Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS KASUS MOBIL NASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kehadiran Timor yang menyandang atribut "mobil nasional" ibarat bayi cacat karena lahir
prematur. Dokter tak sempat melakukan operasi "sesar" disebabkan kaki bayi sudah kepalang
menyembul keluar. Untuk lahir normal hampir tak mungkin, apalagi sang ibu sudah tak bertenaga
karena stres. Maka terpaksalah dokter mengambil tindakan cepat dengan metode rangsangan
eksternal,tentu saja setelah disetujui ayah si bayi. Bayi yang lahir seperti itu biasanya menderita
kelainan fisik ataupun gangguan syaraf otak. Sejak proses kelahirannya hingga dewasa, si bayi
mungkin membutuhkan sangat banyak perhatian dan pertolongan ekstra.

Namun, bagaimanapun juga sosok bayi yang lahir, dia tetaplah anak kandung bagi kedua
orang tuanya. Segala cara dengan berbagai daya upaya akan ditempuh untuk membuat si anak
tumbuh dalam naungan kasih sayang orang tuanya, ditimang dan dibelai. Ayah atau ibunya akan
menghardik kalau ada orang yang berkomentar sumbang terhadap anak kandung mereka yang
ditakdirkan cacat itu. Sebatas ini persoalannya biasa saja.

Kalau keberadaan Timor dianalogikan sebatas sampai cerita di atas barangkali tak akan
menimbulkan kontroversi. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Pada kasus bayi cacat, masalah
akan muncul kalau sang orang tua mengabaikan realitas dengan mengatakan kepada handai
taulan bahwa anaknya yang cacat itu normal adanya, apalagi kalau mengklaim bahwa anaknya
hebat. Mereka harus berlapang dada untuk menerima kenyataan bahwa anaknya terbelakang,
sehingga harus rela untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah luar biasa.

Pada kasus Timor masalah yang muncul juga seperti kasus bayi itu. Inpres No. 2/1996
jelas-jelas tidak memiliki pijakan yang rasional dan terkesan sangat dipaksakan. Sejak awal saya
sudah yakin Timor akan memperoleh banyak kemudahan dan perlakuan yang super istimewa.
Sudah diperkirakan bahwa eksistensi Timor hanya bisa dipertahankan hanya kalau pemerintah
terus ngotot. Untuk itu pemerintah dipaksa untuk mengeluarkan berbagai kebijakan lanjutan yang
semakin aneh sehingga merusak tatanan mekanisme pasar dan kaidah-kaidah perumusan
kebijakan.

Contoh yang paling baru adalah perlakuan sedan Timor-KIA yang telah tiba di pelabuhan
Tanjung Priok. Entah apa alasannya, kedatangan pengapalan pertama yang mencapai lebih dari
2000 unit tersebut diamankan oleh banyak personel ABRI dari tiga angkatan. Menurut ketentuan
mobil-mobil tersebut baru boleh keluar dari pelabuhan atau kawasan Bea Cukai kalau pihak
Timor telah membayar jaminan bea masuk dan PPnBM (Pajak atas Penjualan Barang Mewah).
Kenyataannya mobil-mobil Timor sudah berada di kawasan Bandara Soekarno Hatta. Entah
kapan kawasan ini mulai berfungsi sebagai daerah pengawasan aparat Bea Cukai. Yang aneh lagi,
pihak Timor tak tahu berapa uang jaminan yang harus dibayar. Padahal segala sesuatunya, yang
menjadi basis perhitungan, sudah sangat jelas. Barangkali pihak Timor sedang menunggu
keringanan lainnya atau formula penghitungan khusus.

Perkara pengaduan Jepang ke WTO bermula dari keluarnya Inpres No. 2 /1996 tentang
program Mobnas yang menunjuk PT Timor Putra Nusantra (TPN) sebagai pionir yang
memproduksi Mobnas. Karena belum dapat memproduksi di dalam negeri, maka keluarlah
Keppres No. 42/1996 yang membolehkan PT TPN mengimpor mobnas yang kemudian diberi
merek "Timor", dalam bentuk jadi atau completely build-up (CBU) dari Korea Selatan.

Selain itu, PT TPN diberikan hak istimewa, yaitu bebas pajak barang mewah dan bebas
bea masuk barang impor. Hak itu diberikan kepada PT TPN dengan syarat menggunakan
kandungan lokal hingga 60 persen dalam tiga tahun sejak mobnas pertama dibuat. Namun bila
penggunaan kandungan lokal yang ditentukan secara bertahap yakni 20 persen pada tahun
pertama dan 60 persen pada tahun ketiga tidak terpenuhi, maka PT TPN harus menanggung
beban pajak barang mewah dan bea masuk barang impor. Namun, soal kandungan lokal ini
agaknya diabaikan selama ini, karena Timor masuk ke Indonesia dalam bentuk jadi dari Korea.
Dan tanpa bea masuk apapun, termasuk biaya pelabuhan dan lainnya.

Tuduhan Jepang tersebut terdiri atas tiga poin. Pertama, adanya perlakuan khusus impor
mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi keuntungan pada satu negara. Misalnya
perlakuan bebas tarif masuk barang impor, yang melanggar pasal 10 peraturan GATT. Kedua,
perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen mobnas selama dua
tahun. Ini melanggar pasal 3 ayat 2 peraturan GATT. Dan ketiga, menghendaki perimbangan
muatan lokal seperti insentif, (1) mengizinkan pembebasan tarif impor, (2) membebaskan pajak
barang mewah di bawah program mobnas sesuai dengan pelanggaran dalam pasal 3 ayat 1 GATT,
dan pasal 3 kesepakatan perdagangan multilateral.

Bahkan, dari beberapa kali pertemuan tingkat menteri, kesepakatan yang ingin dicapai
bertolak belakang dengan keinginan dan cita-cita masing-masing negara. Maka pada 4 Oktober
1996, Pemerintah Jepangmelalui Kementrian Industri dan Perdagangan Internasional
(MITI) resmi mengadukan Indonesia ke WTO yang didasarkan pasal 22 ayat 1 peraturan GATT.
Inti dari pengaduan itu, Pemerintah Jepang ingin masalah sengketa dagangnya dengan Indonesia
diselesaikan sesuai dengan kesepakatan perdagangan multilateral sesuai dengan aturan yang
tercantum dalam WTO. Ketika itu, jika dalam tempo lima-enam bulan setelah pengaduan ke
WTO belum dapat diselesaikan, maka Jepang akan membawanya ke tingkat yang lebih tinggi.

Setelah enam bulan tidak ada penyelesaian sejak Jepang secara resmi mengadukan
Indonesia ke WTO, tampaknya, ancaman Jepang bukan isapan jempol belaka. Jepang bakal
membawa masalah Mobnas ke panel WTO pada 30 April melalui pembentukan dispute
settlement body (DSB) atau sidang bulanan badan penyelesaian sengketa. Dengan terbentuknya
DSB, maka Jepang berharap masalah Mobnas dapat dipecahkan dengan jalan terbaik dan adil.
Pembentukan panel dilakukan oleh DSB, setelah upaya penyelesaian mengalami jalan
buntu. Panel yang beranggotakan 3-5 orang inilah yang akan memeriksa pengaduan dan saksi-
saksi. Dan dalam tempo enam bulan, panel akan mengeluarkan rekomendasi yang akan
diserahkan kepada DSB. Di tangan DSB nanti, keputusan hasil panel akan disahkan satu tahun
kemudian.

Namun, Pemerintah Jepang berharap hubungan bilateral kedua negara tidak terganggu.
Dalam hal program mobnas, menyadari keinginan dan cita-cita Indonesia atas program tersebut.
Jepang tidak mengenyampingkan keinginan tersebut, sepanjang tidak melanggar peraturan GATT
dan WTO.

Walau pengaduan telah disampaikan ke WTO, Pemerintah Jepang tetap membuka


peluang melalui jalan bilateral untuk menyelesaikan soal krusial ini. Meskipun, di badan
perdagangan dunia itu, masalah mobnas akan terus melekat dalam agendanya.

Dalam makalah ini, penulis ingin mencoba untuk mengupas lebih dalam mengenai kasus
mobil nasional “Mobil Timor” yang diadukan oleh Pemerintah Jepang ke WTO karena Indonesia
dituduh telah melanggar prinsip-prinsip WTO yang selayaknya ditaati oleh Negara anggota dalam
melakukan perdagangan internasional.

B. PERUMUSAN MASALAH

1. Siapkan subyek dalam kasus mobil timor ?


2. Apa yang menjadi obyek dari kasus mobil timor ?
3. Prinsip WTO mana sajakah yang dilanggar dari kasus mobil timor ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. KETENTUAN DASAR
Setiap negara anggota WTO dalam menyelenggarakan perdagangan internasional
haruslah berdasarkan prinsip-prinsip WTO. Perdagangan bebas dewasa ini menuntut semua pihak
untuk   memahami   persetujuan perdagangan internasional   dengan   segala   implikasinya   terhadap
perkembangan   ekonomi   nasional   secara   menyeluruh.   Persetujuan­persetujuan   yang
ada dalam kerangka WTO bertujuan   untuk   menciptakan   sistem   perdagangan   dunia   yang
mengatur masalah­masalah perdagangan agar lebih bersaing secara terbuka, fair dan sehat. Hal
tersebut tampak dalam prinsip­prinsip yang dianut oleh WTO, yaitu :

1. Perlakuan yang sama untuk semua anggota (Most Favoured Nations Treatment-MFN).
Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitman yang
dibuat atau ditandatangani dalam rangka GATT-WHO harus diperlakukan secara sama kepada
semua negara anggota WTO (azas non diskriminasi) tanpa syarat.

2. Pengikatan Tarif (Tariff binding)


Prinsip ini diatur dalam pasal II GATT 1994 dimana setiap negara anggota GATT atau
WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea masuk atau tarifnya harus diikat (legally
bound). Pengikatan atas tarif ini dimaksudkan untuk menciptakan “prediktabilitas” dalam
urusan bisnis perdagangan internasional/ekspor. Artinya suatu negara anggota tidak
diperkenankan untuk sewenang-wenang merubah atau menaikan tingkat tarif bea masuk.

3. Perlakuan nasional (National treatment)


Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1994 yang mensyaratkan bahwa suatu negara
tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan
produk dalam negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis
tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini antara lain, pungutan dalam negeri, undang-
undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan, penawaran penjualan,
pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang
mensyaratkan campuran, pemrosesan atau penggunaan produk-produk dalam negeri.

4. Perlindungan hanya melalui tarif.


Prinsip ini diatur dalam pasal XI dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri
dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif.

5. Perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang (Special dan Differential
Treatment for developing countries – S&D).
Untuk meningkatkan partisipasi nagara-negara berkembang dalam perundingan
perdagangan internasional, S&D ditetapkan menjadi salah satu prinsip GATT/WTO. Sehingga
semua persetujuan WTO memiliki ketentuan yang mengatur perlakuan khusus dan berbeda bagi
negara berkembang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi
negara-negara berkembang anggota WTO untukmelaksanakan persetujuan WTO.

GATT/WTO mengatur berbagai pengecualian dari prinsip dasar seperti :

1. Kerjasama regional, bilateral dan custom union.


Pasal XXIV GATT 1994 memperkenankan anggota WTO untuk membentuk kerjasama
perdagangan regional, bilateral dan custom union asalkan komitmen tiap-tiap anggota WTO yang
tergabung dalam kerjasama perdagangan tersebut tidak berubah sehingga merugikan negara
anggota WTO lain yang tidak termasuk dalam kerjasama perdagangan tersebut.

2. Pengecualian umum.
Pasal XX GATT 1994 memperkenankan suatu negara untuk melakukan hambatan
perdagangan dengan alasan melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan
;importasi barang yang bertentangan dengan moral;konservasi hutan; mencegah perdagangan
barang-barang pusaka atau yang bernilai budaya, perdagangan emas.

3. Tindakan anti- dumping dan subsidi


Pasal VI GATT 1994, Persetujuan Antidumping dan subsidi memperkenankan pengenaan
bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan hanya kepada perusahaan-perusahaan yang
terbukti bersalah melakukan dumping dan mendapatkan subsidi.

4. Tindakan safeguards.
Pasal XIX GATT 1994 dan persetujuan Safeguard memperkenankan suatu negara untuk
mengenakan kuota atas suatu produk impor yang mengalami lonjakan substansial yang
merugikan industri dalam negeri.

5. Tindakan safeguard untuk mengamankan balance of payment

6. Melarang masuknya suatu produk yang terbukti mengandung penyakit berbahaya atau penyakit
menular yang membahayakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.

B. SUBYEK
Subyek dalam kasus mobil nasional ini adalah PT Timor Putra Nusantara yang berperan
memproduksi mobil masional akan tetapi PT Timor Putra Nusantara belum dapat memproduksi
di dalam negeri, maka PT Timor Putra Nusantara mengimpor mobil nasional dari Korea Selatan
dalam bentuk jadi.
Karena jepang menuduh bahwa kebijakan mobnas tersebut telah melanggar peraturan
WTO maka Jepang melalui Kementrian Industri dan Perdagangan Internasional (MITI)
mengadukan Indonesia ke WTO. Maksudnya, agar masalah itu dapat diselesaikan sesuai dengan
kesepakatan perdagangan multilateral yang tercantum dalam WTO.

C. OBYEK
Dalam kasus ini yang menjadi obyek sengketa adalah mobil nasional yang menunjuk PT
Timor Putra Nusantra (TPN) sebagai pionir yang memproduksi Mobnas. Karena belum dapat
memproduksi di dalam negeri, maka keluarlah Keppres No. 42/1996 yang membolehkan PT TPN
mengimpor mobnas yang kemudian diberi merek "Timor", dalam bentuk jadi atau completely
build-up (CBU) dari Korea Selatan.

D. PELANGGARAN TERHADAP PRINSIP WTO


Masalah Mobil Nasional dibawa ke World Trade Organization oleh
Jepang untuk mengajukan keluhan mengenai mobil nasional ke WTO. Jepang menilai bahwa
kebijakan pemerintah tersebut sebagai wujud diskriminasi dan oleh karena itu melanggar prinsip-
prinsip perdagangan bebas.

Tuduhan Jepang tersebut terdiri atas tiga poin. Pertama, adanya perlakuan khusus impor
mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi keuntungan pada satu negara. Misalnya
perlakuan bebas tarif masuk barang impor, yang melanggar pasal 10 peraturan GATT. Kedua,
perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen mobnas selama dua
tahun. Ini melanggar pasal 3 ayat 2 peraturan GATT. Dan ketiga, menghendaki perimbangan
muatan lokal seperti insentif, (1) mengizinkan pembebasan tarif impor, (2) membebaskan pajak
barang mewah di bawah program mobnas sesuai dengan pelanggaran dalam pasal 3 ayat 1 GATT,
dan pasal 3 kesepakatan perdagangan multilateral.
Atas dasar itu, Jepang melalui Kementrian Industri dan Perdagangan Internasional (MITI)
mengadukan Indonesia ke WTO. Maksudnya, agar masalah itu dapat diselesaikan sesuai dengan
kesepakatan perdagangan multilateral yang tercantum dalam WTO.

Indonesia yang secara resmi bergabung dengan World Trade Organization dengan
meratifikasi konvensi WTO melalui Undang-Undang No.7 tahun 1994 secara hukum terikat
kepada ketentuan ketentuan General Agreements on Tariff and Trade (GATT) yang diantaranya
termasuk prinsip-prinsip :

a. Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif (Non Tariff Barriers/Non Tariff Measures) sesuai
dengan Artikel XI, paragraaf 1 GATT 1994.
GATT pada prinsipnya hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestic
melalui tarif dan tidak melalui upaya upaya perdagangan lainnya. Perlindungan melalui tariff ini
menunjukkan dengan jelas mengenai tingkat perlindungan yang diberikan dan masih
dimungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Prinsip ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
proteksi perdagangan yang bersifat non tarif karena dapat merusak tatanan perekonomian dunia.

b. Prinsip “National Treatment” yang diatur dalam Artikel III, paragraph 4 GATT 1994.
Menurut prinsip ini, produk yang diimpor ke dalam suatu negara, harus diperlakukan sama seperti
halnya produk dalam negeri. Dengan prinsip National Treatment ini dimaksudkan bahwa negara
anggota WTO tidak boleh membeda-bedakan perlakuan terhadap pelaku bisnis domestic dengan
pelaku bisnis non domestic, terlebih terhadap sesama anggota WTO. Prinsip ini berlaku luas , dan
berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan pungutan lainnya. Prinsip ini juga
memberikan suatu perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau
kebijakan administratif atau legislatif.

Dalam GATT 1994 terdapat artikel yang melarang adanya peraturan-peraturan investasi
yang dapat menyebabkan terganggu dan terhambatnya kelancaran terlaksananya perdagangan
bebas antara Negara-negara di dunia sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut WTO. Prinsip-
Prinsip yang dianut WTO namun dilanggar oleh Indonesia Yaitu :

a. Prinsip National Treatment Artikel III, paragraph 4 GATT 1994.


pada dasarnya adalah keharusan suatu Negara untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap
semua investor asing, Kebijakan Mobil Nasional dianggap telah Melanggar ketentuan ini karena
pemberian fasilitas penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang mewah hanya
diberlakukan pada PT. Timor Putra Nasional.

b. Prinsip Penghapusan hambatan kuantitatif, Artikel XI, paragraf 1 GATT 1994.


pemerintah Indonesia dinilai telah melanggar ketentuan keharusan investor menggunakan bahan
baku, bahan setengah jadi, komponen dan suku cadang produksi dalam negeri dalam proses
produksi otomotif dalam negeri, yang dalam industri otomotif Indonesia, ketentuan ini dikenal
sebagai persyaratan kandungan lokal. Berdasarkan ketentuan GATT yang diimplementasikan
dalam aturan aturan Trade Related Investment Measures, kebijakan persyaratan kandungan lokal
merupakan salah satu kebjakan investasi yang harus dihapus karena menghalangi perdagangan
internasional, ketentuan kandungan lokal sebenarnya merupakan suatu hambatan perdagangan
non tariff yang dalam GATT tidak dapat ditolerir.

WTO memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar Prinsip-Prinsip GATT yaitu


National Treatment dan menilai kebijakan mobil nasional tersebut dinilai tidak sesuai dengan
spirit perdagangan bebas yang diusung WTO, oleh karena itu WTO menjatuhkan putusan kepada
Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT.
Timor Putra Nasional selaku produsen Mobil Timor dengan menimbang bahwa :
a. Penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang mewah yang oleh pemerintah hanya
diberlakukan pada PT. Mobil Timor nasional merupakan suatu perlakuan yang diskriminatif dan
tentu saja akan sangat merugikan para investor yang telah terlebih dahulu menanamkan modalnya
dan menjalankan usahanya di Indonesia. Dengan diberlakukannya penghapusan bea masuk dan
pajak barang mewah terhadap mobil timor, hal ini dapat menekan biaya produksi sehingga
membuat harga mobil timor di pasaran menjadi lebih murah, hal tersebut akan mengancam posisi
investor asing yang tidak dapat menrunkan harga jual produknya, dalam persaingan pasar yang
tidak sehat seperti itu, investor asing pasti akan sangat dirugikan.

b. Untuk menciptakan suatu perdagangan bebas yang efektif dan efisien, GATT dalam aturan
aturannya telah berusaha menghapuskan segala hambatan dalam perdagangan internasional,
antara lain adalah hambatan-hambatan perdagangan Non Tarif, oleh karena itu kebijakan
Pemerintah Indonesia yang menetapkan keharusan aturan persyaratan kandungan local terhadap
investor asing dinilai sebagai upaya pemerintah dalam menciptakan suatu hambatan peragangan
non tarif guna memproteksi pasar dalam negeri dari tekanan pasar asing. Kebijakan tersebut
merupakan salah satu strategi pemerintah untuk memproteksi pasar Mobil Timor agar tidak kalah
bersaing dengan produsen mobil dari luar negeri. Instrumen kebijakan tersebut tentunya sangat
merugikan pihak produsen mobil dari luar negeri, dan dapat menciptakan suatu iklim persaingan
yang tidak sehat.

BAB III
KESIMPULAN
Inisiatif kebijakan Mobil Nasional yang ditujukan untuk menyediakan mobil murah bagi
rakyat tersebut, meskipun patut dipuji namun dinilai tidak transparan dan diskriminatif karena
proteksi yang diberikan tidak sesuai dengan semangat yang sudah terlebih dahulu dikeluarkan
melalui paket-paket deregulasi, dan juga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perdaganga bebas
berdasarkan ketentuan perjanjian World Trade Organization, dimana Indonesia yang telah
meratifikasi WTO melalui UU No.7 tahun 1994 terikat secara hukum terhadap General
Agreement on Tariff and Trade. Salah satu fasilitas yang diberikan kepada industri pionir Mobil
Nasional oleh Pemerintah adalah bidang perpajakan, suatu penerapan kebijakan yang tidak tepat
karena dimungkinkannya dilakukan pembuktian yang kuat bahwa kebijakan Mobil Nasional
tersebut telah melanggar Persetujuan GATT.
Dapat pula disimpulkan bahwa Kebijakan yang dilakukan secara mendadak, tidak
transparan, dan tidak konsisten akan menimbulkan ketidakpercayaan kalangan swasta pada visi
dan strategi pembangunan yang pada jangka panjang akan mendorong ketidakpastian iklim
lingkungan usaha di Indonesia, dan jika terjadi suatu sengketa diantara negara-negara yang
tergabung di dalam WTO akan dirasakan lebih efektif dengan melakukan rangkaian konsultasi
diantara para pihak yang bersengketa karena didasarkan pada karakteristik hukum internasional
yang menjadi pedoman bertingkah laku dalam perdagangan internasional yang berdaya laku
kurang kuat sehingga suatu keputusan bersama akan lebih dipatuhi oleh para pihak.
Kalau kita yakin betul bahwa kita memang perlu mobil nasional, lalu kita yakin pula
bahwa cara yang kita tempuh untuk mewujudkannya dengan Inpres No. 2/1996 adalah yang
terbaik, bolehlah kita bertempur habis-habisan dengan negara-negara yang menentangnya. Itu
pun belum jaminan kita bisa menang. Apalagi dalam kasus mobnas yang nota bene lebih banyak
cacatnya ketimbang positifnya.
Secanggih apa pun kemampuan diplomasi ekonomi luar negri kita, pada akhirnya
keberhasilannya adalah fungsi dari kesiapan kita. Ada pun kesiapan kita merupakan fungsi dari
rasionalitas kebijakan yang dipertentangkan itu sendiri. Bertolak dari premis ini,. Seandainya
Indonesia menang, tetap saja keberadaan mobnas kurang banyak bermanfaat bagi perekonomian
nasional. Jadi kita harus berterima kasih kepada Jepang karena mereka betul-betul membawa
kasus mobnas ke WTO. Kita harus mendukung mereka. Betapa ironisnya bangsa ini. Nasib
seperti ini mungkin pantas diterima dengan lapang dada di tengah masyarakat yang terlelap oleh
situasi yang semakin membelenggu daya nalar.

Anda mungkin juga menyukai