Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH NUTRITION ECOLOGY

“SAGU LEMPENG”

Disusun oleh:
Stuard AWoisiri 472016019
Priska Nadila 472016034
Stevi 472017035
Vinda Natalia 472017041
SimforianJovita 472017045
Surtina 472017445

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2019
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki begitu banyak keanekaragaman
dan kekayaan bahan pangan. Salah satu jenis keanekaragaman yang terdapat banyak di
Indonesia adalah sagu. Sagu termasuk kekayaan Indonesia, sebab dari total area hutan sagu di
dunia, Indonesia memiliki satu juta hektar hutan sagu yang tersebar di beberapa provinsi atau
menguasai 51,3% hutan sagu di dunia. Sebaran lahan pohon sagu terbesar di Indonesia
terdapat di beberapa wilayah yaitu Papua, Maluku, Riau, Sulawesi Tengah (Bintoro 2008).
Di Maluku areal sagu potensial diperkirakan seluas 31.360 ha (Alfons dan Bustaman,
2005). Areal sagu terluas yaitu 9.250ha (29,50%) terdapat di Kabupaten Seram Bagian
Timur, menyusul Kabupaten Seram Bagian Barat 8.410 ha (26,82%), Kabupaten Maluku
Tengah 6.425 ha (20,50%), dan Kabupaten Buru 5.457 ha(17,40%). Kabupaten Aru memiliki
areal sagu terkecil hanya 1.318 ha (4,20%) menyusul Kodya Ambon 255 ha (0,80%) dan
Maluku Tenggara Barat 245 ha (0,78%) (Alfons, 2011).

1.1 Pohon Sagu


Bagian dari pohon sagu yang digunakan adalah bagian dalam pada pohon sagu,
dikarenakan pati sagu disimpan pada batang sagu. Selama pertumbuhan, sagu menyimpan
pati dalam batangnya sehingga apabila bobot batang sagu semakin bertambah sesuai dengan
pertambahan tinggi diameternya, kandungan patinya pun bertambah. Secara makroskopis,
struktur batang sagu dari arah luar terdiri dari lapisan sisa sisa pelepah daun, lapisan kulit luar
yang tipis dan berwarna kemerah merahan, lapisan kulit dalam yang keras dan padat
berwarna coklat kehitaman hitaman, kemudian lapisan serat dan akhirnya empulur yang
mengandung pati dan serat. Kandungan pati dalam empelur pada batang sagu berbeda beda
sesuai dengan umur, jenis dan lingkungan tempat sagu tersebut tumbuh.
Sagu merupakan bahan pangan yang dapat dijadikan sebagai bahan pangan sumber
karbohidrat pengganti beras. Keuntungan sagu dibandingkan dengan sumber karbohidrat
lainnya adalah tanaman sagu atau hutan sagu sudah siap dipanen bila diinginkan. Pohon sagu
dapat tumbuh dengan baik di rawa rawa dan pasang surut, dimana tanaman penghasil
karbohidrat lainnya sukar tumbuh. Syarat syarat agronominya juga lebih sederhana
dibandingkan tanaman lainnya dan pemanenannya tidak tergantung musim.
Sagu di Maluku merupakan makanan pokok menyusul ubi kayu, jagung, ubi jalar dan
umbi umbian lainnya. Sejak dahulu secara turun temurun masyarakat desa terbiasa
memanfaatkan sumber sumber pangan yang beragam itu sebagai basis pemenuhan kebutuhan
pangan pokok sehari-hari maupun sebagai makan kecil. Pangan yang diolah dengan cara
pengolahan tradisional dan dikonsumsi secara turun-temurun dikategorikan sebagai pangan
tradisional (Alfons, 2011).

1.2 Biji Sagu


Sagu mempunyai peran penting dalam upaya mengembangkan keanekaragaman
pangan di daerah untuk mendukung ketahanan pangan karena bahan baku tradisonal tersedia
secara spesifik di daerah tersebut. Pangan tradisional merupakan produk bercita rasa budaya
tinggi yang berupa perpaduan antara kreasi mengolah sumberdaya lokal dengan selera
berbumbu adat istiadat dan telah diwariskan secara turun temurun. Dengan demikian, pangan
tradisional dapat dijadikan sarana untuk mewujudkan penganekaragaman pangan dalam
memantapkan ketahanan pangan tradisional (Boston, 2009).
Pohon sagu memiliki dampak positif, yaitu untuk merestorasi tanah gambut. Karena
tanaman yang cocok untuk lahan gambut salah satunya yaitu pohon sagu. Sagu sangat cocok
buat gambut karena senang tumbuh di tanah yang basah dan berair. Semakin basah tanah nya
justu sagu akan tumbuh semakin subur dan tidak akan mati. Secara ekologis pohon sagu
dapat menyimpan air. Pohon sagu merupakan investasi jangka panjang karena berusia
delapan tahun baru ditebang dan diambil patinya. Hebatnya, pohon sagu ditebang, bibitnya
akan tumbuh sendiri, seperti pisang.
Pemanfaatan secara tradisi di Maluku sudah lama dikenal di daerah daerah penghasil.
Produk produk makanan secara tradisi yang dihasilkan dari sagu seperti papeda, sagu
lempeng, sagu lempeng gula merah, sagu bakar kelapa, sagu bakar apatar dan lain
sebagainya. Produk produk ini merupakan suatu produk yang terlahir secara murni dari
tradisi yang ada di masyarakat Maluku (Tulalesy, 2018).
PEMBAHASAN
Sagu lempeng merupakan bentuk makanan rakyat yang ditransmisikan secara lisan
sehingga menjadi sebuah tradisi dalam masyarakatnya. Sagu lempeng merupakan kue kering
yang langsung dapat dimakan setelah dicelup pada teh panas, kopi dan juga kuah ikan.
Bentuk, ukuran dan warna sagu lempeng sangat bervariasi tergantung alat pencetak atau
pemasaknya (forna) serta jenis dan warna aci yang dijadikan bahan baku. Umumnya bentuk
sagu lempeng adalah pipih dan empat persegi panjang. Jenis pangan ini sifatnya keras,
ringan, rasanya tawar, relatif higroskopis dan cepat mengembang kalau dicelupkan dalam
cairan atau minuman, maka sangat ideal dijadikan bekal (makan persediaan) (Tulalessy, Q.
D. 2018).
Sagu lempeng dibuat dari aci basah atau setengah kering yang diremahkan
(hancurkan) secara halus. Aci sagu yang digunakan biasanya diambil dari tumang (subiro),
untuk mendapatkan bentuk yang remah dan halus, aci sagu basah diayak dengan cara
menggosok-gosok bongkahan sagu dengan kedua telapak tangan di atas ayakan. Hasil ayakan
bongkahan aci tersebut diayak lagi dengan cara mengoyang-goyangkan ayakan sampai
diperoleh bagian aci yang remah dan halus yang siap dimasak. Bentuk aci yang remah atau
tepung sagu disebut dalam bahasa Inanwatan dengan namamugo. Alat untuk memasak atau
mencetak sagu lempeng ini disebut forna. Forna merupakan sebutan bagi alat pencetak sagu
lempeng yang terdiri dari 4 (empat) sampai dengan 6 (enam) lekukan dan terbuat dari tanah
yang berfungsi menghantar panas pada aci sagu selama proses pemasakan sagu lempeng.
Disamping sebagai penghantar panas, forna juga berfungsi sebagai penyimpan panas
sehingga suhu panas dapat merata selama proses pemasakan meskipun forna tersebut
diangkat dari sumber panas(Tulalessy, Q. D. 2018).

1.3 Sagu Lempeng


Cara memasak sagu lempeng sebagai berikut: hasil ayakan sagu dimasukan ke dalam
forna yang telah dipanaskan dengan api atau bara arang. Kemudian dibuat alur pada setiap
lekukan forna dengan mengerok aci sagu sampai cekung searah dengan lekukan forna. Forna
kemudian ditutup daun sagu atau daun pisang dan ditindih dengan papan pemberat selama
15–20 menit, sampai aci sagu di dalamnya masak. Sagu lempeng yang diperoleh dapat
langsung dimakan atau dikeringkan agar tahan lama bila disimpan. Saat mengisi forna, aci
sagu tidak boleh bergumpal-gumpal, supaya derajad kematangan sagu lempeng merata. Oleh
karena itu, pengisian forna dilakukan dengan menabur aci sagu sampai lekukan forna penuh
dan tidak boleh dipadatkan. Demikian juga pada waktu pembuatan alur, tidak boleh ditekan
supaya aci sagu pada bagian tengah masak dengan baik. (Tulalessy, Q. D. 2018).

Permasalahan yang dihadapi pangan lokal (sagu) salah satunya karena ketersediaanya
yang terbatas, dikarenakan tersisihnya oleh beras. Selain itu informasi mengenai teknologi
budidaya sagu masih sangat terbatas, pemeliharaan kebun sagu yang yang dipraktikan oleh
para petani masih sangat sederhana. Pemeliharaan semacam pemupukan, pengaturan air, dan
budidaya lainnya belum dipraktikan, sehingga hasilnya belum maksimal. Kebijakan
pemerintah yang lebih condong pada konsumsi beras dan mengharuskan impor beras karena
kebutuhan yang semakin meningkat sehingga menyisishkan keberadaan sagu. Dampak yang
ditimbulkan dari permasalahan tersebut mengakibatkan semakin sedikitnya tanaman sagu
yang dapat dimanfaatkan sebagai produk olahan sagu. Hal tersebut jika semakin
berkelanjutan dapat memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan karena semakin
sedikitnya budidaya tanaman sagu maka ketersediaanya dilingkungan juga semakin langka
(Puspita, D., Aiboi, Y., &Sanubari, T. P. E, 2018).
Masalah yang dihadapi dalam pengolahan sagu ini adalah sanitasi pada proses
pengolahan sagu, seperti penyediaan sumber air bersih untuk proses penyaringan (ekstraksi)
tepung sagu. Proses penyaringan masih menggunakan air permukaan (sungai) yang ada di
sekitar hutan sagu, sehingga kebersihan sagu menjadi kurang, hal ini dapat meningkatkan
sumber penyakit infeksi seperti bakteri yang ada di sungai. Masalah lain adalah kemasan
untuk tepung sagu basah masih menggunakan daun sagu (tumang) yang menyebabkan
produk tidak bertahan lama. Memanfaatkan daun sagu sebagai kemasan juga memeiliki
dampak yang baik terhadap lingkungan karena hal tersebut menjadi salah satu upaya untuk
mengurangi penggunaan plastik yang semakin tinggi. Pada aspek lingkungan, pengelola sagu
kurang memperhatikan regenerasi tanaman dan kurang memanfaatkan bagian-bagian lain dari
sisa tanaman sagu yang masih dapat dimanfaatkan, seperti ampas sagu (elasagu), batang sagu
sebagai media tumbuh bagi ulat sagu, pelepah dan daun sagu sebagai bahan bangunan.
Pemanfaatan bahan bahan tersebut sebenarnya sangat berguna bagi lingkungan dan
memberikan dampak yang baik karena dapat mengurangi limbah dari tanaman sagu (Tahitu,
M. M. E., Saleh, A., Lubis, D. P., & Susanto, D, 2016).
Limbah yang dihasilkan dari tanaman sagu dapat berbentuk padatan atau cairan.
Limbah padat pada proses ekstraksi berupa ampas serat sisa perasan, sedangkan limbah cair
berupa air yang digunakan pada proses ekstraksi. Limbah cair ekstraksi sagu diduga masih
mengandung padatan berupa pati dan ampas serat hasil ekstraksi yang jika dibuang begitu
saja secara terus menerus kesungai atau lahan akan menurunkan kualitas perairan dan
memberikan dampak negative terhadap lingkungan. Padahal limbah sagu tersebut dapat
dimanfaatkan kembali dengan penanganan yang memanfaatkan penyaringan sistem berlapis
agar ampas yang ada masih dapat terekstraksi sehingga mengurangi limbah yang dihasilkan.
Selain hal tersebut limbah ampas sagu ini juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak
dengan cara ditambahkan jamur Trichodermasp agar kandungan nutrisi bagi pakan ternak
dapat terjamin (Gultom, S. O., Payung, P., &Yawan, J, 2016).
KESIMPULAN

Sagu adalah salah satu makanan pokok beberapa daerah di Indonesia seperti di
Maluku sebagai penganti sumber karbohidrat. Konsumsi sagu sebagai makanan pokok di
daerah Maluku antara lain dalam bentuk makanan tradisional seperti sagu lempeng
merupakan kue kering yang dibuat dari aci basah atau setengah kering yang diremahkan
secara halus yang dimasak dalam sebuah setak yang disebut dengan forna yang di panaskan
dengan api selama 15-20 menit.
Sagu memiliki potensi yang besar untuk digunakan sebagai pengganti beras tetapi
ketersediaannya masih terbatas ini disebabkan karena pemeliharaan kebun sagu yang yang
dipraktikan oleh para petani masih sangat sederhana dan teknologi budidaya sagu masih
kurang sehingga hasil belum maksimal. Permasalahan pengelolahan sagu lainnya adalah
sanitasi pada proses penyaringan sagu dengan mengunakan air sungai yang ada disekitaran
kebun sagu yang dapat meningkatkan sumber infeksi bakteri, selain itu limbah sagu yang
dibuang kesungai dapat menyebabkan menurunnya kualitas perairan dan memberikan
dampak negative terhadap lingkungan
DAFTAR PUSTAKA

Alfons, Janes Berthy & Arivin Rivaie. 2011. Sagu Mendukung Ketahanan Pangan Dalam
Menghadapi Dampak Perubahan Iklim. Jurnal Prespektif Vol 10 No 2 Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Maluku.
Bintoro, M. 2008. Bercocok Tanam Sagu. IPB Press. Bogor
Boston. 2009. Proses Pengolahan Sagu. Kanisius. Jakarta.
Gultom, S. O., Payung, P., &Yawan, J. 2016. Kualitas Limbah Cair Ekstraksi Sagu
(Metroxylon Sp.) Menggunakan Alat Penyaring Sistem Berlapis Pada Beberapa
Waktu Penyimpanan. Agrointek, 10(1), 41-47.
Panglolidan Haryanto. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.
Puspita, D., Aiboi, Y., & Sanubari, T. P. E. 2018. Uji Proksimat Pada Tiga Jenis Sagu yang
Tumbuh di Pulau Yapen-Papua. Doctoral Dissertation, Program Studi Ilmu Gizi
FKIK-UKSW. Salatiga.
Tahitu, M. M. E., Saleh, A., Lubis, D. P., & Susanto, D. 2016. Strategi Pengembangan
Kapasitas Pengelola Sagu Di Maluku Tengah Provinsi
Maluku. Sosiohumaniora, 18(1), 37-43.
Tulalesy, Quin D. 2018. Sagu Sebagai Makanan Rakyat dan Sumber Informasi Budaya
Masyarakat Inanwatan: Kajian Folklor Non Lisan. Jurnal Ilmiah Kajian Sastra dan
Bahasa Vol 1 No 1 Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP UNIPA. Monokwari.

Anda mungkin juga menyukai