Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Blok Neuromuskuloskeletal adalah blok kesembilan pada semester IV dari
sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Salah satu strategi
pembelajaran sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ini adalah Problem
Based Learning (PBL). Tutorial merupakan pengimplementasian dari metode
Problem Based Learning (PBL). Dalam tutorial, mahasiswa dibagi dalam kelompok-
kelompok kecil dan setiap kelompok dibimbing oleh seorang tutor/dosen sebagai
fasilitator untuk memecahkan kasus yang ada.
Pada kesempatan ini, dilaksanakan tutorial studi kasus skenario D yang
memaparkan tentang Ny. Susi, umur 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan
utama bersin-bersin, hidung tersebumbat dan keluar ingus encer sejak 2 hari yang
lalu. Ny. Susi juga mengeluhmatanya gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar. Pasien juga mengluhkan susah tidur.
Ny. Susi juga mengatakan setiap kali mengkonsumsi udang dan terkena debu
langsung mengeluh bersin-bersin dan keluar ingus encer. Keluhan ini dirasakan Ny.
Susi sejak umur 5 tahun. Ayah Ny. Susi juga memiliki keluhan yang sama.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu :
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial
Tutor : dr. Desti Maryani
Moderator : M. Rizqi Firyal
Sekretaris : Eko Pratama
Notulen : M. Ahsanul Khuluqi
Waktu : 1. Senin, 6 Juli 2015
Pukul : 8.00 -10.30 WIB
2. Rabu, 8 Juli 2015
Pukul : 8.00 -10.30 WIB
Peraturan tutorial:
1. Menonaktifkan ponsel atau dalam keadaan diam
2. Mengacungkan tangan saat akan mengajukan argumen
3. Tidak boleh makan pada saat diskusi tutorial berlangsung

2.2 Skenario Kasus


Ny. Susi, umur 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan tumama bersin-bersin,
hidung tersumbat dan keluar ingus encer sesjak 2 hari yang lalu. Ny. Susi juga juga
mengeluh matanya gatal, yang kadang-kadang disertai dengan bnyak air mata keluar.
Pasien juga mengeluhkan susah tidur.
Ny. Susi juga mengatakan setiap kali mengkonsumsi udang dan terkena debu
langsung mengeluh bersin-bersin dan keluar ingus encer. Keluhan ini dirasakan Ny.
Susi sejak umur 5 tahun. Ayah Ny. Susi juga memiliki keluhan yang sama.
Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: tampak sakit sedang, compos mentis
Vital sign: TD: 110/70 mmHg, N: 90x/menit reguler, isi dan tegangan cukup, RR:
26x/menit T: 37oC
Wajah: terdapat garis kehitaman pada kulit di bawah palpebra inferior

2
Status THT:
- telinga : membrana timpani utuh, refleks cahaya +/+
- hidung : cavum nasi sempit, sekret (+/+) berwarna putih, konka hipertrofi berwarna
livid (pucat), massa (-)
- tenggorokan : arcus faring simetris, uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang, dinding
faring posterior tampak kemerahan.

2.3 Klarifikasi istilah


1. Bersin : Keluarnya udara yang tak tertahankan dengan tiba-
tiba melalui hidung dan mulut
2. Ingus encer : Air berlendir yang keluar dari hidung dengan
konsistensi tidak kental
3. Membrana tympani : Struktur tipis antara meatus acusticus externus dan
telinga tengah
4. Concha hipertropi : Perbesaran pada sebuah lempeng tulang tipis yang
membentuk bagian dinding rongga hidung
5. Sekret : Proses seluler berupa pembentukan/pelepasan
produk spesifik atau bahan yang disekresikan
6. Arcus faringeus : Lengkung tenggorokan/ ruang muskulomembrana
di belakang rongga hidung, mulut, larinx
7. Tonsil : Masa jaringan yang bulat dan kecil (jaringan
lymphoid)
8. Palpebra inferior : Kelopak mata bagian bawah
9. Uvula : Massa kecil yang menggantung dari palatum mole
di atas pangkal lidah
10. Refleks cahaya (telinga) : Cone of light  refleks pantulan cahaya pada
membran timpani dan berbentuk segi tiga.
11. Hidung tersumbat : Sumbatan pada saluran hidung akibat peradangan
(nasal congestion)

3
2.4 Identifiksi Masalah
1. Ny. Susi, umur 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan tumama bersin-bersin,
hidung tersumbat dan keluar ingus encer sesjak 2 hari yang lalu.
2. Ny. Susi juga juga mengeluh matanya gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
bnyak air mata keluar. Pasien juga mengeluhkan susah tidur.
3. Ny. Susi juga mengatakan setiap kali mengkonsumsi udang dan terkena debu
langsung mengeluh bersin-bersin dan keluar ingus encer. Keluhan ini dirasakan
Ny. Susi sejak umur 5 tahun. Ayah Ny. Susi juga memiliki keluhan yang sama.
4. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: tampak sakit sedang, compos mentis
Vital sign: TD: 110/70 mmHg, N: 90x/menit reguler, isi dan tegangan cukup,
RR: 26x/menit T: 37oC
Wajah: terdapat garis kehitaman pada kulit di bawah palpebra inferior
5. Status THT:
- telinga : membrana timpani utuh, refleks cahaya +/+
- hidung : cavum nasi sempit, sekret (+/+) berwarna putih, konka hipertrofi
berwarna livid (pucat), massa (-)
- tenggorokan : arcus faring simetris, uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang,
dinding faring posterior tampak kemerahan.

2.5 Analisis dan Sintesis Masalah


1. Ny. Susi, umur 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan utama bersin-bersin,
hidung tersumbat dan keluar ingus encer sejak 2 hari yang lalu.
a. Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi dari sistem yang terlibat?
Jawab:

ANATOMI
Hidung bagian luar (eksternal) merupakan bagian hidung yang terlihat.
Dibentuk oleh dua tulang nasal dan tulang rawan. Keduanya dibungkus dan dilapisi

4
oleh kulit dan sebelah dalamnya terdapat bulu-bulu halus (rambut) yang membantu
mencegah benda-benda asing masuk ke dalam hidung.
Kavum Nasalis (Nasal Cavity) adalah suatu lubang besar yang dipisahkan oleh
septum. Nares anterior adalah bagian terbuka yang masuk kedalam dari sebelah luar
dan posterior nares terbuka dengan cara yang sama pada bagian belakang, masuk
kedalam faring. Langit-langit dibentuk oleh tulang ethmoidalis pada bagian dasar
tengkorak dan lantai yang keras serta palatum lunak pada bagian langit-langit mulut.
Dinding lateral rongga dibentuk oleh maksila, konkanasalis tengah dan sebelah luar
tulang ethmoidalis yang tegak lurus dan vomertis, sementara bagian anterior
dibentuk oleh tulang rawan.
Tiga konka nasalis diproyeksikan kedalam rongga nasal pada setiap sisi
sehingga memperbesar luas bagian dalam hidung. Rongga hidung dilapisi oleh
membrane mukosa bersilia yang memiliki banyak pembuluh darah dan udara
dihangatkan setelah melewati epithelium yang mengandung banyak kapiler. Mucus
membasahi udara dan menangkap banyak debu dan silia menggerakan/memindahkan
mukus belakang kedalam faring untuk menelan dan meludah. Membrana mukosa
olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung
sel saraf khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati lamina
cribriformis os frontale dan kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I olfaktorius.
Ujung-ujung saraf indra penciuman terletak dibagian tertinggi rongga hidung
disekitar lembaran cribriform tulang ethmoidalis.
Beberapa tulang disekitar rongga dasar berlubang. Lubang didalam tulang
tersebut disebut sinus parasinalis, yang memperlunak tulang tengkorak,
memproduksi mukosa serosa dan berfungsi sebagai ruang bunyi suara, menjadikan
suara beresonansi. Sinus ini dilapisi oleh membrane mukosa yang bersambungan
dengan cavum nasi. Sinus maksilaris terletak dibawah orbit dan terbuka melalui
dinding lateral hidung. Sinus frontalis terletak diatas orbit kearah garis tengah tulang
frontalis. Sinus frontalis cukup banyak dan merupakan bagian tulang ethmoidalis
yang memisahkan lingkaran hidung dan sinus sfeinoidalis berada didalam tulang

5
sfenoidalis. Semua sinus paranasalis dilapisi oleh membrane bermukosa dan semua
terbuka kedalam rongga nasal, dimana mereka dapat terinfeksi. Ductus
nasolacrimalis, dibawah concha inferior. Pada bagian belakang, cavum nasi
membuka kedalam nasofaring melalui appertura nasalis posterior.
(Snell, 2006)

6
FISIOLOGI

Hidung berfungsi sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar


dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki
epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga
macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi,
memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas
dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 %
-90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS.
Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2)
Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5)
Untuk resonansi suara, (6) Turut membantu proses bicara,(7) Reflek nasal.
(Guyton, 2007)

HISTOLOGI
Sistem pernapasan merupakan sistem yang berfungsi untuk mengabsorbsi
oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dalam tubuh yang bertujuan untuk
mempertahankan homeostasis. Fungsi ini disebut sebagai respirasi. Sistem
pernapasan dimulai dari rongga hidung/mulut hingga ke alveolus, di mana pada
alveolus terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida dengan pembuluh darah.
Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama:

7
1. Bagian konduksi, meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus,
bronkiolus dan bronkiolus terminalis
2. Bagian respirasi, meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveolus.

Saluran pernapasan, secara umum dibagi menjadi pars konduksi dan pars respirasi :

Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu epitel bertingkat
silindris bersilia dengan sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron dapat
dilihat ada 5 macam sel
epitel respirasi yaitu sel
silindris bersilia, sel goblet
mukosa, sel sikat (brush
cells), sel basal, dan sel
granul kecil.

8
Rongga hidung

Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di
sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam
vestibulum merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa
nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat
konka (superior, media, inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka
media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi
oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel
olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius
(neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan
bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan
neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada
lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel
olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya
vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara
yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk
lebih jauh.

9
Sinus paranasalis

Terdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus
sphenoid, semuanya berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-sinus
tersebut dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung sel goblet yang
lebih sedikit serta lamina propria yang mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil
mukus yang menyatu dengan periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke
rongga hidung.

(Eroschenko, 2010)

b. Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin dengan keluhan utama yang dihadapi?
Jawab:
Dalam hubungannya dengan jenis kelamin, jika rhinitis alergi terjadi pada masa
kanak-kanak maka laki-laki lebih tinggi dari pada wanita namun pada masa dewasa
prevalensinya sama antara laki-laki dan wanita. Dilihat dari segi onset rhinitis alergi
umumnya terjadai pada masa kanak-kanak, remaja da dewasa muda. Dilaporkan
bahwa rhinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada laki-laki terjadi

10
antara onset 8-11 tahun, namun demikian rhinitis alergi dapat terjadi pada semua
umur.
(Meltzer, 2005).

Usia : Gejala-gejalan dari Rhinitis alergi muncul sebelum usia dekade


keempat dan cenderung berkurang bertahap dengan pertambahan
umur.
Jenis kelamin : Rhinitis alergi pada semua jenis kelamin sama, kecuali pada umur
6-12th penderita lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.
(Ganung Harsono,dkk. 2007)

c. Apa penyebab keluhan bersin sejak 2 hari yang lalu?


Jawab:
1. Alergi ( debu,serbuk sari, bulu binatang)
2. Rangsangan benda asing
3. Bakteri
4. Cairan berlebih di hidung
5. Bahan – bahan kimia
6. Kelembapan lingkungan
7. Polusi udara
8. Suhu
(Davey, 2006)

d. Apa kemungkinan penyakit yang berkaitan dengan keluhan bersin-bersin, hidung


tersumbat dan keluar ingus encer?
Jawab:
Rinitis alergi dapat menyebabkan ketiga keluhan (bersin-bersin, hidung tersumbat,
dan keluar ingus encer) tersebut. Pada pasien yang mengalami sinusitis juga dapat
mengalami keluhan yang sama, namun terdapat mekanisme berbeda yang

11
menyebabkan masing-masing keluhan tersebut terjadi. Pada sinusitis, keluhan berupa
hidung tersumbat dapat terjadi akibat dorongan dan akumulasi cairan yang bersifat
radang pada sinus paranasalis. Pada pasien yang mengalami polip hidung juga dapat
ditemukan keluahan berupa hidung tersumbat akibat terbentuknya massa yang dapat
menutupi saluran pernafasan dalam hidung. Selain itu, rinitis juga memiliki tipe lain
selain alergi, yaitu rinitis vasomotor (memiliki keluhan yang sama dengan rinitis
alergi), namun pemicu atau etiologi penyakitnya yang berbeda.

e. Bagaimana mekanisme bersin-bersin, hidung tersumbat dan keluar ingus encer?


(secara umum)
Jawab:
Terpapar benda asing  mekanisme pertahanan tubuh non spesifik dengan bulu
hidung dan sel goblet  reaksi penyaringan pada hidung dan mukus meningkat
usaha pengeluaran benda asing  bersin dan ingus menjadi encer.

f. Apa makna keluhan (bersin-bersin, hidung tersumbat dan keluar ingus encer) sejak 2
hari yang lalu beserta mekanismenya?
Jawab:
Kumpulan keluhan tersebut dapat dimaknai sebagai terjadinya alergi yang berulang
sejak 2 hari yang lalu begitu terpapar alergen.

Mekanisme bersin-bersin:
Terpapar alergen yang sama  IgE mengikat alergen spesifik  degranulasi
sel mast dan basophil  mediator dilepaskan (histamine,PGD2, LTD4, LTC4,
bradikinin, PAF, GMCSF, IL-3, IL-4, IL5, IL-6)  histamine merangsang reseptor
pada ujung saraf vidianus  timbul rasa gatal di hidung  bersin-bersin

12
Mekanisme hidung tersumbat
Allergen menempel pada mukosa hidung →allergen ditangkap makrofag/
monosit yang berperan sebagai APC dan diproses →APC melepaskan sitokin seperti
IL-1 yang mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th-1 dan Th-2 →Th-2
menhgasilkan sitokin IL-3,IL-4,IL-5 dan IL-13 →IL-4 dan IL-13 diikat reseptor
dipermukaan sel limfosit B→ sel limfosit B menjadi aktif dan menhasilkan IgE
→IgE diikat reseptor dipermukaan sel mast/basofil (sel mediator) sehingga menjadi
aktif →sel mediator tersensitisasi(bila mucus sudah tersensitisasi terpapar allergen)
→rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil akibat terlepasnya mediatoe kimia yang sudah
terbentuk terutama“histamine” →selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed
mediator “Prostaglandin D2, Leukotrien D4,C4,E4, bradikinin, platelet activating
factor, sitokin dll→mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil
berikatan dengan reseptor berada diujung saraf, endotel pembuluh darah dan kelenjar
dimukosa hidung →Vaodilatasi sinusoid →hidung tersumbat (Soepardi E, Iskandar
N.2004).

Mekanisme Keluar ingus encer


Allergen menempel pada mukosa hidung →allergen ditangkap makrofag/
monosit yang berperan sebagai APC dan diproses→ APC melepaskan sitokin seperti
IL-1 yang mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th-1 dan Th-2 →Th-2
menhgasilkan sitokin IL-3,IL-4,IL-5 dan IL-13 →IL-4 dan IL-13 diikat reseptor
dipermukaan sel limfosit B→ sel limfosit B menjadi aktif dan menhasilkan IgE
→IgE diikat reseptor dipermukaan sel mast/basofil (sel mediator) sehingga menjadi
aktif →sel mediator tersensitisasi(bila mucus sudah tersensitisasi terpapar allergen)
→rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) sel mast dan basofil akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk terutama“histamine” →selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed
mediator “Prostaglandin D2, Leukotrien D4,C4,E4, bradikinin, platelet activating

13
factor, sitokin dll→mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil
berikatan dengan reseptor berada diujung saraf, endotel pembuluh darah dan kelenjar
dimukosa hidung →kelenjar mukosa dan sel goblet mengelami hipersekresi
→rinore (Keluar ingus encer)
(Soepardi, 2004), (Oliver, 2009).

2. Ny. Susi juga mengeluh matanya gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar. Pasien juga mengeluhkan susah tidur.
a. Apa kemungkinan penyebab dari keluhan tambahan berupa (matanya gatal, yang
disertai dengan banyak air mata keluar dan juga mengeluh susah tidur)?
Jawab:
Penyebab timbulnya keluhan berupa mata gatal disetai dengan banyaknya air mata
yang keluar karena Ny. Susi mengalami konjungtivitis alergi akibat alergen tertentu
(inhalan, ingestan, injektan, dll).
Keluhan tersebut merupakan salah satu bentuk respon imun spesifik
terhadap suatu antigen yang disebut alergen, di mana alergen tersebut akan terikat
pada IgE dipermukaan sel mast, dan menginduksi suatu respon akut yang
diperantarai sel mast.Pajanan alergen pada konjungtiva akan mengakibatkan alergen
tersebutditangkap oleh IgE yang ada di permukaan sel mast. Hal ini akan
mengakibatkandegranulasi sel mast, sehingga sel mast mengeluarkan mediator-
mediator yangakan mengakibatkan gejala seperti gatal, mata merah berair, dan
bengkak, namun tidak sakit. Tahap ini disebut reaksi fase cepat. Setelah itu akan
terjadi reaksi fase lambat setelah 4-24 jam, yang ditandai dengan infiltrasi eosinofil,
neutrofil,limfosit, dan makrofag.8,9 Pada reaksi fase lambat ini, infiltrasi leukosit
yangdominan pada jaringan konjungtiva adalah eosinofil dan neutrophil.

Akibat dari pelepasan mediator yang mempengaruhi lakrimasi pada mata


sehingga menyebabkan keluarnya air mata dan mata terasa gatal.

14
b. Apa hubungan keluhan utama dengan mata gatal disertai banyak air mata dan susah
tidur?
Jawab:
Hubungan keluhan mata gatal disertai banyak air mata dan tidur adalah berasal dari
etiologi yang sama. Keluhan mata gatal disertai banyak air mata dan susah tidur
merupakan manifestasi klinis dari penyakit Rinitis Alergi.
Adapun manifestasi klinis dari rinitis alergi adalah:
1. Bersin
Bersin disebabkan oleh iritasi histamin pada saraf sensorik (trigeminus) di
mukosa hidung yang ditransmisikan ke pusat bersin di medulla oblongata. Efek
iritan dari histamin pada saraf sensorik dibangkitkan oleh alergi dan
menyebabkan bersin .
2. Pembengkakan mukosa hidung
Pembengkakan mukosa hidung disebabkan oleh edema pada mukosa hidung
akibat kebocoran plasma dan kongesti pembuluh darah mukosa. Aksi langsung
oleh mediator inflamasi seperti histamin, PAF, prostaglandin D2, kinin, dan
secara spesifik, eosinofil, memegang peranan penting pada pembengkakan
mukosa hidung yang diobservasi pada fase akhir. Fase awal rinitis alergi
disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi tipe 1 IgE. Lalu, sel inflamasi yang
menginfiltrasi menyebabkan fase akhir. Iritasi antigen yang berlangsung terus
menerus menyebabkan lesi kronik
3. Rasa gatal pada hidung dan mata, disertai keluarnya air mata
4. Watery Rhinorrhea
Iritasi saraf sensorik pada mukosa hidung menyebabkan eksitasi saraf
parasimpatis, dan menyebabkan refleks bersin. Hal ini memicu pelepasan
asetilkolin oleh saraf parasimpatis. Histamin bertindak langsung pada pembuluh
darah mukosa hidung dan menyebabkan kebocoran plasma.
(Okubo et al, 2011)

15
Sedangkan keluhan susah tidur merupakan tanda bahwa Rhinitis Alergi yang diderita
berada pada fase sedang-berat.
Greiner, Hellings, Ratiroti, et al. (2011) menyebutkan bahwa klasifikasi rinitis
alergi berdasarkan ARIA (2001) ditentukan berdasarkan frekuensi terjadinya gejala
dan HRQL pasien:

Gambar 2.2 Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan ARIA (2001)


(Greiner et al, 2011)

c. Apa makna keluhan penyerta (matanya gatal, kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar)?
Jawab:
Pajanan alergen pada konjungtiva akan mengakibatkan alergen tersebut
ditangkap oleh IgE yang ada di permukaan sel mast. Hal ini akan mengakibatkan
degranulasi sel mast, sehingga sel mast mengeluarkan mediator-mediator yang akan
mengakibatkan gejala seperti mata gatal , kadang-kadang disertai dengan air mata
keluar. Akibat dari pelepasan mediator menyebabkan mempengaruhi kelenjar
lakrimasi pada mata sehingga menyebabkan keluarnya air mata dan mata terasa gatal.

16
Kemungkinan gangguannya meluas sampai saluran nasolakrimalis yang
mengakibatkan sumbatan pada saluran tersebut sehingga terkadang air mata Ny. Susi
banyak keluar. Histamin kemungkinan juga berperan dalam timbullnya rasa gatal
pada mata Ny. Susi.

Klasifikasi rhinitis berdasarkan berat gejala :

1. ringan, jika tidak terdapat gangguan seperti :


 gangguan tidur
 gangguan aktivitas harian
 gangguan pekerjaan/sekolah
2. Sedang-berat, jika terdapat gangguan seperti :
 gangguan tidur
 gangguan aktivitas harian
 gangguan pekerjaan/sekolah

Pada kasus berarti sudah termasuk ke klasifikasi sedang-berat karena terdapat


gangguan susah tidur.

d. Bagaimana menkanisme mata gatal disertai banyak keluarnya air mata?


Jawab:
Mata gatal-gatal
Faktor resiko  kontak pertama dengan allergen  makrofag atau monosit
menangkap allergen di mukosa hidung  sel limfoit B aktif  menghasilkan Ig E
 menyebar secara hematogen  masuk ke jaringan  Ig E diikat oleh basofil atau
monosit  basofil menjadi aktif  menghasilkan mediator yang sudah tersensitisasi
 Ig E mengiket allergen menjadi degranulasi  mediator kimia (histamine)
dilepaskan  mata gatal-gatal

17
Telah terjadi konjungtivitis alergi yang merupakan manifestasi respon imun
spesifik terhadap allergen dimana allergen tersebut akan terikat pada IgE
dipermukaan sel mast pada konjungtiva sehingga akan mengeluarkan mediator-
mediator yang mengakibatkan mata gatal dan banyak air mata keluar (Irawati, 2008).

Terpajan alergen  memicu pengeluaran mediator-mediator kimia yaitu


histamin (H1)   permeabilitas vaskuler  edema mukosa  buntunya ductus
nasolacrimalis yang mengubungkan hidung dan kelenjar air mata (dekat concha,
karena banyak muara saluran-saluran  aliran air mata yang ingin masuk ke rongga
hidung tidak bisa  banyak air mata keluar.

3. Ny. Susi juga mengatakan setiap kali mengkonsumsi udang dan terkena debu
langsung mengeluh bersin-bersin dan keluar ingus encer. Keluhan ini dirasakan
Ny. Susi sejak umur 5 tahun. Ayah Ny. Susi juga memiliki keluhan yang sama.
a. Apa makna setiap kali mengkonsumsi udang dan terkena debu langsung mengeluh
bersin-bersin dan keluar ingus encer?
Jawab:
Maknanya Ny. Susi menderita rhinitis alergi perennial yang gejalanya timbul
intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim. Penyebabnya adalah udang yang
merupakan kategori alergen ingestan karena masuk ke saluran cerna dan debu yang
merupakan alergen inhalan yang masuk dengan saluran pernapasan.
(Soepardi, 2012)

b. bagaimana imunopatofisiologi dari keadaan tersebut?


Jawab:
Adanya alergen  alergen menempel pada mukosa hidung → alergen
ditangkap oleh makrofag/ monosit yang berperan sebagai APC → alergen
membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan HLA (Human Leucocyte
antigen) kelas II  kompleks peptda MHC (Major Histocompability Complex) kelas
II  antigen di presentasikan ke sel T helper naif (Th0) APC melepaskan sitokin

18
(IL-1) aktifasi Th0  Th0 berproliferasi menjadi Th-1 dan Th-2 →Th-2
menghasilkan sitokin (IL-3,IL-4,IL-5 dan IL-13) → IL-4 dan IL-13 berikatan dengan
reseptor dipermukaan sel limfosit B→ aktivasi sel limfosit B  sel limfosit B
memproduksi IgE →IgE bersirkulasi di darah dan masuk ke jaringan IgE
berikatan dengan reseptornya dipermukaan sel mast/basofil (sel mediator)  aktivasi
sel mast/basofil→ terbentuk sel mediator yang tersensitisasi mucosa tersensitisasi
(terpapar allergen yang sama)→rantai IgE akan mengikat allergen spesifik 
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil pelepasan mediator kimia
preformed mediator (terutama “histamine”, selain histamine juga dikeluarkan newly
Formed mediator “Prostaglandin D2, Leukotrien D4,C4,E4, bradikinin, platelet
activating factor, sitokin dll→mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
basofil berikatan dengan reseptor H1 diujung saraf vidianus, vasodilatasi sinusoid,
hipersekresi kelenjar dimukosa dan sel goblet serta ↑ permeabilitas kapiler bersin-
bersin, ingus encer.
(Irawati dkk, 2014)

19
(Okubo et al, 2011)
c. Apa makna keluhan dirasakan Ny. Susi sejak umurnya 5 tahun?
Jawab:
Maknanya yaitu, keluhan yang dirasakan (bersin-bersin dan keluar ingus encer)
merupakan manifestasi klinis yang timbul akibat dari pajanan ke dua kalinya
terhadap alergen yang sama. Sebelum usianya menginjak 5 tahun, Ny. Susi pernah
terpajan alergen inhalan (debu) dan alergen ingestan (udang) yang menimbulkan
reaksi hipersensitivitas.
Manifestasi ini timbul diusianya yang menginjak 5 tahun dimungkinkan sebelumnya
pajanan tersebut masih dapat terkompensasi oleh pertahanan fisiknya berupa batuk
dan bersin saja.

20
d. Bagaimana hubungan keluhan utama yang dialami Ny. Susi dengan riwayat ayahnya
memiliki keluhan yang sama?
Jawab:
Penelitian menyebutkan bahwa kelompok anak dengan gangguan alergi pada
usia kurang dari 3 tahun yang menetap mempunyai predisposisi ibu atopi (asma,
rinitis alergi, dan dermatitis atopik). Penelitian Shah dan Bavat menyebutkan bahwa
peningkatan kadar IgE total pada tali pusat merupakan faktor risiko terjadinya alergi
pada anak usia 1 tahun.
Penelitian di Tasmania didapatkan hubungan yang signifikan antara asma
dengan riwayat alergi dalam keluarga dengan lebih dari 1 mayor gen yang sama.
Penelitian Moffat menyebutkan hubungan kromosom 11q dalam kehamilan sebagai
phenotype terhadap IgE spesifik dan IgE total.
Atopi adalah kecendrungan genetik untuk memproduksi IgE antobodi terpapar
alergen. Suatu studi epidemiologi keluarga menyokong kejadian alergi, bahwa faktor
genetik berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu keluarga memiliki penyakit
alergi, maka 25-40% anak akan menderita alergi. Bila kedua orang tua memiliki
riwayat alergi, maka risiko pada anak adalah 50-70%. Meskipun demikian, faktor
genetik bukanlah satu-satunya faktor risiko tentang kejadian alergi, melainkan ada
faktor lainnya.
(Spergel dan Schneider, 1999; Won Oh dkk., 2007)

e. Zat apa / kandungan apa yang terdapat dalam udang sehingga menimbulkan reaksi
alergi pada kasus ini?
Jawab:
Udang termasuk golongan crustacea, golongan crustacea terdiri dari lobster,
kepiting, udang, dan kerang. Udang mengandung beberapa alergen. Antigen II
dianggap sebagai alergen utama. otot udang mengandung glikoprotein otot yang

21
mengandung tropomiosin. Tropomiosin juga dapat menyebabkan reaksi silang antara
crustacea.
Histamin merupakan senyawa turunan asam amino histidin yang banyak
terdapat pada ikan dan seafood.Hampir semua ikan dan seafood mengandung
histamine.Udang mengandung banyak histamine. Histamin akan merangsang
reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung
dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin
merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa
hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
(Sudoyo dkk, 2012)

f. Bagaimana tipe reaksi alergi/hipersensitivitas dan bagaimana mekanismenya?


Jawab:
Hipersensitivitas tipe I
Hipersensitivitas tipe I atau disebut juga dengan reaksi cepat, reaksi alergi atau
reaksi anafilaksis ini merupakan respon jaringan yang terjadi akibat adanya ikatan
silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring,
jaringan bronkopulmonasi, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat
menimbulkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga
kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun
terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Berikut
mekanisme umum dari reaksi tersebut :

a. Alergen berkaitan silang dengan IgE


b. Sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan mediator kimiawi lainnya
c. Timbul manifestasi

22
Manifestasi yang dapat ditimbulkan dari reaksi ini adalah berupa anafilaksis,
urtikaria, asma bronchial, atau dermatitis. Uji diagnortik yang dapat digunakan untuk
mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan atau intradermal) dan
ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen
(penyebab alergi) yang dicurigai.

Hipersensitivitas tipe II

Hipersensitivitas tipe II disebabkan oleh antibodi yang berupa Imunoglobulin


G (IgG) dan Imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan
matriks rkstraseluler. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi sitotoksik atua
reaksi sitolitik. Kerusakan yang ditimbulkan akan terbatas atau spesifik pada sel
atauu jaringan yang secara langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada
umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan
bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel. Hipersensitivitas
dapat melibatkan reaksi komplemen atau reaksi silang yang berkaitan dengan
antibodi sel, sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe
dari hipersensitivitas tipe II yaitu sebagai berikut :

a. Pemfigus , IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler diantara sel epidermal


b. Anemia Hemolitik Autoimun, dipicu oleh obat-obatan seperti pensilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berkaitan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah
c. Sindrom Goodpasture, IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus,
sehingga menyebabkan kerusakan pada ginjal

Mekanisme singkat dari reaksi hipersensitivitas tipe II adalah sebagai berikut :

 IgG dan IgM berikatan dengan antigen di permukaan sel

23
 Fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen, ADCC dan atua
antibodi
 Pengeluaran mediator kimiawi
 Timbul manifestasi (anemia hemolitik autoimun, eritoblastosis fetalis, sindrom
Good Pasture atau pemvigus vulgaris)

Hipersensitivitas tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitsa kompleks imun. Hal ini


disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut
dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada
kondisi normal, komleks antigen-anibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan
seimbang akan dibersihkan dengan adanya dagosit. Namun terkadang kehadiran
bakteri, virus, lingkungan anatu antigen seperti spora fungi, bahan sayuran, dan
hewan yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi
terhadap senyawa asing tersebut, sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-
antibodi secara terus menerus. Pengendapan antigen-antibodi tersebut akan
menyebar pada membran sekresi aktif dan didalam saluran kecil, sehingga dapat
memengaruhi beberapa organ seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam
bagian koroid pleksus otak. Secara umum, mekanisme reaksi tipe III ini adalah :

 Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit difagosit


 Mengaktifkan komplemen
 Menarik perhatian Neutrofil
 Pelepasan enzim lisosom
 Pengeluaran mediator kimiawi
 Timbul manifestasi, seperti reaksi Arthus, serum sickness, LES, AR,
Glomerulonefritis, dan penumonitis

Hipersensitivitas tipe IV

24
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel
atau tipe lambat (delay-tipe). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan
oleh sel T dan makrofag. Dalam reaksi ini membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis. Reaksi ini dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti Tuberkulin, reaksi
inflamasi granulosa, dan reaksi penolakan transplant. Mekanisme reaksi ini secara
umum adalah sebagai berikut :

 Limfosit T tersensitasi
 Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik yang diperantarai oleh sel
T langsung
 Timbul menifestasi (tuberkulosis, dermatitis kontak, dan reaksi penolakan
transplant).

g. Apabila dihubungkan, termasuk tipe reaksi apa pada kasus ini?


Jawab:
Pada kasus ini, rinitis alergi termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe I.

4. Pemeriksaan fisik: Keadaan umum: tampak sakit sedang, compos mentis


Vital sign : TD : 110/70 mmHg, N: 90x/menit reguler, isi dan tegangan cukup, RR:
26x/menit T: 37,0o C
Wajah : terdapat garis kehitaman pada kulit di bawah palpebra inferior
a. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik?
Jawab:

25
Pemeriksaan Kategori Interpretasi
Keadaan umum Tampak sakit sedang Abnormal
Compos mentis Kesadaran optimal
TD 110/70mmHg Normal
Nadi 90x/menit Normal
RR 26x/menit Takipnea

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan fisik?


Jawab:
Takipnea
Faktor resiko  kontak pertama dengan allergen  makrofag atau monosit
menangkap allergen di mukosa hidung  sel limfoit B aktif  menghasilkan Ig
E  menyebar secara hematogen  masuk ke jaringan  Ig E diikat oleh
basofil atau monosit  basofil menjadi aktif  menghasilkan mediator yang
sudah tersensitisasi  Ig E mengiket allergen menjadi degranulasi  mediator
kimia (histamine) dilepaskan  merangsang reseptor H1 pada ujung saraf
vidianus  ke kelenjar mukosa dan sel goblet  terjadi hipersekresi dan
hipermeabilitas kapiler meningkat  sekresi yang berlebihan dari hidung 
rinore (keluar ingus)  hidung tersumbat  kompensasi tubuh untuk memenuhi
kebutuhan O2 di jaringan  takipnea (Soepardi E, 2004).

Allergic Shiners (garis kehitaman pada kulit di bawah palpebra inferior)

Gambaran allergic shiners

26
Faktor resiko  kontak pertama dengan allergen  makrofag atau monosit
menangkap allergen di mukosa hidung  sel limfoit B aktif  menghasilkan Ig
E  menyebar secara hematogen  masuk ke jaringan  Ig E diikat oleh
basofil atau monosit  basofil menjadi aktif  menghasilkan mediator yang
sudah tersensitisasi  Ig E mengiket allergen menjadi degranulasi  mediator
kimia (histamine) dilepaskan  merangsang reseptor H1 pada ujung saraf
vidianus  ke kelenjar mukosa dan sel goblet  terjadi hipersekresi dan
hipermeabilitas kapiler meningkat  sekresi yang berlebihan dari hidung 
rinore (keluar ingus)  hidung tersumbat  vasodilatasi sinusoid hidung
tersumbat, statis vena sekunder  bayangan gelap di daerah bawah mata
(Soepardi E, 2004).

5. Status THT:
- telinga : membrana timpani utuh, refleks cahaya +/+
- hidung : cavum nasi sempit, sekret (+/+) berwarna putih, konka hipertrofi
berwarna livid (pucat), massa (-)
- tenggorokan : arcus faring simetris, uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang, dinding
faring posterior tampak kemerahan.
a. Apa interpretasi dari hasil status THT?
Jawab:
Telinga membrana timpani utuh, Normal
refleks cahaya +/+
Hidung cavum nasi sempit, sekret Abnormal
(+/+) berwarna putih, konka (berkurangnya diamater
hipertofi berwarna livid lubang hidung akibat
(pucat), massa (-) hipertropi konka)
Tenggorokkan Arcus faring simetris, uvula dinding faring posterior
ditengah, tonsil T1-T1 tampak kemerahan =

27
tenang, dinding faring Abnormal (akibat
posterior tampak peradangan)
kemerahan.

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil status THT?


Jawab:
- Paparan allergen  menghasilkan Ig E  menyebar secara hematogen  masuk
ke jaringan  Ig E diikat oleh basofil atau monosit  basofil menjadi aktif 
menghasilkan mediator yang sudah tersensitisasi  Ig E mengiket allergen
menjadi degranulasi  mediator kimia (histamine) dilepaskan  kelenjar mukosa
dan sel goblet mengelami hipersekresi → rinore  ketika inhalasi
mikropartikel/bakteri terakumulasi pada ingus di cavum nasi (sekret (+)) 
inflamasi dinding cavum nasi  hipertropi konka  cavum nasi sempit
- Postnasal drip (refleks menelan)  melalui faring  peradangan dinding faring
 inflamasi (rubor)
(Soepardi E, Iskandar N.2004).

6. Bagaimana cara mendiagnosis?


Jawab:
Anamneses : Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien. Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul,
menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi
karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis

28
alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan.
Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau
lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan
mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata
merah serta berair maka dinyatakan positif

Pemeriksaan Fisik : Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan
juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi
bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering
digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada
pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna
pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan
banyak.Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung
yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.Selain itu, dapat
pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media

(Irawati, 2008)

29
Gambaran allergic
shiner

Gambaran allergic salute (menyebabkan) Gambaran allergic crease

7. Apa diagnosis banding pada kasus ini?


Jawab:
Rhinitis Rhinitis Sinusitis akut
Alergi Vasomotor
Bersin + + +
Watery rhinorrhea + + +

30
Hidung tersumbat + + +
Rasa gatal pada hidung + - +/-
Gatal pada mata disertai + - +
keluarnya air mata (Gatal di bawah
mata)
Dipicu stressor dari luar + - -
(makanan, debu, udara)
Garis kehitaman pada + - -
kulit di bawah palpebra
inferior

8. Apa pemeriksaan penunjang pada kasus ini?


Jawab:
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent Assay Test).Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat
memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil
(5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002)
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET

31
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
1. Uji kulit cukit (Skin Prick Test) untuk mengetahui jenis allergen
2. IgE serum total, kadarnya meningkat 60% pada rhinitis alergi
3. IgE serum spesifik
4. Pemeriksaan sitologis/histologist
5. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test)
6. Foto polos sinus paranasal /CT scan / MRI

(Sudoyo, 2012)

9. Apa diagnosis pasti pada kasus ini?


Jawab:
Rhinitis alergic intermitten derajat sedang-berat

10. Bagaimana tatalaksana pada kasus ini?


Jawab:
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (Avoidance) dan eliminasi
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antar-agonis histamine H1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preprat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1
(klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1bersifat lipofilik
sehingga dapat menembus darah sawar otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah
difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat
diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin genersi-2 bersifat lipofobik,

32
sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1
perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadreergik dan efek pada SSP
minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsopsi secara oral dengan cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperi rinore, bersin, gatal,
tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obatruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non-sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya.
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek
kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung
yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan
kematian mendadak. Kelompok kedua adalahloradatin, setirisin, fexofenadin,
disloratadin dan levosetirisin.
Preparat simptomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberpa hari sah=ja untuk
menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason
furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukos hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktivitas limfosit mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon fase
cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan
mastosit(mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat.
Pada respon fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil, dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai
bila diberikan sebagai profilaksis.

33
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sek
efektor.
Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti laukotrien (zafirlukast/
monotelukast), anti IgE, DNA rekombian.

3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti
atau multi outfractured, inferior tubinoplasty perlu diperkirakan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3
25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Cara penobatan ini dilakukan ada alergi inhalan dengan gelaja yang berat dan
sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE, Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal
dan sub lingual.
( Soepardi E, Iskandar N.2007)

11. Apa komplikasi pada kasus ini?


Jawab:
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak


3. Rinosinusitis
(Irawati dkk, 2008)

12. Bagaimana prognosis pada kasus ini?

34
Jawab:
Dubia et bonam

13. Bagaimana KDU pada kasus ini?


Jawab:
Pada kasus Rhinitis allerguca tingkat kemampuan yang harus dicapai adalah tingkat
kemampuan 4.
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri
dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus
dokter (Konsil Kedokteran, 2012).

14. Bagaimana nilai nilai Islam (NNI) pada kasus ini?


Jawab:
”Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh-penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk
dan rahmat bagi orang-orangnya yang beriman” (QS:Yunus 57)

2.6 Kesimpulan
Ny. Susi, 25 tahun mengalami bersin-bersin, hidung tersumbat, dan rhinorea serta keluhan
sulit tidur et causa rhinitis alergic intermitten derajat sedang-berat.

35
2.7 kerangka konsep

Faktor Risiko alergen inhalan (debu) dan


alergen ingestan (udang)

Hipersensitivitas tipe I (IgE)

Alergi

Rhinitis alergic intermitten derajat sedang- berat

Sulit Tidur Bersin-bersin Hidung tersumbat Keluar ingus encer

DAFTAR PUSTAKA

Davey,Patrick.2006.At a Glance Medicine.Jakarta : Penerbit Erlangga.

36
Eroschenko, Vicror P. 2010. Atlas Histologi di Fiore. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC

Ganung Harsono,dkk. 2007. Faktor yang Menjadi Risiko pada Anak dengan Rinitis Alergi
di RSU dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Greiner, N.A., Hellings, P.W., Ratiroti, G., and Scadding, G.K. 2011. Allergic Rhinitis.
Lancet 2011;378:2112-22. Tersedia
di:http://search.proquest.com/docview/913119285/ fulltextPDF?accountid=50257
[Diakses 6 Juli 2015]

Guyton &. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 11. Jakarta: EGC.
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI,

Irawati, Nina. dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala
dan Leher Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Meltzer E. Quality of life in patients with Allergic rhinitis. And Allergy Asthma
Immunology. Nov 2000;85(5):338-47; quiz 347- 348. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/134825-overviewURL [Accessed 6 Juli
2015].

Okubo, K. et al. 2011. Japanese Guideline for Allergic Rhinitis. Allergolint. 2011;60:171-
189. Tersedia di: http://ai.jsaweb.jp/pdf/060020171.pdf. [Diakses 6 Juli 2015]

Snell, R. S., 2006. Anatomi Klinik. Ed. 6. Jakarta: EGC


Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Jakarta : FKUI
Soepardi, E. & Iskandar, N. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi 6. Jakarta : FKUI.
128-133.
Spergel dan Schneider, 1999; Won Oh dkk., 2007. Pengarauh Genetik Terhadap Riwayat
Atopi Alergi Keluarga.

37
Sudiro, Melati. Dkk. 2010. Jurnal Majalah Kedokteran Bandung Volume 42 No.1 :
Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. Tersedia di:
http:// journal.fk.unpad.ac.id/index.php/mkb/article/view/2/2
Sudoyo, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FKUI

38

Anda mungkin juga menyukai