Landgrabbing Di Kabupaten Ogan Ilir

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

NAMA : JOMBANG RUPAWAN

NIT : 17263025
NO. ABSEN : 17
KELAS :A

Keterlibatan Mafia Tanah dalam Landgrabbing di


Kabupaten Ogan Ilir

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Ketersediaan tanah yang semakin terbatas, namun kebutuhan akan
tanah itu semakin meningkat. Hal ini tentunya akan menyebabkan
semakin maraknya konflik agraria yang terjadi baik itu antara pemerintah
dengan masyarakat maupun antara masyarakat itu sendiri. Salah satu
konflik agraria yang terjadi yaitu Landgrabbing. Pada tahun 2008, sebuah
lembaga pertanian GRAIN di Spanyol mengenalkan secara pertama kali
istilah “Landgrabbing”. GRAIN menggunakan istilah ini untuk pengambilan
tanah-tanah pertanian oleh perusahaan besar melalui investasi agribisnis.
Landgrabbing memiliki arti secara harfiah yaitu perampasan tanah.
Perampasan tanah biasanya diidentikkan bahwa hal tersebut dilakukan
oleh pemerintah. Pemerintah dalam hal ini demi kepentingan
pembangunan nasional yang dimotori oleh perusahaan-perusahaan besar
yang memerlukan tanah, akan melakukan segala cara untuk
mengupayakan agar setiap kebutuhan perusahaan-perusahaan besar itu
terakomodir. Apabila terpenuhinya kepentingan pembangunan nasional
tentunya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai
salah satu negara berkembang.
Namun, dalam setiap kepentingan pembangunan nasional tidak selalu
ada landgrabbing dalam prosesnya. Landgrabbing hanyalah salah satu
dampak negatif akibat adanya kepentingan pembangunan nasional.
Landgrabbing tidak hanya baru terjadi pada tahun-tahun sekarang.
Namun dengan perkembangan zaman sekarang ini, landgrabbing yang
dulunya dilakukan oleh pemerintah, sekarang juga telah dilakukan oleh
mafia tanah. Keberadaan mafia tanah itu sendiri tidak dapat dipungkiri
keberadaannya sebagai sekelompok orang yang memanfaatkan celah-
celah hukum yang ada sebagai sebuah kesempatan untuk meraih
keuntungan. Hal yang dapat diraih tentu mendapatkan tanah secara
cuma-cuma dan minimalnya mendapatkan uang sebagai tanda ganti rugi
ataupun damai.
Oleh karena itu, penulis mencoba untuk menulis mengenai keterlibatan
mafia tanah dalam landgrabbing yang terjadi di Kabupaten Ogan Ilir baik
dengan perusahaan maupun warga di sekitar.

1.2 Tujuan
Penulis bertujuan agar paper ini dapat memberikan sedikit gambaran yang
terjadi di lapangan bagaimana sebenarnya keterlibatan mafia tanah itu
sendiri dalam landgrabbing di Kabupaten Ogan Ilir.

1.3 Rumusan masalah


Rumusan masalah yang akan dikembangkan oleh penulis yaitu gambaran
mengenai 2 hal sebagai berikut:
1. Bagaimana keterlibatan mafia tanah dalam landgrabbing antara
perusahaan dan masyarakat sekitar
2. Bagaimana keterlibatan mafia tanah dalam landgrabbing antara
peorangan
BAB II
LANDASAN TEORI

Saturnino Borras dan Jennifer Franco mengembangkan definisi kerja


mengenai land grabbing sebagai:
“Pengambilalihan kendali atas tanah yang relatif besar beserta sumber
daya alam lainnya melalui berbagai konteks dan bentuk.
Pengambilalihan ini melibatkan modal dalam skala besar yang
seringkali berakibat pada bergesernya orientasi penggunaan sumber
daya alam menjadi berkarakter ekstraktif, baik untuk tujuan
internasional maupun domestik, seperti respon modal terhadap
konvergensi krisis pangan, energi, dan finansial, mitigasi perubahan
iklim yang imperatif, dan permintaan untuk sumber daya alam dari
sumber-sumber modal global yang baru.”
Dwi Wulan Pujiriyani Dkk (2014, xvii) mengungkapkan bahwa
landgrabbing sudah terjadi sejak masa kolonial ketika pemerintah Hindia
Belanda memfasilitasi berdirinya perkebunan-perkebunan besar swasta
melalui Undang-undang Agraria Hindia Belanda, Agrarische Wet.
Pembangunan perkebunan-perkebunan swasta itu dilaksanakan dengan
menyewa paksa tanah-tanah para petani. Perampasan atau
pengambilalihan paksa tanah-tanah para petani ini berlanjut setelah
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, yakni saat pemerintah
menasionalisasi perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda itu pada
tahun 1957-1958. Di masa nasionalisasi itu tentara (melalui berlakunya
Peperpu/Penguasa Perang Pusat dan Peperda/Penguasa Perang
Daerah) mengambil alih tanah-tanah para petani di beberapa daerah
untuk ditempatkan di bawah penguasaannya. Perampasan tanah petani
berlanjut di awal Orde Baru, paska 1965. Pada masa ini, militer merampas
tanah-tanah petani penggarap yang dituduh terlibat dalam Partai Komunis
Indonesia (PKI). Perampasan tanah-tanah petani berlanjut setelah Orde
Baru runtuh, yakni melalui pemberian konsesi dan izin membuka lahan
lahan petani / masyarakat adat untuk perkebunan (khususnya kelapa
sawit), pemberian izin pertambangan dan izin kehutanan. Izin-izin tersebut
terus diperpanjang dan diperbarui setelah Reformasi hingga diakomodir
dengan adanya program MP3EI.
Berdasarkan Juknis Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah,
mafia tanah adalah individu, kelompok dan/atau badan hokum yang
melakukan tindakan dengan sengaja untuk berbuat kejahatan yang dapat
menimbulkan dan menyebabkan terhambatnya pelaksanaan penanganan
kasus pertanahan.

BAB III
PEMBAHASAN

1. Langgrabbing yang melibatkan Pemerintah


Berdasarkan data WALHI, konflik agraria yang terjadi di Indonesia
hingga tahun 2018 mencapai 555 kasus. Adapun rinciannya dapat
dilihat di bawah ini
Berdasarkan table tersebut, dapat kita lihat bahwa konflik agraria
paling banyak terjadi pada sektor perkebunan. Salah satu perkebunan
milik BUMN yang sering terjadi konflik agraria di Kabupaten Ogan Ilir
yaitu PTPN VII Distrik Cinta Manis. permatasariang17 (2016)
menerangkan bahwa PTPN VII Distrik Cinta Manis merupakan salah
satu dari 27 Distrik milik PTPN VII yang bergerak di bidang
Perkebunan dan Pabrik Gula. PTPN VII Distrik Cinta Manis memiliki
total konsesi lahan seluas + 20.301,08 Ha yang tersebar di 6
Kecamatan dan 43 Desa. Adapun batas-batas PTPN VII Distrik Cinta
Manis sebagai berikut:
a) Utara : Desa Burai dan Desa Sejaro Sakti
b) Selatan : Jln. Raya Tg. Raja – Muara Kuang, Desa
Betung dan Desa Lubuk Keliat
c) Timur : Desa Meranjat, Desa Beti, Desa Tebing
Gerinting dan Desa Tanjung Dayang
d) Barat : Desa Sentul, Desa Tanjung Lalang, Desa
Lubuk Bandung dan Desa Rengas
Konflik agraria berupa indikasi landgrabbing yaitu konflik antara
PTPN VII Distrik Cinta Manis dengan 20 desa masyarakat sekitar
yang terkoordinasi dalam Gabungan Petani Penesak Bersatu (GPPB).
20 Desa itu terdiri dari Desa Sribandung, Desa Tanjung Laut, Desa
Tanjung Pinang, Desa Tanjung Atap, Desa Tanjung Baru Petai, Desa
Sentul, Desa Limbang Jaya (Kecamatan Tanjung Batu), Desa Sri
Kembang, Desa Rengas, Desa Lubuk Bandung (kecamatan
Payaraman), Desa Ketiau, Desa Betung, Payalingkung, Desa Lubuk
Keliat, (Kecamatan Lubuk Keliat), Desa Meranjat 1, Desa Meranjat 2,
Desa Meranjat Ilir, (Kecamatan Indralaya Selatan) dan Desa Tanjung
Gelam, Desa Tanjung Sejaroh, Desa Tanjung Agung, Desa Sejaro
Sakti (Kecamatan Indralaya Induk) Kemudian Desa Sri Ngilam
Kecamatan Tanjung Raja.
Permasalahan ini diawali dari klaim masyarakat terhadap tanah
yang digunakan oleh PTPN VII Distrik Cinta Manis. Mereka
menerangkan bahwa terjadi perampasan tanah yang dilakukan oleh
PTPN VII Cinta Manis sejak tahun 1982. Secara umum proses
perampasan tanah rakyat oleh PTPN VII tahun 1982 di setiap desa
relatif sama. Di jaman Orde Baru warga tidak memiliki pilihan selain
pasrah ketika kebun karet dan nanas mereka digusur oleh PTPN VII
tanpa ganti rugi yang layak. Proses ganti rugi tahun 1982 diakui
warga diwarnai tekanan, intimidasi dan sikap refresif aparat
keamanan.Ganti rugi itupun sangat tidak adil, contohnya dari 5 Ha
lahan, hanya 1 ha saja yang diganti, lebih parah hingga saat ini masih
ada tanah warga yang belum diganti rugi oleh pihak PTPN VII. Hal ini
sesuai dengan berita yang disampaikan oleh KPRI (Konfederasi
Pergerakan Rakyat Indonesia).
Untuk kasus di atas, berdasarkan pengalaman selama bekerja di
kantor pertanahan Kabupaten Ogan Ilir, dari pihak PTPN VII distrik
Cinta Manis, terdapat kesalahan yang cukup fatal hingga membuat
permasalahan bisa berlarut-larut hingga sekarang. Hal ini disebabkan
oleh adanya kelalaian pihak PTPN VII Distrik Cinta Manis dalam
menjaga dan merawat tanda-tanda batas bidang tanah yang dimiliki
oleh pihak PTPN VII Distrik Cinta Manis. Selain itu, perlu dikaji lebih
lanjut mengenai sejarah bagaimana PTPN VII Distrik Cinta Manis bisa
memiliki tanah tersebut khususnya pada era Orde Baru. Dimana
seperti kita ketahui bahwa di era Orde Baru identik dengan Militer,
sehingga dalam pengadaan tanah untuk kepentingan BUMN maupun
perusahaan perlu ditelaah lebih lanjut secara jelas bagaimana
prosesnya.
Sedangkan dari pihak masyarakat sendiri, tentunya perlu dikaji
lebih lanjut mengenai kebenaran materiil dari bukti kepemilikan tanah
yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Hal ini kadang dimanfaatkan
oleh mafia tanah sebagai celah untuk mendapatkan keuntungan.
Mafia tanah dengan memanfaatkan mobilisasi massa tentunya akan
membuat perusahaan dalam hal ini PTPN VII Distrik Cinta Manis
terganggu operasionalnya. Hal ini kadang membuat direksi berpikiran
daripada perlu untuk mobilisasi aparat terus menerus dan operasional
perusahaan terganggu, tentu ujung-ujungnya rela membayar ganti
rugi tanah kembali. Celah ini lah yang kadang terus dimanfaatkan oleh
mafia tanah untuk mendapatkan keuntungan, di samping tentunya
melibatkan tokoh-tokoh masyarakat ataupun premanisme untuk dapat
menggerakkan massa.
Selain itu, ada juga modus mafia tanah lainnya yaitu ikut terlibat
dalam memperkeruh sengketa yang telah terjadi antara perusahaan
dan warga lainnya. Yang dilakukan oleh mafia tanah tersebut adalah
dengan menjual kavlingan secara murah lokasi tanah yang
bersengketa tersebut. Kebanyakan mereka yang tergiur untuk
membeli disebabkan oleh harga yang murah, bisa dikredit serta
kebanyakan berasal bukan dari warga di sekitar lokasi tersebut.
Sehingga kebanyakan mereka tidak tahu mengenai bagaimana
tanahnya dan tidak tahu kalau tanah tersebut sedang sengketa. Hal ini
kemudian malah makin memperkeruh sengketa antara perusahaan,
warga sekitar dan konsumen tanah kavlingan tersebut.

2. Landgrabbing yang melibatkan perorangan


Berdasarkan Juknis Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah,
mafia tanah adalah individu, kelompok dan/atau badan hokum yang
melakukan tindakan dengan sengaja untuk berbuat kejahatan yang
dapat menimbulkan dan menyebabkan terhambatnya pelaksanaan
penanganan kasus pertanahan. Bila kita telaah lebih lanjut bahwa dari
pengertian tersebut ada satu kerancuan yaitu bagaimana bila ada
suatu kelompok yang malah menimbulkan munculnya suatu kasus
pertanahan. Dalam hal ini, ada suatu modus mafia tanah yang telah
terjadi di Kabupaten Ogan Ilir yaitu dengan mengidentifikasi tanah-
tanah yang belum bersertifikat, serta tidak adanya pemanfaatan tanah
secara fisik. Dalam mengumpulkan informasi tersebut tentunya, mafia
tanah ini melibatkan pihak-pihak yang berwenang baik yang memang
bekerjasama ataupun cuma dimanfaatkan saja. Dalam hal ini, mafia
tanah memulainya dengan menyiapkan surat-surat segel atau materai
yang lama. Kemudian, mafia tanah akan menentukan lokasi tanahnya.
Dalam menentukan kondisi tanah, mafia tanah menggunakan segala
cara daya upaya untuk mendapatkan informasi mengenai lokasi yang
dibutuhkan. Informasi yang dibutuhkan mengenai telah bersertifikat
atau belumnya lokasi tersebut, ada tidaknya pemanfaatan tanah lokasi
tersebut dan lain sebagainya. Bahkan, ada juga malah mafia tanah
tersebut ikut memperkeruh sengketa tanah yang sebelumnya telah
ada. Maksud dari dengan memperkeruh sengketa tanah di sini adalah
dengan ikut mengklaim tanah tersebut hingga menjual kavlingan atas
sengketa tanah tersebut.
Contoh kasusnya yaitu Budiyanto (2010) menerangkan bahwa tidak
jauh dari kota Palembang, tepatnya di UPT Transmigrasi Desa Sungai
Rambutan Kec. Indralaya Utara kab. Ogan Ilir Sumsel beberapa
minggu lalu sempat memanas. Warga didukung dengan aparat dari
Polres Ogan Ilir berhasil menghalau alat berat milik mafia perampas
tanah yang terkenal dengan rombongan Romlan cs dari lokasi tanah
warga Desa Sungai Rambutan. Rencananya alat berat milik Romlan
cs akan membuat kanal di lokasi lahan yang diklaim oleh mereka.
Lahan yang diklaim mencapai 500 hektar dengan berbekal surat
kepemilikan bertahun 1964 warisan keluarga Romlan. Padahal
menurut penuturan sesepuh warga Sungai Rambutan, orang tua
Romlan tidak pernah memiliki tanah seluas itu. Informasi yang
berhasil dikumpulkan dari warga menyebutkan bahwa surat tanah
yang dimiliki Romlan adalah rekayasa. Pasalnya, surat tanah tersebut
ditolak oleh Pengadilan Negeri Kayuagung ketika pengacara Romlan
mengajukan gugatan terhadap pihak desa. Salah satu alasan
mengapa surat tersebut rekayasa adalah adanya ketidaksesuaian
antara tahun surat dan ejaan kalimat surat. Surat tersebut dikeluarkan
tahun 1964 tapi menggunakan ejaan EYD. Dalam menjalankan
aksinya menjarah tanah warga, Romlan cs tidak segan-segan
menggunakan cara premanisme. Pengacara pun dilibatkan untuk
menakut-nakuti warga. Ironisnya, kasus ini belum terjamah media.
Dari kasus di atas dapat kita lihat bahwa bagaimana mafia tanah
berusaha merampas tanah dengan memanfaatkan surat segel atau
materai lama untuk dijadika bukti kepemilikan tanah. Seperti yang kita
tahu bahwa untuk di luar jawa, khususnya di Provinsi Sumatera
Selatan, bahwa semua tanah dianggap sebagai tanah negara. Hal ini
disebabkan tidak adanya diakui keberadaan masyarakat adat oleh
pemerintah. Sehingga, akibat yang terjadi adalah minimnya bukti
kepemilikan tanah yang digunakan dalam permohonan penerbitan
sertipikat. Kebanyakan yang terjadi di Kabupaten Ogan Ilir adalah
dengan hanya melampirkan surat pernyataan pemilikan hak dan surat
penyataan penguasaan fisik bidang tanah (sporadik) yang diterbitkan
Cuma beberapa tahun sebelum mengajukan permohonan penerbitan
sertipikat bahkan ada yang diterbitkan pada tahun yang sama dengan
permohonan penerbitan sertipikat diajukan. Sehingga celah yang ada
ini lalu dimanfaatkan oleh mafia tanah untuk merampas tanah-tanah
yang mereka inginkan.
Contoh kasus lainnya yaitu berdasarkan pengalaman penulis
selama bekerja di Kantor Pertanahan Kabupaten Ogan Ilir, pernah ada
suatu permohonan penerbitan sertipikat sebanyak 19 bidang dengan
total luas keseluruhan sekitar 20 Ha. Hal yang menarik dari
permohonan ini yaitu adanya nama 3 (tiga) orang pegawai di Kantor
Pertanahan Kabupaten Ogan Ilir dan salahsatunya adalah Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Ogan Ilir pada waktu itu, selain itu ada
juga nama pemohon yang biasanya bermasalah tanahnya.
Kecurigaan mulai timbul ketika melihat hasil gambar bidang tanah dari
data pengukuran yang ada. Untuk dapat lebih jelasnya dapat kita lihat
pada gambar konsep peta bidang tanah di bawah ini.

Sumber data: geokkpweb


Dari gambar di atas, dapat diambil kita lihat bahwa bidang tanah
telah dipotong-potong secara memanjang seperti di atas dan
kemudian mengeluarkan bagian yang terkena sertipikat. Informasi ini
tentunya akan didapatkan bila telah diajukan permohonan secara
resmi dan memenuhi kewajiban persyaratan yang telah ditentukan.
Walaupun, pada kenyataannya masih ada celah untuk mendapatkan
informasi ini secara tidak resmi melalui petugas ukur yang ada di
Kantor Pertanahan tersebut. Hal inilah yang kadang malah bisa
dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak baik. Hingga kemudian, atas
berkas permohonan penerbitan sertipikat di atas, dikeluarkanlah peta
bidang tanah dengan berbagai catatan yang diperlukan terutama
terhadap adanya bagian yang terkena bidang tanah yang telah
bersertipikat.
Kemudian, berdasarkan keterangan pegawai di kantor, ada yang
melaporkan bahwa sebenarnya pemilik tanah di lokasi tersebut,
bukanlah sebagaimana pemohon yang diajukan pada permohonan
penerbitan sertipikat tadi. Akhirnya, ternyata ada surat sanggahan
terhadap permohonan penerbitan sertipikat di atas. Oleh karena itu,
dilakukanlah survey lokasi dengan pihak yang menyanggah dan
pemohon tadi. Ternyata, memang benar pada bidang tanah yang
sama dan penerbitan sertipikatnya terhenti hingga sekarang. Selain
itu, pada fisik bidang tanah yang diajukan, memang ada sebagian
bidang tanah yang belum dimanfaatkan.
Dari kasus di atas, maka dapat kita lihat bahwa adanya upaya dari
mafia tanah untuk memanfaatkan oknum-oknum yang bisa
dimanfaatkan untuk bisa mendapatkan informasi atas celah-celah
yang bisa digunakan. Celah-celah yang digunakan oleh mafia tanah
itu adalah sebagai berikut:
1. Adanya upaya yang dilakukan dengan membagi-bagi bidang tanah
secara memanjang. Apabila tidak dibagi-bagi, tentunya
kewenangan penerbitan sertifikat ada di Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Selatan bukannya Kantor
Pertanahan Kabupaten/kota.
2. Adanya upaya untuk mengetahui informasi mengenai suatu lokasi
yang masih banyak belum bersertipikat. Informasi ini tentunya
seharusnya hanya bisa didapatkan apabila telah memenuhi
kewajiban persyaratan yang harus dipenuhi.
3. Adanya upaya untuk mengajak bekerjasama ataupun kongkalikong
dengan pihak-pihak lain yang diperlukan terutama pada pegawai
Kantor Pertanahan Kabupaten Ogan Ilir ataupun malah hanya
memanfaatkan pihak tersebut demi tercapai tujuannnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Landgrabbing memiliki arti secara harfiah yaitu perampasan tanah.
Perampasan tanah biasanya diidentikkan bahwa hal tersebut dilakukan
oleh pemerintah. Namun dengan perkembangan zaman sekarang ini,
landgrabbing yang dulunya dilakukan oleh pemerintah, sekarang juga
telah dilakukan oleh mafia tanah. Keterlibatan mafia tanah dalam
landgrabbing di Kabupaten Ogan Ilir, tidak hanya terhadap pemerintah
dalam hal ini BUMN, namun juga terhadap perseorangan. Dari hal
tersebut maka dapat kita lihat bahwa adanya upaya dari mafia tanah
untuk memanfaatkan oknum-oknum yang bisa dimanfaatkan untuk
bisa mendapatkan informasi atas celah-celah yang bisa digunakan.

4.2 Saran
1. Bagi Kantor Pertanahan Ogan Ilir
Demi mencegah terjadinya landgrabbing yang semakin meluas,
penulis memberikan saran agar celah-celah yang bisa dimanfaatkan
oleh mafia tanah perlu untuk diantisipasi dengan dengan
dikeluarkannya regulasi peraturan perundang-undangan yang
mengatur lebih detail akan hal tersebut. Tentunya dengan adanya
regulasi yang lebih baik, akan dapat membantu kantor pertanahan
dalam menjalankannya.

2. Bagi masyarakat
Untuk menghindari dalam menjadi korban dari landgrabbing,
penulis memberikan saran hendaknya masyarakat mulai untuk sadar
akan pentingnya sertipikat, serta tertib administrasi pertanahan.

DAFTAR PUSTAKA

Pujiriyani, Dwi Wulan 2014, Landgrabbing: bibliografi beranotasi, STPN


Press, Jogja.
Borras, S. M. Jr., dan Franco, J. 2012. Global Land Grabbing and
Trajectories of Agrarian Change: A Preliminary Analysis.
Agrarian Change Vol. 12 No. 1, January, 2012. Hal. 34 – 59.
Juknis Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah
Widiyanto, 2014, Land Grabbing Sebagai Isu Regional, ELSAM: Koleksi
Pusat Dokumentasi ELSAM, dilihat pada 26 Juni 2019,
https://referensi.elsam.or.id/2014/12/land-grabbing-sebagai-isu-
regional/
WALHI, 2019, Respon Pernyataan Presiden, WALHI Desak Presiden
Pimpin Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria, 10 Mei 2019,
dilihat pada 26 Juni 2019, https://walhi.or.id/
KPRI, Kronologis Perlawanan Petani Ogan Ilir, dilihat pada 26 Juni 2019,
http://pergerakan.org/
Budiyanto, 2010, Mafia Perampas Tanah, web diposting pada 23 Januari
2010, dilihat pada 26 Juni 2019,
https://www.kompasiana.com/budi_007/54ff5fb4a33311c24f50fa
46/mafia-perampas-tanah
permatasariang17, 2016, Perkebunan nusantara VII distrik cinta manis,
web diposting pada 3 Oktober 2016, dilihat pada 26 Juni 2019,
https://permatasariang17.wordpress.com/2016/10/03/perkebun
an-nusantara-vii-distrik-cinta-manis/

Anda mungkin juga menyukai