RS BHAYANGKARA TULUNGAGUNG
Topik : Bronkopneumonia
DPJP :
Tanggal MRS : 19 Mei 2019
dr. Budi, SpA
Pendamping :
Tanggal Periksa : 19 Mei 2019
dr. Yuyun
□ Deskripsi : Seorang anak, 2 tahun Sesak disertai batuh dan demam sejak 3 hari lalu
Memaparkan kasus yang telah ditangani di IGD dan Ruang Rawat Inap.
□ Tujuan : Mengumpulkan referensi ilmiah untuk menghadapi kasus yang didapatkan.
Menyelesaikan kasus yang dihadapi dengan solusi yang terbaik.
Bahan
■ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
■ Presentasi dan Diskusi □ Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
1
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
2. Riwayat Pengobatan :
4. Riwayat Keluarga :
5. Riwayat pekerjaan:
Daftar Pustaka :
1.
Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis Bronkopneumonia
2
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Zul dalam Rafiq 2008, Pneumonia adalah peradangan yang mengenai
parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius,
alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan pertukaran
gas setempat.
Jadi bronkopnemonia adalah infeksi atau peradangan pada jaringan paru terutama
alveoli atau parenkim yang sering menyerang pada anak – anak
3
BAB II
PEMBAHASAN BRONKOPNEUMONIA
DEFINISI
Pneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstisial.5 Pneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme, namun pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.6 Bila parenkim paru terkena
infeksi dan mengalami inflamasi hingga meliputi seluruh alveolus suatu lobus paru maka
disebut pneumonia lobaris atau pneumonia klasik. Bila proses tersebut tidak mencakup satu
lobus dan hanya di bronkiolus dengan pola bercak – bercak yang tersebar bersebelahan maka
disebut bronkopneumonia. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia yang sering
dijumpai pada anak – anak. 7,8
EPIDEMIOLOGI
Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di
bawah 5 tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, kurang lebih
2 juta anak balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika
dan Asia Tenggara. Pneumonia lebih sering dijumpai di negara berkembang dibandingkan
negara maju. Menurut survei kesehatan anak nasional ( SKN ) 2001, 27,6% kematian bayi dan
22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama
pneumonia.1, 9
4
Gambar 5. Penyebab Kematian Pada Balita Pada Tahun 2008 ( WHO/Child Health
Epidemiology Reference Group (CHERG) )
ETIOLOGI
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme ( virus, bakteri,
jamur, parasit ) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi makanan dan asam
lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi hipersensitivitas, dan drug – or radiation
induced pneumonitis.6,9 Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada
perbedaan dan kekhasan penumonia anak terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis,
dan strategi pengobatan. 1
Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal ibu – anak yang
berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber
infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekoneum, cairan amnion, atau dari serviks ibu.
Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus
group B, Chlamydia trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti E. coli, Pseudomonas sp,
atau Klebsiella sp. disamping bakteri utama penyebab pneumonia yaitu Streptococcus
pneumoniae. Infeksi oleh Chlamydia trachomatis akibat transmisi dari ibu selama proses
persalinan sering terjadi pada bayi di bawah 2 bulan. Penularan transplasenta juga dapat terjadi
dengan mikroorganisme Toksoplasma, Rubela, virus Sitomegalo, dan virus Herpes simpleks (
TORCH ), Varisela – Zoster, dan Listeria monocytogenes.
Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering disebabkan oleh
infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.1,9
Di negara maju, pneumonia pada anak tertuama disebabkan oleh virus, di samping
bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan penelitian pada pneumonia
anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak 32%, campuran bakteri dan virus 30%, dan
bakteri saja 22%. Virus yang terbanyak menyebabkan pneumonia antara lain adalah
Respiratory Synctial Virus ( RSV ), Rhinovirus, dan virus Parainfluenzae. Bakteri yang
terbanyak adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan
Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi
bakteri yang lebih banyak dibandingkan dengan anak berusia di bawah 2 tahun. Namun, secara
klinis umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus. Daftar etiologi
5
pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang bersumber dari data di negara maju
dapat terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negar maju1
USIA ETIOLOGI YANG SERING ETIOLOGI YANG JARANG
Lahir – 20 hari BAKTERI BAKTERI
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
VIRUS
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 minggu – 3 bulan BAKTERI BAKTERI
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
VIRUS Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1, 2, 3 VIRUS
Respitatory Syncytical Virus Virus Sitomegalo
4 bulan – 5 tahun BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
VIRUS Staphylococcus aureus
Virus Adeno VIRUS
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
6
Virus Rino
Respiratory Synncytial virus
5 tahun – remaja BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
VIRUS
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
Virus Varisela-Zoster
FAKTOR RISIKO
Faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak
balita di negara berkembang, antara lain:
pneumonia yang terjadi pada masa bayi
berat badan lahir rendah ( BBLR )
tidak mendapat imunisasi
tidak mendapat ASI yang adekuat
malnutrisi
defisiensi vitamin A
tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring
tingginya pajanan terhadap polusi udara ( polusi industri atau asap rokok)
imunodefisiensi dan imunosupresi ( HIV, penggunaan obat imunisupresif )
adanya penyakit lain yang mendahului, seperti campak
intubasi, trakeostomi
abnormalitas anatomi 1,8
PATOGENESIS
7
Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru antara lain, mekanisme pertahanan awal yang
berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus dan mekanisme pertahanan
lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen,
sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka
mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk
sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme
mencapai permukaan saluran napas: aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang
telah berkolonisasi pada orofaring, inhalasi aerosol yang infeksius, dan penyebaran hematogen
dari bagian ekstrapulomonal. Dari ketiga cara tersebut, aspirasi dan inhalasi agen – agen
infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran
secara hematogen lebih jarang terjadi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus,
mikroorganisme atipikal, mikrobakteria, atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 –
2,0 mm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi
proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas ( hidung, orofaring ) kemudian
terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dan sebagian sekret
orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur ( 50% ) juga pada keadaan penurunan
kesadaran. Sekret dari faring tersebut mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8 – 10 /mL,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret ( 0,001 – 1,1 mL ) dapat memberikan titer inokulum
bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk
secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian
atas sama dengan saluran napas bagian bawah, tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan
jenis mikroorganisme yang sama. 1,6,8
PATOLOGI
Gambaran patologi tergantung dalam batas tertentu tergantung pada agen etiologinya.
Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan eksudat intraalveolar supuratif
disertai konsolidasi. Awalnya, mikroorganisme yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam
alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Kemudian, disusul dengan
konsolidasi, yaitu terjadi sebukan sel – sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi
8
permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel – sel PMN mendesak bakteri ke
permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik
mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimaakan.
Secara garis besar terdapat 3 stadium, yaitu stadium prodromal, stadium hepatisasi, dan
stadium resolusi. Pada stadium prodromal, yaitu 4 – 12 jam pertama, alveolus – alveolus mulai
terisi sekret dari pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor yang ditimbulkan infeksi dengan
kuman patogen yang berhasil masuk. Pada 48 jam berikutnya, paru tampak merah dan
bergranulasi, seperti hati, dimana alveoli terisi dengan sebukan sel – sel leukosit terutama sel
PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan kuman, yang disebut dengan stadium hepatisasi
merah. Selanjutnya, selama 3 – 8 hari, terjadi konsolidasi di dalam alveoli akibat deposit fibrin
dan leukosit yang semakin bertambah, yang disebut dengan hepatisasi kelabu.
Sebagai akibat dari proses ini, secara akut salah satu lobus tidak lagi dapat menjalankan
fungsi pernapasan ( jadi merupakan gangguan restriksi ). Di samping itu, pada saat yang
bersamaan juga ada peningkatan kebutuhan oksigen sehubung dengan panas yang tinggi.
Proses radang juga akan mengenai pleura viseralis yang membungkus lobus tersebut. Dengan
demikian akan timbul pula rasa nyeri setempat. Nyeri dada ini juga akan menyebabkan
ekspansi paru terhambat. Ketiga faktor ini akan menyebabkan penderita mengalami sesak
napas, tetapi karena tak ada obstruksi bronkus, maka tidak akan terdengar wheezing.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi akut ini, maka pada hari ke – 7 sampai 11 terjadi
stadium resolusi dimana jumlah makrofag mingingkat di alveoli, sel akan mengalami
degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang, dan isi alveolus akan melunak untuk
berubah menjadi dahak dan yang akan dikeluarkan lewat batuk, dan jaringan paru kembali
kembali pada struktur semulanya.
Proses infeksi tersebut juga dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi, dimanan pada
pneumonia lobaris konsolidasi ditemuka pada seluruh lobus dan pada bronkopneumonia terjadi
penyebaran daerah infeksi yang berbercak dengan diameter 3 – 4 cm yang mengelilingi bronki.
Pada pneumonia akibat virus atau Mycoplasma pneumoniae, gambaran patologi ditandai
dengan peradangan interstisial yang disertai penimbunan infiltrat dalam dinding alveolus,
meskipun rongga alveolar sendiri bebas dari eksudat dan tidak ada konsolidasi. 1,6,7,8
KLASIFIKASI PNEUMONIA
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti ( community – acquired pneumonia ) : pneumonia yang
didapat di masyarakat dan sering disebabkan oleh kokus Gram positif (
9
Pneumokokus, Staphylococcus ), basil Gram negatif ( Haemophillus influenzae
), dan bakteri atipik.
b. Pneumonia nosokomial ( hospital – acquired pneumonia ) : pneumonia yang
timbul setelah 72 jam dirawat di rumah sakit, yang lebih sering disebabkan oleh
bakteri gram negatif ( Staphylococcus aureus ) dan jarang oleh pneumokokus
atau Mycoplasma pneumoniae.
c. Pneumonia aspirasi : pneumonia yang terjadi akibat aspirasi antara lain
makanan dan asam lambung
d. Pneumonia pada penderita immunocompramised
2. Berdasarkan mikoorganisme penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal
b. Pneumonia atipikal : disebabkan Mycoplasma, Legionella, dan Clamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur : sering merupakan infeksi sekunder dengan predileksi pada
penderita dengan daya tahan tubuh lemah ( immunocompromised )
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris
b. Bronkopneumonia
c. Pneumonia interstisial 6,10
MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan hingga
sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terjadi
komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pada
anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala
klinis yang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif,
etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya infeksi,
tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
Gambaran infeksi umum :
o demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC
o sakit kepala
o gelisah
10
o malaise
o penurunan nafsu makan
o keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
o kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
Gambaran gangguan respiratori:
o batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
o sesak nafas
o retraksi dada
o takipnea
o napas cuping hidung
o penggunaan otat pernafasan tambahan
o air hunger
o merintih
o sianosis
Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak – anak. Bila terdapat batuk, batuk
berawal kering lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti
vokal fremitus yang meningkat pada daerah terkena, pekak perkusi atau perkusi yang redup
pada daerah yang terkena, suara napas melemah, suara napas bronkial, dan ronki. Akan tetapi
pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu
terlihat jelas. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.1,7,11
11
berkembang menjadi pneumonia berat yang juga dikenal sebagai sindroma
pneumonitis, terdapat gejala klinis ronki atau mengi, takipnea, dan sianosis.1
12
Sputum mungkin berbercak darah dan batuk dapat menetap hingga berminggu –
minggu.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia virus dan mikoplasma, umumnya ditemukan leukosit dalam
batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri
didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000 / mm3 dengan
predominan PMN. Leukopenia ( < 5.000 / mm3 ) menunjukkan prognosis yang
buruk. Leukositosis hebat hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri sering
ditemukan pada keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi.
Pada infeksi Clamydia pneumoniae kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Efusi
pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300 – 100.000 /
mm3, protein > 2,5 g/dL, dan glukosa relatif lebih rendah dibandingkan glukosa
darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah ( LED ) yang
meningkat. Trombositopeni dapat ditemukan pada 90% penderita pneumonia
dengan empiema. Secara umum hasil pemeriksaan darah perifer tidak dapat
membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.1
13
antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda, dimana kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi
virus dan infeksi bakteri superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda.1
3. Uji Serologis
Uji serologis untukj mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum tidak terlalu bermanfaat
dalam mendiagnosis infeksi bakteri atipik.1
4. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Pemeriksaan sputum
kurang berguna. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dalam
darah, cairan pleura, atau aspirasi paru, kecuali pada masa neonatus, dimana
kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang positif.1
14
Pneumonia / infiltrat interstisial: ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi. Biasanya
disebabkan oleh virus atau Mycoplasma. Bila berat dapat terjadi patchy
consolidation karena atelektasis
Infiltrat alveolal : merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia
lobaris, atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar,
berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi
tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia. Biasanya disebabkan
oleh bakteri pnuemokokus atau bakteri lain.
Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak – bercak infiltrat halus yang dapat meluas hingga
daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial
Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu paru
hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan
pneumonia pada anak terbanyakk di paru kanan, terutama lobus atas. Bila
ditemukan di lobus kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal tersebut
merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya
pleuritis lebih meningkat.
Gambaran foto toraks pada pneumona dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial
merata, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar
15
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopnumonia, dan air bronchogram
sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus sering
ditemukan abses – abses kecil dan pneumoatokel dengan berbagai ukuran.
Gambaran foto toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi. Pada
beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks
pneumonia virus. Selain itu, dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia
terutama di lobus bawah, inflitrat interstisial retikulonodular bilateral, dan yang
jarang adalah konsolidasi segmen atau subsegmen. Biasanya gambaran foto toraks
yang jauh lebih berat dibandingkan gejala klinis. Meskipun tidak terdapat
gambaran foto toraks yang khas, tetapi bila ditemukan gambaran retikulonodular
fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi Mikoplasma.
Demikian pula bila ditemukan gambaran perkabutan atau ground – glass
consolidation, serta transient pseudoconsolidation.
DIAGNOSIS
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriskaan mikrobiologis dan / atau serologis
merupakan dasar yang optimal. Akan tetapi, penemunan bakteri penyebab tidak selalu mudah
karena memerlukan laboratorium menunjang yang memadai. Oleh karena itu pneumonia pada
anak didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem
respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam,
sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk, napas cuping
hidung, retraksi, ronki, dan suara napas melemah. 1
WHO mengembangkan pedoman diagnosis sederhana yang ditujukan untuk Pelayanan
Kesehatan Primer dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara berkembang.
Gejala klinis sederhana tersebut meliputi: napas cepat, sesak napas, dan berbagai tanda bahaya
agar anak segera dirujuk ke rumah sakit. Napas cepat dinilai dengan menghitung napas anak
dalam 1 menit penuh dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan melihat adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas ( retraksi epigastrium ). Tanda
bahaya pada anak berusia 2 bulan – 5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak berusia dibawah 2 bulan
adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa
dingin. Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut:
Tabel 2. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak Usia 2 Bulan – 5 Tahun.1
16
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia berat
bila ada sesak napas
harus dirawat dan diberikan antibiotik
Pneumonia
bila tidak ada sesak napas
ada napas cepat dengan laju napas
o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
o > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun
tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Bukan pneumonia
bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas
Pada bayi berusia di bawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih bervariasi, mudah
terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan kematian. Klasifikasi pneumonia pada kelompok
usia ini adalah sebagai berikut:
Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ), pneumonia dapat dibagi
menjadi pneumonia ringan dan berat:
17
1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat napas cepat
saja, dimana napas cepat adalah:
a. pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
b. pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut ini:
a. kepala terangguk – angguk
b. pernapasan cuping hidung
c. tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d. foto dada menunjukkan gambaran pneumonia ( infiltrat luas, konsolidasi, dll. )
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
Napas cepat
o anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali / menit
o anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
o anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
o anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali / menit
Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda
Pada auskultasi terdengar
o crackles ( ronki )
o suara pernapasan menurun
o suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
kejang, letargi, atau tidak sadar
sianosis
distress pernapasan berat 12
DIAGNOSIS BANDING 12
1. Pneumonia lobaris
Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan kejang pada
bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 – 40 oC dan biasanya tipe kontinua. Terdapat
sesak nafas, nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut dan nyeri dada.
18
Anak lebih suka tidur pada sisi yang terkena. Pada foto rotgen terlihat adanya
konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.
2. Bronkioloitis
Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas cuping
hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing, ronki nyaring halus
pada auskultasi. Gambaran labarotorium dalam batas normal, kimia darah
menggambarkan asidosis respiratotik ataupun metabolik.
4. Tuberkulosis
Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin positif (
> 10 mm atau pada keadaan imunosupresi > 5 mm ), demam 2 minggu atau lebih, batuk
3 minggu atau lebih, pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun,
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik, pembengkakan
tulang/sendi punggung, panggulm lutut, dan falang, dan dapat disertai nafsu makan
menurun dan malaise yang dapat ditegakkan melalui skor TB.
5. Atelektasis
Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru yang
seharusnya mengandung udara. Dispnoe dengan pola pernafasan cepat dan dangkal,
takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum akan bergeser dan
letak diafragma mungkin meninggi.
TATALAKSANA 1,5,12
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat – ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak
mau makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pada pneumonia rawat inap adalah
19
pengobatan kasual dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif
meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan
asm – basa dan elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
analgetik/antipiretik. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang
diduga disebabkan oleh bakteri. Karena identifikasi dini mikroorganisme tidak umum
dilakukan, maka pemilihan antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris yang didasarkan
pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis
pasien serta faktor epidiemiologis.
20
karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi betalaktam /
klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga.
WHO menganjurkan pemberian ampisilin/amoksisilin 25 – 50 mg/kgBB/kali IV
atau IM setiap 6 jam yang dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak
memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi
dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral 15 mg/kgBB/kali tiga
kali sehari untuk 5 hari berikutnya.
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah
antibiotik beta – laktam dengan/tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan
beta – laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau
sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil,
antibiotik diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan selama 10 hari.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat
maka ditambahkan kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam. Bila
pasien datang dengan keadaan klinis yang berat segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampisilin – kloramfenikol atau ampisilin – gentamisin. Sebagai alternatif,
beri seftriakson 80 – 100 mg/kgBB IV atau IM sekali sehari. Bila tidak membaik dalan
48 jam, maka bila mungkin foto toraks.
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin 7,5
mg/kgBB IM sekali sehari dan klokasilin 50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam atau
klindamisin 15 mg/kgBB/hari hingga 3 kali pemberian. Bila keadaan anak membaik,
lanjutkan kloksasilin atau diklokasilin secara oral 4 kali sehari sampai secara
keseluruhan mencapai 3 minggu atau klindamisin oral selama 2 minggu.
Terapi Oksigen
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia pulse
oksimeter, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen ( berikan pada anak dengan
saturaso < 90%, anak yang tidak stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap
stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna.
Terapi Penunjang
Bila anak disetai demam yang tampaknya menyebabkan distres, beri antipiretik
seperti parasetamol. Bila ditemukaan adanya wheezing, beri bronkodilator kerja cepat.
21
Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak,
hilangkan dengan alat penghisap secara perlahan. Pastikan anak mendapatkan
kebutuhan cairan runatan yang sesuai, tetapi hati – hati terhadap kelebihan
cairan/overhidrasi. Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral. Jika anak tidak dapat
minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan dalam jumlah sedikit tapi
sering. Jika asupan cairan oral mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk
meningkatkan asupan, karena akan meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika
oksigen diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang
hidung yang sama.
KOMPLIKASI
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta,
pnemothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis
merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri. Kecurigaan ke arah
empiema apabila terdapat demam persisten, ditemukan tanda klinis dan gambaran foto dada
yang mendukung ( bila masif terdapat tanda pendorongan organ intratorakal, pekak pada
perkusi, gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada ). Efusi
pleura, abses paru dapat juga terjadi.
Ilten F dkk. melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel
kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang fatal,
maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG,
ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim. 1
PENCEGAHAN
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya
bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan
daya tahan tubuh kita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat,
makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin
berolahraga, dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan
22
terinfeksi antara lain: vaksinasi Pneumokokus, vaksinasi H. influenza, vaksinasi Varisela yang
dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah, dimana vaksin influenza yang diberikan
pada anak sebelum anak sakit. Efektivitas vaksin pneumokok adalah sebesar 70% dan untuk
H. influenzae sebesar 95%. Infeksi H. influenzae dapat dicegah dengan rifampicin bagi kontak
di rumah tangga atau tempat penitipan anak. 11,12
PROGNOSIS
Pneumonia biasanya sembuh total dengan mortalitas kurang dari 1 %. Mortalitas dapa
lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi – protein dan datang
terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama
diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan
hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh
negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua – duanya bekerja sinergis, maka
malnutrisi bersama – sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar
dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
Pneumonia biasanya tidak mempengaruhi tumbuh kembang anak.11,12
23
BAB II
KASUS
IDENTITAS PASIEN
NRM : 57.70.12.
Nama : An. Dananjaya
Umur : 2 Tahun.
Suku : Jawa.
Agama : Islam.
Pekerjaan :-
Pendidikan : -.
Jaminan : BPJS
ANAMNESA
Keluhan Utama
24
Sesak
Keluhan Tambahan
Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Tulungagung dengan Sesak sejak 3 jam sebelum
masuk igd, sebelumnya pasien mengalami demam disertai batuh pilek sejak 3 hari lalu,
keluhan dirasakan semakin memberat sejak 1 hari terakhir dan kemudian disertai sesak dan
dahak yang susah keluar. Pasien sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya,
BAB dan BAK normal, nafsu makan berkurang.
Disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK
- Kesadaran : E4 M6 V5.
- Pernafasan : 28x/menit.
Kepala
25
- Hidung : Dalam batas normal.
- Mulut : Menyeringai simetris kanan dan kiri, lidah simetris kanan dan kiri.
Thorax
Abdomen
Perut tampak mendatar, bising usus (+) normal, teraba supel, nyeri tekan (-), perkusi timpani,
nyeri ketok (-).
Ekstremitas
Thorax X-Ray
26
DIAGNOSA SEMENTARA
27
BAB III
KESIMPULAN
Pneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstisial.5 Pneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme, namun pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.6 Bila parenkim paru terkena
infeksi dan mengalami inflamasi hingga meliputi seluruh alveolus suatu lobus paru maka
disebut pneumonia lobaris atau pneumonia klasik. Bila proses tersebut tidak mencakup satu
lobus dan hanya di bronkiolus dengan pola bercak – bercak yang tersebar bersebelahan maka
disebut bronkopneumonia
28
empiema apabila terdapat demam persisten, ditemukan tanda klinis dan gambaran foto dada
yang mendukung ( bila masif terdapat tanda pendorongan organ intratorakal, pekak pada
perkusi, gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada ). Efusi
pleura, abses paru dapat juga terjadi.Pengurangan prevalensi infeksi dapat dilakukan dengan
Melakukan vaksinasi diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain:
vaksinasi Pneumokokus, vaksinasi H. influenza, vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak
dengan daya tahan tubuh rendah, dimana vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum
anak sakit
DAFTAR PUSTAKA
1. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010. hal. 350 -365.
2. Hudoyo A. Anatomi Saluran Napas.. 2009 April
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/e4e3ff458efaa961c32c1e9163a77a24
964c5c0a.pdf
3. Ellis H. Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Students and Junior Doctors. 11th
ed. [ e – book ]. Massachussets : Blackwell Publishing. 2006
4. Sherwood L. Human Physiology. 6th ed. China: Thomson Brooks/Cole; 2007. hal.
451 - 455
5. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, Pudjadi AH, Kosim
MS, et. al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 1st ed. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. 2004. hal. 351 - 354.
29
6. Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al. Pneumonia
Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002.
7. Danusantosos H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hipokrates.
2000. Hal. 74 – 92
8. Price S, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – proses Penyakit. Vol 2.
6th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. Hal. 804 – 810
9. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. [ e – book ]. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 2. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Indonesia. 2007. Hal 984.
11. Iwantono HS. Bronkopneumoni2008 Mar. Available from: http://
/2008/03/bronkopneumonia.html
12. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta:
World Health Organization. 2009. hal. 83 – 113
13. Bennett NJ, Steele RW. Pediatric Pneumonia.. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/967822-medication
14. UNICEF. The Challange: Pneumonia is the Leading Killer of Children. Available
from: http://www.childinfo.org/pneumonia.html
30