Anda di halaman 1dari 3

Mustafa, M; et al. Acute and Chronic Rhinosinusitis, Pathophysiology and Treatment.

International Journal of Pharmaceutical Science Invention. 2015 .Volume 4 Issue 2 p.30-36.

, P. Patawari, HM Iftikhar, SC Shimmi, SS Hussain, MM Sien

Patofisiologi

Patogenesis rhinosinusitis melibatkan tiga elemen utama yaitu, ostis sinus yang menyempit,
disfungsi ciliary apparatus dan sekresi sinus yang kental. Penyempitan ostia sinus merupakan
permulaan kepada terjadinya sumbatan. Faktor predisposisi terjadinya obstruksi ostia
termasuklah pembengkakan mukosa dan juga obstruksi secara mekanikal. Dari kesemua
penyebab-penyebab ini, infeksi virus saluran pernapasan atas dan inflamasi karena alergi
merupakan penyebab yang paling sering. Dalam episode rhinitis akut, ostia yang paten
sepenuhnya hanya ada sekitar 20% sewaktu. Bila obstruksi ostia sinus terjadi, terdapat
peningkatan tekanan sementara dalam kavitas sinus. Semakin oksigen berkurang dalam rongga
tertutup ini, tekanan dalam sinus menjadi negatif berbanding tekanan atmosfera. Tekanan negatif
ini berkemungkinan menyebabkan masuknya bakteri hidung ke dalam sinus sewaktu menghidu
atau menghembus. Bila obstruksi ostium sinus terjadi, sekresi mukus oleh mukosa hidung
berlanjut, mengakibatkan akumulasi cairan dalam sinus. Dalam satu studi volunteer dewasa
mengkaji efek dari menghembus hidung dengan kemasukan cairan ke dalam hidung bisa menjadi
rute masuknya mikroba ke dalam rongga sinus. Dari hasil CT scan memperlihatkan hampir 1 ml
cairan kental masuk ke dalam sinus bila volunteer menghembus hidung. Hal ini bisa menjadi
mekanisme yang berpotensi untuk flora mengkontaminasi sinus-sinus terutama sewaktu pilek.
Tapi, dalam anak-anak yang tidak menghembus hidung, tetap tejadi sinusitis bakterial akut. Jadi,
berkemungkinan terdapat banyak faktor lain yang berperan pada terjadinya infeksi akut.

Disfungsi mucociliary apparatus juga berkontribusi kepada pathogenesis sinusitis. Sewaktu pilek
yang disebabkan oleh virus, struktur dan fungsi mucociliary apparatus terhambat.Dalam satu
studi anak-anak dengan infeksi virus pada saluran nafas atas, biopsy mukosa hidung dilakukan
untuk memeriksa struktur cilia. Cilia yang dismorfik terbentuk karena abnormalitas tubular
mikro dapat diobservasi sewaktu fase akut (7 hari) penyakit. Kehilangan cilia yang progresif
diobservasi sepanjang tempoh penyakit. Dalam studi infeksi virus saluran nafas atas pada orang
dewasa, pengosongan mucociliar diukur menggunakan solusi dye saccharin. Waktu pengosongan
mucociliar, diukur menggunakan rasa dan warna, secaran signifikan lebih lambat sewaktu fase
akut penyakit. Diasumsikan perubahan struktur dan fungsi mukosa hidung sewaktu infeksi virus
juga terjadi pada mukosa sinus. Hal ini berakibat kepada kurangnya pengosongan rongga sinus.
Kualitas dan sifat dari sekresi sinus juga berperan dalam pathogenesis sinusitis. Cilia hanya bisa
bergerak dalam media cair. Selaput mukus dalam saluran nafas terdiri dari dua lapisan. Fase sol
yang tipis, viskositas rendah yang menyelubungi batang cilia membolehkan cilia untuk bergerak
bebas. Lapisan kedua merupakan lapisan yang lebih kental atau fase gel, menempati di atas fase
sol. Perubahan dalam lapisan mukosa, yang terjadi sewaktu ada debris inflamatorik seperti dalam
sinus yang terinfeksi, berkemungkinan semakin menghambat pergerakan cilia.

Dipercayai bahwa reduksi aliran udara yang melewati rongga saluran nasal berkontribusi kepada
terjadinya rhinosinusitis. Tapi, dalam tinjauan lanjut hipotesis ini tidak menemukan bukti yang
meyakinkan bahwa kurangnya aliran udara merupakan faktor dalam patologi sinusitis. Kecuali
dalam model eksperimental, temuan histologis sewaktu sinusitis akut tidak dapat digambarkan
sampai baru-baru ini. Dalam model kelinci sinusitis akut, perubahan histologi termasuklah
edema deskuamasi epithelial dan hyperplasia sel goblet. Dari penelitian, didapatkan hasil ang
mengejutkan karena lapisan epithelial sinus pada manusia yang terkena sinusitis akut masih
dalam kondisi baik. Tapi, pada lamina propria terdapat edema dan infiltrat massif oleh netrofil
dan sel mononuklear termasuklah limfosit dan sel plasma. Kadang-kadang, agregasi sel
inflamatorik dengan abses mikro juga bisa ditemukan. Saluran darah dengan thrombosis dan
nekrosis foci dalam diobservasi pada pasien yang mengalami komplikasi sinusitis akut.
Perwarnaan imunohistologik menunjukkan limfosit T bersebaran di seluruh lamina propria
dengan agregasi padat limfosit B. Analisis produksi sitokin pada sinusitis mendapati interleukin-
8 meningkat dalam sinus sewaktu infeksi akut. Pada pasien dengan sinusitis akut, penyembuhan
mukosa berlaku kurang lebih dalam tempoh waktu berminggu-minggu setelah infeksi. Dalam
studi menggunakan magnetic resonance imaging pada pasien dengan sinusitis akut bakterialis,
simtom klinis hilang dalam waktu tiga hari perawatan pada kebanyakan pasien. Perubahan
radiografik mengambil waktu lebih lama untuk menunjukkan pembaikan. Sinus membutuhkan
waktu 56 hari untuk diudarakan sebanyak 80%.

Dari hipotesis, infeksi bakteri biofilm berkemungkinan menyebabkan banyak kasus sinusitis
kronik yang tahan antibiotik. Biofilm merupakan agregasi kompleks matriks ekstraselular dan
mikroorganisme interdependan dari banyak spesies yang kebanyakannya sulit atau tidak bisa
diisolasi menggunakan teknik laboratorium klinis yang standar. Bakteri yang dijumpai dalam
biofilm mempunyai resistensi terhadap antibiotik yang ditingkatkan 1000 kali jika dibandingkan
dengan bakteri bebas dari spesies sama. Dari studi juga ditemukan biofilm ada di mukosa pada
75% pasien yang menjalani operasi untuk sinusitis kronik.

Anda mungkin juga menyukai