“SAGU LEMPENG”
Disusun oleh:
Stuard AWoisiri 472016019
Priska Nadila 472016034
Stevi 472017035
Vinda Natalia 472017041
SimforianJovita 472017045
Surtina 472017445
Permasalahan yang dihadapi pangan lokal (sagu) salah satunya karena ketersediaanya
yang terbatas, dikarenakan tersisihnya oleh beras. Selain itu informasi mengenai teknologi
budidaya sagu masih sangat terbatas, pemeliharaan kebun sagu yang yang dipraktikan oleh
para petani masih sangat sederhana. Pemeliharaan semacam pemupukan, pengaturan air, dan
budidaya lainnya belum dipraktikan, sehingga hasilnya belum maksimal. Kebijakan
pemerintah yang lebih condong pada konsumsi beras dan mengharuskan impor beras karena
kebutuhan yang semakin meningkat sehingga menyisishkan keberadaan sagu. Dampak yang
ditimbulkan dari permasalahan tersebut mengakibatkan semakin sedikitnya tanaman sagu
yang dapat dimanfaatkan sebagai produk olahan sagu. Hal tersebut jika semakin
berkelanjutan dapat memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan karena semakin
sedikitnya budidaya tanaman sagu maka ketersediaanya dilingkungan juga semakin langka
(Puspita, D., Aiboi, Y., &Sanubari, T. P. E, 2018).
Masalah yang dihadapi dalam pengolahan sagu ini adalah sanitasi pada proses
pengolahan sagu, seperti penyediaan sumber air bersih untuk proses penyaringan (ekstraksi)
tepung sagu. Proses penyaringan masih menggunakan air permukaan (sungai) yang ada di
sekitar hutan sagu, sehingga kebersihan sagu menjadi kurang, hal ini dapat meningkatkan
sumber penyakit infeksi seperti bakteri yang ada di sungai. Masalah lain adalah kemasan
untuk tepung sagu basah masih menggunakan daun sagu (tumang) yang menyebabkan
produk tidak bertahan lama. Memanfaatkan daun sagu sebagai kemasan juga memeiliki
dampak yang baik terhadap lingkungan karena hal tersebut menjadi salah satu upaya untuk
mengurangi penggunaan plastik yang semakin tinggi. Pada aspek lingkungan, pengelola sagu
kurang memperhatikan regenerasi tanaman dan kurang memanfaatkan bagian-bagian lain dari
sisa tanaman sagu yang masih dapat dimanfaatkan, seperti ampas sagu (elasagu), batang sagu
sebagai media tumbuh bagi ulat sagu, pelepah dan daun sagu sebagai bahan bangunan.
Pemanfaatan bahan bahan tersebut sebenarnya sangat berguna bagi lingkungan dan
memberikan dampak yang baik karena dapat mengurangi limbah dari tanaman sagu (Tahitu,
M. M. E., Saleh, A., Lubis, D. P., & Susanto, D, 2016).
Limbah yang dihasilkan dari tanaman sagu dapat berbentuk padatan atau cairan.
Limbah padat pada proses ekstraksi berupa ampas serat sisa perasan, sedangkan limbah cair
berupa air yang digunakan pada proses ekstraksi. Limbah cair ekstraksi sagu diduga masih
mengandung padatan berupa pati dan ampas serat hasil ekstraksi yang jika dibuang begitu
saja secara terus menerus kesungai atau lahan akan menurunkan kualitas perairan dan
memberikan dampak negative terhadap lingkungan. Padahal limbah sagu tersebut dapat
dimanfaatkan kembali dengan penanganan yang memanfaatkan penyaringan sistem berlapis
agar ampas yang ada masih dapat terekstraksi sehingga mengurangi limbah yang dihasilkan.
Selain hal tersebut limbah ampas sagu ini juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak
dengan cara ditambahkan jamur Trichodermasp agar kandungan nutrisi bagi pakan ternak
dapat terjamin (Gultom, S. O., Payung, P., &Yawan, J, 2016).
KESIMPULAN
Sagu adalah salah satu makanan pokok beberapa daerah di Indonesia seperti di
Maluku sebagai penganti sumber karbohidrat. Konsumsi sagu sebagai makanan pokok di
daerah Maluku antara lain dalam bentuk makanan tradisional seperti sagu lempeng
merupakan kue kering yang dibuat dari aci basah atau setengah kering yang diremahkan
secara halus yang dimasak dalam sebuah setak yang disebut dengan forna yang di panaskan
dengan api selama 15-20 menit.
Sagu memiliki potensi yang besar untuk digunakan sebagai pengganti beras tetapi
ketersediaannya masih terbatas ini disebabkan karena pemeliharaan kebun sagu yang yang
dipraktikan oleh para petani masih sangat sederhana dan teknologi budidaya sagu masih
kurang sehingga hasil belum maksimal. Permasalahan pengelolahan sagu lainnya adalah
sanitasi pada proses penyaringan sagu dengan mengunakan air sungai yang ada disekitaran
kebun sagu yang dapat meningkatkan sumber infeksi bakteri, selain itu limbah sagu yang
dibuang kesungai dapat menyebabkan menurunnya kualitas perairan dan memberikan
dampak negative terhadap lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Alfons, Janes Berthy & Arivin Rivaie. 2011. Sagu Mendukung Ketahanan Pangan Dalam
Menghadapi Dampak Perubahan Iklim. Jurnal Prespektif Vol 10 No 2 Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Maluku.
Bintoro, M. 2008. Bercocok Tanam Sagu. IPB Press. Bogor
Boston. 2009. Proses Pengolahan Sagu. Kanisius. Jakarta.
Gultom, S. O., Payung, P., &Yawan, J. 2016. Kualitas Limbah Cair Ekstraksi Sagu
(Metroxylon Sp.) Menggunakan Alat Penyaring Sistem Berlapis Pada Beberapa
Waktu Penyimpanan. Agrointek, 10(1), 41-47.
Panglolidan Haryanto. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.
Puspita, D., Aiboi, Y., & Sanubari, T. P. E. 2018. Uji Proksimat Pada Tiga Jenis Sagu yang
Tumbuh di Pulau Yapen-Papua. Doctoral Dissertation, Program Studi Ilmu Gizi
FKIK-UKSW. Salatiga.
Tahitu, M. M. E., Saleh, A., Lubis, D. P., & Susanto, D. 2016. Strategi Pengembangan
Kapasitas Pengelola Sagu Di Maluku Tengah Provinsi
Maluku. Sosiohumaniora, 18(1), 37-43.
Tulalesy, Quin D. 2018. Sagu Sebagai Makanan Rakyat dan Sumber Informasi Budaya
Masyarakat Inanwatan: Kajian Folklor Non Lisan. Jurnal Ilmiah Kajian Sastra dan
Bahasa Vol 1 No 1 Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP UNIPA. Monokwari.