a. Rabbaniyah ()الربانية
Karakter pertama dinul Islam, adalah bahwa Islam merupakan agama
yang bersifat rabbaniyah, yaitu bahwa sumber ajaran Islam, pembuat
syariat dalam hukum (baca; perundang-undangan) dan manhajnya
adalah Allah SWT, yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW, baik
melalui Al-Qur’an maupun sunnah. Allah SWT berfirman QS. 32: 1-3:
ب تَ ْن ِزيلُ * الم ُِ لَ ْال ِكت َاُ ْبَُ ن فِي ُِه َريُْ ب ِم ُِ ل ا ْفت ََراهُ يَقولونَُ أَ ُْم * ْالعَالَ ِمينَُ َر
ُْ ن ْال َحقُ ه َُو َب
ُْ َربِكَُ ِم
َُ ن أَت َاه ُْم َما قَ ْو ًما ِلت ْنذ
ِر ُْ *يَ ْهت َدونَُ لَعَلَّه ُْم قَ ْب ِلكَُ ِم
ُْ ن نَذِيرُ ِم
d. Insaniyah ()اإلنسانية
Karakter yang keempat adalah bahwa Islam merupakan agama yang
bersifat insaniyah. Artinya bahwa Islam memang Allah jadikan
pedoman hidup bagi manusia yang sesuai dengan sifat dan unsur
kemanusiaan. Islam bukan agama yang disyariatkan untuk malaikat
atau jin, sehingga manusia tidak kuasa atau tidak mampu untuk
melaksanakannya. Oleh karenanya, Islam sangat menjaga aspek-
aspek ‘kefitrahan manusia’, dengan berbagai kelebihan dan
kekurangan yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Sehingga
dari sini, Islam tidak hanya agama yang seolah dikhususkan untuk
para tokoh agamanya saja (baca: ulama). Namun dalam Islam semua
pemeluknya dapat melaksanakan Islam secara maksimal dan
sempurna. Bahkan bisa jadi, orang awam akan lebih tinggi derajatnya
di hadapan Allah dari pada seorang ahli agama. Karena dalam Islam
yang menjadi standar adalah ketakwaannya kepada Allah.
َللا َواُت َّقوا ِللت َّ ْق َوى أ َ ْق َربُ ه َُو ا ْعدِلوا َُّ َللاَ ِإ
ََُّ ن َُّ ُتَ ْع َملونَُ بِ َما َخبِير
Adapun Ruang Lingkup Agama Islam sendiri pada dasarnya terdiri atas tiga unsur
pokok, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ketiganya, meskipun mempunyai pengertian
yang berbeda, tetapi dalam prakteknya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan.
Islam artinya taat, tunduk, dan menyerahkan diri atas segala ketentuan yang
telah ditetapkan Allah SWT. Rukun Islam terdiri atas Syahadatain (dua kalimah
syahadat), Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji.
Ihsan artinya berakhlak dan berbuat saleh sehingga dalam melaksanakan ibadah
kepada Allah dan bermuamalah dengan sesama makhuk dilakukannya dengan
penuh keikhlasan. Seakan-akan Allah menyaksikannya sepanjang waktu.
a. Al-Quran
“Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum
yang ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta
alam” (Q.S. 10:37).
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang
benar, membenarkan kitab-kitab sebelumnya...” (Q.S. 35:31).
b. Hadits/As-Sunnah
“Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa
yang dilarangnya maka tinggalkanlah” (Q.S. 59:7).
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang
teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Al-
Quran) dan Sunnah-ku.” (HR. Hakim dan Daruquthni).
Ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup, beliau melarang para sahabatnya
menuliskan apa yang dikatakannya. Kebijakan itu dilakukan agar ucapan-
ucapannya tidak bercampur-baur dengan wahyu (Al-Quran). Karenanya,
seluruh Hadits waktu itu hanya berada dalam ingatan atau hapalan para
sahabat.
c. Ijtihad
Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu
masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Pelakunya disebut Mujtahid.
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah Al-
Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi
dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad
Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.
“Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal
itu?”
“Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah
Rasulullah?”
“Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami
jadinya?”