Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh:
PENDIDIKAN BIOLOGI
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
PENGANTAR
Selain mikroba yang masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan sakit, penyakit juga dapat
diakibatkan oleh masuknya toksin yang dihasilkan oleh mikroba patogen. Cukup banyak
mikroba yang mampu memproduksi toksin. Kemampuan mikroba untuk menghasilkan toksin
serta keampuhan toksin tersebut merupakan faktor penting dalam menilai patogenitas suatu
mikroba. Toksin yang dihasilkan mikroba kemungkinan diekskresikan ke medium di
sekitarnya (sehingga toksinnya disebut eksotoksin) atau tetap disimpan di dalam selnya
(disebut endotoksin) karena merupakan bagian dari sel tersebut (Rahayu, 2012: 67).
Mikroba patogen dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada manusia melalui pangan.
Mikroba patogen ini merupakan penyebab berjuta-juta kasus penyakit dan ribuan kasus
kematian di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Mikroorganisme-
mikroorganisme tersebut berkembang dalam jumlah yang besar serta menyebar akibat
mengonsumsi makanan yang tidak diolah dengan baik atau tidak dimasak (uncooked) atau
tidak didinginkan. Sampai saat ini belum semua jenis mikroba patogen dapat dicegah dengan
vaksinasi. Mikroba yang dapat menyebabkan penyakit akibat pangan (Foodborne Disease)
adalah bakteri, jamur, virus, protozoa, dan parasit. Oleh karena itu, kasus mikroba patogen
pada pangan merupakan faktor penting dalam keamanan pangan (Rahayu, 2012: 67).
Kejadian luar biasa (KLB) keracuan pangan yang disebabkan oleh mikroba yang meresahkan
masyarakat, tidak hanya terjadi di negara yang sedang berkembang, tetapi juga di negara
maju (Rahayu, 2012: 68).
Berikut ini adalah beberapa contoh makanan yang mudah terkontaminasi jika tidak ditangani,
disimpan, atau diolah dengan baik.
Daging mentah
Susu.
Makanan siap saji, misalnya potongan daging matang, keju lembek, dan roti isi
kemasan.
Telur mentah.
Kerang-kerangan mentah (Anonim, 2016).
Gejala keracunan makanan bisa dimulai beberapa saat setelah makan hingga tiga hari setelah
mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. Gejala yang umumnya terjadi antara lain:
Sumber mikroba pada pangan sangat beragam. Produk pangan asal hewani/nabati umumnya
masih mungkin menjadi sumber mikroba, walaupun ada tanaman /hewan yang memiliki
pelindung eksternal, bahkan beberapa pangan melalui permukaan pangan, peralatan
pengolahan dan peralatan makan, melalui manusia, hewan (tikus, serangga, burung, hewan
peliharaan), serta melalui medium air (Rahayu, 2012: 69).
Pada kebanyakan kasus, keracunan makanan tidak membutuhkan pengobatan khusus. Untuk
meredakan gejala yang terjadi, Anda bisa beristirahat secukupnya dan minum banyak cairan
karena jika mengalami dehidrasi, maka gejala yang terjadi akan bertambah parah dan masa
pemulihan akan menjadi makin lama.
Orang yang rentan mengalami dehidrasi sebaiknya diberikan cairan rehidrasi oral atau
dikenal dengan nama oralit. Oralit berfungsi menggantikan glukosa, garam, dan mineral
penting lain yang hilang akibat muntah dan diare. Untuk sementara waktu, sebaiknya Anda
menghindari makanan biasa hingga merasa lebih baik. Anda bisa mengonsumsi makanan
yang mudah dicerna seperti bubur.
Berikut ini beberapa kondisi yang mengharuskan Anda mendapat pengobatan karena
keracunan makanan:
Keracunan makanan juga bisa memberikan efek yang parah, terutama pada orang-orang
dengan kekebalan tubuh yang lemah. Di antaranya adalah penderita diabetes, gagal ginjal,
gagal jantung, HIV, kanker, mereka yang berusia di atas 65 tahun, dan bayi (Anonim, 2016).
Untuk keracunan pangan yang umum, biasanya korban akan pulih setelah beberapa hari.
Namun demikian ada beberapa kasus keracunan pangan yang cukup berbahaya. Korban
keracunan yang mengalami muntah dan diare yang berlangsung kurang dari 24 jam biasanya
dapat dirawat di rumah saja. Hal penting yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya
dehidrasi dengan cara segera memberikan air minum pada korban untuk mengganti cairan
tubuh yang hilang karena muntah dan diare. Pada korban yang masih mengalami mual dan
muntah sebaiknya tidak diberikan makanan padat. Alkohol, minuman berkafein, dan
minuman yang mengandung gula juga sebaiknya dihindarkan. Untuk penanganan lebih
lanjut, sebaiknya segera bawa korban ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Korban
keracunan yang mengalami diare dan tidak dapat minum (misalnya karena mual dan muntah)
akan memerlukan cairan yang yang diberikan melalui intravena. Jika korban keracunan
pangan adalah bayi, anak kecil, orang lanjut usia, wanita hamil, dan orang yang mengalami
gangguan sistem pertahanan tubuh (imun) maka perlu segera dibawa ke puskesmas atau
rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan (POM, 2014).
Bakteri patogen adalah bakteri yang mampu menyebabkan penyakit. Bakteri patogen dapat
menyebar melalui populasi manusia dalam berbagai cara. Pengobatan infeksi yang
disebabkan bakteri patogen melibatkan penggunaan antibiotik, obat yang telah
diformulasikan khusus untuk membunuh bakteri (Rahayu, Winiati. 2012 : 67-75).
Bakteri intraseluler adalah bakteri patogen yang selalu menyebabkan penyakit ketika mereka
memasuki tubuh manusia, berbeda dengan bakteri kondisional, yang dapat menyebabkan
infeksi dan penyakit dalam keadaan tertentu (Rahayu, Winiati. 2012 : 67-75).
Bakteri patogen dapat menyebar melalui populasi manusia dalam berbagai cara. Udara, air,
dan tanah semua adalah vektor yang umum, dan orang mungkin juga meneruskan bakteri
secara langsung satu sama lain melalui kontak fisik. Beberapa bakteri yang sangat mahir
menjajah lokasi seperti pegangan-pegangan pintu dan peralatan medis, yang memungkinkan
mereka untuk bergerak dari orang ke orang dengan mudah, sementara yang lain jauh lebih
virulen, dan akan mati jika mereka berada jauh dari host manusia terlalu lama (Rahayu,
Winiati. 2012 : 67-75).
1. Salmonella sp.
Bakteri ini biasanya terdapat pada daging sapi, daging unggas dan telur yang tidak
matang sempurna dan dimakan mentah. Kontaminasi juga dapat terjadi apabila pangan
matang bercampur dengan pangan mentah atau kontaminasi silang dari penjamah
makanan yang higienitasnya buruk. Gejala yang dialami oleh orang setelah makan
makanan terkontaminasi Salmonella diantaranya mual, demam, pusing, diare, muntah
selama 2 sampai dengan 7 hari. Pencegahan dapat dilakukan dengan memasak pangan
sumber protein hewani sampai matang benar, memisahkan makanan yang telah matang
dengan pangan mentah dan menyimpan pangan pada suhu <40 C.
2. Shigella sp.
Penyebaran jenis bakteri ini pada umumnya melalui orang/penjamah makanan yang memiliki
higienitas yang buruk dalam mengolah dan meyiapkan makanan. Shigella sering dijumpai
pada pangan hewani yang melalui proses pengolahan yang panjang atau pangan yang tidak
mengalami pemanasan. Masa inkubasi bakteri ini adalah 1-7 hari. Orang yang terinfeksi
bakteri ini akan mengalami sakit perut, demam, muntah dan diare. Langkah pencegahan
untuk menangani kasus ini antara lain mempraktikkan higienitas perorangan dan sanitasi
dalam penanganan makanan (HACCP), tidak menyimpan makanan pada suhu ruang selama
lebih dari 2 jam, selalu menggunakan lemari pendingin untuk menyimpan makanan dan
pekerja/penjamah makanan yang sedang sakit (diare dan muntah) tidak boleh menangani
pengolahan dan penyiapan pangan.
3. Eschericia coli
Jenis bakteri ini biasanya menyebar melalui pangan yang tercemar limbah. Hal ini terjadi
pada perjalanan pangan mulai dari produksi sampai dengan tahap akhir ke tangan konsumen.
Selain itu, dapat ditemui pula pada daging yang kurang matang dan susu yang tidak
dipasteurisasi. Masa inkubasinya adalah 3-4 hari. Apabila terinfeksi E. coli, penderita
mengalami kram perut yang disertai diare, demam (bisa sampai 10 hari), bahkan perlu
ditangani secara serius di rumah sakit. Kejadian yang fatal seperti infeksi saluran urin yang
bermuara pada gagal ginjal dapat terjadi bila terinfeksi bakteri E.Coli. Beberapa cara untuk
mencegah terkena infeksi ini adalah tidak mengonsumsi air mentah, susu non pasteurisasi dan
makanan setengah matang (tidak matang sempurna).
4. Campylobacter jejuni
Penyebaran bakteri ini terjadi melalui air mentah, binatang peliharaan yang terinfeksi,
mengonsumsi daging, unggas, susu dan kerang yang tidak dimasak dengan sempurna. Masa
inkubasi infeksi adalah 2 sampai dengan 3 hari dengan disertai gejala-gejala seperti diare
(kadang disertai darah), demam dan pusing yang berlangsung selama 1 sampai dengan 10
hari. Menghindari konsumsi pangan mentah, memasak air minum terlebih dahulu,
mengonsumsi susu yang telah dipasteurisasi dan menjaga kebersihan, serta menghindari
kontaminasi silang antara bahan pangan mentah dan matang, selalu mencuci tangan dan
menjaga kebersihan diri dan peralatan pangan merupakan upaya yang harus dilakukan untuk
menghindari infeksi bakteri ini.
5. Listeria monocytogenes
Umumnya bakteri ini ditemukan dialam, saluran pencernaan manusia dan hewan serta
lingkungan pengolahan makanan. Media penyebarannya antara lain air minum mentah, susu
nonpasteurisasi, daging dan produk perikanan serta sayur dan buah mentah yang dipupuk
dengan pupuk kandang. Infeksi pada orang dewasa dapat menimbulkan gejala demam,
menggigil, kembung, sedangkan pada bayi dan anak kecil terdapat gejala-gejala seperti
muntah dan sulit bernapas. Selain itu, kasus ini dapat menyebabkan keguguran janin pada
wanita hamil. Langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan antara lain menghindari
mengkonsumsi susu mentah dan keju yang dibuat dari susu nonpasteurisasi, mengikuti
petunjuk label pada kemasan dan memanaskan kembali produk pangan beku.
6. Staphylococcus aureus
Penyebaran bakteri ini berlangsung melalui kulit manusia, jerawat, bisul dan infeksi
teggorokan saat melakukan penyiapan dan pengolahan makanan. Staphylococcus aureus
senang berkembang pada jenis makanan seperti daging sapi, daging unggas, salad, keju, telur
dan makanan yang ditutupi oleh krim. Gejala-gejala yang biasanya dialami oleh orang yang
keracunan antara lain mual, muntah, diare dank ram perut selama 1 sampai dengan 2 hari.
Namun, kejadian ini jarang berujung fatal. Menjaga kebersihan diri, selalu mencuci tangan
saat mengolah, menyiapkan dan menyentuh makanan, serta menjaga kualitas sanitas
lingkungan yang baik merupakan tindakan pencegahan keracunan makanan yang disebabkan
oleh jenis bakteri ini.
7. Clostridium botulinum
Jenis bakteri ini paling banyak ditemukan dalam produk pangan kaleng tetapi tidak dengan
proses pemanasan yang sempurna. Biasanya praktik ini sering dijumpai pada industri rumah
tangga. Tanda-tanda yang dapat ditemui jika suatu pangan mengandung bakteri maupun
toksinnya antara lain terdapat cairan jernih agak keputihan. Kemasan retak, tutup kaleng yang
kendor, kaleng yang menggembung atau timbul bau yang menyimpang. Masa inkubasinya
adalah 4-72 jam dengan gejala-gejala yang timbul seperti sulit menelan, sulit bernafas, mata
mengantu, kesulitan berbicara dan penglihatan berbayang. Bila tidak segera ditangani akan
berakibat fatal. Cara pencegahannya adalah mencermati kondisi pangan kaleng sebelum
membeli, tidak mengonsumsi produk makanan dengan kaleng yang rusak dan memanaskan
pada suhu 800 C selama 20 menit sebelum dikonsumsi (Rahayu, Winiati. 2012 : 67-75).
Salmonelosis adalah penyakit pada saluran gastrointestin yang mencakup perut, usus halus,
dan usus besar atau kolon. Penyakit ini disebabkan karena infeksi oleh bakteri Salmonella.
Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak dengan
flagel peritrik, berukuran 2-4 μm x 0.5-0,8 μm. Bakteri ini pertama kali diisolasikan oleh
Theobald Smith pada tahun 1885 dari babi. Nama jenis Salmonella diturunkan dari nama
terakhir dari D.E. Salmon, yang adalah direktur dari Smith. Bakteri ini tumbuh pada suasana
aerob dan fakultatif anerob, pada suhu 15 – 41oC (suhu pertumbuhan optimum 37 oC dan pH
pertumbuhan 6 – 8). Beberapa spesies dari Salmonella antara lain adalah Salmonella typhi,
Salmonella enteritidis, dan Salmonella cholerasuis.
Masuknya S. typhi dan S. paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi bakteri. Sebagian bakteri dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk
ke dalam usus selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral usus kurang baik
maka bakteri akan menembus sel-sel epitel selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Bakteri
dapat hidup dan berkembang biak di makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya menuju ke pembuluh
darah. (mengakibatkan bakteremia) kemudian menuju hati dan limpa. Di organ-organ ini
bakteri meninggalkan sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya. Di
dalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan secara ke dalam lumen usus. Sebagian bakteri dikeluarkan melalui
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Bakteri itu
kemudian menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik sepeti demam, malaise, gangguan
mental, koagulasi, dan pendarahan saluran cerna akibat erosi pembuluh darah.
Pola penyebaran penyakit ini pada tubuh manusia adalah melalui saluran cerna (mulut,
esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar). Bakteri masuk ke tubuh manusia
bersama bahan makananatau minuman yang tercemar. Saat kuman masuk kesaluran
pencernaan manusia, sebagian kuman mati oleh asam lambungdan sebagian kuman masuk ke
usus halus. Dari usus halus kumanberaksi sehingga bisa ”menjebol” usus halus. Setelah
berhasilmelampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, kepembuluh darah,
dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain). Sehingga feses dan
urin penderita bisa mengandung kuman yang siap menginfeksi manusia lain melalui makanan
atau minuman yang tercemari. Pada penderita yang tergolong carrier, kuman Salmonella bisa
ada terus menerus di feses dan urin sampai bertahun-tahun. Setelah memasuki dinding usus
halus, bakteri mulai melakukan penyerangan melalui system limfa ke limfa yang
menyebabkan pembengkakan pada urat dan bakteri tersebut kemudian menyerang aliran
darah. Aliran darah yang membawa bakteri juga akan menyerang liver, kantong empedu,
limfa, ginjal, dan sumsum tulang dimana bakteri ini kemudian berkembangbiak dan
menyebabkan infeksi organ-organ ini. Melalui organ-organ yang telah terinfeksi inilah
mereka terus menyerang aliran darah yang menyebabkan bakteremia sekunder yang menjadi
penyebab terjadinya demam dan penyakit (Mutiar, Sri. 2011).
Potensial redoks dari suatu sistem biologis adalah suatu sistem indeks dari tingkat
oksidasinya. Bahan makanan dengan potensial redoks yang tinggi akan membantu
pertumbuhan dari jenis-jenis mikroorganisme yang bersifat aerobik seperti Pseudomonas.
Ø Zat-zat Gizi
Komposisi bahan makanan dapat menentukan jenis mikroorganisme yang dominan
didalamnya, karena hal ini akan menentukan jenis zat gizi yang penting tersedia untuk
perkembangan mikroorganisme. Bahan makanan dengan gizi yang cukup akan membantu
pertumbuhan mikrooragnisme seperti, Lactobacillus yang membutuhkan banyak zat gizi.
Ø Bahan Anti Mikrobial Alamiah
Bahan anti mikroba dapat diperoleh secara alamiah pada bahan-bahan makanan
seperti minyak essensial dan tanin pada bahan makanan asal tumbuh-tumbuhan dan lizozyme
serta avidin pada bahan makanan dari hewani seperti telur.
Ø Struktur Biologis
Strukutr biologis seperti lapisan kulit telur, kutikula dari bagian tanaman berguna untuk
mencegah masuknya mikroorganisme kedalam bahan makanan.
Jenis Toksik dan Penyebab Toksik pada Makanan dan Ciri Makanan yang
Mengandung Mikroba Pangan
Bahaya dalam pangan dapat dikategorikan dalam tiga golongan yaitu bahaya fisik berupa
kontaminasi pangan oleh kotoran-kotoran seperti batu, kerikil, potongan logam dan potongan
tubuh serangga, bahaya kimia seperti kontaminasi pangan oleh logam berat dan residu
pestisida, dan bahaya biologi yang contohnya kontaminasi oleh mikroba patogen. Berikut ini
akan diuraikan bahaya mikrobiologis pada pangan (Hartoko, 2009).
a. Bacillus cereus
Bacillus-cereus
Keracunan pangan yang diakibatkan oleh Bacillus sp ditunjukkan dari gejala diare, kejang
(kram) perut, dan muntah. Bakteri yang telah diisolasi dari baso adalah B. peptonificans yang
menyerupai B. cereus. B. cereus menyebabkan dua jenis penyakit yang dibedakan atas waktu
timbulnya gejala dan sindroma penyakit. Penyakit pertama, waktu timbulnya gejala penyakit
relatif lambat dengan sindroma diare, sedangkan pada penyakit yang kedua, gejala cepat
timbul dengan sindroma emetik.
b) Bacillus anthracis
Bacillus-anthracis
Genus Bacillus terdiri dari banyak jenis, mereka bisa membentuk spora dan bersifat aerobik.
Jenis bakteri ini terdapat pada tanah, air, udara dan tumbuhan beberapa contohnya
diantaranya Bacillus cereus dan B. subtilis. Tetapi diantara jenis Bacillus, B. anthracis ialah
bakteri yang bersifat pathogen. Bakteri ini bersifat aerob dan non-motil merupakan bakteri
pertama yang terbukti sebagai agen penyebab penyakit antrax yang mematikan. Antrax
memang awalnya menyerang hewan, namun karena sifat sporanya yang tahan pada situasi
yang kurang menguntungkan maka apabila daging hewan ternak yang terserang antrax tidak
diproses dengan benar maka spora antrax akan tetap ada dan akan hidup pada manusia yang
memakannya. Proses infeksinya bisa melalui 3 cara, melalui kulit, pernafasan, dan
gastrointestinal. Spora antrax dapat tahan hidup di tanah selama sepuluh tahun, manusia
biasanya terinfeksi karena menghirup spora antrax.
c) Campylobacter jejuni
Campilobacter-jejuni
d) Clostridium botulinum
Clostridium-botulinum
Sejak tahun 1793 telah dilaporkan penyebab penyakit dan kematian oleh konsumsi sosis
(“botulus”) dan penyakitnya disebut botulisme. Toksinnya bersifat tidak tahan panas (80oC,
10’), tetapi sangat toksik (10-8 g mengakibatkan kematian). Sifat-sifat mikrobanya adalah
Gram positif, motil (flagela peritrichous), anaerobik obligat, berbentuk batang (2 – 10 m)
dengan spora berbentuk oval. Botulisme pada manusia disebabkan oleh tipe A, B, E.
Pertumbuhan pada pH minimum adalah 4.7, penting untuk industri pengalengan.
Gejala dikelompokkan menjadi botulisme asal makanan (foodborne), botulisme pada bayi
dan botulisme yang menimbulkan luka. Gejala botulisme pada makanan dapat muncul
beberapa jam atau beberapa hari seperti lemas, fatig, vertigo, pandangan buram, kesulitan
berbicara dan menelan akibat sarafnya terserang dan gagal bernapas yang dapat menimbulkan
kematian. Pada botulisme tipe E, menimbulkan mual dan muntah-muntah dan mortalitas
rendah.
Botulisme pada bayi, menyerang bayi kurang dari 12 bulan akibat menelan spora C.
botulinum, bergerminasi, tumbuh dan memproduksi toksin sambil mengkolonisasi alat
pencernaan. Madu diduga merupakan sumber spora dan tidak direkomendasikan untuk bayi
kurang dari 9-12 bulan. Kasus botulisme bayi disebabkan oleh galur C. barati penghasil
BoNT tipe F dan C. butyricum penghasil BoNT tipe E. Jumlah sel C. botulinum dalam tinja
dapat meningkat 103 – 108/g sebelum timbul gejala klinis. Mikroflora perut bayi tidak
mampu mencegah kolonisasi C. botulinum, bila telah dewasa hal ini jarang terjadi.
Spora dari semua tipe dan toksinnya toleran terhadap pembekuan. Grup I (proteolitik) dan II
(non-proteolitik, sakarolitik) paling penting dalam penyimpanan makanan. Grup I
mempunyai suhu pertumbuhan optimum antara 35 dan 40oC. Grup II mempunyai suhu
optimum pertumbuhan 28-30oC. Pertumbuhan dan produksi toksin dilaporkan dapat
berlangsung di bawah suhu penjualan makanan dingin.
Toksin dari semua tipe cepat inaktif pada suhu 75-80oC. Grup I mempunyai ketahanan panas
yang tinggi. Oleh karena itu perlu diterapkan botulinum cook atau “proses 12D” untuk
makanan kaleng berasam rendah. Spora-spora Grup II dikenal kurang tahan panas
dibandingkan galur Grup -I.
Spora-spora dan toksin C. botulinum tahan terhadap radiasi ionisasi. Umumnya Grup I tidak
dapat tumbuh bila konsentrasi garam lebih dari 10% (aw 0.9353); sedangkan Grup II tidak
tumbuh bila lebih dari 5% (aw 0.9707). Semua galur tumbuh dan memproduksi toksin pada
pH 5.2 di bawah kondisi optimum. Grup I tumbuh lambat pada pH serendah 4.6, dikenal
sebagai titik batas pemisahan untuk makanan asam atau yang diasamkan, sedangkan pada pH
di bawah 4.6 tidak mampu tumbuh. Galur Grup II tidak mampu tumbuh pada pH 5.0 atau di
bawahnya.
Kiuring daging dengan penggaraman dapat mengendalikan pertumbuhan C. botulinum.
Disarankan untuk mengurangi natrium nitrit yang berfungsi sebagai pembentuk flavor dan
warna, serta antimikroba, karena dikhawatirkan membentuk senyawa nitrosamin. Sebagai
pengganti dapat digunakan sorbat, polifosfat, antioksidan, nisin, paraben dan natrium laktat.
Beberapa bakteri asam laktat yang memproduksi bakteriosin mampu menghambat C.
botulinum. Sumber kontaminasi utama C. botulinum pada makanan adalah tanah terutama
sayuran (tanaman akar). Keracunan tipe A (botulisme) terjadi karena konsumsi salad kentang
yang sudah dimasak, disimpan beberapa hari pada suhu kamar dengan kondisi anaerobik
(Hartoko, 2009).
e) Clostridium perfringens
Clostridium perfringens adalah bakteri Gram positif, batang anaerobik (mikroaerofilik) dan
non-motil. Spora diproduksi segera dalam usus, memproduksi kapsul, memfermentasi
laktosa, mereduksi nitrat dan mempunyai aktivitas lesitinase (aktivitas -toksin). Gejala
penyakit yang timbul meliputi sakit perut, mual dan diare akut, 8-24 jam setelah menelan
sejumlah besar organisme. Penyakit berlangsung singkat, sembuh sendiri (self limiting), dan
pulih dalam waktu 24-48 jam.
Clostridium-perfringens
Makanan pembawa adalah daging sapi dan daging ayam masak yang disimpan pada suhu
kamar dengan waktu pendinginan yang lama. Spora bertahan hidup pada celah-celah dan
lubang pada bagian dalam dan terperangkap dalam kondisi anaerobik di dalam gulungan
daging. Spora bergerminasi setelah ada kejutan panas untuk aktivasi. Sayuran dan ikan
merupakan makanan pembawa. Makanan lain yang mungkin terkontaminasi adalah unggas,
ikan, sayuran, produk susu, makanan kering, sup, gravies, rempah-rempah, gelatin, spageti,
pasta, tepung, protein kedele, roti, cake, meat pies serta daging sapi dan unggas masak.
Sejumlah besar sel-sel vegetatif harus tertelan agar sel-sel tetap hidup setelah melalui daerah
asam dalam perut. Tindakan pengendalian yang efektif adalah dengan pendinginan relatif
cepat melalui kisaran 55 – 15oC dan pemanasan kembali produk pada suhu di atas 70oC
segera sebelum konsumsi. Setelah pemanasan, produk harus didinginkan dari 55 sampai
15oC secepat mungkin. Sebagai pedoman, peraturan di Amerika Serikat mensyaratkan suhu
internal produk tidak berada diantara 54.4oC dan 26.7oC selama lebih dari 1.5 jam atau
antara 26.7 dan 4.4oC selama lebih dari 5 jam. Bila daging dimasak, pendinginan harus
dimulai dalam waktu 90 menit pada akhir siklus pemasakan dan produk harus didinginkan
dari 48oC sampai 12.7oC dalam waktu kurang dari 6 jam. Pendinginan harus dilanjutkan
untuk transportasi sampai mencapai suhu 4.4oC (Hartoko, 2009).
f) Escherichia coli
Bakteri ini secara normal (komensal) terdapat pada saluran usus besar/kecil anak-anak dan
orang dewasa sehat dan jumlahnya dapat mencapai 109 CFU/g. Bakteri ini dikenal sebagai
mikroba indikator kontaminasi fekal dan dibagi dalam dua kelompok yaitu nonpatogenik dan
patogenik. Ada empat kelompok patogenik penyebab diare yaitu EPEC (Enteropatogenik
Escherichia coli), ETEC (Enterotoksigenik Escherichia coli), EIEC (Enteroinvasif
Escherichia coli) dan E. coli penghasil verotoksin (VTEC). Istilah lain juga digunakan untuk
VTEC seperti E. coli penghasil toksin mirip-Shiga (SLTEC) dan E. coli penghasil toksin
Shiga (STEC). Istilah enterohemoragik E. coli (EHEC) digunakan untuk galur-galur yang
menyebabkan diare berdarah. EHEC mempunyai faktor virulen disamping produksi
sitotoksin Vero, yang penting dalam menimbulkan penyakit yang berat pada manusia.
Escherichia coli
Enteropatogenik E. coli bersifat spesifik terhadap inang (host) dan menyebabkan diare tanpa
darah. Enterohemoragik E. coli (O157:H7) menyebabkan hemoragik dan diare berdarah,
enteroinvasif E.coli (EIEC) menyebabkan diare berdarah dengan gejala mirip disentri
(Shigella), sedangkan enterotoksigenik E. coli (ETEC) menyebabkan diare pada bayi
(infantile diarrhea) dan diare pada orang yang sedang bepergian dengan gejala mirip kolera.
Penyakit yang disebabkan oleh grup EPEC adalah diare berair yang disertai dengan muntah
dan demam. Diare sering bersifat sembuh sendiri, tetapi EPEC dapat menyebabkan enteritis
kronis berkepanjangan yang mengganggu pertumbuhan. EPEC umumnya dikaitkan dengan
bayi dan anak-anak di bawah usia 3 tahun. Grup EIEC menyebabkan diare yang secara klinis
sering menyerupai diare basiler, yang disebabkan oleh Shigella. Awalnya diare bersifat akut
dan berair, disertai demam dan kejang perut, berlanjut sampai fase kolon (usus besar) dengan
tinja yang berdarah dan mukoid. Tidak semua infeksi EIEC berlanjut sampai fase kolon,
sehingga darah tidak selalu terdeteksi dalam tinja. EIEC menyerang mukosa kolon dan
berkembang biak di dalam sel, menyebar ke sel-sel yang berdekatan setelah sel-sel yang
terinfeksi mengalami lisis.
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi ETEC merupakan diare berair dengan kejang perut,
demam, malaise dan muntah. Dalam bentuk yang sangat berat, infeksi oleh galur ETEC dapat
menghasilkan gambaran klinis yang menyerupai diare yang disebabkan oleh Vibrio cholerae,
yaitu tinja air beras. ETEC merupakan penyebab utama diare pada bayi di negara kurang
berkembang dan juga diare pada orang yang sedang mengadakan perjalanan dari daerah
beriklim musim dengan standar higiene baik ke daerah-daerah tropis dengan standar hygiene
yang lebih rendah. VTEC menyebabkan hemoragik colitis (HC) dan sindroma hemolitik
uremik (HUS). Gejala HC sering dimulai dengan sakit perut dan diare berair, diikuti dengan
diare berdarah umumnya tanpa demam. Diare baik berdarah atau tidak, diikuti oleh
munculnya HUS. HUS terjadi pada semua kelompok umur tetapi paling umum pada anak-
anak
E. coli enteroagregatif dikaitkan dengan diare yang terjadi di negara berkembang. Diare
berlangsung selama 14 hari dan biasanya berair dengan gejala muntah-muntah, dehidrasi, dan
sakit perut. Diare berdarah dan demam timbul pada anak-anak yang terinfeksi oleh EaggEC.
Diare yang terkait dengan DAEC dicirikan dengan kotoran yang berair dan mengandung
mukus dengan demam dan muntah-muntah.
Sumber EPEC, EIEC, dan ETEC adalah manusia. Kontaminasi makanan berasal dari
karyawan pengelola pangan atau dari kontak dengan air yang mengandung buangan manusia.
Infeksi orang dewasa sehat memerlukan dosis paling sedikit 108 sel baik melalui pangan atau
air yang tercemar. Sumber utama organisme VTEC terdapat pada alat pencernaan dari usus
sapi dan hewan lain.
Galur-galur VTEC telah diisolasi dari daging sapi dan olahannya seperti sosis, beefburger
dan daging giling, demikian pula pada daging unggas dan hasil laut. Di Amerika Selatan,
VTEC O157 ditemukan pada daging sapi, babi, domba dan unggas. dan di Amerika dari
daging (patties) hamburger dan daging sapi giling.
Susu tanpa pasteurisasi merupakan pembawa infeksi yang penting. Pada tahun 1994 di
Skotlandia terjadi keracunan dari susu yang dipanaskan dari susu lokal. VTEC O157 berasal
dari pipa yang membawa susu dari peralatan pasteurisasi dan karet dari mesin pembotolan.
VTEC O157 hidup baik dalam makanan yang dibekukan dan disimpan beku. Dalam daging
sapi (beef patties) beku pada suhu -80oC dan penyimpanan pada -20oC, terjadi sedikit
perubahan dalam jumlah VTEC O157 setelah 9 bulan, dan 50% diantaranya hidup dalam
daging ayam giling beku yang disimpan pada –20OC selama 18 bulan. NaCl dan natrium
laktat menurunkan ketahanan hidup VTEC O157 selama pembekuan tetapi tidak
menghilangkannya setelah 18 bulan. Kadar NaCl 8% (b/v) atau lebih tinggi menghambat
pertumbuhan. Pertumbuhan VTEC O157 dalam makanan pada suhu 120C dan 8oC pada
saider apel tetap terjadi sehingga dapat membahayakan konsumen.
VTEC serotipe O22:H8 diidentifikasi di Jerman pada pasien dengan HUS (Hemolytic Uremic
Syndrom) dan dalam susu dari rumah pasien dan susu yang dipasok. Letusan gastroenteritis
dan diare berdarah di Montana dihubungkan dengan galur E. coli yang memproduksi VT2.
Pada tahun 1994, salami yang dikiuring kering merupakan sumber VTEC O157 dalam suatu
letusan di Amerika. Pada saat yang sama, sosis mettwurst yang tercemar dengan VTEC O111
juga menyebabkan letusan di Australia. VTEC bertahan hidup selama fermentasi dan proses
pengeringan. Letusan infeksi E. coli diaregenik yang melibatkan keju sebagai pembawa
infeksi menunjukkan bahwa galur-galur ini tetap hidup selama fermentasi dan pembuatan
keju. Galur-galur E.coli dapat tumbuh di dalam miselia Penicillium camemberti selama
pemeraman keju pada suhu 10oC. Hal ini menunjukkan bahwa kontaminasi silang permukaan
keju dapat menyebabkan produk membahayakan kesehatan konsumen.
VTEC O157 tidak mempunyai ketahanan panas khusus, nilai D pada 62.8oC adalah 24 detik.
Susu yang tercemar setelah pasteurisasi dan mendapat pemanasan ringan dapat mengandung
VTEC O157 dalam jumlah yang cukup untuk menyebabkan infeksi. Ketahanan panas ini
lebih tinggi dalam daging giling berlemak daripada tanpa lemak. Pada keju cottage, walaupun
VTEC O157 tumbuh selama proses pembuatan, bakteri akan mati bila curd dimasak pada
suhu 57oC selama 90 menit. Dosis radiasi sebesar 2.5 kGy akan membunuh VTEC O157
sebanyak 108.1 per gram daging sapi giling.
Penghilangan VTEC dengan pemanasan merupakan salah satu titik kendali utama dalam
rantai makanan. Untuk menghancurkan VTEC O157 dalam burger daging sapi disarankan
untuk memasak dan mempertahankan suhu 70oC selama 2 menit sampai jus tidak keluar dan
tidak ada potongan yang berwarna merah muda di dalamnya. Air yang tidak diklorinasi
sebaiknya tidak digunakan untuk pembersihan peralatan dan permukaan yang kontak dengan
makanan atau untuk pembersihan atau pendinginan unit-unit produksi pangan komersial.
g) Listeria monocytogenes
listeria monocytogenes
Bakteri ini termasuk kelompok Gram positif, batang pendek, tidak membentuk spora,
katalase positif, dan fakultatif anaerobik. Kadang-kadang berbentuk bulat, panjang 10 m.
Motil pada suhu 25oC, non-motil pada 35oC. Koloni mempunyai penampakan abu-abu
kebiruan. Terdapat 8 spesies, spesies terpenting penyebab infeksi manusia adalah Listeria
monocytogenes.
Sepertiga infeksi manusia adalah perinatal, melibatkan wanita hamil, bayi dalam kandungan
atau baru lahir. Duapertiga infeksi terjadi pada orang dewasa tidak hamil. Kebanyakan infeksi
listeriosis terjadi pada orang yang daya tahannya menurun karena umur, kondisi seperti
kanker, transplantasi organ, pemakai kortikosteroid, atau AIDS (acquired immunity
deficiency syndrome). Gejala hanya demam ringan tanpa atau dengan gastroenteritis atau
gejala mirip-flu, tetapi akibatnya pada janin atau bayi baru lahir dapat fatal. Gejala paling
umum adalah septikemia, kadang-kadang disertai meningitis, juga terlihat luka pada kulit.
Kebanyakan listeriosis disebabkan karena infeksi melalui makanan; tetapi luka pada kulit
dapat sebagai penyebar mikroba.
Batas tumbuh bakteri adalah pada aw 0.92 – 0.93. Tahan hidup 40 hari penyimpanan pada
suhu 25oC dalam hasil laut dengan kadar air rendah (2.0 – 2.35%). Kisaran pH pertumbuhan
bakteri cukup luas yaitu 9.2 (maks) dan terendah 4.6 – 5.0. Desinfektan yang efektif
menghilangkan L. monocytogenes adalah natrium hipoklorit, yodium, peroksida, amonium
kuaterner. Dekontaminasi pada sayuran minimum pada konsentrasi klorin 200 ppm.
Bakteri dapat hidup baik beberapa minggu pada suhu –18oC dalam berbagai ragam makanan.
Penyimpanan beku (-18 sampai –198oC) selama 1 bulan tidak banyak mematikan bakteri.
Pada ikan dan udang yang dikemas vakum dalam es selama 21 hari, jumlah bakteri tidak
meningkat dan pada –20oC jumlahnya menurun 10 x dalam 3 bulan. Bakteri dapat bertahan
hidup dan tumbuh pada suhu –1 – 50oC. Pemanasan microwave daging ayam sampai 70oC
dan pemasakan daging sapi sampai “medium” cukup mematikan L. monocytogenes.
Bakteri tahan terhadap iradiasi gama seperti bakteri Gram positif lain dengan nilai D beragam
dari 0.34 – 0.5 kGy dalam broth sampai 0.51 – 1.0 kGy dalam daging cincang. Dosis 3 kGy
tidak cukup menghilangkan bakteri dari daging kemas vakum.
h) Pseudomonas cocovenenans
i) Salmonella sp.
Salmonela sp
S. typhimurium merupakan serovar utama penyebab penyakit manusia sebelum tahun 1985.
Saat ini, dominasinya didekati oleh S. enteritidis yang muncul di banyak negara. Untuk dapat
menimbulkan penyakit, diperlukan sejumlah besar (105 sampai 107) Salmonella asal pangan.
Akan tetapi, bukti lebih baru menunjukkan bahwa satu sel dapat menjadi dosis infektif
manusia. Salmonella sp. merupakan bakteri batang Gram negatif, anaerobik fakultatif,
bersifat motil dengan flagela peritrikus kecuali S. pullorum dan S. gallinarum, yang tidak
memiliki flagela. Salmonella tumbuh optimum pada suhu 35oC sampai 37oC, memecah
berbagai jenis karbohidrat menjadi asam dan gas, dapat menggunakan sitrat sebagai satu-
satunya sumber karbon, memproduksi H2S, dan mendekarboksilasi lisin dan ornitin masing-
masing menjadi kadaverin dan putresin. Mikroba ini bersifat oksidase negatif dan katalase
positif.
Gejala penyakit yang ditimbulkan oleh salmonelosis manusia adalah demam enterik setelah
infeksi oleh galur-galur tifus atau paratifus atau gastroenteritis/kolitis nontifus yang dapat
berlanjut menjadi infeksi sistemik yang lebih serius. Manusia terutama peka terhadap infeksi
oleh S. typhi dan S. paratyphi A, B, dan C, karena kemampuan galur-galur ini untuk
menyerang dan berkembang biak dalam jaringan sel inang. Gejala klinis muncul 7 sampai 28
hari setelah pemaparan. Gejala klinis dapat berupa diare berair, atau jarang, sembelit
(konstipasi), demam, sakit perut, pusing, mual, lesu, dan bercak-bercak merah di pundak,
toraks, atau perut. Komplikasi demam enterik meliputi pendarahan usus atau perforasi usus.
Gejala salmonelosis nontifus adalah mual, kejang perut, diare dengan air dan darah, demam
singkat (< 48 jam), dan muntah yang muncul 8 sampai 72 jam setelah terpapar oleh bakteri.
Makanan yang terkait dengan salmonelosis adalah telur, daging ayam, ikan, susu, daging
sapi, susu bubuk tanpa lemak (S. New-brunswiek), es krim, kelapa kering, air terkontaminasi,
salad kentang dan permen cokelat.
Susu mentah merupakan sumber Salmonella yang utama dalam industri pengolahan susu.
Penyimpanan dingin susu mentah yang terlalu lama di peternakan atau di silo industri juga
akan mendukung perkembang biakan Salmonella psikrotrofik. S. typhimurium tumbuh
lambat pada suhu 8 dan 12oC. Salmonella dapat berkembang biak pada permukaan buah
seperti tomat dan melon serta pada sayuran segar yang secara manual atau mekanis dibasahi
selama penjualan pada suhu kamar. Produk segar yang akan dikonsumsi mentah harus selalu
dibilas dengan baik menggunakan air minum.
Salmonella cukup peka terhadap iradiasi, pada dosis 0.36 – 0.54 Mrad dapat mereduksi
sebanyak 107 dari 18 galur Salmonella dalam telur beku (utuh). Tetapi iradiasi tidak efektif
dalam menghancurkan toksin bakteri yang sudah terbentuk lebih dahulu.
Panas paling efektif dan paling banyak digunakan untuk mereduksi Salmonella aplikasinya
pada suhu 70 – 75oC selama 3 – 7 menit, atau 66oC , 12 menit, atau 60oC selama 78 – 83
menit (Hartoko, 2009).
j) Shigella sp.
Shigella sp
Shigella merupakan penyebab disentri basiler yang ditemukan oleh ahli mikrobiologi Jepang
Kiyoshi Shiga pada tahun 1898. Terdapat 4 spesies yaitu Sh. dysenteriae yang umum terjadi
di negara tropis (berat), Sh. flexneri, Sh. boydii (sedang) dan Sh. sonnei (ringan). Shigella
termasuk anggota famili Enterobacteriaceae. Bakteri bersifat nonmotil, tidak membentuk
spora, berbentuk batang Gram negatif, katalase positif, oksidase negatif, dan fakultatif
anaerob. Produksi asam tanpa gas dari glukosa, bersifat mesofil dengan suhu pertumbuhan
antara 10 – 45oC, pH optimum 6 – 8 dan peka terhadap panas.
Shigella menyebabkan disentri basiler pada manusia dan primata. Dosis infeksi rendah,
sekitar 10-100 organisme. Periode inkubasi beragam dari 7 jam sampai 7 hari walaupun KLB
asal pangan umumnya dicirikan dengan periode inkubasi yang lebih singkat sampai 36 jam.
Gejala yang timbul meliputi sakit perut, muntah, demam, diare berdarah, yang menyertai
diare yang dapat berkisar dari gejala disentri klasik tinja berdarah, dalam kasus Sh.
dysenteriae, Sh. flexneri, Sh. boydii sampai diare berair dengan Sh. sonnei. Penyakit
berlangsung selama 3 hari sampai 14 hari dalam sebagian kasus dan tahap kerier (pembawa
penyakit) dapat berlangsung selama beberapa bulan. Bentuk penyakit yang lebih ringan
bersifat sembuh sendiri dan tidak memerlukan pengobatan, tetapi infeksi Sh. dysenteriae
sering memerlukan penggantian cairan dan elektrolit serta terapi antibiotik.
Kasus shigelosis asal pangan dikenal tidak umum, dengan kisaran inang yang lebih terbatas,
sehingga masalah penyakit asal pangan relatif kurang nyata dibanding salmonelosis. Dalam
kasus asal pangan umumnya melibatkan kerier manusia yang mempersiapkan makanan
(Hartoko, 2009).
k) Staphylococcus aureus
Staphilococcus aureus
l) Vibrio
Vibrio cholerae
Vibrio adalah bakteri Gram-negatif pleomorfik (bentuk kurva atau lurus), batang pendek,
motil dengan flagela polar. Sel-sel bersifat katalase dan oksidase-positif, serta anaerobik
fakultatif. Natrium klorida merangsang pertumbuhan semua jenis Vibrio dan merupakan
persyaratan obligat untuk sebagian jenis. Kadar optimum untuk pertumbuhan spesies yang
penting secara klinis adalah 1– 3%. V. parahaemolyticus tumbuh optimum pada NaCl 3 %
dan akan tumbuh pada konsentrasi antara 0.5 dan 8%. Minimum aw untuk pertumbuhan V.
parahaemolyticus beragam antara 0.93 – 0.987 tergantung dari padatan yang digunakan.
Pertumbuhan Vibrio enteropatogenik berlangsung optimum pada suhu 37oC dengan kisaran
tumbuh antara suhu 5 – 43oC. Bila kondisi mendukung, vibrio dapat tumbuh ekstrim cepat;
waktu generasi serendah 11 menit dan 9 menit telah dicatat masing-masing untuk V.
parahaemolyticus dan vibrio laut non-patogenik V. natrigens. V. parahaemolyticus umumnya
kurang tahan pada suhu ekstrim daripada V. cholerae. Jumlahnya turun perlahan pada suhu
dingin di bawah suhu pertumbuhan minimum di bawah kondisi beku sebesar 2–log setelah 8
hari pada suhu –18oC. V. parahaemolyticus akan tumbuh paling baik pada pH sedikit di atas
netral (7.5 – 8.5). Vibrio umumnya peka terhadap asam walaupun pertumbuhan V.
parahaemolyticus teramati pada pH 4.5 – 5.0.
Penyebab kolera adalah V. cholerae biotipe klasik yang menjadi penyebab KLB kolera sejak
tahun 1961. Pandemik dimulai di Sulawesi di Indonesia pada tahun 1961, mencapai Afrika
tahun 1970 dan Amerika tahun 1991. Kolera umumnya mempunyai masa inkubasi antara satu
dan tiga hari, dan dapat beragam dari diare ringan, sembuh-sendiri sampai gangguan yang
parah dan mengancam kehidupan. Dosis infektif pada orang sehat normal cukup tinggi, bila
organisme tertelan tanpa makanan, sebanyak 1010 sel. Studi di Bangladesh menunjukkan
jumlah 103 – 104 sel sebagai dosis infektif. Kolera adalah infeksi non-invasif dimana
organisme mengkolonisasi lumen usus dan menghasilkan enterotoksin (toksin kolera) yang
kuat. Pada kasus yang parah, hipersekresi natrium, kalium, klorida dan bikarbonat yang
diinduksi oleh enterotoksin menghasilkan diare pucat, berair, mengandung serpihan mukus,
dan disebut diare air beras. Diare dapat mencapai 201 hari dan mengandung sebayak 103
vibrio per ml, disertai muntah, tetapi tanpa mual atau demam. Bila hilangnya cairan dan
elektrolit tidak diganti maka tekanan dan volume darah dapat turun, viskositas darah naik,
gagal ginjal dan sirkulasi terhenti. Pada kasus fatal kematian terjadi dalam beberapa hari.
Kolera terutama dikenal sebagai infeksi yang berasal dari air (waterborne infection),
walaupun makanan yang kontak dengan air tercemar sering bertindak sebagai pembawa.
Keracunan pangan oleh V. parahaemolyticus terkait dengan ikan dan kerang. Jepang
merupakan penyebab umum keracunan pangan. Hal ini terkait dengan kebiasaan kuliner
mengkonsumsi ikan mentah atau setengah masak, walaupun penyakit juga dapat dihasilkan
karena kontaminasi-silang produk masak di dapur.
Masa inkubasi yang dilaporkan untuk keracunan pangan V. parahaemolyticus beragam dari 2
jam sampai 4 hari, walaupun umumnya 9 – 25 jam. Penyakit berlangsung sampai 8 hari dan
dicirikan oleh diare berair, sakit perut, muntah dan demam. V. parahaemolyticus lebih
enteroinvasif daripada V. cholerae, dan mampu menembus epitelium usus. Gejala disentri
juga dilaporkan dari sejumlah negara termasuk Jepang.
m) Yersinia enterocolitica
Yersinia enterocolitica
Istilah keracunan makanan digunakan secara luas oleh masyarakat untuk semua penyakit yang
diakibatkan oleh pemasukan makanan yang mengandung toksin. Dalam bahan makanan, suatu zat
dapat dinyatakan sebagai racun (toksin) jika efek yang ditimbulkan dari zat tersebut dapat merusak
sistem kerja metabolisme tubuh. Dari sekian banyak bahan makanan yang tersedia di alam, jamur
merupakan salah satu bahan pangan yang berpotensi menimbulkan racun namun tidak jarang pula
banyak dikonsumsi oleh masyarakat (Anonim, 2016).
Jamur atau cendawan adalah tumbuhan yang tidak mempunyai klorofil sehingga bersifat
heterotrof. Jamur ada yang uniseluler dan multiseluler. Tubuhnya terdiri dari benang-benang
yang disebut hifa. Hifa dapat membentuk anyaman bercabang-cabang yang disebut miselium.
Reproduksi jamur, ada yang dengan cara vegetatif ada juga dengan cara generatif. Jamur
menyerap zat organik dari lingkungan melalui hifa dan miseliumnya untuk memperoleh
makanannya. Setelah itu, menyimpannya dalam bentuk glikogen. Jamur merupakan
konsumen, maka dari itu jamur bergantung pada substrat yang menyediakan karbohidrat,
protein, vitamin, dan senyawa kimia lainnya. Semua zat itu diperoleh dari lingkungannya.
Sebagai makhluk heterotrof, jamur dapat bersifat parasit obligat, parasit fakultatif, atau
saprofit. Dari sekitar 100.000 spesies jamur, 100 diantaranya bersifat patogen atau beracun
(Anonim, 2016).
Jamur dapat tumbuh pada berbagai jenis pangan, dan pertumbuhannya akan menyebabkan
terjadinya kerusakan pangan yang bersangkutan, diantaranya kerusakan flavor, warna,
pelunakan, dan terbentuknya senyawa yang bersifat toksik. Kerusakan tersebut disebabkan
karena jamur dapat menghasilkan enzim ekstraseluler yang akan memecah senyawa tertentu
pada pangan yang bersangkutan, serta dapat menghasilkan metabolit sekunder yang bersifat
toksik, disebut mikotoksin (Elisa, 2014).
Mikotoksin telah menimbulkan beberapa jenis penyakit pada manusia dan hewan.
Mengkonsumsi makanan yang tercemar mikotoksin dapat menyebabkan keracunan akut
(jangka waktu pendek) dan kronik (jangka waktu sedang atau lama) dan dapat mengakibatkan
kematian sampai gangguan kronis seperti gangguan syaraf pusat, sistem kardiovaskular dan
paru-paru, dan saluran pencernaan (Elisa, 2014).
Mikotoksin tahan pada suhu tinggi dan tidak dapat dihilangkan dengan proses
pemasakan. Mycotoxin terdiri dari:
1) Aflatoxin
Aflatoxin yang berbahaya bagi manusia adalah tipe B1, B2, G1 dan G2 (B = blue, G =
green). Efek kronis yang disebabkan oleh konsumsi aflatoksin pada kadar rendah,
dapat menyebabkan penurunan berat badan ternak, menurunkan produksi susu,
menurunkan konversi pakan. Pada manusia, aflatoksin menjadi penyebab terjangkitnya
penyakit liver dan kanker karena konsumsi manusia atas daging, telur, susu yang telah
terkontaminasi Aflatoksin dalam jumlah tertentu. Aflatoksin B adalah toksin yang
berpotensi sebagai hepatokarsinogen. Biasanya mengkontaminasi kacang, jagung dan
biji-bijian lain, tepung, bumbu. Pencegahan penyebaran aflatoxin dapat dilakukan
dengan membatasi kontak dengan oksigen.
2) Fumonisin
Fumonisin adalah myxotoxin yang dihasilkan oleh mold Fusarium sp. Fumonisin
terdapat pada jagung dan serealia lainnya. Bersifat karsinogenik, dapat menyerang
sistem syaraf, liver, pankreas, ginjal, dan paru-paru.
3) Ochratoxin
Ochratoxin dihasilkan oleh Aspergillus ochraceus dan Penicilium verrucosum. Toksin
ini beiasanya terdapat pada daging babi, daging unggas, tepung, kopi, dan anggur.
ochratoksin A yang dihasilkan bersifat toksisitas ginjal, dan penurunan imunitas pada
beberapa hewan (Elisa, 2014).
2) Penicillium sp. merupakan jamur yang penting dalam lingkungan alami, makanan,
dan produksi obat. Beberapa jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh penicillium yang
berpotensi membahayakan kesehatan manusia adalah:
a. Citreoviridin yang dihasilkan oleh P. citreonigrum dan Eupenicillium
ochrosalmoneum, dapat menyebabkan beri-beri jantung akut di Jepang dengan
gejala-gejala sakit jantung, sulit bernafas, mual, dan muntah-muntah yang diikuti
oleh rasa takut dan kesakitan.
b. Citrin yang dihasilkan oleh P. citrinum, P. expansun, dan P. Verrucosum.
c. Occhatoksin A yang dihasilkan oleh P. verrucosum, dapat menurunkan
kekebalan, berpengaruh pada embrio, serta bersifat karsinogenik.
d. Patulin yang dihasilkan oleh P. expansum, P. pulvinum, P. griseofulum, dapat
mempengaruhi fetus tikus, kekebalan, persyarafan, dan pencernaan makanan.
c. Rotasi tanaman
Pencegahan infestasi jamur prapanen dapat dilakukan dengan rotasi tanaman
untuk memutus siklus perkembangbiakan jamur toksigenik yang ada dalam tanah.
Cara ini sangat efektif untuk mencegah penyebaran inokulum jamur penghasil
mikotoksin. Sebagai contoh, rotasi tanaman jagung-kacang kedelai dapat
mengurangi serangan Fusarium dibandingkan dengan penanaman jagung secara
berturut-turut.
e. Kontrol biologis
Pencegahan infestasi jamur toksigenik pada tanaman dapat pula dilakukan melalui
pengendalian secara biologis dengan menebarkan Aspergillus sp.non-toksigenik
yang akan berkompetisi dengan A. flavus dan A. parasiticus toksigenik, sehingga
perkembangan jamur tersebut akan terhambat (Maryam, 2006: 22-25).
2. Pengendalian saat panen
Menurut Kasno(2004) dalam Maryam (2006), Panen sebaiknya dilakukan pada
musim kering dan setelah biji benar-benar siap untuk dipanen. Biji atau bulir yang
masih muda banyak mengandung air yang sangat menguntungkan untuk pertumbuhan
jamur. Hasil panen segera dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari,
pengasapan atau mesin pengering.
3. Pengendalian pascapanen
a. Pemisahan secara fisik
Pemisahan dilakukan melalui pengamatan visual pada produk pertanian yaitu,
dengan memisahkan produk yang baik dari produk yang rusak akibat kerusakan
mekanik, serangga, infeksi jamur atau busuk . Pemisahan dengan cara tersebut
dapat menurunkan konsentrasi aflatoksin dan fumonisin pada jagung atau kacang
tanah, dan patulin pada apel secara nyata. Gambar 1 merupakan contoh pemisahan
secara visual pada kacang tanah .
(a) Terserang serangga ; (b) Terinfeksi Jamur ; (c) Kacang tanah yang baik
d. Penyimpanan
Produk pertanian yang disimpan harus dalam keadaan kering dengan kadar air
yang sesuai untuk penyimpanan. Produk disimpan di gudang penyimpanan dengan
sirkulasi udara yang baik . Jika memungkinkan, suhu dan kelembaban diukur
secara rutin selama periode penyimpanan. Kenaikkan suhu 2 - 3°C dapat
menunjukkan adanya infestasi jamur atau serangga. Untuk produk yang dikemas,
sebaiknya digunakan kemasan yang memiliki pori-pori untuk sirkulasi udara, dan
diletakkan dengan menggunakan alas (papan) .
Virus merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat bereproduksi di luar sel inang.
Virus menyebabkan infeksi karena memaksa inang untuk membantu reproduksi parasit
tersebut. Virus umumnya memiliki ukuran pastikel 25-250 nm, berisi material genetik dari
DNA atau RNA, protein dan terkadang lemak. Kontaminasi virus pada pangan terjadi karena
ketidakhati-hatian manusia menangani pangan. Risiko penularan terbesar tejadi pada pangan
yang tidak ditangani dengan benar atau tidak dimasak dengan benar. Pada umumnya, virus
yang ditularkan melalui pangan memiliki ulir RNA tunggal yang diselubungi oleh protein dan
terbungkus pada lipid yang berasal dari membran sitoplasma inang (Rahayu, 2012:80).
Partikel-partikel virus ini dapat ditularkan melalui banyak cara, seperti makanan atau
minuman yang sudah terkontaminasi, air ludah, persetubuhan seks, atau serangga sebagai
vektor, dan lain-lain. Kebanyakan virus makanan bersifat enterik (terjadi dalam perut), jadi
mereka menginfeksi lewat mulut dengan mengonsumsi bahan yang sudah terinfeksi virus dan
keluar melalui kotoran (Cliver, 1997). Hal ini dipahami terjadi karena adanya perubahan –
perubahan dalam pengolahan makanan dan kerangka konsumsi yang menyebabkan terjadinya
penyebaran dan ketersediaan makanan sedunia, sehingga dapat menimbulkan risiko tinggi
terjadinya penularan penyakit virus. Koopmans et al. (2002), menyatakan bahwa meskipun
banyak penyakit virus yang ditularkan oleh kotoran, kebanyakan laporan penularan virus
makanan adalah oleh Norwalk-like caliciviruses (NLV) dan hepatitis A (HAV). NLH dan
HAV dilaporkan dapat ditularkan dari orang ke orang atau secara tidak langsung melalui air,
makanan, atau berasal dari muntah seseorang yang menderita penyakit virus tersebut. Infeksi
virus makanan biasanya memiliki masa inkubasi 1-3 hari tetapi untuk hepatitis A masa
inkubasinya 2-6 minggu dan dapat menyebar dari lambung ke perut dan kemudian ke hati
yang akhirnya mengakibatkan jaundice, yaitu penguningan warna kulit. Penyakit virus dapat
menyebabkan infeksi bila mengonsumsi produk segar yang terkontaminasi dengan kotoran
(Sembel, 2015: 254-256).
JENIS VIRUS YANG SERING TERLIBAT DALAM FOODBORNE DISEASES
Jenis virus yang menyebabkan sakit pada hewan, tanaman, dan manusia sangat banyak. Pada
pembahasan ini, hanya akan diberikan beberapa contoh virus yang sering terlibat dalam
foodborne diseases dan juga dikenal sebagai virus pada usus manusia. Selain Norwalk-like
caliciviruses (NLV) dan hepatitis A, jenis-jenis lainnya adalah astrovirus, enterovirus,
norovirus, dan rotavirus. Selain partikel-partikel virus di atas terdapat juga jenis-jenis virus
yang sangat berbahaya dan tiga jenis virus yang mengakibatkan kematian selain HIV-AIDS
adalah: (1) Virus Marburg berbentuk virus demam berdarah yang dapat mengakibatkan
konvulsi, pendarahan mucus membran, kulit dan organ-organ dengan fasilitas 90%, (2) Virus
Ebola dimana terdapat 5 strain virus Ebola masing-masing menurut nama negara dan wilayah
di Afrika: Zaire, Sudan, Tai Forest, Bundibugyo, dan Reston. Virus Ebola Zaire adalah yang
sangat mematikan dengan mortalitas 90%. (3) Virus demam berdarah yang banyak
menyerang penduduk terutama di daerah tropis termasuk Indonesia (Sembel, 2015: 256).
1) Astrovirus
Astrovirus merupakan virus yang belum diklasifikasikan yang apabila diamati di
bawah mikroskop elektron berbentuk bintang berujung 5 atau 6. Menyerang anak-
anak dan lanjut usia dan virus ini dapat ditularkan melalui makanan. Virus ini dapat
ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak pada feses. Astrovirus ditransmisikan
dengan rute fekal oral melalui makanan atau air yang terkontaminasi, kontak antar
individu, atau permukaan yang terkontaminasi (USU, 2012). Menurut Sattar et al
(1994) dalam Sembel (2015), Astrovirus biasanya terjadi pada bayi dan dapat
menyebabkan kematian, terutama bayi-bayi di negara-negara berkembang (Sembel,
2015: 256).
Virus ini membunuh enterosit pada dinding perut kecil. Virus ini menginfeksi saluran
pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Masa inkubasinya
selama 1-3 hari. Awalnya virus masuk bersama makanan dan minuman ke dalam
traktus digestivus, kemudian berkembang biak dalam usus. Setelah itu virus masuk ke
dalam epitel usus halus dan menyebabkan kerusakan bagian apikal vili usus halus. Sel
epitel usus halus bagian apikal akan diganti oleh sel dari bagian kripta yang belum
matang, berbentuk kuboid atau gepeng. Akibatnya sel-sel epitel ini tidak dapat
berfungsi untuk menyerap air dan makanan. Sebagai akibat lebih lanjut akan terjadi
diare osmotik. Vili usus kemudian akan memendek sehingga kemampuannya untuk
menyerap dan mencerna makanan pun akan berkurang. Pada saat inilah biasanya diare
mulai timbul. Setelah itu sel retikulum akan melebar, dan kemudian akan terjadi
infiltrasi sel limfoid dari lamina propria, untuk mengatasi infeksi sampai terjadinya
penyembuhan (USU, 2012).
CARA PENGOBATAN
Beluum ada vaksin atau obat antivirus yang akan memblokir astrovirus (Anonim,
2013).
CARA PENCEGAHAN
Menjaga kebersihan lingkungan dan pribadi, serta meminum air yang bersih (Anonim,
2013).
2) Enterovirus
Enterovirus menyebabkan penyakit poliomyelitis (Sembel, 2015: 256). Virus ini
menyerang anak-anak pada usia bayi hingga lima tahun dengan sistem kekebalan
tubuh yang lemah (USU, 2012).
CARA PENCEGAHAN
dapat dicegah dengan menerapkan kehidupan yang sehat dan membiasakan untuk
selalu bersih. dan adanya vaksin pencegah enterovirus, maka ledakan penyakit ini
sudah jarang terjadi (Sembel, 2015: 256).
3) Rotavirus
Rotavirus adalah virus yang menyebabkan gastroenteritis. Gastroenteritis viral adalah
infeksi usus yang disebabkan berbagai macam virus. Rotavirus memiliki diameter
tubuh 50-60 nm. Partikel-partikel mempunyai kapsid berkulit ganda dan garis tengah
berkisar antara 60-75 nm (USU, 2012).
CARA PENGOBATAN
Pengobatan gastroenteritis adalah pengobatan suportif, untuk mengoreksi kehilangan
air dan elektrolit yang dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis, syok, dan kematian.
Pengobabatannya yaitu dengan cara penggantian cairan dan pengembalian
keseimbangan elektrolit baik secara intravena maupun oral. Mengingat penyakit diare
rotavirus sangat mudah menular, maka perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan.
Salah satunya dengan merawat terpisah anak yang terinfeksi rotavirus dengan anak
sehat lainnya (Anonim, 2013).
CARA PENCEGAHAN
Untuk pencegahan agar tidak mudah terinfeksi rotavirus, pemberian imunisasi bisa
dilakukan. Apalagi, semua anak pasti pernah mengalami diare. Salah satu diare yang
mengancam adalah karena rotavirus. Perkembangan terakhir dengan teknologi
kedokteran saat ini telah ditemukan vaksin untuk rotavirus. Vaksin ini dapat diberikan
2-3 kali pada bayi usia 6-8 minggu (Anonim, 2013).
4) Norovirus
Norovirus adalah kelompok virus yang menyebabkan penyakit yang tidak terlalu berat
(sering disebut dengan flu perut/flu usus). Norovirus adalah virus yang berasal dari
golongan Norwalk virus. Merupakan virus utama penyebab penyakit perut. Termasuk
salah satu jenis virus yang belum diketahui dengan pasti. Penyebab penyakit perut dan
penyakit berbahaya lainnya yang menyangkut pencernaan. Merupakan virus dari
family calciviridae. Virus ini memiliki RNA tunggal yang tidak terbelit (USU, 2012).
CARA PENGOBATAN
Tidak ada vaksin untuk norovirus, hanya saja penderita serangan norovirus sebaiknya
dikarantina agar tidak menulari orang lain. Antibiotik tidak akan mengobati virus
norovirus karena antibiotik bekerja untuk melawan bakteri (Anonim, 2013).
CARA PENCEGAHAN
Dengan menjaga kebersihan, seperti membiasakan mencuci tangan sebelum makan
dan mencuci bahan makanan yang akan diolah atau dikonsumsi. Serta, selalu
mengganti dan menggunakan pakaian yang bersih agar tidak mudah bakteri tinggal
dan berkembangbiak dibaju kita yang kotor baik terkena makanan atau yang telah
terkontaminasi dengan penderita (Anonim, 2013).
5) Virus Hepatitis
Virus dalam air kemasan botol terutama dalam botol plastik berbahan PET (Poly
Ethylene Terphalate), kebanyakan merupakan jenis virus yang menjadi penyebab
hepatitis. Golongan yang termasuk virus ini adalah sebagai berikut: Reo virus,
menginfeksi intestines, paru-paru, ginjal, hati. Dan rotavirus: memiliki 11 segmen dari
untaian ganda RNA, panjangnya berkisar 70 nm, bentuk tubuh berulik dengan axis
tengah dan radiasi terbuka. Merupakan penyebab diare dengan resiko kematian yang
sangat mengancam khususnya untuk bayi dan anak-anak seperti yang telah dijelaskan
tadi (Anonim, 2013).
a) Virus Hepatitis A
Virus hepatitis A dapat menular melalui berbagai cara seperti kontak orang ke orang
atau melalui konsumsi makanan dan minuman yang telah terkontaminasi. Orang yang
telah terinfeksi virus hepatitis A dapat menjadi sumber penularan virus yang
mengontaminasi makanan sehingga orang-orang ini tidak diperbolehkan menangani
makanan meskipun mereka tidak terlihat sakit. Oleh karena itulah, orang-orang yang
bekerja menangani makanan, seperti di restoran atau pabrik makanan, harus diberi
vaksinasi hepatitis A. Setelah tertelan, ketahanan virus hepatitis A terhadap asam
memungkinkannya lewat dalam perut dan masuk ke usus halus (Anonim, 2013).
CARA PENGOBATAN
Pemberian vaksin ulangan (booster) dalam waktu yang lebih lama (Anonim, 2013).
CARA PENCEGAHAN
Pencegahan hepatitis A bisa dilakukan dengan selalu menjaga kebersihan, membasuh
tangan dengan air dan sabun setelah dari kamar mandi, mengganti popok bayi, dan
sebelum menangani makanan; memasak makanan sampai suhu 85oC atau lebih tinggi
akan menginaktivasi virus hepatitis A. Jika diketahui telah terpapar virus hepatitis A,
pemberian suntikan immune globulin bisa dilakukan. Perlindungan terbaik dari
hepatitis A adalah dengan vaksinasi. Vaksinasi hepatitis A disarankan bagi anak-anak,
bagi mereka yang akan bepergian ke daerah yang dikenal memiliki tingkat kejadian
hepatitis A tinggi, homoseks, pengguna obat- obatan suntik dan nonsuntik, penderita
hemofilia, dan penderita liver kronis (Anonim, 2013).
b) Virus Hepatitis E
Virus Hepatitis E dapat menular melalui makanan dan air yang terkontaminasi. Tidak
ada bukti penularan virus ini melalui seks dan transfusi darah (Anonim, 2013).
CARA PENGOBATAN
Belum ada pengobatan yang tepat dan menyembuhkan penyakit hepatitis akut ini,
pengobatan hanya bersifat supportif. Pencegahan adalah pendekatan yang paling
efektif terhadap penyakit ini (Anonim, 2013).
CARA PENCEGAHAN
Menjaga kebersihan lingkungan dan pribadi dapat mengurangi risiko hepatitis E.
Pencegahan lain adalah air dan makanan dimasak terlebih dahulu sebelum
dikonsumsi. Serta, menjaga sanitasi yang baik dan kebersihan pribadi yang tepat.
Selain itu penggunaan vaksin juga dapat mencegah penularan Hepatitis E (Anonim,
2013).
CARA PENGOBATAN
memperbaiki kehilangan cairan dan elektrolit yang dapat menimbulkan dehidrasi,
asidosis, syok dan kematian. Penatalaksanaan terdiri dari penggantian cairan dan
memperbaiki keseimbangan elektrolit secara oral atau intravena, menurut keadaan
masing-masing penderita. Selain pemberian cairan, pemberian makanan juga harus
diperhatikan (USU, 2012).
CARA PENCEGAHAN
Pencegahan dari gangguan karena virus ini umumnya dapat dilakukan dengan
memperhatikan kehigienisan bahan makanan yang akan diolah seperti mencuci bersih
sayuran-sayuran (USU, 2012).
PARASIT MAKANAN (FOODBORNE PHATOGEN PARASITES)
Parasit adalah organisme yang bersel tunggal, ukurannya beraneka ragam dari yang kecil atau
mikroskopik hingga berukuran besar seperti cacing perut. Ukuran panjangnya berkisar antara
1-2 µm hingga mencapai 2 m (FSIS, 2015).
Patogen parasit makanan adalah organisme yang hidup dengan mengambil hara makanan
(nutrisi) dari inangnya yang dapat menginfeksi melalui air dan makanan. Gejala-gejala yang
ditimbulkan dapat sama dengan gejala gangguan perut yang ditimbulkan oleh bakteri dan
penularannya melalui rute fekal hingga oral (Albiner, 2002: 5).
Terdapat dua bentuk, yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah bentuk parasit
yang mengambil makanan dari bagian luar inang, seperti kutu kepala (Pediculus humanus
capitus), sedangkan endoparasit adalah parasit yang mengambil makanan dari dalam tubuh
inang seperti cacing helminth, dan protozoa. Endoparasit dapat merugikan inang atau
mengganggu kesehatan atau mematikan inang (manusia) dengan menghalangi pertumbuhan
dan perkembangan inang karena berkompetisi untuk mengambil nutrisi inang, contohnya
adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides) (Sembel, 2015: 257).
Beberapa spesies dapat bertahan pada lingkungan untuk beberapa minggu dan dapat
klorinasi. Dua jenis patogen parasit makanan yang penting pada manusia dan hewan adalah
cacing perut (helminth) dan protozoa. Cacing perut (helminth) diklasifikasikan menjadi tiga
sub kelompok yaitu cestoda (tapeworms), trematoda (flukes), dan nematoda (round worms).
Terdiri dari dua jenis yaitu nematoda intestinal atau nematoda yang berhabitat di
saluran pencernaan manusia dan hewan juga nematoda jaringan. Contohnya
adalah Ascaris lumbricoides, Wuchereria bancrofti dan Trichinella spiralis
(Purwoko, 2015).
Terdapat beberapa parasit yang sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup hewan
domestik dan manusia di Indonesia, diantaranya adalah :
1. Trichinella sp.
Spesies Trichinella seperti Trichinella spiralis bersifat multisel parasit nematoda yang
paling umum dan penting di dunia karena dapat menyebabkan penyakit yang disebut
trichinosis (Robert & Janovay, 2005: 405).
Penyakit trichinosis tersebar luas di dunia karena agen etiologiknya yaitu Trichinella
terdapat di mana-mana dalam populasi hewan, baik hewan domestik maupun liar (Kim,
1997: 450).
Cacing dewasa berukuran kecil ini terdapat dalam perut (intestine) babi dan setiap bentuk
betina dapat masuk ke dalam otot dan membentuk sista atau terbungkus dalam suatu
kapsul. Cacing betina bersifat vivipar dan biasanya masuk ke mukosa vilus usus, mulai
dari duodenum sampai ke sekum hewan yang biasanya dagingnya dimakan oleh manusia
contohnya sapi, babi, atau hewan lain (Wahedi, 2014).
Seekor cacing betina dapat mengeluarkan kira- kira 1500 larva. Larva tersebut dilepaskan
di jaringan mukosa, masuk ke dalam kelenjar limfe dan peredaran darah, dan menyebar
ke seluruh tubuh, terutama otot (diafragma, iga, lidah, laring, mata, perut, biseps, dll).
Kira-kira pada awal minggu ke-4 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista dalam
jenis otot yang bergaris lintang. Kista dapat hidup di otot selama kira-kira 18 bulan,
kemudian terjadi perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun (Wahedi, 2014).
Infeksi pada manusia terjadi apabila daging babi atau sapi yang mengandung larva
infektif yang terdapat di dalam kista dimakan oleh manusia. Ketika berada di usus halus
bagian proksimal dinding kista dicernakan dan dalam waktu beberapa jam larva dari
Trichinella spiralis dilepaskan, dan segera masuk mukosa, kemudian menjadi cacing
dewasa dalam waktu 1,5 - 2 hari (Wahedi, 2014).
Gejala awal dari infeksi cacing ini terjadi antara 12 jam sampai dengan 2 hari yaitu mual,
muntah-muntah, berkeringat, dan diare. Sesudah 5-7 hari akan terjadi akumulasi cairan
atau pembengkakan pada wajah (facial edema) dan demam yang diikuti dengan kesulitan
bernapas, melemahnya denyutan nadi dan turunnya tekanan darah, kerusakan jantung,
dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian karena kegagalan jantung dan komplikasi
pernapasan serta tidak berfungsinya ginjal (Robert and Janovay, 2005: 406).
2. Taenia saginata
Taenia saginata dikenal sebagai cacing pita sapi adalah jenis parasit yang memiliki
ukuran terbesar dari genus Taenia karena dapat mencapai panjang 22 mm, bersifat
zoonotik, parasit perut pada sapi, dan manusia yang menyebabkan penyakit taeniasis
(WHO, 2014).
Sapi merupakan inang antara dimana larva melangsungkan perkembangan dan manusia
merupakan inang definitif. Cacing pita ini terdpaat di mana-mana di dunia, khususnya
pada ternak sapi dan daging sapi di Afrika, Eropa Timur, Asia Tenggara dan Amerika
Latin. Manusia terinfeksi oleh parasit ini karena sanitasi lingkungan yang kurang baik.
Larva ditularkan melalui konsumsi daging mentah atau yang kurang masak (uncooked).
Diperkirakan bahwa secara global jumlah orang di dunia yang terinfeksi oleh parasit ini
berkisar 40-60 juta orang (Eckert, 2005: 560).
Infeksi T.saginata biasanya tidak menunjukkan gejala tetapi infeksi berat dapat
mengakibatkan kehilangan berat, mual, pusing-pusing, sakit perut dan kehilangan nafsu
makan (Kim, 1997: 453).
3. Taenia solium
Taenia solium adalah cacing pita babi yang merupakan parasit zoonotik perut (yang dapat
ditularkan dari hewan rendah ke manusia) dan tersebar sangat luas (prevalent) di negara-
negara dimana penduduknya banyak yang memakan daging babi. Taeniasis dilaporkan
tidak terjadi pada penduduk beragama Islam karena mereka tidak makan daging babi
(Pawlowski, 1990: 492).
Bentuk dewasa cacing ini memiliki tubuh berbentuk datar seperti pita (ribbon), berwarna
putih dan berukuran panjang antara 2-3 mm. Manusia merupakan inang definitif dan babi
adalah inang antara. Babi biasanya makan telur berembrio disebut morula, kemudian
berkembang menjadi larva yang infektif disebut cysticercy (larva yang terbungkus dalam
kantong) yang kemudian berkembang menjadi dewasa dalam perut kecil manusia. Bentuk
cysticercy dan kepala cacing yang terbungkus (invaginated) disebut skoleks (Rabiela et
al, 1989: 4-13).
Infeksi secara tidak sengaja pada manusia dapat mengakibatkan cysticercosis yaitu
infestasi oleh cysticercy. Bentuk yang paling serius adalah sistriserkosis saraf
(neurocysticercosis), yang memengaruhi otak yang dapat mengakibatkan epilepsi. Infeksi
pada manusia dapat terlihat pada adanya telur parasit dalam kotoran manusia.
Pengendalian dapat dilakukan melalui pengobatan dengan obat anthelmintics berspektrum
luas seperti praziquantel dan albendazole.
Infeksi parasit Taenia spp. yang disebut taeniasis tidak memiliki gejala yang jelas, namun
dalam kasus-kasus yang serius, maka infeksi cacing ini dapat menyebabkan iritasi perut,
anemia, dan ketidaksanggupan mencerna (indigestion) yang menyebabkan kehilangan
nafsu makan, dan menjadi kurus (emaciation). Dalam banyak kasus cysticercosis dalam
otak dapat mengakibatkan epilepsi, serangan tiba-tiba (seizure), luka (lessions) dalam
otak, kebutaan, dan pertumbuhan mirip tumor. Parasit ini dapat juga menyebabkan
masalah persarafan (neurological) seperti adanya cairan dalam otak (hydrocephalus),
kelumpuhan setengah badan bagian bawah termasuk kaki (paraplegy), radang selaput
otak (meningitis), sawan/konvulsi (convulsions), dan bahkan kematian (Reeder et al,
2013).
Cara terbaik untuk mencegah penyakit ini ialah menjauhi makan daging babi yang tidak
matang, sanitasi yang baik, sehingga tidak terjadi kontaminasi dengan kotoran manusia.
Cysticercosis dapat terjadi karena mengonsumsi telur-telur T.solium melalui sayuran atau
air yang terkontaminasi. Telur-telur tersebut akan berkembang menjadi larva yang
kemudian masuk ke dalam saluran darah dan menginfestasi jaringan inang, suatu kondisi
yang disebut cysticercosis. Penyakit ini dapat menyebabkan sakit kepala, pusing-pusing,
serangan tiba-tiba, menjadi gila (dementia), hipertensi pada otak, kebutaan, pertumbuhan
menyerupai tumor, dan tingkat leukosit (eosinophil) rendah (Sembel, 2015: 261).
4. Taenia asiatica
Taenia asiatica memiliki bentuk morfologi yang hampir sama dengan T.saginata namun
T.asiatica lebih pendek dan diameter skoleks lebih lebar dan jumlah testis yang lebih
rendah. Infeksi cacing ini terdapat di beberapa negara Asia. Dilaporkan bahwa taeniasis
juga terdapat di Indonesia terutama bagi mereka yang makan daging babi (Depary and
Kosman, 1990).
Babi, ternak sapi, kambing, kera dapat menjadi inang antara dari parasit ini. Parasit ini
juga tidak menunjukkan gejala. Infeksi cacing ini dapat menyebabkan pendarahan pada
perut (ulcer) (Liao & Bair, 2007: 1028).
Cacing ini merupakan jenis cacing pita yang hidup sebagai parasit pada manusia, anjing,
kucing dan serigala. Jenis cacing ini dapat menyebabkan Diphyllobothriasis yaitu
penyakit cacing yang paling berbahaya. Cacing memiliki ukuran 2-12 m warna abu-abu
kekuningan dengan bagian tengah berwarna gelap (berisi uterus dan telur). Cacing
dewasa memiliki beribu-ribu proglotid (bagian yang mengandung telur) dan panjangnya
sampai 450-900 cm. Telurnya dikeluarkan dari proglotid di dalam usus dan dibuang
melalui tinja. Telur akan mengeram dalam air tawar dan menghasilkan embrio, yang akan
termakan oleh krustasea (binatang berkulit keras seperti udang, kepiting). Selanjutnya
krustasea dimakan oleh ikan. Manusia terinfeksi bila memakan ikan air tawar terinfeksi
yang mentah atau yang dimasak belum sampai matang. Namun, bibit cacing banyak juga
ditemukan di dalam daging babi dan daging sapi. Daerah penyebarannya meliputi wilayah
Eropa, Afrika, Amerika Utara dan Jepang (Alfaro, 2011).
Protozoa Makanan
Protozoa merupakan mikroba dengan struktur mulai dari yang sederhana hingga yang
kompleks dan sangat banyak jenisnya. Sebagian dari beberapa jenis tersebut dikenal
sebagai parasit penyebab baik pada hewan maupun manusia . Penggolongan protozoa
adalah protozoa bentuk kokus yang terdiri dari Cryptasparidium, Cyclospora,
Sarcocytys, dan Toxoplasma ;Berflagel Giandia, Entamoeba, Ciliophora,
microspora, dan Blasocytys (Rahayu. 2012: 80).
DAFTAR PUSTAKA
Alfaro. 2011. Cacing Pita. Diunduh dari www. blogkedokteran. blogspot.co.id pada 10 Maret
2016 pukul 15.12 WIB.
Elisa. 2014. Jamur dan Mikotoksin dalam Pangan. UGM. Diunduh dan dikutip dari xiii.
jamur dan mikotoksin dalam pangan - eLisa UGM.
Food Safety and Inspection Service. 2015. Food Safety Education. Diunduh dari
http://www.fsis.usda.gov pada 9 Maret 2016 pukul 14.32 WIB.
Kim, C.W. 1997. Helminths in Meat. In: Food Microbiology.Fundamentals and Frontiers.
Ed. M.P Doyle, L.R. Beuchat and T.J Monville. ASM Press: Washington DC.
Liao & Bair. 2007. Taenia In The Gastrointestinal Tract. New England Journal of Medicine
357 (10).
Universitas Sumatera Utara. 2013. Patogen Mikroorganisme. USU: Medan. Diunduh dari
http://www.repository.usu.ac.id pada hari Jumat, 11 Maret 2016 pukul 20.30 WIB.
POM. 2014. Keracunan Pangan Akibat Bakteri Patogen Bagian II. Diunduh dari
http://ik.pom.go.id/v2014/artikel/KERACUNAN%20PANGAN%20AKIBAT%20BA
KTERI%20PATOGEN%20BAG.II.pdf pada hari Jumat, 11 Maret 2016 pukul 19.10
WIB.
Rahayu WP, Nurwitri CC. 2012. Mikrobiologi Pangan. IPB Press: Bogor.
Sembel, Dantje T, dkk. 2015. Toksikologi Lingkungan Dampak Pencemaran dari Berbagai
Bahan dalam Kehidupan Sehari-hari. Andi offset: Yogyakarta.
Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya.
Diunduh dari www.digilibusu.com pada 10 Maret 2016 pukul 15.00 WIB.
Wahedi, Wahyu. 2014. Cacing Trichinella spiralis. Diunduh dari http://emedis.blogspot.co.id
pada 10 Maret 2016 pukul 15.03 WIB.
WHO. 2014. Taeniasis. WHO Fact Sheet No. 376: World Health Organization.