Anda di halaman 1dari 14

KITAB NIKAH1

Madzhab Syafi’i mengatakan bahwasanya seluruh perintah dengan sesuatu itu

bukan sebuah bentuk larangan dari kebalikan sesuatu tersebut, dan larangan dari sesuatu

itu juga bukan bentuk dari perintah dari lawannya sesuatu tersebut. Dengan dalil bahwa

yang menyuruh untuk mengerjakan sesuatu terkadang-kadang tidak mempertimbangkan

lagi akibatnya yang datang dari lawan bentuk perintah tersebut, baik karena bingung

ataupun berhenti. Maka bagaimana menjadikan perintah atau larangan dari sesuatu

bersangkutan dengan lainnya, dengan ketidaktahuan atau merasa heran dengan perintah

atau larangan tersebut.

Sedangkan mazhab Hanafi menyatakan bahwa segala perintah tentang suatu

pekerjaan itu juga butuh kepada larangan dari lawannya perkara tersebut jika perkara

tersebut memiliki lawan, namun jika perkara itu hanya memiliki satu lawan maka perintah

tadi butuh kepada larangan dari kebalikannya, dan begitu juga perihal larangan

membutuhkan perihal perintah dari lawan perkara tersebut berdasarkan perincian yang

menjelaskannya.

Dan berijtihad mereka dalam perkara tersebut, bahwa barang siapa yang menyuruh

orang lain untuk keluar dari rumah (kampung), maka makruhlah dari orang tersebut akan

segala perkara kebalikannya baik berdiri dan duduk dan baring, karena dia tidak

diperintahkan keluar dengan kemauannya sebagaimana yang menafikannya, karena

mustahil berkumpul diantara dua perkara tersebut dalam satu urusan. Hal ini memunculkan

cabang permasalahan diantaranya: (1) ada yang berpandangan bahwa mensucikan dirinya

dari ibadah-ibadah yang sunnah adalah lebih baik dari pada menikah karena nikah itu bisa

jadi mubah atau sunnah tergantung untuk menjaga diri atau mengikuti hawa nafsu.

1
Imam Abi al-Manaqib Syihabuddin Mahmud ibn Ahmad az-Zanjani, Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul,
Riyadh: Maktabah Obekan, 2006, hal. 221-223

1
Perkara-perkara tersebut disunnahkan untuk perempuan dengan niat lillahi ta’ala.

Sebagian lain berpandangan nikah itu lebih utama, kerena zina itu dilarang dan haram dan

dengan menikah terhindarlah dari zina sebagaimana tercakuplah dengan dibolehkannya

daripada menghalangi (untuk menikah) dan perintah ini menjadi wajib.

Maka jika kita katakan: kalaulah wajib maka berdosalah meninggalkannya,

sedangkan barangsiapa yang meninggalkan nikah tidak berdosa. Mereka berkata: maka

batal pendapat wajib nikah tadi lalu kami jawab siapa yang meninggalkan nikah sepanjang

umurnya dan mati tanpa menikah maka dia akan dihukum di akhirat. Diantara mereka juga

berpendapat bahwa menjatuhkan talak tiga boleh disisi kami karena memutuskan nikah itu

mubah. Dan diantara mereka: haram dan bid’ah karena terkandung didalamnya

memutuskan kemaslahatan yang wajib didirikan dengan “kulliyat” (penetapan hukum atas

sesuatu secara satu-persatu). Tercakuplah dalam kalimat kuliiyat dimaknakan berpisah dan

kalau kita katakan: nikah itu menghilangkan akhlak dan menghasilkan kerusakan maka

tidak terkandunglah qoth’i mashlahah.

Mereka menjawab nikah itu bukan membawa kerusakan baik dari segi sifat nikah

itu sendiri, dan dari segi apa-apa yang dikhususkan dari hukun-hukum nikah itu sendiri,

karena kalaulah nikah itu membuat kerusakan tentu syaria’at akan melarang kita menikah

dan tidak butuh kepadanya.

Masalah 12

Riwayat asal apabila ia mengingkari riwayat cabang maka akan dikatakan ingkar jahid,

yakni pengingkaran yang pasti dan dusta bagi perawi yang tidak mengamalkannya, dan

perawi tidank dianggap cacat karena ia mendustai gurunya sebagaimana gurunya

2
Ibid, hal. 224-225

2
mendustai si perawi, masing-masing keduanya adil, dan apabila saling berdusta maka tidak

harus mencacati salah satu keduanya.

Adapun apabila ingkarnya itu mutawaqqif seperti berkata (saya tidak ingat) atau (saya

tidak mengetahuinya) maka diamalkan dengannya hadits itu menurut imam Syafi’i.

Hujjahnya adalah sesungguhnya khabar atau adil rawi dan sungguh mungkin

membenarkan pada riwayatnya maka wajiblah diamalkan pada riwayatnya. Sebagaimana

kalau benar riwayat asal dan karena adil cabang itu tetap berdasarkan kepastian dan

keyakinan, dan terhenti asal tidak menunjukkan ia atas kebohongan, jika karena tidak

diingkari dengan tingkat jahid, maka boleh jadi sesungguhnya khabar yang diceritakan

gurunya kemudian muridnya lupa terhadap khabar tersebut karena manusia itu bersifat

lupa dan ragu.

Dan ulama hanafiah berpendapat bahwa: sesungguhnya khabar (diingkari dengan ingkar

mutawaqqif) tidak boleh diamalkan.

Mereka berhujjah dengan 2 perkara:

1. Mereka mengatakan: kalau adalah hadits itu hujjah pada hak selain Syekh/guru maka

hadis itu hujjah ada hak syekh. Penggambarannya: syekh itu adalah sumber

periwayatan. Apabila batal hadits pada Syekh, maka batal sumber periwayatan lainnya

karena riwayat yang utama tersebut.

2. Mereka mengatakan tidak ada perbedaan sesungguhnya persaksian asal meskipun

mutawaqqif mereka berkata: (kami tidak ingat) dan (kami tidak hafal) niscaya tidak

boleh bagi hakim mengamalkan kesaksian saksi-saksi cabang maka seperti itu juga

hadits.

Dan ushul ini tercabang dalam perkara berikut:

Batal nikah dengan tanpa wali menurut iman Syafi’i karena riwayat Sulaiman bin Musa

Az-Zuhri dari Nabi. Sesungguhnya Nabi bersabda: “yang mana perempuan kamu nikahi

3
tanpa izin walinya maka nikahnya batal, batal, batal. Maka jika ia menyentuh perempuan

maka wajib untuk perempuan itu mahar dengan sebab apa yang terlepas dari farajnya

perempuan, maka jika berpergian mereka wali maka sultan adalah wali bagi orang yang

tidak ada wali.”

Sedangkan Abu Hanifah mengikuti qiyas dan tidak sependapat dengan kehujjahan hadits

riwayat Az-Zuhri dengan berkata: “Saya tidak mengetahuinya.”

Masalah 23

Mahzab Syafi’i RA mengatakan bahwasannya memaksa kewalian pada anak perempuan Commented [u1]:

kandung adalah pada statusnya (gadis tau janda) bukan karena usianya (artinya seandainya

masih gadis walaupun sudah tua maka sang wali boleh memaksa untuk menikahkannya,

namun seandainya masih kecil tapi tidak lagi perawan atau sudah janda maka tidak boleh

dipaksa).

Hujjah imam Syafi’i pada masalah demikian adalah: menikahkan anak perempuan

kandung itu termasuk perkara yang mudharat. Tinjauannya adalah menikah itu menjadikan

perempuan seperti budak dan menghinakannya tanpa ada alasan yang menyeru pada hal

demikian. Sedangkan kewalian tetap atas anak kecil itu karena memandang bagi wali dan

untuk mendirikan apa yang dibutuhkan wali bukan untuk menolak apa yang menjadi

mudharat tetapi untuk mendatangkan hajat dikarenakan kekuasaan wali terhadap anak

kecil itu dari segi kebutuhan bukan dari segi mudharatnya sehingga wali tidak memiliki

hibah harta anak kecil karena itu adalah mudharat karena memberikan harta kepada orang

lain artinya mengurangi harta. Dan jika wali menerima hibah harta bagi anak kecil maka

boleh menerima karena itu merupakan suatu hajat. Dia tidak boleh menjual harta anak

kecil dengan kerugian yang keji karena itu adalah mudharat. Dia tidak memiliki hak

3
Ibid, hal. 226-227

4
menalak dan memerdekakan anak kecil karena itu tidak berhubungan dengan keduanya

menolak hajat anak kecil. Sedangkan nikah termasuk golongan sesuatu yang tidak ada

hubunganya untuk menolak hajat anak kecil maka itu tidak bisa dijadikan alasan untuk

memaksa.

Masalah 34

Mazhab Syafi’i RA mengatakan bahwa sesungguhnya kedekatan kerabat itu ditinjau pada

keharusan seseorang tersebut untuk menikahkan orang yang diwalikan. Dan ayah harus

didahulukan dari kakek jika keduanya ada.

Sedangkan imam Abu Hanifah RA berpendapat: bahwa siapapun kerabat boleh

menikahkan perempuan. Alasannya adalah keharusan kakek ketika tidak ada ayah, maka

kakek tersebut keharusannya bukan karena tidak ada yang lebih dekat tapi karena memang

dia adalah kerabat yang boleh menikahkan perempuan.

Bercabanglah dari asal ini beberapa masalah:

Diantaranya: bahwa sesungguhnya selain ayah dan kakek tidak bisa menikahkan anak

kecil laki-laki dan perempuan. Sedangkan imam Abu Hanifah membolehkan.

Dan diantaranya masalah yang lain adalah wali yang paling dekat seandainya tidak ada di

tempat, yakni ketiadaan yang teputus (tidak selamanya ghoib, bukan meninggal)

kewaliannya tidak batal dan tidak berpindah kepada yang dekat denganya tetapi hakimlah

yang menikahkan perempuan karena menggantikan wali yang paling dekat. Sedangkan

menurut imam Abu Hanifah wali boleh berpindah ke kerabat yang jauh.

4
Ibid, hal. 228-229

5
Masalah 45

Mahzab Hanafiyyah mengatakan bahwa mutlak dan muqoyyad apabila datang pada satu

masalaah maka tidaklah berlaku mutlak tetapi berlaku muqoyyad karena kalam Al Hakim

maknanya/pemahamannya sesuai dengan yang dikehendaki oleh kalam itu. Dan apabila

lawannya mutlak berarti itlak, tetapi jika lawannya muqoyyad berarti taqyid.

Dan imam Syafi’i RA berkata: berlaku mutlak bukan muqoyyad, karena bahwa

sesungguhnya perkatan Al-Hakim apabila ia menambah suatu kalam itu untuk menambah

penjelasan. Maka tidaklah baik membatalkan penambahan kalam itu tapi menjadikan

perkataan itu seolah-olah perkataan keduanya (muqoyyad dan mutlak) secara bersamaan,

karena positifnya muqoyyad itu pasti tapi positifnya mutlak masih mengandung

kemungkinan. Dan bercabang dari masalah ini beberapa masalah:

Diantaranya: bahwasannya nikah tidaklah terakad dengan hadirnya orang-orang fasik

menurut imam Syafi’i RA dengan dalil sebagaiman sabda Rasulullaah shallallahu ‘alaihi

wa sallam: Tidaklah sah nikah kecuali dengan wali dan 2 orang saksi yang adil. Jadi

sesungguhnya mengkaitkan kesaksian dengan saksi yang adil. Menurut pendapat yang

lain: terakad atau sah, karena mutlak sesuai dengan perkataan Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam: Tidaklah sah menikah kecuali dengan keberadaan atau kesaksian wali.

Dan imam Syafi’i RA tidak memakai mutlak tetapi memakai muqoyyad (karena suatu

kejadian) sedangkan Abu Hanifah mendahulukan yang mutlak daripada muqoyyad.

Dan diantaranya yang lain mengatakan bahwa orang fasik tidak boleh hadir atau ikut

dalam pernikahan tersebut menurut imam Syafi’i: sebagaimana perkataan Rasululullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam: (“Tidaklah sah nikahnya seseorang kecuali dengan wali

yang mursyid dan 2 orang syahid yang adil”)

5
Ibid, hal. 230-232

6
Dan berkata Abu Hanifah RA: Boleh, karena mutlak sebagaimana perkataan Rasulullaah

shallallahu ‘alaihi wa sallam (Tidaklah sah nikahnya seseorang kecuali dengan wali yang

syuhud).

Dan diantara yang lainnya berkata bahwa sesungguhnya memerdekakan budak yang kafir

tidak sah dalam kifarat zhihar menurut imam Syafi’i, karena mengandung mutlak

sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’ala (“maka merdekakanlah budak”)

sedangkan kifarat qital sebagaimana firman Allah yakni: “(maka merdekakanlah budak

perempuan yang mukmin”) dan telah dijelaskan masalah ini di catatan kaki.

Dan diantaranya yang lain: Bahwa sesungguhnya apabila seorang tuan memiliki budak

kafir maka tidak wajib baginya shodaqoh fitri untuk budak tersebut menurut imam Syafi’i.

Karena ada riwayat yang menafikan dari Malik dari Ibnu ‘Umar RA, bahwa sesungguhnya

Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: (“Tunaikanlah shodaqoh fitri dari yang

merdeka semuanya tetapi budak setengah sha’ dari gandum”) dan ada yang riwayat juga

(“Tunaikanlah shodaqoh fitri pada semua yang merdeka, sedangkan untuk budak dari

orang-orang muslim adalah setengah sha’ dari biji gandum”)

Maka imam Syafi’i memberlakukan mutlak daripada muqoyyad sedangkan Iman Abu

Hanifah RA tidak memberlakukan hal tersebut dan tidak pula mensyaratkan dengan iman.

Masalah 56

Imam Syafi'i RA berpendapat: bahwa persaksian seorang wanita adalah syahadah

dhoruriyah (dipakai ketika darurat) bukan ashliyah.

Dalil imam Syafi'i ada 2:

1. Bahwa persaksian itu wilayah agama dan amanah syar'i. Tidak bisa kecuali bagi orang

yang sempurna hal (keadaan seseorang), karena saksi itu melakukan tindakan atas

6
Ibid, hal. 233-235

7
perkataan orang lain dan mencari kebenaran perkataan yang benar lagi berfaedah untuk

kebenaran berita: (perempuan/wanita adalah orang-orng yang kurang dalam berpikir

dan agama.) Karena itulah persaksian wanita tidak diterima dalam banyak perkara,

dikarenakan kelalaian, kelinglungan dan lemahnya dalam berpikir dan diterima

kesaksiannya harus 2 orang yang setara 1 orang laki-laki.

2. Kesaksian itu kedudukannya tinggi (qodhi) atau pastinya seorang hakim harus pintar,

adil, dan focus dalam membahas perkara, sedangkan kebiasaan tabarruj (besolek)

mencegah perempuan menduduki itu (maka asal menerima persaksian perempuan

muskil "masalah" kekurangan yang dimiliki itulah yang melarang diterimanya saksi

perempuan dalam semua masalah sama seperti budak) dari itu maka menerima

kesaksian mereka keluar dari qiyas.

wajib mendatangkan nash (al-Quran atau hadits) dan didalam nash tidak ada menjelaskan

persaksian perempuan kecuali dalam masalah harta seperti jual beli dan hutang dengan

jaminan dan lain-lain yang menyerupai jual beli.

Pendapat imam Hanafi RA: Kesaksian perempuan adalah kesaksian asliyyah bukan

dhoruri, dengan dalil, wajibnya mengerjakan kesaksian perempuan setara dengan

kesaksian seorang laki-laki, dan adapun kekurangan perempuan dari kekurangan tadi

seperti lalai, linglung, dan lainnya ditutupi dengan yang lainnya. Sebagaimana firman

Allah subhaanahu wa ta’ala: (bahwa apabila sesorang lupa maka seseorang lainnya

mengingatkan)

Dan bercabanglah dari hal ini 2 masalah:

Salah satu dari keduanya adalah: bahwa sesungguhnya nikah tidak diakadkan dengan

persaksian 1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan sebagaimana yang telah disebutkan

tadi. Dan menurut mazhab ini hal demikian terakad. Begitupula halnya dengan talak,

wasiat, wakil mewakilkan, dan semua hak yang bukan berkenaan dengan harta.

8
Kedua: bahwa sesungguhnya persaksian qobilah salah satunya tidak diterima. Menurut

imam Hanafi diterima hingga sampai dengannya ketetapkan nasab, warisan, dan talak

dengan wiladah.

Masalah 67

Mazhab Hanafiyyah berpendapat bahwa hukum sesuatu itu beredar bersama ada sebab dan

tidak ada sebab. Maka, adanya sebab sesuatu berimplikasi terhadap adanya sesuatu dan

ketiadaan sebab berimplikasi terhadap ketiadaan sesuatu, hal ini didasari dengan adanya

sebab, ada musabbab; dan ternafi sebab berarti ternafi musabbab.

Dan menurut mazhab Syafii, bukan seperti itu, karena berhujjah dengan hakikat asal, maka

hukum-hukum dan sebab-sebab itu mengikuti hakikat-hakikat baik secara panca indra dan

hakikat. Dan pada persoalan ada sebab, ada musabbab dan tidak ada sebab, tidak ada

musabbab (pendapat Abu Hanifah) itu menjadikan matbu' (yang diikut) sebagai tabi' (yang

mengikuti), hal itu merupakan membalikkan hakikat.

Beberapa masalah tercabang dari ushul ini :

1. Orang yang kena musibah dengan perihal dosa, apabila hilang keperawanan perempuan

dengan sebab zina, maka dalam mazhab kami (Syafi’i), si perempuan mesti disuruh

menuturkan iya atau tidak (jika dilamar) karena ada hakikat janda (dihukumi dengan

hukum janda karena hakikat). Dan menurut mazhab Hanafi, si perempuan dinikahkan

seperti hukum anak gadis (perawan) dan cukup dengan diamnya perempuan (isyarat

ridho). Karena dia di watho' (taat) tanpa sangkut paut hukum kepemilikan (suami istri),

tidak ada pembatasan apapun. Bandingan perkara ini adalah ‫ وثبة‬dan ‫طفرة‬, maka tidak

hilang keperawanan perempuan.

7
Ibid, hal. 236-237

9
2. Diantaranya masalah: bahwa menikahi saudara perempuan dalam masa iddah saudara

perempuan yang di thalaq bain adalah boleh menurut kita (Syafi’i) karena yang haram

adalah mengumpulkan pada sebab keturunan watho’, pada watho’ yang dimaksudkan

dengan ini sebab dan sungguh hilanglah demikian hakikatnya. Dan menurut mereka

(mahzab Hanafi) tidak boleh karena iddah merupakan kekhususan hukum nikah, maka

dijadikan kekalnya iddah menempati posisi kekal asalnya nikah pada keharaman

mengumpulkan (2 kakak beradik dalam satu nikah).

3. Diantaranya: Apabila ditalak perempuan merdeka 3 kali kemudian si laki-laki menikahi

perempuan budak pada masa iddahnya perempuan merdeka maka boleh. Dan menurut

imam Abu Hanifah tidak boleh.

4. Diantaranya: sesungguhnya perempuan yang mengkhulu’ (gugat cerai dengan harta

benda) tidak mengikuti akan perempuan oleh talak sharih karena hilangnya hakikat

nikah. Dan menurut mereka (mahzab Hanafi) mengikuti talak sharih akan perempuan

selama masa iddah sebagaimana kami sebutkan.

5. Diantaranya: Sesungguhnya mabtutah (barang rumah tangga) pada sakit mau mati tidak

diwariskan menurut kami (mazhab Syafi’i). Dan menurut mereka diwariskan, selama

masa iddah berlangsung (mazhab Hanafi).

Masalah 78

Apabila berlaku lafaz antara makna syar’i dan makna bahasa: dikuatkan atas makna syar’i

selain bahasa, menurut kami, karena sudah kami sebutkan niat pada malamnya. Dan

menurut madzhab Abu Hanifah RA bahwasanya menguatkan atas bahasa majaz, dan

hakikat perkataan bahwa menunjukkan dalil atas majaz. Dan cabang dari asal masalah-

masalah ini diantaranya: bahwasanya pezina tidak diwajibkan mahar perkawainan menurut

8
Ibid, hal. 238-240

10
kami. Dan menurut mereka diwajibkan. Dan ruang lingkup kedua perbedaannya

disebutkan tafsir nikah, sebagai mana Allah berfirman: “dan janganlah kamu kawini

wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu kecuali pada masa yang telah lampau”.

Abu Hanifa RA berkata: 1. Nikah itu maknanya jima’, bahwasanya mengambil dari kata

berkumpul, dan berkumpul juga. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman: “sampai mereka

cukup umur untuk kawin”. nikah yang kami maksud itu nikah pada syar’i yakni akad,

maka akad itulah penyebab terjadinya jima’, maka diibaratkan adanya sebab akad menjadi

penyebab adanya jima’.

Imam syafi’i berkata maknanya akad, bahwasanya tidak dimaksudkan pada syar’i kecuali

yang dimaksud akad, Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “tidak ada nikah

kecuali dengan wali, dan saksi-saksi”, dan dia berkata: kami menghadiri nikah fulan dan

sesungguhnya dimaksud dengan akad, maka dipalingkan daripada ucapan kepadanya,

seperti lafaz shalat dan puasa, dan sesungguhnya ucapan keduanya mengandung atas shalat

yang diwajibakan dan puasa yang diwajibkan, selain bahasa, dan Allah subhaanahu wa

ta’ala berfirman: “sampai mereka cukup umur untuk kawin”. Dan sabda Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam (“bahwasanya onani dilaknat”). Bahwa sesungguhnya

menyerupai jima’, tapi tidak menyerupai akad.

Yang ke 2, bahwasanya orang yang sedang ihram tidak dibolehkan baginya menikah dan

menikahkan menurut kami. Seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “tidak

menikah bagi orang ihram dan tidak menikahkan”.

Dan menurut mereka, dibolehkan karena nikah itu merupakan jima’ bukan akad dan

menurut Abu Hanifah RA lafaz nikah berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’ala:

“dan barang siapa diantara kamu yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini

wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini budak wanita beriman”. Sehingga

dibolehkan menikah hamba dengan tidak takut miskin.

11
MASALAH MAHAR

Masalah 19

Mahar menurut Imam Syafi’ RA semata-mata hak perempuan untuk memerdekakannya

dan menggugurkan statusnya, dan bahwasanya mahar itu bermanfaat baginya.

Sedangkan imam Abu Hanifah berkata bahwasanya pada dasarnya mahar itu hak Allah,

dan terkadang, berkata: wajib bagi Allah subhaanahu wa ta’ala, dan wajib bagi

perempuan, dan alasannya bahwsanya mahar itu wajib, tidak sekedar diwajibkan baginya,

bahkan diwajibkan oleh syar’i, sehingga walaupun keduanya sepakat tidak ada mahar,

mahar itu tetap wajib.

Dan cabang dari masalah-masalah ini:

Diantaranya:

1. Bahwasanya mahar tidak ditetapkan bagi kami, bahkan boleh sedikit atau banyak. Dan

menurut mereka ditetapkan paling sedikit 10 dirham, sehingga jika disebutkan wajib

dibayar. Penyebabnya: bahwasanya harta yang sedikit baginya dipertimbangkan syar’i,

sehingga orang mencuri dipotong tangannya.

2. Apabila sesorang perempuan dipinang dengan selain mahar misil (jumlah mahar sesuai

dengan saudarinya), dan dia ikhlas maka mahar wajib baginya atas ayahnya yang

menikahkannya menurut kami, jika ayahnya enggan maka dinikahkan hakim. Dan

menurut mereka tidak lazim untuk menghadiri undangan tersebut.

9
Ibid, hal. 241-242

12
MASALAH-MASALAH IKHTILAF DUA NEGARA10

Permasalah dua negara, yang saya maksud negara Islam dan negara kafir- tidak wajib

menjelaskan hukum pernikahan menurut Syafi’i. Alasannya: karena tempat tersebut tidak

ada hukum baginya antara negeri pembangkang dan adil dan sesungguhnya hukum itu

milik Allah subhaanahu wa ta’ala, dan dakwah Islam tertuju pada orang kafir dimanapun

dia berada. Dan Abu Hanifah RA: wajib menjelaskan hukum pernikahan.

Alasan demikian karena adanya hakikat dan hukum, tempat orang meninggal dan

meninggal memutuskan kepemilikan harta, maka demikian menjelaskan dua negara.

Berkata: pada dasarnya raja menguasai atas kerajaannya dan menguasai memutuskan

negeri hakikat atau hukum. Adapun negeri hakikat terlepas dari kekusaan raja, adapun

negeri hukum: terlepas dari wilayah kekuasaannya.

Dan cabang dari permasalahan ini:

1. Apabila ada hijrah salah seorang suami istri muslim atau kafir zimmi dan ikhtilaf

lainnya di negara kafir, tidak terputus nikahnya menurut kami. Dan apakah terputus

disisi mereka? Negara yang menjelaskan.

2. Apabila kafir harbi masuk Islam, dan keluar pada kita dan hartanya ditinggalkan di

negaranya, kemudian jelas orang muslim berada di negara asalnya, bahwasanya

hartanya tidak menjadi hartanya. Dan menurut mereka: menjadi miliknya, dan menjadi

harta rampasan perang.

3. Siapa yang Islam di negeri kafir, dan dia tidak hijarah ke negeri Islam, maka dia wajib

terjaga atas diyat dan qishas, dan atas kerusakan harta dan ganti rugi seperti mana di

negeri Islam.

Abu Hanifah RA: haram membunuhnya dan mengambil hartanya, akan tetapi tidak wajib

ganti rugi.

10
Ibid, hal. 243-244

13
REFERENSI

Imam Abi al-Manaqib Syihabuddin Mahmud ibn Ahmad az-Zanjani, Takhrij al-Furu’ ‘ala

al-Ushul, Riyadh: Maktabah Obekan, 2006.

14

Anda mungkin juga menyukai