Anda di halaman 1dari 7

FUNGSI BAHASA, MATEMATIKA, DAN LOGIKA UNTUK KETAHANAN

INDONESIA DALAM ABAD 20 DI JALAN RAYA BANGSA-BANGSA

Slamet Iman Santoso

A. Profil Penulis
Slamet Iman Santoso (1907-2004) merupakan seorang professor emeritus
Fakultas Psikologi UI yang dijuluki Bapak Psikologi Indonesia. Psikiater kelahiran
Wonosobo ini tidak hanya seorang pendiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
melainkan perintis studi psikologi di Indonesia serta ikut mendirikan beberapa
universitas di antaranya Universitas Andalas, Universitas Sriwijaya, Universitas
Airlangga, dan Universitas Hasanuddin.
Slamet Iman Santoso adalah pengkritik keras minimnya gaji guru di Indonesia.
Kondisi ini berbanding terbalik saat zaman Belanda karena saat itu gaji guru dua
kali lipat daripada gaji dokter sehingga guru tidak perlu mencari tambahan dan
dunia pendidikan tidak dicampurbaurkan dengan bisnis. Karya-karya yang telah
beliau tulis pun cukup beragam, di antaranya Sejarah Perkembangan Ilmu
Pengetahuan, Sinar Hudaya, Jakarta (1977), Psychiatry dan Masyarakat;
Kesejahteraan Jiwa; School Health in the Community, Sekolah sebagai Sumber
Penyakit atau Sumber Kesehatan, dan masih banyak lagi.
Penghargaan yang pernah beliau terima pun beragam, mulai dari Bintang Jasa
Mahaputra Utama (III) tahun 1973, Tokoh Pendidikan Nasional dari IKIP Jakarta
(UNJ) tahun 1978, dan Penghargaan Wahidin Sudiro Hoesodo dari Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) tahun 1989.

B. Resume
Dalam abad ke-20, Indonesia mengahadapi masa yang sangat berat
karena kita terletak di jalan raya bangsa-bangsa. Hidayat (2006:12) dalam bukunya
yang berjudul Filsafat Bahasa Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda
mengemukakan bahwa istilah filsafat bahasa muncul bersamaan dengan
kecenderungan filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris. Kebudayaan Barat
yang sudah berkembang selama 600 tahun dari aspek sosial, politik, ekonomi,
pendidikan ilmu pengetahuan, dan sebagainya memengaruhi semua lapangan
kehidupan dan semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, dalam artikel ini Slamet
1
Iman Santoso berusaha mengupas perbandingan isi kebudayaan bangsa Indonesia,
proses pengaruh kebudayaan, dan konsekuensi dari pengaruh tersebut berdasarkan
aspek fungsi bahasa, matematika, dan logika.

Fungsi Bahasa
Suriasumantri (2007: 171) dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer menyatakan bahwa keunikan manusia bukan terletak pada
kemampuan berpikirnya, melainkan pada kemampuan berbahasanya. Hal inilah
yang mendasari Ernst Cassirer menyebut manusia sebagai Animal symbolicum,
makhluk yang mempergunakan simbol. Cakupan Animal symbolicum lebih luas
daripada Homo sapiens yakni makhluk yang berpikir, sebab dalam kegiatan
berpikirnya manusia menggunakan simbol.
Menurut Aldous Huxley dalam Suriasumantri (2007: 171) mengemukakan
bahwa “tanpa bahasa manusia tak berbeda dengan anjing dan monyet” karena tidak
mungkin melakukan kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur, serta tidak
mungkin mengembangkan kebudayaannya yang mengakibatkan terputusnya
transferalisasi nilai-nilai budaya dari generasi satu kepada generasi selanjutnya.
Seperti pepatah kearifan Melayu dalam Hidayat (2006: 30) yang berbunyi: “Bahasa
adalah cermin budaya bangsa, hilang budaya maka hilang bangsa”. Jadi bahasa
adalah sine qua non, suatu yang mesti ada bagi kebudayaan dan masyarakat
manusia.
Bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak dengan
mentransformasikan objek-objek faktual menjadi simbol-simbol bahasa yang
bersifat abstrak. Dengan adanya transformasi ini, manusia dapat berpikir mengenai
sesuatu objek tertentu meskipun objek tersebut secara faktual tidak berada di tempat
kegiatan berpikir itu dilakukan. Sementara binatang terbatas selama objek yang
dikomunikasikan itu berada secara faktual waktu proses komunikasi itu dilakukan
(Suriasumantri, 2007: 173).
Fungsi bahasa dalam kehidupan manusia yang paling dasar adalah menjelmakan
pemikiran konseptual ke dalam dunia kehidupan. Apabila pemikiran konseptual
tidak dinyatakan dalam bahasa, maka orang lain tidak akan mengetahui pemikiran

2
tersebut. Namun, ada kemungkinan pemikiran langsung dijelmakan dalam
perbuatan, yang kemudian ditiru oleh orang lain (Suriasumantri, 2012: 303).
Slamet Iman Santoso mengungkapkan bila pemikiran konseptual dinyatakan
dalam bahasa, maka terjadi beberapa kemungkinan.
i. Lain orang mengetahui ada pemikiran konseptual.
ii. Lain orang bisa mengerti isi pemikiran konseptual.
iii. Lain orang dapat menilai benar-salahnya pemikiran konseptual.
iv. Lain orang dapat mengajarkan pemikiran tersebut.
v. Setelah dimengerti dapat disusun rencana perbuatan.
Langkah i dan ii mengetahui dan mengerti tanpa penilaian salah-benar, langkah
ini dalam kehidupan dilandasi pengertian komunikasi saja, dan penilaiannya
emosional. Misalnya: “Bapak ibu bekerja membanting tulang”, “Tuhan adalah
Mahakuasa, Maha Penyayang”.
Dalam langkah iii mulai menjadi jelas apabila diungkapkan dengan: “Bapak ibu
bekerja dari subuh sampai sore hari”. “Majikanku penyayang pembantu-pembantu
dengan memberikan liburan tiap dua minggu sekali.” Bentuk-bentuk tersebut mulai
jelas benar-tidaknya pemikiran konseptual karena diungkapkan dalam bahasa sehari-
hari.
Tiga langkah tersebut mempunyai hubungan dengan fungsi bahasa dalam
kehidupan sehari-hari yang dibagi dalam 3 bagian.
a. Untuk percakapan sehari-hari dan dimengerti oleh sesama manusia 
digunakan untuk semua manusia.
b. Dalam puisi, prosa, dan retorika, dalam tingkat mana seni menggunakan bahasa,
mempunyai peranan yang sangat penting, dan sulit dinilai benar-salahnya 
penting bagi sastrawan dan politisi.
c. Dalam tingkat pengertian yang tepat dan dapat diuji benar-salahnya  paling
dasar dalam rangka pendidikan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Pada bagian
ini yang pokok adalah pemikiran konseptual dinyatakan dalam bahasa. Antara
pemikiran dan bahasa ada pengaruh timbal-balik. Bentuk bahasa ini disebut
descriptive language yang mempunyai ciri khas either true or false pada bentuk
“proposition”.

3
Dalam rangka tujuan pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan
(science), maka perlu dilatih descriptive dan propositional language yang
memenuhi tata bahasa dan logika. Bahasa descriptive dan propositional
umumnya jelas, singkat dan tepat sesuai pemikiran (clear and accurate
thinking).
Untuk menghadapi era globalisme yang mengakibatkan masuknya
kebudayaan barat pada semua lapisan masyarakat, maka pelajaran bahasa
Inggris perlu diperdalam sebab ilmu pengetahuan memang menuntut bahasa
descriptive dan propositional yang eksak.
Simpulan dari pandangan di atas meliputi:
1) Langkah pertama penjelmaan pemikiran adalah dalam hal bahasa, maka
pendidikan perlu mengembangkan pelajaran bahasa ke arah bahasa descriptive-
propositional.
2) Bahasa yang menuju ke arah pengetahuan dan ilmupengetahuan harus bersifat
descriptive atau propositional supaya bisa diuji benar atau salahnya.
3) Pemikiran yang tegas, singkat, jelas dapat diuji benar atau salahnya.
4) Setelah pemikiran jelas, tegas, dan benar, baru melangkah ke penjelmaan
material dan praktis.
5) Indonesia memerlukan bilingual.

Fungsi Matematika
Suriasumantri (2007: 190) mendefinisikan matematika sebagai bahasa yang
melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan.
Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang mempunyai arti setelah
sebuah makna diberikan padanya. Matematika adalah bahasa yang berusaha untuk
menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Matematika
bersifat kuantitatif yang berfungsi meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu.
Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak dalam menyelesaikan
pemecahan masalah secara lebih tepat, cermat, dan terbebas dari emosi. Hal inilah
yang membedakan bahasa dengan matematika karena bahasa verbal hanya mampu
mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Kondisi ini menyebabkan

4
penjelasan dan ramalan sebuah bahasa verbal tidak bersifat eksak, serta daya
prediktif dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat.
Dalam perkembangannya, semua ilmu pengetahuan sudah menggunakan
matematika. Hal ini dapat dikatakan bahwa fungsi matematika sama luasnya dengan
fungsi bahasa yang berhubungan dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Sebaliknya, bahasa yang mempunyai hubungan dengan puisi, prosa, dan retorika
dapat berjalan tanpa matematika (Suriasumantri, 2012: 309). Misalnya:
a. Contoh sebuah puisi
Oh bulan purnama di langit biru
Sampaikanlah salam cintaku
Pada bapak-ibuku
Bila kau berlalu rumahku
Esok hari dini
Sampai tepi sebrang samudra ini
 Kalimat-kalimat pada puisi di atas tidak dapat dibuktikan benar-salahnya karena
bersifat emosional dan tidak berhubungan dengan matematika. Fungsi emotif
yang mempunyai kecenderungan emosional menurut Kemeny merupakan salah
satu kelemahan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah karena pesan yang
disampaikan kemungkinan tidak diterima secara reproduktif (Suriasumantri,
2007: 175).
b. Contoh kasus matematika:
Dalam kota ini banyaknya penduduk adalah lima juta. Banyaknya rambut pada
kepala manusia adalah maksimal sepuluh ribu helai. Pasti ada dua orang yang
banyaknya rambut kepala sama.
 Kasus tersebut membutuhkan pengertian dan penggunaan matematika deretan
untuk bisa dibuktikan dengan pasti, tanpa menghitung rambut pada tiap
penduduk.
Dengan demikian, matematika merupakan salah satu jalan untuk menyusun
pemikiran yang jelas, tepat dan teliti, pemikiran yang melandasi semua ilmu
pengetahuan dan filsafah.

5
Logika
Pendidikan logika makin meluas sejak 50-60 tahun terakhir, setelah logika yang
diciptakan Aristoteles (±330 SM) didampingi dengan logika modern, misalnya
symbolic logic.
Logika secara luas dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara
sahih atau dapat juga didefinisikan sebagai cara penarikan simpulan. Terdapat dua
jenis cara penarikan simpulan, yakni logika deduktif dan logika induktif. Logika
deduktif membantu kita dalam menarik simpulan dari hal yang bersifat umum
menjadi kasus yang bersifat individual (khusus). Sementara logika induktif erat
hubungannya dengan penarikan simpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi
simpulan yang bersifat umum (Suriasumantri, 2007: 46).
Dasar-dasar logika dan kombinasi disusun berdasarkan pemikiran yang logis,
sedangkan logika implisit menyoal pada hal yang diselip-selipkan, tidak kelihatan,
dan digunakan hanya secara kebetulan saja. Logika pada umumnya diabaikan karena
dianggap bahwa logika hanya menguasai lapangan falsafah dan teori ilmu
pengetahuan. Namun, jika setiap keputusan mempunyai konsekuensi dalam
masyarakat, maka konsekuensi adalah perkataan lain dari logika. Sebab dalam logika
selalu dibahas soal yang implisit menjadi eksplisit dan proses ini adalah analisis
menuju konsekuensi.
Tiga hal yang meliputi bahasa, matematika, dan logika merupakan alat utama
dan fundamental untuk menyusun dan mendisipliner pemikiran sehingga pemikiran
memiliki sifat yang jelas, tepat, singkat, teratur (clear, accurate and systematic
thinking). Oleh karena itu, supaya perbuatan manusia menjadi baik dan berhasil,
penyusunan pemikiran ini adalah hal yang primer dan fundamental. Sifat-sifat
jelas, tepat, teratur dalam penjelmaan pikiran manusia inilah yang nantinya akan
menghadapi arus kebudayaan Barat. Jadi, dapat dikatakan inilah letak fungsi
ketahanan dari bahasa, matematika, dan logika untuk Indonesia dalam abad ke-20 di
jalan raya bangsa-bangsa.

6
Kaitan dengan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Abad ke-20 bisa juga disebut dengan era industrialisasi/modernisasi ditandai
oleh tiga perubahan menuju: (1) orientasi prestasi dalam pembagian pekerjaan, (2)
individualisme meninggalkan orientasi kekerabatan, dan (3) orientasi kosmopolitan
meninggalkan orientasi lokal dan provinsi (Griswold via Alwasilah 2014: 37).
Perubahan-perubahan ini dengan sendirinya membutuhkan keterampilan literasi
prosa, literasi dokumen, dan literasi hitungan (numeracy). Hal ini merupakan
tantangan bagi para peneliti bahasa dan pendidik bahasa.
Kompetensi global memaksa kita untuk melakukan percepatan penguasaan
keterampilan literasi industrial dan literasi global. Pemahaman literasi dalam konteks
akademik seringkali dimaknai sebagai kemampuan membaja (saja) sehingga
keterampilan menulis dalam bahasa daerah, bahasa Indonesia, maupun bahasa asing
menjadi terabaikan. Untuk menghadapi tantangan global, jurusan-jurusan bahasa dan
sastra di perguruan tinggi tidak cukup sekadar menghasilkan sarjana pendidikan
bahasa atau sastra saja, melainkan seyogyanya mampu menghasilkan penulis fiksi,
buku teks, editor, penerjemah handal, maupun dalam bidang penelitian (Alwasilah,
2014: 38).

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2014. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung:


Rosdakarya.

Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna,
dan Tanda. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan.

-------------. 2012. Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang


Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai