Anda di halaman 1dari 18

PENANGANAN NEUROANESTESI PERIOPERATIF

PADA PASIEN STROKE HEMORAGIK DENGAN


HIPERTENSI EMERGENSI DAN ACUTE KIDNEY INJURY
Kulsum, Zafrullah, Fachrul Jamal
Departemen Anestesi dan Terapi Intensif FK UNSYIAH – RSUDZA Banda Aceh
ABSTRAK
Stroke merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia dan menjadi
salah satu dari berbagai indikasi prosedur pembedahan. Tingginya angka
mortalitas penderita stroke hemoragik terkait dengan kerusakan fungsi kontrol
otak dan jaringan sel otak. Stroke hemoragik bertanggung jawab terhadap lebih
dari 90.000 kasus kematian setiap tahunnya. Stroke hemoragik khas dengan
adanya sakit kepala, mual, muntah, kejang, dan defisit neuroligis fokal yang dapat
disebabkan oleh peningkatan tekanan intracranial, dan penekanan pada jaringan
otak sekitar akibat hematoma intraserebral. Gangguan fungsi ginjal, termasuk
AKI, turut meningkatkan tekanan darah sehingga menimbulkan berbagai penyakit
kardiovaskular, termasuk stroke. Prosedur pembedahan termasuk dalam
permintaan layanan kesehatan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya
populasi penduduk berusia lanjut. Usaha pembedahan dan anestesi merupakan
suatu tindakan/upaya untuk menurunkan tekanan intracranial, dan menghilangkan
atau mengurangi efek penekanan dari hematoma. Artikel ini bertujuan mengulas
prinsip penanganan neuroanestesi perioperatif pada pasien stroke hemoragik
dengan hipertensi emergensi dan acute kidney injury. Simpulan: Pengelolaan
pasien stroke hemoragik dengan ICH menghasilkan outcome yang baik jika
dilakukan sesuai manajemen neuroanestesi.

Kata kunci: stroke hemoragik, hipertensi emergensi, Acute kidney injury


neuroanestesi perioperative

I. Pendahuluan

World Health Organization (WHO) mendefinisikan stroke sebagai


manifestasi klinis dari gangguan fungsional otak yang berlangsung cepat, baik

1
fokal maupun global, yang berlangsung lebih dari 24 jam bahkan hingga
menimbulkan kematian. Setiap tahun, lima belas juta orang di seluruh dunia
mengalami stroke, dengan hampir enam juta meninggal dan lima juta lainnya
mengalami cacat permanen. Secara global, stroke adalah penyebab kematian
kedua pada usia diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usia 15 sampai 59 tahun.
(Sacco et al., 2013)
Dua pertiga dari kematian akibat stroke terjadi di negara berkembang,
termasuk salah satunya Indonesia. (Emril and R, 2008) Berdasarkan hasil
Riskesdas (2013), dilaporkan bahwa prevalensi kasus stroke meningkat seiring
bertambahnya usia. Prevalensi stroke tertinggi yang terdiagnosis oleh tenaga
kesehatan adalah kelompok usia 75 tahun ke atas (43,1%) dan terendah pada
kelompok usia 15-24 tahun (0,2%). Prevalensi stroke berdasarkan jenis kelamin
didapatkan bahwa penderita laki-laki lebih banyak (7,1%), dibandingkan dengan
perempuan (6,8%). Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi stroke di perkotaan
lebih tinggi (8,2%) dibandingkan dengan daerah pedesaan (5,7%). (Riskesdas,
2013)
Serangan stroke dapat mengakibatkan kelemahan (lumpuh sebagian atau
menyeluruh) secara mendadak, hilangnya sensasi berbicara, melihat, atau
berjalan, hingga menyebabkan kematian. (Arifianto, Sarosa and Setyawati, 2014)
Faktor yang dapat menimbulkan stroke dibedakan menjadi faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) dan faktor risiko yang dapat
dimodifikasi (modifiable risk factors). (Dinata, Safrita and Sastri, 2013)
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya adalah
peningkatan usia, jenis kelamin, keturunan dan ras, dan riwayat stroke
sebelumnya. Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain adalah
hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, dislipidemia, hiperurisemia,
merokok, penyakit arteri karotis, penyakit arteri perifer, penyakit sel sabit, diet
yang buruk, dan inaktifitas fisik. (ASA, 2014; Philip and Wolf, 2015)
Terdapat dua tipe utama dari stroke, yaitu stroke iskemik akibat
berkurangnya aliran darah sehubungan dengan penyumbatan (trombosis, emboli),
dan hemoragik akibat perdarahan (World Health Organization, 2014). Darah yang
keluar dan menyebar menuju jaringan parenkim otak, ruang serebrospinal, atau

2
kombinasi keduanya adalah akibat dari pecahnya pembuluh darah otak yang
dikenal dengan stroke hemoragik. (Goetz, 2007) Pecahnya pembuluh darah otak
pada stroke hemoragik, menyebabkan darah akan terakumulasi dan menekan
daerah sekitar perdarahan. Gumpalan darah dapat menghentikan pasokan darah ke
jaringan otak lainnya. (Mangastuti et al., 2014)
Lokasi perdarahan pada stroke hemoragik umumnya terjadi pada basal
ganglia, thalamus, pons dan serebelum. Perdarahan di basal ganglia, berasal dari
arteri ascending lenticulostriate, cabang middle cerebral artery. Perdarahan di
thalamus berasal dari arteri ascending thalmogeniculote, cabang posterior cerebral
artery. Perdarahan di pons berasal dari arteri paramedian, cabang arteri basilaris.
Perdarahan di serebelum berasal dari arteri posterior inferior serebri atau arteri
anterior inferior serebri atau arteri serebralis superior. (Mangastuti et al., 2014)
Dalam waktu 6 bulan pasca serangan. Otak mengontrol banyak hal yang
berlangsung di tubuh kita. Kerusakan otak dapat mempengaruhi pergerakan,
perasaan, perilaku, kemampuan berbicara/berbahasa dan kemampuan berpikir
seseorang. Stroke dapat mengakibatkan gangguan beberapa bagian dari otak,
sedangkan bagian otak lainnya bekerja dengan normal. Pengaruh stroke terhadap
seseorang tergantung pada: 1. Bagian otak yang terkena stroke; 2. Seberapa serius
stroke yang terjadi; dan 3. Usia, kondisi kesehatan dan kepribadian penderitanya.
(Heart and Stroke Foundation, 2003)
Angka mortalitas penderita stroke hemoragik yang tinggi disebabkan
karena kondisi awal pasien saat datang ke IGD dalam keadaan mengalami
penurunan kesadaran yang merupakan tanda bahwa pembuluh darah di otak telah
pecah atau mengalami kebocoran, sehingga dapat menyebabkan fungsi kontrol
otak dan jaringan sel otak mengalami kerusakan akibat darah yang menggenang
menutupi ruang di jaringan sel otak. Kondisi ini dapat menjadi fatal bahkan bisa
menyebabkan mortalitas apabila genangan darah masuk ke subarachnoid. (World
Health Organization, 2014; Darotin, Nurdiana and Nasution, 2017)
Dari semua stroke, 10-30% adalah perdarahan intraserebral yang
mempunyai angka kematian tertinggi. (Satriyanto and Saleh, 2015) Perdarahan
pada intraserebral dapat ditegakkan berdasarkan pada anamnesa (alloanamnesa),
pemeriksaan fisik dan CT-scan. Pada anamnesa (alloanamnesa), dijumpai adanya

3
keluhan sakit kepala hebat, mual, muntah, dan penurunan kesadaran yang terjadi
mendadak. Pemeriksaan fisik, didapatkan nilai GCS yang menurun, peningkatan
tekanan darah, penurunan laju nadi, penurunan laju nafas (trias cushing).
Peningkatan tekanan darah ini merupakan mekanisme untuk mempertahankan
aliran darah otak yang terjadi akibat peningkatan kadar adrenalin, noradrenalin,
dopamin dalam sirkulasi. Penurunan laju nadi (bradikardi) tidak selalu terjadi
pada setiap pasien. Bradikardi dapat juga terjadi selintas, yang paling sering
adalah takikardia atau aritmia ventrikel. CT-scan pada intracranial hemoragik
akan memperlihatkan area yang hyperdence (radioopak). Jumlah perdarahan dapat
diperkirakan dengan melihat potongan gambar CT-scan. (Mangastuti et al., 2014)
Perdarahan intraserebral merupakan kondisi emergensi dan merupakan
jenis stroke yang fatal. Pengelolaanya memerlukan kecepatan dan ketepatan
sehingga didapatkan luaran yang lebih baik. Penampilan klinis klasik perdarahan
intraserebral adalah onset yang cepat dari defisit neurologis fokal terjadi dalam
beberapa menit sampai beberapa jam yang disertai nyeri kepala, mual, muntah,
dan penurunan kesadaran serta naiknya tekanan darah. (Basuki et al., 2016)
Perdarahan intrakranial akibat suatu hipertensi emergensi, sampai saat ini
masih belum dapat dipahami betul, namun diketahui disebabkan oleh berbagai
etiologi. Fenomena yang mudah dikenali adalah peningkatan resistensi vaskuler
sistemik yang terjadi akibat sirkulasi vasokonstriktor humoral. Juga terdapat bukti
bahwa tekanan arterial kritis yang tercapai meliputi kemampuan organ target
untuk mengkompensasi peningkatan tekanan arterial dan pembatasan aliran darah
ke organ target. Stroke hemoragik terutama disebabkan oleh penyakit hipertensi
serebrovaskuler dan terjadi kebanyakan pada regio otak subkortikal akibat
angiopati amiloid, seiring dengan pertambahan usia. Morbiditas dan mortalitas
akibat stroke hemoragik sangat tinggi, hanya 30% dari pasien yang dapat bertahan
hidup secara mandiri. (Mangastuti et al., 2014)
Sebuah studi kohort untuk menilai faktor risiko stroke pada usia paruh
baya (usia 47–55 tahun) selama 28 tahun menunjukkan bahwa hipertensi
merupakan faktor risiko paling sering mengakibatkan stroke. (Harmsen et al.,
2006) Hipertensi adalah salah satu penyakit paling umum yang mempengaruhi
sekitar 1,4 miliar orang di seluruh dunia. Prevalensi hipertensi terus meningkat

4
seiring bertambahnya usia. Seiring bertambahnya usia penduduk di dunia,
prevalensi hipertensi diperkirakan akan semakin meningkat. Risiko stroke
meningkat secara drastis pada orang yang memiliki hipertensi tidak terkontrol.
(Badriyah and Amalia, 2016)
Hipertensi adalah keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan
tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg atau diastolik lebih besar dari
90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam
keadaan cukup istirahat/tenang. (Indriyani, 2009)
Hipertensi dapat bersifat idiopatik (esensial) atau yang jarang terjadi dapat
bersifat sekunder yang diakibatkan oleh kondisi medis lain seperti penyakit ginjal,
hiper aldosteronisme primer, sindrom Cushing, akromegali, kehamilan, atau terapi
estrogen. (Pratama, 2016)
Hipertensi merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan
prevalensi tertinggi yaitu 89,3%. Disusul oleh dislipidemia (44,4%), penyakit
jantung (28,9%), riwayat stroke sebelumnya (20,9%), merokok (20,2%),
hiperurisemia (18,5%), diabetes melitus (17,5%), kelainan pembuluh darah
(3,3%), dan kelainan darah (1,8%). (Badriyah and Amalia, 2016)
Hasil penelitian Shinta et al (2011) mendapatkan hasil bahwa mayoritas
pasien stroke hemoragik mempunyai hipertensi pada saat masuk rumah sakit,
ditunjukkan dengan angka frekuensi penderita yang tinggi, yakni sebanyak 156
orang (84,8%), selebihnya 28 orang (15,2%) datang ke rumah sakit dengan
tekanan darah normal. Kerusakan dan penekanan pada area spesifik di otak yang
mengatur aktivitas sistem saraf otonom merupakan penyebab primer dari respon
peningkatan tekanan darah pada pasien stroke hemoragik. (Shinta et al., 2011)
Hipertensi merupakan masalah umum yang ditemukan sehari-hari dalam
praktek klinis walaupun hanya sebagian kecil saja yang dapat dikategorikan
sebagai kegawatan atau hipertensi emergensi maupun hipertensi urgensi. Pasien
yang tidak dapat mengendalikan tekanan darah dengan baik akan memiliki
kemungkinan untuk datang ke unit gawat darurat oleh karena terjadi peningkatan
tekanan darah yang disertai gejala klinis kerusakan target organ. (Loekman, 2016)
Hipertensi emergensi merupakan suatu kejadian kegawatan di bidang
Nefrologi yang merupakan situasi dengan spektrum kegawatan yang bervariasi

5
namun dalam banyak hal masih dapat terlihat sebagai suatu keberhasilan terapi
yang dramatis apabila dilakukan dengan tepat dengan menggunakan obat-obat
anti hipertensi yang sesuai. Dua per tiga penderita hipertensi tidak menyadari bila
dirinya mengidap hipertensi yang sejatinya merupakan faktor risiko utama dari
penyakit kardiovaskular dan kematian serebrovaskular, serta kerusakan target
organ. (Bender et al., 2006)
Hipertensi emergensi diperlukan penurunan tekanan darah segera dalam 1
jam dengan menggunakan obat antihipertensi parenteral untuk mengatasi
kerusakan target organ, pada umumnya tekanan darah >180/120 mmHg yang
disertai kerusakan atau ancaman kerusakan di bidang neurologi, jantung, mata dan
ginjal. (Loekman, 2016)
1 – 2 % pasien yang tidak dapat mengendalikan tekanan darah dengan
baik, suatu saat akan datang ke unit gawat darurat sekurang kurangnya sekali
dalam hidupnya oleh karena terjadi hipertensi emergensi.(Bender et al., 2006;
Vaidya and Ouellette, 2007) Pengenalan dini tentang tanda-tanda klinis hipertensi
emergensi, evaluasi dan pengobatan yang tepat adalah merupakan hal mutlak
untuk mencegah kematian maupun cacat permanen yang ditimbulkannya terhadap
kerusakan target organ. JNC VII tidaklah secara rinci memberikan pedoman terapi
terhadap hipertensi emergensi. Pembahasan ini lebih terarah pada pengenalan
terhadap situasi klinis yang terjadi serta pilihan pengobatan yang sesuai.
(Loekman, 2016)

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi pada Usia > 18 Tahun (JNC VII)


Kategori Sistolik Diastolik
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi Derajat 2 ≥160 ≥100
Hipertensi Emergensi ≥180 >120 dengan kerusakan target organ

Pasien dengan hipertensi emergensi pada umumnya datang ke unit gawat


darurat dengan kondisi adanya kerusakan target organ atau ancaman terhadap
kerusakan target organ, penelusuran anamnesis yang cermat dan temuan

6
pemeriksaan fisik dari kondisi klinis penderita akan menghasilkan suatu
keputusan klinis yang tepat dan memiliki konsekuensi terhadap strategi
pengobatan sesuai dengan penyakit dasar, pemeriksaan laboratorium dasar
terhadap fungsi organ vital seperti urea dan kreatinin darah, urinalisis serta
biomarker kardiak apabila dicurigai adanya keterlibatan jantung dalam kondisi
kegawatan tersebut, maka akan diperlukan EKG, foto Thoraks atau CT-Scan
kepala, yang secara spesifik diindikasikan untuk evaluasi gangguan serebral.
(Loekman, 2016)

Tabel 2: Hipertensi emergensi yang ditandai adanya papilledema. (Kaplan and


Victor, 2010)

Serebrovaskular Cardiac Renal


Hipertensi ensefalopati Diseksi akut aorta Glomerulonephritis akut
Aterotrombotik infark otak Payah jantung kiri Hipertensi renovaskular
Perdarahan intraserebral akut Krisis renal penyakit
Perdarahan subarachnoid Infark miokardium kolagen
Trauma kepala berat akut Hipertensi akselerasi
Pasca operasi bypass pasca transplantasi ginjal
jantung
Gangguan sistem Eklampsia Operasi
katekolamin
Krisis feokromositoma Merupakan keadaan Hipertensi perioperatif
Interaksi obat atau makanan toksikemia cito
dengan monoamine gravidarum Hipertensi post operatif
OxydaseInhibitor Epistaksis hebat
Penggunaan cocain Perdarahan pembuluh
Penggunaan simpatomimetik darah pasca operasi
Rebound/henti obat Luka bakar yang luas
Antihipertensi
Hiper-refleks
Cedera saraf spinal

Hipertensi tidak terkontrol meningkatkan proses aterosklerosis yang dapat


menyebabkan pendarahan maupun infark otak. Selain itu hipertensi tidak
terkontrol menyebabkan gangguan autoregulasi pembuluh darah otak sehingga
pada tekanan darah yang sama aliran darah ke otak pada penderita hipertensi
sudah berkurang dibandingkan penderita normotensi. Terjadinya aterosklerosis

7
pada pembuluh darah otak yang semakin banyak akan memperburuk keadaan
endotel pembuluh darah dan mengganggu aliran darah menuju jaringan otak.
Kemudian hal ini akan menyebabkan penurunan darah otak sehingga timbul
hipoksia dan iskemik pada jaringan otak dan akhirnya terjadi kematian sel saraf
sehingga timbul gejala klinis defisit neurologis. (Junaidi, 2011)
Hipertensi sering disebut the silent killer juga memicu terjadinya gagal
ginjal. Bahkan, saat fungsi ginjal mengalami gangguan, maka tekanan darah pun
akan meningkat dan dapat menimbulkan hipertensi. Ini meningkatkan risiko
seseorang untuk mengalami gagal jantung dan stroke yang kedua. Orang dengan
penyakit ginjal kronis menderita dipercepat aterosklerosis dan lebih mungkin
untuk mengembangkan penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung koroner,
aritmia kordis, fibrilasi atrium) dan stroke daripada populasi umum. (Junaidi,
2011)
Pemantauan tekanan darah harus terus-menerus dilakukan pada pasien
dengan tekanan darah yang tidak stabil dan pasien dengan prosedur pembedahan
utama yang terkait dengan perubahan yang cepat atau ditandai dengan preload
jantung atau afterload. Pemantauan elektrokardiografi bertujuan untuk mengetahui
dengan cepat tanda-tanda iskemia. Produksi urin harus dipantau melalui kateter
urin terutama pada pasien gangguan ginjal yang sedang menjalani tindakan dan
diharapkan dapat bertahan lebih dari 2 jam. Selama pemantauan hemodinamik
invasive dilakukan, pemenuhan kebutuhan ventrikel sering berkurang terutama
pada pasien dengan hipertrofi ventrikel. (Pratama, 2016)
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu
tinggi. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif
adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode
preoperative. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran tekanan
autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan
mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan
darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat
antihipertensi akan mengubah kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke

8
normal. Dalam mengukur autoregulasi serebral dapat digunakan beberapa acuan
yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:
 Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
 Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak.
 Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian
stroke.
 Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama
dengan yang terjadi pada serebral. (Pratama, 2016)
Anestesia akan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi
dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia
dengan volatile "tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang
(balance anesthesia) dengan opioid +N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total
intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat
dipilih sebagai teknik anestesia, namun perlu diingat bahwa anesthesia regional
sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada
pasien dengan keadaan hipovolemia. (Pratama, 2016)
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi terjadi akibat vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
pemberian cairan sebelumnya penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia
sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi
sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang
sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor
blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena
laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan
iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi
endotrakea bisa mencapai 25%. Durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat
membantu meminimalisir terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik

9
dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk
menghindari terjadinya hipertensi.
 Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-
10 menit.
 Pemberian opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-
1 mikrogram/kgbb.
 Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.
 Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
propanolol 1-3mg, atau labetatol 5-20 mg).
 Penggunakan anestesia topikal pada jalan napas.
Penyakit Ginjal berkontribusi pada beban penyakit dunia karena
prevalensinya terus meningkat dan menempati beban biaya kesehatan paling
tinggi kedua di Indonesia setelah penyakit jantung. Hipertensi merupakan salah
satu faktor dominan yang menyebabkan penyakit ginjal. (Arifa et al., 2017)
Cedera ginjal akut (acute kidney injury, AKI) adalah penurunan fungsi
ginjal yang mendadak (dalam waktu 48 jam) dan berkelanjutan, sehingga
menghasilkan retensi nitrogen (urea dan kreatinin), produk sampah non-nitrogen,
serta disregulasi volume seluler dan penanganan elektrolit. Dulu, AKI populer
dengan sebutan gagal ginjal akut (acute renal failure). (Ikrar and State, 2017)
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal
akut (GGA) atau acute renal failure (ARF) merupakan salah satu sindrom dalam
bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan
insidens. Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit
didapatkan karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. (Triastuti and
Sujana, 2017)
Secara klinis, diagnosis AKI berdasar penurunan GFR (glomerular
filtration rate), peningkatan serum kreatinin dengan atau tanpa oliguria,
dideskripsikan oleh dua klasifikasi utama: RIFLE (risk, injury, failure, loss, end-
stage) penyakit ginjal dan kriteria AKIN (acute kidney injury network). Kriteria
KDIGO Clinical Practice Guideline untuk AKI menggunakan pengganti

10
konvensional fungsi ginjal, kadar kreatinin serum dan output urin, untuk
mendefinisikan keberadaan dan keparahan cedera ginjal. (Ikrar and State, 2017)

Gambar 1. Klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE.(Triastuti and Sujana, 2017)


Kategori Peningkatan SCr Penurunan LFG Kriteria UO

Risk ≥1,5 kali nilai >25% nilai dasar <0,5mL/kg/jam,


dasar ≥6jam

Injury ≥2,0 kali nilai >50% nilai dasar <0,5mL/kg/jam,


dasar ≥12jam

Failure ≥3,0 kali nilai >75% nilai dasar <0,5mL/kg/jam,


dasar atau ≥24jam atau
≥4mg/dL dengan Anuria ≥12jam
kenaikan akut
≥0,5mg/dL

Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu

End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus
relatif konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut autoregulasi. Dua
mekanisme yang berperan dalam autoregulasi ini adalah:
1. Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen
2. Timbal balik tubuloglomerular
Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat
mempengaruhi autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan
oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi akan terjadi penurunan tekanan
darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya
mengaktifasi sistem saraf simpatis, sistem rennin-angiotensin serta merangsang
pelepasan vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang merupakan mekanisme
tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi
serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol
afferent yang dipengaruhi oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide

11
(NO), serta vasokonstriksi arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh
angiotensin-II dan ET-1. (Triastuti and Sujana, 2017)
Pada pengelolaan anestesia pastikan jalan nafas tidak tersumbat oleh
sekret, muntahan atau darah. Berikan O2 100% dan usahakan saturasi O2 98–
100%. Laju nafas diusahakan hiperventilasi ringan, terutama jika telah terjadi
hernisasi. Anestesi harus dipastikan cukup dalam saat dilakukan intubasi, supaya
tidak terjadi batuk atau peningkatan tekanan darah yang dapat meningkatkan
tekanan intrakranial. Hati-hati pada pasien dengan fraktur cervical, usahakan
kepala tidak hiperekstensi, cukup jaw thrust saja. Saat induksi diberikan fentanil
100 ug dan propofol 0,5–2,5 mg/kg BB. Manfaat profopol selain untuk induksi
juga berguna untuk menurunkan tekanan darah dan tekanan intrakranial.
Dilanjutkan pemberian pelumpuh otot vecuronium 0,1 mg/kgBB. Anestesi harus
dipastikan cukup dalam supaya tidak terjadi peningkatan gejolak tekanan darah
saat intubasi dan selama operasi berlangsung. (Mangastuti et al., 2014)
Perdarahan intraserebral merupakan suatu keadaan darurat medis yang
memerlukan penanganan yang cepat dan tepat dengan fokus menstabilisasikan
kardiorespiratori (ABCDE neuroanestesi) dan pencegahan/pengobatan komplikasi
intrakranial. Tujuan penanganan pada ICH adalah difokuskan pada penurunan
tekanan intrakranial, menghentikan perdarahan, dan mengeluarkan hematoma.
Segera setelah diagnosa ditegakkan, lokasi dan besarnya hematoma diketahui
maka dilakukan penanganan yang dapat berupa penanganan secara medikal atau
pembedahan. Penanganan secara medikal meliputi pengendalian tekanan darah,
pengendalian tekanan intrakranial, pemberian anti perdarahan. Karena hipertensi
merupakan penyebab paling umum dari ICH spontan, pengaturan tekanan darah
cukup penting, walaupun terdapat kontroversial dimana ada yang berpendapat
bahwa kemungkinan terjadinya perburukan jaringan yang rentan terhadap iskemik
jika tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba yang menyebabkan cedera
sekunder. (Ar, Umar and Saleh, 2012)
Penurunan tekanan intrakranial yang cepat dapat dicapai dengan
pemberian diuretik. Dua macam diuretika yang umum digunakan yaitu osmotik
diuretik manitol dan loop diuretik furosemide. Manitol diberikan secara bolus
intravena dengan dosis 0,25–1 gr/kgBB. Diberikan secara perlahan dalam infus

12
selama 10–20 menit dan dilakukan bersama-sama dengan manuver yang
menurunkan volume intrakranial (misalnya hiperventilasi). Masa kerja manitol
10–15 menit dan efektif kira-kira selama 2 jam. (Laine and Smoker, 2001)
Pemberian cairan pada pendarahan intraserebral adalah dengan target
euvolemi dan iso osmoler. Cairan yang dipergunakan adalah cairan isotonic
seperti NaCl 0,9%. Cairan seperti saline 0,45%, atau D5% cairan dalam air tidak
dipergunakan karena cairan tersebut akan memperberat edema dan memperberat
TIK. Cairan NaCl hipertonik seperti NaCl 3% diperlukan untuk mengatasi kondisi
hipoosmolaritas yang berat (<280 mosm/l), dan pasien dengan edema
perihematom serta efek masa setelah perdarahan intraserebral. Dengan resusitasi
cairan ini kondisi hiperosmolar (300–320 mosm/l) dan kondisi hipernatremi (150–
155 mEq/l) dapat dicapai potensial sehingga dapat mengurangi edema seluler dan
TIK. (Basuki et al., 2016)
Masih ada kontroversi tentang terapi perdarahan intraserebral (PIS)
optimal terutama dalam pengendalian tekanan darah. Tekanan darah yang tinggi
dapat menimbulkan hematoma, tapi penurunan tekanan darah dapat menimbulkan
penurunan perfusi otak. The Intensive Blood Pressure Reduction of Acute
Cerebral Hemorrhage Trial (INTERACT) menemukan bahwa penurunan tekanan
darah yang segera akan mengurangi resiko perluasan perdarahan tapi tidak
mempunyai efek pada outcome. (Panduwaty and Bisri, 2013)
Penanganan pada peningkatan ICP meliputi posisi kepala ditinggikan 30
derajat, cegah batuk dan mengedan, pemberian infus diuretik manitol dan
furosemid, hiperventilasi dengan mempertahankan EtCO2 normokapnia.
Beberapa tindakan pembedahan kini dilakukan untuk menangani penderita
perdarahan intraserebral dengan tujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial,
menghentikan perdarahan, mengangkat hematoma, dan memperbaiki aliran cairan
serebrospinalis. Pertimbangan utama dalam memilih obat anestesi atau kombinasi
obat anestesi adalah pengaruhnya terhadap tekanan intrakranial, karena semua
obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral mungkin berakibat peninggian
tekanan intrakranial, pemakaiannya sedapat mungkin harus diperhatikan mana
yang lebih menguntungkan dalam neuroanesthesia. Semua penderita yang dirawat
dengan perdarahan intracerebral di ICU harus mendapat perhatian dalam hal

13
evaluasi radiologik, menjaga adequatnya respirasi dan sirkulasi, pengendalian
tekanan darah, pencegahan hiperglikemi, hipotensi dan demam, pengendalian
tekanan intrakranial, pengontrolan terhadap neurosurgical dan pencegahan kejang.
(Ar, Umar and Saleh, 2012)
Penanganan pasien stroke dengan trauma sama dengan penanganan trauma
pada umumnya, yaitu meliputi primary survey, secondary survey dan tertiary
survey. Pada pasien stroke dengan trauma sebelum kita mengambil langkah terapi,
pastikan kita sudah memeriksa ABCDE dari pasien untuk penatalaksanaan lebih
lanjut. (Ahmad, 2008)
Anestesi pada pasien stroke bisa dilakukan. Jika operasi disiapkan
(elektif), maka sebaiknya keadaan pasien distabilkan terlebih dahulu. Jika operasi
emergensi maka penggunaan obat-obat anestesi penginduksi peningkatan TIK
maupun peningkatan tekanan darah harus diperhatikan betul penggunaannya.
(Ahmad, 2008)
Anestesi pada pasien stroke juga tidak dianjurkan memakai obat-obat
anestesi yang menyebabkan peningkatan TIK seperti ketamin, karena akan
memperparah waktu peningkatan TIK sehingga menimbulkan herniasi dan
memperparah stroke itu sendiri. Penanganan post operatif pada pasien stroke lebih
baik dilakukan di ICU agar dapat memonitor keadaan hemodinamik pasien secara
lebih intensif. (Ahmad, 2008)
Anestesi yang dipakai pada pasien stroke sama dengan pasien dengan
peningkatan tekanan intracranial akibat cidera kepala. Selain itu pada pasien
stroke sering diakibatkan karena peningkatan tekanan darah. Secara keseluruhan
tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah menjaga kestabilan tekanan
darah pasien. Tekanan darah arteri umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari
tingkat pra operasi. Jika hipertensi terjadi sebelum operasi dimana tekanan darah
lebih dari 180/120 mmHg, maka tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam
batas normal, yaitu 150-140/90-80 mmHg. (Ahmad, 2008)
Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah
menjaga kestabilan tekanan darah pasien. Pada pasien usia lanjut atau pasien
dengan hipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan autoregulasi aliran
darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi mempertahankankan aliran darah

14
otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien dengan hipertensi yang lama
harus dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner dan hipertrofi
jantung, sehingga peningkatan tekanan darah yang berlebihan dapat dihindari.
Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan takikardia, dapat memicu terjadinya
iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan keduanya. Tekanan darah arteri
umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat pra operasi. Jika hipertensi
terjadi sebelum operasi dimana tekanan darah lebih dari 180/120 mmHg, maka
tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam batas normal, yaitu 150-130/80-90
mmHg. (Pratama, 2016)
Dalam menentukan obat yang dipergunakan untuk mengelola anestesia,
pola pemikiran kita sebaiknya ditujukan pada obat tersebut atau hasil
metabolismenya yang tidak nefrotoksis, sedikit atau tidak diekskresi melalui
ginjal, sedikit mempengaruhi homeostasis kardiovaskular. Dikemukan juga obat
dan teknik yang dipergunakan tidak sepenting bagaimana kita melakukan
penatalaksanaan teknik tersebut serta memantau pasien selama anestesia dan
pembedahan. Banyak variasi pengaruh anestesia terhadap fungsi ginjal, tetapi
pengaruh gagal organ ganda terhadap ginjal sering sulit dipahami. Karena itu kita
sering sulit menentukan pilihan obat dan teknik yang ideal untuk pasien GGA.
Mazze 1980, berspekulasi menganjurkan teknik anestesia neuroleptik karena efek
blokade adrenergik alfa hanya sedikit mempengaruhi faal ginjal. Hipertensi dan
AKI akibat scleroderma mungkin sensitif terhadap pengobatan dengan inhibitor
ACE. (Indra, 2013)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M. R. (2008) ‘Perioperative Management Of Head Injury’.


Ar, M., Umar, N. and Saleh, S. C. (2012) ‘Penatalaksanaan Anestesi Pada

15
Perdarahan Intracerebral Yang Disebabkan Stroke Hipertensi’, JNI, 1(3), pp. 203–
208.
Arifa, S. I. et al. (2017) ‘Factors Associated with Chronic Kidney Disease
Incidence among Patients with Hypertension in Indonesia’, JURNAL MKMI,
13(4).
Arifianto, A. S., Sarosa, M. and Setyawati, O. (2014) ‘Klasifikasi Stroke
Berdasarkan Kelainan Patologis dengan Learning Vector Quantization’, 8(2), pp.
117–122.
ASA (2014) ‘Understanding Stroke Risk’.
Badriyah, J. and Amalia, L. (2016) ‘Profile of Stroke Risk Factors in Hasan
Sadikin General Hospital Bandung During January 2015 – December 2016’, 7(3),
pp. 134–139.
Basuki, W. S. et al. (2016) ‘Anesthetic Perioperative Management of Intracerebral
Hemorrhage and Its Outcome’, 5(1), pp. 35–43.
Bender, S. et al. (2006) ‘Characteristics and management of patients presenting to
the emergency department with hypertensive urgency’, Journal Clin Hypertens, 8,
pp. 12–19.
Darotin, R., Nurdiana and Nasution, T. H. (2017) ‘Analysis Of Predictive Factors
Of Mortality In Hemorrhagic Stroke Patients At Soebandi Hospital Jember’,
NurseLine Journal, 2(2).
Dinata, C., Safrita, S. and Sastri, Y. (2013) ‘Gambaran Faktor Risiko dan Tipe
Stroke pada Pasien Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Kabupaten
Solok Selatan Periode 1 Januari 2010 - 31 Juni 2012.’, JKA, 2(2), pp. 57–61.
Emril, D. R. and R, E. M. (2008) ‘Penggunaan Skala Stroke Syiah Kuala pada
penderita stroke sebagai metode diagnosis yang cepat dan akurat’, Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala, 8(1), p. 20.
Goetz, C. (2007) ‘Neurologi klinik. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders.’
Harmsen, P. et al. (2006) ‘Long-term risk factors for stroke: twenty-eight years of
follow-up of 7457 middle-aged men in Goteborg, Sweden. Stroke.
2006;37(7):1663–67.’, 37(7), pp. 1663–1667.
Heart and Stroke Foundation (2003) ‘Let’s Talk About Stroke: An Information
Guide for Survivors and Their Families’.

16
Ikrar, T. and State, U. (2017) ‘Interleukin 18, Biomarkers of Acute Kidney
Injury’.
Indra, I. (2013) ‘Anesthetic in Renal Insufficiency’, Idea Nursing Journal, 4(1).
Indriyani, W. (2009) ‘Deteksi Dini Kolesterol, Hipertensi, dan Stroke’.
Junaidi, I. (2011) ‘Stroke Waspadai Ancamannya’.
Kaplan, N. and Victor, R. (2010) ‘Hypertensive Crises , in Kaplan’s Clinical
Hypertension’, 10, pp. 274–287.
Laine, F. and Smoker, W. (2001) ‘Intracranial disease. Dalam: Cottrell JE, Smith
DS, eds. Anesthesia and neurosurgery’, 4, pp. 164–165.
Loekman, J. S. (2016) ‘Patogenesis Dan Managemen Hipertensi Emergensi’.
Mangastuti, R. S. et al. (2014) ‘Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke
Hemoragik Anesthetic Management in Patients with Hemorrhagic Stroke’, 3(2),
pp. 80–87.
Panduwaty, L. and Bisri, D. Y. (2013) ‘Tatalaksana Anestesi Perioperatif pada
Pasien dengan Perdarahan Intraserebral ( PIS ) Spontan akibat Hipertensi
Emergensi : Serial Kasus Perioperative Anesthesia Management in Patients with
Spontaneous Intracerebral Haemorrhage ( ICH ) et causa Hypertensi’, jurnal
neuroanestesi indonesia, 2(3), pp. 140–146.
Philip, A. and Wolf, P. (2015) ‘Risk factors for stroke.’, 16(3), pp. 359–360.
Pratama, Y. E. (2016) ‘Anestesi Pada Penderita Hipertensi’.
Riskesdas (2013) RISET KESEHATAN DASAR.
Sacco, R. et al. (2013) ‘An updated definition of stroke for the 21st century: A
statement for healthcare professionals from the AHA/ASA. Stroke.’, 44(7), p.
2064–2089.
Satriyanto, M. D. and Saleh, S. C. (2015) ‘Tatalaksana Anestesi pada Pendarahan
Intraserebral Spontan Non Trauma Anesthesia Management in Spontaneous-Non
Traumatic Intracerebral Hemorrhage’, 4(1), pp. 8–16.
Shinta, S. et al. (2011) ‘Rerata Tekanan Arteri lebih dari 145 mmhg pada saat
Masuk Rumah Sakit sebagai Prediktor Prognosis Kematian 7 hari pada Pasien
Stroke Hemoragik’, Damianus Journal of Medicine, 10(1), pp. 1–7.
Triastuti, I. and Sujana, I. B. G. (2017) ‘Acute Kidney Injury (AKI)’.
Vaidya, C. and Ouellette, J. (2007) ‘Hypertensive Urgency and Emergency.’, pp.

17
43–50.
World Health Organization (2014) The Top 10 Causes of Death in The World,
2000 and 2011.

18

Anda mungkin juga menyukai