Anda di halaman 1dari 5

RESUME OBAT TRADISIONAL TENTANG

“Penelitian dan Pengembangan Obat Tradisional”

1. PENELITIAN OBAT TRADISIONAL

Obat tradisional Indonesia merupakan warisan budaya bangsa sehingga


perlu dilestarikan, diteliti dan dikembangkan. Penelitian obat tradisional
Indonesia mencakup penelitian obat herbal tunggal maupun dalam bentuk
ramuan.
Jenis penelitian yang telah dilakukan selama ini meliputi penelitian
budidaya tanaman obat, analisis kandungan kimia, toksisitas,
farmakodinamik, formulasi, dan uji klinik. Dari jenis penelitian di atas, uji
klinik masih sangat kurang dilakukan dibandingkan jenis penelitian lainnya,
sehingga data khasiat dan keamanan obat herbal pada manusia masih sangat
jarang. Hal tersebut antara lain karena biaya penelitian untuk uji klinik sangat
besar dan uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional/obat herbal
tersebut telah dibuktikan aman dan memperlihatkan efek yang jelas pada
hewan coba. Penelitian mengenai budidaya tanaman obat dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan tanaman obat tertentu yang meningkat sehingga
kebutuhan tidak terpenuhi dari lahan yang ada atau karena berkurangnya lahan
tempat tumbuh tanaman obat.
Contohnya :
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molenb), merupakan tumbuhan liar di
hutan pegunungan Dieng yang secara empiris turun menurun digunakan untuk
meningkatkan vitalitas pria. Penelitian pada tikus jantan cenderung
meningkatkan testosteron. Dewasa ini tanaman tersebut sudah termasuk langka
karena penambangan Purwoceng secara besar-besaran dan intensifikasi
pertanian di pegunungan Dieng. Oleh karena itu dilakukan penelitian
pengembangan di luar habitat asli di Gunung Putri. Dari hasil penelitian
tersebut didapatkan Purwoceng dapat dibudidayakan di Gunung Putri, namun
produksi dan mutunya lebih rendah dari pada di pegunungan Dieng.
Diperkirakan dengan pemupukan tanah Gunung Putri akan meningkatkan
produksi dan mutu simplisia. Jadi pengembangan obat tradisional tidak lepas
dari pembudidayaannya.
Badan POM tahun 2002 melakukan pemetaan penelitian obat
tradisional/obat herbal yang telah dilakukan di perguruan tinggi, lembaga
penelitian, industri, dan pemerintah, mulai dari budidaya hingga uji klinik.
Selanjutnya setelah dilakukan pemetaan ditetapkan sembilan spesies tanaman
unggulan untuk diteliti lebih lanjut sampai ke tahap uji klinik.
Termasuk uji klinik, adalah :
1. cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.),
2. temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.),
3. kunyit (Curcuma domestica Val.),
4. jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.),
5. sambiloto (Andrographis paniculata Nees.),
6. jahe (Zingiber officinale Rosc.), mengkudu
7. mengkudu (Morinda citrifolia L.),
8. salam(Eugenia polyantha Wight.), dan
9. jambu biji (Psidium guajava L.).

2. KONSEP PENGEMBANGAN OBAT BAHAN ALAM INDONESIA

Berdasarkan tingkat pembuktian khasiat, persaratan bahan baku yang


digunakan, dan pemanfaatannya, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan
menjadi tiga kelompok, yaitu: jamu, obat herbal terstandar, dan fitofamaka
Untuk pengembangan obat tradisional menjadi obat herbal
terstandardisasi dan fitofarmaka, simplisia harus memenuhi persaratan
mutu agar dapat menimbulkan efek dan aman. Persaratan mutu simplisia
sejumlah tanaman tertera dalam
1. buku Farmakope Indonesia,
2. Ekstra Farmakope Indonesia, atau
3. Materia Medika Indonesia.
Tahapan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia
1. Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat
tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat
tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan
dikembangkan adalah
a. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam
angka kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)
b. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
c. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan
kanker.

2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik


Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat
tradisional yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik
dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas
dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan
coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut pedoman
pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal
POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara
satu spesies tikus atau mencit. Uji farmakodinamik pada hewan coba
digunakan untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas
dimaksudkan untuk melihat keamanannya.

3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan


terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan
menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat
mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya
dibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan. Proses pengolahan seperti
direbus, diseduh dapat merusak zat aktif tertentu yang bersifat termolabil.
Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung minyak atsiri atau glikosida
tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil. Ekstrak yang
diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat memiliki efek terapi yang
berbeda karena zat aktif yang terlarut berbeda.
Sebagai contoh :
Daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) memiliki tiga jenis
kandungan kimia yang diduga berperan untuk pelangsing yaitu tanin, musilago,
alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol 95% hanya melarutkan
alkaloid dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol 30%
didapatkan ketiga kandungan kimia daun jati belanda yaitu tanin, musilago, dan
alkaloid tersari dengan baik.

4. Uji klinik
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/ obat herbal harus
dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Uji klinik pada manusia
hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah
terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional
seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus
dipenuhi
Uji klinik dibagi empat fase yaitu:
Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan
tolerabilitas obat tradisional
Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding
Fase II akhir:dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding
Fase III : uji klinik definitif
Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau
yang lambat timbulnya.

Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di
Indonesia meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun
belakangan ini. Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional
antara lain karena:
1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik
2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti
berkhasiat dan aman pada uji preklinik
3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan
dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak
faktor.
5. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang
telah laku di pasaran

Pertanyaan :
1. Valentina elgista uwa
Apakah uji klinik dilakukan setelah produk dipasarkan?
= Uji klinik dilakukan setelah obat dipasarkan, seehingga disebut juga
studi pasca pemasaran(post marketing surveillance)yang diamati pada
pasien dengan berbagai kondisi,berbagai usia dan ras,studi ini dilakukan
dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan
pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat.

2. Marselina selly nedja


Jelaskan fase II awal dan fase II akhir !
= fase II awal adaalah fase dimana pengujian dilakukan pada manusia
tanpa pembanding dan hanya sekedar mengetahui kesimpulan awal.
Pada fase ini hasil pengujian yg dilakukan tidak bisa dianggap sebagai
hasil karena masih ada beberapa faktaor yg mempengaruhi uji seperti
tingkat keparahan, efek placebo dan masih banyak lainnya.
Jelaskan uji klinik definitif !
=pada fase ini , merupakan fase dimana kesimpulannya dianggap
sebagai hasil ksimpulan fase II. Uji pada Fase ini dilakukan dengan
pembanding. Pembanding disini yg dimaksud adaln pemberian obat
placebo pada beberapa objek uji secara rahasia dan acak untuk
mengetahui efek farmakologis obat.

Anda mungkin juga menyukai