Anda di halaman 1dari 14

BLOK MEDICAL EMERGENCY

RESUME

“TRIASE DAN KEGAWAT DARURATAN”

Disusun oleh:

Adellia Pramaissela Hanafie

G1B015005

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

JURUSAN KEDOKTERAN GIGI

PURWOKERTO

2019
A. Triase
a. Definisi Triase
Triase adalah memilah kondisi pasien agar mendapatkan pelayanan yang
sesuai dengan tingkat kegawat daruratannya. Dalam triase, perawat dan
dokter mempunyai batasan waktu (response time) untuk mengkaji keadaan
dan memberikan intervensi secepatnya yaitu < 10 menit. Tindakan ini
berdasarkan prioritas ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Environment). Penggunaan awal kata “trier” mengacu pada penampisan
screening di medan perang. Kata ini berasal dari bahasa Perancis yang
berarti bermacam-macam dalam memilah gangguan (Permenkes RI, 2018).
Tujuan triase adalah memilih atau menggolongkan semua pasien yang
datang ke IGD dan menetapkan prioritas penanganan. Prinsip Triase adalah
pemberlakuan sistem prioritas dengan penentuan/penyeleksian Pasien yang
harus didahulukan untuk mendapatkan penanganan, yang mengacu pada
tingkat ancaman jiwa yang timbul berdasarkan ancaman jiwa yang dapat
mematikan dalam hitungan menit, dapat mati dalam hitungan jam, trauma
ringan, dan sudah meninggal (Permenkes RI, 2018)..
b. Klasifikasi Triase
Triase terbagi atas Single Patient Triage dan Routine Multiple Casualty
Triage.
1. Single Patient Triage
Triase tipe ini dilakukan terhadap satu pasien pada fase pra-rumah sakit
maupun pada fase rumah sakit di Instalasi Gawat Darurat dalam day to
day emergency dimana pasien dikategorikan ke dalam pasien true
emergency dan pasien false emergency.Single patient triage dibagi dalam
kategori berikut:
a. Resusitasi adalah pasien yang datang dengan keadaan gawat darurat
dan mengancam nyawa serta harus mendapat penanganan resusitasi
segera.
b. Emergent adalah pasien yang datang dengan keadaan gawat darurat
karena dapat mengakibatkan kerusakan organ permanen dan pasien
harus ditangani dalam waktu maksimal 10 menit.
c. Urgent adalah pasien yang datang dengan keadaan darurat tidak
gawat yang harus ditangani dalam waktu maksimal 30 menit.
d. Non-urgent adalah pasien yang datang dalam kondisi tidak gawat
tidak darurat dengan keluhan yang ringan-sedang, tetapi mempunyai
kemungkinan atau dengan riwayat penyakit serius yang harus
mendapat penanganan dalam waktu 60 menit.
e. False emergency adalah pasien yang datang dalam kondisi tidak
gawat tidak darurat dengan keluhan ringan dan tidak ada
kemungkinan menderita penyakit atau mempunyai riwayat penyakit
yang serius.
2. Routine Multiple Casualty Triage
a. Simple triage and rapid treatment (START)
Dalam Hospital Preparedness for Emergencies & Disasters (2007)
dinyatakan bahwa sistem ini ideal untuk Incident korban massal
tetapi tidak terjadi functional collapse rumah sakit. Ini
memungkinkan paramedik untuk memilah pasien mana yang perlu
dievakuasi lebih dulu ke rumah sakit. Prinsip dari START adalah
untuk mengatasi ancaman nyawa, jalan nafas yang tersumbat dan
perdarahan masif arteri. START dapat dengan cepat dan akurat tidak
boleh lebih dari 60 detik perpasien dan mengklasifikasi pasien ke
dalam kelompok terapi:
1) Hijau: pasien sadar dan dapat jalan dipisahkan dari pasien lain,
walking wounded dan pasien histeris.
2) Kuning/delayed: semua pasien yang tidak termasuk golongan
merah maupun hijau.
3) Merah/immediate (10%-20% dari semua kasus): semua pasien
yang ada gangguan air way, breathing, circulation, disability and
exposure. Termasuk pasien-pasien yang bernafas setelah air way
dibebaskan, pernafasan > 30 kali permenit, capillary refill > 2
detik.
4) Hitam: meninggal dunia
b. Triase bila jumlah pasien sangat banyak SAVE (Secondary
Assessment of Victim Endpoint).
Sistem ini dapat mentriase dan menstratifikasi korban bencana. Ini
sangat membantu bila dilakukan dilapangan dimana jumlah pasien
banyak, sarana minimum dan jauh dari fasilitas rumah sakit
definitive
3. Prosedur triase (Permenkes RI, 2018).
a. Pasien datang diterima tenaga kesehatan di ruang Gawat Darurat atau
ruang tindakan. Bila jumlah Pasien lebih dari kapasitas ruangan,
maka triase dapat dilakukan di luar ruang Gawat Darurat atau ruang
tindakan
b. Penilaian dilakukan secara singkat dan cepat (selintas) untuk
menentukan kategori kegawatdaruratan Pasien oleh tenaga kesehatan
dengan cara:
1) Menilai tanda vital dan kondisi umum Pasien
2) Menilai kebutuhan medis
3) Menilai kemungkinan bertahan hidup
4) Menilai bantuan yang memungkinkan
5) Memprioritaskan penanganan definitif
c. Mengkategorikan status Pasien menurut kegawatdaruratannya,
apakah masuk ke dalam kategori merah, kuning, hijau atau hitam
berdasarkan prioritas atau penyebab ancaman hidup. Tindakan ini
berdasarkan prioritas ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,
Disability, Environment). Kategori merah merupakan prioritas
pertama (Pasien cedera berat mengancam jiwa yang kemungkinan
besar dapat hidup bila ditolong segera). Kategori kuning merupakan
prioritas kedua (Pasien memerlukan tindakan definitif, tidak ada
ancaman jiwa segera). Kategori hijau merupakan prioritas ketiga
(Pasien degan cedera - 19 - minimal, dapat berjalan dan menolong
diri sendiri atau mencari pertolongan). Kategori hitam merupakan
Pasien meninggal atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
d. Bagi Puskesmas atau Klinik yang melayani Pasien saat terjadi
bencana alam ataupun kejadian bencana lainnya yang menyebabkan
Pasien dalam jumlah banyak, penggunaan Tag Triase (pemberian
label pada Pasien) perlu dilakukan.
e. Status Triase ini harus dinilai ulang terus menerus karena kondisi
Pasien dapat berubah sewaktu-waktu. Apabila kondisi Pasien
berubah maka dilakukan retriase.
4. Sistem Triase di Rumah Sakit (Christ dkk., 2010)
Sistem triase IGD memiliki banyak variasi dan modifikasi yang sesuai
dengan kondisi masing-masing rumah sakit.
a. Australia Triage Scale (ATS)
Sekitar tahun 1980an dimulai konsep triase lima tingkat di Rumah
Sakit Ipswich, Queensland, Australia. Validasi sistim triase ini
menunjukkan hasil yang lebih baik dan konsisten dibandingkan triase
konvensional dan mulai di adopsi unit gawat darurat di seluruh
Australia. Sistim nasional ini disebut dengan National Triage Scale
(NTS) dan kemudian berubah nama menjadi Australia Triage Scale
(ATS). ATS dibagi kedalam 5 kategori yaitu:
1) Kategori 1 (Immediate)
Kondisi yang mengancam nyawa atau berisiko mengancam
nyawa bila tidak segera di intervensi
2) Kategori 2 (10 minutes)
Risiko mengancam nyawa, dimana kondisi pasien dapat
memburuk dengan cepat, dapat segera menimbulkan gagal organ
bila tidak diberikan tatalaksana dalam waktu 10 menit setelah
datang atau Pasien memiliki kondisi yang memiliki periode terapi
efektif seperti trombolitik pada ST Elevation Myocard Infark
(STEMI), trombolitik pada stroke iskemik baru, dan antidotum
pada kasus keracunan atau Nyeri hebat (VAS 7-10) nyeri harus
diatasi dalam waktu 10 menit setelah pasien datang
3) Kategori 3 (30 minutes)
Kondisi potensi berbahaya, mengancam nyawa atau dapat
menambah keparahan bila penilaian dan tatalaksana tidak
dilaksanakan dalam waktu 30 menit Atau Kondisi segera, dimana
ada pengobatan yang harus segera diberikan dalam waktu 30
menit untuk mencegah risiko perburukan kondisi pasien
4) Kategori 4 (60 minutes)
Kondisi berpotensi jatuh menjadi lebih berat apabila penlaian dan
tatalaksana tidak segera dilaksanakan dalam waktu 60 menit,
Kondisi segera dimana ada pengobatan yang harus segera
diberikan dalam waktu 60 menit untuk mencegah risiko
perburukan kondisi pasien, Kondisi medis kompleks pasien
membutuhkan pemeriksaan yang banyak, Nyeri ringan
5) Kategori 5 (120 minutes)
Kondisi tidak segera, yaitu kondisi kronik atau minor diama
gejala tidak berisiko memberat bila pengobatan tidak segera
diberikan, Masalah klinis administratif, Mengambil hasil lab dan
meminta penjelasan, meminta sertifikat kesehatan, meminta
perpanjangan resep
b. Emergency Severity Index (ESI)
Sistem ESI dikembangkan di Amerika Serikat dan Kanada oleh
perhimpunan perawat emergensi. Emergency Severity Index diadopsi
secara luas di Eropa, Australia, Asia, dan rumah sakit-rumah sakit di
indonesia. Emergency Severity Index (ESI) memiliki 5 skala prioritas
yaitu
1) Prioritas 1 (label biru)
Pasien-pasien dengan kondisi yang mengancam jiwa (impending
life/limb threatening problem) sehingga membutuhkan tindakan
penyelematan jiwa yang segera. Parameter prioritas 1 adalah
semua gangguan signifikan pada ABCD. Contoh prioritas 1
antara lain, cardiac arrest, status epilptikus, koma hipoglikemik
dan lain-lain.
2) Prioritas 2 (label merah)
Pasien-pasien dengan kondisi yang berpotensi mengancam jiwa
atau organ sehingga membutuhkan pertolongan yang sifatnya
segera dan tidak dapat ditunda. Parameter prioritas 2 adalah
pasien-pasien haemodinamik atau ABCD stabil dengan
penurunan kesadaran tapi tidak sampai koma (GCS 8-12). Contoh
prioritas 2 antara lain, serangan asma, abdomen akut, luka
sengatan listrik dan lain-lain.
3) Prioritas 3 (label kuning)
Pasien-pasien yang membutuhkan evaluasi yang mendalam dan
pemeriksaan klinis yang menyeluruh. Contoh prioritas 3 antara
lain, sepsis yang memerlukan pemeriksaan laboratorium,
radiologis dan EKG, demam tifoid dengan komplikasi dan lain-
lain.
4) Prioritas 4 (label kuning)
Pasien-pasien yang memerlukan satu macam sumber daya
perawatan IGD. Contoh prioritas 4 antara lain pasien BPH yang
memerlukan kateter urine, vulnus laceratum yang membutuhkan
hecting sederhana dan lain-lain.
5) Prioritas 5 (label putih)
Pasien-pasien yang tidak memerlukan sumber daya. Pasien ini
hanya memerlukan pemeriksaan fisik dan anamnesis tanpa
pemeriksaan penunjang. Pengobatan pada pasien dengan prioritas
5 umumnya per oral atau rawat luka sederhana. Contoh prioritas
5 antara lain, demam, acne, eksoriasi, dan lain-lain.
B. Penanganan Gawat Darurat (AHA, 2015)
1. Pasien Gawat Darurat
Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat
dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila
tidak mendapat pertolongan secepatnya.
2. Pasien Gawat Tidak Darurat
Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan
darurat, misalnya kanker stadium lanjut.
3. Pasien Darurat Tidak Gawat
Pasien akibat musibah yang datag tiba-tiba, tetapi tidak mêngancam nyawa
dan anggota badannya, misanya luka sayat dangkal.
4. Pasien Tidak Gawat Tidak Darurat
Misalnya pasien dengan ulcus tropiurn, TBC kulit, dan sebagainya.

Prioritas perlu ditetapkan dengan jelas dalam pengelolaan trauma yang berat.
Tujuannya adalah untuk mengenali cedera yang mengancam jiwa dengan Survey
Primer, seperti pemeriksaan obstruksi jalan nafas, cedera dada dengan
kesukaran bernafas, memeriksa jika terdapat perdarahan berat eksternal dan
internal , pemeriksaan cedera abdomen. Jika ditemukan lebih dari satu orang
korban maka pengelolaan dilakukan berdasar prioritas (triage) Hal ini tergantung
pada pengalaman penolong dan fasilitas yang ada. Survei ABCDE (Airway,
Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini disebut survei primer yang
harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit.

1. Airway
Menilai jalan nafas. Jika ada obstruksi maka lakukan chin lift / jaw thrust
(lidah bertaut pada rahang bawah), Suction / hisap (jika alat tersedia), Guedel
airway / nasopharyngeal airway, Intubasi trakhea dengan leher di tahan pada
posisi netral
2. Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas
bebas. Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan dekompresi rongga
pleura (pneumotoraks), menutup jika terdapat luka robek pada dinding dada,
pernafasan buatan
3. Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan
nafas bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka
lakukan menghentikan perdarahan eksternal, segera pasang dua jalur infus
dengan jarum besar (14 - 16 G), berikan infus cairan
5. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons
terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar
6. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera
yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang,
maka imobilisasi in-line harus dikerjakan
C. Kode Gawat Darurat
Kode Tanggap Darurat (alias kode warna) mewakili jenis darurat paling
mungkin terjadi di lingkungan perawatan kesehatan. Petugas medis bertanggung
jawab untuk memahami rencana ini dan bertindak sesuai jika terjadi keadaan
darurat(AHS, 2016) .
1. Kode Biru (Darurat Medis)
a. Periksa tingkat kesadaran dan kemampuan respon
b. Panggil bantuan
c. Panggil 911atau nomor emergency lainnya
d. Mulai CPR jika diperlukan dan jika dilatih
2. Kode Merah (Api Kebakaran)
a. Jauhkan benda berbahaya
b. Pastikan pintu tertutup
c. Aktifkan alarm
d. Panggil 911atau nomor emergency lainnya
e. Coba padamkan api
3. Kode Putih (Kekerasan)
a. Keselamatan fisik staf, pengunjung atau pasien sedang diancamkarena
tindakan atau perilaku orang lain
b. Seseorang menampilkan kehilangan kontrol yang substansial, yang bisa
terjadimembahayakan diri sendiri, orang lain, atau lingkungan fisik
4. Kode ungu (Penyanderaan)
a. Beri tahu Layanan Perlindungan atau Polisi
b. Mematikan area
c. Jangan memasuki area penyanderaan
5. Kode Kuning (Orang hilang)
a. Staf di area terdekat akan melakukan pencarian di sekitar ruangan
b. Jika tidak ditemukan, panggil Kode Kuning dan umumkan nama pasien,
Departemen dan Unit, Deskripsi pasien (termasuk pakaian),Waktu dan
lokasi terakhir terlihat
6. Kode Hitam (Paket Ancaman Bom / Mencurigakan)
a. Laporkan paket yang mencurigakan
b. Jangan menyentuh sesuatu yang mencurigakan
c. Matikan semua pager, ponsel, dan perangkat elektronik
d. Tetap di area untuk instruksi lebih lanjut
7. Kode Silver (Penembakan)
Seseorang yang mengancam akan menggunakan, mencoba
menggunakan, atauaktif menggunakan senjata untuk menyebabkan
kerusakan, terlepas dari jenis senjata dan situasi tidak dapat dikendalikan
tanpa polisi
8. Kode Hijau (Pengungsian)
a. Ikuti instruksi
b. Berikan bantuan sesuai kebutuhan
9. Kode Coklat (Tumpahan Kimia / Bahan Berbahaya)
a. Level I : Tumpahan kecil dan dapat dibersihkan. Konsultasikan dengan
Supervisor Anda untuk penyelesaian laporan risiko
b. Level II : Tumpahan besar yang memerlukan prosedur pembersihan
khusus
c. Level III : Bahaya kesehatan / kebakaran / lingkungan yang memerlukan
prosedur pembersihan khusus
10. Kode Oranye (Bencana)
a. Peringatan Kode Orange - Rumah Sakit telah diberitahu bahwa ada
bencana terjadi. Belum ada korban yang datang
b. Level I : Rumah sakit menerima kurang dari 4 korban
c. Level II : Rumah sakit menerima lebih dari 3 korban besar dan / atau
jumlah korban / keparahan cedera akan dibutuhkan staf dan sumber daya
tambahan
d. Level III : Rumah sakit menerima lebih dari 3 korban besar dan / atau
jumlah korban / keparahan cedera akan dibutuhkanstaf tambahan dan
sumber daya DAN rutinitas rumah sakit normal akan terganggu
D. Penanganan Bencana Alam
Penanganan medis untuk korban cedera dalam jumlah besar diperlukan
segera setelah terjadinya gempa bumi, kecelakaan transportasi atau industri yang
besar, dan bencana lainnya. Kebutuhan terbesar untuk pertolongan pertama dan
pelayanan kedaruratan muncul dalam beberapa jam pertama. Banyak jiwa tidak
tertolong karena sumbersumber daya lokal, termasuk transportasi tidak
dimobilisasi segera (Depkes RI, 2007).
Fasilitas kesehatan menjadi faktor penting dalam penanganan korban
bencana. Jika di daerah dimana terjadi bencana tidak tersedia fasilitas kesehatan
yang cukup untuk menampung dan merawat korban bencana massal (misalnya
hanya tersedia satu Rumah Sakit tipe C/ tipe B), memindahkan seluruh korban
ke sarana tersebut hanya akan menimbulkan hambatan bagi perawatan yang
harus segera diberikan kepada korban dengan cedera serius. Lebih jauh, hal ini
juga akan sangat mengganggu aktivitas Rumah Sakit tersebut dan
membahayakan kondisi para penderita yang dirawat di sana. Pemindahan korban
ke Rumah Sakit dapat ditunda sementara saat terjadi keterbatasan sumber daya,
keterbatasan daya tampung dan kemampuan perawatan. Perawatan di lapangan
yang adekuat bagi korban dapat dapat dilakukan dengan mendirikan rumah sakit
lapangan (Rumkitlap). Dalam mengoperasikan rumkitlap, diperlukan tenaga
medis, paramedis dan non medis (coordinator, dokter, dokter spesialis bedah,
dokter spesialis anastesi, tiga perawat mahir, radiolog, farmasis, ahli gizi,
laboran, teknisi medis, teknisi non medis, dan pembantu umum).
Dalam aktivitasnya, digunakan kartu atau pita merah, hijau dan hitam yang
digunakan oleh korban sebagai kode identifikasi (Depkes RI, 2007).
1. Merah
Pita merah digunakan sebagai penanda korban yang membutuhkan
stabilisasi segera dan korban yang mengalami Syok oleh berbagai kausa
yaitu gangguan pernapasan, trauma kepala , perdarahan eksternal massif
Pemberian perawatan lapangan intensif ditujukan bagi korban yang
mempunyai kemungkinan hidup lebih besar, sehingga setelah perawatan di
lapangan ini penderita lebih dapat mentoleransi proses pemindahan ke
Rumah Sakit, dan lebih siap untuk menerima perawatan yang lebih invasif.
(Depkes RI, 2007)
2. Kuning,
Pita Kuning digunakan sebagai penanda korban yang memerlukan
pengawasan ketat, tetapi perawatan dapat ditunda sementara. Termasuk
dalam kategori ini adalah korban dengan risiko syok (korban dengan
gangguan jantung, trauma abdomen), fraktur multipel, fraktur femur / pelvis
, luka bakar luas , gangguan kesadaran / trauma kepala, korban dengan status
yang tidak jelas. Semua korban dalam kategori ini harus diberikan infus,
pengawasan ketat terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi, dan
diberikan perawatan sesegera mungkin (Depkes RI, 2007).
3. Hijau
Pita hijau digunakan sebagai penanda kelompok korban yang tidak
memerlukan pengobatan atau pemberian pengobatan dapat ditunda,
mencakup korban yang mengalami fraktur minor, luka minor, luka bakar
minor
Korban dalam kategori ini, setelah pembalutan luka dan atau pemasangan
bidai dapat dipindahkan pada akhir operasi lapangan (Depkes RI, 2007)
4. Hitam
Pita hitam digunakan sebagai penanda korban yang telah meninggal dunia
(Depkes RI, 2007)
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018 Tentang


Pelayanan Kegawatdaruratan

Christ M., Grossmann F., Winter D., Bingisser R., Platz E., 2010, Modern triage in the
emergency department, Dtsch Arztebl Int ,107(50):892–898

Departemen Kesehatan RI, 2007, Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan


Akibat Bencana, Jakarta

Alberta Health Service (AHS), 2016, Emergency/Disaster Management

American Heart Association (AHA), 2015, Fokus Utama Pembaruan Pedoman


American Heart Association 2015 untuk CPR dan ECC, Texas

Anda mungkin juga menyukai