Anda di halaman 1dari 16

HUKUM WADHI DAN TAKLIFI

Dalam Memenuhi Tugas Makalah

Fiqh Dan Ushul Fiqh

Oleh:

Muhammad Fauzan Arrayyan


Muhammad Ridha

Dosen Pembimbing:

Mawardi S.Ag., M.pd.

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


UIN AR-RANIRY
BANDA ACEH
2019

0
BAB I
I. PENDAHULUAN
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat
lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam
Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi
terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at. Sebagaimana yang dikatakan
imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu
Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum
syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan
tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi
dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian
hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-
orang mukallaf, baik berupa iqtidha’ (tuntutan perintah dan larangan), takhyir
(pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab akibat), yang dimaksud dengan
ketetapan Allah ialah sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang
berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh,
wajib, sunah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan
lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan
objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Maka, dalam makalah ini saya akan mencoba membahas tentang hukum
syara' yang berhubungan dengan Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i. Semoga
makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam
mempelajari ilmu Ushul fiqh.

1
BAB II
I. PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Syar’i


Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau
“memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti
”khitab” (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik
berupa iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk
meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara
melkakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan
sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah dan
sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum
yang berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh,
bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
Bila dicermati dari definisi di atas, ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat
atau hadis-hadis hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam:
a. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang
diperintahkan itu sifatnya wajib.
b. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu
sifatnya haram.
c. Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan
untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
d. Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan
untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e. Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan,
dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu
sifatnya mubah.
f. Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g. Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h. Menetapkan sesuatu sebagai mani’ (penghalang).
i. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal.
j. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshah.

2
B. Macam-Macam Hukum Syar’i

Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepada dua
macam, yaitu:
 Hukum taklifi
 Hukum wadh’i
Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan
Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan
mukalaf,baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan,
anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk
berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah: ketentuan-
ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu yang
menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat
deketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua
macam hukum tersebut:
a. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau
memberi pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa
penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya,
hukum taklifi menjelaskan bahwa sholat wajib dilaksanakan umat islam, dan
hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergalincir di tengah hari
menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.
b. Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas
kemampuan seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada
yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia.

C. Pembagian Macam-Macam Hukum


1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian
beban sedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan
dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai

3
perbuatan seorang mukallaf (balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan
karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan dan
meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. misalnya firman Allah SWT dalam
Al-Qur’an surah Al-Baqarah, 2:110. Artinya: ”Dan dirikanlah salat dan
tunaikanlah zakat.”(Q.S. Al-Baqarah,2:110) Tuntutan Allah SWT untuk
meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an
surat Al-Isra’, 17:33. Artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu alasan yang
benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah SWT mengandung pilihan untuk
melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
Dengan demikian, taklifi dibagi menjadi lima macam, yaitu:
a. Tuntutan untuk memperbuat secara pasti, yaitu suatu perkara yang
apabila dikerjakan mendapat ganjaran dan apabila ditinggalkan akan
mendapat ancaman Allah Swt, yang disebut dengan istilah “wajib”.
Contohnya: mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya.
1. Pembagian Wajib Ditinjau dari Waktu Pelaksanaannya
a. Wajib Muthlak
Yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti
tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu
melaksanakannya. Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi
waktunya tidak ditentukan oleh syara’.
b. Wajib Mu’aqqat
Yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dan tidak sah
bila dilakukan di luar waktu tersebut. Contohnya puasa
ramadhan. Wajib ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
 Wajib muwassa’, yaitu kewajiban yang waktu untuk melakukan
kewajiban itu melebihi waktu pelaksanaan kewajiban
itu. Contohnya waktu shalat lima waktu, shalat isya dari petang
sampai subuh.

4
 Wajib mudhayyaq, yaitu suatu kewajiban yang menyamai waktunya
dengan kewajiban itu sendiri. Contohnya puasa ramadhan waktu
mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai
maghrib.
 Wajib dzu syabhain, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dalam
waktu tertentu dan waktunya mengandung dua sifat di atas yaitu
muwassa’ dan mudhayyaq. Yaitu waktu mulainya sama dengan
waktu berakhirnya dan waktunya panjangnya contohnya ibadah
haji.
2. Pembagian Wajib dari Segi Pelaksana.
a. Wajib ‘ain, suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang
mukallaf, sehingga jika ia meninggal, berdosalah ia dan berhak disiksa.
Contoh, sholat, zakat, menepati akad (memenuhi janji), memberikan
hak orang lain yang berhak, dan kewajiban-kewajiban lain yang
apabila ditinggalkan berdosa.
b. Wajib kifayah, suatu kewajiban yang hanya menuntut terwujudnya
suatu pekerjaan dari sekelompok masyarakat. Sehingga jika pekerjaan
tersebut telah dikerjakan oleh sebagian masyarakat, maka bebaslah
yang lain dari kewajiban itu, tanpa menanggung dosa. Tapi jika tidak
ada seorangpun yang mengerjakan tuntutan tersebut, maka berdosalah
seluruh anggota masyarakat.
3. Pembagian Wajib dari Segi Kadar yang Dituntut.

a. Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadarnya. Contoh:


zakat.
b. Wajib Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan
kadarnya. Contoh: memberikan nafkah kepada kerabat (family).
4. Pembagian Wajib dari Segi Bentuk Perbuatan yang Dituntut.

5
a. Wajib mu’ayyan, yaitu wajib yang ditentukan zatnya, contoh:
membaca Al Fatihah dalam shalat.
b. Wajib mukhayyar, yaitu wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh:
kafarah sumpah.
b. Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan arti perbuatan itu
dituntut untuk di kerjakan. Yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan
oleh seorang mukallaf akan mendapat ganjaran di sisi Allah Swt dan apabila
ditinggalkan tidak mendapat ancaman dari Nya, yang dikenal dengan istilah
“Mandub (sunah)”. Contohnya: sedekah, berpuasa pada hari senin dan
kamis, dll.
Mandub (sunah) dibagi menjadi:
1. Dari Segi Selalu dan Tidak Selalunya Nabi Melakukan Sunah tersebut.
a. Sunah muakkadah, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh nabi
disamping ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu
bukanlah sesuatu hal yang fardhu. Seperti, shalat dua rakaat sebelum
subuh, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dan dua
rakaat setelah isya’.
b. Sunah ghairu muakkadah, yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh
nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya dengan perbuatan tersebut
atau sunah yang tidak dikerjakan oleh Rosulullah Saw secara kontinyu.
Seperti, shalat empat rakaat sebelum zhuhur, empat rakaat sebelum
ashar, empat rakaat sebelum isya’.
2. Dari Segi Kemungkinan Meninggalkan Perbuatan.
a. Sunah hadyu, yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya
karena begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang yang
meninggalkannya dianggap sesat. Contohnya shalat hari raya.
b. Sunah zaidah, yaitu sunah yang bila dilakukan oleh mukallaf
dinyatakan baik dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa.

6
Yaitu kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila
ditinggalkan.
c. Sunah nafl, yaitu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi
ibadah wajib.
c. Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, yaitu suatu pekerjaan yang
apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat ancaman
dari Allah Swt dan apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat pahala, yang
dikenal dengan istilah “haram”. Contoh-contoh perbuatan yang diharamkan
banyak sekali. Diantaranya makan bangkai, minum khamr (minuman keras),
berzina dan lain-lain.
Haram dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Haram Li-dzatih, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT,
karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Seperti
makan bangkai, minum khamr, berzina, mencuri yang bahayanya
berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga, yakni: badan,
keturunan, harta benda, akal, dan agama. Perbuatan yang diharamkan Li-
dzatih adalah bersentuhan langsung dengan salah satu dari lima hal ini.
2. Haram Li Ghairih/’aridhi, yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’ ,
dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu
sendiri, tetapi perbuatan tersebut menimbulkan haram Li-dzatih. Seperti
melihat aurat perempuan, dapat menimbulkan perbuatan zina, sedang zina
diharamkan karena dzatiyahnya sendiri.
d. Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti, yaitu
suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila ditinggalkan
akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”.
Contohnya: merokok, dll.
Makruh dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Makruh Tahrim, yaitu larangan dari syara’ secara tegas, yang didasarkan
pada dalil zhanni (yang masih mengandung keraguan dalam haram).
Seperti memakai sutera, cincin dari emas dan perak bagi kaum lelaki.

7
Makruh tahrim ini, merupakan lawan (kebalikan) dari hukum wajib.
Sehingga orang yang melakukannya akan mendapat ancaman dari Allah
Swt, dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala.
2. Makruh Tanzih, adalah larangan dari syara’ secara tidak tegas. Makruh
tanzih ini merupakan lawan (kebalikan) dari hukum mandub. Sehingga
bagi pelakunya tidak akan mendapat ancaman dari Allah Swt. Contohnya
adalah larangan memakan daging kuda.
e. Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara
mengerjakan atau meninggalkan. Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk
mengerjakan atau meninggalkan. Hal ini tidak diperintahkan dan `tidak pula
dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan
yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut “mubah”.
Contohnya: makan, minum dan lain-lain.
Catatan untuk perkara yang mubah:
1. Jangan berlebihan.
2. Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari
akherat.
3. Perkara yang mubah bisa bernilai ibadah bila diniati untuk ibadah.
Hukum mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga hal, yaitu:
a. Tiada berdosa bagi yang mengerjakan perbuatan yang mulanya
diharamkan, dengan ada qorinah (tanda-tanda) atas diperbolehkannya
perbuatan tersebut. Sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Surat Al-
Baqarah: 173.
b. Tiada nash (dalil) yang menunjukan haramnya perbuatan tersebut.
Contohnya mendengarkan dan mempergunakan radio.
c. Ada nash (dalil) yang menunjukan atas halalnya perbuatan tersebut
seperti makan makanan yang halal, berdasarkan Firman Allah SWT pada
Surat Al-Maidah: 5

8
2. Hukum Wadh’i
Hukum wad’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi
adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain. Bisa juga
diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau
yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.

Hukum wadh’i terbagi ke dalam beberapa macam, yaitu:


a. Sebab
Menurut istilah syara’ sebab adalah suatu keadaan atau peristiwa yang
dijadikan sebagai sebab adanya hukum, dan tidak adanya keadaan atau
peristiwa itu menyebabkan tidak adanya hukum. Atau sesuatu yang pasti yang
menjadi asas terbentuknya sesuatu hukum. Sekiranya ia wujud, maka wujudlah
hukum dan sekiranya ia tidak wujud, maka tidak wujudlah hukum berkenaan.
Sebagai contoh, melihat anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa.
Ia berdasarkan firman Allah SWT: Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang
menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia
berpuasa bulan itu…(al-Baqarah: 185). Demikian juga Allah SWT
mengharuskan untuk mengqasarkan shalat sekiranya berada dalam keadaan
musafir. Firman Allah SWT: Dan apabila kamu musafir di muka bumi, maka
kamu tidaklah berdosa mengqasarkan (memendekkan) sembahyang…(an-Nisa':
101) Melalui dua contoh di atas, kita dapat memahami bahawa melihat anak
bulan menjadi sebab wajibnya berpuasa, manakala musafir menjadi sebab
keharusan shalat secara qasar.
Ulama ushul membagi sebab kepada dua macam :
1. Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf dan berada diluar
kemampuannya. Namun demikian, sebab itu mempunyai hubungan
dengan hukum taklifi, karena syariat telah menjadikannya sebagai alas an
bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang
mukallaf, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab (alasan) bagi
datangnya waktu shalat dhuhur, masuknya bulan ramadhan menjadi sebab

9
bagi kewajiban melakukan puasa, dan keadaan terdesak menjadi sebab
bagi bolehnya seseorang memakan sesuatu yang diharamkan.
2. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batas
kemampuannya, seperti perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya berbuka
puasa di siang hari di hari ramadhan, pembunuhan disengaja menjadi
sebab bagi dikenakan hukum qishas atas pelakunya dan akat transaksi jual
beli menjadi sebab bagi perpindahan milik dari pihak penjual pada pihak
pembeli.
b. Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat ialah sesuatu yang
dijadikan syar’i (Hukum Islam), sebagai pelengkap terhadap perintah syar’i,
tidak sah pelaksanaan suatu perintah syar’i, kecuali dengan adanya syarat
tersebut. Atau sesuatu yang menyebabkan ketiadaan hukum ketika
ketiadaannya. Namun, tidak semestinya wujud hukum ketika kewujudannya.
Syarat berada di luar hukum tetapi ia memainkan peranan yang sangat
penting dalam mempengaruhi sesuatu hukum itu. Misalnya: Sampainya nisab
pada harta menjadi syarat bagi adanya kewajiban zakat, adanya perbuatan
wudhu’ menjadi syarat adanya perbuatan shalat.
Para ulama ushul membagi syarat menjadi dua, yaitu :
1. Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syariat itu sendiri.
Misalnya, keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan
sehingga tidak menjadi mubadzir) bagi seorang anka yatim, dijadikan
oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya
kepadanya.
2. Syarat ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu
sendiri. Misalnya, seorang suami datang kepada istrinya : “jika engkau
memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu satu”, dan seperti
pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk

10
membayarkan hutang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu
membayar hutangnya.
c. Mani’
Mani’ secara etimologi, berarti “penghalang dari sesuatu”. Menurut
istilah, Abdul Karim Zaidan, mendefinisikan mani’ sebagai berikut: “sesuatu
yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hokum atau
penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Mani’ adalah suatu keadaan atau peristiwa yang ditetapkan syar’i menjadi
penghalang bagi adanya hukum atau membatalkan hukum. Selain itu, mani juga
disebut tegahan atau halangan yang menyebabkan sesuatu hukum itu tidak
dapat dilaksanakan. Ini bermakna, apabila syarat dan sebab terjadinya hukum
taklifi sudah ada, ia masih lagi belum berlaku sekiranya ada mani'.
Sebagai contoh, dalam hukum faraid, pertalian darah adalah menjadi
sebab yang membolehkan pewarisan harta. Syaratnya juga telah wujud
disebabkan salah seorang daripada keduanya telah meninggal dunia.
Mani’ dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
1. Mani’ terhadap hukum, seperti perbedaan agama dalam hal waris
mewarisi adalah suatu mani’ atau penghalang.
2. Mani’ terhadap sebab hukum, seperti seorang telah berkewajiban
membayar zakat, akan tetapi dia mempunyai utang yang sampai
mengurangi nisab zakat, maka dia tidak wjib membayar zakat.
d. Akibat
Termasuk juga ke dalam pembahasan hukum wadh’i, hal-hal yang
menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi dalam hubungannya dengan
hukum wadh’i yaitu:
1. Shah, yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku
padanya sebab, sudah terpenuhi semua syarat syarat yang ditentukan, dan
telah terhindar dari semua mani’. Misalnya: shalat dzuhur yang dilakukan

11
setelah tergelincirnya matahari, dan dilakukan oleh orang yang telah
berwudhu’ serta orang yang tidak dalam keadaan haidh (berhadast).
2. Batal, yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi
sebab atau syarat, atau terpenuhi kedua-duanya,akan tetapi ada mani’
yang menghalanginya. Misalnya: shalat maghrib sebelum tergelincirnya
matahari, atau tidak berwudhu’, atau sudah keduanya, akan tetapi
dilakukan oleh wanita berhaidh.
e. Azimah dan Rukhsah
Azimah ialah peraturan Allah SWT yang asli dan tersurat pada nas (al-
Qur’an dan Hadis) dan berlaku umum. Misalnya: kewajiban salat lima waktu
dan puasa Ramadan. Haramnya memakan bangkai, darah, dan daging babi.
Sedangkan Rukhsah ialah ketentuan yang disyariatkan oleh Allah sebagai
peringan terhadap seorang mukallaf dalam hal-hal yang khusus, seperti bangkai
sesuatu yang diharamkan, tetapi karena tidak ada lagi makanan yang diperoleh
dan dia dalam keadaan yang sangat lapar, maka memakan bangkai
diperbolehkan.
Rukhsah tersebut ada beberapa macam, antara lain:
1. Membolehkan hal-hal yang diharamkan disebabkan darurat.
2. Membolehkan meninggalkan sesuatu yang wajib seperti diperbolehkan
untuk tidak berpuasa d bulan Ramadhan karena ada suatu udzur.
3. Meringankan ibadah yang tadinya terasa berat menjadi ringan, seprti
menjamak dan mengqoshor shalat.

12
II. KESIMPULAN
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau
“memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti”khitab
(kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla
(perintah, larangan,anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan),
takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melkakukan dan tidak
melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,syarat,atau
mani’ (penghalang).
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah dan sabda
Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang
berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum
yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepada dua macam,
yaitu:

1. Hukum Taklifi, menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian beban


sedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan
tuntutan. Hukum Taklifi terbagi menjadi lima, yaitu: Wajib, Mandub, Haram,
Makruh, dan Mubah.
2. Hukum Wadh’i, adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi
adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain. Bisa juga
diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang
menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi. Hukum Wadh’I terbagi menjadi
lima macam, yaitu: sebab, syarat, mani’, akibat, azimah dan rukhsah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Zahrah, Prof. Muhammad Abu. 1994. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus.
Efendi, Prof. Dr. H.Satria, M. zein, M.A. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana.
Umar, Drs.Muin. 1985. Ushul Fiqh 1. Jakarta: PT. Pustaka Seti.
Syarifuddin, Amir. Ushul fiqh. Jakarta: Fajar Interpratama.
Dr. Hazbiyallah, M. Ag. 2013. Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Al-Khotib, Syekh Ahmad Bin Abdul Lathif. 2006. An Nafahat ‘Ala Syarhil Waroqot.
Surabaya: Al-Haromain.

14
15

Anda mungkin juga menyukai