Anda di halaman 1dari 4

DIAGNOSIS

Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa serta beberapa pemeriksaan fisik, dalam


hal ini yaitu pemeriksaan neurologis.

1. Anamnesa :
- Rasa nyeri.
- Gangguan atau kehilangan pengecapan.
- Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka
atau di luar ruangan.
- Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan,
otitis, herpes, dan lain-lain.
2. Pemeriksaan :
- Pemeriksaan neurologis ditemukan paresis N.VII tipe perifer.
- Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
1. Mengerutkan dahi
2. Memejamkan mata
3. Mengembangkan cuping hidung
4. Tersenyum
5. Bersiul
6. Mengencangkan kedua bibir
Untuk mengevaluasi kemajuan motorik penderita Bell’s palsy memakai SKALA UGO
FISCH
SKALA UGO FISCH
Dinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5 posisi :
Posisi Nilai Persentase (%) Skor
0, 30, 70, 100
Istirahat 20
Mengerutkan dahi 10
Menutup mata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
Total
Penilaian persentase :
- 0 % : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter
- 30 % : simetris, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke asimetris komplit daripada
simetris normal.
- 70 % : simetris, fair/cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke arah normal
- 100% : simetris, normal/komplit

3. Diagnosa Klinis : Ditegakkan dengan adanya paresis N.VII perifer dan bukan sentral.
Umumnya unilateral
4. Diagnosa Topik :
Kelainan Gangguan Gangguan Hiposekresi Hiposekresi
Letak Lesi
motorik pengecapan pendengaran saliva lakrimalis
Pons-meatus +
+ + + +
akustikus internus tuli/hiperakusis
Meatus akustikus
+
internus-ganglion + + + +
Hiperakusis
genikulatum
Ganglion
+
genikulatum-N. + + + -
Hiperakusis
Stapedius
N.stapedius-chorda
+ + + + -
tympani
Chorda tympani + + - + -
Infra chorda tympani-
sekitar foramen + - - - -
stilomastoideus
5. Diagnosa etiologi : Sampai saat ini etiologi Bell’s palsy yang jelas tidak diketahui.
6. Diagnosa banding :
1. Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis
2. Herpes Zoster Oticus
3. Trauma kapitis
4. Sindroma Guillain – Barre
5. Miastenia Gravis
6. Tumor Intrakranialis

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan menurut gejalanya. Bell’s palsy selalu mengenai satu sisi wajah, kelemahannya
tiba-tiba dan dapat melibatkan baik bagian atas atau bagian bawah wajah.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan
saraf fasialis sebagai berikut:
Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang
listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA
menunjukkan kerusakan saraf fasialis irreversibel.
Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik
pada saraf fasialis kiri dan kanan.
Elektromiograf
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot
otot wajah.
Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah
Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu
rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina). Elektrogustometri membandingkan reaksi antara
sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa
kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada bell's palsy menunjukkan letak lesi saraf fasialis
setinggi khorda timpani atau proksimalnya.
Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas flter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata bagian
bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas flter, berkurang
atau mengeringnya air mata menunjukkan lesi saraf fasialis setinggi ganglion genikulatum
Penyakit lain yang juga dapat menyebabkan kelumpuhan saraf wajah adalah:
- Tumor otak yang menekan saraf
- Kerusakan saraf wajah karena infeksi virus (misalnya sindroma Ramsay
Hunt)
- Infeksi telinga tengah, sinus mastoideus
- Penyakit Lyme
- Patah tulang di dasar tengkorak.
Untuk membedakan bell's palsy dengan penyakit tersebut, bisa dilihat dari riwayat penyakit, hasil
pemeriksaan rontgen, CT scan atau MRI. Pada penyakit Lyme perlu dilakukan pemeriksaan darah.

Penatalaksanaan
Terapi pertama yang harus dilakukan adalah penjelasan kepada penderita bahwa penyakit yang
mereka derita bukanlah tanda stroke, hal ini menjadi penting karena penderita dapat mengalami
stress yang berat ketika terjadi salah pengertian.
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
Selain itu, dari tinjauan terbaru menyimpulkan bahwa pemberian kortikosteroid dalam tujuh hari
pertama efektif untuk menangani Bell’s palsy. Pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada
kasus bell's palsy yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem
dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan,
kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut. Tujuan
fsioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
3.a. Penanganan mata
Bagian mata juga harus mendapatkan perhatian khusus dan harus dijaga agar tetap lembab, hal
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian pelumas mata setiap jam sepanjang hari dan salep mata
harus digunakan setiap malam
3.b. Latihan wajah
Komponen lain yang tidak kalah pentingnya dalam optimalisasi terapi adalah latihan wajah. Latihan
ini dilakukan minimal 2-3 kali sehari, akan tetapi kualitas latihan lebih utama daripada kuantitasnya.
Sehingga latihan wajan ini harus dilakukan sebaik mungkin. Pada fase akut dapat dimulai dengan
kompres hangat dan pemijatan pada wajah, hal ini berguna mengingkatkan aliran darah pada otot-
otot wajah. Kemudian latihan dilanjutkan dengan gerakan-gerakan wajah tertentu yang dapat
merangsang otak untuk tetap memberi sinyal untuk menggerakkan otot-otot wajah. Sebaiknya
latihan ini dilakukan di depan cermin. Gerakan yang dapat dilakukan berupa:
Tersenyum
Mencucurkan mulut, kemudian bersiul
Mengatupkan bibir
Mengerutkan hidung
Mengerutkan dahi
Gunakan telunjuk dan ibu jari untuk menarik sudut mulut secara manual
Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari
Setelah melakukan terapi tersebut sebagian penderita akan sembuh total dan sebagian akan
meninggalkan gejala sisa yang dapat berupa:
1. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih jelas terlihat dibanding
pada sisi yang sehat. Bagi pemeriksa yang belum berpengalaman mungkin bagian yang sehat ini yang
disangkanya lumpuh, sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya sehat.
2. Sinkinesia (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri, selalu timbul gerakan
bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot orbikularis orispun akan akan ikut
berkontraksi dan sudut mulut terngkat. Bila ia disuruh menggembungkan pipi, kelopak mata ikut
merapat.
3. Spasme spontan
Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga tic
facialis. akan tetapi tidak semua tic facialis merupakan gejala sisa dari Bell’s palsy
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi
lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
1.Tidak terdapat penyembuhan spontan
2.Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone pada pemeriksaan elektrik terdapat
denervasi total.
Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada bell's palsy antara lain dekompresi n. fasialis
yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum nerve graft
operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi).

Anda mungkin juga menyukai