Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri

berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan

Republik Indonesia.

Penerapan kebijakan desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah

Indonesia sebagai salah satu upaya pendekatan regional untuk mengurangi tingkat

ketimpangan pembangunan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi . dengan

adanya desentralisasi maka muncullah otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak,

wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. kebijakan tersebut dituangkan dalam UU no 22

Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian diperbaharui dengan UU

no 34 Tahun 2004.dan Peraturan pemerintah no 129 Tahun 2000 Tentang

Pemekaran Daerah.

Sejak pelaksanaan otonomi daerah Hingga tahun 2014, di Indonesia telah

terbentuk 223 Daerah Otonom Baru (DOB) yang terdiri dari Provinsi, Kabupaten

dan Kota (Direktorat Otonomi Daerah Kemendagri, 2014). Untuk melihat

1
perkembangan pembentukan Daerah Otonom Baru di Indonesia pada tahun 1999

sampai dengan tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 1.1

Tabel 1.1
Perkembangan Pembentukan DOB Di Indonesia Tahun 1999-2014
Jumlah Daerah Otonom Baru
No Provinsi
Provinsi Kabupaten Kota Total
1 NAD 0 10 3 13
2 Sumatera Utara 0 12 2 14
3 Sumatera Barat 0 4 1 5
4 Riau 0 6 1 7
5 Jambi 0 4 1 5
6 Sumatera Selatan 0 7 3 10
7 Bengkulu 0 6 0 6
8 Lampung 0 7 1 8
9 Kepulauan Bangka Belitung 1 4 0 5
10 Kepulauan Riau 1 4 2 7
11 DKI Jakarta 0 0 0 0
12 Jawa Barat 0 2 4 6
13 Jawa Tengah 0 0 0 0
14 Banten 1 0 3 4
15 Jawa Timur 0 0 1 1
16 DI Yogyakarta 0 0 0 0
17 Bali 0 0 0 0
18 NTB 0 2 1 3
19 NTT 0 9 0 9
20 Kalimantan Barat 0 6 1 7
21 Kalimantan Tengah 0 8 0 8
22 Kalimantan Selatan 0 2 1 3
23 Kalimantan Timur 0 4 1 5
24 Kalimantan Utara 1 3 0 4
25 Sulawesi Utara 0 8 2 10
26 Sulawesi Tengah 0 8 0 8
27 Sulawesi Selatan 0 3 1 4
28 Sulawesi Tenggara 0 11 1 12
29 Gorontalo 1 4 0 5
30 Sulawesi Barat 1 3 0 4
31 Maluku 0 7 1 8
32 Maluku Utara 1 6 2 9
33 Papua 0 22 0 22
34 Papua Barat 1 9 1 11
Total 8 181 34 223
Sumber: Direktorat Otonomi Daerah Kemendagri

2
namun sejak 2015 hingga saat ini pemerintah memberlakukan moratorium

DOB walaupun sudah ada 314 berkas usulan DOB yang sudah diserahkan ke

kemendagri. Hasil evaluasi kemendagri menunjukkan hanya 22 persen yang

berhasil, sisanya 78 persen daerah pemekaran gagal mencapai tujuan awal

menyejahterakan rakyat. Pembentukan daerah otonom baru umumnya hanya

menguntungkan segelintir elite lokal. Kegagalan dalam pemekaran daerah tersebut

dijadikan salah satu pertimbangan pemerintah melakukan moratorium (Tenrini,

2013). Gagalnya tercapai tujuan dari pemekaran daerah pada akhirnya akan

menghambat pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.

Permasalahan yang sering muncul dari pemekaran daerah ini adalah

perbedaan hasil pembangunan baik secara ekonomi maupun non-ekonomi antara

satu DOB dengan DOB lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan potensi

daerah, kualitas pemerintah dalam menata kelola ekonomi daerah, keterlibatan

stakeholder dalam aktivitas ekonomi, sumber daya alam, sumber daya manusia dan

latar belakang.

Setiap daerah memiliki potensi yang berbeda, potensi ini baik berupa

sumber daya alam dan non sumber daya alam. Daerah yang memiliki potensi

berlimpah akan relatif diuntungkan karena memiliki kesempatan untuk lebih

memanfaatkan potensi tersebut untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi

masyarakat. Namun potensi tersebut akan sia-sia jika pemerintah daerah tidak

mampu mengelola dan menciptakan kebijakan-kebijakan inovatif untuk

meningkatkan perekonomian daerahnya. Daerah tersebut akan semakin terpuruk

3
apabila pemerintah daerahnya hanya mengandalkan dana perimbangan Pemerintah

Pusat dan cara-cara lama membangun ekonomi. Keterlibatan masyarakat daerah,

pengusaha domestic dan investor asing akan meningkatkan pembangunan ekonomi

daerah. Untuk itu, pemerintah daerah harus menciptakan iklim yang kondusif bagi

investor agar investasi ke daerah semakin meningkat. Selain itu sumber daya

manusia juga sangat mempengaruhi perkembangan suatu daerah. Kualitas

masyarakat yang baik tentu akan menjadi modal dasar bagi keberhasilan

pembangunan, sebaliknya jika kualitas SDM rendah maka akan menjadi

penghambat pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mampu

mengelola SDM yang dimiliki sehingga berdaya guna dan membantu keberhasilan

pembangunan suatu daerah.

Bagi daerah yang tidak mampu menciptakan kondisi tersebut, kesempatan

daerahnya untuk membangun perekonomian tentu akan terhambat dibandingkan

dengan daerah lain yang secara progresif membangun keempat unsur diatas.

Perbedaan kondisi inilah yang akan melahirkan perbedaan kondisi ekonomi antara

satu daerah dengan daerah lainnya dan memunculkan fenomena “ketimpangan

pembangunan”.

Provinsi aceh merupakan provinsi ketiga dengan jumlah DOB terbanyak

(1999-2014) setelah Provinsi Papua dan Sumatera Utara dengan jumlah DOB 13

Kabupaten/ Kota.

Adapun Daerah Otonom Baru yang terbentuk di provinsi Aceh sejak tahun

2014 dapat dilihat pada table 1.2

4
Tabel 1.2
Pembentukan DOB di Provinsi Aceh Tahun 1999-2007
DAERAH OTONOM
DAERAH INDUK (DI) UU
No BARU (DOB) TANGGAL
Kab/Kota PEMBENTUKAN
Kab/Kota
1 Aceh Singkil Aceh Selatan No 14 thn 1999 20-04-1999
2 Bireun Aceh Utara No 48 thn 1999 04-10-1999
3 Simeulue Aceh Barat No 48 thn 1999 04-10-1999
4 Lhokseumawe Aceh Utara No 2 thn 2001 21-06-2001
5 Langsa Aceh Timur No 3 thn 2001 21-06-2001
6 Aceh Barat Daya Aceh Selatan No 4 thn 2002 10-04-2002
7 Aceh Tamiang Aceh Timur No 4 thn 2002 10-04-2002
8 Aceh Jaya Aceh Barat No 4 thn 2002 10-04-2002
9 Gayo Lues Aceh Tenggara No 4 thn 2002 10-04-2002
10 Nagan Raya Aceh Barat No 4 thn 2002 10-04-2002
11 Bener Meriah Aceh Tengah No 41 thn 2003 18-12-2003
12 Pidie Jaya Pidie No 7 thn 2007 02-01-2007
13 Subulussalam Aceh Singkil No 8 thn 2007 02-01-2007

Sumber: Direktorat Otonomi Daerah Kemendagri

Kabupaten/Kota yang merupakan hasil pemekaran daerah ini memiliki

banyak pekerjaan rumah untuk membangun daerahnya baik dari segi ekonomi yang

dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi agar dapat mengejar ketertinggalan

pembangunan dari daerah induk dan daerah tetangga agar ketimpangan

pembangunan yang terjadi dapat diperkecil. Jika dilihat dari Laju PDRB,

pertumbuhan ekonomi Kabupaten/ Kota yang merupakan DOB hasilnya sangat

fluktuatif, seperti yang terlihat pada grafik di bawah ini.

5
Laju Pertumbuhan Ekonomi
15

10

0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
-5

-10

-15

-20

-25

Aceh Singkil Subulussalam Aceh Barat Daya


aceh jaya aceh tamiang bener meriah
Bireun Gayo Lues Langsa
Lhokseumawe Nagan Raya Pidie Jaya
Simeulue Aceh

Sumber: Data BPS diolah


Gambar 1.1
Laju Pertumbuhan Ekonomi DOB (Pembentukan Thun 1999-2007) dan
Prov. Aceh atas Harga Konstan Tahun 2008-2017

Dari gambar 1.1 yang tersaji diatas, terlihat laju PDRB Kabupaten/Kota

hasil pemekaran kecuali Kota Lhokseumawe dan Provinsi Aceh memiliki trend

positif, walaupun nilainya masih fluktuatif. Kota lhokseumawe hampir setiap tahun

mengalami penurunan nilai PDRB. Laju positif hanya terjadi pada tahun 2012

dengan laju 1.93% dan pada tahun 2017 dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar

2.06 %. Penurunan persentase PDRB tertinggi di Kota Lhokseumawe terjadi pada

tahun 2015 dengan nilai -20.34. penurunan laju PDRB ini disebabkan oleh factor

migas, penurunan produksi migas di kota ini menyembabkan pertumbuhan

ekonominya menjadi turun. Provinsi Aceh mengalami peningkatan dan penurunan

6
laju perekonomian yang signifikan, bahkan lajunya bernilai negatif. Pada tahun

2008 laju PDRB Provinsi Aceh sebesar -5,27, pada tahun 2009 semakin menurun

menjadi -5,51%. Penurunan laju perekonomian yang drastic pada tahun 2008-2009

ini dipengaruhi oleh krisis ekonomi global sehingga perekonomian masyarakat pun

menjadi lesu. Namun kemudian mengalami peningkatan sampai tahun 2012

sebesar 5,14%, kemudian pada tahun 2009 kembali mengalami penurunan hingga

tahun 2015 dengan laju PDRB sebesar -0,73, dan pada tahun 2016 dan 2017

meningkat kembali.laju PDRB tertinggi terjadi pada tahun 2008 di Kabuapaten

Simeulu sebesar 8.76%.

Menurut Arsyad (2010) tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya

sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan, masih banyak

penduduk yang memiliki pendapatan dibawah standar kebutuhan hidupnya.

Pertumbuhan ekonomi gagal untuk mengurangi bahkan menghilangkan besarnya

kemiskinan absolut. Jadi pertumbuhan PRDB yang cepat tidak secara otomatis

meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Dengan kata lain bahwa apa yang disebut

dengan “Trickle Down Effects” atau efek cucuran kebawah dari manfaat

pertumbuhan ekonomi bagi penduduk miskin tidak terjadi seperti apa yang

diharapkan bahkan berjalan cenderung sangat lambat. Semakin besar perbedaan

pembagian “kue” pembangunan, semakin besar pula disparitas distribusi

pendapatan yang terjadi.

Ada berbagai macam cara untuk melihat ketimpangan pada suatu daerah,

antara lain dengan menggunakan indeks williamson, indeks Theil dan gini rasio.

Indeks Gini merupakan indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan

7
pendapatan secara menyeluruh. Nilai Koefisien Gini berkisar antara 0 hingga 1.

Koefisien Gini bernilai 0 menunjukkan adanya pemerataan pendapatan yang

sempurna, atau setiap orang memiliki pendapatan yang sama. (Wijaya, 2017)

Gini Rasio Provinsi Aceh

0.33 0.33 0.34 0.33


0.32 0.31 0.32
0.3 0.29
0.28

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Sumber: Data BPS diolah

Gambar 1.2
Perkembangan Gini Rasio Provinsi Aceh Tahun 2008-2017

Ketimpangan pendapatan di Provinsi Aceh dapat dikatakan rendah, karna

kisaran ketimpangannya antara 0.2-0.3. Jika ketimpangan pendapatan berdasarkan

gini rasio dengan nilai koefesien 0 < x > 0.4, maka ketimpannga pendapatan di wilayah

tersebut sangat rendah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa distribusi pendapatan di

Provinsi Aceh hamper merata.

Investasi merupakan faktor penting dalam mendorong pertumbuhan

ekonomi suatu wilayah. Investasi dibagi menjadi dua yaitu investasi yang dilakukan

swasta (penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri

(PMDN)) dan investasi yang dilakukan pemerintah. Investasi swasta mempunyai

8
peranan penting untuk meningkatkan perekonomian suatu wilayah melalui

penyerapan tenaga kerja pada wilayah tersebut. Provinsi Aceh terdapat PMA

dan PMDN yang lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

INVESTASI DI PROVINSI ACEH


6000000.00

5000000.00

4000000.00

3000000.00

2000000.00

1000000.00

0.00
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

PMA PMDN

Sumber: Bionlen SPIPISE BKPM

Gambar 1.3
PMA dan PMDN Di Provinsi Aceh Tahun 2008-2017

Tidak hanya investasi yang mempengaruhi terjadinya ketimpangan antar

wilayah, faktor perbedaan demografi juga memiliki peranan dalam mempengaruhi

tingkat ketimpangan. Benyaknya pengangguran pada suatu daerah otomatis akan

mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan

memunculkan ketimpangan pembangunan. Tingkat Pengangguran di DOB

(Pembentukan tahun 1999-2007) di Provinsi Aceh dapat dilihat pada gambar 1.3

9
Persentase Pengangguran
16

14

12

10

0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Aceh Singkil Subulussalam Aceh Barat Daya aceh jaya


aceh tamiang bener meriah Bireun Gayo Lues
Langsa Lhokseumawe Nagan Raya Pidie Jaya
Simeulue Aceh

Sumber: Data BPS diolah

Gambar 1.4
Persentase Tingkat Pengangguran DOB (Tahun Pembentukan 1999-2007)di
Provinsi Aceh tahun 2008-2017

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat perkembangan persentase tingkat

pengangguran di Kabupaten/ Kota hasil pemekaran tahun 1999-2007 dengan

Provinsi Aceh. Persentease tingkat pengangguran yang fluktuatif tiap tahunnya. Hal

ini dipengaruhi oleh penambahan/pengurangan jumlah angkatan kerja di daerah

tersebut. Pada tahun 2008 dan 2018 persentase pengangguran terbesar berada di

Kota Lhoksemawe dengan tingkat pengangguran sebesar 14.35% dan 11.74,

sedangkan yang terendah di Kota Bener Meriah sebesar 3.4 persen dan 1.07. secara

umum memang di Kabupaten Bener Meriah yang memiliki persentase

pengangguran yang paling rendah dikarenakan kepadatan penduduk yang sedikit.

10
Selain dari investasi dan tenaga kerja, Pemerintah juga memiliki andil

untuk mengurangi ketimpangan pembangunan daerah tersebut. Salah satu cara yang

bisa dilakukan adalah melalui pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah

untuk melakukan kegiatan pembangunan baik infrastruktur maupun ekonomi akan

mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan meminimalisir

ketimpangan pembangunan yang terjadi. Adapun pengeluaran pemerintah Provinsi

Aceh dapat dilihat pada gambar 1.5

Pengeluaran PemerintahProvinsi Aceh


9,000,000,000,000.00
8,000,000,000,000.00
7,000,000,000,000.00
6,000,000,000,000.00
5,000,000,000,000.00
4,000,000,000,000.00
3,000,000,000,000.00
2,000,000,000,000.00
1,000,000,000,000.00
-
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Sumber: Data BPS diolah


Gambar 1.5
Pengeluaran Pemerintah Provinsi Aceh Tahun 2008-2017

Berdasarkan gambar diatas, perkembangan pengeluaran pemerintah

untuk pembangunan secara umum mengalami peningkatan. Pada tahun 2008

Pemerintah Provinsi Aceh merealisasikan pengeluaran pemerintah untuk

pembangunan melalui Belanja Langsung sebesar Rp. 571.5623.665.304,00 dan pada

tahun 2017 sebesar Rp. 6.667.402.294.763,53. Hal ini menunjukkan bahwa peranan

pemerintah yang cukup besar dalam melakukan proses pembangunan untuk

11
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan selanjutnya akan mengurangi

ketimpangan.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan

kajian mengenai pengaruh Investasi, Tingkat Pengangguran, dan Pengeluaran

Pemerintah Terhadap Ketimpangan Pembangunan di Kabupaten/Kota di Provinsi

Aceh Pasca Pemekaran dalam bentuk tesis dengan judul “Analisis Determinan

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Daerah Otonom Baru(Pembentukan Tahun

1999-2007) Di Provinsi Aceh”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat

dikemukakan rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Seberapa besar tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi Daerah

Otonom Baru(Pembentukan Tahun 1999-2007) Provinsi Aceh?

2. Bagaimana dan seberapa besarnya pengaruh factor investasi,

pengangguran dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan

Pembangunan Ekonomi Daerah Otonom Baru(Pembentukan Tahun 1999-

2007) Provinsi Aceh?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis besarnya tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi

yang terjadi Daerah Otonom Baru(Pembentukan Tahun 1999-2007)

Provinsi Aceh

12
2. Menganalisis pengaruh factor investasi, pengangguran dan pengeluaran

pemerintah terhadap ketimpangan Pembangunan Ekonomi Daerah

Otonom Baru(Pembentukan Tahun 1999-2007) Provinsi Aceh.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk mengambil

kebijakan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi

ketimpangan antar daerah.

2. sebagai bahan referensi untuk penelitian lanjutan yang akan dilakukan

di kemudian hari.

3. sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan yang berkaitan dengan

pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan.

13
BAB II.

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pemekaran Wilayah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis UU Pemda), pembentukan daerah pada

dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pembentukan daerah dapat berupa

pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih, atau penggabungan

bagian daerah yang bersandingan, atau penggabungan beberapa daerah.

Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota

menjadi dua daerah atau lebih. Sementara dalam prakteknya sampai dengan tahun

2008, Indonesia belum pernah mempunyai pengalaman penggabungan daerah.

Secara umum, pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian wilayah

menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan

mempercepat pembangunan. Disisi lain, menurut Syafrizal (2008), ada beberapa

faktor yang dapat memicu terjadinya pemekaran wilayah, antara lain :

1. Perbedaan agama

Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan bahwa perbedaan

agama merupakan salah satu unsur yang dapat menyebabkan timbulnya

keinginan masyarakat untuk memisahkan diri dari suatu negara/ daerah

yang telah ada untuk menjadi negara/ daerah baru.

16
2. Perbedaan etnis dan budaya

Sama halnya dengan perbedaan agama, perbedaan etnis dan budaya juga

merupakan unsur penting lainnya yang dapat memicu terjadinya

keinginan untuk melakukan pemekaran wilayah. Kenyataan menunjukkan

bahwa masyarakat merasa kurang nyaman bila hidup dalam suatu

masyarakat dengan etnis, adat istiadat, dan kebiasaan yang berbeda.

Bila kesatuan budaya ini terganggu karena kehadiran warga masyarakat

lain dengan budaya yang berbeda, maka seringkali terjadi ketegangan

bahkan konflik sosial dalam masyarakat tersebut.

3. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah

Aspek berikutnya yang cenderung menjadi pemicu terjadinya pemekaran

wilayah adalah ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah.

Termasuk juga ke dalam aspek ini adalah ketimpangan dalam

ketersediaan sumber daya alam bernilai tinggi, seperti minyak bumi, gas

alam, dan batu bara yang selanjutnya akan mendorong terjadinya

ketimpangan kemakmuran antar daerah. Ketimpangan ini selanjutnya

mendorong terjadinya kecemburuan sosial dan merasa dianaktirikan oleh

pemerintah pusat sehinnga akhirnya muncul keinginan untuk melakukan

pemekaran wilayah. Indikasi terjadinya ketimpangan pembangunan

antardaerah dapat diketahui dengan menghitung data PDRB perkapita dan

jumlah penduduk sebagai indikator utama melalui Indeks Wiliamson.

17
4. Luas daerah

Luas daerah dapat pula memicu timbulnya keinginan untuk melakukan

pemekaran wilayah. Alasannya adalah karena wilayah yang besar akan

cenderung menyebabkan pelayanan public tidak dapat dilakukan secara

efektif dan merata ke seluruh pelosok daerah. Sementara tugas pemerintah

daerah adalah memberikan pelayanan publik kepada seluruh

masyarakat di daerahnya. Dalam rangka memperbaiki pelayanan kepada

masyarakat, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan

melakukan pemekaran daerah.

Pemekaran wilayah diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah.

Tujuan pemekaran sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundangan

dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui

 Peningkatan pelayanan kepada masyarakat

 Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi

 Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah

 Percepatan pengelolaan potensi daerah

 Peningkatan keamanan dan ketertiban

 Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah

2.2 Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang

menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam

jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad, 2010).

18
Suatu proses pembangunan tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai. Menurut

Todaro (2006) proses pembangunan paling tidak memiliki tiga tujuan inti yaitu 1)

peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan

hidup yang pokok; 2) peningkatan standar hidup; dan 3) perluasan pilihan-pilihan

ekonomis dan sosial. Disamping memiliki tujuan inti, pembangunan secara garis

besar memiliki indikator-indikator kunci yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan

menjadi dua yaitu indikator ekonomi dan indikator sosial. Yang termasuk sebagai

indikator ekonomi adalah GNP per kapita, laju pertumbuhan ekonomi, GDP per

kapita dengan Purchasing Power Parity, sedangkan yang termasuk indikator sosial

adalah Human Development Index (HDI) dan Physical Quality Life Index (PQLI)

atau indeks mutu hidup (Kuncoro, 2006).

2.2.1 Pembangunan Ekonomi Daerah

Arsyad (2010) mengartikan pembangunan ekonomi daerah sebagai suatu

proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada

dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor

swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

perkembangan ekonomi dengan wilayah tersebut. Pembangunan ekonomi daerah

merupakan suatu proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi-

institusi baru, pembanguan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga

kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi

pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-

perusahaan baru (Arsyad, 2010).

19
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah bisa dianggap sebagai

perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber-sumbe rdaya publik yang

tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam

menciptakan nilai sumberdaya-sumber daya swasta secara bertanggung jawab.

Dalam pembangunan ekonomi daerah diperlukan campur tangan pemerintah.

Apabila pembangunan daerah diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar

maka pembangunan dan hasilnya tidak dapat dirasakan oleh seluruh daerah secara

merata (Arsyad, 2010).

Menurut Arsyad (2010) keadaan sosial ekonomi yang berbeda disetiap

daerah akan membawa implikasi bahwa cakupan campur tangan pemerintah untuk

tiap daerah berbeda pula. Perbedaan tingkat pembangunan antar daerah,

mengakibatkan perbedaan tingkat kesejahteraan daerah. Ekspansi ekonomi suatu

daerah akan mempunyai pengaruh yang merugikan bagi daerah-daerah lain, karena

tenaga kerja yang ada, modal, perdagangan, akan pindah kedaerah yang melakukan

ekspansi tersebut seperti yang diungkapkan Myrdal (1957) dalam Jhingan (2010)

mengenai dampak balik pada suatu daerah.

2.3 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu dari indikator keberhasilan

suatu proses pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara atau wilayah.

Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi tidak identik dengan pembangunan

ekonomi. Pertumbuhan ekonomi hanya salah satu syarat dari banyak syarat yang

diperlukan dalam proses pembangunan ekonomi. pertumbuhan ekonomi hanya

20
mencatat peningkatan kapasitas penawaran atau produksi barang dan jasa yang

berdasarkan pada peningkatan teknologi, penyesuaian ideologi dan kelembagaan

yang dibutuhkan. Sedangkan pembangunan ekonomi mencakup perubahan pada

komposisi produksi, perubahan pada pola penggunaan dan alokasi sumber daya

produksi diantara sektor-sektor kegiatan ekonomi, perubahan pada pola distribusi

kekayaan dan pendapatan diantara berbagai golongan pelaku ekonomi, perubahan

pada kerangka kelembagaan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh

(Todaro, 2006).

Pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari faktor-faktor yang

mempengaruhi. Menurut pandangan ekonom klasik, Adam Smith, David Ricardo,

Thomas Robert Malthus dan John Straurt Mill, maupun ekonom neo klasik seperti

Robert Solow dan Trevor Swan, mengemukakan bahwa pada dasarnya ada empat

faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu (1) jumlah penduduk, (2)

jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, dan (4) tingkat

teknologi yang digunakan, sedangkan menurut Schumpeter, faktor utama yang

menyebabkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi atau wiraswasta

(entrepreneur) (Pratama, 2010). Suatu perekonomian dikatakan mengalami

pertumbuhan atau bekembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari

pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya (Kuncoro, 2006).

21
Menurut Todaro (2006), ada tiga faktor utama dalam pertumbuhan

ekonomi:

1. Akumulasi modal

Akumulasi modal termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah

(lahan), peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human resources).

Akumulasi modal akan terjadi jika ada sebagian dari pendapatan sekarang

di tabung yang kemudian diinvestasikan kembali dengan tujuan untuk

memperbesar output di masa-masa mendatang.

2. Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja

Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan

jumlah angka kerja (labor force) secara tradisional telah dianggap sebagai

faktor yang positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Artinya,

semakin banyak angkatan kerja semakin produktif tenaga kerja, sedangkan

semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestiknya.

3. Kemajuan teknologi

Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi cara-cara baru baru dan

cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan

tradisional. Ada 3 klasifikasi kemajuan teknologi, yakni:

a. Kemajuan teknologi yang bersifat netral

b. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja atau hemat

modal

c. Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal

22
2.3.1 Produk Domestik Regional Bruto

PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit

usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa

akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Untuk menghitung angka PDRB

ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:

1. Pendekatan Produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang

dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam

jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).

2. Pendekatan Pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir

seperti: (a) pengeluaran konsumsi rumahtangga dan lembaga nirlaba, (b)

konsumsi pemerintah, (c) pembentukan modal tetap domestik bruto, (d)

perubahan stok, dan (e) ekspor neto, dalam jangka waktu tertentu (biasanya

satu tahun).

3. Pendekatan Pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima

oleh faktor-faktor produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu.

PDRB ADHB digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi.

PDRB ADHB menunjukkan pendapatan yang memungkinkan dapat dinikmati oleh

penduduk suatu daerah serta menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang

dihitung menggunakan harga pada setiap tahun. PDRB ADHK digunakan untuk

mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun, untuk menunjukkan laju

pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan/setiap sektor dari tahun ke tahun. Data

PDRB ADHK lebih menggambarkan perkembangan produksi riil barang dan jasa

yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi daerah tersebut. PDRB ADHB menurut

23
sektor menunjukkan peranan sektor ekonomi dalam suatu daerah,sektor-sektor

yang mempunyai peranan besar menunjukkanbasis perekonomian suatu daerah.

Dengan demikian PDRB secara agregatif menunjukkan kemampuan suatu daerah

dalam menghasilkan pendapatan/balasjasa terhadap faktor produksi yang ikut

berpartisipasi dalam proses produksi di daerah tersebut.

2.4 Ketimpangan Pembangunan

Ketimpangan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam

kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini terjadi disebabkan adanya

perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang

terdapat pada masing-masing wilayah. Adanya perbedaan ini menyebabkan

kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi

berbeda. Oleh karena itu pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju

(Developed Region) dan wilayah terbelakang (Underdeveloped Region) (Sjafrizal,

2012).

Menurut Kuncoro (2006), kesenjangan mengacu pada standar hidup relatif

dari seluruh masyrakat, sebab kesenjangan antar wilayah yaitu adanya perbedaan

faktor anugrah awal (endowment factor). Perbedaan ini yang menyebabkan tingkat

pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga

menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut (Sukirno,

2010). Secara teoritis, permasalahan ketimpangan antar wilayah mula-mula

dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan

Neo Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan

24
antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan

pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lebih dikenal sebagai Hipotesa

Neo-Klasik (Sjafrizal, 2012).

Menurut Hipotesa Neo-Klasik dalam Sjafrizal (2012), pada permulaan

proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah

cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut

mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut maka

secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan

menurun. Berdasarkan hipotesa ini, bahwa pada negara-negara sedang berkembang

umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi,

sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah.

Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk

huruf u terbalik.

Kebenaran Hipotesa Neo-Klasik ini kemudian diuji kebenarannya oleh

Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang ketimpangan pembangunan

antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan

menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa Hipotesa Neo-Klasik yang diformulasi secara teoritis ternyata

terbukti benar secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara

tidak otomatis dapat menurunkan ketimpangan pembangunan antar wilayah, tetapi

pada tahap permulaan justru terjadi hal yang sebaliknya (Sjafrizal, 2012).

Terjadinya ketimpangan antar daerah juga dijelaskan oleh Mydral (1957)

dalam Jhingan (2010). Mydral membangun teori keterbelakangan dan

25
pembangunan ekonominya disekitar ide ketimpangan regional pada taraf nasional

dan internasional. Untuk menjelaskan hal itu menggunakan spread effect dan

backwash effect sebagai bentuk pengaruh penjalaran dari pusat pertumbuhan ke

daerah sekitar.Spread effect (dampak sebar) didefinisikan sebagai suatu pengaruh

yang menguntungkan (favourable effect), yang mencakup aliran kegiatan-

kegiatan investasi di pusat pertumbuhan ke daerah sekitar. Backwash effect

(dampak balik) didefinisikan sebagai pengaruh yang merugikan (infavourable

effect) yang mencakup aliran manusia dari wilayah sekitar atau pinggiran

termasuk aliran modal ke wilayah inti sehingga mengakibatkan berkurangnya

modal pembangunan bagi wilayah pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk

dapat mengimbangi perkembangan wilayah inti.

Terjadinya ketimpangan regional menurut Mydral (1957) disebabkan oleh

besarnya pengaruh dari backwash effect dibandingkan dengan spread effect di

negara-negara terbelakang. Perpindahan modal cenderung meningkatkan

ketimpangan regional, permintaan yang meningkat ke wilayah maju akan

merangsang investasi yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan yang

menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya. Lingkup investasi yang

lebih baik pada sentra-sentra pengembangan dapat menciptakan kelangkaan

modal di wilayah terbelakang (Jhingan, 2010).

2.4.1 Ukuran Ketimpangan Pembangunan

Menurut Sjafrizal (2012) Salah satu model yang cukup representatif untuk

mengukur tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah indeks

26
williamson yang dikemukakan oleh Williamson (1965). Williamson

mengemukakan model Vw (indeks tertimbang atau weighted index terhadap

jumlah penduduk) dan Vuw (tidak tertimbang atau un-weighted index) untuk

mengukur tingkat ketimpangan pendapatan per kapita suatu negara pada waktu

tertentu. Walaupun indeks ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu antara lain

sensitive terhadap definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan, namun

demikian indeks ini lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan

antar wilayah (Sjafrizal, 2012). Formulasi Indeks Williamson yang digunakan

yaitu:

Vw = Indeks Williamson

yi = PDRB per kapita daerah i

y = PDRB per kapita rata-rata seluruh daerah

fi = Jumlah penduduk daerah i

n = Jumlah penduduk seluruh daerah

Pengertian indeks ini adalah sebagai berikut: bila Vw mendekati 1 berarti

sangat timpang dan bila Vw mendekati nol berarti sangat merata.

2.4.2 Faktor – Faktor Penyebab Ketimpangan Pembangunan

Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar

wilayah menurut Sjafrizal (2012) yaitu :

27
1. Perbedaan kandungan sumber daya alam

Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi kegiatan

produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber

daya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu

dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang

mempunyai kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini

mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih

cepat dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan

sumber daya alam yang lebih sedikit.

2. Perbedaan kondisi demografis

Kondisi demografis akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja

masyarakat setempat. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan

cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal

ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan

meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi

daerah tersebut.

3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa

Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah

dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi

spontan. Alasannya adalah apabila mobilitas kurang lancar maka

kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain yang

membutuhkan. Akibatnya adalah ketimpangan pembangunan antar

28
wilayah akan cenderung tinggi, sehingga daerah terbelakang sulit

mendorong proses pembangunannya

4. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah

Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu daerah

dimana konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi inilah

yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui

peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan

masyarakat.

5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah

Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah maupun swasta. Pada sistem

pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih banyak

dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah

akan cenderung lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak

ditentukan oleh kekuatan pasar. Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki

oleh suatu daerah merupakan kekuatan yang berperan banyak dalam

menarik investasi swasta. Keuntungan lokasi ditentukan oleh biaya

transpor baik bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan

pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan

usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu investai akan cenderung lebih

banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.

29
2.5 Investasi

Investasi berarti setiap kegiatan yang meningkatkan kemampuan ekonomi

untuk memproduksi output di masa yang akan datang. Menurut Sukirno (2010),

investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau perbelanjaan penanaman modal

atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-

perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-

barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Besar kecilnya investasi

dalam suatu kegiatan ekonomi ditentukan oleh tingkat suku bunga, tingkat

pendapatan, kemajuan teknologi, ramalan kondisi ekonomi ke depan, dan faktor-

faktor lainnya.

Menurut Mankiw (2007), investasi terdiri dari barang-barang yang dibeli

untuk penggunaan masa depan. Investasi dapat dibedakan dalam tiga macam,

yaitu business fixed investment, residential investment, dan inventory investment.

Business fixed investment mencakup peralatan dan sarana yang digunakan

perusahaan dalam proses produksinya, sementara residential investment meliputi

pembelian rumah baru, baik yang akan ditinggali oleh pemilik sendiri maupun yang

akan disewakan kembali, sedangkan inventory investment adalah barang yang

disimpan oleh perusahaan di gudang, meliputi bahan baku, persediaan, bahan

setengah jadi, dan barang jadi.

Investasi dibagi menjadi dua yaitu investasi yang dilakukan oleh pihak

swasta dan investasi yang dilakukan oleh pemerintah. Investasi Swasta dibagi

menjadi dua yaitu penananaman modal asing (PMA) dan penananaman modal

dalam negeri (PMDN). Krugman (2005), menjelaskan bahwa yang dimaksud FDI

30
atau PMA adalah arus modal internasional dimana perusahaan dari suatu

negaramendirikan atau memperluas perusahaannya ke negara lain. Oleh karena itu

tidak hanya terjadi pemindahan sumberdaya, tetapi juga pemberlakuan kontrol

terhadap perusahaan di luar negeri. Dan PMDN adalah kegiatan menanam modal

untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh

penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.

2.5.1 Hubungan Investasi dengan Ketimpangan Pembangunan

Investasi merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan

ekonomi. Menurut teori Harrod-Domar, untuk meningkatkan laju perekonomian,

maka diperlukan investasi-investasi baru sebagai stok tambahan modal. Teori ini

menjelaskan adanya hubungan positif antara tingkat investasi dan laju

pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan bahwa kurangnya investasi di suatu

wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per

kapita di wilayah tersebut rendah karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi

yang produktif. Dan terpusatnya investasi di suatu wilayah, maka ketimpangan

distribusi investasi ini dianggap sebagai salah satu faktor utama yang

mengakibatkan terjadinya ketimpangan pembangunan. Hal ini dibuktikan secara

empiris oleh Nita Tri Hartini (2017) yang meneliti tentang “Pengaruh PDRB

Perkapita, Investasi, dan Indeks Pembangunan Manusia Terhadap Ketimpangan

Pendapatan Antar Daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011-

2015. Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ketimpangan investasi

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan.

31
2.6 Pengangguran

Menurut Payaman J. Simanjutak ( 1985), penganggur adalah orang yang

tidak bekerja sama sekali atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu

sebelum pencacahan dan berusaha memperoleh pekerjaan. Menurut Sadono

Sukirno (2010), pengangguran adalah suatu keadaan di mana seseorang yang

tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat

memperolehnya. Seseorang yang tidak bekerja, tetapi tidak secara aktif mencari

pekerjaan tidak tergolong sebagai penganggur. Untuk mengukur tingkat

pengangguran pada suatu wilayah bisa didapat dari prosentase membagi jumlah

pengangguran dengan jumlah angkaran kerja dan dinyatakan dalam persen.

Berdasarkan penyebabnya pengangguran dapat dibagi empat kelompok

(Sadono Sukirno, 2010)

a. Pangangguran normal atau friksional

Apabila dalam suatu ekonomi terdapat pengangguran sebanyak dua atau

tiga persen dari jumlah tenaga kerja maka ekonomi itu sudah dipandang

sebagai mencapai kesempatan kerja penuh. Pengangguran sebanyak dua

atau tiga persen tersebut dinamakan pengangguran normal atau

pengangguran friksional. Para penganggur ini tidak ada pekerjaan bukan

karena tidak dapat memperoleh kerja, tetapi karena sedang mencari kerja

lain yang lebih baik.

32
b. Pengangguran siklikal

Pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi

sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah dari pada penawaran kerja.

c. Pengangguran struktural

Pengangguran yang disebabkan oleh penganggur yang mencari lapangan

pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka

lapangan kerja.

d. Pengangguran teknologi

Pengangguran dapat pula ditimbulkan oleh adanya penggantian tenaga

manusia oleh mesin-mesin dan bahan kimia. Racun lalang dan rumput

misalnya, telah mengurangi penggunaan tenaga kerja untuk membersihkan

perkebunan, sawah dan lahan pertanian lain.

Berdasarkan cirinya, Pengangguran dibagi ke dalam empat kelompok

(Sadono Sukirno, 2010) :

a. Pengangguran terbuka

Pengangguran ini tercipta sebagai akibat pertambahan lowongan pekerjaan

yang lebih rendah dari pertambahan tenaga kerja.

b. Pengangguran tersembunyi

Tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena suatu alas an

tertentu.

c. Pengangguran Bermusim

Pengangguran ini terutama terdapat di sektor pertanian dan perikanan. Pada

musim hujan penyadap karet dan nelayan tidak dapat melakukan pekerjaan

33
mereka dan terpaksa menganggur. Pengangguran seperti ini digolongkan

sebagai pengangguran musiman.

d. Setengah Menganggur

Tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan

pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan

tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu.

2.6.1 Hubungan Tingkat Pengangguran dengan Ketimpangan

Pembangunan

Kondisi demografi sangat berkaitan dengan proses pembangunan dan

pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Pengangguran didefinisikan

sebagai suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja

ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Menurut

Sjafrizal (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pembangunan

antar wilayah salah satunya adalah karena perbedaan kondisi demografis.

Demografis disini meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur

kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, dan perbedaan

kondisi ketenagakerjaan termasuk didalamnya adalah tingkat pengangguran.

Daerah dengan kondisi demografisnya baik akan mempunyai produktivitas kerja

yang lebih tinggi sehingga akan mendorong peningkatan investasi ke daerah yang

bersangkutan. Lessman (2006) melihat kondisi demografis dari sisi tingkat

pengangguran suatu daerah. Menurut Lessman, tingkat pengangguran yang tinggi

berhubungan dengan semakint ingginya ketimpangan wilayah.

34
2.7 Pengeluaran Pemerintah

Pembangunan ekonomi pada dasarnya adalah upaya untuk memperluas

kemampuan dan kebebasan memilih. Terciptanya pembangunan ekonomi sangat

tergantung dari peran pemerintah yang antara lain dimanifestasikan lewat

pengeluaran pemerintah. Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah

yang dikemukakan oleh para ahli ekonomi pada prinsipnya dapat digolongkan

menjadi tiga golongan (Mangkoesoebroto, 2008), yaitu:

1. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran daerah

Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang

menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-

tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan

tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi

pemerintah terhadap total investasi sangat besar sebab pada tahap ini

pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan,

prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi,

investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonomi agar dapat tinggal landas, namun peranan investasi swasta

sudah semakin besar. Meskipun demikian, peranan pemerintah tetap

besar pada tahap ini karena peranan swasta yang semakin besar akan

menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan

pemerintah harus menyediakan barang dan jasa public dalam jumlah

yang lebih banyak. Selain itu pada tahap menengh, perkembangan ekonomi

35
menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor ekonomi yang makin

kompleks, sehingga pemerintah harus turun tangan untuk melindungi

penduduk dari eksternalitas negatif suatu sektor dan melindungi buruh

dalam meningkatkan kesejahteraannya.

2. Hukum Wagner

Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State

Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris

terhadap negara-negara maju. Dalam hal ini Wagner menerangkan

mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar terutama

disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul

dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum

tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-

barang public. Wagner hanya mendasarkan pandangannya dengan

teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang

menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas

dari anggota masyarakat lain.

3. Teori Peacock and Wiseman

Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukakan teori

mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbaik. Teori

mereka didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa

berusaha untuk memperbesar pengeluaran, sedangkan masyarakat tidak

suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran

pemerintah yang semakin besar tersebut. Peacock dan Wiseman

36
mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat

mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana

masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan

oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

2.7.1 Pengeluaran Pemerintah Daerah

Pengeluaran pemerintah daerah dibiayai oleh pendapatan daerah

khususnya pendapatan asli daerah dan dana perimbangan dari pemerintah pusat.

Menurut fungsi pemerintahan, pengeluaran pemerintah daerah terdiri dari belanja

untuk fungsi pelayanan umum, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi,

fungsi lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan,

fungsi pariwisata dan budaya, fungsi pendidikan dan belanja untuk fungsi

perlindungan sosial. Sedangkan menurut jenis kegiatan berdasarkan Permendagri

No. 13 Tahun 2006 Pasal 50, pengeluaran pemerintah daerah dikelompokan

menjadi 2 (dua), yaitu

1. Belanja langsung

Belanja langsung adalah belanja yang dipengaruhi secara langsung oleh

adanya dan kegiatan yang direncanakan. Jenis belanja langsung terdiri dari

belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja barang modal.

2. Belanja tidak langsung

Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak dipengaruhi secara

langsung oleh adanya program atau kegiatan. Jenis belanja tidak

langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi,

37
belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja

bantuan keuangan dan belanja tidak terduga.

2.7.2 Hubungan Pengeluaran Pemerintah dengan Ketimpangan

Pembangunan

Peranan pemerintah yang tercermin melalui pengeluaran pemerintah

merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui

peningkatan permintaan agregat. Semakin besar pengeluaran pemerintah akan

berdampak baik pada pertumbuhan ekonomi pada daerah tersebut. Pengeluaran

pemerintah dapat menjadi suntikkan perekonomian melalui program-program atau

kegiatan untuk mendorong produktivitas sumber daya yang ada, sehingga akan

mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi dalam suatu wilayah.

2.8 Penelitian Terdahulu

Nobuo Akai dan Masayo Sakata tahun 2005 meneliti tentang “Fiscal

Decentralization, Commitment and regional Disparity: Evidence from state level

Cross-sectional Data for the United States” dengan menggunakan analisis regresi

dan panel dengan menggunakan data Desentralisasi, GDP per kapita, panjang jalan,

tingkat metropolitan, tingkat pendidikan, manufaktur, efek politik, investasi, tingkat

pengangguran dan populasi dengan hasil variabel desentralisasi, GDP per kapita,

tingkat pengangguran signifikan dan berhubungan positif dengan ketimpangan,

sedangkan variabel panjang jalan, tingkat metropolitan, pendidikan, manufaktur,

dan investasi signifikan dan berhubungan negatif terhadap ketimpangan.

38
Carlos Chrisyanto pada tahun 2006 meneliti tentang “Faktor-faktor yang

mempengaruhi Ketimpangan Antar Daerah di Indonesia” dengan menggunakan

analisis Indeks Williamson dan Regresi Berganda dengan menggunakan data

pendapatan per kapita dan pengeluaran daerah yang digunakan untuk pembangunan

selama masa sebelum dan sesudah krisis ekonomi. Data yang digunakan adalah data

30 Provinsi tahun 1989-2003. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi

ketimpangan antar daerah di Pulau Jawa yang disebabkan tingginya pendapatan

perkapita DKI Jakarta sementara di luar pulau jawa disebabkan oleh tingginya

pendapatan di Kalimantan Timur. Dari hasil regresi menunjukkan bahwa

ketimpangan daerah dengan factor migas dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah

pada saat 2 tahun sebelum dan pada saat terjadi krisis, sementara dengan factor non

migas dipengaruhi oleh pendapatan perkapita daerah dan pengeluaran Pemerintah.

R. Abdul Maqin pada tahun 2007 meneliti tentang “Analisis Disparitas

Pendapatan Antar Daerah di Jawa Barat” dengan variable Pertumbuhan ekonomi,

disparitas pendapatan, PMDN, Tenaga kerja lulusan SD, Tenaga kerja lulusan SMP,

dan Tenaga kerja lulusan SMA. Dengan menggunakan analisis Indeks ketimpangan

regional Williamson, analisis data panel dengan metode Fixed Effect. Hasil yang

didapatkan adalah dari 25 Kabupaten dan Kota ada 8 daerah yang terdiri dari 7

Kabupaten dan 1 Kota yang memiliki indeks Disparitas yang lebih besar dari rata-

rata Kaabupaten/ Kota di Jawa Barat. Hasil estimasi pertumbuhan ekonomi dan

PMDN mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap disparitas pendapatan.

Dilihat dari tingkat Pendidikan tenaga kerja, lulusan SMA memberikan pengaruh

yang signifikan terhadap disparitas pendapatan.

39
Budiantoro Hartono (2008) menulis tentang “Analisis Ketimpangan

Pembangunan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah” dengan variable Indeks

ketimpangan pembangunan, investasi swasta, angkatan kerja, danalokasi dana

bantuan, dengan menggunakan analisis Indeks ketimpangan Williamson dan

analisis regresi linear berganda. Hasilnya adalah ketimpangan pembangunan

ekonomi di Provinsi Jawa Tengah yang diukur dengan Indeks Williamson dalam

kurun waktu 1981 sampai dengan 2005 cenderung relatif meningkat. Ketiga

variabel independen yaitu investasi swasta perkapita, ratio angkatan kerja, dan

alokasi dana pembangunan perkapita secara Bersama – sama berpengaruh terhadap

ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Ketimpangan

pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah dapat dijelaskan oleh variasi dari

ketiga variabel independent yaitu investasi swasta perkapita, ratio angkatan kerja,

dan alokasi dana pembangunan perkapita sebesar 93,7 persen sedangkan sisanya

sebesar 6,3 persen dijelaskan faktor-faktor lainnya di luar model.

Shanti Shintia Nugraha dan Maruto Umar Basuki ( 2010) menulis tentang

“Disparitas Pendapatan Antar Daerah (Studi Kasus Kabupaten /Kota di Wilayah

Pantura Propinsi Jawa Tengah Tahun 1994-2003) dengan variable Pertumbuhan

ekonomi, ketimpangan PDRB perkapita, ketimpangan investasi, dan ketimpangan

tenaga kerja, dan menggunakan analisis Tipologi Klassen, indeks ketimpangan

Williamson, dan analisis data panel mendapatkan hasil Secara rata-rata nilai indeks

Williamson di wilayah pintura cenderung menurun, tetapi selama periode

pengamatan cukup berfluktuasi. Hasil analisis regresimenunjukkan bahwa

40
ketimpangan investasi yang terjadi tidak berpengaruh signifikan, sedangkan

ketimpangan tenaga kerja berpengaruh positif terhadap disparitas pendapatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Sultan dan Jamzani Sodik (2010) dengan

judul “Analisis Ketimpangan Pendapatan Regional di DIY-Jawa Tengah serta

faktor-faktor yang Mempengaruhi periode 2000-2004”. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui tingkat ketimpangan regional antar kabupaten di DIY dan

Jawa Tengah serta pengaruh penanaman modal asing dan ekspor terhadap

ketimpangan tersebut. Metode analisis yang digunakan adalah analisis dengan

mengaplikasikan metode OLS (Ordinary Least Squared), dan menggunakan data

time series dalam kurun waktu 5 tahun (time series)mulai tahun 2000-2004. Tahun

2000 dipilih sebagai tahun awal penelitian karena tahun tersebut telah terjadi

pemulihan (recovery) perekonomianIndonesia setelah terjadinya krisis ekonomi

pada tahun 1997 - 1998. Sedangkan variabel-variabel yang digunakan dalam

penelitian ini antara lain ketimpangan pendapatan regional, pertumbuhan

penanaman modal asing, pertumbuhan ekspor, pertumbuhan PDRB. Berdasarkan

hasil penelitian dan analisis ini dapat diperoleh bahwa: terdapat ketimpangan

pendapatan regional di DIY dan Jawa Tengah dalam tahun 2000 sampai dengan

tahun 2004. Pertumbuhan penanaman modal asing mempunyai pengaruh negatif

dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan regional. Pertumbuhan ekspor

mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan

regional. Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mempunyai

pengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan.

41
Tri Dewi Yunisti pada tahun 2012 menulis tentang “Analisis Ketimpangan

Pembangunan antar kabupaten /Kota di Provinsi Banten” dengan menggunakan

analisis Indeks Williamson, Indek Theil, Tipologi Klasen dan Pearson Correlation,

dengan menggunakan data Pendidikan, kesehatan dan pembangunan manusia pasca

pemekaran provinsi Banten mendapatkan hasil yaitu dari segi ketimpangan PDRB

Per kapita, Indeks Theil menunjukkan perkembangan yang positif. Sejak tahun

2002-2010 kecenderungan terus menurun. Berdasarkan indeks Williamson dengan

menggunakan variable IPM, ketimpangan setiap tahunnya semakin menurun.

Nita Tri Hartini (2017) menulis tentang “Pengaruh PDRB Perkapita,

Investasi, dan Indeks Pembangunan Manusia Terhadap Ketimpangan Pendapatan

Antar Daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011-2015, dengan

analisis data panel menggunakan data Indeks Williamson, Investasi, IPM dan

PDRB Perkapita. Adapun hasil dari penelitiannya adalah PDRB Perkapitan

berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar daerah,

sedangkan investasi dan IPM berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

ketimpangan antar daeri di DI Yogayakarta.

2.9 Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini untuk mengukur ketimpangan DI dan DOB pasca

pemekaran wilayah menggunakan Indeks Williamson, dengan besaran nilai nol

sampai satu. Semakin besar angka Indeks Williamson atau mendekati satu maka

semakin besar ketimpangan atau kesenjangan, sebaliknya jika mendekati nol maka

semakin merata.

42
untuk mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan pada

Kabupaten/Kota hasil pemekaran tahun 1999-2007, maka perlu diketahui faktor-

faktor yang mempengaruhi ketimpangan pembangunan. Faktor-faktor yang

digunakan adalah Investasi (I), pengeluaran pemerintah (GE), dan tingkat

pengangguran (UE). Untuk mengetahui seberapa besar faktor-faktor tersebut

mempengaruhi ketimpangan dan juga dampaknya pada masing- masing daerah,

digunakan analisis data panel dengan menggunakan model Fixed Effect (FEM).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.1

2.10 Hipotesis

Hipotesis merupakan pandapatan sementara dan pedoman serta arah dalam

penelitian yang disusun berdasarkan pada teori yang terkait, dimana suatu

hipotesis selalu dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang menghubungkan dua

variabel atau lebih (J. Supranto, 2009).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

 Diduga investasi berpengaruh negatif terhadap ketimpangan

pembangunan Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam.

 Diduga pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif dan

terhadap ketimpangan pembangunan Kabupaten Aceh Singkil dan Kota

Subulussalam.

 Diduga tingkat pengangguran berpengaruh positif terhadap

ketimpangan pembangunan Kabupaten Aceh Singkil dan Kota

Subulussalam.

43
Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan pada
DOB (Pembentukan Tahun 1999-2007) di
Provinsi Aceh

Adanya Ketimpangan Pembangunan pada


DOB (Pembentukan Tahun 1999-2007) di
Provinsi Aceh (Indeks Williamson) Investasi (I)

Faktor-faktor yang mempengaruhi


Pengeluaran Pemerintah
ketimpangan pembangunan (Analisis Data
(GE)
Panel Model FEM)

Tingkat Pengangguran (UE)


Nilai Ketimpangan Pembangunan pada DOB
(Pembentukan Tahun 1999-2007) di Provinsi
Aceh, dan pengaruh variable I, GE, dan UE
terhadap ketimpangan daerah-daerah
tersebut

Sumber: Hasil Analisis Penulis


Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Penelitian

45
BAB III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.1.1 Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel

dependen dan variabel independen. Variabel dependen adalah tipe variabel yang

dijelaskan atau depengaruhi oleh variabel bebas, sedangkan variabel independen

adalah tipe variabel yang menjelaskan atau mempengaruhi variabel lain.

Penelitian ini menggunakan satu variabel dependen (terikat), tiga variabel

independen (bebas). Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini

adalah ketimpangan pembangunan wilayah (Vw). Sementara untuk variabel

independen dalam penelitian ini adalah Investasi (I), Pengeluaran Pembangunan

Pemerintah (GE) dan Tingkat Pengangguran (EU).

3.1.2 Definisi Operasional

Untuk memberikan pemahaman terhadap variabel dependen maupun

independen dalam penelitian ketimpangan pembangunan di Provinsi Banten,

maka diperlukan definisi operasional yakni:

1. Ketimpangan Pembangunan Wilayah ( Vw )

Ketimpangan pembangunan wilayah diukur dengan menggunakan

rumus Indeks Williamson, dimana pendapatan diukur dengan

menggunakan PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000 dan
61
2010 untuk Kabupaten Aceh Singkil, Kota Subulussalam, Kabupaten

Aceh Barat Daya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Jaya,

Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireun, Kebupaten Gayo Lues,

Kabupaten Bener Meriah, Kota Langsa, Kota Lhoksemawe, Kabupaten

Simeulue, Kabupaten Aceh Tamiang dan Provinsi Aceh dari tahun 2008

sampai dengan tahun 2017. Indeks ketimpangan pembangunan wilayah

ditunjukkan oleh angka 0 sampai angka 1 atau 0 < Iw < 1

2. Investasi

Investasi merupakan aktivitas pengeluaran atau pembelanjaan penanam

modal dan juga perlengkapan-perlengkapan produksi dengan tujuan

menambah kemampuan memproduksi barang dan jasa yang tersedia dalam

perekonomian.Data investasi merupakan data rasio realisasi investasi pada

DOB hasil pemekaran tahun 1999-2007 di Provinsi Aceh dari tahun 2008

sampai dengan tahun 2017. Satuan data rasio Investasi adalah rupiah

(asumsi kurs Rupiah, Rp. 15.000).

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝐼
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐼 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘

3. Pengeluaran Pemerintah (GE)

Pengeluaran pemerintah dibagi menjadi dua yaitu belanja langsung dan

belanja tidak langsung. Belanja langsung sering disebut sebagai belanja

pembangunan atau pengeluaran pembangunan, sedangkan belanja tidak

langsung sering disebut dengan belanja atau pengeluaran rutin. Pada

penelitian ini belanja langsung atau pengeluaran pembangunan dipakai

62
untuk mencerminkan variabel pengeluaran pemerintah (GE). variabel

pengeluaran pemerintah menggunakan data rasio pengeluaran pemerintah

dengan satuan juta rupiah.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑚𝑒𝑟𝑖𝑛𝑡𝑎ℎ


𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐺𝐸 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘

4. Tingkat Pengangguran

Pengangguran didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana

seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan

pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Tingkat pengangguran

merupakan persentase dari jumlah pengangguran dibagi dengan jumlah

angkatan kerja dalam periode waktu tertentu.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data dan

dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data (Kuncoro, 2004). Data dalam

penelitian ini bersumber dari instansi-instansi terkait. Data-data yang digunakan

adalah sebagai berikut:

1. PDRB Provinsi Aceh ADHK tahun 2008-2017 yang diperoleh dari

Badan Pusat Statistik (BPS)

2. PDRB Kabupaten Aceh Singkil, Kota Subulussalam, Kabupaten Aceh

Barat Daya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten

Pidie Jaya, Kabupaten Bireun, Kebupaten Gayo Lues, Kabupaten Bener

63
Meriah, Kota Langsa, Kota Lhoksemawe, Kabupaten Simeulue, dan

Kabupaten Aceh Tamiang, tahun 2008-2017 yang diperoleh dari Badan

Pusat Statistik (BPS)

3. PDRB Per Kapita Kabupaten Aceh Singkil, Kota Subulussalam,

Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh

Jaya, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireun, Kebupaten Gayo Lues,

Kabupaten Bener Meriah, Kota Langsa, Kota Lhoksemawe, Kabupaten

Simeulue, dan Kabupaten Aceh Tamiang tahun 2008-2017 yang diperoleh

dari Badan Pusat Statistik (BPS)

4. Jumlah penduduk Kabupaten Aceh Singkil, Kota Subulussalam,

Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh

Jaya, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireun, Kebupaten Gayo Lues,

Kabupaten Bener Meriah, Kota Langsa, Kota Lhoksemawe, Kabupaten

Simeulue, dan Kabupaten Aceh Tamiang tahun 2008-2017 yang diperoleh

dari Badan Pusat Statistik (BPS)

5. Realisasi investasi (PMA dan PMDN) Kabupaten Aceh Singkil, Kota

Subulussalam, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Nagan Raya,

Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireun,

Kebupaten Gayo Lues, Kabupaten Bener Meriah, Kota Langsa, Kota

Lhoksemawe, Kabupaten Simeulue, dan Kabupaten Aceh Tamiang tahun

2008-2017 yang diperoleh dari Badan Koordinasi Penanaman Modal

(BKPM)

64
6. Realisasi APBD Kabupaten Aceh Singkil, Kota Subulussalam, Kabupaten

Aceh Barat Daya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Jaya,

Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireun, Kebupaten Gayo Lues,

Kabupaten Bener Meriah, Kota Langsa, Kota Lhoksemawe, Kabupaten

Simeulue, dan Kabupaten Aceh Tamiang tahun 2008-2017 yang diperoleh

dari Badan Pusat Statistik (BPS)

7. Jumlah pengangguran dan angkatan kerja Kabupaten Aceh Singkil, Kota

Subulussalam, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Nagan Raya,

Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireun,

Kebupaten Gayo Lues, Kabupaten Bener Meriah, Kota Langsa, Kota

Lhoksemawe, Kabupaten Simeulue, dan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun

2008-2017 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS)

3.3 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan

metode studi kepustakaan yang meliputi populasi Indonesia. Metode ini

merupakan cara pengumpulan data dengan mengadakan penelitian kepustakaan

yaitu dengan mempelajari bahan-bahan bacaan yang berhubungan dengan

penelitian untuk mendapatkan masukan yang dibutuhkan.

65
3.4 Metode Analisis

3.4.1 Analisis Ketimpangan (Indeks Williamson)

Untuk menggambarkan ketimpangan Kabupaten Aceh Singkil dan Kota

Subulussalam dapat dihitung dengan formulasi sebagai berikut:

Vw = Indeks Williamson

yi = PDRB per kapita daerah i

y = PDRB per kapita rata-rata seluruh daerah

fi = Jumlah penduduk daerah i

n = Jumlah penduduk seluruh daerah

Pengertian indeks ini adalah sebagai berikut: bila Vw mendekati 1 berarti

sangat timpang dan bila Vw mendekati nol berarti sangat merata.

3.4.2 Metode Data Panel

Data panel adalah gabungan antara data silang (cross section) dengan data

runtun waktu (time series). Menurut Wibisono (2005) dalam Ajija (2011), dengan

mengakomodasi informasi baik yang terkait dengan variabel-variabel cross

section maupun time series, data panel secara substansial mampu menurunkan

masalah omitted-variables, model yang mengabaikan variabel yang relevan.

Untuk mengatasi interkorelasi di antara variabel-variabel bebas yang pada

akhirnya dapat mengakibatkan tidak tepatnya penaksiran regresi, metode data

66
panel lebih tepat untuk digunakan (Ajija, 2011). Hsiao (1986) dalam Firmansyah

(2009), mencatat bahwa penggunaan panel data dalam penelitian ekonomia

memiliki beberapa keuntungan utama dibandingkan data jenis cross section

maupun time series.

1. Dapat memberikan peneliti jumlah pengamatan yang besar, meningkatkan

degree of freedom (derajat kebebasan), data memiliki variabilitas yang

besar dan mengurangi kolinieritas antara variabel penjelas, dimana dapat

menghasilkan estimasi ekonometri yang efisien.

2. Panel data dapat memberikan informasi lebih banyak yang tidak dapat

diberikan hanya oleh data cross section atau time series saja.

3. Panel data dapat memberikan penyelesaian yang lebih baik dalam inferensi

perubahan dinamis dibandingkan data cross section.

Di samping berbagai keunggulan dimiliki model panel data tersebut, ada

beberapa permasalahan yang muncul dalam pemamfaatan data jenis panel, yaitu

permasalahan autokorelasi dan heteroskedastisitas. Sementara itu ada

permasalahan baru yang muncul seperti korelasi silang (cross-correlation) antar

unit individu pada periode yang sama.

A. Model Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan analisis data panel untuk mengetahui

pengaruh variabel Investasi (I), variabel pengeluaran pembangunan

pemerintah (GE), dan variabel tingkat pengangguran (UE) terhadap

ketimpangan Daerah Otonom Baru (Pembentukan Tahun 1999-2007) di

Provinsi Aceh Model dasar data panel yaitu:

67
Yit = 1 X1it + 2 X2it + 3 X3it + it …………………………….(3.1)

Model fungsi yang akan digunakan untuk mengetahui ketimpangan antar

wilayah di Provinsi Banten yaitu:

VW = f (PMA, GE, UE) …………………………………...……(3.2)

dimana :

VW = ketimpangan pembangunan wilayah

I = Investasi

GE = pengeluaran pembangunan pemerintah

UE = tingkat pengangguran

i = cross section

t = time series

β = koefisien

µ = error

B. Regresi Model Data Panel Pendekatan Fixed Effect

Estimasi model regresi dengan data panel dapat menggunakan pendekatan

fixed effect model (FEM). Estimasi model tergantung pada asumsi yang

kita buat mengenai intersep, koefisien kemiringan (slope), dan error term

it. Ada beberapa kemungkinan (Gujarati, 2010):

1. Asumsi bahwa intersep dan koefisien slope (kemiringan) adalah

konstan antar waktu (time) dan ruang (space) dan error term

mencakup perbedaan sepanjang waktu dan individu (ruang). Model ini

biasa disebut pooled regression.

2. Koefisien slope konstan tetapi intersep bervariasi sepanjang individu.

68
Dalam literature, asumsi tersebut dikenal dengan nama fixed effect

(regression) model (FEM). Terminologi fixed effect menunjukkan

bahwa meskipun intersep bervariasi sepanjang individu, setiap intersep

individu tersebut tidak bervariasi sepanjang waktu, yang disebut

time invariant. Dapat juga dinyatakan bahwa berdasarkan model

FEM, diasumsikan bahwa koefisien slope dari regresor tidak

bervariasi antar individu maupun antar waktu. Bentuk model fixed

effect adalah dengan memasukkan variabel dummy untuk menyatakan

perbedaan intersep, yaitu:

Yit = 1 X1it + 2 X2it + 3 X3it + it ... (3.3)

Karena menggunakan variabel dummy untuk estimasi model fixed

effect, model ini juga dikenal dengan nama least square dummy

variable (LSDV) model.

3. Koefisien slope konstan tetapi intersep bervariasi sepanjang waktu

dan individu.

4. Seluruh koefisien (intersep juga koefisien slope) bervariasi

sepanjang individu.

5. intersep atau konstanta sebagaimana koefisien slope bervariasi

antar individu dan waktu.

3.4.3 Uji Asumsi Klasik

Pengujian ini digunakan untuk melihat apakah model yang diteliti akan

mengalami penyimpangan asumsi klasik atau tidak, model regresi yang diperoleh

69
dari metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square/OLS) merupakan model

regresi yang menghasilkan estimator linier tidak bias yang terbaik (Best Linier

Unbias Estimator/BLUE) kondisi ini terjadi jika dipengaruhi beberapa asumsi yang

disebut asumsi klasik, maka pengadaan pemeriksaan terhadap penyimpangan

asumsi klasik tersebut harus dilakukan sebagai berikut:

a) Multikolinearitas

Uji asumsi model klasik yang pertama adalah multikolinearitas,

multikolinearitas adalah hubungan yang terjadi diantara variabel-variabel

independen. Dalam model regresi diasumsikan tidak adanya hubungan

dependensi linier yang kuat di antara variabel independen. Pengujian

terhadap gejala multikolinearitas dapat dilakukan dengan

membandingkan koefisien determinasi parsial, (r2) dengan koefisien

determinasi majemuk (R2) regresi awal atau yang disebut dengan metode

Klein rule of Thumbs. Jika r2 < R2 maka tidak ada multikolineraitas.

(Gujarati, 2003).

b) Autokorelasi

Autokorelasi adalah keadaan dimana faktor-faktor pengganggu yang satu

dengan yang lain saling berhubungan, atau dengan kata lain uji korelasi

ini dilakukan untuk mengetahui adanya korelasi antara anggota

serangkaian data observasi time series maupun data cross section.

Pengujian terhadap gejala autokorelasi dapat dilakukan dengan deteksi

nilai Durbin Watson. Salah satu cara untuk menghilangkan pengaruh

70
autokorelasi tersebut adalah dengan memasukkan lag variabel dependen

kedalam model regresi (Gujarati , 2003).

c) Heterokedastisitas

Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak

memiliki varian yang sama. Gejala heterokesdastis akan muncul apabila

variabel pengganggu memiliki varian yang berbeda dari satu observasi ke

observasi lain. Adanya heteroskedastis menyebabkan estimasi koefisien-

koefisien regresi menjadi tidak efisien. Untuk mendeteksi gejala

heteroskedastis dalam persamaan regresi digunakan dengan melihat

residual plot persamaan regresi. Dengan kriteria lain heteroskedeastis

terjadi apabila koefisien regresi suatu variabel bebas secara signifikan

berbeda dengan nol.

Gejala heteroskedastis ini dapat diatasi dengan cara melakukan

transformasi variabel-variabel dalam model regresi yang diestimasi yaitu

dengan membagi model regresi semula dengan salah satu variabel bebas

yang memiliki koefisien regresi yang tinggi dalam residualnya. Pengujian

terhadap gejala heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melakukan

White Test, yaitu dengan cara meregresi residual kuadrat ( Ui2 ) dengan

variabel bebas, variabel bebas kuadrat dan perkalian variabel bebas.

Dapatkan nilai R2 untuk menghitung χ2, di mana χ2 = Obs*R square. Uji

White Test Uji Hipotesis untuk menentukan ada tidaknya

heterokedastisitas.

 Ho : ρ1 = ρ2 = ....= ρq= 0 , Tidak ada heterokedastisitas


71
 Ha : ρ1 ≠ ρ2 ≠....≠ ρq ≠ 0 , Ada heterokedastisitas

Perbandingan antara Obs*R square ( χ2 –hitung ) dengan χ2 –tabel, yang

menunjukkan bahwa Obs*R square ( χ2 -hitung )< χ2 –tabel, berarti Ho

tidak dapat ditolak. Dari hasil uji White Test tersebut dapat disimpulkan

bahwa tidak ada heterokedastisitas. Sedangkan jika nilai Obs*R square (

χ2 -hitung) > χ2 –tabel, berarti Ho dapat ditolak. Dari hasil uji White Test

tersebut dapat disimpulkan bahwa ada heterokedastisitas. Atau apabila

nilai probabilitas Obs*R square lebih kecil dari α (5%) maka data bersifat

heterokedastisitas.

3.4.4 Pengujian Statistik

Selain uji asumsi klasik, juga dilakukan uji statistik yang dilakukan untuk

mengukur ketepatan fungsi regresi dalam menaksir nilai aktualnya. Uji statistik

dilakukan dengan koefisien determinasinya (R²), pengujian koefisien regresi

secara serentak (uji F), dan pengujian koefisien regresi secara individual (uji t).

A. Uji Keberartian Parsial (uji t)

Pengujian hipotesis untuk setiap koefisien regresi dilakukan dengan

menggunakan uji t (t student) untuk menguji keberartian koefisien regresi

secara parsial. Uji t ini pada tingkat kepercayaan 95 persen dengan derajat

kebebasan n-k-1.

Ho : bi ≠ 0, berarti berpengaruh positif

Ha : bi = 0, berarti tidak berpengaruh

Apabila:

t hitung ≤ t tabel : Ho diterima


72
t hitung > t tabel : Ho ditolak

Jika Ho diterima, berarti variabel bebas yang diuji tidak berpengaruh

terhadap variabel terikat. Jika Ho ditolak, berarti variabel bebas yang diuji

berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.

B. Uji Keberartian Keseluruhan (uji F)

Pengujian hipotesis secara keseluruhan dilakukan dengan menggunakan

uji F (Fisher Test) pada tingkat keyakinan 95 persen dan derajat kebebasan

df1 = (k-1) dan df2 = (n-k).

Ho : bi = 0, bi berarti tidak berpengaruh

Ho : bi ≠ 0, bi berarti berpengaruh

Apabila:

F hitung ≤ F tabel ; Ho diterima

F hitung > F tabel ; Ho ditolak

Jika Ho diterima, berarti variabel bebas yang diuji secara bersama-sama

tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat, dan sebaliknya.

C. Koefesien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (R²) bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh

variasi variabel independen dapat menerangkan dengan baik variasi

variabel dependen. Untuk mengukur kebaikan suatu model (goodness of

fit) dengan menggunakan koefisien determinasi (R2). Koefisien

determinasi (R2) merupakan angka yang memberikan proporsi atau

persentase variasi total dalam variabel tak bebas (Y) yang dijelaskan oleh

73
variabel bebas (X) (Gujarati, 2010). Koefisien determinasi dirumuskan

sebagai berikut:

Nilai R² yang sempurna adalah satu, yaitu apabila keseluruhan variasi

dependen dapat dijelaskan sepenuhnya oleh variabel independen

yang dimasukkan dalam model.

Dimana 0 < R² < 1 sehingga kesimpulan yang dapat diambil adalah:

Nilai R² yang kecil atau mendekati nol, berarti kemampuan variabel-

variabel bebas dalam menjelaskan variasi variabel tidak bebas sangat

terbatas.

Nilai R² mendekati satu, berarti kemampuan variabel-variabel bebas

menjelaskan hampir semua informasi yang digunakan untuk memprediksi

variasi variabel tidak bebas.

74
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin. 2000. Ekonomi Pembangunan. Edisi keempat. STIE YKPN,


Yogyakarta
BPS Provinsi Aceh

BPS Kabupaten Aceh Singkil

BPS Kota Subulussalam

Gujarati, Damodar, (1997). Ekonometrika Dasar. (Terjemahan Sumarno Zain).


Erlangga, Jakarta.

Jhingan, M.L. 2010. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Penerjemah:


D.Guritno. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kuncoro, Mudrajat, 2006. “Otonomi dan Pembangunan Daerah”, Erlangga,


Jakarta.

Mankiw, Gregory, 2007. “Teori Makroekonomi”, alih bahasa oleh Imam


Nurmawan, Gelora Aksara Pratama, Erlangga, Jakarta.
.
Maqin, Abdul. 2007. Analisis Disparitas Pendapatan Antar Daerah di Jawa Barat.
Jurnal Trikonomika 6 Vol.2 Universitas Pasundan

Sjafrizal. 2012. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media.

Sukirno, Sadono. 2010. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Tenrini, R. H. (2013, desember 5). Pemekaran Daerah : Kebutuhan Atau Euforia


Demokrasi ?Menyibak Kegagalan Pemekaran. Diambil kembali dari kementerian
keuangan: http://www.fiskal.kemenkeu.go.id/dw-konten-
view.asp?id=20131114145729605172231#

Todaro, Michael P., dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia
Ketiga, Edisi kedelapan. Jakarta: Erlangga.

75
Wijaya, J. L. (2017, juni 5). Apakah yang dimaksud dengan Koefisien Gini?
Diambil kembali dari www.dictio.id: https://www.dictio.id/t/apakah-yang-
dimaksud-dengan-koefisien-gini/8371

76

Anda mungkin juga menyukai