limbik otak,
dopaminergik diblokir pada jalur nigrostriatal sehingga memicu terjadinya efek
samping berupa sindrom ekstrapiramidal dan gangguan gerak yang lebih dominan
terjadi. Sedangkan chlorpromazin merupakan antagonis reseptor dopamin dan alfa
adrenergik bloker yang tidak selektif. Disinyalir mekanisme kerja chlorpromazin
sebagai alfa adrenergik blokerlah yang menimbulkan efek hipotensi orthostatik yang
menghambat vasokonstriksi refleks ketika naik ke posisi duduk atau berdiri.
Clozapin merupakan satu-satunya obat antipsikotik generasi kedua yang
digunakan secara tunggal pada terapi pasien rawat inap skizofrenia. Clozapin adalah
antipsikotik generasi kedua yang termasuk kelas dibenzodiazepin, merupakan
neuroleptik atipikal dengan afinitas tinggi untuk reseptor dopamin D4 dan afinitas
rendah untuk subtipe lain, antagonis di alpha-adrenoseptor, reseptor 5-HT2A,
reseptor muscarinik, dan reseptor histamin H1. Clozapin bekerja dengan menduduki
reseptor D2 hanya sekitar 38- 47%. Bahkan dengan dosis setinggi 900 mg sehari,
kurang dari 50% dari reseptor D2 ditempati. Clozapin telah terbukti memiliki khasiat
yang unggul dalam mengurangi perilaku bunuh diri dan efektif dalam mengobati
gejala positif dan negatif pada pasien dengan skizofrenia yang sulit disembuhkan.
Clozapin dapat menyebabkan hipotensi orthostatik dan efek samping sindrom
metabolik berupa peningkatan enzim Alanine Transaminase (ALT) dan Aspartate
Transaminase (AST) pada hati (Mawar Dwi Yulianty dkk, 2017).

b. Efek Samping Pemberian Anti Psikotik Kombinasi


Penggunaan kombinasi dapat meningkatkan kedudukan reseptor D2, sehingga
hal itulah yang memicu mengalami efek samping sindrom ekstrapiramidal.
Penggunaan kombinasi antara haloperidol dan chlorpromazin menyebabkan efek
samping sindrom ekstrapiramidal (100%), hipotensi ortostatik (88,2%) dan efek
antikolinergik yang terjadi lebih banyak jika dibandingkan dengan penggunaan
tunggal masing-masing obat (64,7%). Hal ini dikarenakan haloperidol dan
chlorpromazin berkerja sebagai antagonis reseptor dopamin pada jalur nigrostriatal.
Sehingga, efek samping ekstrapiramidal dan hipotensi orthostatik menjadi efek
samping yang paling banyak muncul.
Olanzapin dan clozapin merupakan obat yang paling efektif dalam mengobati
pasien yang sulit disembuhkan tetapi juga memiliki resiko besar terhadap efek
samping pada sindrom metaboliknya. Kombinasi clozapin-risperidon juga efektif
digunakan pada pasien yang resisten karena clozapin memiliki kemampuan
menduduki reseptor D2 (16% sampai 68%) sedangkan risperidon (63% sampai 89%),
sehingga dengan penambahan risperidon diharapkan mampu meningkatkan respon
pasien terhadap clozapin. Pada tabel juga diketahui kejadian efek samping akibat
penggunaan kombinasi antara clozapin risperidon sangat sedikit jika dibandingkan
dengan kombinasi clozapin-olanzapin.

Tabel. Efek Samping Penggunaan Obat Antipsikotik Kombinasi


Kombinasi antipsikotik yang terakhir adalah kombinasi antipsikotik antara
generasi pertama dan generasi kedua (AGP-AGK). Kombinasi ini diberikan atas
dasar kondisi pasien dengan gejala yang bervariasi dominan. Terapi kombinasi dapat
menguntungkan karena bekerja secara sinergis. Namun, hal tersebut kemungkinan
menimbulkan peningkatan efek samping. Kombinasi obat yang paling banyak
memicu resiko efek samping adalah kombinasi antara haloperidol-clozapin;
chlorpromazin-haloperidolclozapin; chlorpromazin-risperidon-clozapin dan
haloperidol-risperidon-clozapin. Keseluruhan efek samping yang terjadi pada setiap
penggunaan obat antipsikotik kombinasi ini, yang paling sering muncul adalah
sindrom ekstrapiramidal, efek antikolinergik dan sedasi.

C. STUDI KASUS
a. Alat
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minum Obat
4. Kalkulator Scientific
5. Laptop Dan Koneksi
b. Bahan
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH)
2. Data Nilai Normal Laboratorium
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis)

c. Studi Kasus
IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. An
Umur : 29 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat / TTL : Tanjung Pinang, 23 Mei 1986
Status Perkawinan : Belum Menikah
Jumlah Anak :-
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Tidak Ada
Suku Bangsa : Tionghoa
Agama : Budha
Alamat Sekarang : Jl. Sei Jang
Cara Pemeriksaan : Pemeriksaan Datang Ke Rumah Nn. An
Tanggal Pemeriksaan : 8 Februari 2015
Tempat Pemeriksaan : Rumah Nn. An
RIWAYAT PSIKIATRI
a. Keluhan Utama
Sering mengamuk dan marah-marah kembali kurang lebih 1 minggu terakhir dan masih
dirasakan sampai sekarang.
b. Riwayat Gangguan Dahulu
 Autoanamnesis
Tidak dapat menjawab pertanyaan. namun sempat mengaku melihat kerasakti.
 Alloanamnesis
Menurut pernyataan ibunya, Nn.AN lahir normal tidak ada gangguan. riwayat
trauma kepala dan sakit berkepanjangan disangkal oleh keluarga. Dari riwayat
keluarga nenek Nn.AN (dari ibu) mempunyai gangguan seperti Nn.AN (berdiam
diri dan tidak mau tau). Nn.AN mengalami perubahan sejak SD namun ibu pasien
membawa ke dukun sampai umur 19 tahun dan berkurang sedikit, umur 19 tahun
terkena serangan kembali dan dibawa ke dokter. Saat ini kegiatan Nn.AN hanya
berdiam diri dirumah , menonton tv, mandi (tanpa bantuan keluarga) dan makan.
Ibu Nn.AN mengaku pada ada awal terkena serangan dan sebelum pengobatan.
Nn.AN sering berdiam diri tidak mau bicara, tertawa sendiri, dan kadang berbicara
sendiri.
c. Riwayat Gangguan Sebelumnya
 Riwayat Gangguan Psikiatrik Sebelumnya
Nn. AN mengalami gejala- gejala seperti ini sudah dari SD (berobat ke dukun)
dan berobat ke dokter setelah berumur kurang lebih 19 tahun.
 Riwayat Gangguan Medis
pasien tidak dirawat dirumah sakit akibat penyakit lain.
 Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif
Pasien tidak pernah menggunakan zat- zat psikoaktif dan alcohol.

d. Riwayat Kehidupan Pribadi


 Riwayat Masa Anak Anak
Riwayat perkembangan dan pertumbuhan pasien normal. Pasien dirawat oleh
orang tuanya sendiri, pergaulan pasien wajar, hubungan sosial baik dan tidak
mempunyai musuh, pasien bersekolah sampai tamat SD.
 Riwayat Masa Remaja
i. Riwayat Pendidikan : Pendidikan terakhir pasin SD
ii. Riwayat Pekerjaan : Pasien tidak pernah bekerja
iii. Kehidupan Beragama : Pasien hanya beribadah dirumah dan tidak
dibawa ke tempat ibadah
iv. Aktifitas Sosial : Pasien kurang bersosialisai dan sering menyendiri
v. Riwayat Pelanggaran Hukum : Pasien tidak memiliki pelanggaran
hukum
vi. Situasi Kehidupan Sekarang : Pasien tinggal bersama ibu, ayah, dan
kakak pertamanya
e. Pemeriksaan Status Mental
1. Deskripsi Umum
 Penampilan
Penderita adalah seorang perempuan berusia 29 tahun, pertumbuhan tampak sesuai
dengan usia, penampilan bersih tidak rapi, kulit sawo matang, rambut hitam lurus
namun tidak disisir rapi. pasien menggunakan baju kaos kuning. ekspresi wajah
pasien datar tanpa ekspresi, tatapan kosong saat dianamnesa.
 Perilaku Dan Aktifitas Psikomotor
Selama wawancara pasien duduk tenang, penderita tidak dapat menjawab
pertanyaan
 Sikap terhadap pemeriksaan
Pasien tidak kooperatif, pasien tidak dapat menjawab pernyataan dari pemeriksa
2. Mood Dan Afek
 Mood
mood iritabel suasana perasaan yg sensitive, mudah tersinggung, mudah marah,
dan seringkali bereaksi berlebihan terhadap situasi yang tidak disenanginya )
 Anhedonia
hilangnya minat terhadap dan menarik dirinya dari semua aktifitas rutin dan
menyenangkan
 Afek
afek terbatas (restricted or constricted affect) penurunan intensitas irama perasaan
yang kurang parah dari afek yang tumpul tapi jelas

KARAKTERISTIK BICARA

Selama wawancara pasien tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik dan selalu
menjawab tidak tau. Artikulasi jelas, volume kuat, dan intonasi jelas, kontak mata dengan
pandangan kosong tanpa ekspresi.

 Gangguan Persepsi
Gejala sebelumnya memperlihatkan pasien mengalami halusinasi visual (sering
meringis, tertawa-tawa sendiri, dan kadang berbicara)
PIKIRAN
 Proses Pikir
alogia : pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disengaja (miskin
pembicaraan) atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi sangat sedikit ide
yang disamapaikan (miskin isi pembicaraan).
 Isi Pikir
tilikan : kebanyakan pasien skizofrenia mengalami pengurangan tilikan yaitu
pasien tidak menyadari penyakitnya serta kebutuhannya terhadap
pengobatan, meskipun gangguan yang ada pada dirinya dapat dilihat oleh orang
lain.
KESADARAN DAN FUNGSI KOGNITIF
 Tingkat kesadaran : compos mentis
 Orientasi : orientasi waktu, tempat dan orang baik
 Daya konsentrasi : menurun
 Perhatian : saat wawancara pasien memusatkan perhatinya, namun dengan tatapan
kosong
 Daya ingat : daya ingat jangka panjang : tidak terganggu, daya ingat jangka pendek
: tidak terganggu, daya ingat segera : tidak terganggu
 Daya nilai : normal
 Tilikan : derajat tilikan derajat 2, pasien menyadari dirinya sakit namun pasien
seperti tidak mau mengakuinya karena tidak mau dikatakan “orang gila”

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : tampak baik

Kesadaran : compos mentis

CGS : E4, M6, V5

Tanda Vital : TD 130/90

Nadi : 92 kali/menit

Respirasi : 20 kali/menit

Suhu : 36,6 C

Kepala : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-

Leher : dbn

Mulut : higienitas kurang

Thorax : dbn

Abdomen : dbn

Ekstremitas : Tremor (-/-), edema (-) , akral hangat


IKTIASAR PENEMUAN BERMAKNA
Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien Nn.AN berusia 29 tahun, pendidikan terakhir
pasien adalah SD, pasien adalah anak terakhir dari ketiga bersaudara. Saat ini kegiatan
pasien dirumah adalah berdiam diri, menonton tv, makan, mandi dan belum bias membantu
ibunya.

Pada tanggal 8 februari 2015 dilakukan pemeriksaan dengan melakukan kunjungan


dirumah pasien, dengan keluhan utama pasien sekarang masih sering mengamuk dan
marah-marah. Pasien mengalami gangguan dengan keluhan berupa berdiam diri tidak mau
bicara, sering tertawa tawa sendiri, kadang bicara sendiri mulai SD dan berobat ke dukun
sampai berumur 19 tahun. Lalu setelah berumur 19 tahun ibu pasien membawa pasien ke
dokter. Keluarga pasien mempunyai riwayat serupa yaitu nenek dari ibu pasien. Ibu pasien
mengaku nenek pasien memiliki sifat serupa yaitu sering berdiam diri dan tidak mau tau
terhadap lingkungan sekitarnya. Pada saat pemeriksaan pasien tidak kooperatif, tidak
didapatkan waham dan halusinasi ,namun pasien sempat mengatakan melihat kerasakti
(namun ketika ditanya kembali bilang tidak). Orientasi waktu dan tempat baik. Jenis tilikan
pada pasien ini adalah derajat dua.

DIAGNOSIS MULTIAKSIAL

o Aksis I : Skizofrenia Paranoid (F20.0)


o Aksis II : untuk saat ini diagnosis aksis II tidak ditemukan pada pasien ini.
o Aksis III : tidak ada kelainan
o Aksis IV : menarik diri (berdiam diri)
o Aksis V: GAF 60-51 gejala sedang (moderate), disabilitas sedang
BAB II

PEMBAHASAN

PHARMACEUTICAL CARE

1. Patient Profil

Ny. An
Jenis Kelamin : Perempuan Tgl. MRS :-
Usia : 29 tahun Tgl. KRS :-
Tinggi Badan : Normal
Berat Badan : Normal

Presenting Complaint : Pasien sering mengamuk dan marah-marah kembali


kurang dari 1 minggu terakhir dan dirasakan sampai sekarang. Pasien mengalami
gangguan dengan keluhan berupa berdiam diri tidak mau bicara, sering tertawa
tawa sendiri, kadang bicara sendiri mulai SD.

Diagnosa kerja : Skizofernia


Diagnosa banding:

Drug Allergies : -

Relevant Past Medical History : Riwayat gangguan psikiatrik


FIR (Further Information Required)

No Further Information Required Alasan/Jawaban

1 Apa terapi obat sebelumnya untuk Haloperidol 2 mg 2 x 1


pasien? tablet

2 Penyakit penyerta lainnya? Sirosis hati dengan score


child pugh grade A
PHARMACEUTICAL PROBLEM
Subjective (symptom)
Pasien sering mengamuk dan marah-marah kembali kurang dari 1 minggu terakhir dan dirasakan
sampai sekarang. Pasien mengalami gangguan dengan keluhan berupa berdiam diri tidak mau
bicara, sering tertawa tawa sendiri, kadang bicara sendiri mulai SD.

Objective (signs)
1) Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4,M6,V5
Tanda vital : TD 130/90
Nadi : 92 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,6˚C
Kepala : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Leher : dbn
Mulut : Hygienis kurang
Thorak : dbn
Abdomen : dbn
Ektremitas : Tremor (-/-), edema (-) , akral hangat

2) Pemeriksaan Status Mentalis


Deskripsi Umum
• Penampilan
Penderita adalah seorang perempuan berusia 29 tahun, pertumbuhan tampak
sesuai dengan usia, penampilan bersih tidak rapi, kulit sawo matang, rambut
hitam lurus namun tidak disisir rapi. pasien menggunakan baju kaos kuning.
ekspresi wajah pasien datar tanpa ekspresi, tatapan kosong saat dianamnesa.
• Perilaku dan aktifitas psikomotor
Selama wawancara pasien duduk tenang, penderita tidak dapat menjawab
pertanyaan
• Sikap terhadap pemeriksaan
Pasien tidak kooperatif, pasien tidak dapat menjawab pernyataan dari pemeriksa
Mood dan Afek
• Mood : mood iritabel suasana perasaan yg sensitive, mudah tersinggung, mudah
marah, dan seringkali bereaksi berlebihan terhadap situasi yang tidak
disenanginya )
• Anhedonia hilangnya minat terhadap dan menarik dirinya dari semua aktifitas
rutin dan menyenangkan
• Afek : afek terbatas (restricted or constricted affect) penurunan intensitas irama
perasaan yang kurang parah dari afek yang tumpul tapi jelas
Karakteristik Bicara
Selama wawancara pasien tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik dan selalu
menjawab tidak tau. Artikulasi jelas, volume kuat, dan intonasi jelas, kontak mata
dengan pandangan kosong tanpa ekspresi.
Gangguan persepsi
Gejala sebelumnya memperlihatkan pasien mengalami halusinasi visual (sering
meringis, tertawa-tawa sendiri, dan kadang berbicara.
Pikirin
• Proses pikir : alogia : pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disengaja
(miskin pembicaraan) atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi sangat
sedikit ide yang disamapaikan (miskin isi pembicaraan).
• Isi pikir : tilikan : kebanyakan pasien skizofrenia mengalami pengurangan tilikan
yaitu pasien tidak menyadari penyakitnya serta kebutuhannya terhadap
pengobatan, meskipun gangguan yang ada pada dirinya dapat dilihat oleh orang
lain.
Kesadaran dan Fungsi Kognitif
• Tingkat kesadaran : compos mentis
• Orientasi : orientasi waktu, tempat dan orang baik
• Daya konsentrasi : menurun
• Perhatian : saat wawancara pasien memusatkan perhatinya, namun dengan
tatapan kosong
• Daya ingat : daya ingat jangka panjang : tidak terganggu, daya ingat jangka
pendek :tidak terganggu, daya ingat segera : tidak terganggu
• Daya nilai : normal

Tilikan : derajat tilikan derajat 2, pasien menyadari dirinya sakit namun pasien seperti tidak mau
mengakuinya karena tidak mau dikatakan “orang.

Assesment (with evidence)


• Definisi
Skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan pola pikir yang
tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya
gangguan fungsi psikososial (Crismon dkk., 2008). Pada kasus pasien mengalami
skizofrenia tipe paranoid (halusinasi, curiga) dan juga flat affect datar dan tidak ada
ekspresi. Pasien juga sempat mengatakan melihat kerasakti, menjauh dari interaksi sosial
(pasien kurang bersosialisasi dan pasien sering menyendiri di rumah).
• Etiologi
Salah satu faktor penyebab terjadinya skizofrenia adalah faktor genetik. Pada kasus
pasien mempunyai riwayat serupa dengan keluarga yaitu nenek dari ibu pasien.
Gangguan yang paling sering terlihat yaitu positif.
• Patofisiologi
Skizofrenia disebabkan oleh penerimaan dopamin yang berlebihan oleh otak.
Skizofrenia dipengaruhi oleh aktivitas dopamin pada jalur mesolimbik dan mesokortis
saraf dopamin. Terlalu aktifnya saraf dopamin pada jalur mesolimbik bertanggung jawab
menyebabkan gejala positif, sedangkan kurangnya aktivitas dopamin pada jalur
mesokortis akan menyebabkan gejala negatif kognitif dan afektif (Crismon dkk., 2008)
Pada kasus peran dopamin  tingginya aktivitas dopamin pada jalur mesolimbik
sehingga pasien memperlihatkan gejala positif. Pasien berhalusinasi sempat melihat
kerasakti. Gejala lain dialami pasien seperti menyendiri dirumah dan kurang
bersosialisasi dengan lingkungan sosial.
Berdasarkan diagnosis multiaksial dari dokter menunjukan hasil sebagai berikut :
• Aksis I : Skizofrenia Paranoid (F20.0)
• Aksis II : untuk saat ini diagnosis aksis II tidak ditemukan pada pasien ini.
• Aksis III : tidak ada kelainan
• Aksis IV : menarik diri (berdiam diri)
• Aksis V: GAF 60-51 gejala sedang (moderate), disabilitas sedang

• Dari hasil FIR yang dilakukan, pasien sebelumnya mendapatkan terapi obat Haloperidol
2 mg 2x1 tablet dan didiagnosa mengalami sirosis hati dengan nilai child pugh score
grade A. Hal ini yang menunjukan bahwa fungsi hati masih normal (Dipiro, 2009).
Pasien sudah cukup lama diterapi dengan Haloperidol namun masih mengalami
kekambuhan. Pasien kemungkinan mengalami resisten terhadap Haloperidol. Menurut
Medscape Haloperidol berikatan dengan protein 95%. Haloperidol merupakan
antipsikotik golongan tipikal dan memiliki resiko efek samping ekstrapiramidal yang
lebih tinggi dibandingkan dengan antipsikotik golongan atipikal. Untuk itu kami
merekomendasikan pemberian Aripiprazole (Abilify 10 mg 1x1 tablet sesudah makan.
Dari hasil penelitian Aripiprazole memiliki efektivitas yang sama unggulnya dengan
haloperidol dengan tolerabilitas yang lebih baik dan efek samping ekstrapiramidal yang
lebih rendah dibandingkan dengan Haloperidol.

• Tahapan Terapi Akut dengan Aripiprazole 1m mg 1 x 1 tablet sesudah makan dilakukan


selama 7 hari kemudian dilanjutkan ke tahapan terapi berikutnya yaitu terapi stabilisasi
dan pemeliharaan apabila memberikan efek yang baik. Terapi Non Farmakologi dapat
diberikan Intervensi psikososial kepada pasien dengan tujuan memberikan dukungan
emosional kepada pasien. Psikoedukasi dengan memberikan edukasi kepada keluarga
pasien terkait penyakit Skizofrenia dan memperbanyak pengetahuan mereka tentang
bagaimana gejala dan terapi yang diberikan dan rencana pemulihan sehingga dapat
memonitor gejala dan tanda kekambuhan yang mungkin timbul. Selain itu terapi
dukungan keluarga juga dilakukan dengan memberikan perhatian lebih kepada pasien
karen pasien sering menyendiri.
Plan (including primary care implications)
Terapi Farmakologi
NO Terapi Dosis Indikasi

1 Aripiprazole 10 mg 1 x 1 tablet sesudah Sizofrenia


makan

Terapi Non Farmakologi


1. Intervensi Psikososial dengan tujuan memberikan dukungan emosional kepada pasien.
2. Psikoedukasi dengan memberikan Edukasi kepada keluarga pasien terkait penyakit
Skizofrenia.
3. Terapi dukungan keluarga dengan memberikan perhatian lebih kepada pasien karen
pasien sering menyendiri.

Monitoring
1. Efektivitas
- Monitoring efektivitas aripiprazole dilihat dari kekambuhan penyakit skizofrenia.

2. Efek Samping Obat


Aripiprazole : Sakit kepala 27%, Agitasi 19 %, Insomnia 18%, Ansietas 17 %, Nause
and vomiting 11-15%, Konstipasi 10-11%.

EBM Terkait Terapi


Study Pasien
Intervensi & Outcome Kesimpulan
Komperator
Randomized N=861, Aripiprazole VS P=0,0001 Aripiprazole
double Aripripra Haloperidol menyatakan memiliki
blind, zole diberikan bahwa efektivitas yang
Siegfried N= 433 selama52 minggu Aripiprazole sama unggulnya
Kasper,dkk. haloperi mempunyai efek dengan
2003 dol extrapiramidal Haloperidol
lebih rendah dengan
daripada tolerabilitas
haloperidol, serta yang lebih baik
Aripiprazole dan mempunyai
memiliki efek samping
efektivitas yang lebih rendah
sama unggulnya terutama pada
dengan efek
Haloperidol ektrapiramidal.
dengan
tolerabilitas yang
lebih baik dalam
mengobati
Skizofrenia dan
lebih
menguntungkan
daripada
haloperidol.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Skizofrenia adalah penyakit gangguan psikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas,
penarikan diri dari interaksi sosial, juga disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognisi.
2. Patofisiologi skizofrenia melibatkan peran Dopamin, Seretonin dan Glutamat.
3. Tujuan tatalaksana terapi penyakit parkinson yaitu Meringankan gejala skizofrenia,
Menghindari efek samping obat, Meningkatkan fungsi psikososial dan produktivitas,
Meningkatkan kepatuhan terapi dari obat yang diresepkan, Melibatkan pasien dalam
rencana pemilihan terapi.
4. Pada kasus terkait penyakit Skizofrenia, pasien diberikan terapi :
Terapi Non Farmakologi:
1. Intervensi Psikososial dengan tujuan memberikan dukungan emosional kepada pasien.
2. Psikoedukasi dengan memberikan Edukasi kepada keluarga pasien terkait penyakit
Skizofrenia.
3. Terapi dukungan keluarga dengan memberikan perhatian lebih kepada pasien karen
pasien sering menyendiri.
Terapi Farmakologi
NO Terapi Dosis Indikasi

1 Aripiprazole 10 mg 1 x 1 tablet sesudah Sizofrenia


makan
DAFTAR PUSTAKA

Amir N, 2013. Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi kedua. Jakarta
: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia

Crismon, M.L., Argo, T.R., Buckley, P.F., 2008, Schizophrenia, in Dipiro : Pharmachoterapy a
Pathophysiological Approach, 7th ed, McGraw Hill, New York.

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke,G.R., Wells, B.G & Posey, L.M. , 2009.
Pharmacotherapy A pathophysiological approach seventh edition, The McGraw-Hill
Companies, Inc United States.

Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and Dipiro C. V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris

Halgin, R. P. dan Susan K. W. 1997. Abnormal Psychology: The Human Experience of


Psychological Disorder. Dubuque: Times Mirror Higher Education Group, Inc.

Ikawati, Z., 2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat, 249-282 Bursa Ilmu, Yogyakarta.

Jeffrey, K.A. (2006). Meyler's Side Effect of Drugs 15th Edition. Oxford, United Kingdom.

Kasper, S., Lerman, M.N., McQuade Robert D., Saha A., Carson William H., Ali Mirza. 2003.
Efficacy and safety of aripiprazole vs. haloperidol for long-term maintenance treatment
following acute relapse of schizophrenia.International Journal of Neuropsychopharmacology
(2003), 6, 325–337.

Ren, Y., H. Wang., & L. Xiao. 2013. Improving Myelin Oligodendrocyte- Related Dysfunction:
A New Mechanism Of Antipsychotics In The Treatment Of Schizophrenia. International
Journal of Neuropsychopharmacology. 16: 691–700.

Sadock, Benjamin J. Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock, 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi
2. Jakarta:EGC. P.147-168.

Veague, H. B. 2007. Schizophrenia. New York: Chelsea House.


Wiramihardja, S.A. 2007. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai