Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Dengue

Demam dengue merupakan infeksi virus dengue yang memiliki masa

inkubasi 4-6 hari dengan rata-rata masa inkubasi 3-14 hari. Gejala demam dengue

tidak spesifik meliputi gejala konstitusional, nyeri kepala, nyeri punggung, nyeri

retroorbital, nyeri pada tulang dan otot. Hasil laboratorium yang menunjang

demam dengue meliputi jumlah sel darah putih yang rendah maupun normal,

jumlah trombosit yang rendah kurang dari 100.000 sel/mm3. Gejala laboratorium

yang dapat terjadi adalah peningkatan enzin transaminase (WHO, 2011).

2.2 Sindrom Renjatan Dengue

Sindrom renjatan dengue merupakan kondisi kegagalan sirkulasi akibat

infeksi virus dengue yang ditandai gejala nadi lemah, takikardia, tekanan nadi

yang menyempit, hipotensi (DBD derajat III) dan kondisi renjatan berat

(profound shock) dimana didapatkan nadi dan tekanan darah tidak dapat diukur

(DBD derajat IV). Kondisi renjatan terjadi saat penuruanan suhu (time of

deverfescence) terkait dengan viral load yang tinggi (Vaughn dkk., 2000; WHO,

2011).

2.2.1 Etiologi

Infeksi virus dengue disebabkan oleh 4 tipe virus RNA yang berbeda yaitu

DENV 1,2,3,4. Keempat jenis serotipe virus dengue ini termasuk kelompok B

arthropod borne virus dan dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae.

Selama fase akut virus yang menginfeksi akan membentuk protein Non Struktural
1 (NS-1), peningkatan level viremia maupun NS-1 dikaitkan dengan manifestasi

kinis yang lebih parah (Simmons dkk., 2012).

2.2.2 Patogenesis

Patofisiologi, hemodinamika dan biokimiawi DBD belum diketahui secara

pasti. Sebagian besar patofisiologi masih berpegangan kepada the secondary

heterologous infection hypothesis, yakni infeksi demam berdarah dengue dapat

terjadi jika seseorang terinfeksi virus dengue pertama kali dan mendapatkan

infeksi kedua dengan virus dengue serotipe berbeda dalam jarak waktu 6 bulan

sampai dengan 5 tahun. Infeksi virus dengue diawali oleh gigitan nyamuk pada

kulit manusia, dimana virus memiliki interaksi dengan sel dendritik yang dikenal

dengan sel Langerhaens, yang dikatakan lebih berperan terhadap munculnya

infeksi virus dengue dibandingkan dengan sel monosit atau makrofag (Fink dkk.,

2006). Sel ini mengekspresikan Dendritic cell specific ICAM3-grabbing non-

integrin receptor (DC-SIGN) yang berfungsi untuk berikatan pada glikoprotein 4

serotipe virus dengue (Fink dkk., 2006).

Infeksi dengue yang lebih berat dapat terjadi, bila pasien kembali terinfeksi

strain virus yang berbeda, fenomena ini dikenal dengan istilah antibody-

dependent enhancement, dimana antibodi yang awalnya terbentuk oleh infeksi

primer bereaksi dengan antigen virus yang lain sehingga membentuk kompleks

yang berikatan di reseptor sel yang menyebabkan virus menginfeksi sel. Banyak

faktor risiko yang menyebabkan keparahan infeksi virus dengue sendiri dimana

tidak hanya semata-mata terjadi oleh karena infeksi sekunder saja melainkan

banyak faktor yang terkait menimbulkan keparahan dari infeksi virus dengue,
yakni status gizi, jenis kelamin, umur, serotipe virus, tingkat keganasan strain

virus, status imun dan penyakit kronis yang diderita serta faktor genetik

(Hernandez dan Smith., 2005; Fink dkk., 2006)

2.2.3 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis infeksi virus dengue menurut WHO 2011 dibagi menjadi 4

kelompok, yakni demam berdarah dengue, demam dengue, sindrom virus, dan

expanded dengue syndrome. Demam berdarah dengue dibagi menjadi 2, yakni

dengan renjatan dan tanpa renjatan. Demam dengue dibagi menjadi dengan

perdarahan atau tanpa perdarahan. Pasien yang tergolong demam berdarah dengue

dengan renjatan, yakni pasien dengan demam berdarah dengue tingkat III dan

tingkat IV. Tabel 2.1 berikut merupakan manifestasi klinis demam berdarah

dengue :

Tabel 2.1
Manifestasi klinis demam berdarah dengue

Demam Tingkat Tanda dan gejala Hasil Laboratorium


dengue/DBD
Demam dengue Demam dengan disertai 2 gejala berikut Leukopenia
1. Nyeri kepala (wbc<5000 sel/mm3)
2. Nyeri retroorbital Trombositopenia
3. Myalgia (Plt<150.000
4. Nyeri tulang/Arthralgia sel/mm3)
5. Rash Peningkatan
6. Perdarahan hematokrit 5%-10%
7. Tidak terdapat kebocoran plasma Tidak ada
Demam berdarah I Demam, uji tourniquet +, terdapat bukti Tromboositopenia
dengue kebocoran plasma <100.000 sel/mm3,
HCT> 20%
Demam berdarah II Tingkat I dengan perdarahan spontan Tromboositopenia
dengue <100.000 sel/mm3,
HCT> 20%
Demam berdarah III/SSD Tingkat I dan II dengan tanda kegagalan Tromboositopenia
dengue sirkulasi (nadi lemah, tekanan nadi <100.000 sel/mm3,
menyempit, hipotensi dan lemah) HCT> 20%
Demam berdarah IV/SSD Tingkat III dengan profound renjatan, Tromboositopenia
dengue nadi tidak teraba, tekanan darah tidak <100.000 sel/mm3,
terukur HCT> 20%
Dikutip dari : Guideline WHO 2011
2.2.4 Faktor prognostik terjadinya sindrom renjatan dengue

Virulensi virus dengue tergantung pada virion apakah mengandung antigenic

determinant yang kuat yang dapat menghancurkan sel target. Semakin kuat sifat

antigenic determinant suatu epitop virus, semakin mudah terjadi perlekatan

sehingga semakin banyak virus yang melekat pada reseptor membran sel. Hal itu

menyebabkan virus dengue menjadi lebih virulen (Lee dkk., 2009; Martina dkk.,

2009).

Host adalah manusia dan nyamuk yang peka terhadap infeksi virus dengue.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepekaan : a). Usia, merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap infeksi virus dengue. Usia

terbanyak untuk terjadi demam berdarah dengue adalah usia 10 – 14 tahun (37 %),

usia 4 – 9 tahun (36 %) dan usia 15 – 24 tahun 15 % (Nguyen dkk., 2013). Jika

terjadi infeksi sekunder pada anak-anak memiliki risiko 87% untuk menjadi

demam berdarah dengue jika dibandingkan dengan dewasa (Raihan dkk., 2010)

b). Jenis kelamin, dimana pada umumnya anak laki-laki dan perempuan memiliki

perbandingan yang sama untuk terjadinya demam berdarah dengue, dimana risiko

terjadinya demam berdarah dengue pada anak laki-laki dibanding perempuan

adalah 0,96 berbanding 1,0. Pada bayi laki-laki dibanding perempuan mempunyai

risiko demam berdarah dengue 1,29:1, sedangkan risiko infeksi virus dengue

dengan renjatan 1,73:1. Untuk renjatan berat, perdarahan gastrointestinal,

kegagalan respirasi, dan ensefalopati tidak ada perbedaan bermakna menurut jenis

kelamin (Raihan dkk., 2010). c). Status gizi, Pengaruh status gizi terhadap

beratnya infeksi virus dengue masih kontroversial. Pengaruh status gizi terhadap
beratnya penyakit berhubungan dengan teori imunologi, yaitu pada gizi baik akan

meningkatkan respon antibodi dan karena ada reaksi antigen antibodi yang

berlebihan menyebabkan infeksi virus dengue lebih berat (Raihan dkk., 2010).

Kondisi malnutrisi mengakibatkan infeksi yang berat dan status gizi lebih

memiliki 2,77 kali kemungkinan untuk menjadi infeksi virus dengue berat

dibandingkan gizi normal (Raihan dkk., 2010). Anak gizi kurang memiliki risiko

tinggi (37,8% ) untuk menjadi renjatan dibanding gizi normal (29,9%) dan

obesitas (30,2%) (Halsted dkk., 2007; Saniathy dkk., 2009). Hubungan antara

infeksi virus dengue dengan atau tanpa renjatan dan sistem histokompatibilitas

atau HLA, HLA-A1, HLA-B blank, HLA-CW1 dan HLA-A29 lebih bermakna

terjadi demam berdarah dengue (Kalayanarooj dkk., 1997). Suatu korelasi yang

positif terjadi antara infeksi virus dengue yang mengalami renjatan dengan HLA-

A2 serta risiko terjadinya sindrom renjatan dengue meningkat oleh infeksi virus

dengue serotipe 2 dibandingkan dengan serotipe lain di daerah Asia Tenggara dan

Amerika (Prommalikit dan Thisyakorn, 2015).

Curah hujan yang tinggi akan menguntungkan nyamuk untuk berkembang

biak ditambah lagi di daerah pedesaan masih banyak tempat untuk berkembang

biak nyamuk misalnya rumpun bambu, lubang di pohon. Di perkotaan dengan

tersedianya bahan sekali pakai tanpa diimbangi dengan perilaku membuang bahan

bekas pada tempat semestinya sehingga kalau terisi air akan menjadi tempat hidup

nyamuk (Lee dkk., 2013).


2.2.5 Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan untuk skrining penderita yang

mengalami demam dengue adalah melalui pemeriksaan hemoglobin, kadar

hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya

gambaran limfosit plasma biru (WHO, 2011).

1. Leukosit umumnya normal atau didominasi neutrofil pada awal demam

dan semakin menurun sampai titik rendahnya pada waktu defervescence.

Rasio neutrofil berbanding limfosit (neutrofil < limfosit) menggambarkan

fase kritis dari kebocoran plasma. Kondisi tersebut mengawali

trombositopenia dan peningkatan hematokrit (WHO, 2011).

2. Deteksi asam nukleat RNA virus dengue menggunakan reverse

transcription polymerase chain reaction (RT PCR) melalui metode

ekstraksi asam nukleat, amplifikasi dan deteksi dari produk yang

diamplifikasi. Nested RT-PCR yang mendeteksi genome virus region

C/prM. One-step multiplex RT-PCR identifikasi virus dengue melalui

ukuran dari pita asam nukleatnya. Metode lainnya meliputi Real-time RT-

PCR dan Isothermal amplification method. Hasil positif bila target

amplifikasi terekam sebanyak 40 siklus (Jessie dkk., 2004; Alm dkk.,

2015).

3. Mendeteksi antigen virus seperti antigen NS-1 yang merupakan

glikoprotein yang diproduksi oleh flavivirus. Protein ini disekresikan oleh

mamalia bukan oleh serangga muncul pada hari 1 dan jumlahnya menurun

pada hari 5-6. Metode yang digunakan berupa ELISA atau metode dot blot
maupun kit komersial NS-1 yang sudah beredar saat ini. Hasil dinyatakan

positif bila terdeteksinya antigen NS-1 pada satu pemeriksaan (Vasanwala

dkk., 2014).

4. Respon imunologi atau tes serologi, lima pemeriksaan serologi dasar untuk

diagnosis infeksi virus dengue menggunakan haemagglutination-ihibition

(HI), complement fixation (CF), neutralization test (NT), IgM capture

enzim-linked immunosorbent assay (MAC-ELISA) dan indirek IgG

ELISA, terdapatnya peningkatan titer antibodi sampai dengan 4 kali pada

fase akut dibandingkan pada fase convalescence (WHO., 2011).

1. Immunoglobulin M antibody capture enzyme linked immunosorbent

assay (MAC-ELISA) merupakan pemeriksaan IgM dengue yang

muncul sedikit lebih awal dari IgG dengue yakni setelah hari ke 5

demam, titer antibodi pada infeksi primer lebih tinggi dari infeksi

sekunder.

Gambar 2.1.
Prinsip cara kerja metode MAC-ELISA, sumber : WHO 2011

Gambar diatas menjelaskan mengenai prosedur MAC-ELISA dimana

dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap infeksi virus dengue.

Pemeriksaan ini kurang sensitif dibandingkan dengan HI, namun


memiliki kelebihan tidak perlu mengambil sampel pasien 2 kali

(WHO., 2011).

2. Immunoglobulin G Enzyme Linked Immunosorbent Assay (IgG-

ELISA). Tes ini dapat membedakan infeksi primer maupun sekunder

namun tidak spesifik karena dapat terjadi reaktivasi silang antara

anggota flavivirus seperti HI tes dan tidak dapat mendeteksi jenis

serotipe dengue. Tes ini harus dikombinasikan untuk diagnosis infeksi

virus dengue. Seperti pada gambar dibawah ini menjelaskan bahwa,

antibodi IgM terdeteksi dalam 3-5 hari setelah gejala awal demam

meningkat dengan cepat selama 2 minggudan menurun sampai tidak

terdeteksi setelah 2-3 bulan. Sedangkan antibodi IgG terdeteksi rendah

pada akhir minggu pertama kemudian semakin meningkat dan menetap

sampai dengan tahunan. Penjelasan mengenai perkiraan waktu

munculnya infeksi virus primer maupun sekunder tersebut dapat

disimpulkan dalam gambar di bawah ini (WHO, 2011).

Gambar 2.2
Perkiraan waktu munculnya infeksi virus dengue primer atau
sekunder, sumber : WHO 2011
3. Rapid diagnostic test, merupakan tes untuk mendeteksi secara cepat

antibody IgM dan IgG dengue dalam waktu 15 menit, namun akurasi

dari tes ini masih belum pasti. Teknik pemeriksaan ini dapat

menghasilkan hasil positif palsu karena dapat terjadi reaksi silang

dengan flavivirus lain, parasit malaria, leptospira dan kelainan sistem

imun seperti rheumatoid dan lupus (WHO, 2011).

2.3 Proteinuria

Proteinuria merupakan terdeteksinya protein didalam urin dengan kadar 15-

20 mg/dL (Utsch dan Klaus, 2014). Proteinuria pada anak terjadi dengan

prevalensi 1-10 %. Kondisi ini berkaitan dengan disfungsi tubulus maupun

glomerulus ginjal, bila didapatkan persisten sedimen protein, hematuria,

hipertensi, dan insufisiensi ginjal. Pada anak usia lebih dari 2 tahun kadar protein

pada urin normalnya <20-25 mg protein/mmol kreatinin atau <4 mg/m2/jam.

Proteinuria fisiologis pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun <50

mg/mmol. Bila didapatkan rentang proteinuria >40 mg/m2/jam atau rasio protein

kreatinin 200-250 mg/mmol dapat dicurigai proteinuria mengarah kelainan

nefrotik (Leung dan Wong, 2010).

Proteinuria dikatakan signifikan pada anak berumur lebih dari atau sama

dengan 2 tahun yakni didapatkan perbandingan protein dan kreatinin >0,2 mg/mg

dan bernilai lebih dari 0,5 mg/mg pada anak yang berusia 6 bulan sampai dengan

2 tahun. Dari pemeriksaan albumin berbanding kreatinin urin didapatkan >30

mg/mg pada urin pagi. Proteinuria tipe nefrotik yakni lebih dari 1 gram per

m2/hari atau perbandingan protein berbanding kreatinin urin lebih dari 2 dan
biasanya terdapat edema, hipoalbumin <25 gram/ L. Pada proteinuria tipe nefrotik

ini penatalaksanaan cairan lebih hati-hati karena dapat menimbulkan overload

cairan, sedangkan pada proteinuria transien akan terjadi perbaikan seiring

hilangnya efek etiologi (Hogg dkk., 2003).

Tabel 2.2
Perbandingan nilai normal proteinuria melalui beberapa metode pemeriksaan

Kondisi Pemeriksaan urin 24 Perbandingan protein Perbandingan


Proteinuria jam dan kreatinin urin albumin dan kreatinin
urin
Fisiologis <4 gram/m2 BSA/jam < 0.2 mg/mg (anak < 30 mg/gram
(< 100mg/m2 usia 2 tahun atau
BSA/hari) lebih) dan < 0,5
mg/mg) (usia 6 bulan-
2 tahun)
Proteinuria >4 mg/m2 BSA/jam >0,2 mg/mg anak usia 30-299 mg/gram
(>100 2 tahun atau lebih, mikroalbuminuria
mg/m2BSA/hari) >0,5 mg/mg anak usia
6 bulan sampai
dengan 2 tahun
Proteinuria >40 mg/m2 BSA/jam >2 mg/mg >300 mg/gram,
berat (>1 gram/m2 mikroalbuminuria
BSA/hari)
BSA : Body Surface Area, Dikutip dari : (Utsch dan Klaus, 2014)

2.3.1 Etiologi dan faktor yang memperberat proteinuria

Proteinuria diklasifikasikan menjadi proteinuria transien, proteinuria

ortostatik, dan proteinuria persisten. Proteinuria transien merupakan terdeteksinya

protein dalam urin secara temporer dan menghilang bila faktor pencetusnya

membaik. Hal ini terjadi pada kondisi demam, hipertermi, aktivitas fisik, stres

emosional, gagal jantung kongestif, kejang, hipertiroidism. Faktor-faktor tersebut

diatas menimbulkan proteinuria karena menimbulkan perubahan hemodinamik

pada aliran darah glomerulus (Leung dan Wong dkk, 2010).


Proteinuria ortostatik merupakan kondisi proteinuria pada saat anak berdiri

paling tidak 4-6 jam dan didapatkan hasil dipstik positif atau rasio protein

berbanding kreatinin urin lebih dari 0,2. Penyebab dari kondisi ini belum banyak

diketahui namun dicurigai penekanan vena renalis kanan secara anatomi sebagai

salah satu penyebab kondisi ini (Leung dan Wong, 2010). Informasi tersebut

dapat dilihat pada tabel 2.3 di bawah ini.

Tabel 2.3
Etiologi dan klasifikasi proteinuria
Klasifikasi Etiologi
proteinuria
Transient/proteinuria Idiopatik
fungsional
Proteinuria ortostatik Terkait kondisi medis (demam, kejang, dll)
Tidak terkait kondisi medis (latihan, stress, dehidrasi, paparan
dingin)
Proteinuria persisten Glomerular (hiperfiltrasi karena kehilangan nefron: refluks
nefropati)
Sindrom Alport
Penyakit kolagen/vascular : Henoch Schonlein Purpura, Sistemik
Lupus Eritematosus
Diabetes mellitus
Glomerulopati : minimal change glomerulopati, focal segmental
glomerulosklerosis, mesangial proliferative glomerulonefritis
,sindrom nefrotik congenital, nefropati immunoglobulin A,
membranoproliferatif glomerulonefritis
Infeksi : infeksi Streptokokus Beta-hemolitik grup A, infeksi
virus : hepatitis B, hepatitis C, Human Immunodeficiency Virus,
infeksi mononucleosis, malaria, sifilis, dll
Keganasan : Limfoma, tumor padat, Toksin : merkuri
Tubulointersitial Tubuler nekrosis akut : aminoglikosida, cisplatin, amfoterisin B,
NSAIDs, radiokontras
Nefritis Tubulointerstitial Akut : NSAIDs, penicillin,
chepalosporin, quinolon, sulfonamide, cimetidin, allopurinol
Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubulus renal proksimal : sindrom fanconi, cistinosis,
sindrom lowe, galaktosemia, penyakit Wilson
Pyelonefritis
Toksin (logam, tembaga, merkuri)
Dikutip dari : (Leung dan Wong, 2010)
Proteinuria persisten atau yang dapat disebut sebagai proteinuria glomerular

bila terjadi proteinuria < 3,5 gram/24 jam dan secara terus menerus. Kondisi ini

dapat terjadi akibat kelainan glomerulus maupun tubulus. Kelainan pada

glomerulus lebih umum menjadi penyebab daripada kelainan pada tubulus yang

ditandai dengan terdeteksinya albumin dan immunoglobulin G di urin. Tipe

glomerulus dapat bersifat nefrotik maupun nefritik. Tipe tubulus bila pada urin

terdeteksi protein dengan berat molekul yang rendah (Carmody, 2011).

Proteinuria yang positif palsu dapat terjadi pada pH urin lebih dari 8, urin

yang lebih pekat (berat jenis urin >1030), hematuria massif, pyuria, bakteriuria,

teknik pemeriksaan yang salah, terdapat kandungan quaternary ammonium dan

phenozopyridinedalam urin. Hasil negatif palsu didapatkan pada urin asam dengan

pH urin kurang dari 4,5 dan berat jenis kurang dari 1.010 (Leung dan Wong,

2010).

Kadar proteinuria juga dapat dipengaruhi konsentrasi kreatinin urin tinggi

seperti pada pasien dengan massa otot yang besar (kadar >2,5 gram/L) atau lebih

rendah <0,2 gram/L pada pasien yang mengalami distrofi otot. Kadar proteinuria

jumlahnya bervariasi tergantung usia dan jenis kelamin. Pemeriksaan urin selama

24 jam diperlukan untuk mengantisipasi pengaruh dari fluktuasi sirkadian dan

perubahan posisi tubuh selama 24 jam dapat dihilangkan (Utsch dan Klaus, 2014).
2.3.2 Mekanisme terjadinya proteinuria

Glomerulus memiliki 3 lapisan yakni endothelium, membran basal dan sel

podosit yang selektif terhadap ukuran molekul dan muatan molekul. Molekul

yang bermuatan negatif sulit melewati glomerulus karena terdapat lapisan

sialoprotein dan proteoglikan pada endotel yang bermuatan negatif. Molekul yang

berukuran lebih dari 100 kDa sulit difiltrasi oleh glomerus (seperti protein,

immunoglobulin G dan M). Molekul yang bermuatan kurang dari 40 kDa seperti

transferin, mikroglobulin dan albumin ukuran intermediet dapat bebas melewati

glomerulus. Semua molekul protein yang difiltrasi glomerulus hampir 96 %

kembali diserap pada proksimal tubulus melalui endositosis (Tien dkk., 2013;

Utsch dan Klaus, 2014).

Lapisan endotel glomerulus memiliki lapisan permukaan yang dinamakan

glikokaliks yang berfungsi mencegah kebocoran protein (Dalrymple dan Mackow,

2011). Lapisan ini juga banyak mengandung vascular endothelial growth factor

(VEGF) yang dihasilkan oleh sel podosit pada lapisan visceral (Bates dkk., 2002).

VEGF sendiri merupakan protein penghubung pada lapisan ini (Toblii dkk.,

2012).

Lapisan basal membran glomerulus (BMG) banyak mengandung kolagen tipe

4 yang dihasilkan oleh sel endotel. Selain itu BMG mengandung protein laminin,

nidogen, proteoglikan sulfat, perlecan, agrin. Inti dari proteoglikan berikatan

dengan rantai Glikosaminoglikan (GAG) yang mengandung heparin sulfat pada

rantai cabangnya. Heparan sulfat ini berfungsi menghambat molekul bermuatan

negatif lolos ke urin (Toblii dkk., 2012).


Pada lapisan sel visceral terdapat sel podosit yang merupakan sel terbesar

pada membran glomerulus. Podosit diselimuti oleh glikokaliks yang memiliki

muatan negatif. Terdapat penghubung antara sel podosif yang disebut dengan slit

diafragma. Perubahan tahanan penghubung ini terjadi karena paparan

makromolekul atau albumin yang bocor menimbulkan proses glikasi dan nitrasi

yang mengubah struktur dari slit diafragma. Hal ini menyebabkan parahnya

proteinuria disamping dari peranan Angiotensin II mengaktifkan transient

receptor potential cation (TRPC6) yang merusak synaptopodyn pada slit

diafragma. Podosit dikatakan mampu meningkatkan ekspresi reseptor angiotensin

I dan dapat menghasilkan hormon angiotensin II (Tojo dan Kinugasa., 2012 dan

Toblii dkk., 2012).

Gambar 2.3
Lapisan dari membran glomerulus, sumber : (Garsen dkk., 2013)

Terdapat 4 mekanisme terjadinya proteinuria, yakni tipe glomerular terjadi

karena rusaknya integritas filtrasi glomerulus dan terjadi penurunan fungsi nefron.
Tipe tubular terjadi karena kegagalan penyerapan protein pada tubulus proksimal

sehingga ekskresi protein meningkat. Tipe sekretori terjadi oversekresi dari

protein pada tubulus karena konsentrasi protein dengan berat molekul rendah di

plasma melebihi kapasitas tubulus untuk absorbsi dan filtrasi protein. Bila

kapasitas protein berat molekul rendah melebihi kapasitas penyerapan tubulus

seperti pada hemoglobinuria pada hemolisis intravaskular disebut proteinuria tipe

overflow (Leung dan Wong, 2010). Peningkatan sekresi kreatinin menyebabkan

rasio protein kreatinin menjadi lebih rendah (Leung dan Wong, 2010).

Karakteristik yang digunakan untuk membedakan asal dari proteinuria dapat

disimpulkan dalam tabel 2.3 dibawah ini :

Tabel 2.4
Karakteristik kelainan yang bersumber dari glomerulus maupun non glomerulus
Parameter urin Non glomerular Glomerular
Morfologi eritrosit Normal/eumorfik Dismorfik
Silinder eritrosit Tidak ada Banyak
Proteinuria <500 mg/hari >500 mg/hari
<300 mg/m2 >300 mg/m2/hari
Warna Merah cerah Coklat gelap
Clot darah Bisa ada Tidak ada
Dikutip dari : (Utsch dan Klaus, 2014)

Pada infeksi virus dengue terjadi perubahan fungsi filtrasi dari glycocalyx

yang merupakan bagian dari lapisan endotelial yang merupakan matrix

proteoglikan pada lapisan lumen pembuluh darah yang menghubungkan membran

plasma dengan sel endotel. Lapisan Glycocalyx ini membentuk pertahanan

elektrostatik yang menahan protein bermuatan negatif masuk ke dalam lumen

(Singh dkk., 2007). Pada kondisi hipoalbuminemia dan proteinuria terjadi

kerusakan pada lapisan ini oleh karena virus dengue sendiri atau salah satu

protein struktural dari virus dengue tersebut berlekatan dengan bagian dari
glycocalyx yakni heparan sulfat dan langsung merusak serat matriks (Halstead,

2007).

Respon dari tubulointerstitium terhadap kebocoran protein melalui

glomerulus dapat terjadi melalui mekanisme 1. Obstruksi dari penampungan urin,

2. Terjadi proteinuria karena overload dalam tubulus proksimal, 3. Hipoksia

kronis, 4. Inflamasi yang mencetuskan feedback glomerulotubular (Rademacher

dan Sinaoko, 2009; Tojo dan Kinugasa, 2012).

Albumin yang terfiltrasi berikatan dengan megallin cubilin complex pada sel

tubulus proksimal. Albumin tersebut mengalami proses internalisasi, degradasi

dan dikeluarkan kembali ke dalam darah dalam bentuk asam amino. Substrat

seperti vitamin akan digunakan kembali. Pada kondisi cedera dari glomerulus,

filtrasi dari protein dengan berat molekul rendah meningkat dan protein berat

molekul besar dapat ikut bocor. Sel pada tubulus proksimal terpapar lebih banyak

dan protein baru sehingga terjadi overload reseptor disana dan muncul

proteinuria.

Kondisi ini diperberat kegagalan fungsi lisosom dalam degradasi protein

sehingga menimbulkan sumbatan protein pada lisosom. Proteinuria yang terjadi

akibat kegagalan fungsi tubulus merupakan protein berat molekul yang rendah

dan tidak terdeteksi pada pemeriksaan dipstick urin (Ohlson dkk., 2001; Utsch

dan Klaus, 2014).

Beberapa protein spesifik menstimulasi produksi sitokin, kemoatraktan, dan

matriks protein seperti major histocompatibility complex, intercellular adhesion

molecule I, monocyte chemotactic protein-1, tumor necrosis factor-alpha,


fibroblast growth factor, transforming growth factor beta I, platelet derived

growth factor, endothelin, RANTES oleh sel epitel tubulus yang menimbulkan

inflamasi interstitial dan scarring. Proses kerusakan tubulointerstitial akibat

kerusakan glomerulus dapat dilhat dalam gambar 2.4 di bawah.

Gambar 2.4
Kerusakan tubulointerstitium oleh gangguan glomerulus (Sumber Toblii dkk.,
2012)

2.3.3 Pemeriksaan penunjang proteinuria

Pemeriksaan proteinuria secara kualitatif dikerjakan dengan dipstik

menggunakan metode kalorimetri tetrabromophenol biru. Metode ini mendeteksi

perubahan warna yang terkait dengan kandungan protein dalam urin, tidak

bernilai dengan kandungan proteinuria 10 mg/dL, bernilai +1 bila kandungan

proteinuria 30 mg/dL, +2 kandungan 100 mg/dL, +3 bila kandungan 300 mg/dL,


+4 bila kandungan lebih atau sama dengan 1000 mg/dL (Leung dan Wong.,

2010). Pemeriksaan ini untuk mendeteksi albumin dalam urin, namun tidak

sensitif untuk protein yang lain. Pemeriksaan urin dipstik memiliki sensitivitas

sebesar 70% dan spesifisitas sebesar 68%. Predictive positive value dipstick +3-4

untuk prediksi proteinuria >1 gram/m2/hari yakni 89%, dan negative predictive

value dipstick 0 untuk memprediksi kandungan proteinuria <0,1gram/m2/hari

yakni 60% (Hogg, 2003).

Metode pemeriksaan urin qualitatif yang lain menggunakan metode asam

sulfosalisilat atau turbidimetri dan mendeteksi semua jenis protein dalam urin.

Pemeriksaan ini digunakan bila dicurigai terdapat protein dengan berat molekul

rendah dalam urin dengan jumlahnya dinyatakan dalam nilai 0-4 (Utsch dan

Klaus, 2014).

Pengukuran protein secara kuantitatif dengan mencari perbandingan protein

dengan kreatinin urin sewaktu, jumlah total protein didapatkan setelah dikali 0,63

(Leung dan Wong., 2010). Pada penelitian ini metode pemeriksaan protein dalam

urin menggunakan metode kuantitatif urin sewaktu dengan membandingkan kadar

proteinuria sewaktu dibandingkan dengan kadar kreatinin dalam urin. Hasil

pemeriksaan proteinuria dikelompokkan menjadi proteinuria yang signifkan bila

didapatkan rasio > 0,5 mg/mg pada rentang umur 6 bulan – 2 tahun dan > 0,2

mg/mg pada umur > 2 tahun. Tidak terdapat proteinuria bila kadar proteinuria <

0,5 mg/mg pada rentang umur 6 bulan – 2 tahun dan < 0,2 mg/mg pada usia > 2

tahun. Pemeriksaan protein dan kreatinin urin sewaktu dilakukan di laboratorium


Prodia Denpasar dengan menggunakan alat advia 1800 dengan metode kalorimetri

(Siemens healthcare diagnostics., 2011).

2.4 Mekanisme Terjadinya Proteinuria pada Sindrom Renjatan Dengue

Pada anak-anak dengan sindrom renjatan dengue konsentrasi protein dalam

ukuran yang berbeda jumlahnya menurun pada plasma, penurunan ini berkaitan

dengan derajat keparahan dari sindrom renjatan dengue tersebut (Wills, 2004).

Protein yang berukuran lebih kecil (MW 59.000-79.000 Da) lebih terpengaruh

dibandingkan dengan molekul protein yang lebih besar (MW 150.000 Da).

Perubahan dari glycocalyx pada lapisan endotel merupakan penyebab dari

kebocoran protein ini, termasuk kebocoran protein albumin yang biasanya susah

keluar lumen vaskuler karena muatannya yang negatif dan juga protein transferrin

yang kuat berikatan satu sama lainnya. Pengenalan kebocoran protein melalui urin

memberikan gambaran tentang fungsi sistem kapiler. Awal munculnya maupun

tingkat keparahan dari kebocoran protein urin dapat merupakan sebagai prediktor

perkembangan Demam Berdarah Dengue maupun sindrom renjatan dengue.

Pengetahuan mengenai karakteristik molekul protein yang bocor memberikan

informasi tentang pemilihan terapi cairan untuk penangan renjatan pada pasien

sindrom renjatan dengue (Wills dkk., 2004).

Proteinuria yang terjadi lebih tinggi pada sindrom renjatan dengue 27 %

dibandingkan pada infeksi virus dengue 15%. Proteinuria yang terjadi karena

cedera ginjal dimana jejas dari glomerulus terjadi oleh karena proses deposisi

kompleks imun antigen dengue (Lumpaopong dkk., 2010). Pada pasien DBD

terjadi proliferasi ringan sel mesangial, terjadi deposisi dari IgG, IgM, komplemen
C3 dan penebalan basal membran oleh deposisi partikel speris, cedera ginjal ini

selain dapat disebabkan oleh deposisi kompleks imun dapat dipredisposisi oleh

keadaan hemolisis dan rhabdomyolisis yang menimbulkan proteinuria (Hilgaard

dan Stockert, 2000; Lumpaopong dkk., 2010).

Mekanisme lain yang dapat menjelaskan proteinuria pada kasus demam

berdarah dengue disertai renjatan karena kondisi hipotensi atau renjatan

menyebabkan aktifnya renin angiotensin aldosterone, mekanisme untuk

meningkatkan tekanan darah. Angiotensin II yang banyak terbentuk ini dapat

meningkatkan ekspresi gen TRPC 6 yang merupakan protein pada slit diafragma

antar podosit untuk mempertahankan barier filtrasi glomerulus dan menyebabkan

influx kalsium yang mengaktifkan substrat nuclear faktor activated T cell

sehingga meningkatkan ekspresi calcineurin yang dapat mendegradasi atau

defosforilasi actin binding protein synaptopodin pada lapisan podosit slit

diafragma (Avirutnan dkk., 2007; Nijenhuis dkk., 2011).

Gambar 2.5
Mekanisme pengaktifan TRPC 6 oleh angiotensin II (sumber : Nijenhuis dkk.,
2011)
Makin banyak jumlah sel yang terinfeksi menyebabkan peningkatan

konsentrasi protein fase akut, sitokin, dan kemokin, pembentukan kompleks imun

dan penggunaan komplemen dan menghasilkan produk sisa. Proses ini lebih

sering terjadi pada waktu defervescence dikaitkan karena viremia lebih banyak

masih terjadi pada pasien demam berdarah dengue dan mekanisme pembersihan

berlangsung lama (Wang dkk., 2002). Sel T limfosit memori yang mengenali

perubahan ligan peptida muncul akibat aktivasi, proliferasi, dan sekresi sitokin

pada jaringan ini. Interaksi yang terjadi antara protein nonstruktural 1 (NS-1) dan

permukaan lapisan glikokaliks menyebabkan lepasnya lapisan heparan sulfat ke

sirkulasi, sehingga mengubah lapisan penyaringan dan menyebabkan kebocoran

protein. Hilangnya protein koagulasi ini menimbulkan proses koagulopati yang

bermanifestasi dengan peningkatan waktu parsial tromboplastin dan penurunan

fibrinogen serta hilangnya heparan sulfat sebagai antikoagulan menimbulkan

proses koagulopati (Simmons dkk., 2012).

Menurut Vasanwala, 2011 menyebutkan pasien infeksi virus dengue tanpa

komplikasi tidak memiliki gejala proteinuria, sedangkan 96 % pasien yang

terdiagnosis sindrom renjatan dengue memiliki gejala proteinuria, dimana jumlah

ekskresi maksimalnya terjadi pada saat mendekati fase defervescence yang

berkaitan dengan jumlah trombosit terendah dan demam yang mulai turun.

Semakin berat keadaan trombositopenia maka akan terjadi proteinuria yang

semakin berat dan berkaitan dengan derajat keparahan infeksi virus dengue. Hasil

biopsi ginjal pada pasien DBD menunjukkan adanya IgA nefropati yang

kemungkinan menggambarkan penyakit kompleks imun dimana terjadi deposisi


kompleks antigen dan antibodi pada jaringan glomerulus ginjal dan ada pula yang

menyebutkan bahwa proteinuria terjadi oleh karena infeksi virus dengue yang

mencetuskan terjadinya glomerulonefritis sekunder (Chen dkk., 1997; Avirutnan

dkk., 2007). Adanya kompleks imun dalam darah mengindikasikan terjadinya

deposit kompleks imun tersebut pada pembuluh darah yang nantinya akan

menyebabkan terjadinya vaskulitis dan glomerulonefritis yang menyebabkan

munculnya gejala proteinuria (Lizarraga dan Nayer., 2014). Jumlah proteinuria

yang paling besar merupakan mekanisme dari virus yang merangsang sistem

limpho-retikular menyebabkan glomerulonefritis yakni kebocoran protein pada

membran glomerulus (Vasanwala dkk., 2011).

Kondisi sepsis atau infeksi sekunder yang dapat menyertai renjatan pada

demam berdarah dengue dapat menyebabkan tubuler proteinuria pada tikus

percobaan berkaitan dengan penurunan protein non Glikosaminoglikan yakni

hyaluronan dan asam sialic pada sel tubulus. Protein tersebut memiliki fungsi

sama dengan Gikosaminoglikan protein heparan sulfat yang menjaga pertahanan

filtrasi glomerulus, normalnya manusia memiliki perbandingan 1 : 4 hyaluronan

berbanding heparan sulfat (Koomans dkk., 1986; Hilgard dan Stockert, 2000;

Adembri dkk., 2011).

Proteinuria dapat disebabkan oleh kadar glukosa yang tinggi. Kadar glukosa

darah yang tinggi dapat merubah biosintesa dari protein glikosaminoglikan

heparan sulfat, dan terjadi peningkatan ROS, aldosteron dan angiotensin 2

sehingga meningkatkan ekspresi heparanase oleh podosit dan sel endotel


glomerular yang meningkatkan degradasi heparan sulfat (Germi dkk., 2002;

Garsen dkk., 2013).

2.5 Mekanisme Proteinuria Menimbulkan Gagal Ginjal Akut

Proteinuria dapat memperberat kerusakan ginjal dan mempercepat terjadinya

gagal ginjal terminal. Beban protein plasma pada sel di tubulus proksimal

(albumin, immunoglobulin dan transferrin) merangsang pembentukan endothelin-

1 yang merupakan vasokonstriktor yang dapat menarik monosit, dan berperan

dalam pembentukan produksi matriks ekstrasel. Albumin meningkatkan ekspresi

monocyte chemoatractant protein-1 (MCP-1) dan RANTES pada sel tubulus

proksimal dan meningkatkan produksi IL-8 yang memiliki efek kemotaksis

terhadap limfosit dan neutrofil. Beban protein yang berlebih di tubulus proksimal

meningkatkan produksi dari oksidan reactive oxygen species (ROS) dan memicu

aktivasi NF-kB. Kandungan yang berikatan dengan albumin seperti asam lemak

bebas merupakan penyebab dari jejas sel tubulus proksimal dan aktivasi sel

proinflamasi. Arici dkk., (2002) menemukan asam lemak oleic dan linoleic yang

memiliki toksisitas dan efek profibrogenik paling tinggi.

Aktivasi komplemen intrrenal terjadi akibat cedera pada tubulointerstitial

ginjal. Sel tubulus proksimal mengaktifkan komplemen C3 dan C5b-9 melalui

jalur alternatif, aktivasi ini mengakibatkan perubahan citoskeletal, produksi

oksidan (hydrogen peroxide), dan sitokin (IL-6 dan TNF-α). Pemberian

angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor mencegah beban berlebihan dari

protein dan aktivasi komplemen C3 sehingga mengurangi mekanisme injury

(Abbate dkk., 2006). Hal tersebut disimpulkan pada gambar 2.6 di bawah ini.
Sel tubulus juga mengaktifkan makrofag yang memiliki efek fibrosis

interstitial melalui peningkatan pelepasan faktor pertumbuhan seperti TGF-β dan

PDGF, ET 1, dan PAI-1. TGF-β menstimulasi perubahan dari interstitial sel

menjadi myofibroblas dan interstitial fibroblast meiliki efek paracrine

mengeluarkan TGF-β. Penggunaan angiotensin converting enzyme (ACE)

inhibitor mengurangi beban protein dan ekspresi TGF-β sehingga menghambat

pembentukan myofibroblast. Albumin yang lolos dari filtrasi glomerulus

menyebabkan apoptosis menurut dosis dan durasi dari paparan. Paparan albumin

yang terikat asam lemak dengan berat molekul 100-440 kD berperanan dalam

apoptosis karena meningkatkan ekspresi Fas dan ligan Fas melalu jalur Fass-

FADD-caspase 8 dan aktivasi peroksisom proliferator reseptor gamma (Abbate

dkk., 2006).

Gambar 2.6
Mekanisme peradangan dan jalur fibrogenik pada sel tubulus proksimal akibat
beban protein berlebihan (Abbate dkk., 2006)

Anda mungkin juga menyukai