Anda di halaman 1dari 42

KEPANITRAAN KLINIK KEDOKTERAN REFARAT

FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL NOVEMBER 2018


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

HUKUMAN KEBIRI TERHADAP PELAKU


PEMERKOSAAN PADA ANAK

OLEH :
Sitti Fitriah Deviyanti, S.Ked (K1A1 12 067)
Nur Azizah Noviyana, S.Ked (K1A1 11 026 )

PEMBIMBING:
dr. Raja Al Fath Widya Iswara, MH, Sp.FM

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat

ini dalam rangka sebagai tugas Kepaniteraan Klinik Kedokteran Forensik dan

Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Penulis menyadari bahwa pada proses pembuatan laporan ini masih banyak

kekurangan. Oleh karena itu, segala bentuk kritik dan saran dari semua pihak yang

sifatnya membangun demi penyempurnaan penulisan berikutnya sangat penulis

harapkan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Raja Al Fath Widya

Iswara, MH, Sp.FM atas bimbingan dan arahannya sehingga berbagai masalah

dan kendala dalam proses penyusunan referat ini dapat teratasi dan terselesaikan

dengan baik.

Penulis berharap semoga Referat mengenai Hukuman Kebiri terhadap

Pelaku Pemerkosaan pada Anak ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya

dan para pembaca pada umumnya serta dapat dipergunakan sebagaimana

mestinya. Atas segala bantuan dan perhatian baik berupa tenaga, pikiran dan

materi pada semua pihak yang terlibat dalam menyelesaikan referat ini penulis

ucapkan terima kasih.

Kendari, November 2018

Penulis

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu Kedokteran Forensik (IKF) atau dikenal dengan nama Legal
Medicine adalah salah satu cabang spesialistik dari Ilmu Kedokteran yang
mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan
hukum serta keadilan.1 Dilihat dari fungsinya, IKF dapat dikelompokkan ke
dalam ilmu-ilmu forensik (Forensic Sciences) seperti Ilmu Kimia Forensik,
Ilmu Fisika Forensik, Kedokteran Gigi Forensik, Psikiatri Forensik,
Balistik, Entomologi Forensik, dan lain sebagainya.1
Perkembangan sosial dewasa ini, menunjukkan banyak terjadi
kejahatan terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah. Salah satu
bentuk kejahatan tersebut adalah pemerkosaan. Pemerkosaan (rape) berasal
dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau
membawa pergi. Pemerkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya
(Belanda), yakni verkrachting, yang dimaknai dengan bersetubuh. Maka
pemerkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang
dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang
dinilai melanggar menurut moral dan hukum. 2
Pemerkosaan merupakan kejahatan yang pada akhir ini marak terjadi di
berbagai kota di Indonesia yang korbannya merupakan anak. Di Sumatera
Utara misalnya, dari data yang dihimpun oleh Yayasan Pusaka Indonesia pada
tahun 2012 terdapat 9 kasus pemerkosaan terhadap anak. Di Jember, pada tahun
2012 tercatat sebanyak 58 kasus dan ditahun 2013 terdapat 50 kasus
pemerkosaan terhadap anak. Di Surakarta tercatat kasus pemerkosaan terhadap
anak sebanyak 18 orang. Selain itu sejumlah kasus pemerkosaan terhadap anak
yang terjadi seperti yang dimuat di dalam media massa maupun media
elektronik yakni Harian Sindo Sabtu, 29 Agustus 2015, “Gadis Sedang Haid
Diperkosa 2 Pemuda Pasar Rumbai”. Sindonews, memberitakan bahwa seorang
ayah anak tiga benama RH (37 th) warga Desa Baros, Kecamatan Baros,
Kabupaten Serang, Banten, tega memerkosa gadis yang mengalami
keterbelakangan mental. Harian Terbit Selasa 4 Agustus 2015,
memberitakan bahwa terjadi kasus pemerkosaan terhadap anak dibawah
umur. Serta Go Riau, Senin 12 Oktober 2015, memberitakan bahwa ayah tiri
berinisial ID asyik tiduri anaknya yang masih berusia delapan tahun. 2
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang
tentang perlindungan anak telah memuat sanksi hukum bagi pelaku
pemerkosaan, akan tetapi terdapat beberapa kelemahan yang timbul bila
sanksi hukum tersebut dikenakan bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak.
Sanksi pidana terhadap pelaku pemerkosaan tersebut dianggap tidak
memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan pemerkosaan karena dalam
penjatuhan sanksi pidana, seringkali hakim memberikan sanksi pidana yang
terlalu ringan kepada terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana
pemerkosaan dengan demikian menunjukkan bahwa adanya permasalahan
dalam sistem hukum pidana yang masih gagal dalam mengadili dan
menghukum pelaku secara efektif sehingga hal tersebut menimbulkan
wacana pemberian pemberatan pidana bagi pelaku kejahatan seksual anak
melalui hukuman kebiri. 2
Dalam sejarah peradaban manusia, kebiri sudah pernah dilakukan dengan
berbagai tujuan. Victor T Cheney dalam A Brief History of Castration 2nd
Edition, menyatakan, kebiri sudah dilakukan di Mediterania Timur pada 8.000-
9.000 tahun lalu. Tujuannya, agar ternak betina lebih banyak dibandingkan
yang jantan. Namun tidak ada catatan pasti kapan kebiri dilakukan pada
manusia. Di Mesir, pada 2.600 sebelum Masehi (SM), budak yang dikebiri
berharga lebih tinggi karena dianggap lebih rajin dan patuh kepada
majikannya. Tindakan serupa ditemukan pada budak di Yunani sekitar 500
SM, penjaga harem raja di Persia, serta bendahara dan sejumlah pejabat
kekaisaran Tiongkok. 2
Meskipun hukuman kebiri sudah pernah dilakukan pada masa dahulu,
namun penerapan hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak
yang saat ini akan diberlakukan perlu kajian dan telaah yang mendalam
disebabkan adanya pro dan kotra dalam penerapannya. Bagi mereka yang
kontra menilai bahwa hukuman suntik kebiri melalui obat antiandrogen bagi
pedofil (pelaku kejahatan seksual terhadap anak) tidak tepat. Penerapan
hukuman suntik kebiri, tidak bisa memutus mata rantai kejahatan seksual

2
terhadap anak. Sementara pemerintah telah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai hukuman kebiri
bagi pelaku paedofilia. Hal ini menimbulkan telaah lebih dalam terhadap
penerapan hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosa khususnya terhadap anak
sehingga rasa keadilan dapat terwujud dalam masyarakat. 2
Dalam penjatuhan hukuman pidana berupa hukuman mati yang
melibatkan peran dokter di dalamnya, regulasi antara organisasi profesi
dengan aparat penegak hukum menjadi hal fundamental yang dibutuhkan
agar keterlibatan profesi kedokteran tersebut tidak mencederai sumpah
profesi. Dengan demikian, profesi kedokteran yang menjunjung asas do no
harm, ketika dihadapkan dengan kewajibannya dalam membantu proses
peradilan dapat tetap menjalankan prosedur tanpa mencederai nilai-nilai
etika kedokteran yang ada.3
Peran dokter tidak menimbulkan dilema yang besar pada eksekusi
hukuman mati di Indonesia karena tugasnya hanya meyakinkan eksekutor
bahwa terhukum sudah meninggal atau belum. Kehadiran dokter sebagai
eksekutor kebiri dinilai diperlukan sebagai profesi dengan kompetensi yang
mampu mengurangi rasa sakit bagi narapidana yang dijatuhi hukuman
tersebut.3

B. Rumusan Masalah
Masalah - masalah yang diangkat pada referat ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan pemerkosaan dan sanksinya dalam hukum
pidana Indonesia ?
2. Bagaimana tentang hukuman kebiri terhadap pelaku pemerkosaan
pada anak ?
3. Bagaimana kaitan antara hukuman kebiri terhadap pelaku tindak
pidana pemerkosaan anak dengan Hak Asasi Manusia (HAM) ?
4. Bagaimana tinjauan etika dokter sebagai eksekutor hukuman kebiri?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan wawasan
dan pengetahuan mengenai Hukuman Kebiri terhadap Pelaku

3
Pemerkosaan pada Anak sehingga diharapkan dapat mempermudah
dalam melaksanakan penyelidikan yang lebih mendalam.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi pemerkosaan dan sanksinya dalam hukum
pidana Indonesia
b. Mengetahui hukuman kebiri terhadap pelaku pemerkosaan pada
anak
c. Mengetahui kaitan antara hukuman kebiri terhadap pelaku
tindak pidana pemerkosaan anak dengan Hak Asasi Manusia
(HAM)
d. Mengetahui tinjauan etika dokter sebagai eksekutor hukuman
kebiri

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan refarat ini ialah,
1. Memperdalam keilmuan dan wawasan dalam bidang kedokteran
forensik terutama mengenai kekerasan seksual pada anak.
2. Memperdalam keilmuan dan wawasan tentang hukum pidana terkait
pemerkosaan pada anak
3. Memperdalam keilmuan dan wawasan tentang hukuman kebiri
terhadap pelaku pemerkosaan pada anak

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemerkosaan dan Sanksinya dalam Hukum Pidana Indonesia


Pemerkosaan merupakan suatu tindakan kriminal berwatak seksual
yang terjadi ketika seorang manusia (atau lebih) memaksa manusia lain
untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina atau
anus dengan penis, anggota tubuh lainnya seperti tangan, atau dengan
benda-benda tertentu secara paksa baik dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan. Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan pemerkosaan sebagai
penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis, anggota-anggota
tubuh lain atau suatu benda bahkan jika dangkal dengan cara pemaksaan
baik fisik atau non-fisik. Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Rwanda
tahun 1998 merumuskan pemerkosaan sebagai invasi fisik berwatak seksual
yang dilakukan kepada seorang manusia dalam keadaan atau lingkungan
yang koersif. 2
Pemerkosaan berasal dari kata dasar perkosa yang artinya paksa,
gagah, kuat, perkasa. Memerkosa berarti menundukkan dengan kekerasan,
memaksa, melanggar dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikan
sebagai proses cara perbuatan memerkosa dengan kekerasan. Dengan
demikian dalam kamus Besar Bahasa Indonesia pemerkosaan memiliki
unsur-unsur pria memaksa dengan kekerasan, bersetubuh dengan seorang
wanita. Pemerkosaan pada dasarnya adalah bentuk kekerasan primitif yang
dapat terjadi pada setiap orang. Gelaja pemerkosaan merupakan salah satu
tantangan sosial yang bukan hanya kekerasan seks semata tetapi selalu
merupakan suatu bentuk perilaku yang dipengaruhi oleh sistem kekuasaan
tertentu. Jadi pemerkosaan menurut yuridis adalah perbuatan memaksa
seseorang yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan. 2
Definisi pemerkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian
adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya
untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban. Penetrasi oleh pelaku

5
tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban. Tindakan tersebut
dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada
saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun
secara mental. Beberapa Negara menambahkan adanya pemaksaan
hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi pemerkosaan,
bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang sensitif gender
guna memperluas penerapan hukum pemerkosaan. Pemerkosaan merupakan
nama kelompok berbagai jenis perbuatan yang melanggar kesopanan atau
kesusilaan juga termasuk perbuatan persetubuhan di luar perkawinan. Pada
jaman dahulu pemerkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang
istri. Pemerkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual
yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang
dinilai melanggar menurut moral dan hukum. 2
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285
menyebutkan bahwa: barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun. Pada pasal ini pemerkosaan
didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan. Selain itu kata
bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum pemerkosaan terjadi pada saat
sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa
tersebut tidak dapat dikatakan pemerkosaan akan tetapi masuk dalam
kategori pencabulan. Jadi, istilah pemerkosaan memiliki kandungan
pengertian yang sama dengan memaksa, yakni sama-sama bentuk tindakan,
hanya hanya bedanya tindakan memaksa belum tentu berbentuk
persetubuhan (memasukan penis secara paksa ke dalam vagina atau dubur),
sedangkan memerkosa sudah pasti berbentuk persetubuhan terlepas dari
persetubuhan itu dilakukan antara orang dewasa atau antara orang dewasa
dengan anak. Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 76D menyebutkan tentang
pemerkosaan yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau

6
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain. 2
Berdasarkan unsur-unsurnya makna pemerkosaan dapat diartikan ke
dalam tiga bentuk: 2
1. Pemerkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang
wanita tanpa persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang
dominan, yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang
wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.
2. Pemerkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria
terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan
bertentangan dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Pada
kalimat ini terdapat unsur-unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi
persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita,
dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita
tersebut.
3. Pemerkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan
oleh seorang pria terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa
persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di
bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi tersebut hampir sama
dengan yang tertera pada KUHP pasal 285.

Sanksi pidana untuk kasus pemerkosaan sebagaimana diatur dalam


KUHP Pasal 285 menyebutkan bahwa: Barang siapa dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun. 2
Sedangkan sanksi pidana khusus untuk kasus pemerkosaan terhadap
anak disebutkan dalam Pasal 287 ayat (1) yang berbunyi: Barang siapa
bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya
atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup
umur 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu
belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan
tahun. 2

7
Dalam Pasal 290 ayat (3) KUHP menyatakan: Diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun barangsiapa membujuk seseorang
yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima
belas tahun atau ternyata belum kawin, untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar pernikahan dengan
orang lain. 2
Selain dalam ketentuan KUHP, sanksi pidana terhadap pemerkosaan
terdapat pula di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 81 menyebutkan: 2
1. Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula
bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Artinya bahwa pemerintah telah memberikan payung hukum agar


kejahatan pemerkosaan dapat diminimalisir dalam masyarakat. Upaya
tersebut juga dilakukan dengan memberikan sanksi yang lebih berat berupa
hukuman kebiri yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak di dalam Pasal 81 ayat (7) yang berbunyi Terhadap
pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai
tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. 2

Pada kasus kekerasan seksual, kewajiban dokter adalah untuk


menentukan dan mengamankan bukti yang ditemukan pada korban atau

8
tersangka. Dokter juga memiliki peran utama dalam membangun riwayat
kejadian, mengevaluasi status kesehatan medis dan mental, sertamelakukan
penilaian, interpretasi temuan, dan manajemen yang tepat.5
Informasi mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan harus
disampaikan kepada korban maupun keluarga korban sebelum dimulai,
termasuk tujuan pemeriksaan dan kaitannya dengan pengungkapan kasus,
prosedur atau teknik pemeriksaan yang sensitif, pengambilan sampling
biologis, pendokumentasian dalam rekam medis dan foto, serta jika
diperlukan pembukaan informasi medis untuk tujuan pembuktian di
pengadilan. 5
Terminologi persetubuhan berdasarkan hukum yang berlaku di
Indonesia terbatas pada adanya penetrasi penis baik sebagian maupun
menyeluruh kedalam vagina, baik disertai dengan ejakulasi ataupun tidak.
Hal ini berdampak, penetrasi akibat benda selain penis yang
mengakibatkan robekan selaput dara tidak dapat dituntut sebagai tindakan
persetubuhan ilegal. Anamnesis terkait riwayat persetubuhan sebelumnya
akan membantu dalam mengevaluasi temuan. Dari 5 korban usia termuda,
satu diantaranya diduga mengalami usaha penetrasi sehingga didapatkan
robekan pada selaput dara korban serta luka lecet di sekitar area
genitalianya. Sedangkan dari 11 korban yang tergolong usia <18 tahun,
datang ke rumah sakit dengan dugaan mengalami persetubuhan
sebelumnya baik konsensual maupun non konsensual, namun berdasarkan
pemeriksaan terdapat dua korban dengan kondisi selaput dara yang tidak
mengalami kelainan. 6
Pemeriksaan selaput dara secara visual yang dilakukan
memperlihatkan 23 kasus (76.66%) memiliki kelainan berupa robekan
pada selaput dara. Mayoritas robekan terjadi diantara arah jam 5 hingga
jam 7. Sedangkan bentuk perlukaan yang didapatkan di area genitalia
diantaranya luka memar dan lecet. Dalam studi Grossin, pemeriksaan
forensik menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari total kasus
menunjukkan tidak adanya cedera fisik dan genital namun menunjukkan
adanya spermatozoa. Bukti penetrasi dapat berupa robekan selaput dara

9
atau laserasi.9 Jika penetrasi tidak lengkap, bukti dapat ditemukan dalam
bentuk ejakulasi / air mani (termasuk perkiraan waktu) atau pelekatan
rambut kemaluan tersangka. Adanya robekan pada selaput dara hanya
menunjukkan adanya penetrasi suatu benda ke dalam vagina (bukan tanda
pasti persetubuhan), jika selaput dara cukup elastis, tentu tidak akan ada
robekan.10 Idealnya, pemeriksaan ada tidaknya perlukaan pada selaput dara
tidak cukup dengan pemeriksaan visual, namun perlu diikuti dengan
pemeriksaan tambahan dengan reagen toluidine blue untuk menilai
perlukaan minor sehingga lebih meningkatkan keakurasian.Lebih lanjut,
pemeriksaan penunjang untuk menentukan ada tidaknya sperma juga wajib
dilaksanakan untuk menunjang hasil pemeriksaan fisik pada korban. 6
Bukti adanya kekerasan fisik dapat dilakukan dengan menilai luka-
luka seperti bekas perlukaan, bekas gigitan, memar yang ditemukan pada
beberapa lokasi termasuk wajah, leher, payudara, paha bagian dalam dan
sekitar alat kelamin. Temuan positif cedera berarti bukti kekerasan, namun
tidak ada luka tidak berarti tidak ada kekerasan. Pada studi ini, setidaknya
17 (56,66%) korban mengalami luka memar dan/atau lecet ataupun robekan
pada area disekitar organ genitalia. Sementara, satu korban mengalami
kekerasan di daerah wajah dan ekstremitas. 7
Pemeriksaan fisik menyeluruh dan dokumentasi cedera serta
penentuan keadaan mental dan kondisi umum korban sangat penting untuk
menjamin hak hukum korban kekerasan seksual.7
Kekerasan seksual yang terjadi pada Anak mengalami peningkatan
tiap tahunnya. Pada studi ini, proporsi kasus kekerasan seksual yang dialami
anak lebih tinggi dibanding korban dewasa, yaitu 53.33% dari seluruh
kasus. Hal ini perlu menjadi alarm perhatian semua pihak. Pemerintah pun
semakin menegaskan upaya hukum terhadap pelaku tindak kekerasan
seksual pada anak dengan semakin memperberat hukumannya. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, Pasal 81 ayat (7) pelaku

10
tindak kekerasan seksual pada anak dapat dikenai hukuman tambahan
berupa tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi eletronik,
disamping hukuman denda, pidana penjara ataupun hukuman mati. 8
Menurut Pasal 133 KUHAP, penyidik berwenang meminta bantuan
dokter untuk memeriksa korban kekerasan seksual. Dokter yang
memeriksa kasus kekerasan seksual harus bersikap objektif, tidak
memihak, menjaga kerahasiaan, serta bersikap profesional. Paling tidak
sebelum pemeriksaan korban, dokter harus mempertimbangkan hal-hal
berikut; (1) surat permintaan tertulis dari kepolisian dan keterangan
kejadian sebelumnya; (2) persetujuan tertulis dari korban atau orang tua /
wali korban yang menyatakan tidak keberatan untuk diperiksa oleh dokter;
(3) Perawat wanita atau wanita polisi yang menemani dokter untuk
diperiksa. 8
Selanjutnya menurut Pasal 136 KUHAP, biaya untuk kepentingan
penyidikan perkara pidana ditanggung oleh negara, tidak terlepas semua
biaya untuk kepentingan pemeriksaan kasus kekerasan seksual. Akan
tetapi, pada studi ini seluruh korban membiayai sendiri proses pemeriksaan
medis terkait permohonan visum et repertum. Negara melalui Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) seyogyanya telah mengeluarkan
Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun
2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan yang mengatur tentang
kasus-kasus yang dijamin termasuk pelayanan Kedokteran Forensik yaitu
pada Pasal 59 ayat (2) butir i, pelayanan kedokteran forensik klinik
meliputi pembuatan visum et repertum atau surat keterangan medik
berdasarkan pemeriksaan forensik orang hidup dan pemeriksaan psikiatri
forensik. Lebih lanjut terkait pembiayaan diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan
Kesehatan dalam Penyelenggaraan JKN Pasal 13 ayat (1) butir i.
Pelayanan kedokteran forensik klinik. Namun sayangnya tidak
dicantumkan besaran nominal yang dapat ditanggung oleh negara. Tidak
adanya jaminan pembiayaan dalam tatalaksana kasus kekerasan seksual di

11
satu sisi akan menjadi beban bagi korban, maupun menjadi kendala dokter
dalam menjalankan prosedur penanganan yang optimal. 8
Forensik klinis adalah bagian dari pelayanan kedokteran forensik
yang mengintegrasikan peran medis dan hukum. Pada kasus kekerasan
seksual, tidak hanya intervensi medis yang dibutuhkan korban namun juga
menuntut penanganan hukum yang menyeluruh. Kesimpulan pemeriksaan
forensik tidak hanya mengandalkan bukti fisik, tapi juga integrasi data
secara komprehensif, baik temuan pemeriksaan fisik maupun temuan
laboratorium.12 Hal ini perlu didukung dengan adanya sumber daya dan
fasiltas serta dukungan materiil agar penanganan kasus dapat diselesaikan
secara baik. Profesionalitas dokter forensik diharapkan dengan
menyampaikan kesimpulan temuannya seobjektif mungkin.9

B. Hukuman Kebiri terhadap Pelaku Pemerkosaan pada Anak 9, 10


Kejahatan seksual terhadap anak sudah sangat masif dan oleh
karenanya merupakan kejahatan kemanusiaan. Kegentingan kekerasan
seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan, ditandai dengan
naiknya angka kejadian dan jenis tindakannya. Data Lembaga
Perlindungan Anak menunjukkan, hingga kini terdapat 21.689.797 kasus
pelanggaran hak terhadap anak, dan 58% di antaranya merupakan
kejahatan seksual. Sementara itu data Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) menyebutkan, terdapat 22 juta anak yang mengalami
kekerasan sepanjang 2010-2014, dan 42% di antaranya merupakan kasus
kejahatan seksual. Berkaca dari data statistik ini, tingginya korban
kekerasan seksual terhadap anak, bila dibiarkan dapat mengakibatkan
lost generation di masa yang akan datang. Selain anak, perempuan pun
mengalami fenomena yang tak jauh berbeda. Sukarnya memberi
perlindungan kepada anak-anak dan perempuan adalah karena mereka
secara stuktural berada dalam relasi yang dilemahkan dan karenanya
membutuhkan perlindungan dari negara dalam bentuk jaminan hukum.
Sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap anak, termasuk
pemerkosaan, hingga korban meninggal dunia, seperti diatur dalam

12
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 di atas sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, dengan hukuman
penjara maksimal 15 tahun penjara, dinilai masih ringan. Oleh karena ini,
pemerintah ingin merevisinya menjadi maksimal 20 tahun penjara.
Mengingat proses revisi undang-undang di DPR membutuhkan waktu
berbulan-bulan, sementara pemerintah ingin segera memberlakukan
aturan tersebut, penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-
undang (perppu) menjadi pilihan yang masuk akal.
Pada tahun 2016, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU)
nomor 17 tahun 2016 sebagai penetapan dari Perpu nomor 1 tahun 2016
tentang perubahan kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 mengenai
Perlindungan Anak. Perppu tersebut merevisi Pasal 81 dan Pasal 82
dengan pemberatan dan penambahan hukuman bagi pelaku kekerasan
seksual pada anak. Pemberatan berupa ancaman penjara sampai 20 tahun,
pidana seumur hidup, hingga hukuman mati. Adapun penambahan
hukuman bagi para terpidana berupa publikasi identitas pelaku,
pemasangan alat deteksi elektronik, hingga dikebiri melalui suntikan
kimia.
Keluarnya aturan ini tentunya menimbulkan pro dan kontra. Ada
yang mendukung dengan alasan kejahatan seksual saat ini sudah menjadi
kejahatan yang luar biasa sehingga perlu aturan yang khusus. Namun ada
yang kontra, dengan alasan tindakan kebiri kimia tersebut melanggar
kesepakatan internasional tentang Hak Asasi Manusia, dimana
menyatakan bahwa negara tidak boleh menghukum Manusia dengan cara
yang merendahkan hak asasi dan nilai kemanusiaan.
Kebiri dalam dunia kedokteran dikenal dengan kastrasi. Pada era
modern, kebiri tak lagi dilakukan dengan membuang testis, tetapi secara
kimia. Prosesnya bisa melalui pemberian pil ataupun suntikan hormon
antiandrogen. Pemberian obat antiandrogen itu akan membuat pria
kekurangan hormon testosteron sehingga tak ada lagi memiliki dorongan
seksual. Obat antiandrogen akan memberikan efek yang sama dengan
kebiri fisik. Selain itu, obat antiandrogen juga menyebabkan

13
pengeroposan tulang dalam jangka panjang. Selain itu jika dilihat dari sisi
medis, hukuman kebiri ini dilematis karena bertolak belakang dengan
kode etik kedokteran, selain itu kebiri juga dikatakan telah melanggar
Hak Asasi Manusia dan sumpah dokter. Sebab, tugas dokter adalah
sebagai profesi yang menyembuhkan orang bukan menghukum.
Di sisi lain pemberian hukuman tambahan dengan pengebirian baik
kimiawi maupun dengan operasi medis, dapat pula dikualifikasi sebagai
pelanggaran hak yaitu pelanggaran hak atas persetujuan tindakan medis
(the right to informed consent) dan hak perlindungan atas integritas fisik
dan mental seseorang (the protection of the physical and mental integrity
of the person).
Ketentuan Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa
“setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia”. Dengan demikian, hak tersebut
merupakan hak yang bersifat konstitusional. Maka pemajuan,
perlindungan serta pemenuhannya menjadi komitmen konstitusional pula.
Indonesia juga telah mengesahkan Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Hukuman Lain yang Keji, Tidak Manusiawi, dan
Merendahkan Martabat Manusia melalui Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1998.
Dari beberapa jenis delik kesusilaan yang tercakup dalam tindak
pidana kesopanan diatur dalam KUHP sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa pengertian kesusilaan tidak hanya sebatas di bidang
seksual saja melainkan juga meliputi perbuatan yang dianggap tidak
sesuai dalam pandangan masyarakat karena memiliki kemungkinan besar
merugikan orang lain. Sementara dalam Konsep KUHP yang saat ini
tengah dirumuskan juga meliputi pengertian kesusilaan tidak hanya
dibidang seksual saja seperti halnya KUHP yang sekarang berlaku.
Terjadinya perkembangan kejahatan seksual, mengakibatkan
perubahan di tengah masyarakat. Sistem tata nilai dalam suatu
masyarakat berubah dari yang bersifat lokal-partikular menjadi global
universal. Hal ini pada akhirnya akan membawa dampak pada pergeseran

14
nilai dan norma, khususnya norma hukum dan kesusilaan. Dengan
mengetahui dan memahami kejadian/kasus kesusilaan baik mengenai hal
yang baru atau pun yang sudah ada dalam KUHP maka gambaran
keadaan tersebut dapat dilukiskan dan kemudian upaya-upaya ataupun
pencegahan/revensi terhadap kejahatan kesusilaan dapat ditentukan.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, tidak ditemukan catatan pasti
kapan kebiri dilakukan pada manusia. Namun, di Mesir, pada 2.600 sebelum
Masehi (SM), budak yang dikebiri berharga lebih tinggi karena dianggap
lebih rajin dan patuh kepada majikannya. Tindakan serupa ditemukan pada
budak di Yunani sekitar 500 SM, penjaga harem raja di Persia, serta
bendahara dan sejumlah pejabat kekaisaran Tiongkok.
Lebih lanjut, di sejumlah negara kebiri menjadi hukuman bagi pelaku
kejahatan seksual, baik pemerkosa maupun pelaku pedofilia. Prosesnya
umumnya dikenal sebagai kebiri dengan menyuntikkan zat kimia tertentu,
disebut suntik kebiri atau kebiri kimiawi. Terdapat dua obat yang secara
umum di gunakan, yaitu Obat cyproterone asetat yang umumnya digunakan
untuk pengebirian kimia di seluruh Eropa. Sedangkan medroksiprogesteron
asetat (MPA, bahan dasar sekarang digunakan dalam DMPA) adalah obat
yang umumnya digunakan di Amerika. Dengan menyuntikkan obat
antiandrogen, seperti medroxyprogesterone acetate atau cyproterone. Yakni
Obat-obatan yang dapat menekan fungsi hormon testosteron. Untuk
menurunkan level testosteron, yakni hormon laki-laki, yang bertanggung
jawab pada timbulnya libido.
Selanjutnya, kebiri sebagai salah satu bentuk hukuman (punishment)
atau tindakan/perawatan (treatment) selama ini menjadi salah satu gejala di
beberapa negara termasuk negara- negara Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Berdasarkan World Rape Statistic atau statistic dunia tentang perkosaan di
berbagai Negara di dunia8 saat ini ada 20 negara yang memberlakukan
hukuman kebiri yakni 9 negara-negara Eropa dan 9 negara-negara bagian
Amerika, satu negara Amerika Latin dan satu negara di Asia Tenggara.
Kesembilan Negara Eropa tersebut adalah Inggris, Polandia, Rusia, Jerman,
Republik Ceko, Denmark, Swedia dan Spanyol. Sedangkan Sembilan
Negara bagian Amerika adalah California, Florida, Georgia, Iowa, Lousiana,

15
Montana, Oregon, Texas dan Wisconsin. Salah satu negara Amerika Latin
yang memberlakukan hukuman kebiri adalah Agentina dan satu Negara di
Asia adalah Korea Selatan, dan dengan berlakunya Perppu Nomor 1 Tahun
2016 maka Indonesia menjadi salah satu negara yang menerapkan sanksi
kebiri.
Pengebirian kimia dengan cara memberikan suntikan obat khusus.
Masing-masing metode memiliki efek fisik maupun psikologi yang berbeda,
dengan demikian hukuman ini hanya dapat dibenarkan dalam situasi
tertentu.
1. Surgical Castration (Pengebirian Bedah)
Secara prosedur, pengebirian bedah adalah proses mengurangi
atau bahkan menghilangkan gairah seksual baik pria maupun wanita.
Namun, pada masa kelam Eropa pengebirian bedah dilakukan sebagai
salah satu hukuman atas pelanggaran yang lebih terarah kepada aliran
sesat atau ilmu hitam. Pengebirian bedah pada wanita dicapai dengan
cara menghilangkan sel telur pada ovarium atau disebut dengan
oophorectomy. Selama proses operasi atau oophorectomy ini relatif
memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Setelah operasi pun wanita
membutuhkan waktu sekurangnya 4 sampai 6 minggu untuk pulih
sebelum berkatifitas secara normal. Sedangkan pada pria pengebirian
bedah memiliki prosedur yang relatif sederhana dan biasanya dapat
beraktifitas kembali secepat mungkin setelah operasi.
Pengebirian bedah memang dianggap sangat efektif dalam
mencapai beberapa tujuan yang salah satunya adalah menurunkan
gairah seksual kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual untuk
mencegah timbulnya residivisme. Pengebirian bedah membawa
beberapa konsekuensi jangka panjang antara lain:
a. Seutuhnya mengalami kemandulan,
b. Hilangnya kemampuan untuk mencapai ereksi atau kekuatan
massa otot dan hilangnya hasrat,
c. Sulit menjalin kontak seksual dengan lawan jenis,
d. Bulu pada bagian muka dan kemaluan akan berhenti tumbuh,

16
e. Ketidakmampuan untuk memproduksi hormon testosteron,
f. Hilangnya simbolik kedewasaan dan kewanitaan,
g. Infeksi jangka panjang

Efek samping di atas merupakan hal yang umunya terjadi


bagi para tindak pidana yang menjalani hukuman kebiri bedah.
Dengan berjalannya waktu serta perkembangan zaman yang
merubah pemikiran orang Eropa pada umumnya, hingga lahirlah
beberapa pemikiran tentang human right yang menganggap bahwa
pengebirian bedah adalah suatu hukuman yang dianggap keji dan
tidak sesuai. Alasan tersebut didasari perkembangan medis yang
menjadi dasar hukuman kebiri kimia atau injeksi antiandrogen
timbul sebagai salah satu alternatif yang dirancang untuk tetap
memberikan hukuman namun disesuaikan dengan keadaan.
2. Chemical Castration (Pengebirian Kimia)
Awal abad kedua puluh Amerika Serikat mendukung gerakan
egenetika baik pengerian atau sterelisasi atas banyaknya penyakit
masyarakat mengeni pelecehan seksual dan di beberapa negara
menerapkan perlunya hukum kebiri sebagai sanksi untuk pelanggaran
tersebut. Pada akhir WW II praktek tersebut mulai memudar ,
bersamaan dengan perkembangan medis yang kemudian membuat
obat penekan atas dorongan seks melalui injeksi antiandrogen untuk
alternatif pengebirian bedah. Sehingga pada tahun 1984 seorang
hakim Michigan memerintahkan pelanggaran seks di hukum
menerima suntukan medroxy progesterone acetate (MPA) sebagai
sebuah percobaan, pengadilan banding menetapkan penjatuhkan
hukuman percobaan.
Meskipun demikian, pada tahun 1996 studi medis meminta
California menjadi negara bagian pertama yang memberlakukan
undang-undang yang mengatur pengebirian kimia sekitar sebulan
setelah RUU California ditandatangani menjadi undang-undang.
Memang pengebirian kimia tidak benar-benar menghapus rahim atau

17
testis seseorang melainkan mengubah fisiologi pelaku melalui
suntikan dengan obat khusus yang biasa disebut devo-provera.
Prosedur ini dimaksud untuk mencapai tujuan yang sama
dengan kebiri bedah, oleh karena itu legislatif di beberapa negara
bagian Amerika Serikat menetapkan pengebirian kimia sebagai bentuk
hukuman yang tepat bagi para pelaku tindak pidana kekeran seksual.
Fungsi dari pengebirian kimia itu sendiri adalah sebagai metode
sterilisasi, mengurangi libido seksual pelaku dan pengobatan untuk
kondisi medis tertentu, serta tujuan yang ingin dicapai yaitu
retribution, deterrence (pencegahan), incapacitation
(ketidakmampuan), rehabilitation (rehabilitasi). Menurut para pakar
kriminolog berpendapat apabila tujuan tersebut tidak dicapai secara
keseluruhan masih dianggap lebih baik daripada hukuman penjara saja
yang berlakukan.
Pandangan tersebut didasarkan pada kekhawatiran mengenai
kepadatan narapidana beberapa tahun terakhir, di California sendiri
apabila pelaku tindak pidana pelecehan seksual atau kekerasan seksual
yang menjalani hukuman kebiri kimia akan mendapat kompensasi
hukuman penjara dan bahkan akan dibebaskan secara bersyarat.
Faktor lain yang mendorong diberlakukannya pengebirian kimia
adalah menyikapi tuntutan publik mengenai tindak pidana kekerasan
seksual, mereka menganggap hukuman penjara saja tidak cukup, suatu
saat si pelaku akan bebas dari penjara dan apabila tidak bisa
mengontrol hasrat seksual menyimpang maka akan terjadi hal yang
sama dan kembali anak-anak menjadi sasaran.
Pemberian MPA tidak lepas dari keputusan ahli medis yang di
tunjuk pengadilan apakah terdakwa orang yang dianggap tepat atau
tidak, jadi ada kemungkinan ahli medis menolak suntikan kebiri untuk
pelaku tertentu yang dianggap tidak sesuai setelah dilakukan
pemeriksaan secara mendalam. Keterkaitan ahli medis yang ditunjuk
oleh pengadilan memiliki peran penting dalam penentuan hukuman.
Undang-Undang juga secara jelas mengarahkan hakim untuk meminta

18
ahli medis memeriksa terdakwa yang kemudian melaporkan hasil
pemeriksaan kepada pengadilan apakah hukuman itu sesuai dan baik
bagi terdakwa atau baik secara umum (masyarakat).
Pandangan Ahli Hukum Mengenai Hukuman Kebiri
Keberlakuan hukum kebiri di sebagian besar negara bagian Amerika
Serikat memang dianggap perlu untuk ditegakkan, mengingat kasus
yang timbul beberapa tahun terkahir meningkat drastis. Dibalik
ketentuan tersebut, tidak sedikit pihak yang menganggap bahwa
pengebirian kimia sama kejamnya dengan pengebirian bedah.
Memang jika dilihat pada proses eksekusi sangat jauh berbeda jika
ditinjau dari efek yang ditimbulkan, pengebirian kimia memiliki efek
jangka panjang, bahkan bisa dikategorikan sebagai salah satu
hukuman berat.
Efektivitas penggunaan MPA untuk hukuman kebiri kimia
merupakan suatu pengobatan dalam kondisi fisiologi dan psikiologis
tertentu. Namun, ketika pengaruh kimiawi menstimulasi keadaan
biologi seseorang sehingga dipandang memaksakan atas kondisi yang
tidak sesuai, maka hal seperti ini keluar dari kontes pengobatan dan
menjadi sebuah hukuman. Sebuah pengadilan distrik federal juga
menerapkan beberapa percobaan guna menentukan apakah hukuman
MPA bisa diklasifikasikan ke dalam kategori treatment atau hanya
sekedar hukuman.
Pengkebirian bagi pelaku kekerasan seksual anak sebagai model
intervensi dan penghukuman yang akan dipilih agar menimbulkan
efek jera bagi pelaku. Pilihan intervensi ini tentunya dilandasi cara
pandang yang melihat bahwa kekerasan seksual adalah permasalahan
biologis - psikologis sehingga model intervensi yang dipilih adalah
menyasar organ biologis pelaku. Tulisan ini mencoba memberikan
cara pandang alternatif bagi masyarakat dalam melihat persoalan
kekerasan terhadap anak yang tidak melulu masalah biologis-
psikologis

19
Pada kasus kekerasan seksual anak yang dilakukan orang
dewasa, maka diasumsikan penyebabnya adalah gangguan
biopsikologis pelaku sehingga ia tidak mampu mengontrol dorongan
biologisnya dan melakukan kekerasan. Maka upaya yang dilakukan
adalah dengan melacak dan mengintervensi sumber masalahnya, yaitu
hormon testosteron yang dianggap paling bertanggung jawab.
Maka dari itu, dari berbagai cara pemenuhan hasrat seksual yang
bisa dipilih, mengapa beberapa laki-laki dewasa memilih anak-anak?.
Mengapa korban yang ia pilih cenderung anak yang sudah dikenal
yang pelaku memahami benar pola relasi yang timpang antara dia
dengan korban. Tentunya sangat naif jika penjelasan atas kasus
kekerasan seksual pada anak hanya semata-mata karena permasalahan
libido dan hormonal semata.
Bagi laki-laki, seksualitas adalah bagian dari identitas
kelelakiannya. Nilai dan keyakinan para laki-laki akan dunia seksual
sedikit banyak dibangun atas dasar penaklukan, tantangan dan
pembuktian keperkasaan dimana mereka merasa harus mampu
”mengalahkan” pasangannya. Sebagai contoh dalam kehidupan
sehari-hari, ukuran maskulinitas laki-laki tercermin dalam jargon-
jargon penaklukan seksual seperti ”Ayo kuat berapa ronde?!”,
”menang-kalah”, ”KO” ”,lemah”,” loyo” yang semuanya
berhubungan dengan makna pertarungan. Hal ini membuat para laki-
laki berusaha memenangkan ”pertarungan seksual” tersebut dengan
cara apapun termasuk kekerasan pada kelompok yang lemah dalam
hirarkhi sosial. Program intervensi yang hanya sebatas tritmen
psikologis dan medis tentu saja belum sepenuhnya mengatasi akar
permasalahan terkait isu kuasa, kontrol dan dominasi.Kejahatan
seksual direduksi hanya sebatas penyakit psikologis dan gangguan
perilaku individual semata.

C. Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak


dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM)

20
Menurut deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hak asasi
manusia merupakan tujuan (end) sekaligus sarana (means) pembangunan.
Turut sertanya masyarakat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi,
melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri dan
menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional maupun nasional
untuk menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu fokus utama
pembangunan. Namun demikian fenomena hak asasi manusia harus
dicermati secara arif, sebab dalam masyarakat individualisme, ada
kecendrungan menuntut pelaksanaan hak asasi manusia secara berlebihan.
Padahal hak asasi manusia tidak dapat di tuntut pelaksanaannya secara
mutlak, sebab penuntutan secara mutlak berarti melanggar hak asasi yang
sama yang juga dimiliki oleh orang lain. 2
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada setiap
dan semua manusia untuk diperlakukan sesuai dengan kodrat
kemanusiaannya yang jika hak-hak tersebut tidak dilaksanakan dengan
seluruhnya, eksistensi manusia menjadi tidak utuh. Artinya hak asasi
manusia sebagaimana dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-
Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan
harkat dan martabat manusia. Hak-hak dasar tersebut didasarkan pada
kesetaraan dalam segala bentuk perlakuan di hadapan hukum tanpa
memandang disriminasi, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
atau pandangan politik dan lainnya. 2
Dalam mukaddimah pernyataan umum hak-hak asasi manusia di
PBB mengenai hak asasi manusia dijelaskan sebagai berikut: 2
Recognition of the inherent dignity and the egual and inalienable
right of all member of the human family is the foundation of freedom,
justice and peace in the world. (Pengakuan atas keluhuran martabat
alami manusia dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dipindahkan

21
kepada orang lain dari semua anggota keluarga kemanusiaan adalah
dasar kemerdekaan dan kedamaian di dunia).
Dengan demikian jelaslah bahwa hak asasi manusia bersifat universal,
berlaku umum untuk semua umat manusia tanpa memandang strata dan
tingkat sosial, status ekonomi, perbedaan agama, gender dan lain-lainnya.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan kewajiban etis yang
mendorong manusia kearah satu tujuan, yaitu humanisasi yang berdasarkan
eksistensi manusia sebagai individu dalam kelompok masyarakat. Selain itu
keberadaan manusia merupakan makhluk mulia yang diciptakan oleh Tuhan
yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dan di lindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia. Walaupun pemenuhan dan perlindungan hak asasi
manusia bersifat absolut, tetapi dalam keadaan tertentu terdapat juga
pengecualian. Contohnya adalah pemberlakuan hukuman mati yang berarti
mencabut hak asasi manusia bagi seseorang. Melalui Putusan nomor 2-
3/PPU-V/2007, Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa hak hidup tidak
bersifat mutlak dan bahwa pemberlakuan hukuman mati dalam Undang-
Undang Narkotika Nomor 27 Tahun 1997 adalah sah sepanjang ancaman
pidana mati tersebut tidak melanggar Udang-Undang Dasar 1945. 2
Hak asasi manusia dalam negara Indonesia dapat dilihat dari Ideologi
Pancasila. Pancasaila sebaagai ideologi negara Republik Indonesia berbeda
dengan ideologi Liberalisme Kapitalis yang berpaham individualistis, juga
berbeda dengan ideologi sosialis komunis yang berpaham kolektivitas
komunal. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu
maupun hak-hak warga masyarakat, baik di bidang ekonomi maupun
politik. Kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara dilihat dari segi
struktur tata hukum Indonesia, menempati derajat tertinggi secara hierarki
yaitu norma fundamental negara (staatfundamentalnorm) ditemukan dalam
Mukadimah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, norma dibawahnya adalah staatgrundgezetz yaitu batang tubuh
Undang-Undang Dasar Negara yang juga biasa disebut sebagai grondrecht.2

22
Berbagai macam pelanggaran terhadap hak-hak anak masih sering
terjadi, tercermin dari masih adanya anak-anak mengalami abuse,
kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Diantara pelanggaran hak asasi
anak berkaitan dengan pemerkosaan terhadap anak. Telah menjadi
kesepakatan berbagai bangsa, persoalan anak ditata dalam suatu wadah
Unicef (United Nations Children’s Fund). Bagi Indonesia, anak
dikelompokkan sebagai kelompok yang rentan. Dalam penjelasan Pasal 5
ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang
termasuk kelompok rentan adalah orang lansia, anak-anak, fakir miskin,
wanita hamil, dan penyandang cacat. 2
Masalah kekerasan seksual terutama pemerkosaan di Indonesia,
khususnya terhadap anak perlu mendapat perhatian lebih intensif dan serius
lagi. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar1945 Pasal 28,
beserta perubahannya Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi”. Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
RI Tahun 1945 menentukan bahwa “ Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Selain termuat dalam
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, memuat juga perlindungan terhadap hak-hak
anak yang merupakan hak asasi manusia. Undang-Undang perlindungan
Anak tersebut juga menegaskan bahwa pertanggungjawab orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan
yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak.
2

Untuk melindungi hak asasi anak dari korban pemerkosaan,


pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

23
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak pada Pasal 81 ayat (7) telah mencantumkan hukuman kebiri yang
berbunyi “Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat
(5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat
pendeteksi elektronik”. Artinya bahwa Indonesia telah melegalkan hukuman
kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. 2
Kebiri sebagai salah satu bentuk hukuman (punishment) atau
tindakan/perawatan (treatment) belakangan ini menjadi salah satu gejala di
beberapa negara termasuk negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Berdasarkan World Rape Statistic atau statistik dunia tentang pemerkosaan
di berbagai Negara di dunia, saat ini ada 20 negara yang memberlakukan
hukuman kebiri yakni 9 negara-negara Eropa dan 9 negara-negara bagian
Amerika, satu negara Amerika Latin dan satu negara di Asia Tenggara.
Kesembilan Negara Eropa tersebut adalah Inggris, Polandia, Rusia, Jerman,
Republik Ceko, Denmark, Swedia dan Spanyol. Sedangkan Sembilan
Negara bagian Amerika adalah California, Florida, Georgia, Iowa, Lousiana,
Montana, Oregon, Texas dan Wisconsin. Satu Negara Amerika Latin yang
memberlakukan hukuman kebiri adalah Agentina dan satu Negara di Asia
Tenggara adalah Korea Selatan. 2
Beberapa negara Uni Eropa telah memasukan pasal kebiri dalam
hukum pidana yang diberikan dalam bentuk suntikan kimiawi (chemical
castration) kepada pelaku kejahatan seksual. Norwegia adalah satu-satunya
negara Uni Eropa yang secara terang-terangan menyatakan di dalam hukum
pidananya pada tahun 2010 bahwa kebiri merupakan salah satu hukuman
bagi pelaku kejahatan seksual. Polandia hanya menerapkan chemichal
castration sebagai bagian dari treatment untuk paedofilia. Australia juga
sudah memasukkan dalam hukum pidana untuk pelaku kejahatan seksual
anak dan pelaku pemerkosaan. Rusia yang sudah menerima chemical
castration dalam hukum pidana mereka untuk pelaku kejahatan seksual
anak dimana korbannya berusia di 12 tahun atau kurang dari 12 tahun.
Sementara itu Turki sedang mempertimbangkan untuk memasukkan

24
suntikan kebiri kepada pelaku pemerkosaan. India dan Taiwan memberikan
suntikan kebiri ini khusus pada pedofilia dan residivis pelaku kejahatan
seksual anak. 2
Pemberian pemberatan hukuman pada pelaku kejahatan seksual anak
dengan dengan mengebirinya melalui suntikan carian kimiawi,
menunjukkan cara berfikir balas dendam yang merupakan pendekatan
hukuman yang sudah lama ditinggalkan. Pendekatan ini pun dinilai
merupakan pendekatan hukuman yang dilakukan oleh masyarakat primitif
dan terkesan barbarisme. Penghukuman pemberatan hampir tidak memiliki
korelasi dengan berkurangnya kejahatan seksual pada anak. Di banyak
Negara, hukuman balas dendam kepada pelaku kejahatan sudah tidak
popular lagi, bahkan menimbulkan banyak protes dari masyarakat dan
berbagai organisasi hak asasi manusia. Secara akademik hukuman ini juga
tidak memberikan efek pemulihan pada korban. Seorang ahli kriminal anak
Jocelyn B. Lammdari Yale University, mengatakan bahwa krimimalisasi
tidak memberikan efek jera sama sekali kepada pelaku tindak pidana ini,
karena itu diperlukan pola-pola penuntutan yang dapat memberikan rasa
terlindungi dan rasa pemuliaan yang dihadiahkan kepada korban kejahatan
ini. 2
Hukuman kebiri yang dijatuhkan terhadap pelaku pemerkosaan
terhadap anak, apabila dikaitan dengan hak asasi manusia (HAM) maka
hukuman kebiri melanggar dua prinsip yang menjadi amanat reformasi,
yaitu prinsip HAM dan demokrasi. Secara substansi, hukuman kebiri akan
berdampak pada hilangnya hak seseorang untuk melanjutkan keturunan dan
terpenuhi kebutuhan dasarnya yang dijamin dalam UUD 1945. Hal tersebut
tentu saja bertentangan dengan hak-hak asasi manusia sebagaimana yang
terdapat di dalam Undang-undang Dasar maupun Undang-Undang Hak
Asasi Manusia (HAM). Selain itu, sampai saat ini tidak ada kajian yang
menunjukkan bahwa sanksi kebiri mampu secara efektif menekan tindakan
kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah hal kompleks yang tidak bisa
serta merta hilang dengan mengebiri pelaku. Disamping itu, apabila
hukuman kebiri diterapkan maka akan terjadi pertentangan dengan asas-asas

25
yang berlaku dalam pemidanaan bagi pelaku, bertentangan juga dengan
jenis-jenis pidana yang dianut oleh KUHP, karena KUHP hanya mengenal
pidana pokok dan pidana tambahan dan di dalam dua jenis pidana tersebut
tidak ada satu pun yang menyantumkan pidana kebiri yang merupakan jenis
corporal punishment atau penghukuman terhadap badan. Mengebiri pelaku
bukan jalan keluar yang adil bagi korban dan juga tidak ada hubungan ang
signifikan antara kebiri dan berkurangnya kejahatan seksual anak, tidak ada
efek yang ilmiah, korban akan pulih dengan diberikannya hukuman
tambahan kebiri kepada pelaku. 2

D. Tinjauan Etika Dokter sebagai Eksekutor Hukuman Kebiri 9, 11


Pada tahun 2016, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU)
nomor 17 tahun 2016 sebagai penetapan dari Perpu nomor 1 tahun 2016
tentang perubahan kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 mengenai
Perlindungan Anak. Perubahan terkait kebiri terletak pada pasal 81 ayat (7)
dengan bunyi sebagai berikut: “Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan
pemasangan alat pendeteksi elektronik.”.4 Berlakunya UU ini kemudian
mengundang reaksi dari berbagai pihak, mulai dari organisasi pejuang
penegakkan hak asasi manusia (HAM) hingga organisasi profesi
kedokteran.
Tinjauan hukum terhadap muatan UU tersebut terdapat dalam Jurnal
Konstitusi yang diterbitkan pada Maret 2017. Hukuman kebiri dinilai
sebagai sebuah jawaban atas tingginya tuntutan publik terhadap pelaku
kejahatan seksual di samping tidak optimalnya pemberlakuan hukum
perlindungan anak selama ini di Indonesia. Akan tetapi berbagai pendekatan
lain seperti dari segi sosiologi kemasyarakatan dan psikiatri perlu
dipertimbangkan agar tindakan kebiri bukan menjadi solusi tunggal
terhadap permasalahan ini.
Sikap IDI terhadap Hukuman Kebiri
Menyambung kontroversi penetapan nomor 17 tahun 2016,
kontroversi lain kemudian timbul terkait penolakan Ikatan Dokter Indonesia

26
(IDI) untuk menjadi eksekutor hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan
seksual pada anak.6 Dalam UU tersebut, dicantumkan metode hukuman
kebiri berupa injeksi zat kimia anti-androgen dan bertujuan untuk
mengurangi produksi hormon testosteron sehingga menurunkan dorongan
seksual terpidana untuk sementara.
Dalam pelaksanaannya, prosedur kebiri melibatkan risiko timbulnya
rasa sakit dan komplikasi lainnya pada terpidana. Untuk itu, dokter
dianggap sebagai profesi yang tepat untuk dijadikan eksekutor hukuman
kebiri karena kompetensi yang dimilikinya, dibandingkan dengan profesi
lainnya.
Di sisi lain, profesi kedokteran yang berpegang pada prinsip
kedokteran berbasis bukti menilai bahwa efektivitas kebiri kimia sejatinya
masih menjadi pertanyaan karena belum adanya studi double blind yang
adekuat untuk membuktikan efektivitasnya. Hal ini kemudian menjadi
landasan sikap IDI yang menolak keterlibatan dokter sebagai eksekutor
kebiri. Penolakan IDI tersebut disampaikan melalui fatwa Majelis
Kedokteran Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri
Kimia.
Selain efektivitas kebiri, berbagai alasan lainnya turut mendasari
penolakan IDI tersebut, seperti berbagai efek samping yang tidak diinginkan
dari kebiri, kemungkinan permasalahan kejiwaan (psikis) yang
menyebabkan kejahatan seksual, dan kesempatan bagi terpidana untuk
melakukan tindak kriminal yang lebih ekstrem.
Terlepas dari penolakan IDI, dokter polisi (dokpol) menyatakan
bersedia melaksanakan prosedur tersebut apabila diperintahkan. Hal ini
didasari oleh salah satu tugas Polisi Republik Indonesia (polri) yang harus
melaksanakan ketetapan hukum dari Mahkamah Agung.

Tinjauan Etika
Dalam Kode Etik Kedokteran (KODEKI) tahun 2012 pasal 5
dikatakan bahwa “setiap perbuatan/nasihat dokter yang mungkin

27
melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan
pasien/keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan
pasien tersebut.” Pada penjelasan pasal diterangkan bahwa melemahkan
psikis maupun fisik pasien bertentangan dengan fitrah ilmu kedokteran
kecuali bila terdapat alasan pembenar dari tindakan tersebut, seperti
prosedur penghilangan fungsi saraf yang digunakan dalam pembiusan
prabedah dan pemberian obat anti nyeri pada pasien dengan nyeri tak
tertahankan.
Mengacu pada hal tersebut, selain dari tindakan yang bertujuan
menyembuhkan pasien, menghilangkan fungsi tubuh normal pasien
bertentangan dengan tugas seorang dokter. Hal ini kemudian berlaku pada
prosedur hukuman kebiri. Kendati bertujuan untuk kebaikan masyarakat
luas dan pengendalian dorongan hormon seksual yang berlebihan pada
pelaku kejahatan seksual, dalam hakikatnya mencederai fungsi normal
tubuh pasien tetap tidak dapat dikatakan bebas dari pelanggaran terhadap
etika kedokteran.
Meskipun demikian, bila dokter lepas tangan dalam hal ini,
pertanyaan selanjutnya siapakah yang harus menggantikan peran dokter
sebagai profesi dengan kompetensi yang mampu mengerti kesehatan fisik
maupun psikis pasien dalam rangka mengurangi rasa sakit yang harus
diderita oleh pelaku? Seorang eksekutor yang telah diberikan pelatihan
kompetensi khusus kebiri kemudian menjadi salah satu jawaban untuk
menengahi kepentingan antara hukum dan etika kedokteran.

28
BAB III
KASUS JURNAL

Abstrak 15
Perlindungan terhadap anak telah diatur oleh secara tegas dalam dalam
peraturan perundang-undangan khusus yaitu dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini kemudian telah dua
kali mengalami perubahan yaitu pertama kali diatur dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014. Setiap orang yang melanggar hak seorang anak untuk
dilindungi sudah seharusnya diganjar hukuman seperti yang telah diatur dalam
undang-undang. Makalah ini merupakan sebuah laporan kasus. Bahwa dilaporkan
telah terjadi perdagangan dan kekerasan seksual pada anak perempuan, berusia 16
tahun, oleh temannya sendiri, seorang perempuan berusia 18 tahun, kepada
seorang pria tidak dikenal. Korban dipaksa masuk ke dalam sebuah mobil dan
dipaksa untuk membuka pakaiannya. Pelaku memaksa korban dan memasukan
kelaminnya ke kelamin korban selama kurang lebih lima belas menit dan ejakulasi
diluar. Setelah itu, pelaku mengantarkan korban ke tempat semula dan
memberikan uang sebesar empat ratus ribu rupiah. Kejadian tersebut terjadi pada
bulan Mei tahun 2016 dan diperiksa pada bulan Desember tahun 2016, sehingga
sudah tidak ditemukan tanda kekerasan dan pada pemeriksaan genitalia ditemukan
robekan lama yang sampai dasar dan robekan lama yang tidak sampai dasar.
Pemeriksaan laboratorium sederhana tidak dapat dilakukan karena kejadian sudah
terlalu lama berlalu. Seorang dokter dituntut untuk dapat menentukan adanya
tanda-tanda persetubuhan, adanya tanda-tanda kekerasan, serta memperkirakan
umur korban berdasarkan keilmuan yang dimilikinya.
Kata kunci: Kekerasan Seksual, Anak, Kebiri

29
A. Pendahuluan 15
Anak memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan perlindungan
dari kekerasan seksual, terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, pada pasal 28 B ayat dan pasal 4, Undang-
Undang no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan norma
tersebut, Negara dipandang berkewajiban dan bertanggungjawab atas
perlindungan anak dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual sebagai
segala jenis kegiatan atau hubungan seksual yang dipaksakan dan/atau
tanpa persetujuan (consent) dari korban. Di Indonesia, pada umumnya
definisi dan jenis kekerasan seksual yang dianut diambil dari kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya dalam Bab XIV
tentang kejahatan terhadap Kesusilaan. Kekerasan seksual terhadap anak.
Kekerasan seksual terhadap anak akan memberikan dampak atau efek
yang tidak ringan kepada anak sebagai korban. Kebanyakan korban
perkosaan mengalami psychological disorder yang disebut popurst-
traumatic stress disorder (PTSD) yang gejalanya berupa ketakutan yang
intens, kecemasan yang tinggi, dan emosi pascaperistiwa tersebut.
Perdagangan anak merupakan salah satu bentuk tindakan kejahatan
yang dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau sebuah
lembaga terhadap orang yang usianya belum mencapai 18 tahun, termasuk
janin yang masih berada dalam kandungan. Perdagangan anak menurut
Office of Drug Control and Crime Prevention (ODCCP) adalah suatu
tindakan perekrutan, pemindahan, pengiriman, penempatan atau menerima
anak-anak dibawah umur untuk tujuan eksploitasi dan itu dengan
menggunakan ancaman, kekerasan, ataupun pemaksaan lainnya seperti
penculikan, penipuan, kecuranagan, penyalahgunaan wewenang maupun
posisi penting. Perdagangan anak biasanya bertujuan untuk eksploitasi
dalam hal pekerjaan, eksploitasi seksual, pekerjaan illegal seperti
mengemis, perdagangan adopsi dan perjodohan dengan pemaksaan. Data
UNICEF menyebutkan setiap tahunnya, sekitar 1,2 juta anak di dunia
menjadi korban perdagangan anak. Di Indoesia, sebanyak 100.000 anak

30
menjadi korban perdagangan anak setiap tahun, dan dari jumlah tersebut,
400.000 hingga 700.000 diantaranya menjadi korban prostitusi.
Perlindungan terhadap anak telah diatur oleh secara tegas dalam
dalam peraturan perundang-undangan khusus yaitu dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam peraturan ini
lebih diperjelas mengenai kekerasan seksual pada anak yang sebelumnya
belum terlalu disinggung. Hal ini dapat terlihat dari poin kekerasan seksual
pada pasal 15 sehingga menekankan bahwa setiap anak berhak untuk
memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual di luar bentuk kekerasan
lainnya. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2016, dibuat dikarenakan peraturan sebelumnya dinilai belum memberikan
efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak, sehingga sanksi
pidana terhadap pelaku diperberat dalam Pasal 81 ayat 5 dan 7 dimana
pelaku kejahatan seksual dapat dipidana mati, seumur hidup, atau tindakan
kebiri kimia.
Setiap orang yang melanggar hak seorang anak untuk dilindungi
sudah seharusnya diganjar hukuman seperti yang telah diatur dalam
undang-undang nomor 35 tahun 2014, yaitu dalam BAB XII mengenai
ketentuan pidana yang diberlakukan pada pelaku pelanggaran terhadap
macam-macam jenis larangan yang tercantum dalam BAB XIA. Khusus
untuk kekerasan seksual diatur dalam beberapa pasal yaitu pasal 81, pasal
82 dan pasal 88.
Selain undang-undang khusus yang mengaturnya, ketentuan
mengenai kekerasan seksual dari dulu sudah lama diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana pada BAB XIV tentang Kejahatan
Terhadap Kesusilaan. Khusus untuk tindak pidana perkosaan dan perbuatan
cabul, terdapat dalam pasal 285, pasal 286, pasal 287, pasal 289, dan pasal
290.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dalam Pasal 83 menentukan larangan bagi setiap orang untuk
menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut
serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan anak.

31
Namun, ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut
tidak merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas secara hukum,
dan memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan
dampak yang diderita korban. Oleh karena itu, dibentuk undang-undang
khusus tentang tindak pidanan perdagangan orang yang dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 pada pasal 2, pasal 12, dan pasal
17.

B. Kasus Penelitian
Dilaporkan sebuah kasus perdagangan dan kekerasan seksual pada
anak, dengan surat permintaan Visum et Repertum pada bulan Desember
tahun 2016. Kejadian tersebut terjadi pada bulan Mei tahun 2016. Korban
seorang perempuan, berusia 16 tahun, bertempat tinggal di Padang,
beragama islam dan berstatus sebagai pelajar. Awal mula kejadian, korban
dibawa temannya, perempuan, berusia 18 tahun, ke jembatan Siti Nurbaya
di Padang dengan mengendarai sepeda motor. Sesampainya disana, korban
dikenalkan dengan seorang pria dan dipaksa dengan mendorong korban
untuk naik kedalam mobil pria tersebut. Setelah masuk, mobil dikunci dan
melaju ke daerah Kampung Kaliang. Setelah mobil berhenti, pelaku
memaksa korban untuk membuka baju dengan menginjak kaki dan tangan
korban, lalu membuka pakaian korban dengan paksa, setelah itu
memasukkan kemaluan pelaku ke kemaluan korban selama 15 menit dan
diakhiri dengan ejakulasi di luar. Setelah itu korban diantarkan ke tempat
semula dan diberikan uang sebesar 400 ribu rupiah.
Pemeriksaan dilakukan pada bulan Desember tahun 2016, korban
datang dengan keadaan sadar, keadaan umum baik, emosi tenang, sikap
selama pemeriksaan cukup membantu, penampilan bersih dan pakaian
telah diganti. Perkembangan seks sekunder sudah berkembang, riwayat
haid teratur dengan haid pertama pada usia 13 tahun, lama haid kurang
lebih 1 minggu dan hari pertama haid terakhir pada tanggal 1 Desember
tahun 2016. Tidak ditemukan luka-luka pada tubuh korban.

32
Pada pemeriksaan selaput dara, ditemukan robekan lama sampai
dasar, arah jam 4 dan 9, dan robekan lama tidak sampai dasar, arah jam 3
dan 7. Pemeriksaan laboratorium tidak dapat diperiksa.

Gambar 1. Pemeriksaan genitalia luar dan selaput dara.

C. Hasil dan Diskusi 15


Pada kasus ini, permintaan surat Keterangan Ahli berupa surat
permintaan visum korban kejahatan seksual telah dikirimkan oleh penyidik
kepolisian kepada instansi kesehatan, dalam hal ini Rumah Sakit Umum
Pusat dr. M. Djamil Padang, dimana prosedur tersebut telah sesuai dengan
wewenang penyidik serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh
karena itu, menjadi kewajiban dokter untuk melakukan pemeriksaan
terhadap korban sesuai dengan keperluan penyidikan.
Selanjutnya dokter ahli kedokteran kehakiman wajib membuat surat
Keterangan Ahli berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan
terhadap korban. Surat Keterangan Ahli berupa Visum et Repertum ini yang
nantinya akan berfungsi sebagai alat bukti yang sah sesuai dengan KUHAP
pasal 184 ayat (1).
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki
masuk ke dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan
dengan atau tanpa terjadinya pancaran air mani. Adanya robekan pada
selaput dara hanya menunjukkan adanya benda padat/kenyal yang masuk,
dengan demikian bukan merupakan tanda pasti persetubuhan. Robekan
selaput dara yang terbentuk bergantung pada faktor besarnya zakar dan
ketegangannya, seberapa jauh zakar masuk, keadaan selaput dara serta posisi

33
persetubuhan. Jika zakar masuk seluruhnya & keadaan selaput dara masih
cukup baik, pada pemeriksaan diharapkan adanya robekan pada selaput dara.
Jika elastis, tentu tidak akan ada robekan. Derajat penetrasi dapat dibagi dua,
yaitu penetrasi minimal atau sebagian dan penetrasi seluruhnya atau total.
Penetrasi minimal adalah menggesekkan penis di antara labia pada vulva
tanpa memasukkan penis ke dalam vagina, adanya luka lecet, hiperemi, atau
memar pada vulva dapat ditemukan pada penetrasi yang minimal.
Sedangkan penetrasi total adalah menggesekkan penis dengan memasukkan
penis ke dalam vagina. Hal yang dapat ditemukan pada penetrasi total antara
lain robekan pada selaput dara, tanda penyembuhan luka berupa jaringan
parut halus di sepanjang dinding vagina, pada anak yang prepubertas dapat
mengalami trauma genital yang berat yang memerlukan tindakan surgical
repair, serta ditemukannya ejakulat yang mengandung spermatozoa bila
disertai dengan ejakulasi. Yang merupakan tanda pasti adanya persetubuhan
adalah adanya pancaran air mani (ejakulasi) di dalam vagina.
Dari pemeriksaan pada kasus ini ditemukan adanya robekan lama,
sampai dasar, arah jam 4 dan 9, serta robekan lama, tidak sampai dasar, arah
jam 3 dan 7. Hal ini menunjukkan adanya penetrasi total akibat benda
tumpul yang sudah lama terjadi, yang tidak memastikan adanya
persetubuhan. Temuan ini sesuai dengan keterangan korban bahwa pernah
terjadi persetubuhan kurang lebih 7 bulan yang lalu. Dikarenakan hal itu
pula, pemeriksaan cairan mani tidak dapat dilakukan karena kejadian
persetubuhan telah lama terjadi.
Kekerasan tidak selamanya meninggalkan bekas/luka, tergantung dari
penampang benda, daerah yang terkena kekerasan, serta kekuatan dari
kekerasan itu sendiri. Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak
ada luka bukan berarti tidak ada kekerasan. Kekerasan bisa terjadi dengan
cara pemberian zat-zat yang dapat melemahkan daya korban sesuai Pasal 89
KUHP. Dengan berlalunya waktu, luka dapat sembuh atau tidak ditemukan,
racun/obat bius telah dikeluarkan dari tubuh.
Pada kasus ini, korban mengaku mengalami kekerasan dari pelaku
yang membekap mulut korban serta menginjak kedua tangan korban agar

34
korban berhenti melawan. Sayangnya, dikarenakan faktor waktu dimana
kejadi sudah lama terjadi, tanda-tanda kekerasan ini sudah tidak mungkin
lagi ditemukan.
Dalam kasus ini, sebenarnya terdapat 2 kasus berbeda dengan 2 pelaku
berbeda yang dapat diperkarakan hukum secara terpisah. Pertama, kasus
perdagangan anak yang dilakukan pelaku wanita dan kedua, kasus
pemerkosaan yang dilakukan pelaku pria.
Pada kasus pertama, pelaku wanita yang merupakan teman korban,
memenuhi kriteria tindak pidana perdagangan orang yang diatur dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pelaku
wanita ini melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 karena
telah merekrut dan mengirim korban di dalam wilayah negara Republik
Indonesia yang menyebabkan korban tereksploitasi secara seksual, dan
diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Karena korban adalah anak berusia <18 tahun, ancaman pidananya ditambah
1/3 (sepertiga) seperti yang telah diatur dalam Pasal 17. Selain itu, Undang-
Undang Perlindungan Anak juga mengatur tindak pidana perdagangan anak
ini dalam Pasal 83 yang telah mengalami perubahan dengan ancaman pidana
penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling
banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pada kasus kedua, pelaku pria melanggar Pasal 285 KUHP yang
mengatur bahwa pelaku kekerasan yang memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Pasal yang
dikenakan juga dapat ditambah dengan Pasal 287 dikarenakan korban yang
mengalami tindak perkosaan tersebut adalah anak berumur 16 tahun dan
belum lagi waktunya untuk dikawin atau bersetubuh, dengan sanksi pidana
paling lama 9 tahun. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Perlindungan
Anak yang mengalami dua kali perubahan, pelaku juga melanggar ketentuan

35
Pasal 81 yang mengatur bahwa pelanggar yang sengaja melakukan
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun dan
denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Dikarenakan
pelaku meggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan
orang dengan cara melakukan persetubuhan dengan korban tindak pidana
perdaganan orang, dikenakan ancama pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 yaitu pidana penjara paling singkat 3 tahun dan
paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).

36
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tujuan diadakannya hukuman adalah untuk memperbaiki kerusakan
yang bersifat individual dan sosial (individual and social damage) yang
diakibatkan oleh tindak pidana. Hukum pidana tidak boleh hanya
berorientasi pada perbuatan manusia saja (daadstrafrecht), karena menjadi
tidak manusiawi dan mengutamakan pembalasan. Hukuman kebiri yang
diterapkan bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan terhadap anak harusnya
menjadi sebuah hukuman yang menimbulkan efek jera bagi pelaku. Namun
apabila ditinjau dari tujuan pemidanaan, hukuman kebiri belum
mencerminkan rasa keadilan disebabkan hukuman kebiri tidak selaras
dengan prinsip-prinsip hak yang mengakomodir hak-hak keberlangsungan
keturunan bagi pelaku tindak pidana.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Ohoiwutun, T. Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Dependensi Hukum


pada Ilmu Kedokteran). Universitas Jember. Jember. 2013
2. Wahyuni, Fitri. Hukuman Kebiri terhadap pelaku Tindak Pidana
Pemerkosaan Anak dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia. Jurnal
Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 2, Juli 2017 : 279 – 296
3. Manik, Andy. Efektivitas Sanksi Kebiri Kimia Dalam Pencegahan
Kejahatan Seksual Terhadap Anak Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal
Hukum. Fakultas Hukum. Universitas Atmajaya. 2017
4. Adams, J.A., Kellogg, N.D., Farst, K.J., Harper, N.S, Palusci, V.J., Frasier,
L.D., Levitt, C.J., Shapiro, R.A., Moles, R.L. and Starling, S.P. (2016),
“Updated Guidelines for the Medical Assessment and Care of Children Who
May Have Been Sexually Abused”, J Pediatr Adolesc Gynecol, Vol. 29, pp.
81-87
5. Astrup, B.S., Ravn, P., Lauritsen, J. and Thomsen, J.L. (2012), Nature,
frequency and duration of genital lesions after consensual sexual intercourse
—Implications for legal proceedings”, Forensic Science International, Vol.
219, pp. 50-56
6. Jänisch, S., Meyer, H., Germerott, T., Albrecht, U., Schulz, Y. and Debertin,
A.S. (2010), “Analysis of clinical forensic examination reports on sexual
assault”, Int J Legal Med, Vol.124, pp. 227-235
7. Dahlan, S., (2004), Ilmu Kedokteran Forensik. Pedoman Bagi Dokter dan
Penegak Hukum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
pp.125
8. Grossin, C., Sibile, I., Grandmaison, G., Banasr, A., Brion, F. and Durigon,
M. (2003), “Analysis of 418 cases of sexual assault”, Forensic Science
International, Vol. 131, pp. 125-130.
9. Sitanggang, Denni. Eksistensi Sanksi Kebiri Ditinjau dari Aspek Hak Asasi
Manusia dan Kode Etik Kedokteran. Jurnal Hukum. Fakultas Hukum,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2016
10. Fitriyani. Analisis Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual
Dalam Kajian Hak Asasi Manusia. Program Studi Magister Ilmu Hukum.
Fakultas Hukum Universitas Lampung. 2017
11. Soetedjo, Sundoro J, Sulaiman A. Tinjauan Etika Dokter sebagai Eksekutor
Hukuman Kebiri. Jurnal Etika Kedokteran Indonesia. 2018; 2(2):67–71.
ISSN 2598-053X
12. Komnas Perempuan. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan dan Forum Pengada Layanan. Jakarta. 2017
13. Santos, J.C., Neves, A., Rodrigues, M. and Ferrão, Paula, (2006), “Victims
of sexual offences: Medicolegal examinations in emergency settings”,
Journal of Clinical Forensic Medicine, Vol. 13, pp. 300–303
14. Kelly, D.L., Larkin, H.J., Cosby, C.D. and Paolinetti, L.A. (2013),
“Derivation of the Genital Injury Severity Scale (GISS): A concise
instrument for description and measurement of external female genital

38
injury after sexual intercourse”, Journal of Forensic and Legal Medicine,
Vol. 20, pp.724-731.
15. Syahputra, Abdulla, Rika. Kekerasan Seksual dan Perdagangan terhadap
Anak. Prosiding. pertemuan ilmiah tahunan 2017 perhimpunan dokter
forensik indonesia, PIT PDFI , 2017

39

Anda mungkin juga menyukai