Bab Nikah (Mohd. Rafi Riyawi)
Bab Nikah (Mohd. Rafi Riyawi)
bukan sebuah bentuk larangan dari kebalikan sesuatu tersebut, dan larangan dari sesuatu
itu juga bukan bentuk dari perintah dari lawannya sesuatu tersebut. Dengan dalil bahwa
lagi akibatnya yang datang dari lawan bentuk perintah tersebut, baik karena bingung
ataupun berhenti. Maka bagaimana menjadikan perintah atau larangan dari sesuatu
bersangkutan dengan lainnya, dengan ketidaktahuan atau merasa heran dengan perintah
pekerjaan itu juga butuh kepada larangan dari lawannya perkara tersebut jika perkara
tersebut memiliki lawan, namun jika perkara itu hanya memiliki satu lawan maka perintah
tadi butuh kepada larangan dari kebalikannya, dan begitu juga perihal larangan
membutuhkan perihal perintah dari lawan perkara tersebut berdasarkan perincian yang
menjelaskannya.
Dan berijtihad mereka dalam perkara tersebut, bahwa barang siapa yang menyuruh
orang lain untuk keluar dari rumah (kampung), maka makruhlah dari orang tersebut akan
segala perkara kebalikannya baik berdiri dan duduk dan baring, karena dia tidak
mustahil berkumpul diantara dua perkara tersebut dalam satu urusan. Hal ini memunculkan
cabang permasalahan diantaranya: (1) ada yang berpandangan bahwa mensucikan dirinya
dari ibadah-ibadah yang sunnah adalah lebih baik dari pada menikah karena nikah itu bisa
jadi mubah atau sunnah tergantung untuk menjaga diri atau mengikuti hawa nafsu.
1
Imam Abi al-Manaqib Syihabuddin Mahmud ibn Ahmad az-Zanjani, Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul,
Riyadh: Maktabah Obekan, 2006, hal. 221-223
1
Perkara-perkara tersebut disunnahkan untuk perempuan dengan niat lillahi ta’ala.
Sebagian lain berpandangan nikah itu lebih utama, kerena zina itu dilarang dan haram dan
sedangkan barangsiapa yang meninggalkan nikah tidak berdosa. Mereka berkata: maka
batal pendapat wajib nikah tadi lalu kami jawab siapa yang meninggalkan nikah sepanjang
umurnya dan mati tanpa menikah maka dia akan dihukum di akhirat. Diantara mereka juga
berpendapat bahwa menjatuhkan talak tiga boleh disisi kami karena memutuskan nikah itu
mubah. Dan diantara mereka: haram dan bid’ah karena terkandung didalamnya
memutuskan kemaslahatan yang wajib didirikan dengan “kulliyat” (penetapan hukum atas
sesuatu secara satu-persatu). Tercakuplah dalam kalimat kuliiyat dimaknakan berpisah dan
kalau kita katakan: nikah itu menghilangkan akhlak dan menghasilkan kerusakan maka
Mereka menjawab nikah itu bukan membawa kerusakan baik dari segi sifat nikah
itu sendiri, dan dari segi apa-apa yang dikhususkan dari hukun-hukum nikah itu sendiri,
karena kalaulah nikah itu membuat kerusakan tentu syaria’at akan melarang kita menikah
Masalah 12
Riwayat asal apabila ia mengingkari riwayat cabang maka akan dikatakan ingkar jahid,
yakni pengingkaran yang pasti dan dusta bagi perawi yang tidak mengamalkannya, dan
2
Ibid, hal. 224-225
2
mendustai si perawi, masing-masing keduanya adil, dan apabila saling berdusta maka tidak
Adapun apabila ingkarnya itu mutawaqqif seperti berkata (saya tidak ingat) atau (saya
tidak mengetahuinya) maka diamalkan dengannya hadits itu menurut imam Syafi’i.
Hujjahnya adalah sesungguhnya khabar atau adil rawi dan sungguh mungkin
kalau benar riwayat asal dan karena adil cabang itu tetap berdasarkan kepastian dan
keyakinan, dan terhenti asal tidak menunjukkan ia atas kebohongan, jika karena tidak
diingkari dengan tingkat jahid, maka boleh jadi sesungguhnya khabar yang diceritakan
gurunya kemudian muridnya lupa terhadap khabar tersebut karena manusia itu bersifat
Dan ulama hanafiah berpendapat bahwa: sesungguhnya khabar (diingkari dengan ingkar
1. Mereka mengatakan: kalau adalah hadits itu hujjah pada hak selain Syekh/guru maka
hadis itu hujjah ada hak syekh. Penggambarannya: syekh itu adalah sumber
periwayatan. Apabila batal hadits pada Syekh, maka batal sumber periwayatan lainnya
mutawaqqif mereka berkata: (kami tidak ingat) dan (kami tidak hafal) niscaya tidak
boleh bagi hakim mengamalkan kesaksian saksi-saksi cabang maka seperti itu juga
hadits.
Batal nikah dengan tanpa wali menurut iman Syafi’i karena riwayat Sulaiman bin Musa
Az-Zuhri dari Nabi. Sesungguhnya Nabi bersabda: “yang mana perempuan kamu nikahi
3
tanpa izin walinya maka nikahnya batal, batal, batal. Maka jika ia menyentuh perempuan
maka wajib untuk perempuan itu mahar dengan sebab apa yang terlepas dari farajnya
perempuan, maka jika berpergian mereka wali maka sultan adalah wali bagi orang yang
Sedangkan Abu Hanifah mengikuti qiyas dan tidak sependapat dengan kehujjahan hadits
Masalah 23
Mahzab Syafi’i RA mengatakan bahwasannya memaksa kewalian pada anak perempuan Commented [u1]:
kandung adalah pada statusnya (gadis tau janda) bukan karena usianya (artinya seandainya
masih gadis walaupun sudah tua maka sang wali boleh memaksa untuk menikahkannya,
namun seandainya masih kecil tapi tidak lagi perawan atau sudah janda maka tidak boleh
dipaksa).
Hujjah imam Syafi’i pada masalah demikian adalah: menikahkan anak perempuan
kandung itu termasuk perkara yang mudharat. Tinjauannya adalah menikah itu menjadikan
perempuan seperti budak dan menghinakannya tanpa ada alasan yang menyeru pada hal
demikian. Sedangkan kewalian tetap atas anak kecil itu karena memandang bagi wali dan
untuk mendirikan apa yang dibutuhkan wali bukan untuk menolak apa yang menjadi
mudharat tetapi untuk mendatangkan hajat dikarenakan kekuasaan wali terhadap anak
kecil itu dari segi kebutuhan bukan dari segi mudharatnya sehingga wali tidak memiliki
hibah harta anak kecil karena itu adalah mudharat karena memberikan harta kepada orang
lain artinya mengurangi harta. Dan jika wali menerima hibah harta bagi anak kecil maka
boleh menerima karena itu merupakan suatu hajat. Dia tidak boleh menjual harta anak
kecil dengan kerugian yang keji karena itu adalah mudharat. Dia tidak memiliki hak
3
Ibid, hal. 226-227
4
menalak dan memerdekakan anak kecil karena itu tidak berhubungan dengan keduanya
menolak hajat anak kecil. Sedangkan nikah termasuk golongan sesuatu yang tidak ada
hubunganya untuk menolak hajat anak kecil maka itu tidak bisa dijadikan alasan untuk
memaksa.
Masalah 34
Mazhab Syafi’i RA mengatakan bahwa sesungguhnya kedekatan kerabat itu ditinjau pada
keharusan seseorang tersebut untuk menikahkan orang yang diwalikan. Dan ayah harus
menikahkan perempuan. Alasannya adalah keharusan kakek ketika tidak ada ayah, maka
kakek tersebut keharusannya bukan karena tidak ada yang lebih dekat tapi karena memang
Diantaranya: bahwa sesungguhnya selain ayah dan kakek tidak bisa menikahkan anak
Dan diantaranya masalah yang lain adalah wali yang paling dekat seandainya tidak ada di
tempat, yakni ketiadaan yang teputus (tidak selamanya ghoib, bukan meninggal)
kewaliannya tidak batal dan tidak berpindah kepada yang dekat denganya tetapi hakimlah
yang menikahkan perempuan karena menggantikan wali yang paling dekat. Sedangkan
menurut imam Abu Hanifah wali boleh berpindah ke kerabat yang jauh.
4
Ibid, hal. 228-229
5
Masalah 45
Mahzab Hanafiyyah mengatakan bahwa mutlak dan muqoyyad apabila datang pada satu
masalaah maka tidaklah berlaku mutlak tetapi berlaku muqoyyad karena kalam Al Hakim
maknanya/pemahamannya sesuai dengan yang dikehendaki oleh kalam itu. Dan apabila
lawannya mutlak berarti itlak, tetapi jika lawannya muqoyyad berarti taqyid.
Dan imam Syafi’i RA berkata: berlaku mutlak bukan muqoyyad, karena bahwa
sesungguhnya perkatan Al-Hakim apabila ia menambah suatu kalam itu untuk menambah
penjelasan. Maka tidaklah baik membatalkan penambahan kalam itu tapi menjadikan
perkataan itu seolah-olah perkataan keduanya (muqoyyad dan mutlak) secara bersamaan,
karena positifnya muqoyyad itu pasti tapi positifnya mutlak masih mengandung
menurut imam Syafi’i RA dengan dalil sebagaiman sabda Rasulullaah shallallahu ‘alaihi
wa sallam: Tidaklah sah nikah kecuali dengan wali dan 2 orang saksi yang adil. Jadi
sesungguhnya mengkaitkan kesaksian dengan saksi yang adil. Menurut pendapat yang
lain: terakad atau sah, karena mutlak sesuai dengan perkataan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam: Tidaklah sah menikah kecuali dengan keberadaan atau kesaksian wali.
Dan imam Syafi’i RA tidak memakai mutlak tetapi memakai muqoyyad (karena suatu
Dan diantaranya yang lain mengatakan bahwa orang fasik tidak boleh hadir atau ikut
shallallahu ‘alaihi wa sallam: (“Tidaklah sah nikahnya seseorang kecuali dengan wali
5
Ibid, hal. 230-232
6
Dan berkata Abu Hanifah RA: Boleh, karena mutlak sebagaimana perkataan Rasulullaah
shallallahu ‘alaihi wa sallam (Tidaklah sah nikahnya seseorang kecuali dengan wali yang
syuhud).
Dan diantara yang lainnya berkata bahwa sesungguhnya memerdekakan budak yang kafir
tidak sah dalam kifarat zhihar menurut imam Syafi’i, karena mengandung mutlak
sedangkan kifarat qital sebagaimana firman Allah yakni: “(maka merdekakanlah budak
perempuan yang mukmin”) dan telah dijelaskan masalah ini di catatan kaki.
Dan diantaranya yang lain: Bahwa sesungguhnya apabila seorang tuan memiliki budak
kafir maka tidak wajib baginya shodaqoh fitri untuk budak tersebut menurut imam Syafi’i.
Karena ada riwayat yang menafikan dari Malik dari Ibnu ‘Umar RA, bahwa sesungguhnya
Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: (“Tunaikanlah shodaqoh fitri dari yang
merdeka semuanya tetapi budak setengah sha’ dari gandum”) dan ada yang riwayat juga
(“Tunaikanlah shodaqoh fitri pada semua yang merdeka, sedangkan untuk budak dari
Maka imam Syafi’i memberlakukan mutlak daripada muqoyyad sedangkan Iman Abu
Hanifah RA tidak memberlakukan hal tersebut dan tidak pula mensyaratkan dengan iman.
Masalah 56
1. Bahwa persaksian itu wilayah agama dan amanah syar'i. Tidak bisa kecuali bagi orang
yang sempurna hal (keadaan seseorang), karena saksi itu melakukan tindakan atas
6
Ibid, hal. 233-235
7
perkataan orang lain dan mencari kebenaran perkataan yang benar lagi berfaedah untuk
dan agama.) Karena itulah persaksian wanita tidak diterima dalam banyak perkara,
2. Kesaksian itu kedudukannya tinggi (qodhi) atau pastinya seorang hakim harus pintar,
adil, dan focus dalam membahas perkara, sedangkan kebiasaan tabarruj (besolek)
muskil "masalah" kekurangan yang dimiliki itulah yang melarang diterimanya saksi
perempuan dalam semua masalah sama seperti budak) dari itu maka menerima
wajib mendatangkan nash (al-Quran atau hadits) dan didalam nash tidak ada menjelaskan
persaksian perempuan kecuali dalam masalah harta seperti jual beli dan hutang dengan
Pendapat imam Hanafi RA: Kesaksian perempuan adalah kesaksian asliyyah bukan
kesaksian seorang laki-laki, dan adapun kekurangan perempuan dari kekurangan tadi
seperti lalai, linglung, dan lainnya ditutupi dengan yang lainnya. Sebagaimana firman
Allah subhaanahu wa ta’ala: (bahwa apabila sesorang lupa maka seseorang lainnya
mengingatkan)
Salah satu dari keduanya adalah: bahwa sesungguhnya nikah tidak diakadkan dengan
persaksian 1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan sebagaimana yang telah disebutkan
tadi. Dan menurut mazhab ini hal demikian terakad. Begitupula halnya dengan talak,
wasiat, wakil mewakilkan, dan semua hak yang bukan berkenaan dengan harta.
8
Kedua: bahwa sesungguhnya persaksian qobilah salah satunya tidak diterima. Menurut
imam Hanafi diterima hingga sampai dengannya ketetapkan nasab, warisan, dan talak
dengan wiladah.
Masalah 67
Mazhab Hanafiyyah berpendapat bahwa hukum sesuatu itu beredar bersama ada sebab dan
tidak ada sebab. Maka, adanya sebab sesuatu berimplikasi terhadap adanya sesuatu dan
ketiadaan sebab berimplikasi terhadap ketiadaan sesuatu, hal ini didasari dengan adanya
Dan menurut mazhab Syafii, bukan seperti itu, karena berhujjah dengan hakikat asal, maka
hukum-hukum dan sebab-sebab itu mengikuti hakikat-hakikat baik secara panca indra dan
hakikat. Dan pada persoalan ada sebab, ada musabbab dan tidak ada sebab, tidak ada
musabbab (pendapat Abu Hanifah) itu menjadikan matbu' (yang diikut) sebagai tabi' (yang
1. Orang yang kena musibah dengan perihal dosa, apabila hilang keperawanan perempuan
dengan sebab zina, maka dalam mazhab kami (Syafi’i), si perempuan mesti disuruh
menuturkan iya atau tidak (jika dilamar) karena ada hakikat janda (dihukumi dengan
hukum janda karena hakikat). Dan menurut mazhab Hanafi, si perempuan dinikahkan
seperti hukum anak gadis (perawan) dan cukup dengan diamnya perempuan (isyarat
ridho). Karena dia di watho' (taat) tanpa sangkut paut hukum kepemilikan (suami istri),
tidak ada pembatasan apapun. Bandingan perkara ini adalah وثبةdan طفرة, maka tidak
7
Ibid, hal. 236-237
9
2. Diantaranya masalah: bahwa menikahi saudara perempuan dalam masa iddah saudara
perempuan yang di thalaq bain adalah boleh menurut kita (Syafi’i) karena yang haram
adalah mengumpulkan pada sebab keturunan watho’, pada watho’ yang dimaksudkan
dengan ini sebab dan sungguh hilanglah demikian hakikatnya. Dan menurut mereka
(mahzab Hanafi) tidak boleh karena iddah merupakan kekhususan hukum nikah, maka
dijadikan kekalnya iddah menempati posisi kekal asalnya nikah pada keharaman
perempuan budak pada masa iddahnya perempuan merdeka maka boleh. Dan menurut
benda) tidak mengikuti akan perempuan oleh talak sharih karena hilangnya hakikat
nikah. Dan menurut mereka (mahzab Hanafi) mengikuti talak sharih akan perempuan
5. Diantaranya: Sesungguhnya mabtutah (barang rumah tangga) pada sakit mau mati tidak
diwariskan menurut kami (mazhab Syafi’i). Dan menurut mereka diwariskan, selama
Masalah 78
Apabila berlaku lafaz antara makna syar’i dan makna bahasa: dikuatkan atas makna syar’i
selain bahasa, menurut kami, karena sudah kami sebutkan niat pada malamnya. Dan
menurut madzhab Abu Hanifah RA bahwasanya menguatkan atas bahasa majaz, dan
hakikat perkataan bahwa menunjukkan dalil atas majaz. Dan cabang dari asal masalah-
masalah ini diantaranya: bahwasanya pezina tidak diwajibkan mahar perkawainan menurut
8
Ibid, hal. 238-240
10
kami. Dan menurut mereka diwajibkan. Dan ruang lingkup kedua perbedaannya
disebutkan tafsir nikah, sebagai mana Allah berfirman: “dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu kecuali pada masa yang telah lampau”.
Abu Hanifa RA berkata: 1. Nikah itu maknanya jima’, bahwasanya mengambil dari kata
berkumpul, dan berkumpul juga. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman: “sampai mereka
cukup umur untuk kawin”. nikah yang kami maksud itu nikah pada syar’i yakni akad,
maka akad itulah penyebab terjadinya jima’, maka diibaratkan adanya sebab akad menjadi
Imam syafi’i berkata maknanya akad, bahwasanya tidak dimaksudkan pada syar’i kecuali
yang dimaksud akad, Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “tidak ada nikah
kecuali dengan wali, dan saksi-saksi”, dan dia berkata: kami menghadiri nikah fulan dan
seperti lafaz shalat dan puasa, dan sesungguhnya ucapan keduanya mengandung atas shalat
yang diwajibakan dan puasa yang diwajibkan, selain bahasa, dan Allah subhaanahu wa
ta’ala berfirman: “sampai mereka cukup umur untuk kawin”. Dan sabda Rasulullah
Yang ke 2, bahwasanya orang yang sedang ihram tidak dibolehkan baginya menikah dan
menikahkan menurut kami. Seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “tidak
Dan menurut mereka, dibolehkan karena nikah itu merupakan jima’ bukan akad dan
menurut Abu Hanifah RA lafaz nikah berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’ala:
“dan barang siapa diantara kamu yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini
wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini budak wanita beriman”. Sehingga
11
MASALAH MAHAR
Masalah 19
Sedangkan imam Abu Hanifah berkata bahwasanya pada dasarnya mahar itu hak Allah,
dan terkadang, berkata: wajib bagi Allah subhaanahu wa ta’ala, dan wajib bagi
perempuan, dan alasannya bahwsanya mahar itu wajib, tidak sekedar diwajibkan baginya,
bahkan diwajibkan oleh syar’i, sehingga walaupun keduanya sepakat tidak ada mahar,
Diantaranya:
1. Bahwasanya mahar tidak ditetapkan bagi kami, bahkan boleh sedikit atau banyak. Dan
menurut mereka ditetapkan paling sedikit 10 dirham, sehingga jika disebutkan wajib
2. Apabila sesorang perempuan dipinang dengan selain mahar misil (jumlah mahar sesuai
dengan saudarinya), dan dia ikhlas maka mahar wajib baginya atas ayahnya yang
menikahkannya menurut kami, jika ayahnya enggan maka dinikahkan hakim. Dan
9
Ibid, hal. 241-242
12
MASALAH-MASALAH IKHTILAF DUA NEGARA10
Permasalah dua negara, yang saya maksud negara Islam dan negara kafir- tidak wajib
menjelaskan hukum pernikahan menurut Syafi’i. Alasannya: karena tempat tersebut tidak
ada hukum baginya antara negeri pembangkang dan adil dan sesungguhnya hukum itu
milik Allah subhaanahu wa ta’ala, dan dakwah Islam tertuju pada orang kafir dimanapun
dia berada. Dan Abu Hanifah RA: wajib menjelaskan hukum pernikahan.
Alasan demikian karena adanya hakikat dan hukum, tempat orang meninggal dan
Berkata: pada dasarnya raja menguasai atas kerajaannya dan menguasai memutuskan
negeri hakikat atau hukum. Adapun negeri hakikat terlepas dari kekusaan raja, adapun
1. Apabila ada hijrah salah seorang suami istri muslim atau kafir zimmi dan ikhtilaf
lainnya di negara kafir, tidak terputus nikahnya menurut kami. Dan apakah terputus
2. Apabila kafir harbi masuk Islam, dan keluar pada kita dan hartanya ditinggalkan di
hartanya tidak menjadi hartanya. Dan menurut mereka: menjadi miliknya, dan menjadi
3. Siapa yang Islam di negeri kafir, dan dia tidak hijarah ke negeri Islam, maka dia wajib
terjaga atas diyat dan qishas, dan atas kerusakan harta dan ganti rugi seperti mana di
negeri Islam.
Abu Hanifah RA: haram membunuhnya dan mengambil hartanya, akan tetapi tidak wajib
ganti rugi.
10
Ibid, hal. 243-244
13
REFERENSI
Imam Abi al-Manaqib Syihabuddin Mahmud ibn Ahmad az-Zanjani, Takhrij al-Furu’ ‘ala
14