BY DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI · PUBLISHED APRIL 25, 2015 · UPDATED APRIL 25,
2015
Atas dasar suka sama suka, lelaki dan perempuan yang mengadakan
hubungan badan (setubuh), tanpa terikat dengan
perkawinan (fornication) bukanlah termasuk delik perzinahan. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengakui perzinahan tergolong
sebagai tindak pidana terhadap lelaki dan perempuan yang sudah terikat
dengan perkawinan, lalu mengadakan hubungan “setubuh” yang bukan
pasangan perkawinannya (overspel).
Itupun, perzinahan yang dimaksudkan KUHP hanya dapat diproses secara
hukum, dilakukan penyelidikan, penuntutan dan “diseret” pelakunya ke meja
hijau. kalau pihak korban (suami/istri) mengajukan aduan terhadap pasangan
perkawinannya yang telah berzina ke Kepolisian, karena kewenangan
Kepolisian melakukan penyelidikan.
Berdasarkan ilstrusai tersebut, maka menjadi jawaban juga bagi kita semua
bahwa kalau ada laki-laki yang sudah menikah lantas mendatangi tempat
pelacuran, melakukan hubungan setubuh di tempat pelacuran itu. Tidak
dengan serta merta laki-laki yang sudah beristri itu dan wanita pelacur
diperiksa lalu ditangkap oleh Polisi. Lagi-lagi harus datang pihak istri
mengajukan laporan ke Kepolisian sehingga kedua-duanya yang dianggap
berzinah itu dapat diperiksa secara hukum.
Pembagian Perzinahan
Pada hakikatnya kalau dicermati dalam kondisi kebangsaan kita, sifat
keberlakuan delik perzinahan berlaku terbatas. Terbatas, sebab masih
terdapat model perzinahan yang oleh masyarakat kita menganggapnya
perbuatan tercela tetapi KUHP tidak menggolongkannya sebagai tindak
pidana. Diantaranya: Pertama, laki-laki dan perempuan yang melakukan
hubungan “setubuh” suka sama suka namun kedua-duanya tidak terikat
dengan perkawinan (fornication, tetapi pada dasarnya masih bisa
melangsungkan perkawinan karena tidak ada pertalian darah yang
menghalanginya. Kedua, laki-laki dan perempuan yang mengadakan
hubungan setubuh sama-sama belum menikah, suka sama suka, tetapi pada
dasarnya hubungan setubuh itu sangat terlarang oleh karena terdapat
ketentuan pelarangan perkawinan sedarah (incest), misalnya hubungan
setubuh antara saudara sekandung, antara ibu dan anak, antara anak dan
bapak, dst. Ketiga, hubungan setubuh antara laki-laki dan perempuan yang
mana salah satunya sudah terikat dengan perkawinan (misalnya laki-laki
sudah menikah) lalu melakukan hubungan setubuh dengan keluarganya yang
dilarang untuk dinikahi karena larangan perkawinan sedarah. Contoh
konkretnya, bapak/ayah yang melakukan hubungan setubuh atas dasar mau
sama mau dengan anaknya yang sudah dewasa (Penulis sengaja
menggunakan contoh anak yang sudah dewasa, sebab kalau anak di bawah
umur berdasarkan UU Perlindungan Anak maupun KUHP, pihak bapak/ayah
masih bisa terjerat dengan persetubuhan terhadap anak di bawah umur).
Delik Umum
Untuk “poin ketiga” pembagian perzinahan di atas, berdasarkan KUHP masih
tergolong sebagai tindak pidana. Hanya saja delik tersebut masih berlaku
sebagai delik aduan absolut. Sehingga kasus demikian pun bisa diproses
secara hukum kalau si istri/suami mengajukan aduan terhadap perbuatan itu.
Sedangkan untuk poin pertama maupun poin kedua satupun tidak ada
pengaturannya dalam KUHP. Maka di sinilah letak kejanggalan hukumnya.
Bahwa problematika hukum pidana terhadap perbuatan perzinahan yang
dibatasi hanya pada persetubuhan ketika pelakunya, laki-laki atau
perempuannya terikat dengan perkawinan tetapi mengadakan hubungan
setubuh dengan yang bukan pasangan nikahnya, berdasarkan pandangan
hukum masyarakat kita penggolongan perzinahan demikian, kurang lengkap.
Pada hakikatnya dalam KUHP tidak ada penegasan satupun pasal yang
mengatur tentang delik perzinahan dalam kalangan keluarga. Hanya
mencantuman ketentuan bahwa delik perzinahan merupakan delik aduan
yang terkualifikasi sebagai delik aduan absolut. Artinya, kalau terjadi
perzinahan yang mana salah satunya terikat dengan perkawinan maka suami
atau istri dapat mengajukan aduan agar diproses secara hukum “teman zina”
pasangan perkawinannya (istri/suami) dan pihak pengadu (istri/suami) wajib
pula mengadukan pasangan perkawinannya (istri/suami) sebagai konskuensi
hukum dari delik ini, adalah delik aduan absolut.
Hal yang berbeda berdasarkan KUHP, in casu a quo si istri tetap harus
mengajukan aduan jika pelaku perzinahannya hendak diproses secara
hukum, sebab bagaimanapun nilai perbuatan tersebut merupakan delik aduan
absolut. Sehingga baik suami maupun anaknya harus diadukan oleh si istri ke
penyelidik baru dapat diproses secara hukum.
Kedaaan yang sama pula berlaku untuk delik perzinahan yang terjadi
terhadap mereka yang tidak terikat dengan perkawinan tetapi pada dasarnya
terlarang untuk melangsungkan perkawinan. Walaupuan perbuatannya oleh
masyarakat dipandang sangat tercela, tetapi sayangnya tidak ditur dalam
KUHP, sehingga bukanlah tindak pidana untuk konteks sekarang.
Negara kita yang kental dengan adat ketimurannya, kental dengan hukum
agamanya, sudah saatnya perzinahan terkualifikasi sebagai delik umum.
Delik yang bisa diproses tanpa ada pihak yang ditunggu untuk
mengadukannya.