Anda di halaman 1dari 57

KERACUNAN AKIBAT MIKROORGANISME PANGAN (BAKTERI

PATOGEN, JAMUR MAKANAN, VIRUS MAKANAN, PARASIT


MAKANAN, DAN PROTOZOA MAKANAN)

(Makalah Tugas Mata Kuliah Toksikologi)

Disusun oleh:

1) Amalia Fauziyah (1313024008)


2) Anggraini Eka Putri (1313024012)
3) Delima Meilyana Simamora (1213024013)
4) Hanna Benedicta Simanjuntak (1313024038)
5) Kinasih Cahyono (1313024046)
6) Meita Dwi Solviana (1313024054)
7) Nining Hidayatun N.W. (1213024047)

PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2016
PENGANTAR

Patogenitas adalah kemampuan organisme untuk menimbulkan penyakit. Jika mikroba


menyerang tubuh, tubuh akan merespon serangan mikroba tersebut dan menimbulkan gejala
gangguan kesehatan atau yang dinamakan penyakit. Jadi, yang dimaksud dengan mikroba
patogen adalah mikroba yang mampu menimbulkan penyakit. Kemampuan mikroba patogen
untuk menyebabkan penyakit dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu sifat mikroba patogen dan
kemampuan tubuh untuk menahan serangan mikroba (Rahayu, 2012: 67).

Selain mikroba yang masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan sakit, penyakit juga dapat
diakibatkan oleh masuknya toksin yang dihasilkan oleh mikroba patogen. Cukup banyak
mikroba yang mampu memproduksi toksin. Kemampuan mikroba untuk menghasilkan toksin
serta keampuhan toksin tersebut merupakan faktor penting dalam menilai patogenitas suatu
mikroba. Toksin yang dihasilkan mikroba kemungkinan diekskresikan ke medium di
sekitarnya (sehingga toksinnya disebut eksotoksin) atau tetap disimpan di dalam selnya
(disebut endotoksin) karena merupakan bagian dari sel tersebut (Rahayu, 2012: 67).

Mikroba patogen dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada manusia melalui pangan.
Mikroba patogen ini merupakan penyebab berjuta-juta kasus penyakit dan ribuan kasus
kematian di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Mikroorganisme-
mikroorganisme tersebut berkembang dalam jumlah yang besar serta menyebar akibat
mengonsumsi makanan yang tidak diolah dengan baik atau tidak dimasak (uncooked) atau
tidak didinginkan. Sampai saat ini belum semua jenis mikroba patogen dapat dicegah dengan
vaksinasi. Mikroba yang dapat menyebabkan penyakit akibat pangan (Foodborne Disease)
adalah bakteri, jamur, virus, protozoa, dan parasit. Oleh karena itu, kasus mikroba patogen
pada pangan merupakan faktor penting dalam keamanan pangan (Rahayu, 2012: 67).

Kejadian luar biasa (KLB) keracuan pangan yang disebabkan oleh mikroba yang meresahkan
masyarakat, tidak hanya terjadi di negara yang sedang berkembang, tetapi juga di negara
maju (Rahayu, 2012: 68).

A. Pengertian Keracunan Makanan


Keracunan makanan adalah kondisi yang muncul akibat mengonsumsi makanan yang telah
terkontaminasi oleh organisme menular, seperti bakteri, jamur, virus, dan parasit. Selain itu
bisa karena racun yang mereka keluarkan di makanan. Kontaminasi dapat terjadi saat
makanan sedang diproses atau dimasak dengan tidak benar (Anonim, 2016).

Berikut ini adalah beberapa contoh makanan yang mudah terkontaminasi jika tidak ditangani,
disimpan, atau diolah dengan baik.

 Daging mentah
 Susu.
 Makanan siap saji, misalnya potongan daging matang, keju lembek, dan roti isi
kemasan.
 Telur mentah.
 Kerang-kerangan mentah (Anonim, 2016).

B. Gejala Keracunan Makanan

Gejala keracunan makanan bisa dimulai beberapa saat setelah makan hingga tiga hari setelah
mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. Gejala yang umumnya terjadi antara lain:

 Merasa mual dan muntah-muntah.


 Mengalami diare.
 Sakit atau kram perut (Anonim, 2016).

C. Mekanisme Kerja Toksik/Penyakit Akibat Pangan (Foodborne Disease)


Mikroba patogen yang berasal dari pangan akan bekerja dalam tiga mekanisme, yaitu secara
infeksi, intoksikasi, dan toksikoinfeksi. Pertama, infeksi terjadi bila mikroba patogen masuk
ke tubuh melalui pangan. Mikroba yang masuk ke dalam tubuh akan membentuk koloni
dengan menggunakan fimbri atau faktor adheren lainnya dan dapat menembus (invasi) bagian
organ dalam atau jaringan tubuh menggunakan toksin atau enzim yang dihasilkan. Dampak
yang ditimbulkan umumnya relatif lambat karena mikroba membutuhkan waktu untuk
tumbuh dan berkembang biak. Contoh mikroba yang mengakibatkan insfeksi adalah
Salmonella penyebab penyakit salmonellosis. Kedua, intoksikasi disebabkan oleh
terkonsumsinya toksin ekstraseluler yang dihasilkan oleh mikroba yang mencemari pangan.
Intoksinasi tidak memerlukan adanya mikroba hidup pada pangan yang dikonsumsi karena
umumnya toksin mikroba telah diekskresikan ke medium di sekitarnya (ke dalam pangan)
pada saat mikroba tumbuh dan mencemari pangan. Dampak yang ditimbulkan relatif cepat
karena toksin telah tersedia. Contoh mikroba yang dapat menyebabkan intoksikasi adalah S.
Aureus penghasil toksin. Ketiga, toksikoinfeksi adalah terjadinya sekresi racun bila sel
mikroba telah berada dalam tubuh. Contoh mikroba yang mengakibatkan toksikoinfeksi
adalah Bacillus cereus dan Clostridium perfringen (Rahayu, 2012: 68).

Sumber mikroba pada pangan sangat beragam. Produk pangan asal hewani/nabati umumnya
masih mungkin menjadi sumber mikroba, walaupun ada tanaman /hewan yang memiliki
pelindung eksternal, bahkan beberapa pangan melalui permukaan pangan, peralatan
pengolahan dan peralatan makan, melalui manusia, hewan (tikus, serangga, burung, hewan
peliharaan), serta melalui medium air (Rahayu, 2012: 69).

D. Faktor Penyebab Keracunan Makanan oleh Patogen Mikroorganisme


Keracunan makanan oleh patogen mikroorganisme seperti patogen bakteri makanan
(foodborne patogen bacteria), patogen jamur makanan (foodborne patogen fungi), patogen
virus makanan (foodborne patogen virus), dan patogen parasit makanan (foodborne patogen
parasites) biasanya disebabkan adanya pencemaran lingkungan oleh patogen mikroorganisme
tersebut akibat kurangnya sanitasi lingkungan, air yang tidak bersih, terutama air sumur yang
berdekatan dengan tangki limbah manusia (septic tank), atau sumur-sumur yang mudah
dimasuki oleh air tanah yang berasal dari selokan-selokan kotor, pengelolaan air bersih yang
kurang baik, adanya kebocoran pipa-pipa air, dapur dan ruang makan kotor, pengelolaan dan
penanganan makanan yang kurang baik, peralatan dapur (pisau, piring, sendok, garpu, gelas,
wajan, dll) yang kurang bersih, semuanya ini menjadi sumber terkontaminasinya makanan
dan minuman oleh mikroorganisme patogen penyebab penyakit (Sembel, 2015: 240-241).

E. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Mikroba Patogen


Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan mikroba patogen pada pangan adalah nutrisi
pada pangan, nilai pH, aktivitas air, ada tidaknya oksigen, suhu, dan waktu kontak mikroba
tersebut pada pangan, serta interaksi mikrobial. Beberapa mikroba patogen membutuhkan
nutrisi seperti protein dan vitamin, tetapi beberapa diantaranya dapat tumbuh dalam kondisi
medium dengan nutrisi yang minim. Kondisi tersebut tentu saja menguntungkan mikroba
untuk pertumbuhannya, tetapi jelas merugikan manusia (Rahayu, 2012: 69).
F. Pengobatan Keracunan Makanan

Pada kebanyakan kasus, keracunan makanan tidak membutuhkan pengobatan khusus. Untuk
meredakan gejala yang terjadi, Anda bisa beristirahat secukupnya dan minum banyak cairan
karena jika mengalami dehidrasi, maka gejala yang terjadi akan bertambah parah dan masa
pemulihan akan menjadi makin lama.

Orang yang rentan mengalami dehidrasi sebaiknya diberikan cairan rehidrasi oral atau
dikenal dengan nama oralit. Oralit berfungsi menggantikan glukosa, garam, dan mineral
penting lain yang hilang akibat muntah dan diare. Untuk sementara waktu, sebaiknya Anda
menghindari makanan biasa hingga merasa lebih baik. Anda bisa mengonsumsi makanan
yang mudah dicerna seperti bubur.

Berikut ini beberapa kondisi yang mengharuskan Anda mendapat pengobatan karena
keracunan makanan:

 Anda mengalami demam tinggi.


 Gejala yang dialami sangat parah dan tidak membaik hingga beberapa hari.
 Mengalami gejala dehidrasi parah, misalnya urine beraroma tidak enak, berwarna
gelap, dan sangat sedikit.
 Bayi Anda mengalami keracunan makanan.
 Terjadi wabah keracunan makanan dan terkait dengan sumber kontaminasi tertentu.
 Mengalami muntah-muntah lebih dari dua hari.
 Diare yang bertahan lebih dari tiga hari atau tinja bercampur darah.

Keracunan makanan juga bisa memberikan efek yang parah, terutama pada orang-orang
dengan kekebalan tubuh yang lemah. Di antaranya adalah penderita diabetes, gagal ginjal,
gagal jantung, HIV, kanker, mereka yang berusia di atas 65 tahun, dan bayi (Anonim, 2016).

G. Pertolongan Pertama Korban Keracunan Akibat Pangan yang Terkontaminasi

Untuk keracunan pangan yang umum, biasanya korban akan pulih setelah beberapa hari.
Namun demikian ada beberapa kasus keracunan pangan yang cukup berbahaya. Korban
keracunan yang mengalami muntah dan diare yang berlangsung kurang dari 24 jam biasanya
dapat dirawat di rumah saja. Hal penting yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya
dehidrasi dengan cara segera memberikan air minum pada korban untuk mengganti cairan
tubuh yang hilang karena muntah dan diare. Pada korban yang masih mengalami mual dan
muntah sebaiknya tidak diberikan makanan padat. Alkohol, minuman berkafein, dan
minuman yang mengandung gula juga sebaiknya dihindarkan. Untuk penanganan lebih
lanjut, sebaiknya segera bawa korban ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Korban
keracunan yang mengalami diare dan tidak dapat minum (misalnya karena mual dan muntah)
akan memerlukan cairan yang yang diberikan melalui intravena. Jika korban keracunan
pangan adalah bayi, anak kecil, orang lanjut usia, wanita hamil, dan orang yang mengalami
gangguan sistem pertahanan tubuh (imun) maka perlu segera dibawa ke puskesmas atau
rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan (POM, 2014).

H. Pengendalian Mikroba Patogen dan Pencegahan


Langkah-langkah umum yang diperlukan dalam pengendalian mikroba patogen dan
pencegahan timbulnya penyakit akibat mikroba patogen, antara lain penerapan praktik
pertanian secara benar (GAP atau good Agricultural practices) serta proses produksi /
pengolahan yang benar, membersihkan dan melakukan sanitasi peralatan yang akan
digunakan, mencegah kemungkinan terjadinya kontaminasi silang, mencuci dengan air
bersih, dan membilasnya dengan larutan yang mengandung antimikroba/desinfektan dengan
konsentrasi yang tepat agar mikroba sasaran dapat dibunuh, tetapi tidak menimbulkan
dampak negatif, yaitu adanya residu yang berlebihan. Cara yang lain adalah dilakukannya
proses penyimpanan pangan pada suhu dingin, proses pasteurisasi, dan proses pemanasan
pada pangan atau produk olahan, juga proses radiasi yang semuanya bertujuan mencegah
pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan, terutama bakteri patogen. Beberapa praktik
pencegahan yang lebih spesifik, misalnya proses disinfeksi air minum, perawatan saluran
pembuangan atau limbah cair maupun padat, penerapan proses sanitasi dan pasteurisasi pada
suhu, dan penerapan proses sanitasi pada produk hasil laut. Walaupun langkah-langkah ini
telah diterapkan, tetapi kasus patogen konvensional seperti salmonela dan vibrio cholerae
tetap saja terjadi, terutama di negara berkembang. Selain itu, masalah-masalah baru yang
timbul akibat timbulnya mikroba patogen yang emerging tetap harus diwaspadai (Rahayu,
2012: 70-71).
 BAKTERI-BAKTERI PATOGEN MAKANAN (FOODBORNE PATHOGEN
BACTERIA)

Bakteri patogen adalah bakteri yang mampu menyebabkan penyakit. Bakteri patogen dapat
menyebar melalui populasi manusia dalam berbagai cara. Pengobatan infeksi yang
disebabkan bakteri patogen melibatkan penggunaan antibiotik, obat yang telah
diformulasikan khusus untuk membunuh bakteri (Rahayu, Winiati. 2012 : 67-75).

Bakteri intraseluler adalah bakteri patogen yang selalu menyebabkan penyakit ketika mereka
memasuki tubuh manusia, berbeda dengan bakteri kondisional, yang dapat menyebabkan
infeksi dan penyakit dalam keadaan tertentu (Rahayu, Winiati. 2012 : 67-75).

Bakteri patogen dapat menyebar melalui populasi manusia dalam berbagai cara. Udara, air,
dan tanah semua adalah vektor yang umum, dan orang mungkin juga meneruskan bakteri
secara langsung satu sama lain melalui kontak fisik. Beberapa bakteri yang sangat mahir
menjajah lokasi seperti pegangan-pegangan pintu dan peralatan medis, yang memungkinkan
mereka untuk bergerak dari orang ke orang dengan mudah, sementara yang lain jauh lebih
virulen, dan akan mati jika mereka berada jauh dari host manusia terlalu lama (Rahayu,
Winiati. 2012 : 67-75).

Jenis Mikroorganisme Pangan (Bakteri Patogen) beserta Gejala dan Cara


Pencegahannya

1. Salmonella sp.

Bakteri ini biasanya terdapat pada daging sapi, daging unggas dan telur yang tidak
matang sempurna dan dimakan mentah. Kontaminasi juga dapat terjadi apabila pangan
matang bercampur dengan pangan mentah atau kontaminasi silang dari penjamah
makanan yang higienitasnya buruk. Gejala yang dialami oleh orang setelah makan
makanan terkontaminasi Salmonella diantaranya mual, demam, pusing, diare, muntah
selama 2 sampai dengan 7 hari. Pencegahan dapat dilakukan dengan memasak pangan
sumber protein hewani sampai matang benar, memisahkan makanan yang telah matang
dengan pangan mentah dan menyimpan pangan pada suhu <40 C.

2. Shigella sp.
Penyebaran jenis bakteri ini pada umumnya melalui orang/penjamah makanan yang memiliki
higienitas yang buruk dalam mengolah dan meyiapkan makanan. Shigella sering dijumpai
pada pangan hewani yang melalui proses pengolahan yang panjang atau pangan yang tidak
mengalami pemanasan. Masa inkubasi bakteri ini adalah 1-7 hari. Orang yang terinfeksi
bakteri ini akan mengalami sakit perut, demam, muntah dan diare. Langkah pencegahan
untuk menangani kasus ini antara lain mempraktikkan higienitas perorangan dan sanitasi
dalam penanganan makanan (HACCP), tidak menyimpan makanan pada suhu ruang selama
lebih dari 2 jam, selalu menggunakan lemari pendingin untuk menyimpan makanan dan
pekerja/penjamah makanan yang sedang sakit (diare dan muntah) tidak boleh menangani
pengolahan dan penyiapan pangan.

3. Eschericia coli

Jenis bakteri ini biasanya menyebar melalui pangan yang tercemar limbah. Hal ini terjadi
pada perjalanan pangan mulai dari produksi sampai dengan tahap akhir ke tangan konsumen.
Selain itu, dapat ditemui pula pada daging yang kurang matang dan susu yang tidak
dipasteurisasi. Masa inkubasinya adalah 3-4 hari. Apabila terinfeksi E. coli, penderita
mengalami kram perut yang disertai diare, demam (bisa sampai 10 hari), bahkan perlu
ditangani secara serius di rumah sakit. Kejadian yang fatal seperti infeksi saluran urin yang
bermuara pada gagal ginjal dapat terjadi bila terinfeksi bakteri E.Coli. Beberapa cara untuk
mencegah terkena infeksi ini adalah tidak mengonsumsi air mentah, susu non pasteurisasi dan
makanan setengah matang (tidak matang sempurna).

4. Campylobacter jejuni

Penyebaran bakteri ini terjadi melalui air mentah, binatang peliharaan yang terinfeksi,
mengonsumsi daging, unggas, susu dan kerang yang tidak dimasak dengan sempurna. Masa
inkubasi infeksi adalah 2 sampai dengan 3 hari dengan disertai gejala-gejala seperti diare
(kadang disertai darah), demam dan pusing yang berlangsung selama 1 sampai dengan 10
hari. Menghindari konsumsi pangan mentah, memasak air minum terlebih dahulu,
mengonsumsi susu yang telah dipasteurisasi dan menjaga kebersihan, serta menghindari
kontaminasi silang antara bahan pangan mentah dan matang, selalu mencuci tangan dan
menjaga kebersihan diri dan peralatan pangan merupakan upaya yang harus dilakukan untuk
menghindari infeksi bakteri ini.
5. Listeria monocytogenes

Umumnya bakteri ini ditemukan dialam, saluran pencernaan manusia dan hewan serta
lingkungan pengolahan makanan. Media penyebarannya antara lain air minum mentah, susu
nonpasteurisasi, daging dan produk perikanan serta sayur dan buah mentah yang dipupuk
dengan pupuk kandang. Infeksi pada orang dewasa dapat menimbulkan gejala demam,
menggigil, kembung, sedangkan pada bayi dan anak kecil terdapat gejala-gejala seperti
muntah dan sulit bernapas. Selain itu, kasus ini dapat menyebabkan keguguran janin pada
wanita hamil. Langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan antara lain menghindari
mengkonsumsi susu mentah dan keju yang dibuat dari susu nonpasteurisasi, mengikuti
petunjuk label pada kemasan dan memanaskan kembali produk pangan beku.

6. Staphylococcus aureus

Penyebaran bakteri ini berlangsung melalui kulit manusia, jerawat, bisul dan infeksi
teggorokan saat melakukan penyiapan dan pengolahan makanan. Staphylococcus aureus
senang berkembang pada jenis makanan seperti daging sapi, daging unggas, salad, keju, telur
dan makanan yang ditutupi oleh krim. Gejala-gejala yang biasanya dialami oleh orang yang
keracunan antara lain mual, muntah, diare dank ram perut selama 1 sampai dengan 2 hari.
Namun, kejadian ini jarang berujung fatal. Menjaga kebersihan diri, selalu mencuci tangan
saat mengolah, menyiapkan dan menyentuh makanan, serta menjaga kualitas sanitas
lingkungan yang baik merupakan tindakan pencegahan keracunan makanan yang disebabkan
oleh jenis bakteri ini.

7. Clostridium botulinum

Jenis bakteri ini paling banyak ditemukan dalam produk pangan kaleng tetapi tidak dengan
proses pemanasan yang sempurna. Biasanya praktik ini sering dijumpai pada industri rumah
tangga. Tanda-tanda yang dapat ditemui jika suatu pangan mengandung bakteri maupun
toksinnya antara lain terdapat cairan jernih agak keputihan. Kemasan retak, tutup kaleng yang
kendor, kaleng yang menggembung atau timbul bau yang menyimpang. Masa inkubasinya
adalah 4-72 jam dengan gejala-gejala yang timbul seperti sulit menelan, sulit bernafas, mata
mengantu, kesulitan berbicara dan penglihatan berbayang. Bila tidak segera ditangani akan
berakibat fatal. Cara pencegahannya adalah mencermati kondisi pangan kaleng sebelum
membeli, tidak mengonsumsi produk makanan dengan kaleng yang rusak dan memanaskan
pada suhu 800 C selama 20 menit sebelum dikonsumsi (Rahayu, Winiati. 2012 : 67-75).

Mekanisme atau Kerja Toksik dari Pengaruh Mikroorganisme Pangan

Salmonelosis adalah penyakit pada saluran gastrointestin yang mencakup perut, usus halus,
dan usus besar atau kolon. Penyakit ini disebabkan karena infeksi oleh bakteri Salmonella.
Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak dengan
flagel peritrik, berukuran 2-4 μm x 0.5-0,8 μm. Bakteri ini pertama kali diisolasikan oleh
Theobald Smith pada tahun 1885 dari babi. Nama jenis Salmonella diturunkan dari nama
terakhir dari D.E. Salmon, yang adalah direktur dari Smith. Bakteri ini tumbuh pada suasana
aerob dan fakultatif anerob, pada suhu 15 – 41oC (suhu pertumbuhan optimum 37 oC dan pH
pertumbuhan 6 – 8). Beberapa spesies dari Salmonella antara lain adalah Salmonella typhi,
Salmonella enteritidis, dan Salmonella cholerasuis.
Masuknya S. typhi dan S. paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi bakteri. Sebagian bakteri dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk
ke dalam usus selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral usus kurang baik
maka bakteri akan menembus sel-sel epitel selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Bakteri
dapat hidup dan berkembang biak di makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya menuju ke pembuluh
darah. (mengakibatkan bakteremia) kemudian menuju hati dan limpa. Di organ-organ ini
bakteri meninggalkan sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya. Di
dalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan secara ke dalam lumen usus. Sebagian bakteri dikeluarkan melalui
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Bakteri itu
kemudian menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik sepeti demam, malaise, gangguan
mental, koagulasi, dan pendarahan saluran cerna akibat erosi pembuluh darah.

Pola penyebaran penyakit ini pada tubuh manusia adalah melalui saluran cerna (mulut,
esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar). Bakteri masuk ke tubuh manusia
bersama bahan makananatau minuman yang tercemar. Saat kuman masuk kesaluran
pencernaan manusia, sebagian kuman mati oleh asam lambungdan sebagian kuman masuk ke
usus halus. Dari usus halus kumanberaksi sehingga bisa ”menjebol” usus halus. Setelah
berhasilmelampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, kepembuluh darah,
dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain). Sehingga feses dan
urin penderita bisa mengandung kuman yang siap menginfeksi manusia lain melalui makanan
atau minuman yang tercemari. Pada penderita yang tergolong carrier, kuman Salmonella bisa
ada terus menerus di feses dan urin sampai bertahun-tahun. Setelah memasuki dinding usus
halus, bakteri mulai melakukan penyerangan melalui system limfa ke limfa yang
menyebabkan pembengkakan pada urat dan bakteri tersebut kemudian menyerang aliran
darah. Aliran darah yang membawa bakteri juga akan menyerang liver, kantong empedu,
limfa, ginjal, dan sumsum tulang dimana bakteri ini kemudian berkembangbiak dan
menyebabkan infeksi organ-organ ini. Melalui organ-organ yang telah terinfeksi inilah
mereka terus menyerang aliran darah yang menyebabkan bakteremia sekunder yang menjadi
penyebab terjadinya demam dan penyakit (Mutiar, Sri. 2011).

Faktor Penyebab Pertumbuhan Mikroba Dalam Bahan Pangan


(1) Faktor Intrinsik (Sifat Bahan Pangan)
Faktor–faktor intrinsik atau faktor dalam yang dapat mempengaruhi populasi
mikroorgannisme didalam makanan meliputi sifat-sifat kimia atau komposisi, sifat fisik dan
struktur makanan. Faktor ini meliputi nilai aktivitas aira(Aw), komposisi nutrien, pH,
potensial redoks, adanya bahan pengawet alamiah atau tambahan dan sebagainya.
Ø Aktivitas Air (aw= water activity)
Nilai aktivitas air untuk beberapa bahan makanan dan jenis mikrooganisme khusus
yang terdapat didalamnya kan berbeda untuk setiap jenis bahan makanan. Bahan makanan
dengan kadar air tinggi ( nilai aw: 0,95 – 0,99) umumnya dapat ditumbuhi oleh semua jenis
mikroorganisme dan biasanya kerusakan akan lebih banyak karena bakteri dapat tumbuh
lebih cepat dibandingkan dengan kapang dan khamir.
Ø Nilai pH
Umumnya nilai pH bahan makanan berkisar antara 3,0 sampai 8,0.
Kebanyakan mikroorganisme tumbuh pada pH sekitar 5,0 sampai 8,0 dan hanya jenis-jenis
tertentu saja mikroorganisme yang ditemukan pada bahan makanan dengan pH yang lebih
rendah.
Ø Potensial Redoks

Potensial redoks dari suatu sistem biologis adalah suatu sistem indeks dari tingkat
oksidasinya. Bahan makanan dengan potensial redoks yang tinggi akan membantu
pertumbuhan dari jenis-jenis mikroorganisme yang bersifat aerobik seperti Pseudomonas.
Ø Zat-zat Gizi
Komposisi bahan makanan dapat menentukan jenis mikroorganisme yang dominan
didalamnya, karena hal ini akan menentukan jenis zat gizi yang penting tersedia untuk
perkembangan mikroorganisme. Bahan makanan dengan gizi yang cukup akan membantu
pertumbuhan mikrooragnisme seperti, Lactobacillus yang membutuhkan banyak zat gizi.
Ø Bahan Anti Mikrobial Alamiah
Bahan anti mikroba dapat diperoleh secara alamiah pada bahan-bahan makanan
seperti minyak essensial dan tanin pada bahan makanan asal tumbuh-tumbuhan dan lizozyme
serta avidin pada bahan makanan dari hewani seperti telur.
Ø Struktur Biologis
Strukutr biologis seperti lapisan kulit telur, kutikula dari bagian tanaman berguna untuk
mencegah masuknya mikroorganisme kedalam bahan makanan.

(2) Faktor Pengolahan


Faktor pengolahan ini akan mempengaruhi jumlah mikroorganisme yang dominan
dalam bahan makanan yang telah diolah atau diawetkan. Proses pengolahan seperti
pemanasan atau irradiasi dapat membunuh sebagian atau seluruh mikroorganisme,
terutama mikroorganisme yang tidak tahan terhadap panas dan irradiasi.
Pengeringan dan pembekuan bahan makanan dapat mengakibatkan kerusakan pada
mikroorganisme yang terdapat didalamnya. Tetapi beberapa jenis mikroorganisme yang tahan
terhadap perlakuan tersebut akan tetap dapat hidup dan dapat menyebabkan kerusakan bila
bahan makanan tersebut dicairkan.

(3) Faktor Ekstrinsik (Lingkungan)


Bahan pangan segar atau makanan olahan yang tidak langsung dikonsumsi
memerlukan tahap penyimpanan atau transpor/distribusi. Faktor-faktor yang mempengaruhui
penyimpanan dan transpor seperti suhu, kelembaban dan susunan gas, merupakan faktor
lingkungan (ekstrinsik) yang mempengaruhi populasi jasad renik yang terdapat pada
makanan.
(4) Faktor Implisit
Berbagai mikroba yang terdapat pada bahan makanan kadang-kadang mengakibatkan
dua atau lebih jenis mikro organisme hidup bersama saling menguntungkan (sinergisme) atau
sebaliknya yang satu merugikan pertumbuhan jenis mikrorganisme yang lain (antagonisme).

(5) Faktor Makanan


1. Makanan yang mudah rusak, yaitu yang mempunyai aktivitas air (aw), dan pH yang
relatif tinggi (pH>5,3), misalnya : daging , daging ayam, ikan ,susu dan sebagainya.
2. Makanan yang agak awet, yaitu makanan yang mempunyai pH pertengahan (antara 4,5
sampai 6,3 ) atau telah mengalami proses pengawetan sehingga kadar airnya menjadi
agak rendah, misalnya: jam, jeli, susu kental manis, acar, sosis terfermentasi dan sebagainya.
3. Bahan makanan yang awet (tahan lama disimpan) yaitu makanan yang telah diawetkan
dengan pengeringan sehingga kadar airnya (aw) rendah, misalnya dendeng, abon, ikan
asin dan sebagainya (Mutiar, Sri. 2011).

Jenis Toksik dan Penyebab Toksik pada Makanan dan Ciri Makanan yang
Mengandung Mikroba Pangan

Bahaya dalam pangan dapat dikategorikan dalam tiga golongan yaitu bahaya fisik berupa
kontaminasi pangan oleh kotoran-kotoran seperti batu, kerikil, potongan logam dan potongan
tubuh serangga, bahaya kimia seperti kontaminasi pangan oleh logam berat dan residu
pestisida, dan bahaya biologi yang contohnya kontaminasi oleh mikroba patogen. Berikut ini
akan diuraikan bahaya mikrobiologis pada pangan (Hartoko, 2009).

a. Bacillus cereus

Bacillus-cereus
Keracunan pangan yang diakibatkan oleh Bacillus sp ditunjukkan dari gejala diare, kejang
(kram) perut, dan muntah. Bakteri yang telah diisolasi dari baso adalah B. peptonificans yang
menyerupai B. cereus. B. cereus menyebabkan dua jenis penyakit yang dibedakan atas waktu
timbulnya gejala dan sindroma penyakit. Penyakit pertama, waktu timbulnya gejala penyakit
relatif lambat dengan sindroma diare, sedangkan pada penyakit yang kedua, gejala cepat
timbul dengan sindroma emetik.

Bacillus merupakan bakteri Gram-positif, aerobik, batang pembentuk spora, kadang-kadang


memperlihatkan reaksi Gram-negatif. B. cereus merupakan bakteri fakultatif anaerob dengan
ukuran sel-sel vegetatif sekitar 1.0  x 3.0 – 5.0  dalam bentuk rantai. Sebagian galur
bersifat psikrotrofik (tumbuh pada 4-5oC) tetapi tidak pada 30-35oC. Galur lain bersifat
mesofilik dan dapat tumbuh antara 15 oC dan 50 atau 55 oC, sedangkan suhu optimum
pertumbuhan berkisar: 30 – 40 oC. Umumnya tidak tumbuh pada pH 4.8 dalam media yang
diasamkan dengan HCl atau pH 5.6 dalam media yang diasamkan dengan asam laktat. Tidak
akan tumbuh pada aw 0.92 – 0.93 dengan NaCl sebagai humektan. Asam sorbat 0.26% pada
pH 5.5 dan kalium sorbat 0.39% pada pH 6.6 menghambat pertumbuhannya. Penambahan
0.2% kalsium propionat pada adonan roti dapat menghambat germinasi organisme. Makanan
yang akan disimpan harus didinginkan dengan cepat sampai suhu <10oC yang mencegah
pertumbuhan B. cereus. Makanan yang akan disimpan panas, harus dipertahankan suhunya di
atas 60 oC (Hartoko, 2009).

b) Bacillus anthracis

Bacillus-anthracis

Genus Bacillus terdiri dari banyak jenis, mereka bisa membentuk spora dan bersifat aerobik.
Jenis bakteri ini terdapat pada tanah, air, udara dan tumbuhan beberapa contohnya
diantaranya Bacillus cereus dan B. subtilis. Tetapi diantara jenis Bacillus, B. anthracis ialah
bakteri yang bersifat pathogen. Bakteri ini bersifat aerob dan non-motil merupakan bakteri
pertama yang terbukti sebagai agen penyebab penyakit antrax yang mematikan. Antrax
memang awalnya menyerang hewan, namun karena sifat sporanya yang tahan pada situasi
yang kurang menguntungkan maka apabila daging hewan ternak yang terserang antrax tidak
diproses dengan benar maka spora antrax akan tetap ada dan akan hidup pada manusia yang
memakannya. Proses infeksinya bisa melalui 3 cara, melalui kulit, pernafasan, dan
gastrointestinal. Spora antrax dapat tahan hidup di tanah selama sepuluh tahun, manusia
biasanya terinfeksi karena menghirup spora antrax.

Jenis Makanan yang Mudah Ditumbuhi Bacillus anthracis


Makanan yang berasal dari produk hewani terutama daging yang pemasakannya tidak
sempurna, dan diduga hewan tersebut telah terkontaminasi spora antrax.

Cara Pencegahan agar tidak Terkontaminasi Bacillus anthracis


Tentunya yang paling penting adalah segala tindakan pencegahan, seperti menghindari
daging hewan tertular dan mungkin juga pencegahan munculnya terorisme. Juga dengan
memasak dengan benar daging yang hendak kita konsumsi (Hartoko, 2009).

c) Campylobacter jejuni

Campilobacter-jejuni

Bakteri bersifat obligat mikroaerofilik (optimum pada 5% O2), Gram-negatif, sel-sel


berbentuk spiral dan motil. Bersifat oksidase positif, katalase positif, dan nilai pH optimum
pertumbuhan bakteri adalah 6,5 – 7,5. Adanya oksigen akan meningkatkan kematian.
Menyebabkan aborsi, infertilitas, penyebab enteritis dan bakteremia akut pada manusia.
Bakteri mempunyai antigen O yang stabil panas. Terdapat 3 spesies Campylobacter yaitu C.
jejuni, C. coli, C. laridis.
Gejala yang ditimbulkan adalah sakit perut, demam (kadang-kadang > 40oC), dan diare,
kadang-kadang diikuti muntah-muntah, diare berair, kadang-kadang berdarah. Pada gejala
mirip disentri, darah segar, mukus dan leukosit ditemukan pada tinja. Periode inkubasi sekitar
2 – 7 hari dan penyakit biasanya berlangsung pada periode yang sama. Diare umumnya
bersifat self-limiting (sembuh tanpa pengobatan). Organisme dikeluarkan dalam feses (tinja)
selama beberapa minggu. Kotoran ternak merupakan sumber kontaminasi selama pemerahan.
Sumber kontaminasi lain adalah infeksi puting susu oleh 104 C. jejuni/ml susu. Konsumsi
unggas yang kurang masak merupakan penyebab keracunan. Karkas daging sapi umumnya
lebih sedikit terkontaminasi. Mikroba ini peka terhadap udara, pengeringan dan panas.
C. jejuni peka terhadap panas dengan nilai D dalam susu skim, pada suhu 48oC adalah 7,2 –
12,8 menit, pada suhu 55oC adalah 0,6 – 2,3 menit, tidak tahan terhadap suhu pemasakan
atau pasteurisasi. Pemasakan daging giling yang mengandung 106 C. jejuni/g dengan suhu
internal 60oC selama 10 menit, bakteri sudah tidak terdeteksi. Nilai D pada suhu 60oC pada
daging adalah kurang dari 1. Secara umum, bakteri ini tahan hidup dalam makanan yang
disimpan dingin, tetapi sangat rentan terhadap pembekuan. C. jejuni dapat hidup sampai 4
minggu dalam air sungai pada suhu 4oC. Air yang tidak diklorinasi atau air mentah
merupakan penyebab kampilobakter enteritis pada manusia. Bakteri bersifat peka terhadap
NaCl, dimana 2% NaCl pada suhu 42oC sudah bersifat bakterisidal. C. jejuni umumnya peka
terhadap pengeringan dan penyimpanan suhu kamar. Destruksi oleh klorin 38 – 95% sel
masih mampu membentuk koloni pada agar darah dan pada pH 6 lebih efektif daripada pH 8.
Klorinasi yang tepat pada air minum merupakan CCP (titik kendali kritis) dalam mencegah
infeksi oleh Campylobakter asal air. Pasteurisasi ditetapkan sebagai CCP dalam mencegah
infeksi pada manusia melalui susu. Pemasakan pada suhu 55-60oC dapat menghancurkan
Campylobacter (Hartoko, 2009).

d) Clostridium botulinum

Clostridium-botulinum

Sejak tahun 1793 telah dilaporkan penyebab penyakit dan kematian oleh konsumsi sosis
(“botulus”) dan penyakitnya disebut botulisme. Toksinnya bersifat tidak tahan panas (80oC,
10’), tetapi sangat toksik (10-8 g mengakibatkan kematian). Sifat-sifat mikrobanya adalah
Gram positif, motil (flagela peritrichous), anaerobik obligat, berbentuk batang (2 – 10 m)
dengan spora berbentuk oval. Botulisme pada manusia disebabkan oleh tipe A, B, E.
Pertumbuhan pada pH minimum adalah 4.7, penting untuk industri pengalengan.

Gejala dikelompokkan menjadi botulisme asal makanan (foodborne), botulisme pada bayi
dan botulisme yang menimbulkan luka. Gejala botulisme pada makanan dapat muncul
beberapa jam atau beberapa hari seperti lemas, fatig, vertigo, pandangan buram, kesulitan
berbicara dan menelan akibat sarafnya terserang dan gagal bernapas yang dapat menimbulkan
kematian. Pada botulisme tipe E, menimbulkan mual dan muntah-muntah dan mortalitas
rendah.
Botulisme pada bayi, menyerang bayi kurang dari 12 bulan akibat menelan spora C.
botulinum, bergerminasi, tumbuh dan memproduksi toksin sambil mengkolonisasi alat
pencernaan. Madu diduga merupakan sumber spora dan tidak direkomendasikan untuk bayi
kurang dari 9-12 bulan. Kasus botulisme bayi disebabkan oleh galur C. barati penghasil
BoNT tipe F dan C. butyricum penghasil BoNT tipe E. Jumlah sel C. botulinum dalam tinja
dapat meningkat 103 – 108/g sebelum timbul gejala klinis. Mikroflora perut bayi tidak
mampu mencegah kolonisasi C. botulinum, bila telah dewasa hal ini jarang terjadi.

Spora dari semua tipe dan toksinnya toleran terhadap pembekuan. Grup I (proteolitik) dan II
(non-proteolitik, sakarolitik) paling penting dalam penyimpanan makanan. Grup I
mempunyai suhu pertumbuhan optimum antara 35 dan 40oC. Grup II mempunyai suhu
optimum pertumbuhan 28-30oC. Pertumbuhan dan produksi toksin dilaporkan dapat
berlangsung di bawah suhu penjualan makanan dingin.

Toksin dari semua tipe cepat inaktif pada suhu 75-80oC. Grup I mempunyai ketahanan panas
yang tinggi. Oleh karena itu perlu diterapkan botulinum cook atau “proses 12D” untuk
makanan kaleng berasam rendah. Spora-spora Grup II dikenal kurang tahan panas
dibandingkan galur Grup -I.

Spora-spora dan toksin C. botulinum tahan terhadap radiasi ionisasi. Umumnya Grup I tidak
dapat tumbuh bila konsentrasi garam lebih dari 10% (aw 0.9353); sedangkan Grup II tidak
tumbuh bila lebih dari 5% (aw 0.9707). Semua galur tumbuh dan memproduksi toksin pada
pH 5.2 di bawah kondisi optimum. Grup I tumbuh lambat pada pH serendah 4.6, dikenal
sebagai titik batas pemisahan untuk makanan asam atau yang diasamkan, sedangkan pada pH
di bawah 4.6 tidak mampu tumbuh. Galur Grup II tidak mampu tumbuh pada pH 5.0 atau di
bawahnya.
Kiuring daging dengan penggaraman dapat mengendalikan pertumbuhan C. botulinum.
Disarankan untuk mengurangi natrium nitrit yang berfungsi sebagai pembentuk flavor dan
warna, serta antimikroba, karena dikhawatirkan membentuk senyawa nitrosamin. Sebagai
pengganti dapat digunakan sorbat, polifosfat, antioksidan, nisin, paraben dan natrium laktat.
Beberapa bakteri asam laktat yang memproduksi bakteriosin mampu menghambat C.
botulinum. Sumber kontaminasi utama C. botulinum pada makanan adalah tanah terutama
sayuran (tanaman akar). Keracunan tipe A (botulisme) terjadi karena konsumsi salad kentang
yang sudah dimasak, disimpan beberapa hari pada suhu kamar dengan kondisi anaerobik
(Hartoko, 2009).

e) Clostridium perfringens

Clostridium perfringens adalah bakteri Gram positif, batang anaerobik (mikroaerofilik) dan
non-motil. Spora diproduksi segera dalam usus, memproduksi kapsul, memfermentasi
laktosa, mereduksi nitrat dan mempunyai aktivitas lesitinase (aktivitas -toksin). Gejala
penyakit yang timbul meliputi sakit perut, mual dan diare akut, 8-24 jam setelah menelan
sejumlah besar organisme. Penyakit berlangsung singkat, sembuh sendiri (self limiting), dan
pulih dalam waktu 24-48 jam.

Clostridium-perfringens

C. perfringens dikelompokkan dalam lima tipe (A – E) sesuai dengan eksotoksin yang


diproduksi; Tipe A, C dan D bersifat patogen untuk manusia. Tipe A dan C merupakan
penyebab diare akut. Galur-galur tipe A menyebabkan gas gangren, radang usus besar,
demam daerah perifer (tangan dan kaki) dan peradangan menyeluruh (septikemia).
Enterotoksin dari tipe A dan C diproduksi dalam jumlah yang cukup besar hanya dalam usus.
Produksi enterotoksin umumnya diduga dihasilkan dari lisis sel-sel yang bersporulasi dalam
usus. Toksin bersifat labil panas, inaktif pada 60oC dengan nilai D90 adalah 4 menit. Suhu
optimum C. perfringens 43 – 47oC. Pangan yang diberi garam (kiuring) dapat mencegah
spora bergerminasi dan sel-sel vegetatif tidak mampu tumbuh. Nilai pH minimum adalah 5.0;
dan pH optimum 6.0 – 7.5, sedangkan aw minimum adalah 0.95 – 0.97. Spora tahan terhadap
radiasi gama, nilai D sebesar 1,2 – 3,4 kGy bila diiradiasi dalam air. Irradiasi sebelum
pemanasan (0-7kGy) menyebabkan spora lebih peka terhadap pemanasan.

Makanan pembawa adalah daging sapi dan daging ayam masak yang disimpan pada suhu
kamar dengan waktu pendinginan yang lama. Spora bertahan hidup pada celah-celah dan
lubang pada bagian dalam dan terperangkap dalam kondisi anaerobik di dalam gulungan
daging. Spora bergerminasi setelah ada kejutan panas untuk aktivasi. Sayuran dan ikan
merupakan makanan pembawa. Makanan lain yang mungkin terkontaminasi adalah unggas,
ikan, sayuran, produk susu, makanan kering, sup, gravies, rempah-rempah, gelatin, spageti,
pasta, tepung, protein kedele, roti, cake, meat pies serta daging sapi dan unggas masak.
Sejumlah besar sel-sel vegetatif harus tertelan agar sel-sel tetap hidup setelah melalui daerah
asam dalam perut. Tindakan pengendalian yang efektif adalah dengan pendinginan relatif
cepat melalui kisaran 55 – 15oC dan pemanasan kembali produk pada suhu di atas 70oC
segera sebelum konsumsi. Setelah pemanasan, produk harus didinginkan dari 55 sampai
15oC secepat mungkin. Sebagai pedoman, peraturan di Amerika Serikat mensyaratkan suhu
internal produk tidak berada diantara 54.4oC dan 26.7oC selama lebih dari 1.5 jam atau
antara 26.7 dan 4.4oC selama lebih dari 5 jam. Bila daging dimasak, pendinginan harus
dimulai dalam waktu 90 menit pada akhir siklus pemasakan dan produk harus didinginkan
dari 48oC sampai 12.7oC dalam waktu kurang dari 6 jam. Pendinginan harus dilanjutkan
untuk transportasi sampai mencapai suhu 4.4oC (Hartoko, 2009).

f) Escherichia coli

Bakteri ini secara normal (komensal) terdapat pada saluran usus besar/kecil anak-anak dan
orang dewasa sehat dan jumlahnya dapat mencapai 109 CFU/g. Bakteri ini dikenal sebagai
mikroba indikator kontaminasi fekal dan dibagi dalam dua kelompok yaitu nonpatogenik dan
patogenik. Ada empat kelompok patogenik penyebab diare yaitu EPEC (Enteropatogenik
Escherichia coli), ETEC (Enterotoksigenik Escherichia coli), EIEC (Enteroinvasif
Escherichia coli) dan E. coli penghasil verotoksin (VTEC). Istilah lain juga digunakan untuk
VTEC seperti E. coli penghasil toksin mirip-Shiga (SLTEC) dan E. coli penghasil toksin
Shiga (STEC). Istilah enterohemoragik E. coli (EHEC) digunakan untuk galur-galur yang
menyebabkan diare berdarah. EHEC mempunyai faktor virulen disamping produksi
sitotoksin Vero, yang penting dalam menimbulkan penyakit yang berat pada manusia.
Escherichia coli

Enteropatogenik E. coli bersifat spesifik terhadap inang (host) dan menyebabkan diare tanpa
darah. Enterohemoragik E. coli (O157:H7) menyebabkan hemoragik dan diare berdarah,
enteroinvasif E.coli (EIEC) menyebabkan diare berdarah dengan gejala mirip disentri
(Shigella), sedangkan enterotoksigenik E. coli (ETEC) menyebabkan diare pada bayi
(infantile diarrhea) dan diare pada orang yang sedang bepergian dengan gejala mirip kolera.
Penyakit yang disebabkan oleh grup EPEC adalah diare berair yang disertai dengan muntah
dan demam. Diare sering bersifat sembuh sendiri, tetapi EPEC dapat menyebabkan enteritis
kronis berkepanjangan yang mengganggu pertumbuhan. EPEC umumnya dikaitkan dengan
bayi dan anak-anak di bawah usia 3 tahun. Grup EIEC menyebabkan diare yang secara klinis
sering menyerupai diare basiler, yang disebabkan oleh Shigella. Awalnya diare bersifat akut
dan berair, disertai demam dan kejang perut, berlanjut sampai fase kolon (usus besar) dengan
tinja yang berdarah dan mukoid. Tidak semua infeksi EIEC berlanjut sampai fase kolon,
sehingga darah tidak selalu terdeteksi dalam tinja. EIEC menyerang mukosa kolon dan
berkembang biak di dalam sel, menyebar ke sel-sel yang berdekatan setelah sel-sel yang
terinfeksi mengalami lisis.

Penyakit yang disebabkan oleh infeksi ETEC merupakan diare berair dengan kejang perut,
demam, malaise dan muntah. Dalam bentuk yang sangat berat, infeksi oleh galur ETEC dapat
menghasilkan gambaran klinis yang menyerupai diare yang disebabkan oleh Vibrio cholerae,
yaitu tinja air beras. ETEC merupakan penyebab utama diare pada bayi di negara kurang
berkembang dan juga diare pada orang yang sedang mengadakan perjalanan dari daerah
beriklim musim dengan standar higiene baik ke daerah-daerah tropis dengan standar hygiene
yang lebih rendah. VTEC menyebabkan hemoragik colitis (HC) dan sindroma hemolitik
uremik (HUS). Gejala HC sering dimulai dengan sakit perut dan diare berair, diikuti dengan
diare berdarah umumnya tanpa demam. Diare baik berdarah atau tidak, diikuti oleh
munculnya HUS. HUS terjadi pada semua kelompok umur tetapi paling umum pada anak-
anak

E. coli enteroagregatif dikaitkan dengan diare yang terjadi di negara berkembang. Diare
berlangsung selama 14 hari dan biasanya berair dengan gejala muntah-muntah, dehidrasi, dan
sakit perut. Diare berdarah dan demam timbul pada anak-anak yang terinfeksi oleh EaggEC.
Diare yang terkait dengan DAEC dicirikan dengan kotoran yang berair dan mengandung
mukus dengan demam dan muntah-muntah.

Sumber EPEC, EIEC, dan ETEC adalah manusia. Kontaminasi makanan berasal dari
karyawan pengelola pangan atau dari kontak dengan air yang mengandung buangan manusia.
Infeksi orang dewasa sehat memerlukan dosis paling sedikit 108 sel baik melalui pangan atau
air yang tercemar. Sumber utama organisme VTEC terdapat pada alat pencernaan dari usus
sapi dan hewan lain.

Galur-galur VTEC telah diisolasi dari daging sapi dan olahannya seperti sosis, beefburger
dan daging giling, demikian pula pada daging unggas dan hasil laut. Di Amerika Selatan,
VTEC O157 ditemukan pada daging sapi, babi, domba dan unggas. dan di Amerika dari
daging (patties) hamburger dan daging sapi giling.

Susu tanpa pasteurisasi merupakan pembawa infeksi yang penting. Pada tahun 1994 di
Skotlandia terjadi keracunan dari susu yang dipanaskan dari susu lokal. VTEC O157 berasal
dari pipa yang membawa susu dari peralatan pasteurisasi dan karet dari mesin pembotolan.
VTEC O157 hidup baik dalam makanan yang dibekukan dan disimpan beku. Dalam daging
sapi (beef patties) beku pada suhu -80oC dan penyimpanan pada -20oC, terjadi sedikit
perubahan dalam jumlah VTEC O157 setelah 9 bulan, dan 50% diantaranya hidup dalam
daging ayam giling beku yang disimpan pada –20OC selama 18 bulan. NaCl dan natrium
laktat menurunkan ketahanan hidup VTEC O157 selama pembekuan tetapi tidak
menghilangkannya setelah 18 bulan. Kadar NaCl 8% (b/v) atau lebih tinggi menghambat
pertumbuhan. Pertumbuhan VTEC O157 dalam makanan pada suhu 120C dan 8oC pada
saider apel tetap terjadi sehingga dapat membahayakan konsumen.

VTEC serotipe O22:H8 diidentifikasi di Jerman pada pasien dengan HUS (Hemolytic Uremic
Syndrom) dan dalam susu dari rumah pasien dan susu yang dipasok. Letusan gastroenteritis
dan diare berdarah di Montana dihubungkan dengan galur E. coli yang memproduksi VT2.
Pada tahun 1994, salami yang dikiuring kering merupakan sumber VTEC O157 dalam suatu
letusan di Amerika. Pada saat yang sama, sosis mettwurst yang tercemar dengan VTEC O111
juga menyebabkan letusan di Australia. VTEC bertahan hidup selama fermentasi dan proses
pengeringan. Letusan infeksi E. coli diaregenik yang melibatkan keju sebagai pembawa
infeksi menunjukkan bahwa galur-galur ini tetap hidup selama fermentasi dan pembuatan
keju. Galur-galur E.coli dapat tumbuh di dalam miselia Penicillium camemberti selama
pemeraman keju pada suhu 10oC. Hal ini menunjukkan bahwa kontaminasi silang permukaan
keju dapat menyebabkan produk membahayakan kesehatan konsumen.

VTEC O157 tidak mempunyai ketahanan panas khusus, nilai D pada 62.8oC adalah 24 detik.
Susu yang tercemar setelah pasteurisasi dan mendapat pemanasan ringan dapat mengandung
VTEC O157 dalam jumlah yang cukup untuk menyebabkan infeksi. Ketahanan panas ini
lebih tinggi dalam daging giling berlemak daripada tanpa lemak. Pada keju cottage, walaupun
VTEC O157 tumbuh selama proses pembuatan, bakteri akan mati bila curd dimasak pada
suhu 57oC selama 90 menit. Dosis radiasi sebesar 2.5 kGy akan membunuh VTEC O157
sebanyak 108.1 per gram daging sapi giling.

Penghilangan VTEC dengan pemanasan merupakan salah satu titik kendali utama dalam
rantai makanan. Untuk menghancurkan VTEC O157 dalam burger daging sapi disarankan
untuk memasak dan mempertahankan suhu 70oC selama 2 menit sampai jus tidak keluar dan
tidak ada potongan yang berwarna merah muda di dalamnya. Air yang tidak diklorinasi
sebaiknya tidak digunakan untuk pembersihan peralatan dan permukaan yang kontak dengan
makanan atau untuk pembersihan atau pendinginan unit-unit produksi pangan komersial.

g) Listeria monocytogenes

listeria monocytogenes

Bakteri ini termasuk kelompok Gram positif, batang pendek, tidak membentuk spora,
katalase positif, dan fakultatif anaerobik. Kadang-kadang berbentuk bulat, panjang 10 m.
Motil pada suhu 25oC, non-motil pada 35oC. Koloni mempunyai penampakan abu-abu
kebiruan. Terdapat 8 spesies, spesies terpenting penyebab infeksi manusia adalah Listeria
monocytogenes.
Sepertiga infeksi manusia adalah perinatal, melibatkan wanita hamil, bayi dalam kandungan
atau baru lahir. Duapertiga infeksi terjadi pada orang dewasa tidak hamil. Kebanyakan infeksi
listeriosis terjadi pada orang yang daya tahannya menurun karena umur, kondisi seperti
kanker, transplantasi organ, pemakai kortikosteroid, atau AIDS (acquired immunity
deficiency syndrome). Gejala hanya demam ringan tanpa atau dengan gastroenteritis atau
gejala mirip-flu, tetapi akibatnya pada janin atau bayi baru lahir dapat fatal. Gejala paling
umum adalah septikemia, kadang-kadang disertai meningitis, juga terlihat luka pada kulit.
Kebanyakan listeriosis disebabkan karena infeksi melalui makanan; tetapi luka pada kulit
dapat sebagai penyebar mikroba.

Batas tumbuh bakteri adalah pada aw 0.92 – 0.93. Tahan hidup 40 hari penyimpanan pada
suhu 25oC dalam hasil laut dengan kadar air rendah (2.0 – 2.35%). Kisaran pH pertumbuhan
bakteri cukup luas yaitu 9.2 (maks) dan terendah 4.6 – 5.0. Desinfektan yang efektif
menghilangkan L. monocytogenes adalah natrium hipoklorit, yodium, peroksida, amonium
kuaterner. Dekontaminasi pada sayuran minimum pada konsentrasi klorin 200 ppm.

Bakteri dapat hidup baik beberapa minggu pada suhu –18oC dalam berbagai ragam makanan.
Penyimpanan beku (-18 sampai –198oC) selama 1 bulan tidak banyak mematikan bakteri.
Pada ikan dan udang yang dikemas vakum dalam es selama 21 hari, jumlah bakteri tidak
meningkat dan pada –20oC jumlahnya menurun 10 x dalam 3 bulan. Bakteri dapat bertahan
hidup dan tumbuh pada suhu –1 – 50oC. Pemanasan microwave daging ayam sampai 70oC
dan pemasakan daging sapi sampai “medium” cukup mematikan L. monocytogenes.
Bakteri tahan terhadap iradiasi gama seperti bakteri Gram positif lain dengan nilai D beragam
dari 0.34 – 0.5 kGy dalam broth sampai 0.51 – 1.0 kGy dalam daging cincang. Dosis 3 kGy
tidak cukup menghilangkan bakteri dari daging kemas vakum.

h) Pseudomonas cocovenenans

P. cocovenenans berbentuk lurus atau sedikit melengkung, Gram-negatif, katalase-positif,


batang oksidase-negatif, yang bersifat motil dengan menggunakan satu dari beberapa flagela
polar. Bakteri ini tumbuh aerobik. Suhu optimum pertumbuhan adalah 30oC dan tidak
tumbuh pada suhu 4, 10 atau 45oC. Pada kondisi asam, pertumbuhan tidak berlangsung baik.
P. cocovenenas memproduksi dua senyawa beracun dalam tempe bongkrek yaitu asam
bongkrek (tidak berwarna) dan toksoflavin (kuning). Gejala tipikel dari keracunan bongkrek
setelah periode 4 – 6 jam adalah sakit perut, keringat berlebihan, lelah dan mual, yang
selanjutnya dapat menyebabkan koma yang kadang-kadang mengakibatkan kematian.
Beberapa gram tempe bongkrek beracun bahkan setelah dimasak dalam sup atau digoreng
dengan minyak, sudah cukup untuk membunuh manusia. Asam bongkrek (asam 3-karboksi-
metil-17-metoksi-6, 18, 21-trimetil-dokosa-2, 4, 8, 1-2, 14, 18, 20-heptana dioat sangat tahan
panas bila dilarutkan dalam minyak kelapa dan lebih toksik dari toksoflavin. Asam ini dapat
mematikan pada dosis 2 mg/100 g berat badan dan dapat mempunyai aktivitas kumulatif
(Hartoko, 2009).

i) Salmonella sp.

Salmonela sp

S. typhimurium merupakan serovar utama penyebab penyakit manusia sebelum tahun 1985.
Saat ini, dominasinya didekati oleh S. enteritidis yang muncul di banyak negara. Untuk dapat
menimbulkan penyakit, diperlukan sejumlah besar (105 sampai 107) Salmonella asal pangan.
Akan tetapi, bukti lebih baru menunjukkan bahwa satu sel dapat menjadi dosis infektif
manusia. Salmonella sp. merupakan bakteri batang Gram negatif, anaerobik fakultatif,
bersifat motil dengan flagela peritrikus kecuali S. pullorum dan S. gallinarum, yang tidak
memiliki flagela. Salmonella tumbuh optimum pada suhu 35oC sampai 37oC, memecah
berbagai jenis karbohidrat menjadi asam dan gas, dapat menggunakan sitrat sebagai satu-
satunya sumber karbon, memproduksi H2S, dan mendekarboksilasi lisin dan ornitin masing-
masing menjadi kadaverin dan putresin. Mikroba ini bersifat oksidase negatif dan katalase
positif.

Gejala penyakit yang ditimbulkan oleh salmonelosis manusia adalah demam enterik setelah
infeksi oleh galur-galur tifus atau paratifus atau gastroenteritis/kolitis nontifus yang dapat
berlanjut menjadi infeksi sistemik yang lebih serius. Manusia terutama peka terhadap infeksi
oleh S. typhi dan S. paratyphi A, B, dan C, karena kemampuan galur-galur ini untuk
menyerang dan berkembang biak dalam jaringan sel inang. Gejala klinis muncul 7 sampai 28
hari setelah pemaparan. Gejala klinis dapat berupa diare berair, atau jarang, sembelit
(konstipasi), demam, sakit perut, pusing, mual, lesu, dan bercak-bercak merah di pundak,
toraks, atau perut. Komplikasi demam enterik meliputi pendarahan usus atau perforasi usus.
Gejala salmonelosis nontifus adalah mual, kejang perut, diare dengan air dan darah, demam
singkat (< 48 jam), dan muntah yang muncul 8 sampai 72 jam setelah terpapar oleh bakteri.
Makanan yang terkait dengan salmonelosis adalah telur, daging ayam, ikan, susu, daging
sapi, susu bubuk tanpa lemak (S. New-brunswiek), es krim, kelapa kering, air terkontaminasi,
salad kentang dan permen cokelat.

Susu mentah merupakan sumber Salmonella yang utama dalam industri pengolahan susu.
Penyimpanan dingin susu mentah yang terlalu lama di peternakan atau di silo industri juga
akan mendukung perkembang biakan Salmonella psikrotrofik. S. typhimurium tumbuh
lambat pada suhu 8 dan 12oC. Salmonella dapat berkembang biak pada permukaan buah
seperti tomat dan melon serta pada sayuran segar yang secara manual atau mekanis dibasahi
selama penjualan pada suhu kamar. Produk segar yang akan dikonsumsi mentah harus selalu
dibilas dengan baik menggunakan air minum.

Potensi bertahan hidupnya Salmonella di bawah kondisi lingkungan ekstrim merupakan


perhatian utama dalam kesehatan masyarakat. Salmonella dapat tetap hidup dalam es krim
dan siput mentah yang disimpan selama bertahun-tahun pada -20 oC atau lebih rendah.
Salmonella dapat bertahan hidup pada lingkungan pH rendah seperti pada pangan yang
diasamkan secara alami, ditambahkan asam, dan difermentasi. Beberapa galur Salmonella
dapat inaktif dalam beberapa jam dalam pikel pH 2.8, tetapi tetap hidup dalam saus berpH
3.6.
Perlakuan kimia seperti peroksida, beta-propiolakton, etilen dan propilen oksida, dapat
mengendalikan salmonelosis, tetapi penggunaan bahan-bahan ini dapat menginduksi
terjadinya penyimpangan citarasa (off-flavor). Bahan kimia lain yang dapat digunakan adalah
senyawa amonium kuaterner, asam sorbat, natrium nitrit, antibiotika dan klorin. Pada ayam,
penyemprotan dilakukan dengan klorin 200 ppm.

Salmonella cukup peka terhadap iradiasi, pada dosis 0.36 – 0.54 Mrad dapat mereduksi
sebanyak 107 dari 18 galur Salmonella dalam telur beku (utuh). Tetapi iradiasi tidak efektif
dalam menghancurkan toksin bakteri yang sudah terbentuk lebih dahulu.
Panas paling efektif dan paling banyak digunakan untuk mereduksi Salmonella aplikasinya
pada suhu 70 – 75oC selama 3 – 7 menit, atau 66oC , 12 menit, atau 60oC selama 78 – 83
menit (Hartoko, 2009).

j) Shigella sp.

Shigella sp

Shigella merupakan penyebab disentri basiler yang ditemukan oleh ahli mikrobiologi Jepang
Kiyoshi Shiga pada tahun 1898. Terdapat 4 spesies yaitu Sh. dysenteriae yang umum terjadi
di negara tropis (berat), Sh. flexneri, Sh. boydii (sedang) dan Sh. sonnei (ringan). Shigella
termasuk anggota famili Enterobacteriaceae. Bakteri bersifat nonmotil, tidak membentuk
spora, berbentuk batang Gram negatif, katalase positif, oksidase negatif, dan fakultatif
anaerob. Produksi asam tanpa gas dari glukosa, bersifat mesofil dengan suhu pertumbuhan
antara 10 – 45oC, pH optimum 6 – 8 dan peka terhadap panas.

Shigella menyebabkan disentri basiler pada manusia dan primata. Dosis infeksi rendah,
sekitar 10-100 organisme. Periode inkubasi beragam dari 7 jam sampai 7 hari walaupun KLB
asal pangan umumnya dicirikan dengan periode inkubasi yang lebih singkat sampai 36 jam.
Gejala yang timbul meliputi sakit perut, muntah, demam, diare berdarah, yang menyertai
diare yang dapat berkisar dari gejala disentri klasik tinja berdarah, dalam kasus Sh.
dysenteriae, Sh. flexneri, Sh. boydii sampai diare berair dengan Sh. sonnei. Penyakit
berlangsung selama 3 hari sampai 14 hari dalam sebagian kasus dan tahap kerier (pembawa
penyakit) dapat berlangsung selama beberapa bulan. Bentuk penyakit yang lebih ringan
bersifat sembuh sendiri dan tidak memerlukan pengobatan, tetapi infeksi Sh. dysenteriae
sering memerlukan penggantian cairan dan elektrolit serta terapi antibiotik.

Kasus shigelosis asal pangan dikenal tidak umum, dengan kisaran inang yang lebih terbatas,
sehingga masalah penyakit asal pangan relatif kurang nyata dibanding salmonelosis. Dalam
kasus asal pangan umumnya melibatkan kerier manusia yang mempersiapkan makanan
(Hartoko, 2009).

k) Staphylococcus aureus

Staphilococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram-positif, berbentuk kokus (diameter 1 mikron),


bersifat katalase positif dan anaerob fakultatif. Bakteri ini termasuk mesofil dengan suhu
pertumbuhan berkisar antara 7- 48oC, dan suhu optimum 35 – 40oC. Nilai ketahanan
panasnya adalah D62 20-65 detik dan D72 4.1 detik dalam susu. Nilai pH optimum adalah 6
– 7, pH minimum 4.0, dan pH maksimum 9.8 – 10. Bakteri ini memproduksi enterotoksin,
serta toleran terhadap garam dan aw rendah. Dapat tumbuh baik pada 5 – 7% NaCl dan ada
yang mampu tumbuh sampai 20% NaCl. Dapat tumbuh pada aw 0.83 dan pH 20 jam) dan
tumbuh lambat. S. aureus segera terbunuh oleh iradiasi. Enterotoksin sangat tahan terhadap
iradiasi gama dan tidak akan hancur oleh dosis yang umumnya diterapkan pada makanan.
Bakteri ini tahan garam dan tumbuh pada aktivitas air serendah 0.85 (kadar garam 25% w/w)
(Hartoko, 2009).

l) Vibrio

Vibrio cholerae
Vibrio adalah bakteri Gram-negatif pleomorfik (bentuk kurva atau lurus), batang pendek,
motil dengan flagela polar. Sel-sel bersifat katalase dan oksidase-positif, serta anaerobik
fakultatif. Natrium klorida merangsang pertumbuhan semua jenis Vibrio dan merupakan
persyaratan obligat untuk sebagian jenis. Kadar optimum untuk pertumbuhan spesies yang
penting secara klinis adalah 1– 3%. V. parahaemolyticus tumbuh optimum pada NaCl 3 %
dan akan tumbuh pada konsentrasi antara 0.5 dan 8%. Minimum aw untuk pertumbuhan V.
parahaemolyticus beragam antara 0.93 – 0.987 tergantung dari padatan yang digunakan.

Pertumbuhan Vibrio enteropatogenik berlangsung optimum pada suhu 37oC dengan kisaran
tumbuh antara suhu 5 – 43oC. Bila kondisi mendukung, vibrio dapat tumbuh ekstrim cepat;
waktu generasi serendah 11 menit dan 9 menit telah dicatat masing-masing untuk V.
parahaemolyticus dan vibrio laut non-patogenik V. natrigens. V. parahaemolyticus umumnya
kurang tahan pada suhu ekstrim daripada V. cholerae. Jumlahnya turun perlahan pada suhu
dingin di bawah suhu pertumbuhan minimum di bawah kondisi beku sebesar 2–log setelah 8
hari pada suhu –18oC. V. parahaemolyticus akan tumbuh paling baik pada pH sedikit di atas
netral (7.5 – 8.5). Vibrio umumnya peka terhadap asam walaupun pertumbuhan V.
parahaemolyticus teramati pada pH 4.5 – 5.0.

Penyebab kolera adalah V. cholerae biotipe klasik yang menjadi penyebab KLB kolera sejak
tahun 1961. Pandemik dimulai di Sulawesi di Indonesia pada tahun 1961, mencapai Afrika
tahun 1970 dan Amerika tahun 1991. Kolera umumnya mempunyai masa inkubasi antara satu
dan tiga hari, dan dapat beragam dari diare ringan, sembuh-sendiri sampai gangguan yang
parah dan mengancam kehidupan. Dosis infektif pada orang sehat normal cukup tinggi, bila
organisme tertelan tanpa makanan, sebanyak 1010 sel. Studi di Bangladesh menunjukkan
jumlah 103 – 104 sel sebagai dosis infektif. Kolera adalah infeksi non-invasif dimana
organisme mengkolonisasi lumen usus dan menghasilkan enterotoksin (toksin kolera) yang
kuat. Pada kasus yang parah, hipersekresi natrium, kalium, klorida dan bikarbonat yang
diinduksi oleh enterotoksin menghasilkan diare pucat, berair, mengandung serpihan mukus,
dan disebut diare air beras. Diare dapat mencapai 201 hari dan mengandung sebayak 103
vibrio per ml, disertai muntah, tetapi tanpa mual atau demam. Bila hilangnya cairan dan
elektrolit tidak diganti maka tekanan dan volume darah dapat turun, viskositas darah naik,
gagal ginjal dan sirkulasi terhenti. Pada kasus fatal kematian terjadi dalam beberapa hari.

Kolera terutama dikenal sebagai infeksi yang berasal dari air (waterborne infection),
walaupun makanan yang kontak dengan air tercemar sering bertindak sebagai pembawa.
Keracunan pangan oleh V. parahaemolyticus terkait dengan ikan dan kerang. Jepang
merupakan penyebab umum keracunan pangan. Hal ini terkait dengan kebiasaan kuliner
mengkonsumsi ikan mentah atau setengah masak, walaupun penyakit juga dapat dihasilkan
karena kontaminasi-silang produk masak di dapur.

Masa inkubasi yang dilaporkan untuk keracunan pangan V. parahaemolyticus beragam dari 2
jam sampai 4 hari, walaupun umumnya 9 – 25 jam. Penyakit berlangsung sampai 8 hari dan
dicirikan oleh diare berair, sakit perut, muntah dan demam. V. parahaemolyticus lebih
enteroinvasif daripada V. cholerae, dan mampu menembus epitelium usus. Gejala disentri
juga dilaporkan dari sejumlah negara termasuk Jepang.

V. vulnificus merupakan organisme yang sangat invasif yang menyebabkan septikemia


primer dengan laju kematian tinggi mendekati 50%. Sebagian besar kasus terjadi pada orang
yang menderita penyakit hati (lever), diabet atau kecanduan alkohol. Orang sehat jarang
dipengaruhi, dan bila ada, umumnya terkena gastroenteritis. Dalam kasus asal pangan, gejala
malaise diikuti demam, dingin dan lesu muncul 16-48 jam setelah konsumsi makanan yang
tercemar, biasanya hasil laut, terutama kerang. Tidak seperti infeksi Vibrio lainnya, infeksi V.
vulnificus memerlukan perlakuan antibiotik seperti tetrasiklin (Hartoko, 2009).

m) Yersinia enterocolitica

Yersinia enterocolitica

Yersinia enterocolitica termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Spesies patogen terhadap


manusia dan hewan adalah Y. pestis; Y. pseudotuberculosis; Y. enterocolitica. Bakteri
bersifat Gram negatif, fakultatif anaerobik, bentuk batang (1 – 3,5 x 0.5 – 1.3 m) dalam
kultur muda (25oC) memproduksi sel-sel oval atau kokoid (coccoid). Suhu optimum
pertumbuhan bakteri adalah 32 – 34oC, pada suhu 37oC memerlukan nutrisi, 3 dari 4 jenis
asam amino berikut yaitu asam glutamat, thiamin, sistin, dan pantotenat. Pertumbuhan lebih
baik bila ditambah asam amino bersulfur (metionin atau sistein), dan ditambah thiamin.
Bakteri toleran terhadap pH tinggi, garam-garam empedu, dan surfaktan. Tahan pembekuan
(dalam makanan beku), -16 sampai –17oC. Mati dengan pasteurisasi, nilai D pada suhu
62,8oC adalah 0.24 – 0.96 menit.
Bakteri ini bisa menyebabkan penyakit yersiniosis yaitu infeksi gastrointestinal dengan
gangguan-gangguan seperti enteritis, dan ileitis terminal, serta dikenal sebagai penyakit
“usus buntu semu” (pseudoappendicitis), limfadenitis mesenterik. Gejala-gejala penyakit
meliputi demam, sakit perut, diare, mual, muntah yang akan pulih dengan
sendirinya.Kebanyakan yersiniosis pada manusia melibatkan 4 serotipe yaitu O:3; O:5,27;
O:8; dan O:9. Virulensi dikaitkan dengan adanya plasmid. Adhesi dan invasi tidak tergantung
pada adanya plasmid, tetapi kemampuan untuk tetap hidup dan berkembang biak tergantung
plasmid.

Y. pseudotuberculosis menyebabkan tuberkulosis semu (pseudotuberculosis) dan limfadenitis


mesenterik pada pasien yang didiagnosa sebagai radang usus buntu. Sifat serologis bakteri
mempunyai antigen somatik O yang tahan panas. Dikelompokkan menjadi Grup I (manusia
dan hewan) sampai grup VI. Gejala penyakit mirip tifus, pada penderita hepatik dapat
berakibat fatal. Gejala meliputi demam, sakit perut, anoreksia, mual, muntah, jarang diare.
Pada susu pasteurisasi bila terjadi kontaminasi pasca pasteurisasi, kultur dapat tetap hidup
paling sedikit 20 hari pada bagian luar karton susu pada suhu 4oC. Bakteri umumnya hancur
selama proses pemanasan makanan. Bakteri peka terhadap iradiasi, toleransi terhadap garam
sedang (Hartoko, 2009).
 JAMUR MAKANAN (FOODBORNE PATHOGEN FUNGI)

Istilah keracunan makanan digunakan secara luas oleh masyarakat untuk semua penyakit yang
diakibatkan oleh pemasukan makanan yang mengandung toksin. Dalam bahan makanan, suatu zat
dapat dinyatakan sebagai racun (toksin) jika efek yang ditimbulkan dari zat tersebut dapat merusak
sistem kerja metabolisme tubuh. Dari sekian banyak bahan makanan yang tersedia di alam, jamur
merupakan salah satu bahan pangan yang berpotensi menimbulkan racun namun tidak jarang pula
banyak dikonsumsi oleh masyarakat (Anonim, 2016).

Jamur atau cendawan adalah tumbuhan yang tidak mempunyai klorofil sehingga bersifat
heterotrof. Jamur ada yang uniseluler dan multiseluler. Tubuhnya terdiri dari benang-benang
yang disebut hifa. Hifa dapat membentuk anyaman bercabang-cabang yang disebut miselium.
Reproduksi jamur, ada yang dengan cara vegetatif ada juga dengan cara generatif. Jamur
menyerap zat organik dari lingkungan melalui hifa dan miseliumnya untuk memperoleh
makanannya. Setelah itu, menyimpannya dalam bentuk glikogen. Jamur merupakan
konsumen, maka dari itu jamur bergantung pada substrat yang menyediakan karbohidrat,
protein, vitamin, dan senyawa kimia lainnya. Semua zat itu diperoleh dari lingkungannya.
Sebagai makhluk heterotrof, jamur dapat bersifat parasit obligat, parasit fakultatif, atau
saprofit. Dari sekitar 100.000 spesies jamur, 100 diantaranya bersifat patogen atau beracun
(Anonim, 2016).

Jamur dapat tumbuh pada berbagai jenis pangan, dan pertumbuhannya akan menyebabkan
terjadinya kerusakan pangan yang bersangkutan, diantaranya kerusakan flavor, warna,
pelunakan, dan terbentuknya senyawa yang bersifat toksik. Kerusakan tersebut disebabkan
karena jamur dapat menghasilkan enzim ekstraseluler yang akan memecah senyawa tertentu
pada pangan yang bersangkutan, serta dapat menghasilkan metabolit sekunder yang bersifat
toksik, disebut mikotoksin (Elisa, 2014).
Mikotoksin telah menimbulkan beberapa jenis penyakit pada manusia dan hewan.
Mengkonsumsi makanan yang tercemar mikotoksin dapat menyebabkan keracunan akut
(jangka waktu pendek) dan kronik (jangka waktu sedang atau lama) dan dapat mengakibatkan
kematian sampai gangguan kronis seperti gangguan syaraf pusat, sistem kardiovaskular dan
paru-paru, dan saluran pencernaan (Elisa, 2014).

Mikotoksin tahan pada suhu tinggi dan tidak dapat dihilangkan dengan proses
pemasakan. Mycotoxin terdiri dari:

1) Aflatoxin
Aflatoxin yang berbahaya bagi manusia adalah tipe B1, B2, G1 dan G2 (B = blue, G =
green). Efek kronis yang disebabkan oleh konsumsi aflatoksin pada kadar rendah,
dapat menyebabkan penurunan berat badan ternak, menurunkan produksi susu,
menurunkan konversi pakan. Pada manusia, aflatoksin menjadi penyebab terjangkitnya
penyakit liver dan kanker karena konsumsi manusia atas daging, telur, susu yang telah
terkontaminasi Aflatoksin dalam jumlah tertentu. Aflatoksin B adalah toksin yang
berpotensi sebagai hepatokarsinogen. Biasanya mengkontaminasi kacang, jagung dan
biji-bijian lain, tepung, bumbu. Pencegahan penyebaran aflatoxin dapat dilakukan
dengan membatasi kontak dengan oksigen.
2) Fumonisin
Fumonisin adalah myxotoxin yang dihasilkan oleh mold Fusarium sp. Fumonisin
terdapat pada jagung dan serealia lainnya. Bersifat karsinogenik, dapat menyerang
sistem syaraf, liver, pankreas, ginjal, dan paru-paru.
3) Ochratoxin
Ochratoxin dihasilkan oleh Aspergillus ochraceus dan Penicilium verrucosum. Toksin
ini beiasanya terdapat pada daging babi, daging unggas, tepung, kopi, dan anggur.
ochratoksin A yang dihasilkan bersifat toksisitas ginjal, dan penurunan imunitas pada
beberapa hewan (Elisa, 2014).

Jamur-jamur yang menyebabkan kerusakan pangan antara lain adalah:


1) Aspergillus sp. memiliki kemampuan tumbuh dalam konsentrasi osmotic yang tinggi
(kadar gula dan garam tinggi), bersifat aerobic dan tumbuh pada lingkungan yang
kaya oksigen dan substrat yang kaya akan glukosa dan amilosa. Jamur Aspergillus
flavus menghasilkan aflatoksin B1 dan B2 yang dapat mengakibatkan kerusakan akut
pada hati dan pengerasan pada hati serta menurunkan kekebalan, sedangkan
Aspergillus parasiticus menghasilkan aflatoksin B1, B2, G1 dan G2.

2) Penicillium sp. merupakan jamur yang penting dalam lingkungan alami, makanan,
dan produksi obat. Beberapa jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh penicillium yang
berpotensi membahayakan kesehatan manusia adalah:
a. Citreoviridin yang dihasilkan oleh P. citreonigrum dan Eupenicillium
ochrosalmoneum, dapat menyebabkan beri-beri jantung akut di Jepang dengan
gejala-gejala sakit jantung, sulit bernafas, mual, dan muntah-muntah yang diikuti
oleh rasa takut dan kesakitan.
b. Citrin yang dihasilkan oleh P. citrinum, P. expansun, dan P. Verrucosum.
c. Occhatoksin A yang dihasilkan oleh P. verrucosum, dapat menurunkan
kekebalan, berpengaruh pada embrio, serta bersifat karsinogenik.
d. Patulin yang dihasilkan oleh P. expansum, P. pulvinum, P. griseofulum, dapat
mempengaruhi fetus tikus, kekebalan, persyarafan, dan pencernaan makanan.

3) Fusarium sp. juga mengahsilkan mikotoksin. Penyakit alimentary toxic aleukia


disebabkan oleh racun T-2 yang dihasilkan oleh F. sporotrichiodes dan F. poae pada
sereal (gandum) dan roti, serta Penyakit kanker kerongkongan yang disebabkan oleh
F. moniliforme pada jagung (Sembel, 2015: 252-254).

Pencegahan Kontaminasi Mikotoksin dapat dilakukan dengan :

1. Pengendalian pra panen


a. Pemilihan varietas resisten
Pemilihan bibit unggul merupakan strategi yang efektif untuk menghindari
serangan kapang toksigenik pada suatu komoditi. Kacang tanah varietas Jerapah,
Sima, dan Turangga dilaporkan lebih tahan terhadap serangan A. flavus
dibandingkan dengan varietas Macan dan J 11 . Ketiga varietas tersebut telah
diintroduksi di Indonesia untuk disilangkan dengan varietas lokal dan turunannya
telah diuji ketahanannya terhadap A. flavus.

b. Pengendalian serangga dan gulma


Pengendalian dengan menggunakan insektisida dan fungisida sesuai anjuran akan
membantu mencegah pertumbuhan jamur dan produksi mikotoksin. Selain itu,
gulma (alang-alang, gerintingan, babadotan, dll.) juga dapat menjadi vaktor bagi
Jamur, terutama yang tumbuh dalam tanah (soil born pathogen) seperti Fusarium
graminearum dan Fusarium moniliforme. Tumbuhan gulma dapat dihilangkan
secara mekanik, dengan menggunakan herbisida atau cara lain yang lebih aman.

c. Rotasi tanaman
Pencegahan infestasi jamur prapanen dapat dilakukan dengan rotasi tanaman
untuk memutus siklus perkembangbiakan jamur toksigenik yang ada dalam tanah.
Cara ini sangat efektif untuk mencegah penyebaran inokulum jamur penghasil
mikotoksin. Sebagai contoh, rotasi tanaman jagung-kacang kedelai dapat
mengurangi serangan Fusarium dibandingkan dengan penanaman jagung secara
berturut-turut.

d. Irigasi dan pengaturan kondisi tanah


Stres kekeringan dan fertilitas tanah sangat berpengaruh terhadap intensitas
serangan jamur dan produksi mikotoksin. Pengaturan suhu dan kelembaban tanah
berperan penting dalam pengendalian kontaminasi mikotoksin. Kandungan air dan
kelembaban tanah yang tinggi sangat baik untuk germinasi spora dan proliferasi
jamur. Selain itu, tanah yang kekurangan unsur Fe sangat berpotensi untuk
pertumbuhan Jamur A . flavus

e. Kontrol biologis
Pencegahan infestasi jamur toksigenik pada tanaman dapat pula dilakukan melalui
pengendalian secara biologis dengan menebarkan Aspergillus sp.non-toksigenik
yang akan berkompetisi dengan A. flavus dan A. parasiticus toksigenik, sehingga
perkembangan jamur tersebut akan terhambat (Maryam, 2006: 22-25).
2. Pengendalian saat panen
Menurut Kasno(2004) dalam Maryam (2006), Panen sebaiknya dilakukan pada
musim kering dan setelah biji benar-benar siap untuk dipanen. Biji atau bulir yang
masih muda banyak mengandung air yang sangat menguntungkan untuk pertumbuhan
jamur. Hasil panen segera dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari,
pengasapan atau mesin pengering.

3. Pengendalian pascapanen
a. Pemisahan secara fisik
Pemisahan dilakukan melalui pengamatan visual pada produk pertanian yaitu,
dengan memisahkan produk yang baik dari produk yang rusak akibat kerusakan
mekanik, serangga, infeksi jamur atau busuk . Pemisahan dengan cara tersebut
dapat menurunkan konsentrasi aflatoksin dan fumonisin pada jagung atau kacang
tanah, dan patulin pada apel secara nyata. Gambar 1 merupakan contoh pemisahan
secara visual pada kacang tanah .

(a) Terserang serangga ; (b) Terinfeksi Jamur ; (c) Kacang tanah yang baik

b. Pencucian dan pengenceran


Pada produk pertanian seperti kacang tanah, cemaran jamur dapat dikurangi
dengan pencucian yang diikuti dengan pengeringan. Cara ini dapat mengurangi
jumlah jamur, namun tidak menghilangkan/mengurangi toksin yang telah
terbentuk. Upaya mengurangi konsentrasi mikotoksin dapat pula dilakukan
pengenceran, yaitu dengan menambahkan bahan yang masih baik sehingga
kandungan cemaran tersebut menjadi sangat rendah
c. Pengeringan
Untuk mencegah produksi mikotoksin, hasil pertanian dikeringkan sesegera
mungkin dalam waktu tidak lebih dari 24 - 28 jam setelah panen. Pengeringan
dapat dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan sinar matahari,
digantung di udara terbuka atau dalam ruangan dengan sedikit
pemanasan/pengasapan, terutama untuk produk yang mudah terinfeksi Jamur, dan
dengan menggunakan mesin pengering.

d. Penyimpanan
Produk pertanian yang disimpan harus dalam keadaan kering dengan kadar air
yang sesuai untuk penyimpanan. Produk disimpan di gudang penyimpanan dengan
sirkulasi udara yang baik . Jika memungkinkan, suhu dan kelembaban diukur
secara rutin selama periode penyimpanan. Kenaikkan suhu 2 - 3°C dapat
menunjukkan adanya infestasi jamur atau serangga. Untuk produk yang dikemas,
sebaiknya digunakan kemasan yang memiliki pori-pori untuk sirkulasi udara, dan
diletakkan dengan menggunakan alas (papan) .

e. Penggunaan bahan kimia dan bahan pengikat


Bahan kimia dan bahan pengikat umumnya digunakan untuk pengendalian
mikotoksin pada produk pertanian sebagai bahan pangan/pakan selama masa
penyimpanan. Amonia sangat efektif untuk menekan pertumbuhan jamur
Aspergillus dan cemaran aflatoksin atau okratoksin pada kacang tanah dan jagung.
Bahan kimia lain seperti hidrogen peroksida juga sering digunakan untuk
mengurangi cemaran berbagai mikotoksin, namun penggunaannya pada suhu
kamar kurang efektif sehingga dibutuhkan pemanasan atau suasana alkalis. Asam
propionat 0,3 - 1% dapat mencegah pertumbuhan jamur Fusarium culmorum dan
F. gramineraum, atau bisa juga digunakan bahan pengikat mikotoksin seperti
arang aktif, sodium bentonit, dan zeolit (Maryam, 2006: 22-25).
 VIRUS MAKANAN (FOODBORNE PATHOGEN VIRUS)

Virus merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat bereproduksi di luar sel inang.
Virus menyebabkan infeksi karena memaksa inang untuk membantu reproduksi parasit
tersebut. Virus umumnya memiliki ukuran pastikel 25-250 nm, berisi material genetik dari
DNA atau RNA, protein dan terkadang lemak. Kontaminasi virus pada pangan terjadi karena
ketidakhati-hatian manusia menangani pangan. Risiko penularan terbesar tejadi pada pangan
yang tidak ditangani dengan benar atau tidak dimasak dengan benar. Pada umumnya, virus
yang ditularkan melalui pangan memiliki ulir RNA tunggal yang diselubungi oleh protein dan
terbungkus pada lipid yang berasal dari membran sitoplasma inang (Rahayu, 2012:80).

Partikel-partikel virus ini dapat ditularkan melalui banyak cara, seperti makanan atau
minuman yang sudah terkontaminasi, air ludah, persetubuhan seks, atau serangga sebagai
vektor, dan lain-lain. Kebanyakan virus makanan bersifat enterik (terjadi dalam perut), jadi
mereka menginfeksi lewat mulut dengan mengonsumsi bahan yang sudah terinfeksi virus dan
keluar melalui kotoran (Cliver, 1997). Hal ini dipahami terjadi karena adanya perubahan –
perubahan dalam pengolahan makanan dan kerangka konsumsi yang menyebabkan terjadinya
penyebaran dan ketersediaan makanan sedunia, sehingga dapat menimbulkan risiko tinggi
terjadinya penularan penyakit virus. Koopmans et al. (2002), menyatakan bahwa meskipun
banyak penyakit virus yang ditularkan oleh kotoran, kebanyakan laporan penularan virus
makanan adalah oleh Norwalk-like caliciviruses (NLV) dan hepatitis A (HAV). NLH dan
HAV dilaporkan dapat ditularkan dari orang ke orang atau secara tidak langsung melalui air,
makanan, atau berasal dari muntah seseorang yang menderita penyakit virus tersebut. Infeksi
virus makanan biasanya memiliki masa inkubasi 1-3 hari tetapi untuk hepatitis A masa
inkubasinya 2-6 minggu dan dapat menyebar dari lambung ke perut dan kemudian ke hati
yang akhirnya mengakibatkan jaundice, yaitu penguningan warna kulit. Penyakit virus dapat
menyebabkan infeksi bila mengonsumsi produk segar yang terkontaminasi dengan kotoran
(Sembel, 2015: 254-256).
JENIS VIRUS YANG SERING TERLIBAT DALAM FOODBORNE DISEASES

Jenis virus yang menyebabkan sakit pada hewan, tanaman, dan manusia sangat banyak. Pada
pembahasan ini, hanya akan diberikan beberapa contoh virus yang sering terlibat dalam
foodborne diseases dan juga dikenal sebagai virus pada usus manusia. Selain Norwalk-like
caliciviruses (NLV) dan hepatitis A, jenis-jenis lainnya adalah astrovirus, enterovirus,
norovirus, dan rotavirus. Selain partikel-partikel virus di atas terdapat juga jenis-jenis virus
yang sangat berbahaya dan tiga jenis virus yang mengakibatkan kematian selain HIV-AIDS
adalah: (1) Virus Marburg berbentuk virus demam berdarah yang dapat mengakibatkan
konvulsi, pendarahan mucus membran, kulit dan organ-organ dengan fasilitas 90%, (2) Virus
Ebola dimana terdapat 5 strain virus Ebola masing-masing menurut nama negara dan wilayah
di Afrika: Zaire, Sudan, Tai Forest, Bundibugyo, dan Reston. Virus Ebola Zaire adalah yang
sangat mematikan dengan mortalitas 90%. (3) Virus demam berdarah yang banyak
menyerang penduduk terutama di daerah tropis termasuk Indonesia (Sembel, 2015: 256).

1) Astrovirus
Astrovirus merupakan virus yang belum diklasifikasikan yang apabila diamati di
bawah mikroskop elektron berbentuk bintang berujung 5 atau 6. Menyerang anak-
anak dan lanjut usia dan virus ini dapat ditularkan melalui makanan. Virus ini dapat
ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak pada feses. Astrovirus ditransmisikan
dengan rute fekal oral melalui makanan atau air yang terkontaminasi, kontak antar
individu, atau permukaan yang terkontaminasi (USU, 2012). Menurut Sattar et al
(1994) dalam Sembel (2015), Astrovirus biasanya terjadi pada bayi dan dapat
menyebabkan kematian, terutama bayi-bayi di negara-negara berkembang (Sembel,
2015: 256).

MEKANISME KERJA TOKSIK

Virus ini membunuh enterosit pada dinding perut kecil. Virus ini menginfeksi saluran
pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Masa inkubasinya
selama 1-3 hari. Awalnya virus masuk bersama makanan dan minuman ke dalam
traktus digestivus, kemudian berkembang biak dalam usus. Setelah itu virus masuk ke
dalam epitel usus halus dan menyebabkan kerusakan bagian apikal vili usus halus. Sel
epitel usus halus bagian apikal akan diganti oleh sel dari bagian kripta yang belum
matang, berbentuk kuboid atau gepeng. Akibatnya sel-sel epitel ini tidak dapat
berfungsi untuk menyerap air dan makanan. Sebagai akibat lebih lanjut akan terjadi
diare osmotik. Vili usus kemudian akan memendek sehingga kemampuannya untuk
menyerap dan mencerna makanan pun akan berkurang. Pada saat inilah biasanya diare
mulai timbul. Setelah itu sel retikulum akan melebar, dan kemudian akan terjadi
infiltrasi sel limfoid dari lamina propria, untuk mengatasi infeksi sampai terjadinya
penyembuhan (USU, 2012).

GEJALA YANG TIMBUL


Gejala yang timbul terlihat seperti penderita diare maupun gastroenteritis (penyakit
pada perut) seperti muntah, diare yang cair, sakit kepala, demam, kedinginan,
dehidrasi, dan sakit dibagian perut (Anonim, 2013).

CARA PENGOBATAN
Beluum ada vaksin atau obat antivirus yang akan memblokir astrovirus (Anonim,
2013).

CARA PENCEGAHAN

Menjaga kebersihan lingkungan dan pribadi, serta meminum air yang bersih (Anonim,
2013).

2) Enterovirus
Enterovirus menyebabkan penyakit poliomyelitis (Sembel, 2015: 256). Virus ini
menyerang anak-anak pada usia bayi hingga lima tahun dengan sistem kekebalan
tubuh yang lemah (USU, 2012).

MEKANISME KERJA TOKSIK


Penularannya melalui kontak langsung dari orang ke orang yaitu melalui air liur, tinja,
cairan dari vesikel atau ekskreta. Penularan kontak tidak langsung melalui barang-
barang yang terkontaminasi oleh sekresi itu. Masa inkubasinya sekitar 2-5 hari (USU,
2012).

GEJALA YANG TIMBUL


Gejala yang timbul ditandai dengan demam yang tidak terlalu tinggi selama 2-3 hari,
tidak nafsu makan, dan pilek. Selain itu muncul gejala saluran pernafasan atas dan
timbulnya bintik-bintik merah yang menyebar di tangan dan kaki serta vesikel di
dalam mulut seperti sariawan yang membuat anak tidak mau makan (USU, 2012).
CARA PENGOBATAN
Tidak ada obat khusus untuk penyakit satu ini, untuk menanganinya hanya dapat
memberi obat sesuai gejala yang dialami oleh penderita. Jika panas, maka berikanlah
obat panas untuk anak dan perbanyak istirahat, karena penyakit ini akan sembuh
dengan sendiri berkisar tiga hingga enam hari (Anonim, 2013).

CARA PENCEGAHAN
dapat dicegah dengan menerapkan kehidupan yang sehat dan membiasakan untuk
selalu bersih. dan adanya vaksin pencegah enterovirus, maka ledakan penyakit ini
sudah jarang terjadi (Sembel, 2015: 256).

3) Rotavirus
Rotavirus adalah virus yang menyebabkan gastroenteritis. Gastroenteritis viral adalah
infeksi usus yang disebabkan berbagai macam virus. Rotavirus memiliki diameter
tubuh 50-60 nm. Partikel-partikel mempunyai kapsid berkulit ganda dan garis tengah
berkisar antara 60-75 nm (USU, 2012).

MEKANISME KERJA TOKSIK


Rotavirus menginfeksi sel-sel dalam vili usus halus. Virus-virus itu berkembang biak
dalam sitoplasma enterosit dan merusak mekanisme transportnya. Sel yang rusak
dapat masuk ke dalam lumen usus dan melepaskan sejumlah besar virus, yang
kemudian terdapat dalam tinja. Diare yang disebabkan oleh rotavirus akibat gangguan
penyerapan natrium dan absorpsi glukosa karena sel yang rusak pada vili digantikan
oleh sel kriptus belum matang yang tidak meyerap. Dibutuhkan waktu 3-8 minggu
untuk perbaikan fungsi normal. Penyebarannya terjadi melalui rute oral fekal. Masa
inkubasi selama 1 sampai 2 hari, walaupun gejala dapat berlangsung selama 10 hari
(Anonim, 2013).

GEJALA YANG TIMBUL


Gejala yang timbul antara lain diare berupa buang air besar yang berupa air (water),
demam, nyeri perut, dan muntah-muntah, sehingga terjadi dehidrasi.. Gejala utama
Gastroenteritis virus adalah diare berair berbusa, tidak ada darah lendir dan berbau
asam serta muntah. Gejala lainnya adalah sakit kepala, demam, menggigil, dan sakit
perut. Gejala biasanya muncul dalam waktu 4 sampai 48 jam setelah terpapar virus.
Pada bayi dan anak-anak, kehilangan banyak elektrolit dan cairan dapat mematikan
kecuali kalau diobati. Untuk mempermudah penanganan, sebaiknya kita tahu gejala
dehidrasi yaitu anak rewel, kehausan, minta minum terus, sehingga makin muntah
karena kebanyakan, mata cekung, kulit pada daerah perut dan dahi tidak kenyal (jika
dicubit tidak kembali) (Anonim, 2013).

CARA PENGOBATAN
Pengobatan gastroenteritis adalah pengobatan suportif, untuk mengoreksi kehilangan
air dan elektrolit yang dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis, syok, dan kematian.
Pengobabatannya yaitu dengan cara penggantian cairan dan pengembalian
keseimbangan elektrolit baik secara intravena maupun oral. Mengingat penyakit diare
rotavirus sangat mudah menular, maka perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan.
Salah satunya dengan merawat terpisah anak yang terinfeksi rotavirus dengan anak
sehat lainnya (Anonim, 2013).

CARA PENCEGAHAN
Untuk pencegahan agar tidak mudah terinfeksi rotavirus, pemberian imunisasi bisa
dilakukan. Apalagi, semua anak pasti pernah mengalami diare. Salah satu diare yang
mengancam adalah karena rotavirus. Perkembangan terakhir dengan teknologi
kedokteran saat ini telah ditemukan vaksin untuk rotavirus. Vaksin ini dapat diberikan
2-3 kali pada bayi usia 6-8 minggu (Anonim, 2013).

4) Norovirus
Norovirus adalah kelompok virus yang menyebabkan penyakit yang tidak terlalu berat
(sering disebut dengan flu perut/flu usus). Norovirus adalah virus yang berasal dari
golongan Norwalk virus. Merupakan virus utama penyebab penyakit perut. Termasuk
salah satu jenis virus yang belum diketahui dengan pasti. Penyebab penyakit perut dan
penyakit berbahaya lainnya yang menyangkut pencernaan. Merupakan virus dari
family calciviridae. Virus ini memiliki RNA tunggal yang tidak terbelit (USU, 2012).

MEKANISME KERJA TOKSIK


Virus ini menginjeksi biasanya masuk kedalam tubuh melalui air, sayuran & kerang
yang terkontaminasi oleh feses, dapat juga dari orang ke orang. Sering kali dijumpai
dalam air yang tidak bersih, kerang-kerangan, es, telur, salad, dan berbagai makanan
kontaminan lainnya. Masa inkubasinya berkisar 1-2 hari (Anonim, 2013).

GEJALA YANG TIMBUL


Gejala yang timbul sering terlihat seperti pada penderita diare. Gejalanya adalah
mual, muntah, diare, nyeri perut, sakit kepala & demam. Gejala-gejala tersebut
biasanya akan hilang dengan sendirinya dalam waktu 2-3 hari (Anonim, 2013).

CARA PENGOBATAN
Tidak ada vaksin untuk norovirus, hanya saja penderita serangan norovirus sebaiknya
dikarantina agar tidak menulari orang lain. Antibiotik tidak akan mengobati virus
norovirus karena antibiotik bekerja untuk melawan bakteri (Anonim, 2013).

CARA PENCEGAHAN
Dengan menjaga kebersihan, seperti membiasakan mencuci tangan sebelum makan
dan mencuci bahan makanan yang akan diolah atau dikonsumsi. Serta, selalu
mengganti dan menggunakan pakaian yang bersih agar tidak mudah bakteri tinggal
dan berkembangbiak dibaju kita yang kotor baik terkena makanan atau yang telah
terkontaminasi dengan penderita (Anonim, 2013).

5) Virus Hepatitis
Virus dalam air kemasan botol terutama dalam botol plastik berbahan PET (Poly
Ethylene Terphalate), kebanyakan merupakan jenis virus yang menjadi penyebab
hepatitis. Golongan yang termasuk virus ini adalah sebagai berikut: Reo virus,
menginfeksi intestines, paru-paru, ginjal, hati. Dan rotavirus: memiliki 11 segmen dari
untaian ganda RNA, panjangnya berkisar 70 nm, bentuk tubuh berulik dengan axis
tengah dan radiasi terbuka. Merupakan penyebab diare dengan resiko kematian yang
sangat mengancam khususnya untuk bayi dan anak-anak seperti yang telah dijelaskan
tadi (Anonim, 2013).

a) Virus Hepatitis A
Virus hepatitis A dapat menular melalui berbagai cara seperti kontak orang ke orang
atau melalui konsumsi makanan dan minuman yang telah terkontaminasi. Orang yang
telah terinfeksi virus hepatitis A dapat menjadi sumber penularan virus yang
mengontaminasi makanan sehingga orang-orang ini tidak diperbolehkan menangani
makanan meskipun mereka tidak terlihat sakit. Oleh karena itulah, orang-orang yang
bekerja menangani makanan, seperti di restoran atau pabrik makanan, harus diberi
vaksinasi hepatitis A. Setelah tertelan, ketahanan virus hepatitis A terhadap asam
memungkinkannya lewat dalam perut dan masuk ke usus halus (Anonim, 2013).

MEKANISME KERJA TOKSIK


Virus ini menginfeksi sel-sel epitel mukosa, berkembang biak dan menyebar ke sel-
sel yang berdekatan dan kemudian masuk ke hati (liver) lewat peredaran darah keluar.
Virus Hepatitis A menginfeksi sel-sel parenkimal hati. Setelah sel dipenetrasi, virus
hepatitis A akan mengambil alih sistem sel tersebut untuk menghasilkan komponen-
komponen virus yang baru dan memicu respons antibodi tubuh. Masa inkubasi (masa
antara pertama kali terpapar virus sampai munculnya gejala-gejala virus hepatitis A
adalah 15-50 hari (rata-rata 28 hari) (Anonim, 2013).

GEJALA YANG TIMBUL


Gejal-gejala awalnya adalah sakit otot, sakit kepala, hilang nafsu makan (anoreksia),
tidak enak perut, demam kemudian diikuti sakit kuning yaitu penguningan kulit, mata,
dan selaput lendir serta air kencing berwarna lebih gelap (Anonim, 2013).

CARA PENGOBATAN
Pemberian vaksin ulangan (booster) dalam waktu yang lebih lama (Anonim, 2013).

CARA PENCEGAHAN
Pencegahan hepatitis A bisa dilakukan dengan selalu menjaga kebersihan, membasuh
tangan dengan air dan sabun setelah dari kamar mandi, mengganti popok bayi, dan
sebelum menangani makanan; memasak makanan sampai suhu 85oC atau lebih tinggi
akan menginaktivasi virus hepatitis A. Jika diketahui telah terpapar virus hepatitis A,
pemberian suntikan immune globulin bisa dilakukan. Perlindungan terbaik dari
hepatitis A adalah dengan vaksinasi. Vaksinasi hepatitis A disarankan bagi anak-anak,
bagi mereka yang akan bepergian ke daerah yang dikenal memiliki tingkat kejadian
hepatitis A tinggi, homoseks, pengguna obat- obatan suntik dan nonsuntik, penderita
hemofilia, dan penderita liver kronis (Anonim, 2013).

b) Virus Hepatitis E
Virus Hepatitis E dapat menular melalui makanan dan air yang terkontaminasi. Tidak
ada bukti penularan virus ini melalui seks dan transfusi darah (Anonim, 2013).

MEKANISME KERJA TOKSIK


Ditularkan secara oral, melalui air minum yang sudah tercemar oleh tinja penderita
hepatitis E. Masa inkubasi virus asalah 40 hari (rentang 15-60 hari) (Anonim, 2013).

GEJALA YANG TIMBUL


Gejala-gejalanya mirip dengan hepatitis A (Anonim, 2013).

CARA PENGOBATAN
Belum ada pengobatan yang tepat dan menyembuhkan penyakit hepatitis akut ini,
pengobatan hanya bersifat supportif. Pencegahan adalah pendekatan yang paling
efektif terhadap penyakit ini (Anonim, 2013).

CARA PENCEGAHAN
Menjaga kebersihan lingkungan dan pribadi dapat mengurangi risiko hepatitis E.
Pencegahan lain adalah air dan makanan dimasak terlebih dahulu sebelum
dikonsumsi. Serta, menjaga sanitasi yang baik dan kebersihan pribadi yang tepat.
Selain itu penggunaan vaksin juga dapat mencegah penularan Hepatitis E (Anonim,
2013).

6) Norwalk-like caliciviruses (NLV)


Virus Norwalk like terdapat pada sayuran-sayuran mentah dan salad. Virus ini
menyebabkan radang pada lambung. Karakteristik virus Norwalk meliputi dosis
infeksius yang rendah (sebanyak 10 partikel virus), relatif stabil di dalam lingkungan
dan berbagai cara transmisi. Virus ini tahan dalam klorin 10 ppm dan pemanasan
hingga 60⁰ C serta dapat bertahan di kerang yang dipanaskan. Antibodi virus Norwalk
didapat lebih lama daripada antibodi terhadap rotavirus, yang muncul pada masa awal
anak-anak. Pada negara berkembang, sebagian anak sudah memiliki antibodi virus
Norwalk pada usia 4 tahun (USU, 2012).

MEKANISME KERJA TOKSIK


Penyebarannya melalui makanan dan minuman yang tercemar. Penularan dari orang
ke orang juga bisa terjadi, karena virus sangat menular. Masa inkubasinya 1 – 3 hari
(USU, 2012).

GEJALA YANG TIMBUL


Gejala yang timbul terlihat seperti penderita diare yang dehidrasi dimana kehilangan
cairan dan elektrolit (USU, 2012).

CARA PENGOBATAN
memperbaiki kehilangan cairan dan elektrolit yang dapat menimbulkan dehidrasi,
asidosis, syok dan kematian. Penatalaksanaan terdiri dari penggantian cairan dan
memperbaiki keseimbangan elektrolit secara oral atau intravena, menurut keadaan
masing-masing penderita. Selain pemberian cairan, pemberian makanan juga harus
diperhatikan (USU, 2012).

CARA PENCEGAHAN
Pencegahan dari gangguan karena virus ini umumnya dapat dilakukan dengan
memperhatikan kehigienisan bahan makanan yang akan diolah seperti mencuci bersih
sayuran-sayuran (USU, 2012).
 PARASIT MAKANAN (FOODBORNE PHATOGEN PARASITES)

Parasit adalah organisme yang bersel tunggal, ukurannya beraneka ragam dari yang kecil atau
mikroskopik hingga berukuran besar seperti cacing perut. Ukuran panjangnya berkisar antara
1-2 µm hingga mencapai 2 m (FSIS, 2015).

Patogen parasit makanan adalah organisme yang hidup dengan mengambil hara makanan
(nutrisi) dari inangnya yang dapat menginfeksi melalui air dan makanan. Gejala-gejala yang
ditimbulkan dapat sama dengan gejala gangguan perut yang ditimbulkan oleh bakteri dan
penularannya melalui rute fekal hingga oral (Albiner, 2002: 5).

Terdapat dua bentuk, yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah bentuk parasit
yang mengambil makanan dari bagian luar inang, seperti kutu kepala (Pediculus humanus
capitus), sedangkan endoparasit adalah parasit yang mengambil makanan dari dalam tubuh
inang seperti cacing helminth, dan protozoa. Endoparasit dapat merugikan inang atau
mengganggu kesehatan atau mematikan inang (manusia) dengan menghalangi pertumbuhan
dan perkembangan inang karena berkompetisi untuk mengambil nutrisi inang, contohnya
adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides) (Sembel, 2015: 257).

Jenis-jenis Parasit Makanan


Jenis-jenis patogen parasit makanan telah memberi dampak yang besar bagi manusia dilihat
dari aspek kesehatan manusia secara langsung dan tidak langsung, yaitu dampaknya terhadap
kesehatan hewan domestik (livestock) karena hewan-hewan ini menjadi penyedia daging bagi
manusia sebagai sumber protein dan hara makanan lainnya (Kim, 1997: 449)

Beberapa spesies dapat bertahan pada lingkungan untuk beberapa minggu dan dapat
klorinasi. Dua jenis patogen parasit makanan yang penting pada manusia dan hewan adalah
cacing perut (helminth) dan protozoa. Cacing perut (helminth) diklasifikasikan menjadi tiga
sub kelompok yaitu cestoda (tapeworms), trematoda (flukes), dan nematoda (round worms).

 Cestoda yaitu jenis cacing pipih (platyhelminthes) yang berbentuk pita


(tapeworms), badannya beruas-ruas atau bersegmen, tidak mempunyai rongga
badan, tidak memiliki alat pencernaan, dan biasanya mempunyai alat kelamin
ganda atau hermafrodit. Contohnya yang hospesnya manusia adalah Taenia
saginata dan Taenia soleum
 Trematoda adalah jenis cacing pipih berbentuk daun yang badannya tidak
bersegmen dan telah memiliki alat pencernaan. Contohnya adalah Clonorchis
sinensis di hati, Echino stomatidae di usus, Paragonius westermani di paru-paru,
Schistosoma haematobium di hati.
 Nematoda yaitu jenis cacing berbentuk benang yang jumlah spesiesnya terbesar di
antara cacing yang hidup sebagai parasit pada manusia. Berbadan bulat panjang
(silindris), mempunyai rongga badan, dan berjenis kelamin terpisah (jantan dan
betina).

Terdiri dari dua jenis yaitu nematoda intestinal atau nematoda yang berhabitat di
saluran pencernaan manusia dan hewan juga nematoda jaringan. Contohnya
adalah Ascaris lumbricoides, Wuchereria bancrofti dan Trichinella spiralis
(Purwoko, 2015).

Berbagai Parasit Yang Penting Bagi Hewan Domestik dan Manusia

Terdapat beberapa parasit yang sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup hewan
domestik dan manusia di Indonesia, diantaranya adalah :
1. Trichinella sp.

Spesies Trichinella seperti Trichinella spiralis bersifat multisel parasit nematoda yang
paling umum dan penting di dunia karena dapat menyebabkan penyakit yang disebut
trichinosis (Robert & Janovay, 2005: 405).

Penyakit trichinosis tersebar luas di dunia karena agen etiologiknya yaitu Trichinella
terdapat di mana-mana dalam populasi hewan, baik hewan domestik maupun liar (Kim,
1997: 450).
Cacing dewasa berukuran kecil ini terdapat dalam perut (intestine) babi dan setiap bentuk
betina dapat masuk ke dalam otot dan membentuk sista atau terbungkus dalam suatu
kapsul. Cacing betina bersifat vivipar dan biasanya masuk ke mukosa vilus usus, mulai
dari duodenum sampai ke sekum hewan yang biasanya dagingnya dimakan oleh manusia
contohnya sapi, babi, atau hewan lain (Wahedi, 2014).

Seekor cacing betina dapat mengeluarkan kira- kira 1500 larva. Larva tersebut dilepaskan
di jaringan mukosa, masuk ke dalam kelenjar limfe dan peredaran darah, dan menyebar
ke seluruh tubuh, terutama otot (diafragma, iga, lidah, laring, mata, perut, biseps, dll).
Kira-kira pada awal minggu ke-4 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista dalam
jenis otot yang bergaris lintang. Kista dapat hidup di otot selama kira-kira 18 bulan,
kemudian terjadi perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun (Wahedi, 2014).

Infeksi pada manusia terjadi apabila daging babi atau sapi yang mengandung larva
infektif yang terdapat di dalam kista dimakan oleh manusia. Ketika berada di usus halus
bagian proksimal dinding kista dicernakan dan dalam waktu beberapa jam larva dari
Trichinella spiralis dilepaskan, dan segera masuk mukosa, kemudian menjadi cacing
dewasa dalam waktu 1,5 - 2 hari (Wahedi, 2014).

Gejala awal dari infeksi cacing ini terjadi antara 12 jam sampai dengan 2 hari yaitu mual,
muntah-muntah, berkeringat, dan diare. Sesudah 5-7 hari akan terjadi akumulasi cairan
atau pembengkakan pada wajah (facial edema) dan demam yang diikuti dengan kesulitan
bernapas, melemahnya denyutan nadi dan turunnya tekanan darah, kerusakan jantung,
dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian karena kegagalan jantung dan komplikasi
pernapasan serta tidak berfungsinya ginjal (Robert and Janovay, 2005: 406).

Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan mebendazole atau albendazole


meskipun tidak menjamin dpat menyembuhkan penyakit. Anthelmintics dapat mengobati
dan mencegah infeksi Trichinella. Parasit ini dapat dicegah dan dikendalikan dengan
melakukan pengolahan daging sesuai standar, yaitu adanya spesifikasi waktu memasak,
suhu pembekuan dan waktu, metode pengawetan yang benar dan pengawasan ketat
terhadap penjualan daging babi. Larva Trichinella spiralis akan mati pada suhu kira-kira
60°C atau pada suhu jauh di bawah titik beku. Larva tidak akan mati dalam daging yang
diasin atau diasap. Konsumen juga perlu menghindari makan daging yang kurang masak
dan dianjurkan membeli daging yang disertifikasi. Untuk mengurangi provokasi
hipersensitivitas terhadap trichinosis akut direkomendasikan agar menggunakan
corticosteroids bersama dengan obat lain (Kim, 1997: 452).

2. Taenia saginata

Taenia saginata dikenal sebagai cacing pita sapi adalah jenis parasit yang memiliki
ukuran terbesar dari genus Taenia karena dapat mencapai panjang 22 mm, bersifat
zoonotik, parasit perut pada sapi, dan manusia yang menyebabkan penyakit taeniasis
(WHO, 2014).

Sapi merupakan inang antara dimana larva melangsungkan perkembangan dan manusia
merupakan inang definitif. Cacing pita ini terdpaat di mana-mana di dunia, khususnya
pada ternak sapi dan daging sapi di Afrika, Eropa Timur, Asia Tenggara dan Amerika
Latin. Manusia terinfeksi oleh parasit ini karena sanitasi lingkungan yang kurang baik.
Larva ditularkan melalui konsumsi daging mentah atau yang kurang masak (uncooked).
Diperkirakan bahwa secara global jumlah orang di dunia yang terinfeksi oleh parasit ini
berkisar 40-60 juta orang (Eckert, 2005: 560).

Infeksi T.saginata biasanya tidak menunjukkan gejala tetapi infeksi berat dapat
mengakibatkan kehilangan berat, mual, pusing-pusing, sakit perut dan kehilangan nafsu
makan (Kim, 1997: 453).

Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan praziquantel (5-10 mg/kg, sekali


makan) atau niclosamide (2 gr, sesudah sarapan pagi). Pencegahan penyakit ini dilakukan
dengan memasak daging secara baik untuk membunuh bentuk larva disebut skoleks
(scolex) yang telah dibungkus atau diinvaginasi dalam kantong cairan dari inang yang
disebut cysticerci atau didinginkan dan dibekukan pada suhu -10˚C selama 9 hari atau
melakukan penggaraman (WHO, 2013).

3. Taenia solium
Taenia solium adalah cacing pita babi yang merupakan parasit zoonotik perut (yang dapat
ditularkan dari hewan rendah ke manusia) dan tersebar sangat luas (prevalent) di negara-
negara dimana penduduknya banyak yang memakan daging babi. Taeniasis dilaporkan
tidak terjadi pada penduduk beragama Islam karena mereka tidak makan daging babi
(Pawlowski, 1990: 492).

Bentuk dewasa cacing ini memiliki tubuh berbentuk datar seperti pita (ribbon), berwarna
putih dan berukuran panjang antara 2-3 mm. Manusia merupakan inang definitif dan babi
adalah inang antara. Babi biasanya makan telur berembrio disebut morula, kemudian
berkembang menjadi larva yang infektif disebut cysticercy (larva yang terbungkus dalam
kantong) yang kemudian berkembang menjadi dewasa dalam perut kecil manusia. Bentuk
cysticercy dan kepala cacing yang terbungkus (invaginated) disebut skoleks (Rabiela et
al, 1989: 4-13).

Infeksi secara tidak sengaja pada manusia dapat mengakibatkan cysticercosis yaitu
infestasi oleh cysticercy. Bentuk yang paling serius adalah sistriserkosis saraf
(neurocysticercosis), yang memengaruhi otak yang dapat mengakibatkan epilepsi. Infeksi
pada manusia dapat terlihat pada adanya telur parasit dalam kotoran manusia.
Pengendalian dapat dilakukan melalui pengobatan dengan obat anthelmintics berspektrum
luas seperti praziquantel dan albendazole.

Infeksi parasit Taenia spp. yang disebut taeniasis tidak memiliki gejala yang jelas, namun
dalam kasus-kasus yang serius, maka infeksi cacing ini dapat menyebabkan iritasi perut,
anemia, dan ketidaksanggupan mencerna (indigestion) yang menyebabkan kehilangan
nafsu makan, dan menjadi kurus (emaciation). Dalam banyak kasus cysticercosis dalam
otak dapat mengakibatkan epilepsi, serangan tiba-tiba (seizure), luka (lessions) dalam
otak, kebutaan, dan pertumbuhan mirip tumor. Parasit ini dapat juga menyebabkan
masalah persarafan (neurological) seperti adanya cairan dalam otak (hydrocephalus),
kelumpuhan setengah badan bagian bawah termasuk kaki (paraplegy), radang selaput
otak (meningitis), sawan/konvulsi (convulsions), dan bahkan kematian (Reeder et al,
2013).

Cara terbaik untuk mencegah penyakit ini ialah menjauhi makan daging babi yang tidak
matang, sanitasi yang baik, sehingga tidak terjadi kontaminasi dengan kotoran manusia.
Cysticercosis dapat terjadi karena mengonsumsi telur-telur T.solium melalui sayuran atau
air yang terkontaminasi. Telur-telur tersebut akan berkembang menjadi larva yang
kemudian masuk ke dalam saluran darah dan menginfestasi jaringan inang, suatu kondisi
yang disebut cysticercosis. Penyakit ini dapat menyebabkan sakit kepala, pusing-pusing,
serangan tiba-tiba, menjadi gila (dementia), hipertensi pada otak, kebutaan, pertumbuhan
menyerupai tumor, dan tingkat leukosit (eosinophil) rendah (Sembel, 2015: 261).
4. Taenia asiatica

Taenia asiatica memiliki bentuk morfologi yang hampir sama dengan T.saginata namun
T.asiatica lebih pendek dan diameter skoleks lebih lebar dan jumlah testis yang lebih
rendah. Infeksi cacing ini terdapat di beberapa negara Asia. Dilaporkan bahwa taeniasis
juga terdapat di Indonesia terutama bagi mereka yang makan daging babi (Depary and
Kosman, 1990).

Babi, ternak sapi, kambing, kera dapat menjadi inang antara dari parasit ini. Parasit ini
juga tidak menunjukkan gejala. Infeksi cacing ini dapat menyebabkan pendarahan pada
perut (ulcer) (Liao & Bair, 2007: 1028).

5. Cacing Pita (Diphyllobothrium latum)

Cacing ini merupakan jenis cacing pita yang hidup sebagai parasit pada manusia, anjing,
kucing dan serigala. Jenis cacing ini dapat menyebabkan Diphyllobothriasis yaitu
penyakit cacing yang paling berbahaya. Cacing memiliki ukuran 2-12 m warna abu-abu
kekuningan dengan bagian tengah berwarna gelap (berisi uterus dan telur). Cacing
dewasa memiliki beribu-ribu proglotid (bagian yang mengandung telur) dan panjangnya
sampai 450-900 cm. Telurnya dikeluarkan dari proglotid di dalam usus dan dibuang
melalui tinja. Telur akan mengeram dalam air tawar dan menghasilkan embrio, yang akan
termakan oleh krustasea (binatang berkulit keras seperti udang, kepiting). Selanjutnya
krustasea dimakan oleh ikan. Manusia terinfeksi bila memakan ikan air tawar terinfeksi
yang mentah atau yang dimasak belum sampai matang. Namun, bibit cacing banyak juga
ditemukan di dalam daging babi dan daging sapi. Daerah penyebarannya meliputi wilayah
Eropa, Afrika, Amerika Utara dan Jepang (Alfaro, 2011).

Infeksi biasanya tidak menimbulkan gejala, meskipun beberapa penderita mengalami


gangguan usus yang ringan, terkadang cacing pita menyebabkan anemia karena pada
penderita awalnya kekurangan vitamin B12. Jika telah didiagnosa menderita penyakit
akibat cacing ini dapat dilakukan pengobatan dengan diberikan niklosamid atau
prazikuantel per-oral atau melalui mulut. Dalam rangka pencegahan dapat dilakukan
proses pembersihan yang baik, pemasakan daging babi, sapi, ikan atau makanan lain yang
memiiki kemungkinan menjadi tempat bertumbuhnya cacing ini secara matang dengan
suhu yang tepat, dan jika ditemukan adanya daging dengan keadaan yang buruk (berbau,
berlendir, berubah warna, menimbulkan rasa yang tidak semestinya) akan lebih baik tidak
untuk memakannya (Albiner, 2002: 11).
 PROTOZOA MAKANAN (FOODBORNE PATHOGEN PROTOZOA)

Makanan tercemar protozoa


Makanan yang tercemar protozoa atau parasit dapat menyebabkan penyakit yang
serius, antara lain penyakit disentri yang disebabkan oleh Entamuba histolica dan
penyakit lain yang dapat ditimbulkan oleh Trikomonas horminis, Giarda lamblia, dan
penyakit cacing. Dalam mengolah makanan, sebaiknya mnggunakan bahan makanan
yang memenuhi persyaratan kesehatan/sterilisasi dan menghindari mengonsumsi
makanan yang masih mentah. Jika timbul gejala penyakit yang diduga disebabkan
oleh makanan yang tercemar protozoa atau parasit , segera dirawat di rumah
sakituntuk mendapat pemeriksaan dan pengobatan (Sartono, 2002: 75).

Protozoa Makanan
Protozoa merupakan mikroba dengan struktur mulai dari yang sederhana hingga yang
kompleks dan sangat banyak jenisnya. Sebagian dari beberapa jenis tersebut dikenal
sebagai parasit penyebab baik pada hewan maupun manusia . Penggolongan protozoa
adalah protozoa bentuk kokus yang terdiri dari Cryptasparidium, Cyclospora,
Sarcocytys, dan Toxoplasma ;Berflagel Giandia, Entamoeba, Ciliophora,
microspora, dan Blasocytys (Rahayu. 2012: 80).

1.1 Cryptosporidium sp.


Cacing ini biasanya diisolasi dari penderita HIV-positive dengan gejala diare.
Ditemukan paling banyak berasal dari air (waterborne disease). Parasit ini
diteluran oleh sista mikroba (Oocyst) yang termakan dan masuk ke dalam perut .
Infestasi dalam perut menyebabkan infeksi pada jaringna epitel perut. Penyakit ini
serang dikenal dengan nama cryptosporidiosis atau crypto (Chen et al. 2002)
Gejala terlihat dua sampai 10 hari sesudah infeksi dan berlangsung selama 2
minggu sampai 1 bulan. Selain adanya diare encer juga sakit perut, kram, dan
demam rendah. Gejala lain adalah mual (nausea), muntah-mutah dan dehidrasi
(Win et al. 2006). Infeksi terjadi melalui air yang sudah terkontaminasi parasit,
makanan mentah atau kurang masak, atau melalui hewan yang sudah
terkontaminasi. Pencagahan dapat dilakukan dengan melakukan filtrasi air
minum,pemberian disenfeksi klorin yang cukup tinggi serta penyinaran UV juga
dapat menginaktifkan Cryptosporidium. Pengobatan dilakukan dengan
menggunaakan Paromomycin, Atovaquone, Nitazoxanide, Dan Azithromycin.
(“Cryptosporidiosis”. Center for Dieseae Control and Preventivention. 5
February 2009)

1.2 Toxoplasma gondii


Toxoplasma gondii memiliki ukuran 4-8 µm X 2-4 µm dan merupakan parasit
intraseluler pada oak, jantung, otot dari kucing, domba, babi, dan sapi. Selain
itu protozoa ini juga dapat menyebabkan infeksi pada usushalus. Namun ,
akibat yang sering tejadi adalah abortus. Pencegahannya dapat dialakukan
dengan memasak pngan, terutama daging sampai benar-benar matang
(Rahayu, 2012: 80).

Toxoplasma gondii parasit protozoa yang terdapat dimana-mana, pada hewan


berdarah panas terutama jenis-jenis kucing termasuk manusia dan penyebab
penyakit Toxoplasmosis (Ryan &ray, 2004). Hewan terinfeksi dengan
memakan daging babi, minum air atau mengkonsumsi makanan yang telah
tercemar parasit atau melalui transmisi ibu hamil yang terinfeksi dan
ditularkan ke fetus selama kehamilan . (Montoya & Liesenfeld , 2004) Selang
beberapa minggu pertama setelah ekspour, parasit ini menyebabkan penyakit
menyerupai influenza atau tanpa ada gejala. Namun, bagi mereka yang sistem
kekebalannya lemah, terutama yang menderita HIV dan wanita hamil dapat
mengakibatkan penyakit serius dan kematian ( Dupont et al. 2007). Hampir
sama dengan penyakit-penyakit yang disebakan oleh protozoa lainnya, parasit
ini juga dapat mengakibatkan ensefalitas ( Pembengkakan bagian otak) dan
penyakit-penyakit saraf serta dapat mempengaruhi jantung, hati, telinga bagian
dalam, dan mata (chorioretinitis) (Jones et. Al. 2001). Toksoplasmosis akut
menunjukan gejala pembengkakan nodus limfa, gatal-gatal otot, dan rasa sakit
yang dapat berlanjut lama. Penyakit ini disebut juga dengan “Crazy cat lady
syndrome” . Penularan parasit dapat terjadi melalui makan daging baibi atau
domba yang tidak masak atau yang mengandung sista Toksoplasma, atau
melalaui kontaminasi peralatan dapur seperti pisau , makan buah atau sayuran
yang tidak di cuci , kontaminasi kotoran kucing mlalui tangan ke mulut, dan
lain-lain.
1.3 Entamoeba Histolyca
Entamoeba Histolyca merupakan protozoayang banyak terdapat di daerah tropis
dengan ukuran diameter 18-30µm . Protozoa ini dapat ditularkan oleh manusia ,
anjing atau kucing, Sakit yang ditimbulkan akibat protozoa ini adalah penyakt
disentri dan dikenal dengan disentri amoeba, pencegahannya serupa dengan
protozoa lainnya (Rahayu, 2012: 80).

E. Histolyca adalah parasit amoeba bersifat anaerobik yang menyebabkan


penyakit yang disebut Amoebiasis (WHO. 1999). Penyakit ini menyebabkan
penyakit pencernaan makanan (Gastrointerstinal) yang bersifat laten pada
seseorang selama bertahun-tahun . Dilaporkan bahwa Amoebiosis menyebabkan
sekitar 70.000 kematian pertahun di dunia bahka dilaporkan dapat mencapai
100.000( WHO, 1998; Heiman et al. 2012). Gejala infeksi penyakit ini adalah
diare atau disentri dengan darah dan mukus dalam kotorannya. Invasi permukaan
pada perut menyebabkan disentri amuba atau amoebic colitis. Parasit ini masuk
kedalam saluran darah dan menyebar ke seluruh bagian tubuh lalu bberakhir ke
hati , sehingga menyebabkan luka amuba hati (amoebic liver abscesses).

Penyakit ini biasanya tidak menunjukan gejala tapi dapat mengakibatkan


penderitaan mengalami sakit serius dan berlangsung beberapa tahun. Amoebiasis
biasanya ditularkan melalui rute mulut dan kotoran , tangan kotoran, air dan
makanan yang terkontaminasi atau lingkungan yang kotor. Pencegahan dilakukan
dengan membersihkan tangan dengan sabun , membershkan toilet, kamar mandi ,
dan handuk, mengonsumsi air minum dan makanan yang telah dimasukkan
dengan baik. Penyakit amubiosis dapat diobati dengan menggunakan amoebicida.

1.4 Giandia lamblia


Giandia lamblia adalah protozoa yang umumnya menyebabkan prevalensi yang
tinggi di Amerika Serikat dan memiliki ukuran 8-16 µm x 5-12µm . Protozoa ini
erdapat di air dan menyebabkan infeksi pada saluran pencernaan . Pencegahan
selalu mengggunakan air bersih , menjaga higinis pekerja , dan melakukan
penanganann limbah secara tepat (Rahayu, 2012: 80).

DAFTAR PUSTAKA

Alfaro. 2011. Cacing Pita. Diunduh dari www. blogkedokteran. blogspot.co.id pada 10 Maret
2016 pukul 15.12 WIB.

Anonim. 2013. Keracunan Makanan. Diunduh dari http://orangefruitsweet.blogspot.co.id/


2013/07/keracunan-makanan.html pada hari Sabtu, 12 Maret 2016 pukul 22.56 WIB.

Anonim. 2016. Jamur. Dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Jamur pada hari sabtu, 13


Maret 2016 pukul 19.48 WIB.

Anonim. 2016. Keracunan Makanan. Diunduh dari http://www.alodokter.com/keracunan-


makanan pada hari Sabtu, 12 Maret 2016 pukul 23.00 WIB.

Eckert. 2005. Helminths. Thieme: Stuttgart.

Elisa. 2014. Jamur dan Mikotoksin dalam Pangan. UGM. Diunduh dan dikutip dari xiii.
jamur dan mikotoksin dalam pangan - eLisa UGM.

Food Safety and Inspection Service. 2015. Food Safety Education. Diunduh dari
http://www.fsis.usda.gov pada 9 Maret 2016 pukul 14.32 WIB.

Hartoko. 2009. Mikroba Patogen. Dikutip dari https://hartoko.wordpress.com/keamanan-


pangan/mikroba-patogen/. Diakses tanggal 12 Maret 2016.

Kim, C.W. 1997. Helminths in Meat. In: Food Microbiology.Fundamentals and Frontiers.
Ed. M.P Doyle, L.R. Beuchat and T.J Monville. ASM Press: Washington DC.

Liao & Bair. 2007. Taenia In The Gastrointestinal Tract. New England Journal of Medicine
357 (10).

Maryam, Romsyah. 2006. Pengendalian Terpadu Kontaminast Mikotoksin. Vol. 16 No.1.


Diunduh dan dikutip dari http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/
fullteks/wartazoa/wazo161-3.pdf Sabtu, 13 Maret 2016 pukul 19.30 WIB.

Mutiar, Sri. 2011. Mikrobiologi Pangan. Dikutip dari


http://srimutiar89.blogspot.co.id/2011/07/mikrobiologi-pangan.html. Diakses tanggal
12 Maret 2016.

Universitas Sumatera Utara. 2013. Patogen Mikroorganisme. USU: Medan. Diunduh dari
http://www.repository.usu.ac.id pada hari Jumat, 11 Maret 2016 pukul 20.30 WIB.

Pawlowski. 1990. Cestodiasis. Mc-Graw Hill: New York.

POM. 2014. Keracunan Pangan Akibat Bakteri Patogen Bagian II. Diunduh dari
http://ik.pom.go.id/v2014/artikel/KERACUNAN%20PANGAN%20AKIBAT%20BA
KTERI%20PATOGEN%20BAG.II.pdf pada hari Jumat, 11 Maret 2016 pukul 19.10
WIB.

Rahayu WP, Nurwitri CC. 2012. Mikrobiologi Pangan. IPB Press: Bogor.

Robert & Janovay. 2005. Foundations of Parasitology. McGraw-Hill: New York.

Sartono. 2001. Racun dan Keracunan. Widya Medika: Jakarta.

Sembel, Dantje T, dkk. 2015. Toksikologi Lingkungan Dampak Pencemaran dari Berbagai
Bahan dalam Kehidupan Sehari-hari. Andi offset: Yogyakarta.

Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya.
Diunduh dari www.digilibusu.com pada 10 Maret 2016 pukul 15.00 WIB.
Wahedi, Wahyu. 2014. Cacing Trichinella spiralis. Diunduh dari http://emedis.blogspot.co.id
pada 10 Maret 2016 pukul 15.03 WIB.

WHO. 2014. Taeniasis. WHO Fact Sheet No. 376: World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai