Anda di halaman 1dari 16

REFLEKSI KASUS

MODUL ORAL DIAGNOSIS

Pemeriksaan Lengkap Pasien Medical Compromise

Nama : Chitra Dwi Prastiwi


NIM : 20164021043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
1
I. Deskripsi Kasus
Nama : Prasetyo
Usia : 60 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Perum. Ciceri permai, Jl. Tarumanegara II Blok D9
No.27, Serang-Banten
No RM : 45247
A. Pemeriksaan Subyektif
Pasien laki-laki berusia 58 tahun datang ke RSGMP UMY mengeluhkan
seluruh giginya terasa kotor dan kasar serta gusinya sering berdarah ketika
menyikat gigi. Keluhan sudah dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Pasien terakhir
kali membersihkan karang gigi 3 tahun yang lalu. Pasien mempunyai kebiasaan
mengunyah satu sisi yaitu pada sisi sebelah kanan saja. Pasien juga seorang
perokok aktif yang menghabiskan ± 3 batang rokok/hari. Pasien menyikat gigi 2
kali sehari ketika bangun tidur dan malam sebelum tidur. Setiap menyikat gigi
pasien mengeluhkan gusinya tekadang berdarah. Pasien juga mengaku bahwa
menyikat gigi dengan sangat keras menggunakan sikat gigi bulu lembut supaya
pembersihan gigi bisa maksimal.
Berdasarkan riwayat kesehatan oral, pasien pernah melakukan pencabutan
gigi, penambalan gigi bawah, dan pembersihan karang gigi. Pasien mengaku
semua prosedur dilakukan tanpa ada komplikasi.
Berdasarkan riwayat keluarga, ayah pasien tidak dicurigai memiliki
riwayat penyakit sistemik tertentu. Ibu pasien tidak dicurigai memiliki riwayat
penyakit sistemik tertentu.
Menurut riwayat kesehatan utama, pasien terdiagnosis memiliki riwayat
diabetes mellitus tipe 2 sejak 1 tahun yang lalu. Saat itu dilakukan cek gula darah
sewaktu oleh dokter di klinik hasilnya nilai GDS-nya adalah 340 mg/dL. Sejak
saat itu, pasien rutin melakukan kontrol dan rutin mengkonsumsi obat Metformin
hingga saat ini. Pada dua minggu yang lalu, pasien melakukan cek gula darah
sewaktu dan hasilnya adalah 140 mg/dl. Saat ini pasien mengaku dalam kondisi

2
diabetes yang terkontrol dan mengkonsumsi obat metforminnya 1 tablet/2hari
sesuai anjuran dokter.
Pasien adalah seorang wiraswasta. Setiap hari pasien rutin mengkonsumsi
nasi hingga 2-3 kali/hari. Pasien rutin konsumsi teh tawar setiap pagi dan sore hari
dan air putih minimal 5 gelas per hari. Pasien sering melakukan olahraga jalan
sehat seminggu 3 kali pada pagi hari.
Pasien tampak sehat jasmani dan rohani serta kooperatif dan komunikatif
terlihat dari kesan umum kesehatan pasien.
B. Pemeriksaan vital sign
 Tekanan darah pasien normal yaitu 115/85 mmhg
 Nadi : 68×/menit,
 Respirasi : 20×/menit.
 Berat badan pasien : 58 Kg
 Tinggi badan pasien 165 cm.
C. Pemeriksaan ekstra oral
Tidak terdapat kelainan.
D. Pemeriksaan intra oral jaringan lunak
Ditemukan adanya cheek biting, varikositas, coated tongue, hiperpigmentasi
gingiva, dan gingivitis.

3
E. Pemeriksaan jaringan keras / Odontogram

18 : Unerupted | 28 :-
17 : - | 27 : karies
16 : Karies, Ekstrusi | 26 : missing teeth
15 : abrasi | 25 :-
14 : abrasi | 24 : abrasi
13 : abrasi | 23 : abrasi
12 : mikrodonsi | 22 : abrasi
11 : abrasi | 21 : abrasi
41 : missing teeth | 31 : missing teeth
42 : missing teeth | 32 : missing teeth
43 : ekstrusi | 33 : ekstruksi
44 : ekstrusi | 34 :-
45 : missing teeth | 35 : -
46 : tumpatan sewarna gigi | 36 : tumpatan sewarna gigi
47 : tumpatan sewarna gigi | 37 : karies
48 : Un Erupted | 38 : Un Erupted

4
F. Pemeriksaan malposisi gigi individual
Terdapat malposisi gigi individual diantara nya :
Gigi 12 : labioversi
Gigi 11 : labioversi
Gigi 44 : Rotasi
Gigi 22 : labioversi
Gigi 21 : labioversi
Gigi 33 : linguoversi
Relasi M1 kanan : kelas I Relasi C Kanan : kelas I
Relasi M1 Kiri : - Relasi C kiri : kelas II
G. OHI pasien 6,6 dalam katagori buruk (DI =4,8, CI =1,8) dengan PI menunjunkan
skor 84%. Pemeriksaan gigi geligi menunjukan adanya beberapa gigi yang
mengalami karies dan memerlukan restorasi.
Perawatan yang dilakukan adalah Scalling USS. Scalling USS dilakukan
dalam satu kali kunjungan. Kontrol Pasca scalling uss dilakukan satu bulan
kemudian dan pasien tidak mengeluhkan adanya keluhan baik pada gusi maupun
giginya. OHI pasca 1 bulan scalling menunjukan skor 3,6 dalam kategori sedang
dengan PI sebesar 68%. Terlihat bahwa skor OHI pasien mengalami penurunan
namun masih dalam kategori sedang begitu juga dengan skor PI pasien yang
masih cukup tinggi, hal ini dikarenakan pasien belum rutin mengikuti anjuran
operator yaitu pasien masih mengunyah satu sisi,belum mengurangi atau berhenti
merokok, mengurangi konsumsi teh rutin atau melakukan kumur-kumur setiap
selesai minum teh, cara dan waktu sikat gigi juga masih belum sesuai.

5
II. Landasan Teori
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya. Menurut World Health Organization (WHO) DM merupakan suatu
kumpulan masalah anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. Ketidaksesuaian
kerja insulin pada penyakit DM ini mengakibatkan glukosa dari pembuluh darah tidak
mampu masuk ke jaringan. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar glukosa tetap
berada dalam sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemi. Hiperglikemi kronis pada
DM berhubungan dengan kerusakan jaringan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah. DM merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih dihadapi Indonesia
saat ini. Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia atau WHO
memprediksikan kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (Emor et all., 2015).
Proporsi penduduk Indonesia yang berusia >15 tahun dengan diabetes melitus
tahun 2013 sebesar 6,9% yang tersebar di perkotaan 7% dan pedesaan 6,8% serta
lebih banyak terjadi pada perempuan 7,7% dibandingkan dengan laki-laki 5,6%.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan komplikasi diabetes melitus adalah usia,
jenis kelamin, obesitas, merokok, dan aktivitas fisik (Rikawarastuti et all., 2015).
DM adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa
darah. Secara etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM dalam
kehamilan dan diabetes tipe lain. DM tipe 1 dulu dikenal sdengan nama Insulin
Dependent Diabetes Melitus (IDDM). Terjadi karena kerusakan sel beta pankreas. Sel
beta pankreas merupakan satu satunya sel tubuh yang menghasilkan insulin yang
berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan sel beta
pankreas telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul. DM tipe 1 sering
terjadi pada usia sebelum 30 tahun. DM tipe ini diperkirakan terjadi sekitar 5-10%
dari seluruh kasus DM yang ada. DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang
dulu dikenal sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM). Bentuk DM
ini bervariasi mulai dari resistensi insulin, defisiensi insulin relatif sampai defek

6
sekresi insulin. Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bkerja di
jaringan perifer dan disfungsi sel beta. Akibatnya pankreas tidak mampu
memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistence. Kedua
hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. DM tipe 2 sering terjadi
pada usia diatas 40 tahun. DM tipe 2 terjadi gangguan pengikatan glukosa oleh
reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehingga penderita
tidak tergantung pada pemberian insulin (Torres et all., 2017).
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu:
 Rusaknya sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia,
dan lain-lain)
 Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
 Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer
Menurut Lalla (2012), diagnosis klinis untuk diabetes biasanya ditandai dengan
gejala klasik, seperti meningkatnya rasa haus, nafsu makan bertambah, sering buang
air kecil, dan dapat disertai pula kehilangan berat badan. Untuk diagnosis lebih lanjut
perlu dilakukan pemeriksaan glukosa darah yaitu:
 Glukosa plasma vena sewaktu
Dengan sudah adanya gejala klasik DM, pemeriksaan glukosa sewaktu
sudah dapat menegakkan diagnosis DM. Apabila kadar glukosa darah
sewaktu ≥ 200mg/dl (plasma vena) maka penderita sudah dapat disebut
diabtes melitus. Dan tidak memerlukan lagi pemriksaan tes toleransi
glukosa.
 Glukosa plasma vena puasa
Glukosa plasma dalam keadaan puasa dibagi atas tiga nilai yaitu < 110
mg/dl, antara ≥ 110 mg/dl - < 126 mg/dl, dan > 126 mg/dl. Kadar glukosa
plasma puasa < 110mg/dl dinyatakan normal. Dengan demikian mereka
dengan kadar glukosa plasma vena setelah berpuasa sedikitnya 8 jam ≥
126 mg/dl sudah cukup muntuk membuat diagnosis diabetes melitus.
 Glukosa 2jam post prandial
Tes ini dilakukan bila ada kecurigaan DM. Pasien makan makanan yang
mengandung 100gr karbohidrat sebelum puasa dan menghentikan rokok

7
serta berolahraga. Glukoa jam post prandial menunjukan DM bila kadar
glukosa darah ≥ 200 mg/dl, sedangkan nilai normalnya ≤ 140 mg/dl.
 Tes toleransi glukosa oral
Tes ini dilakukan apabila pada pemeriksaan glukosa darah sewaktu kadar
glukosa plasma tidak normal antara 140-200 mg/dl untuk meyakinkan
apakah pasien menderita diabetes melitus atau bukan (Adam et all., 2006).

Diagnosis diabetes dipastikan bila:

 Kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl atau lebih ditambah gejala khas
diabetes
 Glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih pada dua kali pemeriksaan ssaat
berbeda. Bila ada keraguan perlu dilakukan Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan mengukur kadar glukosa puasa dan 2 jam setelah minum
75 g glukosa (Suryono et all., 2002).
Beberapa faktor penyebab terjadinya diabetes melitus adalah:

 Faktor keturunan
Menurut penelitian faktor keturunan menjadi penyebab dari 10-20% dari
semua kasus diabetes tipe 2
 Kelebihan berat badan
Sekitar 80% penderita diabetes melitus tipe 2 adalah mereka yang
tergolong gemuk. Hal ini disebabkan karena insulin tidak dapat bekerja
sempurna bila tubuh kelebihan lemak
 Kurang olah raga
Kurang aktivitas menyebabkan berkurangnya metabolisme dalam tubuh
sehingga peningkatan deposit lemak tidak mampu ditoleransi insulin
 Umur
Individu yang beresiko menderita diabetes adalah individu yang berumur
> 40 tahun (Johnson, 2005).

8
III. Pertanyaan Kritis
1. Mengapa kondisi gingivitis dan periodontitis sering menyertai pada pasien yang
mengalami diabetes melitus?
2. Bagaimana penatalaksaan perawatan gigi pada pasien dengan diabetes mellitus?
3. Bagaimana urgensi pemeriksaan kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus?
4. Apa saja komplikasi perawatan gigi pada pasien diabetes mellitus dan bagaimana
penangananya?
IV. Refleksi Kasus
1. Mengapa kondisi gingivitis dan periodontitis sering menyertai pada pasien yang
mengalami diabetes melitus?
Penyakit DM dapat menimbulkan beberapa manifestasi didalam rongga mulut
diantaranya adalah terjadinya gingivitis dan periodontitis, kehilangan perlekatan gingiva,
dan peningkatan derajat kegoyangan gigi. Pada penderita DM tidak terkontrol kadar
glukosa didalam cairan krevikular gingiva (GCF) lebih tinggi dibanding pada DM yang
terkontrol. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aren dkk menunjukkan bahwa
selain GCF, kadar glukosa juga lebih tinggi kandungannya didalam saliva. Peningkatan
glukosa ini juga berakibat pada kandungan pada lapisan biofilm dan plak pada
permukaan gigi yang berfungsi sebagai tempat perlekatan bakteri. Berbagai macam
bakteri akan lebih banyak berkembangbiak dengan baik karena asupan makanan yang
cukup sehingga menyebabkan terjadinya karies dan perkembangan penyakit periodontal.
Oleh karena itu penderita cenderung memiliki oral hygiene yang buruk apabila tidak
dilakukan pembersihan gigi secara adekuat. Pemeriksaan secara radiografis juga
memperlihatkan adanya resorpsi tulang alveolar yang cukup besar pada penderita DM
dibanding pada penderita non DM. Pada penderita DM terjadi perubahan vaskularisasi
sehingga lebih mudah terjadi periodontitis yang selanjutnya merupakan faktor etiologi
resorpsi tulang alveolar secara patologis. Resorpsi tulang secara fisiologis dapat terjadi
pada individu sehat, namun resorpsi yang terjadi pada DM disebabkan karena adanya
gangguan vaskularisasi jaringan periodontal serta gangguan metabolisme mineral
(Ermawati,2012)

9
Berdasarkan pemeriksaan subyektif yang dilakukan, pasien mengaku telah
melakukan pencabutan gigi akibat banyak giginya yang menggalami kegoyahan dan
sebagian gigi tersebut dilakukan pencabutan dengan alasan berlubang besar. Pasien
mendapatkan informasi dari dokter gigi tersebut bahwa kondisi tersebut dicurigai
didapatkan akibat kadar glukosa dalam darah yang tinggi, sehingga pasien diminta untuk
cek kadar glukosa darah. Pemeriksaan obyektif menunjukkan adanya area edentulous
pada 4 gigi anterior bawah, 2 gigi posterior atas dan 1 gigi posterior kanan.
2. Bagaimana penatalaksaan perawatan gigi pada pasien dengan diabetes mellitus?
Aggarwal,dkk (2018) menjelaskan pasien yang tidak terdiagnosa namun
mempunya gejala diabetes seperti polidipsi, poliuri, polifagi, berat badan turun dan
lemah, harus dirujuk ke internis untuk diagnosa dan treatment lebih lanjut. Pasien yang
telah terdiagnosa diabetes harus teridentifikasi secara riwayat medis dan tipe perawatan
medis yang pernah dilakukan. Manajemen dental pada pasien diabetes mellitus baik
yang insulin dependent maupun non insulin membutuhkan perhatian khusus diantaranya :
1. DM Tipe I - Non insulin dependent
a. Prosedur gigi non-invasif: pasien yang terkontrol dengan baik dapat
diperlakukan sama dengan orang yang tidak menderita diabetes. Waspadai
peningkatan kerentanan pasien ini terhadap infeksi dan penundaan
penyembuhan luka. Pada pasien yang tidak terkontrol, tunda perawatan gigi
jika memungkinkan sampai mereka mencapai kontrol metabolik yang baik
(Alamo,dkk.2011).
b. Prosedur gigi invasif: pasien harus bertanya kepada dokter mereka untuk
instruksi mengenai pengobatan mereka (biasanya, jika mereka memiliki
stabilitas metabolisme, mereka harus mengambil setengah dosis harian
insulin pada pagi hari perawatan; kemudian, setelah intervensi, seluruh dosis
harus diambil dengan suplemen akting cepat insulin). Glukosa darah harus
diukur sebelum tindakan. Jika antara 100 dan 200 mg / dl, prosedur gigi
invasif dapat dilakukan. Jika darah glukosa > 200 mg / dl, infus 10%
dekstrosa intravena dalam salin setengah normal dapat dilakukan pada fase
inisial terapi, dan insulin kerja cepat diberikan secara subkutan. Jika
pengobatan berlangsung lebih dari 1 jam, glukosa darah harus diukur setiap

10
jam. Jika glukosa darah> 200 mg/dl insulin kerja cepat diberikan secara
subkutan. secara subkutan. DM tipe 1 dianggap sebagai faktor risiko
menderita infeksi. Karena itu, ketika invasive prosedur gigi akan dilakukan
(seperti anestesi intra ligamen, pencabutan gigi, biopsi, dll), profilaksis
antibioti harus diberikan (Alamo,dkk.2011)
2. DM Tipe II - Insulin dependent
a. Jika diabetes terkontrol dengan baik, semuanya prosedur gigi bisa dilakukan
tanpa tindakan pencegahan khusus
b. Sebaiknya perawatan dilakukan pada pagi hari .
Malik & Singh (2016) menjelaskan perawatan gigi pada pasien dengan diabetes
mellitus lebih disarankan dilakukan di pagi hari, 1 atau 2 jam setelah sarapan
pagi dan setelah konsumsi obat untuk menghindari waktu puncak dari aktivitas
insulin untuk pasien yang menerima injeksi insulin dan karena kadar kortisol
endogen umumnya lebih tinggi pada waktu tersebut. Waktu perawatan gigi di
siang hari saat jam makan siang atau dijadwalkan pada appointment terakhir
pada saat sebelum makan malam tidak disarankan dikarenakan kadar gul adarah
yang rendah dan prosedur perawatan gigi yang nanti menyebabkan waktu makan
terganggu. Pada kasus dengan DM insulin dependent , resiko hipoglikemi terjadi
sekitar 30 - 90 menit setelah injeksi insulin lispro, 2 - 3 jam setelah injeksi
insulin regular, dan 4 – 10 jam setelah NPH atau lente insulin. Untuk pasien
yang menggunakan sulfonilurea oral, aktivitas puncak insulin tergantung pada
masing-masing obat yang diminum. Metformin dan tiazolidinedion jarang
menyebabkan hipoglikemia. Untuk alasan yang disebutkan di atas, disarankan
untuk menghindari perawatan gigi ketika pasien:
• Belum minum obat atau belum makan
• Mengalami flu atau kelelahan
• Baru-baru ini tidak memeriksakan keadaannya ke internis yang menangani
• Memiliki kadar <70 mg / dl atau> 150 mg / dl
• Telah mengalami keadaan darurat baru-baru ini.
c. Jika diperlukan tindakan bedah :

11
 Konsultasikan dengan dokter yang menangani DM pasien tentang
kebutuhan diet selama periode pasca operasi
 Profilaksis antibiotik perlu dipertimbangkan pada pasien dengan diabetes
yang menggunakan dosis tinggi insulin yang juga menunjukan keadaan
infeksi mulut kronis
d. Jika DM tidak terkontrol dengan baik dengan kriteria: gula darah puasa <70 mg /
dL atau> 200 mg / dL dan komplikasi [pasca Ml, penyakit ginjal, gagal jantung
kongestif, angina simtomatik, usia tua, disritmia jantung, kerusakan
serebrovaskular], dan tekanan darah ≥180 / 110 mm Hg, atau kapasitas
fungsional < 4 ekuivalen metabolik, maka :
 Berikan perawatan darurat yang tepat
 Meminta rujukan untuk evaluasi medis, manajemen, dan modifikasi
faktor risiko
 Jika simptomatik, cari rujukan SEGERA
 Jika asimptomatik, minta rujukan rutin
Pada kasus ini, berdasarkan pemeriksaan subyektif diketahui pasien rutin
mengkonsumsi obat metformin 1 tablet/ 2hari sesuai anjuran internis. Hal ini
dikarenakan kadar glukosa pasien yang menunjukan gula darah sewaktu sebesar
140 mg/dl yang artinya kadar gula darah normal namun tetap harus dikontrol
dengan konsumsi obat dan pola makan atau diet yang teratur ditambah dengan
kebiasaan berolahraga. Sehingga pasien dapat dikategorikan bahwa DM tipe II
yang di derita pasien dalam keadaan terkontrol sehingga dapat dilakukan
perawatan gigi yang non invasif.

3. Bagaimana urgensi pemeriksaan kadar HbA1c pada penderita diabetes melitus?


Pemeriksaan glukosa darah pada penderita diabetes mellitus dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu pemeriksaan glukosa darah sesaat dan glukosa darah jangka
panjang. Pemeriksaan glukosa darah sesaat dilihat dari glukosa darah puasa dan 2 jam
post prandial, sedangkan pemeriksaan glukosa darah jangka panjang dapat dilakukan
dengan pemeriksaan HbA1c.

12
Pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) pada pasien dengan suspek DM akan
memberikan hasil yang kurang akurat karena hanya menunjukkan kadar gula darah
pasien saat itu saja dan sangat dipengaruhi apakah pasien tersebut baru saja
mengkonsumsi makanan atau tidak. Hal ini dapat membuat pemeriksaan GDS kurang
akurat. Apabila pasien memang akan dilakukan pemeriksaan gula darah puasa maka tidak
masalah, namun apabila akan dilakukan pemeriksaan GDS tentu hasil menjadi kurang
akurat. WHO menyebutkan bahwa kontrol glikemik yang optimal ditentukan oleh lima
poin yaitu terkendalinya konsentrasi glukosa dalam darah/HbA1c (hemoglobin
terglikosilasi/Glycated hemoglobin), kolesterol, trigliserida, status gizi, dan tekanan
darah. Pengukuran HbA1c adalah cara yang paling akurat pada pasien diabetes mellitus
untuk menentukan tingginya kadar gula darah selama puasa dalam rentang waktu
beberapa bulan terakhir (2-3 bulan). HbA1c juga merupakan pemeriksaan tunggal terbaik
untuk menilai resiko terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh tingginya kadar
gula darah, seperti komplikasi terkait diabetes, infeksi miokardinal, dan stroke (Kidoqi,
2013). American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan bahwa kadar HbA1c
dinyatakan terkontrol apabila berada pada rentang <7% (53 mmol/mol). Kadar HbA1c
menjadi standart rujukan preoperatif seorang pasien dapat dilakukan tindakan bedah.
Apabila kadar HbA1c melebihi kadar 7%, maka tindakan bedah sebaiknya ditunda
terlebih dahulu (Rollins et al., 2016).

Pada kasus ini operator tidak meminta pasien untuk melakukan pemeriksaan
darah lebih lanjut, karena operator tidak melakukan suatu tindakan medis yang invasif.
Perawatan yang dilakukan adalah scalling supragingiva. Operator tidak meminta pasien
untuk melakukan pemeriksaan darah dan hanya membaca hasil lab yang dibawa oleh
pasien. Pada perawatan medis yang invasif, pemeriksaan darah lengkap pada pasien
dengan riwayat diabetes wajib dilakukan, selain itu operator juga memerlukan
persutujuan tindakan medis dari dokter penyakit dalam bahwa akan dilakukan tindakan
medis invasif.

13
4. Apa saja komplikasi perawatan gigi pada pasien diabetes mellitus dan bagaimana
penangananya?
Malik & Singh (2016) menjelaskan pasien tertentu mungkin memerlukan
konsultasi medis sebelum perawatan gigi elektif. Banyak dari mereka mungkin
mengalami komplikasi seperti penyakit kardiovaskular, penyakit ginjal, kebutaan, atau
efek samping dari obat terkait. Sangat penting bagi dokter gigi untuk selalu siap
menghadapi situasi darurat dan segera mengendalikan infeksi mulut yang serius.
Komplikasi yang sering dihadapi pada pasien dengan diabetes mellitus di klinik gigi
antara lain:
a. Hipoglikemia
Komplikasi paling umum pada penderita DM di klinik gigi adalah hipoglikemia. Jika
kadar insulin atau obat antidiabetik oral melebihi kebutuhan fisiologis, pasien
mungkin mengalami penurunan kadar gula darahnya. Risiko maksimal terkena
hipoglikemia umumnya terjadi selama aktivitas insulin puncak. Tanda dan gejala
awal termasuk perubahan suasana hati, penurunan spontanitas, kelaparan dan
kelemahan. Hal ini dapat diikuti dengan berkeringat, inkoherensi dan takikardia. Jika
tidak diobati, kemungkinan konsekuensi termasuk ketidaksadaran, hipotensi,
hipotermia, kejang, koma dan kematian. Mencegah komplikasi seperti itu
membutuhkan:
• Riwayat medis dan konsultasi menyeluruh dengan dokter untuk menilai kontrol
glikemik, keparahan penyakit, dan obat-obatan dengan potensi hipoglikemik.
• Pemantauan kadar glukosa darah dan asupan makanan sebelum perawatan.
• Menghindari periode puncak aktivitas insulin atau obat antidiabetik oral.
• Pengenalan tanda dan gejala kadar glukosa darah rendah dan pemberian sumber
karbohidrat tepat waktu (oral, intramuskuler, intravena)
b. Infeksi dan penyembuhan luka yang tertunda
Infeksi merupakan komplikasi terbesar pada pasien diabetes mellitus. Faktor
usia, obesitas, malnutrisi, penyakit makrovaskular dan mikrovaskular berkontribusi
juga menyebabkan infeksi dan tertundanya penyembuhan luka terutama pada pasien
DM Tipe II. Selain itu, hiperglikemia yang disebabkan oleh penurunan ketersediaan
insulin dan peningkatan resistensi terhadap insulin dapat mempengaruhi respons

14
seluler terhadap cedera jaringan. Pasien dengan diabetes mengalami gangguan fungsi
leukosit, dan kelainan metabolik diabetes menyebabkan migrasi neutrofil dan
makrofag yang tidak memadai ke luka, bersama dengan kemotaksis yang berkurang.
Perubahan seluler seperti itu akan membuat individu rentan terhadap peningkatan
risiko infeksi luka. Untuk mencegah komplikasi seperti itu, kunjungan gigi rutin
dapat membantu untuk mengontrol pembentukan plak dan untuk mengidentifikasi
faktor risiko penyakit periodontal, karies dan kandidiasis oral.
Pada kasus ini, operator tidak menemui komplikasi perawatan gigi pada penderita
DM seperti hipoglikemia, infeksi dan penyembuhan luka yang terhambat baik pada saat
tindakan maupun pada saat kontrol. Hal ini dikarenakan kondisi gula darah pasien dalam
batas normal dan terkontrol sehingga hal tersebut dapat menghindarkan dari komplikasi
yang mungkin terjadi.

V. Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesa maupun pemeriksaan objektif terdahulu yaitu 1
tahun yang lalu berupa pemeriksaan GDS yang menunjukan nilai 340 mg/dL
dapat ditegakkan bahwa pasien positif menderita Diabetes Melitus tipe 2. Pada
saat pasien datang ke RSGM, pasien dalam keadaan gula darah yang normal dan
terkontrol diketahui dari GDS pasien menunjukan 140 mg/dl, pasien juga telah
rutin mengkonsumsi obat metformin ya sesuai anjuran internis yaitu 1 tablet/2hari
dikarenakan GDS pasien yg sudah menunjunakan batas normal.
Berdasarkan pemeriksaan intra oral diketahui bahwa terdapat gigi edentolus
pada gigi 17,26,32,31,41,42,45. Pasien mengaku gigi tersebut dilakukan
pencabutan oleh dokter gigi karena sudah goyah dan ada yang berlubang besar.
Operator tidak bisa mendapatkan kopi atau dokumen asli hasil pemeriksaan
karena pasien merasa bahwa dokumen tersebut bersifat rahasia. Operator tidak
bias mengevaluasi hasil kadar HbA1c pada pasien, karena pemeriksaan darah
lebih lanjut tidak dilakukan.
Pemeriksaan gula darah sebaiknya dilengkapi dengan pemeriksaan HbA1c,
sehingga bisa didapatkan hasil yang lebih akurat. Pemeriksan gula darah saja yang
dilakukan oleh pasien tidak dapat dikontrol oleh operator.

15
DAFTAR PUSTAKA

Aggarwal.A., Gupta.A., Sharma.P., Rajeev.P., Garg.B., Kumar.S. 2018. Dental Management of


Diabetes Mellitus: Review of Literature. Journal Of Research and Advancement in
Dentistry. 2018;7:3:73-77.

Alamo M.S., Soriano J.Y., Perez S.G.M. 2011. Dental considerations for the patient with
diabetes. Journal section: Oral Medicine and Pathology. 2011;3(1):e25-30.

Ermawati,T. 2012. Periodontitis dan Diabetes Melitus. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Jember. Vol. 9 No. 3 2012: 152 - 154

Malik,S & Singh,G. 2016. Dental Management Of Diabetic Patients: A Clinical Review. PDM
Dental College & Research Institute. Vol 5 Issue 1.

Rollins. K. E., Varadhan. K.K., Dhatariya. K., Lobo. D.N. 2016. Systematic review of the impact
of HbA1c on outcomes following surgery in patients with diabetes mellitus. Clinical
Nutrition. Elsevier Vol (35): 308-316

16

Anda mungkin juga menyukai