Anda di halaman 1dari 16

1

HUKUM KELUARGA YANG TERJADI DI NEGARA TURKI


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perkawinan dan Perceraian di Dunia Islam
Dosen Pengampu : Dr. Lilik Andar Yuni S.HI, M.SI

Oleh:

ARIF WIRATMA ABDILLAH


NIM. 1820400009

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SAMARINDA
Tahun 2019
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................... 1

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................... 2

B. Rumusan Masalah……............................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pembaharuan Hukum Keluarga di Turki................................................. 4


B. Materi Hukum Keluarga Turki….......................................................... 10

BAB III : KESIMPULAN.............................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. ….. 16


3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah dari pada perkembangan hukum Islam tidak bisa dipisahkan dengan sistem
hukum tata negara Islam itu sendiri yang dulunya merupakan sistem kekerajaan. Di dalam
kerajaan tersebut terdapat lembaga hukum yang sering dikenal istilah mufti atau qodhi. Mereka
inilah yang mengatur dan memutuskan suatu perkara-perkara hukum yang ada di negara islam
kala itu.

Penerapan hukum Islam dalam terma kenegaraan secara serius dan sistematis dimulai
pada masa Umar bin Abdul Aziz. Negara pada saat itu merupakan lembaga eksekutif yang
menerapkan hukum Islam sebagaimana dirumuskan oleh otoritas hukum setempat di masing-
masing daerah. Kumpulan hukum (fiqh) yang mengatur hal-hal pokok dilaksanakan secara
seragam. Namun berkaitan dengan hal-hal yang detail banyak terjadi perbedaan karena praktek-
praktek setempat dan variasi-variasi yang berbeda sebagai hasil ijtihad para ulama.1

Legislasi hukum-hukum baru untuk melengkapi hukum Islam dalam skala besar telah
dilakukan oleh penguasa-penguasa Turki Usmani pada abad ke-10 H/16 M yang menghasilkan
qanun (canon). Qanun adalah produk kesultanan, dan bukan produk kekhalifahan.2

Pada tahun 1917 masehi negara Turki merupakan negara pertama yang melakukan usaha
pembaharuan terhadap hukum keluarga di dunia Muslim dengan mencetuskan format Ottoman
Law of Family Right (Qonun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Uthmaniah).Pembaruan hukum
keluarga di Turki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam dan
mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum keluarga di negara-negara
lain.3

1
Fazlur Rahman, “Islam & Modernity Transformation of an Intellectual Tradition.” Terj., Ahsin Mohammad, Islam dan
Modernitas Transformasi Intelektual. cet IV (Bandung:Pustaka, 2000), h., 108.
2
Fazlur Rahman, “Islam & Modernity Transformation of an Intellectual Tradition...........h., 109.
3
Atho Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,(Jakarta:Ciputat Press, 2003), h.12
4

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pembaharuan Hukum Keluarga yang terjadi di Negara Turki ?
2. Bagaimana Materi Hukum Keluarga di Negara Turki?
5

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembaharuan Hukum Keluarga di Turki

Turki merupakan negara Eropa Tenggara dan Asia kecil, yang berbatasan dengan
negara Georgia, Armenia, Azerbaijan, dan Iran di timur, Irak, Suriah dan laut tengah di selatan,
laut hitam di utara, laut Aegea di barat, dan Yunani serta di barat laut. Luas negaranya adalah
779.452 km2, yang diantaranya sekitar 755.688 km2 di Asia kecil (Semenanjung Anatolia) dan
23.764 km2 di Eropa Tenggara. Jumlah rata-rata penduduknyapada tahun 2017 adalah
79.800.000 jiwa, sebagian besar diantaranya termasuk etnis Turki. Agama mayoritas di Negara
tersebut adalah Islam (98%). Sedang ibukota dari negara tersebut adalah Ankara.

Persinggungan islam dengan Turki melalui sejarah panjang, terhitung sejak abad
pertama hijriah hingga suku-suku Turki menjadi penganut dan pembela islam. Dalam proses
politik, ketika politik multi partai diperkenalkan di Turki pada tahun 1946, dakwaan bahwa umat
islam tidak dapat beribadah dengan bebas muncul secara menonjol diantara tuduhan-tuduhan
yang dilemparkan kepada Partai Rakyat Republik yang telah berkuasa selama 27 tahun.
Dakwaan ini datang dari sejumlah partai politik yang baru saja terbentuk dengan suatu ideologi
islam yang samar-samar sebagai dasarnya.4

Ketika Imperium kerajaan utsmani masih berkuasa, imperium memberlakukan sistem


yudisial dan legal yang digabungkan dengan syariah khususnya yurisprudensi mazhab Hanafi
dimana pengadilan diarahkan untuk menerapkan keputusan berbagai kasus. Sistem ini ditopang
oleh lembaga keagamaan yang nyaris independen dari kekuasaan sultan (kepala pemerintahan).5

Sultan tidak boleh sewenang-wenang memberlakukan hukum syariah tanpa legitimasi


berupa fatwa dari lembaga mufti. Di pihak lain, mufti memiliki kewenangan untuk memilih para
hakim yang mengatur pemberlakuan syariah di seluruh wilayah kerajaan. Namun pada masa
abad 19, bersamaan dengan lengsernya kekuasaan ustmani, semua lembaga-lembaga keagamaan

4
Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru), 1994,h.114
5
Atho Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern…….h.37
6

ini tidak lagi diberlakukan.Untuk sistematisasi serta kodifikasi sistem hukum, pada tahun 1839
dikeluarkan dekritImperium Hatt-I Syarif sebagai pondasi bagi rezim legislatif modern.6

Revolusi politik yang telah memporak-porandakan wilayah imperium utsmani dan


melengserkan jabatan khalifah ikut memberi dampak terhadap penggantian UU sipil tahun 1876
dan hukum keluarga yang baru ditetapkan pada tahun 1915 dan 1917 serta hukum waris dalam
mazhab Hanafi yang belum sempat terkodifikasi dengan UU sipil pada tahun 1926.

Sebelumnya untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan status perseorangan,


hubungan keluarga dan waris, telah diatur oleh pemerintah utsmani secara formal dengan
mengadopsi hukum dari mazhab Hanafi, tetapi hanya berlangsung sampai tahun 1915, perubahan
terjadi karena tuntutan perubahan kondisi sosial yang terjadi, sekalipun upaya perealisasiannya
dilakukan secara bertahap.7

Turki mempunyai peran penting dalam sejarah hukum Islam, terutama di asia barat.
Hukum perdata Turki pada awalnya didasarkan pada mazhab Hanafi, namun kemudian juga
menampung mazhab-mazhab lain, seperti dalam Majallah al-ahkam al adhiyayang telah
dipersiapkan sejak tahun 1876, namun di dalamnya tidak terdapat aturan tentang hukum
keluarga.8

Aturan hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian mulai dirintis
tahun 1915. Materi perubahan pada tahun tersebut adalah kewenangan (hak) untuk menuntut
cerai yang menurut mazhab Hanafi hanya menjadi otoritas suami. Seorang isteri yang ditinggal
pergi oleh suaminya selama bertahun-tahun atau suaminya mengidap penyakit jiwa ataupun
cacat badan tidak dapat dijadikan dasar bagi isteri untuk meminta cerai dari suaminya.

Pada tahun yang sama dikeluarkan dua ketetapan umum. Pertama, dalam rangka
menolong para isteri yang ditinggalkan suaminya secara resmi didasarkan pada mazhab Hambali
(juga ajaran mazhab Maliki sebagai alasan pendukung). Kedua, dalam rangka memenuhi
tuntutan perceraian dari pihak isteri dengan alasan suaminya mengidap penyakit tertentu yang

6
Atho Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern………..hlm. 38
7
Atho Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern………..hlm. 39
8
Kodifikasi hukum Majallah al-ahkam al adhiya mempunyai makna yang penting dalam sejarah yang dikenal sebagai kodifikasi
hukum islam yang pertama yang bersumber pada syariáh. Kodifikasi tersebut mulai terbuka dengan tidak semata-mata
mendasarkan pada mazhab Hanafi.
7

membahayakan kelangsungan rumah tangga. Hukum tentang hak-hak keluarga (The Ottoman
Law of Family Rights / Qanun al-huquq al Aila) yang dirintis sejak tahun 1915 kemudian
diundangkan pada tahun 1917 adalah hukum keluarga yang diundangkan pertama kali di dunia
Islam. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Turki
Usmani mengatur tentang hukum perorangan dan hukum keluarga (tidak termasuk waris, wasiat
dan hibah). Undang-undang ini bersumber pada berbagai mazhab sunni. Hukum tentang hak-hak
keluarga tahun 1917 dalam bagian tertentu berlaku bagi golongan minoritas Yahudi dan Nasrani,
karena undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menyatukan yurisdiksi hukum pada
pengadilan-pengadilan nasional. Undang-undang yang terdiri dari 156 pasal ini hanya berlaku
singkat selama dua tahun, namun munculnya undang-undang ini memberikan inspirasi bagi
negara lain untuk mengadopsinya dengan beberapa modifikasi.9

Beberapa tahun setelah pencabutan Hukum tantang hak-hak keluarga tahun 1917
situasi politik di Turki memberikan sedikit ruang untuk melakukan pembaruan hukum. Pasca
konferensi Perdamaian Laussane tahun 1923, pemerintah Turki membentuk komisi hukum untuk
mempersiapkan hukum perdata baru. Komisi tersebut berusaha menempatkan Hukum tentang
hak-hak keluarga tahun 1917, Majallah al-ahkam al adhiya tahun 1876 dan hukum tradisional
yang tidak tertulis ke dalam hukum baru yang menyeluruh. Namun perbedaan pendapat yang
tajam di kalangan modernis dan tradisional – seperti pengambilan materi dari mazhab yang
berbeda dalam hukum Islam, yang bersumber dari hukum adat atau hukum luar – menjadikan
komite hukum kacau dan dibubarkan.

Guna mengisi kekosongan hukum pasca kegagalan komisi hukum tersebut


Pemerintah Turki mengadopsi hukum perdata Swiss tahun 1912 (The civil code of Switzerland,
1912) dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan
dalam hukum perdata Turki tahun 1926 (The Turkish civil code of 1926). Dalam beberapa hal
ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 sangat menyimpang dari hukum Islam
tradisonal, seperti ketentuan waris dan wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun
1912.10

9
J.N.D. Anderson, “Islamic law in the modern world.”, Terj. Machnun Husein, Hukum Islam di Dunia Modern (Surabaya:Amar
Press, 1990), h. 57-58
10
Tahir Mahmood, Family law Reform in the Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi, Pvt. Ltd, 1972), h. 17-18. lihat pula
J.N.D. Anderson, “Islamic law in the modern world.”…, h. 95-96
8

Pembaruan hukum Islam di Turki dapat berjalan lancar, kebijakan-kebijakan


pemerintah dalam hukum keluarga diikuti oleh penduduk Turki. Walaupun terdapat perbedaan
antara modernis dan tradisonalis, namun tidak sampai pada taraf antipati. Hal ini diantaranya
disebabkan oleh watak organisasi ulama di Turki yang tidak mempunyai institusi keagamaan
yang kuat seperti di Mesir (al-Azhar). Hal ini sebagai akibat dari sekularisasi yang diterapkan di
Turki. Aturan-aturan hukum yang mengatur tentang perceraian dalam perundang-undangan
Turki telah mengalami perkembangan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan fiqh
konvensional. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari uraian berikut :

1. Otoritas pengajuan cerai yang sebelumnya mutlak berada di pihak suami,


sedangkan istri tidak mempunyai hak sedikitpun untuk dan dengan alasan
apapun, sejak munculnya hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 pihak istri
diperbolehkan mengajukan perceraian.
2. Perceraian dilakukan di pengadilan yang didahului dengan permohonan cerai
dari pihak suami atau isteri (Hasil Amandemen Pasal 129-135).
3. Dalam maslah perceraian menurut fiqh konvensional tidak dikenal istilah pisah
ranjang (juditial separation). Hukum perdata Turki tahun 1926 mengatur dan
membolehkan pisah ranjang.
4. Pihak suami isteri mempunyai hak yang seimbang dalam pengajuan cerai dengan
mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan (Pasal 129-138 Hukum
Perdata Turki 1926 dan Pasal 134-144 Hasil Amandemen Tahun 1990).
5. Suami atau isteri yang nusyuz (dalam hal ini zina yang dijadikan alasan
perceraian) maka perlakuan terhadap suami yang zina sama dengan isteri yang
zina.
6. Penyakit jiwaa dalam perundang-undangan Turki termasuk dalam alasan
perceraian, sedang dalam fiqh konvensional berkaitan dengan fasakh.
7. Perundang-undangan Turki memberlakukan perceraian atas kesepakataan
bersama (suami isteri) berdasar hasil Amandemen tahun 1988.
8. Masing-masing pihak yang merasa dirugikan pihak lain sebagai akibat
perceraian diperbolehkan mengajukan tuntutan ganti rugi yang layak (Pasal 143
Hasil Amandemen tahun 1990).
9

Metode pembaruan hukum Islam yang digunakan di Turki pada tahap awal
menggunakan metodetakhayyur. Hal ini dapat dilihat pada kodifikasi hukum majallat al-ahkam
al-adhiya tahun 1876 dengan memilih salah satu dari sekian pendapat mazhab fiqh yang ada.11
Aplikasi metode takhayyur dalam perundang-undangan Turki menurut
Anderson seperti pada aturan ta’lik talak yang dicantumkan pada Pasal 38 Hukum tentang Hak-
hak keluarga tahun 1917 bahwa seorang isteri berhak mencantumkan dalam ta’lik talak bahwa
poligami suami dapat menjadi alasan perceraian. Metode pembaruan hukum keluarga yang
dominan terutama berkaitan dengan perceraian adalah maslahah mursalah. Hal ini nampak dari
ketentuan yang mewajibkan perceraian di Pengadilan, kemaslahatan yang diperoleh adalah sikap
kehati-hatian dan kepastian hukum. Keseimbangan hak antara suami isteri dalam pengajuan cerai
dengan alsan-alasan yang mendasarinya juga dimaksudkan untuk menghindari kesewenang-
wenangan salah satu pihak (suami) yang mengakibatkan kerugian dipihak lain dan
mengembalikan posisi isteri yang sering termarjinalkan oleh konstruksi pemahaman hukum
Islam.12
Pembaruan hukum keluarga di Turki dalam perspektif kategorisasi metode
pembaruan, dapat dikemukakan bahwa metode pembaruan extra doctriner reform nampak pada
masa-masa awal pembaruan ditandai dengan munculnya protes kaum istri yang merasa
terkekang oleh mazhab Hanafi, kemudian memunculkan solusi alternatif perceraian dari pihak
isteri yang ditinggal suaminya yang lebih mengacu pada mazhab Hambali dan Maliki.
Metode intra doctriner reform lebih mewarnai pembaruan hukum keluarga di Turki seperti
penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan dengan hanya mengakui perceraian
yang terjadi dalam sidang di pengadilan. Pembaruan ini merupakan bentuk kepastian hukum bagi
masyarakat Turki.
B. Materi Hukum Keluarga Turki
1. Hukum Perkawinan
a. Pertunangan (khitbah, Betrothal)
Hukum keluarga turki mendorong pengadilan untuk tidak mengadakan
perjanjian khusus perkawinan.13 Jika pesta pertunangan sudah dilakukan,
ternyata perjanjian perkawinan batal, pihak yang dianggap bertanggung jawab

11
David Pearl and Werner Menski, Muslim Family Law, third edition (London:Sweet and Maxwell, 1998), h. 21 .
12
Khairuddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara, (Jakarta : INIS),2002,h. 279
13
Naskah Hukum Keluarga Turki Th. 1952 pasal II ayat 1
10

dengan pembatalan dibebani kewajiban membayar ganti rugi berupa ganti


biaya pesta yang telah dikeluarkan.
Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa khitbah bertujuan menjajaki kedua
belah pihak sehingga dimungkinkan muncul perasaan cinta dan suka sama
suka. Jika ada hadiah yang diberikan dalam pesta pertunangan yang gagal
tersebut, hadiah yang dimaksud harus dikembalikan nilainya dalam batas
waktu satu tahun. Lain halnya jika kegagalan tersebut disebabkan kematian
salah satu pihak. Dalam kasus ini pemberian tersebut dianggap hilang
sementara menurut Hanafiyah, hadiah-hadiah yang diberikan saat khitbah
merupakan hibah (pemberian) dimana sang pemberi diperbolehkan menarik
kembali hibah tersebut kecuali materi yang diberikan telah rusak.14
b. Umur Perkawinan (‘Umr al-awaj, Mariage Age)
Dalam undang-undang Turki umur minimal seseorang laki-laki yang ingin
menikah adalah 18 tahun sedangkan bagi wanita adalah 17 tahun. Dalam
keadaan kasus-kasus tertentu pengadilan memperbolehkan pelaksanaan
perkawinan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan
jika wanita tersebut mendapatkan izin dari kedua orang atau wali sebagai
dispensasi nikah. UU yang mengatur umur perkawinan ini sudah di
amandemenkan sejak tahun 1938. Pada kasus-kasus tertentu, pengadilan
masih boleh mengijinkan perkawinan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan 14
tahun bagi wanita. Dalam fiqih Hanafi wacana tentang batasan umur
perkawinan tidaklah dijelaskan secara konkrit, hanya secara tegas disebutkan
bahwa salah satu syarat perkawinan adalah berakal dan baligh, sebagaimana
juga keduanya menjadi syarat umum bagi operasionalisasi seluruh tindakan
yang bernuansa hukum. Karena itu baligh hanyalah syarat bagi kelangsungan
suatu tindakan hukum bukan merupakan syarat keabsahan sebuah
perkawinan.15

14
Atho Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern………..hlm. 42-43
15
Atho Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern………..hlm. 43
11

c. Poligami (ta’addud al-Zaujat)


Undang-undang Turki melarang perkawinan lebih dari satu selama
perkawinan pertama masih berlangsung. UU itu menyatakan bahwa seorang
tidak menikah, jika dia tidak membuktikan bahwa perkawinan yang pertama
bubar karena kematian, perceraian atau pembatalan. Perkawinanyang kedua
dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebut telah
berumah tangga saat menikah.Dalam Ottoman Law of Family Rights (Qanun
qarar al-huquq Al-a’ilah al-utsmaniyah) tahun 1917 pasal 38 menetapkan
dibolehkannya taklik talak bagi isteri bahwa suaminya tidak boleh menikah
lagi dengan wanita lain (poligami). Tahun 1915, sultan dalam ketetapannya
menyatakan bahwa isteri dapat minta cerai kalau suami meninggalkan
istrinya. Ketetapan lain dikeluarkan pada tahun yang sama, seorang isteri
dapat minta cerai dengan alas an suami kena penyakit yang menyebabkan
tidak mungkin hidup bersama sebagai suami isteri.16
Dalam kasus ini menurut pendapat dari imam Abu Hanifah poligami
sendiri tersebut diperbolehkan dengan catatan bahwa seseorang yang
melakukan poligami disyaratkan harus dapat berlaku adil terhadap istri-
istrinya sedangkan orang yang tidak dapat berlaku adil, hanya dapat beristeri
satu. Artinya, kalau tidak dapat berlaku adil, tapi tetap beristeri dua, tiga atau
empat jatuhnya adalah masuk kategori diharamkan saja tapi tidak dapat
membatalkan status perkawinan yang dilakukannya tersebut.17
Mengenai poligami, Tahir Mahumud mengutip dari surat an-Nisa ayat 3,
beliau mengatakan bahwa kebolehan poligami meskipun seseorang diizinkan
mempunyai empat isteri pada waktu yang sama, namun mereka yang tidak
memperlakukan isteri-isteri mereka secara tidak adil dan setara tidak boleh
melakukannya. Perkawinan monogami akan lebih baik karena menghindarkan
laki-laki berbuat tidak adil, dan juga izin bagi laki-laki untuk melakukan
poligami sangat kondisional, tidak absolut oleh sebab itu sangat perlu untuk
memperketatnya dengan peraturan, perjanjian atau hukum.

16
Khairuddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara, (Jakarta : INIS),2002, hlm.245
17
Alhafiz Kurniawan. “Hukum Islam Memandang Praktik Poligami.” dalam http://www.nu.or.id/post/read/82121/hukum-islam-
memandang-praktik-poligami. Diakses 21 Mei 2019
12

d. Orang-Orang Yang Dilarang Melakukan Perkawinan. (Man’u al-Zawaj)


Ketentuan ini diatur dalam The Ottoman Law of Family Rights Tahun
1917 dalam pasal 13-32. Adopsi dalam hukum keluarga Turki dijadikan
sebagai salah satu penghalang perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal
121 undang-undang sipil Turki. Artinya, anak hasil adopsi tidak dapat
menikahi orang tua yang mengadopsinya atau dengan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah dengan orangtua yang mengadopsinya. Berbeda
dengan pandangan fiqh klasik yang memperbolehkan anak adopsi menikahi
orangtua yang mengadopsinya.
e. Resepsi perkawinan (Walimah al-Ursy)
UU sipil turki menyatakan bahwa perkawinan boleh dirayakan sesuai
agama dan keyakinan masing-masing jika dikehendaki, namun pendaftaran
dilakukan sebelum perayaan tersebut. Setelah syarat formalitas dipenuhi
sesuai dengan peraturan yang berlaku, kedua pasangan boleh merayakan
perkawinan.18

f. Kompensasi (Ganti Rugi) dalam Perceraian


Pengadilan menetapkan bahwa pihak yang bersalah membayar ganti rugi
kepada pihak yang dirugikan secara fisik, keuangan, atau dirugikan
reputasinya. Aturan tambahan dari UU Sipil Turki yang memberikan hak
kepada pengadilan untuk mengatur bahwa pihak yang diceraikan tidak peduli
bersalah atau tidak, harus diberi ganti rugi oleh pihak yang menceraikan
selama pihak pertama belum menikah lagi dalam periode tak lebih dari 1
tahun dari tanggal perceraian.

2. Hukum Perceraian dan Pemisahan


a. Perceraian
Menurut UU sipil Turki ada 6 hal yang membolehkan suami isteri
menuntut kepada pengadilan untuk mengeluarkan dekrit perceraian, dengan
catatan meskipun dekrit perceraian telah diterbitkan, pengadilan boleh
memberikan pemilahan yudisial jika rekonsiliasi diantara pasangan itu
18
Naskah Hukum Keluarga Turki Th. 1952 pasal Bag III ayat 2
13

memungkinkan. Jika pemilahan diberikan dan tidak ada rekonsiliasi yang


terjadi diantara keduanya sampai akhir periode yang diberikan, salah satu
pihak boleh meminta cerai. Keenam hal tersebut adalah :19
1. Salah satu pihak telah memutuskan perceraian.
2. Salah satu pihak menyebabkan luka bagi pihak lain.
3. Salah satu pihak telah melakukan tindak kriminal yang membuat
hubungan perkawianan tidak bisa ditolelir untuk dilanjutkan.
4. Salah satu pihak telah pindah rumah dengan cara yang tidak etis atau
tanpa ada sebab yang jelas selama sekurang-kurangnya 3 bulan.
5. Salah satu pihak menderita penyakit mental yang membuat hubungan
perkawinan tidak bisa ditolelir, yang dinyatakan dengan keterangan
dokter dalam periode sekurang-kurangnya 3 tahun.
6. Hubungan suami dan isteri sedemikian tegang sehingga hubungan
perkawinan tidak bisa ditolelir.

Menurut hukum perdata Turki tahun 1926, seorang suami atau isteri yang
hendak bercerai diperbolehkan melakukan pisah ranjang. Jika setelah pisah
ranjang dijalani pada waktu tertentu tidak ada perbaikan kondisi rumah tangga,
maka masing-masing pihak mempunyai hak untuk mengajukan cerai di
pengadilan.

Ketentuan tentang perceraian diatur pada Pasal 129 – 138 Hukum Perdata
Turki tahun 1926. Suami atau isteri yang terikat dalam sebuah ikatan perkawinan
dapat mengajukan perceraian kepada pengadilan dengan alasan-alasan yang telah
ditentukan sebagai berikut :

1. Salah satu pihak berbuat zina.


2. Salah satu pihak melakukan percobaan pembunuhan atau
penganiayaan berat terhadap pihak lainnya.
3. Salah satu pihak melakukan kejahatan atau perbuatan tidak terpuji
yang mengakibatkan penderitaan yang berat dalam kehidupan rumah
tangga.

19
Atho Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern………..hlm. 48-49
14

4. Salah satu pihak meninggalkan tempat kediaman bersama (rumah) tiga


bulan atau lebih dengan sengaja dan tanpa alasan yang jelas yang
mengakibatkan kerugian di pihak lain.
5. Salah satu pihak menderita penyakit jiwa sekurang-kurangnya 3 tahun
atau lebih yang mengganggu kehidupan rumah tangga dan dibuktikan
dengan surat keterangan ahli medis (dokter).
6. Terjadi ketegangan antara suami isteri secara serius yang
mengakibatkan penderitaan.20

Seiring dengan perkembangan zaman Hukum Perdata Turki tahun 1926


mengalami dua kali proses amandemen. Amandemen tahap pertama terjadi pada
kurun waktu 1933 – 1956. hasil amandemen ini antara lain berkaitan dengan
ganti kerugian, dispensasi kawin, pasangan suami isteri diberi kesempatan untuk
memperbaiki hubungan ketika pisah ranjang, juga penghapusan segala bentuk
perceraian di luar pengadilan, serta tersedianya perceraian di pengadilan yang
didasarkan pada kehendak masing-masing pihak (Pasal 125-132). Di samping itu
pembayaran ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan akibat perceraian
dapat dilaksanakan jika didukung dengan fakta dan keadaan kuat.

Proses amandemen kedua terhadap Hukum Perdata Turki tahun 1926


berlangsung pada tahun 1988-1992. Amandemen tahun 1988 memberlakukan
perceraian atas kesepakatan bersama (divorce by mutual consents), nafkah istri
dan penetapan sementara selama proses perceraian berlangsung. Amandemen
tahun 1990 berkaitan dengan pertunangan, pasca perceraian dan adopsi. Proses
amandemen yang dilakukan oleh legislative tersebut berakhir tahun
1992.21 Materi amandemen tahun 1990 yang berkaitan dengan perceraian, antara
lain :

1. Salah satu pihak dapat mengajukan cerai atas dasar perwujudan dari
ketidakcocokan tabiat yang berakibat pada rumah tangga yang tidak
bahagia.

20
Vita Fitria, Hukum Keluarga di Turki Sebagai Upaya Perdana Pembaharuan Hukum Islam,
21
Tahir Mahmood, Status of Personal Law in Islamic Countries:History, Texts and Analysis, Revised Edition (New Delhi:ALR,
1995), hlm. 84
15

2. Pihak yang tidak bersalah dan menderita berhak mengajukan cerai dan
meminta ganti rugi yang layak dari pihak lain.
3. Pihak yang tidak bersalah dan menjadi miskin berhak mengajukan
cerai dan meminta nafkah dari pihak lain selama setahun.
b. Pembatalan dan pemisahan Perkawinan.
Dalam The Turkish Family Law of Cyprus tahun 1951 pasal 19 dijelaskan,
bahwa suatu perkawinan harus dibatalkan apabila salah satu pihak berada
dalam 3 (tiga) kondisi tertentuyaitu :
1. Salah satu pihak telah berumah tangga saat menikah.
2. Salah satu pihak pada saat perkawinan menderita sakit jiwa ataupun
penyakit permanent lainya.
3. perkawinan termasuk yang dilarang. Sedangkan menurut Hanafiyah,
perkawinan dianggap batal jika ada rukun atau syarat dalam
perkawinan yang tidak terpenuhi.
16

BAB III

KESIMPULAN

Pembaharuan hukum keluarga dinegara Turki bersifat sekuler dalam menentukan pasal-
pasal yang dianutnya. Mereka sering berganti-ganti dalam menentukan kebijakan yang dimulai
dengan pembentukan pada tahun 1915. Kemudian mereka memakai Qonun al-Huquq al-
Aila/The Ottoman Law Of Family Right pada tahun 1917 yang merupakan hukum keluarga yang
diundangkan pertama kali di dunia Islam. Hanya saja hukum keluarga di Turki sendiri masih
masih tumpang tindih sehingga pada tahun 1926 mereka memakai hukum perdata swiss tahun
1912 dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi dinegara Turki. Dalam
beberapa hal ada yang sangat menyimpang dengan dari hukum tradisional Islam seperti
ketentuan waris dan wasiat.

Walaupun terdapat perbedaan antara modernis dan tradisonalis, namun tidak sampai pada
taraf antipati. Hal ini diantaranya disebabkan oleh watak organisasi ulama di Turki yang tidak
mempunyai institusi keagamaan yang kuat seperti di Mesir (al-Azhar). Hal ini sebagai akibat dari
sekularisasi yang diterapkan di Turki. Aturan-aturan hukum yang mengatur tentang perceraian
dalam perundang-undangan Turki telah mengalami perkembangan yang cukup pesat jika
dibandingkan dengan fiqh konvensional.

Materi hukum keluarga di Turki yang berhubungan dengan keluarga di dalamnya banyak
membahas pasal-pasal tentang hukum perkawinan yang meliputi tentang pertunangan, batasan
umur menikah, poligami, dan orang yang dilarang melakukan perkawinan. Selain daripada itu
terdapat juga pasal-pasal mengenai perceraian dan pembatalan serta pemisahan perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai