Anda di halaman 1dari 7

F.

Fiqoh Mu’tazilah
1. Sejarah Timbulnya
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala, artinya menyisihkan diri. Berbeda – beda
pendapat orang tentang sebab – musabab timbulnya fiqoh Mu’tazilah itu.
Ada seorang ulama tabi’in yang terkenal bernama Imam Hasan al-Basri (w, 110H) yang
menyelenggarakan majelis pengejarannya di masjid kota Basrah. Di antara muridnya yang
terbilang pandai ialah Washil bin Atho’ (w. 131H). Suatu hari Imam Hasan al-Basri ini
menerangkan bahwa seorang Islam yang telah beriman kepada Allah Swt. Dan Rasulnya,
kemudian orang itu melakukan dosa besar, lalu orang itu meninggal sebelum bertobat, menurut
Imam Hasan al-Basri orang itu tetap Muslim. Hanya saja Muslim yang durhaka (mashiyat). Di
akhirat kelak, dia dimasukkan kedalam neraka untuk sementara waktu guna menerima hukuman
atas perbuatan dosanya itu. Sampai batas tertentu sesudah menjalani hukuman itu dia
dikeluarkan dari nereka, kemudian dimasukkan kedalam surga.
Washil bin Atho’ setelah menyatakan berbeda pendirian dengan gurunya, lalu keluar dari
majelis gurunya dan kemudian mengadakan majelis sendiri di suatu sudut masjid Basrah itu.
Karena itu majelisnya dinamakan kaum Mu’tazilah, sebab memisahkan atau mengasihkan diri
dari jamaah majelis gurunya, yaitu Imam Hasan a;-Basri. Washil diikuti oleh seorang temannya
bernama Amr bin ‘Ubaid (w. 144H). Sewaktu timbulnya gerakan Mu’tazilah, kekuasaan
dipegang oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (101-125H) dari Bani Ummayah.
Firqoh Mu’tazilah ini mempunyai dua pusat pergerakan, yaitu:
a. Di Basrah; Pada permulaan abad 11 H, dipmpin oleh Washil bin Atho dan Amr bin
Ubaid, diperkuat oleh murid – muridnya Utsman at-Tahwil Hafish bin Salim, Hasan
bin Zakwan, Khalik bin Sofwan, dan Ibrahim bin Yahya al- Madani.
Pada permulaan abad III H, Mu’tazilah yang berpusat di Basrah dipimpin oleh Abu
Hudzail al-allaf (w. 235H), Ibrahim bin Sayar an- Nazham (w. 221H), Abu Basyar al-
Marisi (w. 218H), Utsman al-Jahiz (w. 225H), Ibnu al-Mu’ammar (w. 210H), dan Abu
Ali al-Juba’I (w. 303H).
b. Di Baghdad; dipimpin oleh Basyar bin al-Mutamar, dibantu oleh Abu Musa al-Murdan,
Ahmad bin Abi Dawud (w. 240H), Ja’far bin Mubasysyar (w. 234H), dan Ja’far bin
Harib al-Hamdani (w. 235H).
Ajaran – ajaran Muta’zilah mendapat dukungan dan penganut dari penguasa dari Bani
Umayah, seperti Khalifah Jazid bin Walid (125-126H).
Sedangkan dari Bani Abbasiyah kahlifah – kahlifah mendukungnya yaitu;
a. Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (198-218H).
b. Khalifah al-Mu’tashim bin Harun al-Rasyid (218-277H).
c. Al- Watsiq bin al-Mu’tashim (277-232H).
Dari dukungan dan simpati dari keempat kahlifah tersebut, maka paham-paham
M’tazilah menjadi tersebar luas. Ulama – ulamanya yang terkenal yaitu ;
a. Utsman al-Jahis (w. 255H), mengarang kitab al-Hiwan.
b. Syarif Radhi (w. 406H), mengarang kitab Majaz Al-Quran.
c. Abdul Jabbar bin Ahmad, lebih dikenal dengan Qadhil Qudhot, mengarang
kitab Syarah Ushul al-Khamsah.
d. Zamakhsyari (w. 528H), mengarang kitab Tafsir al-Khasysyaf
e. Ibnu Abil Haddad (w. 655H), mengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah.
Sejak Islam tersebar luas, banyaklah bangsa-bangsa yang memeluk Islam.
Tetapi tidak semua pemeluk yang baru masuk Islam itu dengan ikhlas. Mereka
itu sebenernya musuh Islam dalam selimut.
Mu’tazilah ini ternyata banyak terpengaruh oleh unsur – unsur luar. Antara lain
dari kalangan orang-orang Yahudi, sehingga mereka berpendapat bahwa Al-
Quran itu Hadist atau Khalqul Qur’an. Pengaruh yang sama dating dari orang
– orang Kristen, seperti Saint John of Damascus (676-749 M) yang lebih
dikenal dengan sebutan Ibnu Sarjun Tsabit bin Qurrah (836-901M) dan Kusto
bin Lucas (820-912M).
2. Ajarannya
Sekalipun Firqoh Mu’tazilah terpecah-belah menjadi 22 aliran, namun aliran-aliran
tersebut masih mempunyai lima prinsip ajaran yang mereka sepakati, yaitu:1

1
Ibid, hal, 21-22.
‘’Adapun prinsip-prinsip umum ajaran Mu’tazilah yang hampir-hampir disepakati oleh
ahli-ahli sejarah itu ada lima pokok ajaran. Yaitu (1) tauhid, (2) Keadilan, (3) Janji dan
ancaman, (4) tempat di antara dua tempat, (5) amar makruf nahi munkar.’’
Al-Khayyath, tokoh Mu’tazilah pada abad 111H menegaskan:2

‘’Seorang tidak berhak dinamakan Mu’tazilah, sehingga bersatu padanya lima pokok
ajaran. Yaitu tauhid, keadilan, janji dan ancaman, tempat di antara dua tempat dana mar
makruf nahi munkar. Apabila padanya telah sempurna ke lima ajaran ini, dinamakan
Mu’tazilah.
1) Tauhid
Tauhid adalah dasar ajaran Islam yang pertama dan utama. Sebenernya ajaran tauhid
ini bukannya monopoli Mu’tazilah saja, tetapi ia menjadi milik setiap orang Islam. Hanya
saja Mu’tazilah mempunyai tafsir yang khusus sedimikan rupa dan mereka
mempertahankannya sehingga mereka menamakan dirinya sebagai Ahlul ‘ Adli Wat
Tauhid.
Kaum Mu’tazilah memakai istilah “ Tauhid “ tersebut kepada apa yang telah
dibayangkan di atas tadi; yaitu bahwa kaum Mu’tazilah meniadakan sifat-sifat Tuhan.
Mereka menganut pendapat yang meniadakan sifat-sifat yang Qadim itu sama sekali.
Sebab, kalau seadainya memang ada sifat-sifat yang Qadim, tentulah aka nada beberapa
yang Qadim. Dan ini adalah kepercayaan sirik!.
2) Keadilan
Keadilan berarti meletakan tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatannya.
Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan, manusia bisa
mengajarkan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, karena
kekuasaan yang dijadikan Tuhan pada diri manusia. Tuhan tidak memerintah kecuali
apa yang dilarang-Nya. Tuhan hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang
diperintahkan-Nya dan berlepas diri dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya.
Dengan dasar keadilan ini, Mu’tazilah menolak golongan Jabariyah yang mengatakan

2
Ibid, hal, 52.
bahwa manusia dalam segala perbuatannya tidak mempunyai kebebasan bahkan
manusia dalam keterpaksaan.
Kaum Mu’tazilah menggunakan istilah keadilan tersebut kepada apa yang telah
disebutkan di atas tadi, yaitu manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya
sendiri, yang baik ataupun yang jelek. Dan karenanya ia berhak mendapatkan pahala
dan siksa. Dan Allah Swt, sama sekali bersih dari hal-hal yang jelek, aniaya, dan
perbuatan yang dipandang kekafiran dan kemaksiatan. Sebab, kalau seandainya Allah
Swt, memang menciptakan kezaliman berarti bahwa ia adalah zalim. Mereka sepakat
bahwa Allah Ta’ala hanyalah berbuat yang patut dan yang baik.
3) Janji dan Ancaman
Tuhan berjanji akan memberi pahala dan mengancam akan memberikan siksaan, pasti
dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik
maka dibalas dengan kebaikan dan sebaliknya mereka yang berbuat kejahatan akan
dibalas dengan kejahatan pula. Tidak ada ampunan terhadap dosa besar tanpa tobat,
sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik yang tidak menerima pahala.
Mereka mengatakan.3

“Kemudian mereka menghubungkan dengan ikatan yang kuat antara pahala dan
siksaan itu dengan amal perbuatan. Sebagian Mu’tazilah keterlaluan pendiriannya,
mengatakan; Wajib bagi Allah Swt, memberi pahala bagi orang yang taat dan
menyiksa orang yang berdosa besar. Orang yang berdosa besar apabila meniggal dan
tidak bertaubat, Allah Swt, tidak boleh mengampuninya, karena Allah Swt, telah
mengancam siksaan atas orang yang berdosa besar. Kalau seandainya tak
menyiksanya, berarti Allah Swt, mengingkari ancaman-Nya. Taat kepada-Nya adalah
perintah-Nya dan bermaksiatan adalah larangan-Nya.
4) Tempat di Antara Dua Tempat
Washil bin Atho’ mengatakan bahwa orang yang berdosa besar selain musyrik itu tidak
Mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq. Fasiq terletak antara iman dan kafir.

3
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada), hal, 171.
“Sesungguh maksiat yang dilakukan orang itu terbagi menjadi maksiat kecil (syaqir)
dan maksiat besar (kabair). Mereka berserlisih dalam mendefinisikan dosa kecil dan
besar. Pendapatnya yang paling masyhur itu sesuatu yang terdapat padanya ancaman,
sedangkan dosa kecil itu sesuatu yang tidak terdapat padanya ancaman. Bagi mereka,
setelah beberapa kali pembahasan, benarkah himpunan dosa-dosa kecil itu sama
dengan dosa besar atau tidak? Apakah diampuni dosa kecil itu bagi orang yang tidak
melakukan dosa besar? Dan lain-lain. Kemudian mereka berpendapat: Sesungguhnya
dosa besar sebagaiannya sampai ke batas khufur. Barangsiapa yang menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya atau memperbolehkan sesuatu yang diharamkan atau
mendustakan firman-Nya dia benar-benar khufur. Dan ada dosa yang tingkatannya
berada dibawah kekafiran. Dosa besar itu disebut dengan fasik. Kefasikan ini berada
di antara dua tempat, tidak khufur dan tidak pula beriman. Orang yang fasik yang
bukan Mukmin bukan pula kafir, tetapi dia berada pada seuatu tempat di antara dua
tempat.”
5) Amar Makruf Nahi Munkar
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan lapangan fiqih daripada
lapangan tauhid. Didalam Al-Quran banyak ayat yang menerangkan tentang masalah
Amar Makruf Nahi Munkar ini, antara lain pada surat Al-Imran ayat 104 dan surat
Luqman ayat 17. Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap orang Islam untuk menyiarkan
agama dan mengambil bagian dari tugas ini. Sejarah menunjukan betapa gigihnya
orang-orang Mu’tazilah itu mempertahankan Islam, memberantas kesesatan yang
tersebar luas pada permulaan khalifah Bani Abbasiyah, yang hendak menghancurkan
kebeneran Islam, sebagaimana yang pernah dialami golongan Ahli Hadis dalam
masalah Khalqul Qur’an Diterangkan:4

“Pendapat yang lain menyatakan bahwa sesungguhnya menghunus pedang dalam


urusan amar makruf nahi munkar itu wajib, apabila tidak mungkin menolak
kemunkaran kecuali dengan cara itu. Barangsiapa berpendirian benar, wajib atasnya
memperjuangkannya. Apabila merealisasikan tujuan ini dengan cara lemah lembut

4
Ibid, hal, 64.
dan lisan dipandang bisa menghentikan kemungkaran, maka itu sudah cukup, dan bila
tidak bisa, maka harus mengunakan pedang.
Adapun ciri-ciri Mutazilah ialah suka berdebat, terutama dihadapan umum. Mereka
yakin akan kekuatan akal pikiran, karena itulah suka berdebat dengan siapa saja yang
berbeda pendapat dengannya.
3. Perkembangannya
Sekitar dua abad lamanya ajaran-ajaran Mu’tazilah ini berpengaruh karena diikuti dan
didukung oleh penguasa waktu itu. Masalah-masalah yang diperdebatkan antara lain:
a. Sifat-sifat Allah itu ada atau tidak.
b. Baik dan buruk itu ditetapkan berdasarkan syara’ atau akal pikiran.
c. Orang yang berdosa besar akan kekal di neraka atau tidak.
d. Al-Quran itu makhuk atau bukan.
e. Perbuatan manusia itu dijadikannya sendiri atau dijadikan oleh Allah Swt.
f. Allah Swt, itu bisa dilihat di akhirat nanti atau tidak.
g. Alam itu qadim atau hadis.
h. Allah Swt, wajib membuat yang baik (shilah) dan yang lebih baik (ashlah).
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah Swt. itu tidak mempunyai sifat. Sebab
apabila dzat Allah Swt. itu qadim dan sifat Allah Swt. juga qadim maka akan
menimbulkan beberapa yang qadim (ta’addud al-qudama). Hal ini mustahi bagi-Nya.
Yang ada bagi Allah Swt. adalah dzat atau ta’alluq-Nya sehingga terciptalah alam
semesta ini, kalau sifat itu di anggap ada, hal itu hanyalah amrun I’tabary. Artinya
sesuatu yang dianggapnya ada. Menurut Mu’tazilah, hal ini lebih men-tanzih-kan
Allah.
Mu’tazilah berpendapat bahwa pengertian baik dan buruk itu adalah didasarkan atas
akal pikirannya sendiri. Karena sesuatu itu lebih baik, maka Allah Swt.
memerintahkannya. Dan karena sesuatu itu adalah buruk, maka Allah Swt. melarang
mengerjakannya. Untuk mengetahui perbedaan baik dan buruk, bagi manusia diberi
akal dan pikiran.5

5
Asy Syahrastani, Al-Milal, Juz I, hal, 45.
“Mereka sepakat bahwa prinsip makrifat kepada Allah, mensyukuri nikmat adalah
wajib sekalipun belum datang agama. Pengetahuan tentang baik dan buruk adalah
didasarkan pada akalnya. Demikian juga mengerjakan kebaikan dan menjauhi
keburukan adalah wajib berdasarkan akal.”

Anda mungkin juga menyukai