TINJAUAN PUSTAKA
inkubasi 4-6 hari dengan rata-rata masa inkubasi 3-14 hari. Gejala demam dengue
tidak spesifik meliputi gejala konstitusional, nyeri kepala, nyeri punggung, nyeri
retroorbital, nyeri pada tulang dan otot. Hasil laboratorium yang menunjang
demam dengue meliputi jumlah sel darah putih yang rendah maupun normal,
jumlah trombosit yang rendah kurang dari 100.000 sel/mm3. Gejala laboratorium
infeksi virus dengue yang ditandai gejala nadi lemah, takikardia, tekanan nadi
yang menyempit, hipotensi (DBD derajat III) dan kondisi renjatan berat
(profound shock) dimana didapatkan nadi dan tekanan darah tidak dapat diukur
(DBD derajat IV). Kondisi renjatan terjadi saat penuruanan suhu (time of
deverfescence) terkait dengan viral load yang tinggi (Vaughn dkk., 2000; WHO,
2011).
2.2.1 Etiologi
Infeksi virus dengue disebabkan oleh 4 tipe virus RNA yang berbeda yaitu
DENV 1,2,3,4. Keempat jenis serotipe virus dengue ini termasuk kelompok B
arthropod borne virus dan dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae.
Selama fase akut virus yang menginfeksi akan membentuk protein Non Struktural
1 (NS-1), peningkatan level viremia maupun NS-1 dikaitkan dengan manifestasi
2.2.2 Patogenesis
terjadi jika seseorang terinfeksi virus dengue pertama kali dan mendapatkan
infeksi kedua dengan virus dengue serotipe berbeda dalam jarak waktu 6 bulan
sampai dengan 5 tahun. Infeksi virus dengue diawali oleh gigitan nyamuk pada
kulit manusia, dimana virus memiliki interaksi dengan sel dendritik yang dikenal
infeksi virus dengue dibandingkan dengan sel monosit atau makrofag (Fink dkk.,
Infeksi dengue yang lebih berat dapat terjadi, bila pasien kembali terinfeksi
strain virus yang berbeda, fenomena ini dikenal dengan istilah antibody-
primer bereaksi dengan antigen virus yang lain sehingga membentuk kompleks
yang berikatan di reseptor sel yang menyebabkan virus menginfeksi sel. Banyak
faktor risiko yang menyebabkan keparahan infeksi virus dengue sendiri dimana
tidak hanya semata-mata terjadi oleh karena infeksi sekunder saja melainkan
banyak faktor yang terkait menimbulkan keparahan dari infeksi virus dengue,
yakni status gizi, jenis kelamin, umur, serotipe virus, tingkat keganasan strain
virus, status imun dan penyakit kronis yang diderita serta faktor genetik
Manifestasi klinis infeksi virus dengue menurut WHO 2011 dibagi menjadi 4
kelompok, yakni demam berdarah dengue, demam dengue, sindrom virus, dan
dengan renjatan dan tanpa renjatan. Demam dengue dibagi menjadi dengan
perdarahan atau tanpa perdarahan. Pasien yang tergolong demam berdarah dengue
dengan renjatan, yakni pasien dengan demam berdarah dengue tingkat III dan
tingkat IV. Tabel 2.1 berikut merupakan manifestasi klinis demam berdarah
dengue :
Tabel 2.1
Manifestasi klinis demam berdarah dengue
determinant yang kuat yang dapat menghancurkan sel target. Semakin kuat sifat
sehingga semakin banyak virus yang melekat pada reseptor membran sel. Hal itu
menyebabkan virus dengue menjadi lebih virulen (Lee dkk., 2009; Martina dkk.,
2009).
Host adalah manusia dan nyamuk yang peka terhadap infeksi virus dengue.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepekaan : a). Usia, merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap infeksi virus dengue. Usia
terbanyak untuk terjadi demam berdarah dengue adalah usia 10 – 14 tahun (37 %),
usia 4 – 9 tahun (36 %) dan usia 15 – 24 tahun 15 % (Nguyen dkk., 2013). Jika
terjadi infeksi sekunder pada anak-anak memiliki risiko 87% untuk menjadi
demam berdarah dengue jika dibandingkan dengan dewasa (Raihan dkk., 2010)
b). Jenis kelamin, dimana pada umumnya anak laki-laki dan perempuan memiliki
perbandingan yang sama untuk terjadinya demam berdarah dengue, dimana risiko
adalah 0,96 berbanding 1,0. Pada bayi laki-laki dibanding perempuan mempunyai
risiko demam berdarah dengue 1,29:1, sedangkan risiko infeksi virus dengue
kegagalan respirasi, dan ensefalopati tidak ada perbedaan bermakna menurut jenis
kelamin (Raihan dkk., 2010). c). Status gizi, Pengaruh status gizi terhadap
beratnya infeksi virus dengue masih kontroversial. Pengaruh status gizi terhadap
beratnya penyakit berhubungan dengan teori imunologi, yaitu pada gizi baik akan
meningkatkan respon antibodi dan karena ada reaksi antigen antibodi yang
berlebihan menyebabkan infeksi virus dengue lebih berat (Raihan dkk., 2010).
Kondisi malnutrisi mengakibatkan infeksi yang berat dan status gizi lebih
memiliki 2,77 kali kemungkinan untuk menjadi infeksi virus dengue berat
dibandingkan gizi normal (Raihan dkk., 2010). Anak gizi kurang memiliki risiko
tinggi (37,8% ) untuk menjadi renjatan dibanding gizi normal (29,9%) dan
obesitas (30,2%) (Halsted dkk., 2007; Saniathy dkk., 2009). Hubungan antara
infeksi virus dengue dengan atau tanpa renjatan dan sistem histokompatibilitas
atau HLA, HLA-A1, HLA-B blank, HLA-CW1 dan HLA-A29 lebih bermakna
terjadi demam berdarah dengue (Kalayanarooj dkk., 1997). Suatu korelasi yang
positif terjadi antara infeksi virus dengue yang mengalami renjatan dengan HLA-
A2 serta risiko terjadinya sindrom renjatan dengue meningkat oleh infeksi virus
dengue serotipe 2 dibandingkan dengan serotipe lain di daerah Asia Tenggara dan
biak ditambah lagi di daerah pedesaan masih banyak tempat untuk berkembang
tersedianya bahan sekali pakai tanpa diimbangi dengan perilaku membuang bahan
bekas pada tempat semestinya sehingga kalau terisi air akan menjadi tempat hidup
hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
ukuran dari pita asam nukleatnya. Metode lainnya meliputi Real-time RT-
2015).
mamalia bukan oleh serangga muncul pada hari 1 dan jumlahnya menurun
pada hari 5-6. Metode yang digunakan berupa ELISA atau metode dot blot
maupun kit komersial NS-1 yang sudah beredar saat ini. Hasil dinyatakan
dkk., 2014).
4. Respon imunologi atau tes serologi, lima pemeriksaan serologi dasar untuk
muncul sedikit lebih awal dari IgG dengue yakni setelah hari ke 5
demam, titer antibodi pada infeksi primer lebih tinggi dari infeksi
sekunder.
Gambar 2.1.
Prinsip cara kerja metode MAC-ELISA, sumber : WHO 2011
(WHO., 2011).
antibodi IgM terdeteksi dalam 3-5 hari setelah gejala awal demam
Gambar 2.2
Perkiraan waktu munculnya infeksi virus dengue primer atau
sekunder, sumber : WHO 2011
3. Rapid diagnostic test, merupakan tes untuk mendeteksi secara cepat
antibody IgM dan IgG dengue dalam waktu 15 menit, namun akurasi
dari tes ini masih belum pasti. Teknik pemeriksaan ini dapat
2.3 Proteinuria
20 mg/dL (Utsch dan Klaus, 2014). Proteinuria pada anak terjadi dengan
hipertensi, dan insufisiensi ginjal. Pada anak usia lebih dari 2 tahun kadar protein
Proteinuria fisiologis pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun <50
mg/mmol. Bila didapatkan rentang proteinuria >40 mg/m2/jam atau rasio protein
Proteinuria dikatakan signifikan pada anak berumur lebih dari atau sama
dengan 2 tahun yakni didapatkan perbandingan protein dan kreatinin >0,2 mg/mg
dan bernilai lebih dari 0,5 mg/mg pada anak yang berusia 6 bulan sampai dengan
mg/mg pada urin pagi. Proteinuria tipe nefrotik yakni lebih dari 1 gram per
m2/hari atau perbandingan protein berbanding kreatinin urin lebih dari 2 dan
biasanya terdapat edema, hipoalbumin <25 gram/ L. Pada proteinuria tipe nefrotik
Tabel 2.2
Perbandingan nilai normal proteinuria melalui beberapa metode pemeriksaan
protein dalam urin secara temporer dan menghilang bila faktor pencetusnya
membaik. Hal ini terjadi pada kondisi demam, hipertermi, aktivitas fisik, stres
paling tidak 4-6 jam dan didapatkan hasil dipstik positif atau rasio protein
berbanding kreatinin urin lebih dari 0,2. Penyebab dari kondisi ini belum banyak
diketahui namun dicurigai penekanan vena renalis kanan secara anatomi sebagai
salah satu penyebab kondisi ini (Leung dan Wong, 2010). Informasi tersebut
Tabel 2.3
Etiologi dan klasifikasi proteinuria
Klasifikasi Etiologi
proteinuria
Transient/proteinuria Idiopatik
fungsional
Proteinuria ortostatik Terkait kondisi medis (demam, kejang, dll)
Tidak terkait kondisi medis (latihan, stress, dehidrasi, paparan
dingin)
Proteinuria persisten Glomerular (hiperfiltrasi karena kehilangan nefron: refluks
nefropati)
Sindrom Alport
Penyakit kolagen/vascular : Henoch Schonlein Purpura, Sistemik
Lupus Eritematosus
Diabetes mellitus
Glomerulopati : minimal change glomerulopati, focal segmental
glomerulosklerosis, mesangial proliferative glomerulonefritis
,sindrom nefrotik congenital, nefropati immunoglobulin A,
membranoproliferatif glomerulonefritis
Infeksi : infeksi Streptokokus Beta-hemolitik grup A, infeksi
virus : hepatitis B, hepatitis C, Human Immunodeficiency Virus,
infeksi mononucleosis, malaria, sifilis, dll
Keganasan : Limfoma, tumor padat, Toksin : merkuri
Tubulointersitial Tubuler nekrosis akut : aminoglikosida, cisplatin, amfoterisin B,
NSAIDs, radiokontras
Nefritis Tubulointerstitial Akut : NSAIDs, penicillin,
chepalosporin, quinolon, sulfonamide, cimetidin, allopurinol
Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubulus renal proksimal : sindrom fanconi, cistinosis,
sindrom lowe, galaktosemia, penyakit Wilson
Pyelonefritis
Toksin (logam, tembaga, merkuri)
Dikutip dari : (Leung dan Wong, 2010)
Proteinuria persisten atau yang dapat disebut sebagai proteinuria glomerular
bila terjadi proteinuria < 3,5 gram/24 jam dan secara terus menerus. Kondisi ini
glomerulus lebih umum menjadi penyebab daripada kelainan pada tubulus yang
glomerulus dapat bersifat nefrotik maupun nefritik. Tipe tubulus bila pada urin
Proteinuria yang positif palsu dapat terjadi pada pH urin lebih dari 8, urin
yang lebih pekat (berat jenis urin >1030), hematuria massif, pyuria, bakteriuria,
phenozopyridinedalam urin. Hasil negatif palsu didapatkan pada urin asam dengan
pH urin kurang dari 4,5 dan berat jenis kurang dari 1.010 (Leung dan Wong,
2010).
seperti pada pasien dengan massa otot yang besar (kadar >2,5 gram/L) atau lebih
rendah <0,2 gram/L pada pasien yang mengalami distrofi otot. Kadar proteinuria
jumlahnya bervariasi tergantung usia dan jenis kelamin. Pemeriksaan urin selama
perubahan posisi tubuh selama 24 jam dapat dihilangkan (Utsch dan Klaus, 2014).
2.3.2 Mekanisme terjadinya proteinuria
podosit yang selektif terhadap ukuran molekul dan muatan molekul. Molekul
sialoprotein dan proteoglikan pada endotel yang bermuatan negatif. Molekul yang
berukuran lebih dari 100 kDa sulit difiltrasi oleh glomerus (seperti protein,
immunoglobulin G dan M). Molekul yang bermuatan kurang dari 40 kDa seperti
kembali diserap pada proksimal tubulus melalui endositosis (Tien dkk., 2013;
2011). Lapisan ini juga banyak mengandung vascular endothelial growth factor
(VEGF) yang dihasilkan oleh sel podosit pada lapisan visceral (Bates dkk., 2002).
VEGF sendiri merupakan protein penghubung pada lapisan ini (Toblii dkk.,
2012).
4 yang dihasilkan oleh sel endotel. Selain itu BMG mengandung protein laminin,
muatan negatif. Terdapat penghubung antara sel podosif yang disebut dengan slit
makromolekul atau albumin yang bocor menimbulkan proses glikasi dan nitrasi
yang mengubah struktur dari slit diafragma. Hal ini menyebabkan parahnya
I dan dapat menghasilkan hormon angiotensin II (Tojo dan Kinugasa., 2012 dan
Gambar 2.3
Lapisan dari membran glomerulus, sumber : (Garsen dkk., 2013)
karena rusaknya integritas filtrasi glomerulus dan terjadi penurunan fungsi nefron.
Tipe tubular terjadi karena kegagalan penyerapan protein pada tubulus proksimal
protein pada tubulus karena konsentrasi protein dengan berat molekul rendah di
plasma melebihi kapasitas tubulus untuk absorbsi dan filtrasi protein. Bila
rasio protein kreatinin menjadi lebih rendah (Leung dan Wong, 2010).
Tabel 2.4
Karakteristik kelainan yang bersumber dari glomerulus maupun non glomerulus
Parameter urin Non glomerular Glomerular
Morfologi eritrosit Normal/eumorfik Dismorfik
Silinder eritrosit Tidak ada Banyak
Proteinuria <500 mg/hari >500 mg/hari
<300 mg/m2 >300 mg/m2/hari
Warna Merah cerah Coklat gelap
Clot darah Bisa ada Tidak ada
Dikutip dari : (Utsch dan Klaus, 2014)
Pada infeksi virus dengue terjadi perubahan fungsi filtrasi dari glycocalyx
kerusakan pada lapisan ini oleh karena virus dengue sendiri atau salah satu
protein struktural dari virus dengue tersebut berlekatan dengan bagian dari
glycocalyx yakni heparan sulfat dan langsung merusak serat matriks (Halstead,
2007).
Albumin yang terfiltrasi berikatan dengan megallin cubilin complex pada sel
dan dikeluarkan kembali ke dalam darah dalam bentuk asam amino. Substrat
seperti vitamin akan digunakan kembali. Pada kondisi cedera dari glomerulus,
filtrasi dari protein dengan berat molekul rendah meningkat dan protein berat
molekul besar dapat ikut bocor. Sel pada tubulus proksimal terpapar lebih banyak
dan protein baru sehingga terjadi overload reseptor disana dan muncul
proteinuria.
akibat kegagalan fungsi tubulus merupakan protein berat molekul yang rendah
dan tidak terdeteksi pada pemeriksaan dipstick urin (Ohlson dkk., 2001; Utsch
growth factor, endothelin, RANTES oleh sel epitel tubulus yang menimbulkan
Gambar 2.4
Kerusakan tubulointerstitium oleh gangguan glomerulus (Sumber Toblii dkk.,
2012)
perubahan warna yang terkait dengan kandungan protein dalam urin, tidak
2010). Pemeriksaan ini untuk mendeteksi albumin dalam urin, namun tidak
sensitif untuk protein yang lain. Pemeriksaan urin dipstik memiliki sensitivitas
sebesar 70% dan spesifisitas sebesar 68%. Predictive positive value dipstick +3-4
untuk prediksi proteinuria >1 gram/m2/hari yakni 89%, dan negative predictive
sulfosalisilat atau turbidimetri dan mendeteksi semua jenis protein dalam urin.
Pemeriksaan ini digunakan bila dicurigai terdapat protein dengan berat molekul
rendah dalam urin dengan jumlahnya dinyatakan dalam nilai 0-4 (Utsch dan
Klaus, 2014).
dengan kreatinin urin sewaktu, jumlah total protein didapatkan setelah dikali 0,63
(Leung dan Wong., 2010). Pada penelitian ini metode pemeriksaan protein dalam
didapatkan rasio > 0,5 mg/mg pada rentang umur 6 bulan – 2 tahun dan > 0,2
mg/mg pada umur > 2 tahun. Tidak terdapat proteinuria bila kadar proteinuria <
0,5 mg/mg pada rentang umur 6 bulan – 2 tahun dan < 0,2 mg/mg pada usia > 2
ukuran yang berbeda jumlahnya menurun pada plasma, penurunan ini berkaitan
dengan derajat keparahan dari sindrom renjatan dengue tersebut (Wills, 2004).
Protein yang berukuran lebih kecil (MW 59.000-79.000 Da) lebih terpengaruh
dibandingkan dengan molekul protein yang lebih besar (MW 150.000 Da).
kebocoran protein ini, termasuk kebocoran protein albumin yang biasanya susah
keluar lumen vaskuler karena muatannya yang negatif dan juga protein transferrin
yang kuat berikatan satu sama lainnya. Pengenalan kebocoran protein melalui urin
tingkat keparahan dari kebocoran protein urin dapat merupakan sebagai prediktor
informasi tentang pemilihan terapi cairan untuk penangan renjatan pada pasien
dibandingkan pada infeksi virus dengue 15%. Proteinuria yang terjadi karena
cedera ginjal dimana jejas dari glomerulus terjadi oleh karena proses deposisi
kompleks imun antigen dengue (Lumpaopong dkk., 2010). Pada pasien DBD
terjadi proliferasi ringan sel mesangial, terjadi deposisi dari IgG, IgM, komplemen
C3 dan penebalan basal membran oleh deposisi partikel speris, cedera ginjal ini
selain dapat disebabkan oleh deposisi kompleks imun dapat dipredisposisi oleh
meningkatkan ekspresi gen TRPC 6 yang merupakan protein pada slit diafragma
Gambar 2.5
Mekanisme pengaktifan TRPC 6 oleh angiotensin II (sumber : Nijenhuis dkk.,
2011)
Makin banyak jumlah sel yang terinfeksi menyebabkan peningkatan
konsentrasi protein fase akut, sitokin, dan kemokin, pembentukan kompleks imun
dan penggunaan komplemen dan menghasilkan produk sisa. Proses ini lebih
sering terjadi pada waktu defervescence dikaitkan karena viremia lebih banyak
masih terjadi pada pasien demam berdarah dengue dan mekanisme pembersihan
berlangsung lama (Wang dkk., 2002). Sel T limfosit memori yang mengenali
perubahan ligan peptida muncul akibat aktivasi, proliferasi, dan sekresi sitokin
pada jaringan ini. Interaksi yang terjadi antara protein nonstruktural 1 (NS-1) dan
berkaitan dengan jumlah trombosit terendah dan demam yang mulai turun.
semakin berat dan berkaitan dengan derajat keparahan infeksi virus dengue. Hasil
biopsi ginjal pada pasien DBD menunjukkan adanya IgA nefropati yang
menyebutkan bahwa proteinuria terjadi oleh karena infeksi virus dengue yang
deposit kompleks imun tersebut pada pembuluh darah yang nantinya akan
yang paling besar merupakan mekanisme dari virus yang merangsang sistem
Kondisi sepsis atau infeksi sekunder yang dapat menyertai renjatan pada
hyaluronan dan asam sialic pada sel tubulus. Protein tersebut memiliki fungsi
berbanding heparan sulfat (Koomans dkk., 1986; Hilgard dan Stockert, 2000;
Proteinuria dapat disebabkan oleh kadar glukosa yang tinggi. Kadar glukosa
gagal ginjal terminal. Beban protein plasma pada sel di tubulus proksimal
terhadap limfosit dan neutrofil. Beban protein yang berlebih di tubulus proksimal
meningkatkan produksi dari oksidan reactive oxygen species (ROS) dan memicu
aktivasi NF-kB. Kandungan yang berikatan dengan albumin seperti asam lemak
bebas merupakan penyebab dari jejas sel tubulus proksimal dan aktivasi sel
proinflamasi. Arici dkk., (2002) menemukan asam lemak oleic dan linoleic yang
(Abbate dkk., 2006). Hal tersebut disimpulkan pada gambar 2.6 di bawah ini.
Sel tubulus juga mengaktifkan makrofag yang memiliki efek fibrosis
menyebabkan apoptosis menurut dosis dan durasi dari paparan. Paparan albumin
yang terikat asam lemak dengan berat molekul 100-440 kD berperanan dalam
apoptosis karena meningkatkan ekspresi Fas dan ligan Fas melalu jalur Fass-
dkk., 2006).
Gambar 2.6
Mekanisme peradangan dan jalur fibrogenik pada sel tubulus proksimal akibat
beban protein berlebihan (Abbate dkk., 2006)