Anda di halaman 1dari 68

1

SKRIPSI

PREVALENSI PENYAKIT MENULAR SEKSUAL PADA PASIEN


HIV/AIDS DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
DARI JANUARI 2012 HINGGA DESEMBER 2015

Oleh :
GAYATTHIRI NAAIDU
130100476

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
i

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Prevalensi penyakit menular seksual pada pasien
HIV/AIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan dari Januari
2012 hingga Desember 2015
Nama : GAYATTHIRI NAAIDU
NIM : 130100476

Pembimbing I Pembimbing II

(dr. Dina A. Dalimunthe, M.Ked (KK), Sp.KK) (dr. T. Helvi Mardiani, M.Kes)
NIP : 198204152008012015 NIP : 197201072001122002

Ketua Penguji Anggota Penguji

(dr. T. Siti Harilza Zubaidah, Sp.M) (dr. Riana Miranda Sinaga, Sp.KK)
NIP : 197604222005012002 NIP : 198104072009122004

Medan,
Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K))


NIP : 196605241992031002
ii

ABSTRAK

Pendahuluan: Penyakit menular seksual adalah penyakit yang menular melalui


kontak hubungan seksual. Penyakit menular seksual yang banyak diderita oleh
pasien HIV/AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi penyakit
menular seksual pada pasien HIV/AIDS.

Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan


cross-sectional, dimana penelitian bertujuan untuk mengetahui karakteristik
pasien HIV/AIDS dengan penyakit menular seksual.

Hasil: Dari 107 pasien, didapati 32,7% menderita Gonorrhea, 8,4% menderita
Herpes simpleks, 36,5% menderita Kondiloma akuminata, 19,6% menderita
Sifilis dan 2,8% menderita Trikomoniasis. Penyakit menular seksual yang paling
banyak diderita oleh pasien HIV/AIDS adalah pada usia 31-40 tahun (37,4%),
jenis kelamin laki-laki (71,0%), berpendidikan SMA (72,9%), menikah (81,3%),
bekerja sebagai wiraswasta (53,3%) dan juga bersuku jawa iaitu (38,3%).

Diskusi: Pasien HIV/AIDS banyak menderita penyakit menular seksual. Individu


yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4 melalui
beberapa mekanisme yakni dari jumlah normal yang berkisar 600-1200/mm3
menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi, sehingga pertahanan individu terhadap
mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjadinya
infeksi sekunder, penyakit menular seksual dan akhirnya masuk ke stadium AIDS.

Kata kunci: HIV/AIDS, prevalensi, penyakit menular seksual, karakteristik.


iii

ABSTRACT

Introduction: Sexually transmitted disease is a disease that is transmitted through


sexual contact. Sexually transmitted disease usually occur on patients with HIV /
AIDS. This study aims to determine the prevalence of sexually transmitted
diseases in patients with HIV / AIDS.

Methods: This research is a qualitative descriptive cross-sectional approach,


where research aims to determine the characteristics of patients who have HIV /
AIDS.

Results: Out of 107 patients, it is found that 32.7% has Gonorrhea, 8.4%
suffering from Herpes simplex, 36.5% has Condyloma acuminata, 19.6% has
Syphilis and 2.8% have Trichomoniasis. Sexually transmitted diseases are the
most suffered by patients who have HIV / AIDS are in the age of 31-40 years
(37.4%), male gender (71.0%), high school educated (72.9%), married (81 , 3%),
working as self-employed (53.3%) and also have tribes of Java (38.3%).

Discussion: HIV / AIDS patients suffer many sexually transmitted diseases.


Individuals who are infected with HIV has decreased number of CD4 T-
lymphocytes via several mechanisms of the normal amount in the range of 600-
1200 / mm3 to 200 / mm3 or lower, so that the individual defense against
pathogenic microorganisms is becoming weaker and increases the risk of
secondary infection, sexually transmitted diseases and finally into AIDS stage.

Keywords: HIV / AIDS, prevalence, sexually transmitted diseases, characteristic.


iv

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan atas rahmat dan karunia-Nya sehingga Karya
Tulis Ilmiah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Penelitian ini berjudul
“Prevalensi penyakit menular seksual pada pasien HIV/AIDS di RSUP Haji Adam
Malik di Medan dari Januari 2012 hingga Desember 2015”, yang merupakan salah
satu persyaratan untk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih kepada orang tua penulis yang telah membesarkan dan
mendidik penulis dengan baik sehingga penulis dapat duduk di bangku kuliah,
serta memberikan dukungan baik secara moril dan material.
Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis telah banyak mendapat
bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) selaku dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, dan Dr. dr. Imam Budi Putra, Sp.KK(K)
selaku wakil dekan I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan
penelitian.
2. dr. Dina Arwina Dalimuthe, M.Ked(KK), Sp.KK dan dr. T. Helvi
Mardiani, M.Kes selaku dosen pembimbing penulis atas kesabaran, waktu
dan masukan-masukan yang diberikan untuk membimbing penulis
sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. dr. T. Siti Harilza Zubaidah, Sp.M dan dr. Riana Miranda Sinaga, Sp.KK
selaku dosen penguji pada seminar proposal Karya Tulis Ilmiah dan
seminar hasil Karya Tulis Ilmiah ini, atas pengarahan yang diberikan
sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.
4. dr. Arlinda Sari Wayuni, M.Kes selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing penulis selama masa perkuliahan.
5. Bagian komisi etik yang telah memberi izin secara validasi untuk membuat
penelitian.
6. Kepala bagian direktorat sdm dan pendidikan instalasi penelitian dan
pengembangan RSUP Haji Adam Malik Medan, yang telah memberikan
izin untuk mengambil rekam medis di Instalasi Rekam Medis.
v

7. Seluruh staf perawat yang membantu penulis pada saat melakukan validasi
dan penelitian di Instalasi Rekam Medis.
8. Seluruh staf pengajar yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada
penulis selama masa pendidikan.
9. Teman-teman kelompok sesama bimbingan Karya Tulis Ilmiah dan teman-
teman peneliti lainnya, yang telah memberi bantuan berupa saran, kritikan
dan motivasi selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
10. Seluruh pihak yang telah memberi bantuan kepada peneliti.
Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari
sempurna karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh
karena itu, segala saran dan kritik sangat diharapkan demi kemajuan kualitas
Karya Tulis Ilmiah ini.
Akhir kata, penulis mengharapkan Karya Tulis Ilmiah ini dapat
memberikan manfaat bagi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
bangsa dan Negara Indonesia, serta bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya dalam dunia kedokteran.

Medan, 9 JANUARI 2017

GAYATTHIRI NAAIDU
(NIM: 130100476)
vi

DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Persetujuan ....……………………………………….……………... i
Abstrak ..……………………………………………………………............... ii
Abstract ..…………………………………………………………….............. iii
Kata Pengantar ................................................................................................ iv
Daftar Isi ......…………………………………………………………............. vi
Daftar Tabel ......………………………………………………………........... viii
Daftar Gambar.................................................................................................. ix
Daftar Lampiran ..........……………………………………………................ x
Daftar Istilah/Singkatan……………………………………………............... xi

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2. Permasalahan ............................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian........................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian........................................................................ 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………........ 6


2.1. HIV/AIDS.................................................................................... 6
2.1.1. Pengertian........................................................................... 7
2.1.2. Klasifikasi HIV/AIDS........................................................ 7
..............................................................................................................
2.1.3. Etiologi dan Patogenesis.................................................... 7
2.1.4. Tanda dan Gejala................................................................ 13
2.1.5. Penularan HIV/AIDS......................................................... 14
2.1.6. Pencegahan Penularan........................................................ 16
2.1.7. Diagnosis HIV/AIDS......................................................... 16
2.1.8. Penatalaksanaan HIV/AIDS............................................... 18
2.2. Penyakit Menular Seksual............................................................ 20
2.2.1. Pengertian........................................................................... 20
2.2.2. Etiologi Penyakit Menular Seksual.................................... 21
2.2.3. Penularan Penyakit Menular Seksual................................. 22
2.2.4. Jenis-Jenis Penyakit Menular Seksual............................... 22
2.2.5. Tanda dan Gejala Penyakit Menular Seksual..................... 25
2.2.6. Pencegahan Penyakit Menular Seksual.............................. 25
2.2.7. Penatalaksanaan Penyakit Menular Seksual...................... 25
2.3. Hubungan Penyakit Menular Seksual dengan HIV/AIDS........... 26

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS


PENELITIAN…………………………………………………………………. 28
3.1. Kerangka Teori Penelitian........................................................... 28
3.2. Kerangka Konsep Penelitian ....................................................... 28

BAB 4 METODE PENELITIAN……………………………………………. 29


4.1. Jenis Penelitian............................................................................. 29
vii

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian....................................................... 29


4.3. Populasi dan Sampel.................................................................... 29
4.4. Teknik Pengumpulan Data........................................................... 29
4.5. Definisi Operasional..................................................................... 30
4.6. Pengolahan dan Analisa Data…………………………………... 33
4.7. Kerangka Operasional………………………………………….. 33
4.8. Jadwal Penelitian……………………………………………….. 34
4.9. Rincian Biaya Penelitian………………………………………. . 34

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN…….…………………………………. 35


5.1. Sampel .......................................................................................... 35
5.2. Sampel Berdasarkan Penyakit Menular Seksual.......................... 35
5.3. Karakteristik Sampel.................................................................... 35
5.3.1. Karakteristik Sampel berdasarkan Usia.............................. 35
5.3.2. Karakteristik Sampel berdasarkan Jenis Kelamin.............. 36
5.3.3. Karakteristik Sampel berdasarkan Pendidikan…………… 37
5.3.4. Karakteristik Sampel berdasarkan Status Marital.............. 38
5.3.5. Karakteristik Sampel berdasarkan Pekerjaan..................... 38
5.3.6. Karakteristik Sampel berdasarkan Suku............................. 39
5.3.7. Karakteristik Sampel berdasarkan Nilai CD4.................... 40
5.4. Pembahasan................................................................................. 41
5.4.1. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual........ 41
5.4.2. Karakteristik Penderita HIV/AIDS dengan Penyakit Menular
Seksual Berdasarkan Usia.................................................. 42
5.4.3. Karakteristik Penderita HIV/AIDS dengan Penyakit Menular
Seksual Berdasarkan Jenis Kelamin................................... 43
5.4.4. Karakteristik Penderita HIV/AIDS dengan Penyakit Menular
Seksual Berdasarkan Pendidikan........................................ 44
5.4.5. Karakteristik Penderita HIV/AIDS dengan Penyakit Menular
Seksual Berdasarkan Status Marital................................... 44
5.4.6. Karakteristik Penderita HIV/AIDS dengan Penyakit Menular
Seksual Berdasarkan Pekerjaan.......................................... 45
5.4.7. Karakteristik Penderita HIV/AIDS dengan Penyakit Menular
Seksual Berdasarkan Suku.................................................. 46
5.4.8. Karakteristik Penderita HIV/AIDS dengan Penyakit Menular
Seksual Berdasarkan Nilai CD4......................................... 46

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN …….………………………………. 48


6.1. Kesimpulan................................................................................... 48
6.2. Saran.............................................................................................. 49

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 50
viii

DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 4.1 Jadwal Penelitan 34
Tabel 5.1 Sampel Pasien HIV/AIDS berdasarkan PMS 35
Tabel 5.2 Pasien HIV/AIDS dengan PMS berdasarkan Usia 36
Tabel 5.3 Pasien HIV/AIDS dengan PMS berdasarkan Jenis Kelamin 36
Tabel 5.4 Pasien HIV/AIDS dengan PMS berdasarkan Pendidikan 37
Tabel 5.5 Pasien HIV/AIDS dengan PMS berdasarkan Status Marital 38
Tabel 5.6 Pasien HIV/AIDS dengan PMS berdasarkan Pekerjaan 38
Tabel 5.7 Pasien HIV/AIDS dengan PMS berdasarkan Suku 39
Tabel 5.8 Pasien HIV/AIDS dengan PMS berdasarkan Nilai CD4 40
ix

DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1 Anatomi Virus HIV 8
Gambar 3.1. Kerangka Teori Penelitian 28
Gambar 3.2. Kerangka Konsep 28
x

DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar Riwayat Hidup
2. Logbook Bimbingan Proposal Penelitian
3. Persetujuan Etik
4. Izin penelitian dari Universitas Sumatera Utara
5. Izin penelitian dari RSUP Haji Adam Malik Medan
6. Master Data Penelitian
7. Tabel distribusi frekuensi
8. Logbook Bimbingan Karya Tulis Ilmiah
xi

DAFTAR ISTILAH/ SINGKATAN


1. HIV : Human Immunodeficiency Virus
2. AIDS : Acquired Immunodeficiency Virus
3. IO : Infeksi Oportunistik
4. RNA : Ribonucleic Acid
5. DNA : Deoxyribonucleic Acid
6. CD4 : Cluster of Differentiation 4
7. WHO : World Health Organization
8. IFA : Indirect Immunofluorescnece Assays
9. LGV : Lymphogranuloma Venereum
10. PMS : Penyakit Menular Seksual
11. SD : Sekolah Dasar
12. SMP : Sekolah Menengah Pertama
13. SMA : Sekolah Menengah Atas
14. D3 : Diploma 3
15. S1 : Sarjana 1
16. PNS : Pegawai Negeri Sipil
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan
gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh
virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang dapat menular dan mematikan. 1
Virus tersebut menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga mengalami
penurunan daya tahan tubuh yang ekstrim dan mudah terjangkit penyakit-penyakit
infeksi dan keganasan yang dapat menyebabkan kematian.2
United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) tahun 2011
melaporkan bahwa jumlah orang yang terjangkit HIV di dunia sampai akhir tahun
2010 adalah 34 juta orang, dua pertiganya tinggal di Afrika kawasan Selatan
Sahara, di kawasan itu kasus infeksi baru mencapai 70 persen, di Afrika Selatan
5,6 juta orang terinfeksi HIV, di Eropa tengah dan barat jumlah kasus infeksi baru
HIV/AIDS sekitar 840 ribu, di Jerman secara kumulasi ada 73 ribu orang,
kawasan Asia Pasifik merupakan urutan kedua terbesar di dunia setelah Afrika
selatan dimana terdapat 5 juta penderita HIV/AIDS.3
Asia tenggara menurut World Health Organization (WHO) juga pada tahun
2011 terdapat 3,5 juta orang hidup dengan HIV/AIDS. Beberapa negara seperti
Myanmar, Nepal dan Thailand menunjukkan trend penurunan infeksi baru HIV.
Hal ini berhubungan dengan penerapan program pencegahan HIV/AIDS melalui
program Condom use 100 persen (CUP). Trend kematian yang disebabkan oleh
AIDS antara tahun 2001 sampai 2010 berbeda disetiap bagian negara. Di Eropa
timur dan Asia tengah sejumlah orang meninggal karena AIDS meningkat dari
7.800 menjadi 90.000, di Timur tengah dan Afrika utara meningkat dari 22.000
menjadi 35.000, di Asia timur juga meningkat dari 24.000 menjadi 56.000.4
Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia mencapai 5%, sehingga sejak itu
Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok negara dengan endemi terkonsentrasi.
Di tingkat nasional, jumlah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia
diperkirakan 287.357 orang yang tersebar
1 di seluruh provinsi di Indonesia,
2

meningkat sedikit dibandingkan pada 2007 sebesar 270.000. 5 Berdasarkan laporan


Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011 pada Lelaki Suka
Lelaki (LSL), Prevalensi HIV tertinggi di kota Jakarta (17%) dan terendah di kota
Semarang (2,4%).6
Sumatera Utara juga mengalami peningkatan prevalensi HIV/ AIDS
dimana jumlah kasus HIV di Sumatera Utara pada tahun 2011 terdapat 1.251
kasus, jumlah kumulatif AIDS s/d 2011 ada 515 kasus, di kota Medan jumlah
kasus HIV/AIDS dari tahun 2006 sampai tahun 2011 terdapat 2.904 penderita
(HIV 2.153 /AIDS 751), diantaranya terjadi pada kelompok Homoseksual
(3,68%), berdasarkan jenis kelamin pada laki-laki prevalensinya lebih tinggi
(76%), berdasarkan kelompok usia pada usia 25-34 tahun prevalensi paling tinggi
(57%), CFR (18,53%).7 Sedangkan menurut Dinas Kesehatan Sumatera Utara
sejak tahun 1994 hingga Maret 2013, prevalensi AIDS mencapai 2.580 orang dan
jumlah penderita HIV (+) mencapai 1417 orang, hingga totalnya ada sebanyak
3.997.8
Penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi yang sebagian besar
ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit menular seksual sebenarnya
bukanlah masalah baru dalam ruang lingkup kesehatan reproduksi. Namun, sejak
ditemukannya kasus HIV/AIDS pertama kalinya di Bali pada tahun 1988, maka
upaya penanggulangan PMS mulai berkembang pesat, karena adanya PMS
mempermudah seseorang tertular HIV.9
Penyakit menular seksual merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
cukup menonjol di sebagian besar wilayah dunia. 10 Insidensi dan penyebarannya
bervariasi dan tidak dapat diperkirakan secara tepat.11 WHO memperkirakan
insidensi PMS pada tahun 2008 ada sebanyak 498.9 juta kasus baru dan
jumlahnya meningkat sebesar 11% bila dibandingkan dengan penelitian pada
tahun 2005. Jumlah kasus baru yang didapatkan pada tahun 2008 tersebut meliputi
wilayah Afrika ada sebanyak 92,6 juta kasus, wilayah Amerika ada sebanyak
125,7 juta kasus, wilayah Eropa ada sekitar 46,8 juta kasus, wilayah Mediterania
ada 26,5 juta kasus, wilayah Pasifik Barat ada sekitar 128,2 juta dan wilayah Asia
Tenggara, ada sebanyak 78,5 juta kasus.12
3

Sementara itu, terdapat juga beberapa laporan mengenai angka kejadian


PMS di berbagai wilayah Indonesia, seperti di Provinsi DKI Jakarta, pada tahun
2009 terdapat sekitar 7.380 kasus PMS.13 Di Provinsi Jawa Timur, pada tahun
2011 terdapat sekitar 10.752 kasus PMS.14 Di Provinsi Sumatera Utara pada tahun
2008, terdapat sekitar 6.787 kasus PMS.15 Di Kota Medan pada tahun 2012,
terdapat sekitar 3.452 kasus.16 Di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2004 hingga
2008 terdapat sebanyak 262 kasus.17
Menurut Duarsa PMS merupakan ko-faktor penularan HIV. Penderita
penyakit menular seksual (PMS) lebih rentan terhadap HIV karena daerah genital
adalah titik rawan dari mana virus HIV dapat memiliki entri yang mudah.
Penderita PMS serta HIV akan lebih mudah menularkan ke orang lain. Pengidap
HIV dengan PMS akan lebih cepat menjadi AIDS karena system kekebalan tubuh
menurun dan menyebabkan HIV maju menjadi AIDS.18

1.2. Permasalahan
Penyakit PMS terus mengalami perkembangan pesat. Banyak faktor yang
berhubungan dengan peningkatan prevalensi penyakit menular seksual, salah
satunya adalah HIV/AIDS. Mengacu kepada fenomena diatas, penulis tertarik
untuk meneliti gambaran prevalensi penyakit menular seksual pada pasien
HIV/AIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan dari Januari 2012 hingga
Desember 2015.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran prevalensi penyakit menular seksual pada
pasien HIV/AIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan dari Januari 2012 hingga
Desember 2015.

1.3.2. Tujuan Khusus


a. Untuk mengidentifikasi prevalensi penyakit menular seksual pada pasien
HIV/AIDS.
4

b. Untuk mengidentifikasi prevalensi penyakit menular seksual pada pasien


HIV/AIDS berdasarkan karakteristik usia.
c. Untuk mengidentifikasi prevalensi penyakit menular seksual pada pasien
HIV/AIDS berdasarkan karakteristik jenis kelamin.
d. Untuk mengidentifikasi prevalensi penyakit menular seksual pada pasien
HIV/AIDS berdasarkan karakteristik pendidikan.
e. Untuk mengidentifikasi prevalensi penyakit menular seksual pada pasien
HIV/AIDS berdasarkan karakteristik status marital.
f. Untuk mengidentifikasi prevalensi penyakit menular seksual pada pasien
HIV/AIDS berdasarkan karakteristik pekerjaan.
g. Untuk mengidentifikasi prevalensi penyakit menular seksual pada pasien
HIV/AIDS berdasarkan karakteristik suku.
h. Untuk mengidentifikasi prevalensi penyakit menular seksual pada pasien
HIV/AIDS berdasarkan karakteristik nilai CD4.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Bidang Pelayanan Masyarakat
Menambah pengetahuan kepada tenaga medis tentang prevalensi penyakit
menular seksual pada pasien HIV/AIDS untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan pada pasien HIV/AIDS.

1.4.2. Bidang Pendidikan


Menambah pengetahuan kepada tenaga medis tentang prevalensi penyakit
menular seksual pada pasien HIV/AIDS berdasarkan karakteristik usia, jenis
kelamin, pendidikan, status marital, pekerjaan, suku serta nilai CD4.

1.4.3. Bidang Penelitian


Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam
melaksanakan penelitian lebih lanjut.
5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome


(HIV/AIDS)
2.1.1. Pengertian
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan dan melemahkan sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi. Virus HIV
menyerang dan merusak fungsi sel-sel pertahanan tubuh, sehingga imunitas tubuh
akan terus menurun secara progresif. Akibat lemahnya imunitas tubuh, maka
terjadi kerentanan terhadap berbagai infeksi dan penyakit, walaupun infeksi
tersebut dapat diatasi atau sembuh bila menyerang pasien imunitas tubuh yang
baik.3
Human Immunodeficiency Virus (HIV) secara fisiologis adalah retrovirus
yang termasuk dalam family lentivirus, yaitu virus yang dapat berkembang biak
dalam darah manusia. Pasien yang sudah terinfeksi HIV dan mengalami stress
yang berkepanjangan, akan mempercepat menyebarnya AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis sel darah putih (limfosit/sel-sel T4) yang berfungsi untuk
menangkal infeksi. Replikasi virus yang terus menerus mengakibatkan semakin
berat kerusakan sistem kekebalan tubuh dan semakin rentan terhadap infeksi
oportunistik (IO) sehingga akan berakhir dengan kematian.19
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat menyebabkan sistem imun
mengalami beberapa kerusakan dan kehancuran, lambat laun sistem kekebalan
tubuh manusia menjadi lemah atau tidak memiliki kekuatan pada tubuhnya, maka
pada saat inilah berbagai penyakit yang dibawa virus, kuman dan bakteri sangat
mudah menyerang seseorang yang sudah terinfeksi HIV. Kemampuan HIV untuk
tetap tersembunyi adalah yang menyebabkannya virus ini tetap ada seusia hidup,
bahkan dengan pengobatan yang efektif. 20
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah sindrom yang
disebabkan oleh virus HIV. Sindrom ini merupakan kumpulan gejala yang
ditandai dengan melemahnya fungsi sistem kekebalan tubuh. Sindrom ini

6
6

merupakan tahap lanjutan dari infeksi HIV yaitu pada 10 sampai 15 tahun
kemudian akan berkembang dan ditandai dengan perkembangan kanker tertentu,
infeksi, atau manifestasi klinis lain yang parah.21

2.1.2. Klasifikasi Human Immunodeficiency Virus / Acquired


Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS)
Human Immunodeficiency Virus (HIV) diklasifikasikan kedalam famili
berikut ini:
Famili : Retroviridae
Sub famili : Lentivirinae
Genus : Lentivirus
Spesies : Human Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1)
Human Immunodeficiency Virus 2 (HIV-2)

Human Immunodeficiency Virus (HIV) menunjukkan banyak gambaran


khas fisikokimia dari familinya. Terdapat dua tipe yang berbeda dari virus AIDS
manusia, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe dibedakan berdasarkan susunan
genom dan hubungan filogenetik (evolusioner) dengan lentivirus primata lainnya.
Berdasarkan pada deretan gen env, HIV-1 meliputi tiga kelompok virus yang
berbeda yaitu M (main), N (New atau non-M, non-O) dan O (Outlier). Kelompok
M yang dominan terdiri dari 11 subtipe atau clades (A-K). Telah teridentifikasi 6
subtipe HIV-2 yaitu sub tipe A-F.22

2.1.3. Etiologi dan Patogenesis


2.1.3.1. Etiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu retrovirus anggota
subfamili lentivirinae. Retrovirus berdiameter 70-130 nm.Masa inkubasi virus ini
selama sekitar 10 tahun Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat.
Selubung luarnya, atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis ganda yang banyak
mengandung tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein; gp120
dan gp41. Terdapat suatu protein matriks yang disebut gp17 yang mengelilingi
7

segmen bagian dalam membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu
protein kapsid yang disebut p24.23
Di dalam kapsid terdapat dua untai ribonucleic acid (RNA) identik dan
molekul preformed reverse transcriptase, integrase dan protease yang sudah
terbentuk. Reverse transcriptase adalah enzim yang mentranskripsikan RNA virus
menjadi deoxyribonuclic acid (DNA) setelah virus masuk ke sel sasaran.24
Virus HIV ini memiliki struktur dimana bagian luar selubung disebut
envelope dan bagian dalam terdapat inti yang disebut core. Di dalam inti virus
juga terdapat enzim-enzim yang digunakan untuk membuat salinan RNA yang
deperlukan untuk replikasi HIV yakni : reverse transcriptase, integrase dan
protease. Penyebab utama HIV/AIDS adalah virus yang disebut retrovirus karena
memiliki enzim reverse transcriptase, yang mampu mengubah RNA menjadi
DNA pada sel yang terinfeksi, kemudian berintegrasi dengan DNA sel pejamu
yang selanjutnya bereplikasi menjadi virus baru.25

Gambar 2.1 Anatomi Virus HIV26


2.1.3.2. Siklus Hidup Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Virus HIV merupakan retrovirus obligat intraselular dengan replikasi
sepenuhnya di dalam sel host. Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia
diawali dari interaksi gp120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor
spesifik CD4 yang terdapat pada permukaan membran sel target (kebanyakan
limfosit TCD4+). Sel target utama adalah sel yang mampu mengekspresikan
reseptor CD4 (astrosit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s
dendritik).27
8

Virus HIV akan menyerang limfosit T yang mempunyai marker permukaan


seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan
makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada
limfosit T yang menjadi target utama HIV. Human Immunodeficiency Virus
menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung,
sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T secara
tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24
berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen.28
Jika partikel HIV memasuki tubuh seseorang, maka partikel HIV ini akan
berikatan dengan permukaan sel target (CD4+ T-cell). Virus ini kemudian
memasuki lapisan terluar sel sehingga memungkinkan partile HIV melepaskan
rantai HIV ribonucleic acid (RNA) kedalam sel kemudian dikonversi menjadi
DNA). DNA HIV lalu memasuki inti sel dan menyebabkan sel ini mulai
mereproduksi HIV dan melepaskan partikel partikel HIV dalam jumlah lebih
banyak.29
Interaksi gp120 HIV dengan CD4 mengakibatkan terjadi ikatan antara HIV
dan sel target. Ikatan semakin diperkuat dengan adanya ko-reseptor kedua yang
memungkinkan gp41 menjalankan fungsinya untuk memperantarai masuknya
virus ke dalam sel target. Melalui gp41 terjadi fusi membran HIV dengan
membrane sel target. Fusi antara kedua membran memungkinkan semua partikel
HIV masuk ke dalam sitoplasma sel target. Bertindak sebagai ko-reseptor lini
kedua adalah 7 (tujuh) reseptor transmembran, tetapi yang terpenting adalah CC
Chemokine reseptor 5 (CCR5) dan CXC chemokine reseptor 4 (CXCR4) dengan
melibatkan lebih 100 protein terkait. Setelah gp120 HIV terikat pada reseptor
CD4 dan ko-reseptor CCR5 dan CXCR4, diiringi terjadinya perubahan
konformasi gp41 sehingga memungkinkan terjadi insersi pada region N-terminal
hydrophobic fusion-peptide ke dalam membran sel taret. Sehingga akibat insersi
ini menghasilkan fusi kedua membran.29
Pada tahap selanjutnya, enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi
RNA yang secara stuktur berfungsi sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA
9

keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida.


Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta
perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host,
kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim
fungsioal. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan
sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus ini akan
keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari HIV
mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109 sampai 1011 virus baru.30

2.1.3.3. Transmisi Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)


Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga jalan utama, yaitu
secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung,
persalinan, dan menyusui), secara transeksual (homoseksual maupun
heteroseksual), dan secara horizontal yaitu kontak antara darah atau produk darah
yang terinfeksi). Di Indoneia kasus HIV dan AIDS paling sering menular melalui
hubungan seksual, kemudian diikuti faktor risiko yang tidak diketahui,
penyalahgunaan jarum suntik, perinatal, dan melalui transfusi darah.31
Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut
semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu.
Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan
setelah infeksi. Pada masa ini, tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus, penderita
HIV tampak sehat dan merasa sehat serta test HIV belum bisa mendeteksi
keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window period).
Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam
masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah
CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi
cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi
HIV menjadi AIDS adalah 8- 10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai
<200 sel/ul.27
2.1.3.4. Patogenesis Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
10

Human Immunodeficiency Virus (HIV) mempunyai sejumlah gen yang dapat


mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satu gen tersebut
ialah tat yang dapat mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga
terjadi enghancuran limfosit T4 secara besar-besaran yang akhirnya menyebabkan
sistem kekebalan tubuh menjadi lumpuh.18
Melalui berbagi transmisi yang terjadi, virus HIV dapat masuk ke dalam
tubuh manusia dan mencapai sirkulasi sistemik. Dalam waktu 4 sampai 11 hari
sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam
sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus
akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual,
muntah, sulit tidur, batuk-batuk, dan lain-lain. Keadaan-keadaan ini disebut
sindrom retroviral akut. Pada fase ini terjadi penurunan CD4 dan peningkatan
HIV-RNA viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi,
kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya
infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut
akan diikuti penurunan hitung CD4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun
dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5 sampai 2,5
tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS.27
Pada fase berikutnya, HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target dimana
sel target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Reseptor
CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan’s, sel
dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan
chemokine reseptor yaitu CXCR4, CCR5, CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan
diikuti fase fusi membran HIV dengan membran sel target melalui peranan
glikoprotein 41 (gp41). Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi
sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam
sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV melepaskan single
strand RNA (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan menggunakan RNA
sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh
ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi
menjadi double strand DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke
11

dalam inti sel, menyatu dengan kromosom host dengan perantara enzim integrase.
Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan
transkripsi dan translasi. Untuk mengaktifkan provirus ini memerlukan aktivasi
dari sel host. Bila sel host teraktivasi oleh induktor seperti antigen, sitokin atau
faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor sehingga menjadi aktif dan
berikatan dengan 5 LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut.
Long terminal repeats berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi
gen, NF menginduksi replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV
dengan cara intervensi dari mikroorganisme lain, misalnya bakteri, jamur,
protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan tersebut, yang paling cepat
menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus DNA. Pada saat
HIV masuk ke tubuh, virus tersebut akan mencari sel CD4 dan mereplikasikan
diri. Sel CD4 merupakan target utama HIV untuk menghancurkan sistem imun
tubuh. Setelah virus bereplikasi dan menghancurkan sel CD4, maka partikel virus
baru akan mencari lagi dan menginfeksi sel CD4 yang lain.32
Sebagai konsekuensinya, jumlah CD4 akan semakin rendah didalam tubuh.
Secara progresif, sistem defensif tubuh akan menurun dan tidak dapat melindungi
tubuh dari infeksi dan penyakit. Oleh sebab itu pemantauan jumlah CD4 pada
seseorang yang terinfeksi HIV sangatlah penting untuk melihat perjalanan
penyakit beserta prognosisnya.33
Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4
melalui beberapa mekanisme yakni dari jumlah normal yang berkisar 600-
1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi, sehingga pertahanan individu
terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko
terjadinya infeksi sekunder dan akhirnya masuk ke stadium AIDS. Infeksi
sekunder ini biasanya disebut infeksi oportunistik, yang menyebabkan munculnya
keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi.27
Virus HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang
memiliki molekul reseptor membran CD4. Sejauh ini, sasaran yang disukai adalah
limfosit T helper positif, atau sel T4 (limfosit CD4+). Gp120 HIV berikatan kuat
dengan limfosit CD4+ sehingga gp41 dapat memperantarai fusi membran virus ke
12

membran sel. Setelah berfusi dengan limfosit CD4+, maka berlangsung


serangkaian proses kompleks yang apabila berjalan lancar, menyebabkan
terbentuknya partikel virus baru dari sel yang terinfeksi. Limfosit CD4 yang
terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau mungkin mengalami
proses-proses replikasi sehingga menghasilkan banyak virus.24
Virus HIV-1 awalnya menginfeksi sel T dan makrofag secara langsung atau
dibawa oleh sel dendrit. Replikasi virus pada kelenjar getah bening regional
menimbulkan viremia dan penyebaran virus yang meluas pada jaringan limfoid.
Viremia tersebut dikendalikan oleh respon imun pejamu, kemudian pasien
memasuki fase laten klinis. Selama fase ini, replikasi virus pada sel T maupun
makrofag terus berlangsung, tetapi virus tetap tertahan. Pada tempat itu
berlangsung pengikisan bertahap sel CD4+ melalui infeksi sel yang produktif.
Jika sel CD4+ yang tidak hancur tidak dapat tergantikan, jumlah sel CD4+
menurun dan pasien mengalami gejala klinis AIDS. Makrofag pada awalnya juga
ditumpangi virus; makrofag tidak dilisiskan oleh HIV-1, dapat mengangkut virus
ke berbagai jaringan, terutama ke otak.34

2.1.4. Tanda dan Gejala


Gejala awal infeksi HIV sama dengan gejala serangan penyakit yang
disebabkan oleh virus, seperti: demam tinggi, malaise, flu, radang tenggorokan,
sakit kepala, nyeri perut, pegal-pegal, sangat lelah dan terasa meriang. Setelah
beberapa hari sampai sekitar dua minggu kemudian gejalanya hilang dan masuk
ke fase laten (fase tenang disebut juga fase inkubasi). Beberapa tahun sampai
sepuluh tahun kemudian baru muncul tanda dan gejala sebagai penderita AIDS.35
Tanda dan gejala AIDS yang utama diantaranya: diare kronis yang tidak
jelas penyebabnya yang berlangsung lebih dari 1 minggu, berat badan menurun
drastis, dan demam tinggi lebih dari 1 bulan. Acquired Immunodeficiency
Syndrome juga memiliki gejala tambahan berupa infeksi yang tidak kunjung
sembuh pada mulut dan kerongkongan; kelainan kulit dan iritasi (gatal);
pembesaran kelenjar getah bening di seluruh tubuh seperti di bawah telinga, leher,
13

ketiak, lipat paha; pucat dan lemah; gusi sering berdarah; depresi; hilang daya
ingat; dan berkeringat waktu malam hari.36

2.1.5. Penularan Human Immunodeficiency Virus / Acquired


Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS)
Penularan utama HIV dapat melalui beberapa cara yaitu melalui hubungan
seksual, pemindahan darah atau produk darah, proses penyuntikan dengan alatalat
yang yang terkontaminasi darah dari penderita HIV dan juga melalui transmisi
vertikal dari ibu ke anak. Sekali terinfeksi, maka orang tersebut akan tetap
terinfeksi dan dapat menjadi infeksius bagi orang lain.37

2.1.5.1. Penularan Seksual


Penularan seksual merupakan cara infeksi yang paling utama diseluruh
dunia, yang berperan lebih dari 75% dari semua kasus penularan HIV. Penularan
seksual ini dapat terjadi dengan hubungan seksual genitogenital ataupun
anogenital antara heteroseksual ataupun homoseksual. Risiko seorang wanita
terinfeksi dari laki-laki yang seropositif lebih besar jika dibandingkan seorang
laki-laki yang terinfeksi dari wanita yang seropositif.38

2.1.5.2. Transfusi darah dan produk darah


Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat ditularkan melalui pemberian
whole blood, komponen sel darah, plasma dan faktor-faktor pembekuan darah.
Kejadian ini semakin berkurang karena sekarang sudah dilakukan tes antibodi-
HIV pada seorang donor. Apabila tes antibodi dilakukan pada masa sebelum
serokonversi maka antibodi-HIV tersebut tidak dapat terdeteksi.39

2.1.5.3. Penyalah guna obat-obat intravena


Penggunaan jarum suntik secara bersama-sama dan bergantian semakin
meningkatkan prevalensi HIV/AIDS pada pengguna narkotika. Di negara maju,
wanita pengguna narkotika jarum suntik menjadi penularan utama pada populasi
umum melalui pelacuran dan transmisi vertikal kepada anak mereka.40
14

2.1.5.4. Petugas Kesehatan


Menurut Murtiastutik (2008) petugas kesehatan sangat berisiko terpapar
bahan infeksius termasuk HIV. Berdasarkan data yang didapat dari 25 penelitian
retrospektif terhadap petugas kesehatan, didapatkan rata-rata risiko transmisi
setelah tusukan jarum ataupun paparan perekutan lainnya sebesar 0,32% (CI 95%)
atau terjadi 21 penularan HIV setelah 6.498 paparan, dan setelah paparan melalui
mukosa sebesar 0,09% (CI 95%).41
2.1.5.5. Maternofetal
Sebelum ditemukan HIV, banyak anak yang terinfeksi dari darah ataupun
produk darah atau dengan penggunan jarum suntik secara berulang. Sekarang ini,
hampir semua anak yang menderita HIV/AIDS terinfeksi melalui transmisi
vertikal dari ibu ke anak. Diperkirakan hampir satu pertiga (20-50%) anak yang
lahir dari seorang ibu penderita HIV akan terinfeksi HIV. Peningkatan penularan
berhubungan dengan rendahnya jumlah CD4 ibu. Infeksi juga dapat secara
transplasental, tetapi 95% melalui transmisi perinatal.37
Angka penularan ibu ke anaknya bervariasi dari 13 % sampai 48% pada
wanita yang tidak diobati. Bayi bisa terinfeksi di dalam rahim, selama proses
persalinan atau yang lebih sering melalui air susu ibu (ASI). Tanpa penularan
melalui ASI, sekitar 30% dari infeksi terjadi di dalam rahim dan 70% saat
kelahiran. Data menunjukkan bahwa sepertiga sampai separuh infeksi HIV
perinatal di Afrika disebabkan oleh ASI. Penularan selama menyusui biasanya
terjadi pada 6 bulan pertama setelah kelahiran.42

2.1.5.6. Pemberian ASI


Peningkatan penularan melalui pemberian ASI pada bayi adalah 14%. Di
negara maju, ibu yang terinfeksi HIV tidak diperbolehkan memberikan ASI
kepada bayinya.37
Human Immunodeficiency Virus tidak dapat ditularkan melalui cairan tubuh
lainnya seperti air liur, air mata. Human Immunodeficiency Virus juga tidak dapat
ditularkan hanya dengan berjabat tangan, pelukan, ciuman di bibir, kontak sosial
sehari-hari sewaktu kerja, di sekolah, atau dimanapun, air atau udara misalnya
15

bersin, batuk, berenang di kolam bersama penderita HIV, barang-barang seperti


handuk, pakaian, sabun dan serangga seperti gigitan nyamuk atau serangga
lainnya.43

2.1.6. Pencegahan Penularan


Menurut suatu penelitian, pencegahan penularan dapat dilakukan melalui
upaya :
a. Pencegahan dalam hubungan seksual dapat dilakukan dengan mengadakan
hubungan seksual dengan jumlah pasangan yang terbatas, memilih
pasangan seksual yang mempunyai risiko rendah terhadap infeksi HIV,
dan mempraktikkan seks yang aman yakni menggunakan kondom secara
tepat dan konsisten selama melakukan hubungan seksual.
b. Pencegahan penularan melalui darah dapat dilakukan dengan menghindari
transfusi darah yang tidak jelas asalnya, sebaiknya dilakukan skrining
setiap donor darah yang akan menyumbangkan darahnya dengan
memeriksa darah tersebut terhadap antibodi HIV. Selain itu, hindari
pemakaian jarum bersama seperti jarum suntik, tindik, tato atau alat lain
yang dapat melukai kulit. Penggunaan alat suntik dalam sistem pelayanan
kesehatan juga perlu mendapatkan pengawasan ketat agar setiap alat suntik
dan alat lainnya yang dipergunakan selalu dalam keadaan steril. Petugas
kesehatan yang merawat penderita AIDS hendaknya mengikuti universal
precaution.43

2.1.7. Diagnosis Human Immunodeficiency Virus / Acquired


Immunodeficiency
Syndrome (HIV/AIDS)
Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium
meliputi uji imunologi dan uji virologi.
a). Diagnosis klinik
World Health Organization (2007) telah mengeluarkan batasan kasus infeksi
HIV untuk tujuan pengawasan dan merubah klasifikasi stadium klinik yang
16

berhubungan dengan infeksi HIV pada dewasa dan anak. Pedoman ini meliputi
kriteria diagnosa klinik yang patut diduga pada penyakit berat HIV untuk
mempertimbangkan memulai terapi antiretroviral lebih cepat.40
b) Diagnosis Laboratorium
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV terbagi
empat yaitu :

2.1.7.1. Uji Imunologi


Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan
digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme –
linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji
Western blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk
memperkuat hasil reaktif dari test krining. Uji yang menentukan perkiraan
abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan persentase CD4+ dan CD8+ T-
limfosit absolute.41

2.1.7.2. Deteksi antibodi Human Immunodeficiency Virus (HIV)


Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV.
ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang
sama, dan hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect
Immunofluorescence Assays). Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes
konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela
(window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji virologi pada
tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada orang-orang yang
terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan HIV-1 (yaitu,
dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik
dan gejala dari sindrom retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada
individu yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan
transfer maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu yang
terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia
17

kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum
anak dianggap mengidap HIV-1.44
2.1.7.3. Rapid Test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi terhadap
HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik),
imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus
dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA. Western blot digunakan untuk
konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang
benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan antibodi yang
melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot
dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau
rapid tes). Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA
atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai
antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-
1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.45

2.1.7.4. Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)


Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit
dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan
penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada
sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif
(reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1. Penurunan sistem imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit, sebagian besar
sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah terbukti dapat
dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun
secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu
ke waktu rata-rata 100 sel/tahun.45

2.1.8. Penatalaksanaan Human Immunodeficiency Virus / Acquired


Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS)
18

Menurut Djoerban dan Djauzi (2007) secara umum, penatalaksanaan ODHA


terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
1) Pengobatan untuk menekan replikasi HIV dengan obat anti retroviral
(ARV).
2) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
3) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik
dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta tidur yang cukup dan menjaga kebersihan.1
Antiretroviral therapy ditemukan pada tahun 1996 dan mendorong suatu
evolusi dalam perawatan penderita HIV/AIDS. Replikasi HIV sangat cepat dan
terus-menerus sejak awal infeksi, sedikitnya terbentuk 10 miliar virus setiap hari.
Namun karena waktu paruh virus bebas (virion) sangat singkat maka sebagian
besar virus akan mati. Penurunan CD4 menunjukkan tingkat kerusakan sistem
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Pemeriksaan CD4 ini berguna untuk
memulai, mengontrol dan mengubah regimen ARV yang diberikan.41
Faktor yang harus diperhatikan dalam memilih regimen ART baik di tingkat
program ataupun tingkat individual.
- Efikasi obat
- Profil efek samping obat
- Persyaratan pemantauan laboratorium
- Kemungkinan kesinambungan sebagai pilihan obat di masa depan
- Antisipasi kepatuhan oleh pasien
- Kondisi penyakit penyerta
- Kehamilan dan risikonya
- Penggunaan obat lain secara bersamaan
- Infeksi strain virus lain yang berpotensi meningkatkan resistensi terhadap satu
atau lebih ART.
- Ketersediaan dan harga ART. 46
19

Menurut WHO (2007) waktu pemberian ART dibagi dalam 2 (dua) kategori
yakni, apakah ada perhitungan CD4. Penghitungan TLC dapat digunakan sebagai
pengganti hitung CD4, meskipun hal ini dianggap kurang bermakna pada pasien
asimptomatis. Pemberian ART tergantung tingkat progresivitas masing-masing
penderita. Terapi kombinasi ART mampu menekan replikasi virus sampai tidak
terdeteksi oleh PCR. Pada kondisi demikian, penekanan virus berlangsung efektif
mencegah timbulnya virus yang resisten terhadap obat dan memperlambat
progersifitas penyakit. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka terapi kombinasi
ART harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat.40
Menurut Djoerban dan Djauzi (2007) obat anti retroviral terdiri dari
beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, inleotide
reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan
inhibitor protease. Dewasa ini regimen pengobatan anti retroviral yang
dianjurkan WHO (World Health Organization) adalah kombinasi dari 3 obat ARV.
Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan dengan keunggulan dan
kerugian masing-masing. Kombinasi ARV lini pertama yang umumnya digunakan
di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV), lamivudin (3TC), dengan
nevirapin (NVP).1

2.2. Penyakit Menular Seksual (PMS)


2.2.1. Pengertian
Infeksi menular seksual (IMS) disebut juga Penyakit Menular Seksual
(Sexually Transmitted Disease (STDs) atau Sexually Transmitted Infection (STI)
atau Venereal Disease (VD) yang didefinisikan sebagai infeksi yang sebagian
besar menular lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular. IMS
disebut juga penyakit menular seksual atau penyakit kotor.47
Sexually Transmitted Disease (Infeksi Menular Seksual) adalah suatu
gangguan atau penyakit yang ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui
kontak hubungan seksual. Infeksi Menular Seksual yang sering terjadi adalah
Gonorrhea, Sifilis, Herpes simpleks, namun yang paling terbesar diantaranya
adalah AIDS, karena mengakibatkan sepenuhnya pada kematian pada
20

penderitanya. Acquired Immunodeficiency Syndrome tidak bisa diobati dengan


antibiotik.48
Penyakit Menular Seksual (PMS) merupakan penyakit yang penularannya
terutama terjadi melalui hubungan kelamin. Hubungan kelamin ini tidak hanya
terbatas secara genito genital tetapi dapat secara orogenital sehingga kelainan
yang timbul akibat penyakit ini tidak terbatas pada daerah genital, tetapi dapat
juga pada daerah extra genital. Secara global, tingkah laku anak jalanan mencakup
pengetahuan risiko PMS.40
Penyakit Menular Seksual (PMS) juga didefinisikan sebagai penyakit yang
disebabkan karena adanya invasi organisme virus, bakteri, parasit dan kutu
kelamin yang sebagian besar menular melalui hubungan seksual, baik yang
berlainan jenis ataupun sesama jenis.49
Terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba (bakteri, virus, dan parasit) yang
dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan
adalah infeksi Gonorrhea, Klamidia, Sifilis, Trikomoniasis, Chancroid, Herpes
genital, infeksi human immunodeficiensy virus (HIV) dan Hepatitis B. Human
Immunodeficiency Virus dan Sifilis juga dapat ditularkan dari ibu ke anaknya
selama kehamilan dan kelahiran, dan juga melalui darah serta jaringan tubuh.40

2.2.2. Etiologi Penyakit Menular Seksual (PMS)


Menurut Handsfield (2001) dalam Chiuman (2009), penyakit menular
seksual (PMS) dapat diklasifikasikan berdasarkan agen penyebabnya, yakni:
a. Golongan bakteri, yakni Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum,
Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis,
Gardnerella vaginalis, Salmonella sp, Shigella sp, Campylobacter sp,
Streptococcus group B, Mobiluncus sp.
b. Golongan protozoa, yakni Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica,
Giardia lamblia ,
c. Golongan virus, yakni Human Immunodeficiency Virus (tipe 1 dan 2),
Herpes Simplex Virus (tipe 1 dan 2), Human papiloma Virus,
Cytomegalovirus, Epstein-barr virus, Molluscum contagiosum virus,
21

d. Golongan ektoparasit, yakni Phthirus pubis dan Sarcoptes scabei.50

2.2.3. Penularan Penyakit Menular Seksual (PMS)


Perilaku seks yang dapat mempermudah penularan PMS adalah :
1). Berhubungan seks secara tidak aman (tanpa menggunakan kondom).
2). Gonta-ganti pasangan seks.
3). Prostitusi.
4). Melakukan hubungan seks anal (dubur), perilaku ini akan menimbulkan
luka atau radang karena epitel mukosa anus relative tipis dan lebih mudah
terluka disbanding epitel dinding vagina.
5). Penggunaan pakaian dalam atau handunk yang telah dipakai penderita
PMS.51

2.2.4. Jenis-jenis Penyakit Menular Seksual (PMS)


Penyakit Menular Seksual (PMS) dapat dibedakan menjadi 5 (lima)
kelompok yakni:
a). Penyakit Menular Seksual yang menunjukkan gejala klinis berupa keluarnya
cairan yang keluar dari alat kelamin, yaitu penyakit Gonore dan Uretritis Non
Spesifik (UNS).
Penyakit ini ditularkan melalui hubungan seksual. Sebutan lain penyakit ini
adalah kencing nanah. Penyakit ini menyerang organ reproduksi dan menyerang
selaput lendir, mucus, mata, anus dan beberapa organ tubuh lainnya. Bakteri yang
membawa penyakit ini adalah Neisseria Gonorrhoeae.52
Gonorrhea adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri.
Bakteri itu adalah Neisseria gonorrhoeae yang menginfeksi lapisan dalam uretra,
leher rahim, rektum, tenggorokan, dan bagian putih mata (konjungtiva).
Gonorrhea ini sering di kenal dengan kencing nanah, karena memang penis akan
mengeluarkan nanah berwarna putih kuning atau putih kehijauan. Gonorrhea bisa
menyebar melalui aliran darah kebagian tubuh lainnya, teutama kulit dan
persendian. Gejala-gejalanya sangat mudah di deteksi dan di ketahui terutama
untuk laki-laki. Ciri-cirinya adalah terasa sakit perih ketika buang air kecil,
22

kadang-kadang pada waktu kencing atau sesudah kencing akan terasa nyeri
beberapa saat, setelah itu tidak terasa lagi. Ciri kedua adalah penis akan
mengeluarkan cairan putih kekuning-kuningan atau kehijau-hijaun. Jika anda
menemukan dua gejala itu pada diri anda bisa dipastikan anda telah terinfeksi
bakteri ini. 52
b). Penyakit Menular Seksual yang menunjukkan adanya luka pada alat kelamin
misalnya penyakit Chanroid (Ulkus mole), Sifilis, LGV, dan Herpes simpleks.
Penyakit ini disebut raja singa dan ditularkan melalui hubungan seksual atau
penggunan barang-barang dari seseorang yang tertular (misalnya : baju, handuk
dan jarum suntik). Penyebab timbulnya penyakit ini adanya kuman Treponema
pallidum, kuman ini menyerang organ penting tubuh lainya seperti selaput lender,
anus, bibir, lidah dan mulut.52
Penyakit ini lebih dikenal dengan sebutan herpes genitalis (herpes kelamin).
Penyebab herpes ini adalah Virus Herpes Simplex (HSV) dan di tularkan melalui
hubungan seks, baik vaginal, anal atau oral yang menimbulkan luka atau lecet
pada kelamin dan mengenai langsung bagian luka/bintil/kutil. Gejala awal
biasanya berupa gatal, kesemutan dan sakit. Lalu akan muncul bercak kemerahan
yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang nyeri. Lepuhan ini
pecah dan bergabung membentuk luka yang melingkar, dan akan membentuk
keropeng.52
Sifilis juga merupakan penyakit menular seksual yang termasuk kedalam
golongan PMS ini yang sangat berbahaya, karena mengganggu otak dan fungsi
organ lainnya, disebabkan oleh Treponema pallidum. Penularannya terjadi lewat
hubungan seksual yang tidak sehat. Bakteri ini masuk kedalam tubuh melalui
selaput lender (vagina atau mulut) atau melalui kulit. Dalam beberapa jam, bakteri
akan sampai ke kelenjar getah bening terdekat, kemudian menyebar keseluruh
tubuh melalui darah. Sifilis juga dapat menginfeksi janin dalam kandungan dan
janin bisa berakibat cacat bawaan.52
Gejala-gejala umum yang timbul:
 Muncul benjolan di sekitar kelamin
23

 Kadang-kadang disertai pusing dan nyeri tulang seperti flu, yang akan hilang
sendiri tanpa diobati.
 Ada bercak kemerahan pada tubuh sekitar 6-12 minggu setelah berhubungan
seksual.
 Selama 2-3 tahun pertama, penyakit ini tidak menunjukkan gejala apapun.
Namun setelah 5-10 panyakit ini menyerang susunan saraf otak, pembuluh
darah, dan jantung.
 Pada perempuan penyakit ini dapat menular pada bayi yang di kandung.
c). Penyakit Menular Seksual yang menunjukkan adanya benjolan atau tumor,
terdapat pada penyakit Kondiloma akuminata.52
Kutil Genitalis (Kondiloma akuminata) merupakan kutil di dalam atau di
sekeliling vagina, penis atau dubur, yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Kutil genitalis sering ditemukan dan menyebabkan kecemasan karena tidak enak
dilihat, bisa terinfeksi bakteri, bisa merupakan petunjuk adanya gangguan sistem
kekebalan. Pada wanita, virus papiloma tipe 16 dan 18, yang menyerang leher
rahim tetapi tidak menyebabkan kutil pada alat kelamin luar dan bisa
menyebabkan kanker leher rahim. Virus tipe ini dan virus papiloma lainnya bisa
menyebabkan tumor intra-epitel pada leher rahim (ditunjukkan dengan hasil pap
smear yang abnormal) atau kanker pada vagina, vulva, dubur, penis, mulut,
tenggorokan atau kerongkongan.52
Kutil genitalis disebabkan oleh Human Papiloma Virus. Gejala yang
ditimbulkan : tonjolan kulit seperti kutil besar disekitar alat kelamin (seperti
jengger ayam). Komplikasi yang mungkin terjadi : kutil dapat membesar seperti
tumor; bisa berubah menjadi kanker mulut rahim; meningkatkan resiko tertular
HIV-AIDS. Tidak perlu mendeteksi laboratorium karena langsung dapat terlihat
oleh mata biasa.52
d). Penyakit Menular Seksual yang memberi gejala pada tahap permulaan, seperti
penyakit Hepatitis B.
Saat ini dikenal dua macam herpes yakni Herpes zoster dan Herpes simpleks.
Kedua herpes ini berasal dari virus yang berbeda. Herpes zoster disebabkan oleh
virus Varicella zoster, sedangkan Herpes simpleks disebabkan oleh Herpes
24

simplex virus (HSV), Penyakit Hepatitis ini juga banyak disebabkan oleh
hubungan seks yang tidak aman. Hepatitis B dapat berlanjut ke sirosis hati atau
kanker hati. Setiap tahun kasus yang dilaporkan mencapai 200.000, walaupun ini
satu-satunya STD yang dapat dicegah melalui vaksinasi.52

2.2.5. Tanda dan Gejala Penyakit Menular Seksual (PMS)


Tanda dan gejala Penyakit Menular Seksual pada perempuan antara lain
adalah :
a). Cairan yang tidak biasa keluar dari alat kelamin perempuan warnanya
kekuningan-kuningan, berbau tidak sedap.
b). Menstruasi atau haid tidak teratur.
c). Rasa sakit di perut bagian bawah.
d). Rasa gatal yang berkepanjangan di sekitar kelamin.
Sedangkan tanda dan gejala pada laki-laki antara lain adalah :
a). Rasa sakit atau panas saat kencing.
b). Keluarnya darah saat kencing.
c). Keluarnya nanah dari penis.
d). Adanya luka pada alat kelamin.
e). Rasa gatal pada penis atau dubur.51

2.2.6. Pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS)


Pencegahan Penyakit Menular Seksual yang dapat dilakukan adalah:
a). Tidak melakukan hubungan seks.
b). Menjaga perilaku seksual (seperti: penggunaan kondom).
c). Bila sudah berperilaku seks yang aktif tetaplah setia pada pasngannya.
d). Hindari penggunaan pakaian dalam serta handuk dari penderita PMS.
e). Bila nampak gejala-gejala PMS segera ke dokter atau petugas kesehatan
setempat.53

2.2.7. Penatalaksanaan Penyakit Menular Seksual (PMS)


Penanganan pasien infeksi menular seksual terdiri dari dua cara, bisa dengan
penaganan berdasarkan kasus (case management) ataupun penanganan
25

berdasarkan sindrom (syndrome management). Penanganan berdasarkan kasus


yang efektif tidak hanya berupa pemberian terapi antimikroba untuk
menyembuhkan dan mengurangi infektifitas mikroba, tetapi juga diberikan
perawatan kesehatan reproduksi yang komprehensif.40
Penanganan berdasarkan sindrom didasarkan pada identifikasi dari
sekelompok tanda dan gejala yang konsisten, dan penyediaan pengobatan untuk
mikroba tertentu yang menimbulkan sindrom. Penanganan infeksi menular
seksual yang ideal adalah penanganan berdasarkan mikrooganisme penyebabnya.
Namun, dalam kenyataannya penderita infeksi menular seksual selalu diberi
pengobatan secara empiris.41

2.3. Hubungan Penyakit Menular Seksual (PMS) dengan Human


Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS)

Penyakit menular seksual (PMS) adalah jenis penyakit yang disebabkan


oleh kuman yang ditularkan melalui hubungan seks oral maupun melalui
hubungan kelamin. Jenisnya meliputi Gonorrhea, Sifilis, Herpes simpleks,
HIV/AIDS, dan lain sebagainya.40
Hubungan penyakit menular dengan HIV/AIDS dapat dilihat dari studi
epidemiologi yang menggambarkan bahwa pasien dengan infeksi menular seksual
lebih rentan terhadap HIV sehingga infeksi menular seksual diimplikasikan
sebagai faktor yang memfasilitasi penyebaran. Hal ini terjadi karena dua alasan.
Ulkus kelamin yang disebabkan oleh PMS menciptakan retakan pada permukaan
daerah genital. Daerah ini membuat titik rawan dari mana virus HIV dapat
memiliki entri yang mudah. Selain itu, peradangan yang dihasilkan dari PMS juga
membuat sel-sel di daerah kelamin lebih rentan terhadap HIV.54
Jika orang HIV positif menderita PMS, dia lebih cenderung untuk
menularkan virus kepada pasangannya, dibandingkan dengan orang HIV tapi
tidak ada PMS. Hal ini terjadi karena orang yang menderita PMS memiliki
konsentrasi lebih dari virus HIV dalam cairan vagina mereka dibandingkan
dengan orang lain. Penyakit seperti herpes sangat relevan dengan HIV. Hal ini
karena virus HIV kebanyakan ditemukan pada mereka juga.54
26

Semakin tinggi infeksi menular seksual (PMS), semakin memudahkan


penyebaran HIV. Terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba (bakteri, virus, dan
parasit) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling
sering ditemukan adalah infeksi Gonorrhea, Klamidia, Sifilis, Trikomoniasis,
Chancroid, Herpes genital, infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
hepatitis B. Human Immunodeficiency Virus dan Sifilis juga dapat ditularkan dari
ibu ke anaknya selama kehamilan dan kelahiran, dan juga melalui darah serta
jaringan tubuh HIV.54
Virus HIV termasuk golongan virus yang khusus. Proses reproduksi virus
HIV dalam tubuh memudahkannya untuk membunuh seluruh sel darah putih
khususnya tipe sel darah putih (sel CD4) yang berguna untuk melindungi tubuh
dari penyakit. Dengan demikian, jika seseorang mulai dihinggapi infeksi
opportunistik karena virus HIV telah melemahkan sistem kekebalan tubuhnya,
maka orang tersebut dikatakan sebagai penderita AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrom).55
Penyakit Menular Seksual merupakan penyakit yang ditakuti oleh setiap
orang. Angka kejadian penyakit ini termasuk tinggi di Indonesia. Kelompok
resiko yang rentan terinfeksi tentunya adalah seseorang yang sering “jajan” alias
punya kebiasaan perilaku yang tidak sehat.56
27

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori Penelitian

Penentuan Subjek Penelitian


Pasien HIV/AIDS
Jan 2012- Des 2015

Pasien PMS Pasien PMS


positif negatif

Penentuan klasifikasi PMS

o Sifilis
o Gonorrhea PENYAJIAN DATA
o Kondiloma akuminata
o Herpes genital
o Trikomoniasis

Gambar 3.1 Kerangka Teori Penelitian penyakit PMS pada pasien HIV/AIDS

3.2. Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah:
 Karakteristik pasien HIV/AIDS
HIV/AIDS
 JENIS PMS

Gambar 3.2. Kerangka Konsep


Berdasarkan skema di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah
pasien HIV/AIDS dengan jenis penyakit menular seksual berdasarkan
karakteristik dari segi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status marital,
suku dan nilai CD4.
28

28
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. Jenis penelitian


Penelitian ini merupakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan
cross-sectional, dimana penelitian bertujuan untuk mengetahui karakteristik
pasien HIV/AIDS dengan penyakit menular seksual dari Januari 2012 hingga
Desember 2015 di RSUP H. Adam Malik Medan.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di Instalasi Rekam Medis RSUP H. Adam Malik
Medan mulai bulan Oktober 2016 hingga November 2016.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1. Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh rekam medis pasien yang
menderita HIV/AIDS dengan penyakit menular seksual sejak Januari 2012
hingga Desember 2015.

4.3.2. Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
total sampling.

4.4. Teknik Pengumpulan Data


Jenis data yang dikumpulkan dari penelitian ini berupa data rekam medis
pasien HIV/AIDS di RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari 2012 hingga
Desember 2015.
Prosedur pengumpulan data penelitian mengikuti tahapan proses seperti
berikut :

29
29

1. Mengajukan permohonan izin untuk melaksanakan penelitian di RSUP H.


Adam Malik Medan dari bagian komisi etik Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
2. Setelah mendapatkan izin dari instansi pendidikan yakni Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, kemudian mengajukan
permohonan izin kepada RSUP H.Adam Malik Medan untuk mengambil
data.
3. Setelah mendapatkan izin dari pihak RSUP H. Adam Malik Medan,
mengajukan permohonan dari diklat untuk mengambil data rekam medis
pasien yang di rawat jalan dari Instalasi Rekam Medis.

4.5. Definisi Operasional


4.5.1. HIV/AIDS
a). Definisi operasional : Jenis penyakit yang menular secara seksual.
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
d). Skala pengukuran : Nominal
- Positif
- Negatif

4.5.2. Jenis Penyakit Menular Seksual


a). Definisi operasional : Jenis penyakit menular seksual adalah penyakit yang
diderita oleh pasien setelah melakukan hubungan
seksual.
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
d). Skala pengukuran : Nominal
- Gonorrhea
- Sifilis
- Herpes simpleks
- Kondiloma akuminata
30

- Trikomoniasis

4.5.3. Gonorrhea
a). Definisi operasional : Gonore atau kencing nanh adalah salah satu penyakit
menular seksual yang umum dan disebabkan oleh
bakteri bernama Neisseria gonorrhoeae atau
gonococcus.
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
d). Skala pengukuran : Nominal
- Positif
- Negatif

4.5.4. Sifilis
a). Definisi operasional : Sifilis adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh bakteri spiroset Treponema pallidum
sub-spesies pallidum.
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
d). Skala pengukuran : Nominal
- Positif
- Negatif

4.5.5. Herpes simpleks


a). Definisi operasional : Herpes simpleks adalah erupsi vesikula pada kulit dan
membrane mukosa yang disebabkan oleh virus
herpes.
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
d). Skala pengukuran : Nominal
31

- Positif
- Negatif

4.5.6. Kondiloma akuminata


a). Definisi operasional : Kondiloma akuminata adalah kelainan kulit berbentuk
vegetasi bertangkai dengan permukaan berjonjot dan
disebabkan oleh virus yaitu Human Papilloma Virus
(HPV) jenis tertentu.
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
d). Skala pengukuran : Nominal
- Positif
- Negatif

4.5.7. Trikomoniasis
a). Definisi operasional : Trikomoniasis adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh serangan protozoa parasite
Trichomonas vaginalis.
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
d). Skala pengukuran : Nominal
- Positif
- Negatif

4.5.8. Usia
a). Definisi operasional : Usia adalah waktu hidup pasien HIV/AIDS sejak lahir
sampai ulang tahun terakhir sesuai dengan rekam
medik.
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
32

d). Skala pengukuran : Numerik

4.5.9. Jenis kelamin


a). Definisi operasional : Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien HIV/AIDS
yakni laki-laki dan perempuan.
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
d). Skala pengukuran : Nominal
- Laki-laki
- Perempuan

4.5.10. Pendidikan
a). Definisi operasional : Pendidikan adalah jenis pendidikan formal yang
terakhir yang diselesaikan oleh pasien HIV/AIDS
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
d). Skala pengukuran : Nominal
- SMP
- SMA
- D3
- S1

4.5.11. Status marital


a). Definisi operasional : yakni status pernikahan pasien HIV/AIDS sesuai
dengan data rekam medik
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
d). Skala pengukuran : Nominal
- Menikah
33

- Belum menikah

4.5.12. Pekerjaan
a). Definisi operasional : Pekerjaan adalah kegiatan formal pasien HIV/AIDS
sesuai dengan data rekam medik pada saat penelitian dilakukan
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
d). Skala pengukuran : Nominal
- Pedagang
- PNS
- Wiraswasta
- Pegawai swasta
- Mahasiswa
- Tidak Bekerja

4.5.13. Suku
a). Definisi operasional : Suku adalah etnik atau suku bangsa pasien HIV/AIDS
sesuai dengan data yang tercatat dalam rekam medik
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
d). Skala pengukuran : Nominal
- Jawa
- Pakpak
- Karo
- Tionghoa
- Nias
- Toba
- Minang
- Aceh
34

4.5.14. Nilai CD4


a). Definisi operasional : Nilai CD4 pada pasien HIV/AIDS sesuai dengan data
yang tercatat dalam rekam medik
b). Cara ukur : Mencatat data rekam medik
c). Alat ukur : Data rekam medik
d). Skala pengukuran : Numerik

4.6. Teknik Pengolahan dan Analisa data


4.6.1. Pengolahan data
Langkah-langkah dalam menganalisa data dalam penelitian ini adalah:
1. Editing
Yakni memeriksa data awal yang telah ada. Bertujuan untuk mengurangi
kesalahan atau kekurangan yang ada.
2. Koding
Yakni memberikan kode pada masing-masing variabel penelitian untuk
memudahkan dalam analisis data.
3. Entry
Yakni memasukkan data dengan bantuan komputer.
4. Tabulasi
Yakni mengelompokkan data hasil penelitian sesuai dengan tujuan
penelitian kemudian menyusunnya ke dalam tabel unutuk mempermudah
dalam pembacaan hasil penelitian.

4.6.2. Analisa Data


Data yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan dalam tabel distribusi
frekuensi. Data yang diperoleh adalah berupa jumlah pasien HIV/AIDS dengan
penyakit menular seksual, distribusi pasien berdasarkan usia, etiologi jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan,status marital, suku dan kadar CD4 yang
kemudian ditampilkan dalam bentuk table distribusi frekuensi.

4.7. Kerangka Operasional


35

Tahapan operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;


1. Menentukan subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
ekslusi.
2. Mengkategorikan pasien HIV/AIDS yang PMS nya positif dan negatif.
3. Mengkategorikan pasien PMS positif sesuai dengan klasifikasi PMS
seperti Sifilis, Gonorrhea, Kondiloma akuminata, Herpes simpleks dan
Trikomoniasis.
4. Klasifikasi pasien HIV/AIDS dengan penyakit menular seksual
berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status
marital, suku dan nilai CD4.

No Kegiatan Juli Agus. Sept. Okt. Nop. Des.


2016 2016 2016 2016 2016 4.
2016
8.
1 Persiapan
penelitian
2 Pelaksanaan
penelitian
3 Pengolahan
data
4 Penyusunan
data
Jadwal Penelitian
Tabel 4.1 Jadwal Penelitian

4.9. Rincian Biaya Penelitian


- Kertas A4 3 rim (500 lembar) x Rp 60.000 : Rp 180.000
- Fotocopy sumber pustaka : Rp. 200.000
- CD : Rp 10.000
- Penjilidan : Rp 100.000
- Lain-lain : Rp 100.000
Jumlah : Rp. 590.000
36

BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Sampel
Sampel penelitian ini diambil dari populasi penelitian sesuai dengan
kriteria penentuan sampel yaitu rekam medis pasien HIV/AIDS di RSUP Haji
Adam Malik Medan dari Januari 2012 hingga Desember 2015 dengan
menggunakan metode total sampling terpilih 107 sampel penelitian. Pengambilan
data dilakukan dengan bantuan rekam medik.

5.2. Sampel Berdasarkan Penyakit Menular Seksual


Penyakit kelamin dalam penelitian ini dikelompokkan kedalam 4 jenis
yakni Gonorrhea, Herpes simpleks, Sifilis dan Kondiloma akuminata dengan
distribusi frekuensi dalam tabel 5.1. sebagai berikut:

Tabel 5.1. Sampel Pasien HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Penyakit Menular


Seksual
No Penyakit Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)
1 Gonorrhea 35 32,7
2 Herpes simpleks 9 8,4
3 Kondiloma akuminata 39 36,5
4 Sifilis 21 19,6
5 Trikomoniasis 3 2,8
Total 107 100,0

Dari Tabel 5.1 mayoritas sampel pasien HIV/AIDS menderita penyakit


Kondiloma akuminata yakni sebanyak 39 orang (36,4%).

5.3. Karakteristik Sampel


Karakteristik sampel dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin,
pendidikan, status marital, pekerjaan, suku dan nilai CD4.

5.3.1. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan Usia


Komposisi jenis penyakit kelamin berdasarkan usia dalam penelitian ini
dapat dilihat pada tabel berikut :

37
37

Tabel 5.2. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan


Usia
HIV/AIDS Dengan Penyakit Menular Seksual
Usia Total
Herpes Kondiloma
Gonorrhea simpleks akuminata Sifilis Trikomoniasis
20-30 tahun 10 (38,5%) 0 (0.0%) 13 (50,0%) 3 (11,5%) 0 (.0%) 26 (100,0%)
31-40 tahun 14 (35,5%) 6 (15,0%) 8 (20,0%) 10 (25,0%) 2 (5,0%) 40 (100,0%)
41-50 tahun 8 (24,2%) 2 (6,1%) 15 (45,5%) 7 (21,2%) 1 (3,0%) 33 (100,0%)
>50 tahun 3 (37,5%) 1 (12.5) 3 (37,5%) 1 (12.5%) 0 (0.0%) 8 (100,0%)
Total 35 (32,7%) 9 (8,4%) 39 (36,5%) 21 (19,6%) 3 (2,8%) 107 (100,0)

Tabel 5.2 di atas menunjukkan bahwa mayoritas sampel pasien HIV/AIDS


dengan PMS berdasarkan usia adalah antara 31-40 tahun yakni sebanyak 40 orang
(37,4%). Dari 40 sampel penelitian yang berusia antara 31-40 tahun, mayoritas
pasien adalah 14 orang (35,0%) yang menderita penyakit Gonorrhea. Selanjutnya,
dari 33 sampel penelitian yang berusia antara 41-50 tahun, mayoritas pasien
adalah 15 orang (45,5%) yang menderita Kondiloma akuminata. Dari 26 sampel
penelitian berusia antara 20-30 tahun, mayoritas pasien adalah 13 orang (50,0%)
yang menderita Kondiloma akuminata. Dari 8 sampel penelitian berusia lebih
dari 50 tahun, mayoritas pasien adalah 3 orang (37,5%) yang menderita penyakit
Gonorrhea dan 3 orang (37,5%) yang menderita Kondiloma akuminata. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan usia, mayoritas sampel pasien
HIV/AIDS menderita penyakit Kondiloma akuminata yang berusia antara 41- 50
tahun yakni sebanyak 15 orang (45,5%).

5.3.2. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan


Jenis Kelamin
Komposisi jenis penyakit kelamin berdasarkan jenis kelamin dalam
penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.3. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan
Jenis Kelamin
HIV/AIDS Dengan Penyakit Menular Seksual
Jenis Total
Kelamin Herpes Kondiloma
Gonorrhea simpleks akuminata Sifilis Trikomoniasis
Perempuan 13 (42,0%) 1 (3,2%) 11 (35,5%) 5 (16,1%) 1 (3,2%) 31 (100,0%)
Laki—laki 22 (29,0%) 8 (10,5%) 28 (36,8%) 16 (21,1%) 2 (2,6%) 76 (100,0%)
Total 35 (32,7%) 9 (8,4%) 39 (36,5%) 21 (19,6%) 3 (2,8%) 107 (100,0)
Tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa mayoritas sampel adalah laki-laki
yakni sebanyak 76 orang (71,0%). Dari 76 sampel laki-laki 28 orang (36,8%)
38

menderita Kondiloma akuminata. Selanjutnya, dari 31 sampel perempuan, 13


orang (42,0%) menderita penyakit Gonorrhea. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa berdasarkan jenis kelamin, mayoritas pasien HIV/AIDS
adalah laki-laki yang menderita penyakit Kondiloma akuminata yakni sebanyak
28 orang (36,8%).

5.3.3. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan


Pendidikan
Komposisi jenis penyakit kelamin berdasarkan pendidikan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.4. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan
Pendidikan
HIV/AIDS Dengan Penyakit Menular Seksual
Pendidikan Total
Herpes Kondiloma
Gonorrhea simpleks akuminata Sifilis Trikomoniasis
SMP 2 (22,2%) 1 (11,1%) 5 (55,6%) 1 (11,1%) 0 (0.0%) 9 (100,0%)
SMA 28 (35,9%) 6 (7,7%) 25 (32,1%) 17 (21,8%) 2 (2,6%) 78 (100,0%)
D3 2 (25,0%) 1 (12,5%) 4 (50,0%) 1 (12,5%) 0 (0.0%) 8 (100,0%)
S1 3 (25,0%) 1 (8,3%) 5 (41,7%) 2 (16,7%) 1 (8,3%) 12 (100,0%)
Total 35 (32,7%) 9 (8,4%) 39 (36,5%) 21 (19,6%) 3 (2,8%) 107 (100,0)

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa mayoritas sampel adalah pasien


berpendidikan SMA yakni sebanyak 78 orang (72.9%). Dari 78 sampel penelitian
berpendidikan SMA, mayoritas responden adalah 28 orang (35,9%) yang
menderita penyakit Gonorrhea. Dari 12 sampel penelitian berpendidikan S1,
mayoritas responden adalah 5 orang (41,7%) yang menderita Kondiloma
akuminata. Selanjutnya, dari 9 sampel penelitian berpendidikan SMP, mayoritas
responden adalah 5 orang (55,6%) yang menderita Kondiloma akuminata. Dari 8
sampel penelitian berpendidikan D3, mayoritas responden adalah 4 orang (50,0%)
yang menderita Kondiloma akuminata. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa berdasarkan pendidikan, mayoritas pasien HIV/AIDS menderita penyakit
Gonorrhea yang berpendidikan SMA yakni sebanyak 28 orang (35,9%).

5.3.4. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan


Status marital
39

Komposisi jenis penyakit kelamin berdasarkan status marital dalam


penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.5. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan
Status Marital
HIV/AIDS Dengan Penyakit Menular Seksual
Status marital Total
Herpes Kondiloma
Gonorrhea simpleks akuminata Sifilis Trikomoniasis
Tidak menikah 9 (45,0%) 0 (0.0%) 9 (45,0%) 2 (10,0%) 0 (0.0%) 20 (100,0%)
Menikah 26 (29,9%) 9 (10,3%) 30 (34,5%) 19 (21,9%) 3 (3,4%) 87 (100,0%)
Total 35 (32,7%) 9 (8,4%) 39 (36,5%) 21 (19,6%) 3 (2,8%) 107 (100,0)

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa mayoritas sampel adalah pasien udah


menikah yakni sebanyak 87 orang (81.3%). Dari 87 sampel yang menikah, 30
orang (34,5%) menderita Kondiloma akuminata. Selanjutnya dari 20 sampel yang
tidak menikah, mayoritas responden adalah 9 orang (45,0%) yang menderita
penyakit Gonorrhea dan 9 orang (45,0%) yang menderita Kondiloma akuminata.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan status marital, mayoritas
pasien HIV/AIDS menderita penyakit Kondiloma akuminata sudah menikah yakni
sebanyak 30 orang (34,5%).

5.3.5. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan


Pekerjaan
Komposisi jenis penyakit kelamin berdasarkan pekerjaan dalam penelitian
ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.6. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan


Pekerjaan
HIV/AIDS Dengan Penyakit Menular Seksual
Pekerjaan Total
Herpes Kondiloma
Gonorrhea simpleks akuminata Sifilis Trikomoniasis
PNS 3 (60,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 2 (40,0%) 0 (0.0%) 5 (100,0%)
Pedagang 1 (20,0%) 0 (0,0%) 3 (60,0%) 1 (20,0%) 0 (0.0%) 5 (100,0%)
Tidak bekerja 2 (13,3%) 3 (20,0%) 5 (33,3%) 5 (33,3%) 0 (0.0%) 15 (100,0%)
Peg. Swasta 10 (40,0%) 2 (8,0%) 8 (32,0%) 4 (16,0%) 1 (4,0%) 25 (100,0%)
Wiraswasta 19 (33,3%) 4 (7,0%) 23 (40,4%) 9 (15,8%) 2 (3,5%) 57 (100,0%)
Total 35 (32,7%) 9 (8,4%) 39 (36,5%) 21 (19,6%) 3 (2,8%) 107 (100,0)
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa mayoritas sampel bekerja sebagai
wiraswasta yakni sebanyak 57 orang (53.3%). Dari 57 sampel yang bekerja
sebagai wiraswasta, mayoritas responden adalah 23 orang (40,4%) yang menderita
40

Kondiloma akuminata. Dari 25 sampel yang bekerja sebagai pegawai swasta,


mayoritas responden adalah 10 orang (40,0%) yang menderita penyakit
Gonorrhea. Dari 15 sampel yang tidak bekerja, mayoritas responden adalah 5
orang (33,3%) yang menderita Kondiloma akuminata dan 5 orang (33,3%) yang
menderita Sifilis. Selanjutnya dari 5 sampel yang bekerja sebagai PNS, mayoritas
responden adalah 3 orang (60,0%) yang menderita penyakit Gonorrhea.
Selanjutnya, dari 5 sampel yang bekerja sebagai pedagang, mayoritas responden
adalah 3 orang (60,0%) yang menderita Kondiloma akuminata. Dengan demikian,
berdasarkan pekerjaan, mayoritas pasien HIV/AIDS menderita penyakit
Kondiloma akuminata yang bekerja sebagai wiraswasta yakni sebanyak 23 orang
(40,4%).

5.3.6. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan


Suku
Komposisi jenis penyakit kelamin berdasarkan suku dalam penelitian ini
dapat dilihat pada table berikut :
Tabel 5.7. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan
Suku
HIV/AIDS Dengan Penyakit Menular Seksual
Pekerjaan Total
Herpes Kondiloma
Gonorrhea simpleks akuminata Sifilis Trikomoniasis
Nias 1 (25,0%) 1 (25,0%) 2 (50,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 4 (100,0%)
Tionghoa 1 (25,0%) 1 (25,0%) 2 (50,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 4 (100,0%)
Pakpak 5 (50,0%) 0 (0,0%) 2 (20,0%) 2 (20,0%) 1 (10,0%) 10 (100,0%)
Karo 2 (15,4%) 1 (7,7%) 4 (30,8%) 5 (38,4%) 1(7,7%) 13 (100,0%)
Toba 2 (15,4%) 3 (23,0%) 4 (30,8%) 4 (30,8%) 0 (0,0%) 13 (100,0%)
Minang 5 (35,7%) 1 (7,1%) 5 (37,5%) 3 (21,5%) 0 (0,0%) 14 (100,0%)
Aceh 3 (37,5%) 0 (0,0%) 3 (37,5%) 2 (25,0%) 0 (0,0%) 8 (100,0%)
Jawa 16 (39,0%) 2 (4,9%) 17 (41,5%) 5 (12,2%) 1 (2,4%) 41 (100,0%)
Total 35 (32,7%) 9 (8,4%) 39 (36,5%) 21 (19,6%) 3 (2,8%) 107 (100,0)

Tabel 5.7 menunjukkan bahwa mayoritas sampel adalah suku Jawa yakni
sebanyak 41 orang (38,3%). Dari 41 sampel yang bersuku Jawa, mayoritas
responden adalah 17 orang (41,5%) yang menderita Kondiloma akuminata.
Selanjutnya dari 14 sampel yang bersuku Minang, mayoritas responden adalah 5
orang (35,7%) yang menderita Gonorrhea dan 5 orang (35,7%) yang menderita
Kondiloma akuminata. Dari 13 sampel yang bersuku Karo, mayoritas responden
adalah 5 orang (38,4%) yang menderita Sifilis. Selanjutnya dari 13 sampel yang
41

bersuku Toba, mayoritas responden adalah 4 orang (30,8%) yang menderita


Kondiloma akuminata dan 4 orang (30,8%) yang menderita Sifilis. Dari 10
sampel yang bersuku Pakpak, mayoritas responden adalah 5 orang (50,0%) yang
menderita Gonorrhea. Selanjutnya, 8 sampel yang bersuku Aceh, mayoritas
responden adalah 3 orang (37,5%) yang menderita Gonorrhea dan 3 orang
(37,5%) yang menderira Kondiloma akuminata. Dari 4 sampel yang bersuku Nias,
mayoritas responden adalah 2 orang (50,0%) yang menderita Kondiloma
akuminata. Selanjutnya, 4 sampel yang bersuku Tionghoa, mayoritas responden
adalah 2 orang (50,0%) yang menderita Kondiloma akuminata. Dengan demikian,
berdasarkan suku, mayoritas pasien HIV/AIDS menderita penyakit Kondiloma
akuminata yang bersuku Jawa yakni sebanyak 17 orang (41,5%).

5.3.7. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan Nilai


CD4
Komposisi jenis penyakit kelamin berdasarkan CD4 dalam penelitian ini
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.8. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan
Nilai CD4
HIV/AIDS Dengan Penyakit Menular Seksual
Nilai CD4 Total
Herpes Kondiloma
Gonorrhea simpleks akuminata Sifilis Trikomoniasis
CD <200 12 (36,4%) 3 (9,1%) 13 (39,4%) 5 (15,1%) 0 (0,0%) 33 (100.0%)
CD >200 23 (31,1%) 6 (8,1%) 26 (35,1%) 16 (21,6%) 3 (4,1%) 74 (100.0%)
Total 35 (32,7%) 9 (8,4%) 36 (36,5%) 22 (19,6%) 3 (2,8%) 107 (100.0)

Tabel 5.8 menunjukkan bahwa mayoritas sampel memiliki nilai CD4 lebih
besar dari 200 sel/l yakni sebanyak 74 orang (69.2%). Dari 74 sampel dengan
nilai CD > 200, mayoritas responden adalah 26 orang (35,1%) yang menderita
Kondiloma akuminata. Selanjutnya dari 33 sampel dengan nilai CD < 200,
mayoritas responden adalah 13 orang (39,4%) yang menderita Kondiloma
akuminata. Dengan demikian, berdasarkan nilai CD4, mayoritas pasien
HIV/AIDS menderita penyakit Kondiloma akuminata dengan nilai CD4 lebih dari
200 yakni sebanyak 26 orang (35,1%).
42

5.4. Pembahasan
5.4.1. Pasien HIV/AIDS dengan Jenis Penyakit Menular Seksual
Berdasarkan hasil penelitian ini didapati bahwa Kondiloma akuminata
adalah PMS yang paling sering diderita yaitu sebanyak 39 orang (36,5%). Hasil
penelitian Purba (2005-2008) di RSUP Haji Adam Malik Medan menunjukkan
bahwa Kondiloma akuminata (16,41%) berada pada urutan yang ketiga. 17
Penelitian Faisal (1998-2007) di RSUP Hasan Sadikin Bandung menyatakan
penyakit Kondiloma akuminata adalah sedikit yaitu 12,6% dan berada pada urutan
keempat.57 Menurut penelitian Ray et al. (2006) di India, infeksi Kondiloma
akuminata (20%) berada pada urutan ketiga. 58 Akan tetapi, hasil penelitian WHO
(2012) di Amerika mengatakan bahwa infeksi Kondiloma akuminata berada pada
urutan pertama.12
Berdasarkan hasil penelitian ini didapati urutan kedua PMS yang diderita
oleh pasien HIV/AIDS adalah Gonorrhea yakni sebanyak 35 orang (32,7%). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Purba (2004–2008) di RSUP Haji Adam Malik
Medan menyatakan Gonorrhea berada pada urutan keempat yaitu sebanyak
16.03%.17 Hasil penelitian Ray et al. (2006) di India menunjukkan Gonorrhea
adalah PMS keempat yang paling banyak diderita.58 Sementara itu, hasil penelitian
Maan (2011) di Pakistan menunjukkan Gonorrhea adalah PMS kedua yang paling
banyak diderita dan masih tingginya angka kejadian Gonorrhea ini diduga karena
adanya resistensi terhadap Neisseria gonorrhoeae akibat penggunaan antibiotik
menerus.59
Berdasarkan hasil penelitian ini didapati urutan ketiga paling banyak
diderita oleh pasien HIV/AIDS adalah Sifilis yaitu sebanyak 21 orang (19,6%).
Hasil penelitian CDC (2008) di Georgia menyatakan PMS yang kedua paling
banyak diderita adalah Sifilis yaitu 111,6 kasus per 100.000 penduduk. 60
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Rosyati (2001) di Bali, didapati hasil yang
menderita Sifilis adalah sebanyak 1,7%.61 Menurut hasil penelitian Jazan (2003) di
Bitung, Sifilis adalah ketiga paling banyak diderita yaitu 9%.62
Berdasarkan hasil penelitian ini didapati bahwa urutan keempat adalah
Herpes simpleks yakni sebanyak 9 orang (8,4%). Menurut hasil penelitian CDC
43

(2008) di Georgia, pasien yang menderita Herpes simpleks telah kurang dari tahun
1988 hingga 1994 (21%) hingga tahun 1994 hingga 2004 (17%).60 Menurut Ray
(2006) di India, pasien yang menderita Herpes simpleks terus menaik dari 5,7%
ke 14,6% dan 19,4%.58
Berdasarkan hasil penelitian ini didapati bahwa PMS yang paling sedikit
diderita oleh pasien HIV/AIDS adalah Trikomoniasis yakni sebanyak 3 orang
(2,8%). Menurut WHO (2012), Trikomoniasis adalah PMS yang paling banyak
diderita di Amerika yaitu sebanyak 55,4%.12 Menurut CDC (2008) di Georgia,
PMS yang paling kurang diderita oleh masyarakat adalah Trikomoniasis yaitu
3,1%.60

5.4.2. Pasien HIV/AIDS dengan Penyakit Menular Seksual Berdasarkan Usia


Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa mayoritas sampel pasien
HIV/AIDS dengan PMS berdasarkan usia berusia antara 31-40 tahun yakni
sebanyak 40 orang (37,4%). Menurut definisi Departemen Kesehatan RI (2007)
bahwa usia 31-40 tahun adalah termasuk usia golongan dewasa yang berkisar
antara 25 – 45 tahun.6 Hasil penelitian Janni Butar-butar (2013–2014) yang
dilakukan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar menunjukkan
karakteristik tertinggi berdasarkan sosiodemografi karakteristik penderita
HIV/AIDS adalah kelompok usia 30-39 tahun (49,0%).63
Mayoritas sampel pasien HIV/AIDS dengan jenis PMS berdasarkan usia
adalah Kondiloma akuminata yakni sebanyak 15 orang (35,5%) yang berusia
antara 41-50 tahun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtiastutik (2011) di
Surabaya bahwa penderita Kondiloma akuminata banyak terdapat pada pasien
yang berusia 25 hingga 44 tahun sebanyak 54,9%.64 Menurut penelitian Stella
(2012) yang dilakukan di RSUP Prof.Dr.R.D. Kandou Manado, penderita
Kondiloma akuminata paling banyak dalam golongan usia 25 hingga 44 tahun
sebesar 48,15%.65
Hasil penelitian Janni Butar-butar (2015) di RSUD Dr. Djasamen Saragih
Pematangsiantar membuktikan bahwa ada hubungan signifikan antara perilaku
seksual tidak aman dengan bertambahnya usia remaja. Dengan kata lain, perilaku
44

seksual tidak aman semakin meningkat prevalensinya dengan bertambahnya usia


remaja. Semakin bertambah usia semakin terpapar dengan informasi dari berbagai
media.63 Hasil penelitian ini sekaligus membuktikan bahwa faktor usia adalah
salah satu karakateristik sampel penelitian yang berhubungan dengan kejadian
penyakit kelamin (HIV/AIDS).

5.4.2. Karakteristik Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin


Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa mayoritas responden yang
menderita HIV/AIDS dengan PMS adalah laki-laki yakni sebanyak 76 orang
(71,0%). Penelitian yang dilakukan oleh Faisal (1998-2007) di Bandung
menyatakan pasien laki-laki adalah banyak disbanding dengan perempuan.57
Hasil penilitian ini memperlihatkan bahwa mayoritas sampel yang
menderita HIV/AIDS dengan jenis PMS berdasarkan jenis kelamin adalah
Kondiloma akuminata yakni sebanyak 28 orang (36,8%) yang jenis kelaminnya
laki-laki. Hasil penelitian CDC (2008) di Georgia menyatakan jumlah penderita PMS
wanita jauh lebih banyak daripada pria. 60
Hal ini disebutkan mungkin dipengaruhi oleh lebih banyaknya wanita yang
melakukan pemeriksaan ginekologis daripada pria, sehingga penemuan kasus IMS
pada wanita lebih banyak daripada pada pria. 60 Faktor penyebab sehingga wanita
lebih rentan terhadap penyebaran AIDS/HIV dibandingkan laki-laki antara lain
adalah faktor biologis seperti penipisan dinding vagina yang dapat membuat
wanita rentan terserang virus, faktor sosial budaya dimana prempuan
dikonstruksikan untuk bersikap penurut, asif, abar dan setia sedangkan laki-laki
dominan,agresif dan mengambil inisiatif dalam hubungan seksual serta faktor
ekonomi dimana ketidaksetaraan ekonomi antara perempuan dan laki-laki sering
kali memaksa perempuan dalam peran patuh dan tergantung pada laki-laki.
Kerentanan perempuan secara ekonomi seringkali terjadi dikarenakan perempuan
tidak memiliki penghasilan sendiri, sehingga tergantung pada orang lain,dalam hal
ini suami atau pasangan dalam menafkahi hidupnya.18

5.4.3. Karakteristik Penderita HIV/AIDS berdasarkan Pendidikan


45

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa mayoritas responden yang


menderita HIV/AIDS dengan PMS adalah berpendidikan SMA yakni sebanyak 78
orang (72,9%). Berdasarkan penelitian Kemenkes RI(2011) di Jakarta, pada
mayoritas Wanita Pekerja Seksual Langsung), WPSTL (Wanita Pekerja Seksual
Tidak Langsung), waria dan WBP (Warga Binaan Permasyarakatan) didapatkan
banyak yang berpendidikan rendah, yaitu tidak sekolah sampai dengan SMP.66
Sementara itu, penelitian Maan (2011) menunjukkan bahwa di Pakistan
mendapatkan pasien PMS yang tidak berpendidikan lebih banyak daripada yang
berpendidikan.59
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa mayoritas responden yang
menderita HIV/AIDS dengan jenis PMS berdasarkan pendidikan Gonorrhea yakni
sebanyak 28 orang (35,9%) yang berpendidikan SMA. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berkaitan dengan pengetahuan seseorang.
Menurut Notoatmodjo (2003), seseorang yang berpendidikan tinggi akan
mempunyai pengetahuan yang lebih luas daripada seseorang yang tingkat
pendidikannya lebih rendah. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai
pendidikan yang tinggi cenderung melakukan tindakan pencegahan agar tidak
tertular penyakit.52

5.4.4. Karakteristik Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Status Marital


Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa mayoritas sampel HIV/AIDS
dengan PMS sudah menikah yakni sebanyak 87 orang (81,3%). Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Kemenkes RI (2011) di Jakarta menyatakan bahwa pada
pasien PMS dengan kelompok beresiko tinggi lebih banyak yang sudah menikah
(50,85%) daripada yang belum menikah (49.14%).66 Menurut penelitian Maan
(2011) di Pakistan, juga menyatakan pasien PMS lebih banyak yang sudah
menikah (93,2%) dibandingkan dengan yang belum menikah (6,8%).59
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa mayoritas sampel HIV/AIDS
dengan jenis PMS berdasarkan status marital adalah Kondiloma akuminata yakni
sebanyak 30 orang (34,5%) yang sudah menikah. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Aswar (2008–2011) RSUP Haji Adam Malik Medan menunjukkan bahwa
46

proporsi tertinggi penderita Kondiloma akuminata terdapat pada pasien yang


sudah menikah 52,6%.67 Hasil penelitian Hidayat (2012) menunjukkan hasil yang
sama sebesar 60% pada penderita Kondiloma akuminata.68 Penelitian Silitonga
(2009) di RSUP Haji Adam Malik Medan juga menunjukkan hasil yang sama
yaitu proporsi terbesar penderita Kondiloma akuminata ada pada pasien yang
sudah menikah sebesar 65%.69
Hal ini mungkin terjadi karena tidak setia pada pasangan, apabila
bekerja di luar kota atau luar negeri penderita berhubungan seksual
dengan pekerja seks komersial (PSK) dan hal ini meningkatkan resiko
PMS pada pasangan penderita sehingga turut serta menderita PMS.

5.4.5. Karakteristik Penderita HIV/AIDS berdasarkan Pekerjaan


Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa mayoritas sampel HIV/AIDS
dengan PMS bekerja sebagai wiraswasta yakni sebanyak 57 orang (53,3%). Hasil
penelitian Karn (2011) di Nepal menyatakan pekerjaan supir / kondektur (26.85%)
lebih sering dibandingkan dengan pekerjaan yang lainnya. 70 Sementara itu
penelitian Maan (2011) di Pakistan menyatakan bahwa PMS lebih sering
didapatkan pada pegawai.59
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa mayoritas sampel HIV/AIDS
dengan jenis PMS berdasarkan pekerjaan adalah Kondiloma akuminata yakni
sebanyak 23 orang (40,4%) yang bekerja sebagai wiraswasta. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Aswar (2012) di RSUP Haji Adam Malik Medan
menunjukkan bahwa proporsi tertinggi pekerjaan penderita Kondiloma akuminata
adalah wiraswasta 32,9%.67 Hasil penelitian Silitonga (2009) di RSUP Haji Adam
Malik Medan menunjukkan bahwa penderita Kondiloma akuminata mayoritas
terdapat pada penderita yang bekerja 60%.69
Penderita yang memiliki pekerjaan umumnya lebih memiliki akses untuk
melakukan pengobatan dibanding penderita yang tidak bekerja. Sehingga yang
lebih banyak tercatat adalah penderita yang mempunyai pekerjaan.

5.4.6. Karakteristik Penderita HIV/AIDS berdasarkan Suku


47

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa mayoritas sampel HIV/AIDS


dengan PMS adalah suku Jawa yakni sebanyak 42 orang (39,3%). Hasil penelitian
Bangun (1999-2000) yang dilakukan di RSU Dr. Pringadi Medan menunjukkan
paling banyak adalah suku Batak sebanyak 68,3% dan kedua dalam urutan adalah
suku Jawa 12,3%.71 Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas sampel
HIV/AIDS dengan jenis PMS berdasarkan suku adalah Kondiloma akuminata
yakni sebanyak 17 orang (41,5%) yang bersuku Jawa. Menurut penelitian Bangun
(1999–2000), Kondiloma akuminata adalah paling banyak pada suku Batak.71

5.4.7. Karakteristik Penderita HIV/AIDS berdasarkan Nilai CD4


Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa mayoritas sampel pasien
HIV/AIDS dengan PMS memiliki nilai CD4 lebih besar dari 200 yakni sebanyak
74 orang (69,2%).
Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas sampel HIV/AIDS dengan
jenis PMS berdasarkan CD4 menderita Kondiloma akuminata yakni sebanyak 26
orang (35,1%) yang nilai CD4 kurang lebih dari 200. Menurut Sun (1997), pada
penderita HIV positif, imunitas tubuh mengalami penurunan sehingga lebih
memudahkan terinfeksi Kondiloma akuminata. Indikator rendahnya kekebalan
tubuh dinilai dari kadar sel T – limfosit atau CD4 tubuh yang rendah (<
200/μL).73 Semaking kurang nilai CD4, artinya system kekebalan tubuhnya
kurang yang menyebabkan mudah terinfeksi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Widoyono (2008) yang mengatakan bahwa
nilai CD4 adalah ukuran kunci kesehatan sistem kekebalan tubuh. Semakin rendah
jumlahnya, semakin besar kerusakan yang diakibatkan HIV dimana jumlah CD4
< 200, atau persentase CD4 < 14%, dianggap AIDS, sedangkan angka normal
berkisar antara 30-60%. Sebaliknya, semakin tinggi nilai CD4 semakin baik
sistem kekebalan tubuh. Namun, jumlah CD4 normal tidak berarti sistem
kekebalan tubuh benar-benar sudah pulih. Meskipun demikian, setiap
laboratorium mempunyai kisaran yang berbeda. Belum ada pedoman untuk
keputusan pengobatan berdasarkan persentase CD4, kecuali untuk anak berusia di
bawah lima tahun.72
48

Adanya perilaku menyimpang masyarakat mulai dari pekerja seks


komersial, homoseks, dan penggunaan narkoba suntik yang saling bergantian
sangat memengaruhi meningkatnya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Adanya
pola transmisi yang berkembang selain hanya transmisi seksual, transmisi
nonseksual melalui mekanisme transmisi parenteral dan transmisi transplasental
(dari ibu kepada janinnya) menjadi ancaman baru yang melahirkan korban yang
tidak berdosa. Pola pemberantasan HIV/AIDS di Indonesia harus dilakukan secara
nasional melalui kebijakan khusus pemerintah dan dukungan pembiayaan yang
cukup besar. Diharapkan hal itu mampu menyelamatkan SDM berusia produktif
yang berpotensi bagi pembangunan dari mewabahnya HIV/AIDS di lingkungan
masyarakat.72
49

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data tentang prevalensi penyakit
menular seksual pada pasien HIV/AIDS di RSUP Haji Adam Malik dari Januari
2012 hingga Desember 2015, dapat disimpulkan bahwa :
1. Berdasarkan jenis penyakit menular seksual, mayoritas responden menderita
penyakit Kondiloma akuminata yakni sebanyak 39 orang (36,5%).
2. Berdasarkan usia, mayoritas responden berusia antara 41- 50 tahun yakni
sebanyak 15 orang (45,5%), menderita Kondiloma akuminata.
3. Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas responden adalah laki-laki yakni
sebanyak 28 orang (36,8%), menderita Kondiloma akuminata.
4. Berdasarkan pendidikan, mayoritas responden berpendidikan SMA yakni
sebanyak 28 orang (35,9%), menderita Gonorrhea.
5. Berdasarkan status marital, mayoritas responden sudah menikah yakni
sebanyak 30 orang (34,5%), menderita Kondiloma akuminata.
6. Berdasarkan pekerjaan, mayoritas responden bekerja sebagai wiraswasta
yakni sebanyak 23 orang (40,4%), menderita Kondiloma akuminata.
7. Berdasarkan suku, mayoritas responden bersuku Jawa yakni sebanyak 17
orang (41,5%), menderita Kondiloma akuminata.
8. Berdasarkan nilai CD4, mayoritas responden mempunyai nilai CD4 lebih
dari 200 yakni sebanyak 26 orang (35,1%), menderita Kondiloma
akuminata.

6.2. Saran
Megingat pentingnya penderita memahami tentang penyakit kelamin
AIDS/HIV, maka dengan ini disampaikan saran saran sebagai berikut :
1. Kepada peneliti lain, disarankan untuk melakukan penelitian sejenis
dengan skala penelitian yang lebih luas misalnya dengan menambahkan

50
50

karakteristik dan jumlah waktu penelitian sehingga diperoleh hasil


penelitian yang lebih akurat.
2. Pihak RSUP H.Adam Malik Medan sebaiknya meningkatkan kualitas dan
melengkapi data rekam medik pasien, sehingga penelitian yang dilakukan
selanjutnya dapat memberikan hasil yang lebih tepat.
3. Bagi Pemerintah dan Masyarakat, diharapkan dapat memberikan
informasi tentang infeksi menular seksual pada masyarakat yang
mempunyai resiko tinggi PMS melalui penyuluhan, ceramah atau
seminar sehingga peningkatan jumlah kasus PMS dapat dicegah.
51

DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban,Z., Djauzi, S., HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo, A.W.


(eds). Ilmu Penyakit Dalam. Vol.III. Ed.4, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Jakarta, 2006, hal. 1803-1808.
2. Lan, V. M., 2005. Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV) dan Sindrom
Imunodefisiensi Didapat (AIDS). Dalam Price SA, Wilson LM, 2006;
Patofisiologi :Konsep Klinis Proses Penyakit (Pathophysiology:Clinical
Concepts of Disease Processes) ; Edisi 6 volume 1 ; Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta,2006, hal. 227 – 229
3. UNAIDS, Report 2011, UNAIDS World AIDS Day. Geneva (Swizerland) –
Diunduh dari http://www.unaids.org/sites/default/files/en/media/ unaids/
contentassets/documents/epidemiology/2011/gr2011/pdf pada tanggal 22 April
2016
4. World Health Organization (WHO), Progress Report 2011, Global HIV/AIDS
Respons. Epidemic Update and Health Sector Progress Towards Universal
Access. Diunduh dari http://www.who.int/ maternal_child_ adolescent/
documents/9789241596596/ en/ pada tanggal 26 April 2016
5. Rotua Suriany Simamora, Alternative Kebijakan Perilaku Penggunaan
Kondom Untuk Pencegahan HIV Pada Pekerja Seks Waria di Lokalisasi Gor
Kota Bekasi Tahun 2014, Jurnal Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Medistra
Indonesia, edisi 3 volume (2), 2015, hal.62
6. Depertemen Kesehatan Republik Indonesia. Situasi HIV/AIDS di Indonesia
Tahun 2007. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/downloads/
publikasi/Situasi%20HIVAIDS%202006.pdf. Pada tanggal 21 April 2016.
7. Laporan Situasi Perkembangan HIV/AIDS di Kota Medan 2011, diunduh dari
http://www.dinkeskota-Medan.org/data-kasus.html/ pada tanggal 19 April
2016
8. Kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara. Bidang Penanggulangan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2MPL),2013, Diunduh dari
http://www.dinkesprov-Sumut.org/data-kasus.html/ pada tanggal 22 April
2016
9. UNFPA. 2005. Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di
Indonesia.Jakarta: UNFPA. Available from : http://indonesia.unfpa.org/
application/assets/publications/Kebijakan_Strategi_Nasional_Kesehatan_
Reproduksi_di_Indonesia.pdf.pdf. [Accessed : 31 December 2016]
10. Murtiastutik, Dwi, 2008. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya :
Airlangga University press.
11. Hakim, L., 2007. Epidemiologi Infeksi Menular Seksual. Dalam : Dailli, S.F.,
Wresti Indriatmi B. Makes, Farida Zubier, dan Jubianto Junadarso, 2007.
Infeksi Menular Seksual Edisi Ketiga. Jakarta: FK UI,1-10.
52

12. World Health Organization, 2012. Global Insidence and Prevalence of


selected curable sexually transmitted infections-2008. World Health
Organization. Available at : http://www.who.int/reproductivehealth/
publications/rtis/stisesti mates/en/index.html. [Accessed : 30 December 2016]
13. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, 2010. Profil Kesehatan Provinsi DKI
Jakarta tahun 2009. Jakarta : Dinkes Prov. DKI Jakarta. Available
from:http://111.67.77.202/dinkesdki/index.php?
option=com_jdownloads&Itemid=29&view=finish&cid=29&catid=14&m=0
.[Accessed : 31 December 2016].
14. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012. Profil Kesehatan Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011. Surabaya : Dinkes Prov. Jateng. Available
from:http://dinkes.jatimprov.go.id/dokumen/dokumen_publikasi.html.
[ Accessed : 31 December 2016].
15. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2009. Profil Kesehatan Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2008. Medan: Dinas kesehatan Provinsi Sumut.
Available from :http://www.depkes.go.id/en/downloads/profil/prov%20sumut
%202008.pdf. [ Accessed : 31 December 2016]
16. Dinas Kesehatan Kota Medan. 2013. Grafik Sindrom / Jenis IMS di Kota
Medan Tahun 2012. Medan : Depkes Kota Medan.
17. Sri Naita Purba, Fahmi Rizal, Riana Miranda, Kristina Nadeak, dan Richard
Hutapea, 2009. Pola Penyakit Menular Seksual di Subbagian Penyakit
Menular Seksual dan Treponematosis Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSUP.H.Adam Malik Medan Periode Januari 2004 – Desember
2008. Medan: RSUP H. Adam Malik Medan.
18. Duarsa, N.W, Infeksi HIV dan AIDS. Dalam: S.F.Daili, W.I.B.Makes, F.Zubier
(eds). Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, hal. 146-158.
19. Brunner dan Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Alih Bahasa
Yasmin Asih.Penerbit Buku Kedokteran.EGC, Jakarta: 2002, hal.102-104.
20. Gallant JE. 2010) . Medical management of HIV infection . Baltimore: Johns
Hopkins University Division of Infectious Diseases;. Diunduh dari
hopkinsaids.edu/mmhiv/order.html pada tanggal 20 April 2016
21. Astari L, Sawitri, Safitri YE, Hinda D. Viral load pada infeksi HIV. Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, volume 21(1), 31-8, Jakarta, 2009.
22. Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A., Mikrobiologi Kedokteran, Edisi
XXII, diterjemahkan oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Penerbit Salemba Medika, Jakarta, 2001, hal. 188-192
23. Kayser, F. A., Bienz, K. A., Eckert, J., Zinkernagel, Medical Microbiology.
New York: Thieme Stuttgart, 2005, p.412-473.
24. Lan, V. M., 2005. Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV) dan Sindrom
Imunodefisiensi Didapat (AIDS). Dalam Price, S. A., Wilson, L. M., ed.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit volume 1 Eds 6. Jakarta:
EGC. 224-242.
25. Asjö B., Haaheim L.R., Pattison J.R., Human Immunodeficiency Virus (HIV).
A Practical Guide to Clinical Virulogy Second Edition. John Wiley & Sons
Ltd. England, 2001, p.213-218
53

26. Scanlon Valerie C, Sanders Tina,; Buku Ajar Anatomi Dan Fisiologi
(Essentials of Anatomy and Physiology) ; Edisi III, cetakan pertama ;Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2007, hal.301 – 306.
27. Fauci A.S., Chiffordlane H. Human immunodeficiency virus disease, AIDS
and related disorders. In : Lango D.L., Kasper D.L., Jameson J.L., Fauci A.S.,
Hauser S.L., Loscalzo J., editors, Harrison’s Principles of Internal Medicine,
17th ed, Vol. I, McGraw Hill, New York,2008, p.1137-1203
28. Kashou AH, Agarwal A, Oxidants and Antioxidants in The Pathogenesis of
HIV/AIDS. The Open Reproductive Science Journal, 3th edition, 2011,p. 154-
161
29. Nasronudin, 2012. HIV/AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan
Sosial. Penerbit Airlangga University Press, Surabaya, 2012, hal.67-69.
30. Hoffmann C.J., Brown T.T., Thyroid Function Abnormalities in HIV-Infected
Patients. Clin Infect Dis;45(4), 2007 p.488-94.
31. Depkes RI, Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral dan Panduan Tatalaksana
Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja, Edisi II, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Jakarta, 2013, hal.21
32. Fahey JL., DS Flemming, AIDS/HIV Reference Guide for Medical
professionals. 4th ed. Baltimore: Port city press, 1997. p. 161-75.
33. Stein., D.S., Korvick, J.A., and Vermund S.H., CD4+ Lympocyte Cell
Enumeration for Prediction of Clinical Course of Human Immunodeficiency
Virus Disease. A review. J. Infect. Dis. 165, 1992, p.352-363
34. Mitchell, R.N., Kumar, V., Penyakit Imunitas. In: Kumar, V., Cotran, R.S.,
Robbins, S.L., ed. Buku Ajar Patologi Robbins Volume 1 Eds.7. Penerbit
EGC, Jakarta, 2007.hal. 113-184
35. Miedzinski, L.J., Early Clinical Signs and Symptoms of HIV Infection. Can
Fam Physician, volume 38, 1992, p. 1401-1410
36. National Institute of Health, HIV/AIDS Symptoms,2009. Diunduh dari
http://www.niaid.nih.gov/topics/hivaids/understanding/Pages/symptoms.asp
pada tanggal 9 Mei 2016
37. Rook, A., Wilkinson, D.S., Ebling, F.J.G, Viral Infections. Textbook of
Dermatology. Blackwell Science Ltd, Oxford,1998, p.114-116.
38. Royce, R.A., Sena, A., Cates, J..W. and Cohen, M.S., Sexual Transmission of
HIV. The New England Journal of Medicine, 1997, volume 336: p.1072-1078.
39. Nettleman, M., HIV/AIDS Transmission, 2013. Diunduh dari
http://www.emedicinehealth.com/hivaids/page2_em.htm#hivaids_transmissi
on HIV pada tanggal 10 Mei 2016
40. WHO, HIV Transmission Through Breastfeeding, 2007. Diunduh dari
http://www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/9789241596596/
en/ pada tanggal 9 Mei 2016
41. Murtiastutik, D., AIDS. Dalam: Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. 2nd
National Institute of Health, 2009, HIV/AIDS Symptoms. Surabaya:
Airlangga University Press,2009, hal. 211-220--buku
54

42. Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A.,Mikrobiologi Kedokteran, Edisi


XXII, diterjemahkan oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Penerbit Salemba Medika, Jakarta, 2001, hal. 205-209,
43. PubMed Health, National Human Genome Research Institute,AIDS, 2012
Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMHT0024730/
pada tanggal 9 Mei 2016
44. Barakbah, J. (eds), Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Ed.2. Surabaya:
Airlangga University Press, 2008, hal. 244-259.
45. Maurer, T.A., Dermatologic Manifestations of HIV. Top HIV Med. Vol 13(5),
2005, p.149-154
46. Dlova, N., Mosam, A., Cutaneous Manifestations of HIV/AIDS: Part 1. The
Southern African Journal of HIV Medicine, 2007. Diunduh dari
http://ajol.info/index.php/sajhivm/ article/viewFile/ 34816/24879 pada tanggal
9 Mei 2016
47. Direktorat Jenderal PP dan PL Kementrian Kesehatan RI. Laporan Situasi
Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia s.d. 31 Maret 2013. Jakarta
(Indonesia); 2013, hal. 72-73.
48. Muninjaya, A.A. Gde, Tiga Cara Untuk Pencegahan AIDS. Dalam: AIDS di
Indonesia: Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya. Penerbit Buku
Kedokteran EGC Jakarta, 1999, hal. 29-32.
49. Sofro MAU, Anurogo D. Kewaspadaan universal dalam menangani penderita
HIV/AIDS. In: 5 Menit Memahami 55 Problematika Kesehatan. Editor: Wee
D. Penerbit Medika Jogjakarta, 2013. hal. 143-8.
50. Handsfield, H. H., Color Atlas and Synopsis of Sexually Transmitted
Diseases. 2nd ed. USA: Mc Graw-Hill, 2001, p.114-117.
51. Hutagalung, Ellisma, Hubungan Karakteristik Anak Jalanan Terhadap Perilaku
Seksualnya dan Kemungkinan Terjadinya Risiko Penyakit Menular Seksual
(PMS) di Kawasan Terminal Terpadu Pinang Baris Medan Tahun 2002.
[skripsi] Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara,2002.
52. Notoatmodjo, Konsep Perilaku dan Perilaku Kesehatan. Dalam: Pendidikan
dan Perilaku Kesehatan, Penerbit PT Rineka Cipta Jakarta, 2003; hal.121,
124- 127.
53. Daili,S,F. Tinjauan penyakit menular seksual (PMS). Dalam: Djuanda,A.,
Hamzah,M., Aisah, S. (eds). Ilmu Penyakit dan Kelamin. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hal.88-91.
54. Piot, Peter, Wasserheit, Judith N., Corey, Lawrence, Cohen, Myron S.; Watts,
D. Heather. Sexually Transmitted Disease (4th ed.): The McGraw-Hills
Companies, 2008,p.131-133
55. Kementrian Kesehatan RI. Penerbit Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Laporan Situasi Perkembangan HIV/AIDS di
Indonesia Sampai Dengan Juni 2011, Jakarta, 2011, hal.46
56. Brooks, Geo. F., Butel, Janet S., dan Morse, Stephen A., AIDS dan Lentivirus.
Dalam: Sjabana, Dripa, ed. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Salemba
Medika Jakarta, 2005.,hal. 292-300
55

57. Faisal S, dan Toni S. Djajakusumah. Perubahan Pola IMS di Poliklinik IMS
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS DR. Hasan Sadikin Bandung,
dalam periode 10 tahun (1998-2007). Bandung : Departemen Kulit dan
Kelamin RS DR. Hasan Sadikin.
58. Ray, et al., 2006. Changing trends in sexually transmitted infection at regional
STD centre in North India. Indian Journal of Medical Research 124: 559-568.
Availableat:http://search.proquest.com/docview/195974293/fulltextPDF/1422
3B6F3D026CF21E2/1? accountid=50257. [Accessed : 30 December 2016]
59. Maan, Muhammad arif, fatma Hussain, Javed Iqbal, dan Shahid Javed Akhtar,
2011. Sexually Transmitted Infections in Pakistan. Ann Saudi Med 31 (3) :
263-269.
60. Centers for Disease Control and Prevention, 2009. Sexually Transmitted
Disease Surveillance 2008. Georgia: U.S. Department of Health and Human
Services, Division of STD Prevention.
61. Rosyati, L.M., 2001. Pola Penyakit Menular Seksual (PMS) Wanita di
Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RS. Umum Pusat Sanglah Denpasar
Periode Januari 1996 - Desember 2000, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Litbang
Kesehatan.
62. Jazan, S., et al. 2003. Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita
Penjaja Seks di Bitung,Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM & PPL.
63. Butar-butar Janni, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera
Utara, 2015, Karakteristik Penderita HIV/AIDS Di RSUD Dr. Djasamen
Saragih Pematangsiantar Tahun 2013–2014
64. Murtiastutik D,.2007 Kondiloma akuminata dan penatalaksanaan Kondiloma
akuminata. In: Barakbah J, Lumintang H, Martodihardjo S, editors. Buku Ajar
Infeksi Menular Seksual. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga RSU Dr. Soetomo; 2007. p. 165-79
65. Stella R. Nelwan.dkk. 2012. Profil Kondiloma akuminata Di Poliklinik Kulit
Dan Kelamin Rsup Prof.Dr. R.D. Kandou Manado Periode Januari 2012 -
Desember 2012. Skripsi. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
66. Kementrian Kesehatan RI. Penerbit Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Laporan Situasi Perkembangan HIV/AIDS di
Indonesia Sampai Dengan Juni 2011, Jakarta, 2011, hal.46
67. Aswar, A. 2012. Karakteristik Pasien Kondiloma akuminata Di RSUP Haji
Adam Malik Medan Periode 1 Januari 2008 - 31 Desember 2011. Skripsi FK
USU. Medan
68. Hidayat, Taufik. (2012). Deteksi Human Papilloma Virus Tipe 6 dan 11 Pada
Lesi dan Peri Lesi Kondiloma Akuminatum Dengan Polymerase Chain
Reaction.Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
69. Silitonga, J.T., 2010. Gambaran Infeksi Menular Seksual (IMS) Di RSUP.
H.Adam Malik Tahun 2009. Skripsi FK USU. Medan.
70. D. Karn, Amatya A, Aryal ER, KC S, and Timalsina M, 2011. Prevalence of
Sexually Transmitted Infections in a Tertiary Care Centre. Kathmandu Univ
Med J 9 (2): 44-48. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
22610868. [Accessed : 31 December 2016].
56

71. Bangun, S., 2013. Karakteristik Penderita Penyakit Menular Seksual (PMS)
Yang Berobat Jalan di Poliklinik Kulit dan kelamin RSU Dr. Pirngadi Medan
September 1999-September 2000, Skripsi FKM USU, Medan.
72. Widoyono, HIV-AIDS. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan
dan Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008, hal. 83-90.
73. Sun, Kuhn, Ellerbrock, et al. Human Papillomavirus Infection in Women
Infected with the Human Immunodeficiency Virus. New England J Med.
1997; vol 337; no 19; p 1343 – 49.

Anda mungkin juga menyukai