Anda di halaman 1dari 25

BAB III

LANDASAN TEORI

3.1. Massa Batuan


Massa batuan merupakan volum batuan yang terdiri dan material batuan
berupa mineral, tekstur dan komposisi dan juga terdiri dari bidang-bidang
diskontinu, membentuk suatu material dan saling berhubungan dengan semua
elemen sebagai suatu kesatuan. Massa batuan pada dasarnya adalah batuan utuh
yang dipisahkan satu dan lainnya oleh diskontinuitas dengan perilaku yang berbeda.
Sifat-sifat massa batuan tidak hanya tergantung pada sifat-sifat batuan utuh
dan diskontinuitas secara terpisah, tetapi merupakan kombinasi kedua faktor
tersebut secara bersamaan. Palmstorm (2001) menjelaskan konsep massa batuan
yang idealnya merupakan susunan dari sistem blok-blok dan fragmen-fragmen
batuan yang dipisahkan oleh bidang-bidang diskontinu yang masing-masing saling
bergantung sebagai sebuah kesatuan unit. (Lihat Gambar 3.1)

Gambar 3.1
Konsep Pembentukan Massa Batuan (Palmstrom, 2001)

Kekuatan massa batuan sangat dipengaruhi oleh frekuensi bidang-bidang


diskontinu yang terbentuk. Jika massa batuan dikenai beban maka kurva tegangan-
regangan tidak akan sama dengan batuan utuh pada kondisi beban yang sama.
Modulus deformasi massa batuan akan lebih rendah dibanding batuan utuh,
demikian juga kekuatan maksimal batuan. Massa batuan akan mempunyai kekuatan

17
yang lebih kecil bila dibandingkan dengan batuan utuh. Menurut Hoek & Bray
(1981) dalam Sitohang (2008), massa batuan adalah batuan insitu yang dijadikan
diskontinu oleh sistem struktur seperti joint, sesar dan bidang perlapisan. (Lihat
Gambar 3.2.)

Gambar 3.2.
Kondisi Massa Batuan Berdasarkan Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown
(Hoek,1994)

3.2. Klasifikasi Massa Batuan


Dalam menggunakan Klasifikasi massa batuan, disarankan untuk
menggunakan lebih dari satu jenis klasifikasi massa batuan. Terdapat
6 (enam) klasifikasi massa batuan yang biasa digunakan untuk keperluan desain
rekayasa batuan. Klasifikasi beban batuan atau Rock Load Classification

18
merupakan sistem klasifikasi praktis pertama yang dikenalkan dan secara dominan
digunakan di Amerika Serikat lebih dari 35 tahun. Klasifikasi Stand Up Time
Classification yang diusulkan oleh Lauffer (1958) berdasarkan pada hasil penelitian
Stini (1950) merupakan langkah yang sangat baik dalam perencanaan lubang
bukaan karena konsep yang diperkenalkan lebih relevan pada penentuan tipe dan
jumlah penyangga terowongan. Klasifikasi Rock Quality Designation (RQD) yang
diusulkan oleh Deere (1967), merupakan metode sederhana dalam mendeskripsikan
kualitas ini batuan dari lubang bor. Untuk RQD yang diusulkan oleh Prinest and
Hudson (1976) mendekripsikan kualitas batuan secara tidak langsung berdasarkan
jumlah total kekar per meter yang terdapat pada dinding lereng ataupun lubang
bukaan.
Konsep Rock Structure Rating (RSR) yang dikembangkan di Amerika Serikat
oleh Wickham, Tiedemann, dan Skinner (1972, 1974) untuk pembobotan yang
relatif penting dari klasifikasi. Klasifikasi Rock Mass Rating (RMR) yang diusulkan
oleh Bieniawski (1973, 1989) dan Q-System yang diusulkan oleh Barton, Lien, dan
Lune (1974), telah dikembangkan secara independen dan keduanya menyediakan
data kuantitatif untuk memilih tindakna perkuatan terowongan yang modern, misal
dengan menggunakan Shotcrete dan Rockbolt.
Beberapa sistem klasifikasi massa batuan menggunakan lebih dari
2 parameter, namun hal tersebut tergantung untuk kepentingannya. Klasifikasi
massa batuan dibuat untuk memenuhi kepentingan berikut:
a. Untuk mengidentifikasi parameter yang paling mempengaruhi perilaku massa
batuan
b. Untuk membagi massa batuan kedalam kelompok grup yang berperilaku sama
yaitu kelas massa batuan dengan kualitas berbeda
c. Untuk melengkapi suatu dasar pengertian karakteristik masing-masing kelas
d. Untuk menghubungkan pengalaman atas pengamanan suatu kondisi massa
batuan disatu tempat dengan lainnya
e. Untuk menghasilkan data kuantitatif untuk desain rekayasa
f. Untuk melengkapi suatu dasar umum komunikasi

19
3.3. Rock Mass Rating (Bieniawski, 1989)
Sistem Rock Mass Rating (RMR) atau yang dikenal sebagai Geomechanics
Classification terdiri dari 5 parameter utama dan 1 parameter pengontrol untuk
membagi massa batuan.
a. Kuat Tekan Batuan Utuh (UCS)
Uniaxial Compressive Strength (UCS) adalah kekuatan dari batuan utuh
(intact rock) yang diperoleh dari hasil uji UCS. Uji UCS menggunakan mesin tekan
untuk menekan sampel batuan dari satu arah (uniaxial). Nilai UCS merupakan besar
tekanan yang harus diberikan sehingga mambuat batuan pecah. Bieniawski
mengusulkan sampel yang digunakan pada pengujian Point Load Strength Index
berdiameter 50 mm. Sehingga, faktor koreksi digunakan apabila diameter sampel
tidak 50 mm dapat dihitung dari persamaan (3.1).
𝐷 0,45
𝐹 = (50) …………………………………………………………………………….. (3.1)

Keterangan : 𝜎𝑐 = Kuat tekan uniaksial (MPa)


𝐹 = Faktor koreksi
𝐷 = Diameter sampel (mm)
Selain menggunakan uji UCS, untuk menentukan kekuatan batuan utuh dapat
menggunakan point load index. Point load index merupakan kekuatan batuan yang
didapatkan dari uji point load index, sampel ditekan di satu titik. Hubungan nilai
UCS dengan pengujian kekuatan batuan dilapangan menggunakan palu geologi
pada batuan induk diberikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1.
Rating Parameter UCS dan Point Load Index pada Klasifikasi Rock Mass Rating
(RMR) (Bieniawski, 1989)
PLI (MPa) UCS (MPa) Uji Lapangan Nilai
Tidak dapat membuat takik pada batuan
> 10 >250 15
dengan palu
4 – 10 100 – 250 Dibutuhkan berkali-kali pukulan palu 12
2–4 50 – 100 Dibutuhkan lebih dari satu pukulan palu 7
Dapat dipecahkan oleh satu pukulan
1–2 25 – 50 4
palu
5 – 25 Dapat dipatahkan dengan ujung palu 2
1-5 Dapat dikupas dengan pisau lipat 1

20
<1 Dapat dipatahkan oleh ibu jari tangan 0
Berbagai peneliti yang melakukan studi hubungan PLI dan kuat tekan pada
berbagai jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2.
Persamaan hubungan kuat tekan dengan PLI untuk berbagai batuan dari berbagai
peneliti
Referensi Persamaan Tipe Batuan
Broch & Franklin (1972) 𝝈c = 24 Is (50) Batu pasir
Batuan Beku,
Bieniawski (1975) 𝝈c = 23 Is (50)
Batuan sedimen
Brook (1985) 𝝈c = 22 Is (50) -
Batu pasir,
Singh (1981) 𝝈c = 18,7 Is (50)
Shale
Vallejo et al. (1980) 𝝈c = 12,5 Is (50) Shale
Vallejo et al. (1980) 𝝈c = 17,4 Is (50) Batu Pasir
Batu Pasir dan
Kramadibrata (1992) 𝝈c = 11,82 Is (50)
Batuan Lempung
Dolostone,
Gunsallus & Kulhawy (1984) 𝝈c = 16,5 Is (50) + 51 Batu Pasir,
Batu Bamping
Batuan Sedimen,
Chargill & Shakoor (1990) 𝝈c = 23 Is (50) + 13
Batuan Metamorf
Batun Beku,
Kahraman (2001) 𝝈c = 8,41 Is (50) + 9,51 Batuan Sedimen,
Batuan Metamorf
Is (50)
Tsidzi (1990) 𝝈c = 0,03+0,0031 𝐼 (50) Batuan Metamorf
𝑠

b. Rock Quality Designation (RQD)


RQD didefinisikan sebagai presentasi panjang core utuh yang lebih dari 10 cm
tehadap panjang total core run. ISRM (International Society for Rock Mechanics)
menyarankan untuk diameter core yang dipakai dalam pengukuran minimal
54,7 mm. Perhitungan RQD mengabaikan mechanical fracture yaitu fracture yang
dibuat secara sengaja atau tidak selama kegiatan pengeboran atau pengukuran
(Hoek, dkk., 1995). Menurut Deere (1967), prosedur pengukuran RQD adalah
dengan cara membandingkan jumlah panjang inti core yang memiliki panjang
diatas 100 mm dengan panjang core run dapat dihitung dengan persamaan (3.2).
∑ 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑖𝑛𝑡𝑖 𝑐𝑜𝑟𝑒>100 𝑚𝑚
𝑅𝑄𝐷 = 𝑥100 %........................................ (3.2)
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑐𝑜𝑟𝑒 𝑟𝑢𝑛

21
Dalam menghitung nilai RQD, metode tidak langsung digunakan apabila
core logs tidak tersedia. Menurut Priest and Hudson (1976), RQD dapat ditentukan
dengan menghitung frekuensi kekar per meter yaitu;
𝑅𝑄𝐷 = 100 𝑒 −0.1𝜆 (0.1𝜆 + 1)……………………………………………. (3.3)
Keterangan, 𝜆 = jumlah total kekar per meter
Adapun hubungan antara RQD dengan kualitas massa batuan adalah yang
dikemukakan oleh Deere (1968) adalah semakin besar nilai RQD maka semakin
baik kualitas batuan tersebut (Tabel 3.3), semakin kecil nilai RQD semakin jelek
kualitas batuan tersebut.
Tabel 3.3.
Kualitas Massa Batuan Berdasarkan Nilai RQD (Deere, 1968)
RQD (%) Rock Quality
<25 Very poor
25 – 50 Poor
50 – 75 Fair
75 – 90 Good
90 – 100 Excellent

c. Jarak diskontinu / kekar


Jarak bidang diskontinu adalah jarak tegak lurus antara bidang diskotinu yang
memiliki kesamaan strike (satu keluarga) yang beruntun sepanjang garis scanline
yang dibuat sembarang.
d. Kondisi air tanah
Debit aliran air tanah atau tekanan air tanah akan mempengaruhi kekuatan
massa batuan. Oleh sebab itu, perlu diperhitungkan dalam klasifikasi massa batuan.
Pengamatan terhadap kondisi air tanah ini dapat dilakukan dengan
3 cara yaitu :
 Inflow per 10 m tunnel length menunjukkan banyaknya aliran air yang
teramati setiap 10 meter panjang terowongan. Semakin banyak aliran air yang
mengalir, maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan semakin kecil
 Joint Water Pressure semakin besar nilai tekanan air yang terjebak dalam
kekar (bidang diskontinu) maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan
semakin kecil.

22
 General condition mengamati atap dan dinding terowongan secara visual
sehingga secara umum dapat dinyatakan dengan keadaan umum dari
permukaan seperti kering, lembab, menetes atau mengalir.

e. Kondisi diskontinu / kekar


Ada beberapa parameter yang digunakan oleh Bieniawski dalam
memperkirakan kondisi permukaan bidang diskontinu. Parameter tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Separation
Separation merupakan jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu.
Jarak ini biasanya diisi oleh material lainya (filling material) atau dapat juga diisi
oleh air. Makin besar jarak ini, semakin lemah bidang diskontinu tersebut.
2. Roughness
Roughness atau kekasaran permukaan bidang diskontinu merupakan
parameter yang penting untuk menentukan kondisi bidang diskontinu. Suatu
permukaan yang kasar akan dapat mencegah terjadinya pergeseran antara
kedua permukaan bidang diskontinu.
3. Continuity / Presistence
Continuity / Presistence meupakan kemenerusan dari sebuah bidang
diskontinu, atau juga merupakan panjang dari suatu bidang diskontinu.
4. Weathering
Weathering menunjukan derajat pelapukan permukaan diskontinu.
5. Infilling (gouge)
Filling atau material pengisi pada bidang diskontinu dapat mempengaruhi
stabilitas bidang diskontinu yang bergantung pada ketebalan, konsisten atau
tidaknya dan sifat material pengisi tersebut. Filling yang lebih tebal dan
memiliki sifat mengembang bila tekena air dan berbutir sangat halus akan
menyebabkan bidang diskontinu menjadi lemah.

23
3.4. Geological Strength Index (GSI)
Identifikasi karakteristik massa batuan bertujuan untuk mengetahui
kualitas suatu batuan. Setiap klasifikasi massa batuan mempunyai parameter-
paremeter tertentu yang berbeda untuk menentukan klasifikasi massa batuan.
Klasifikasi massa batuan pada penelitian ini menggunakan system Geological
Strength Index (GSI). Pengklasifikasian kualitas massa batuan berdasarkan
metode Geological Strength Index (GSI), mengkombinasikan dua parameter
utama, yaitu struktur batuan dari sifat blok atau Structure Rating (SR), dan
kondisi permukaan atau Surface Condition Rating (SCR) yang memiliki sub
parameter berupa tingkat kekasaran, derajat pelapukan dan pengisi diskontinuitas.
Chart standar batuan terkekarkan yang dibuat oleh Hoek & Marinos (2005),
digunakan dalam mengestimasi kualitas massa batuan secara kualitatif, untuk
mendapatkan nilai GSI dari setiap stasiun pengamatan lapangan (Hoek E : 1994).
Cara penilain klasifikasi massa batuan berdasarkan metode GSI adalah
dengan pengamatan struktur (ukuran blok dan bentuk) dan kondisi diskontinuitas.
Ukuran blok dan bentuk geometri massa batuan keseluruhan dan proporsi volume
batuan. Nilai GSI berkisar dari 0 - 100, dimana nilai 100 sama dengan massa
batuan utuh.
Metode GSI adalah metode untuk menentukan kriteria keruntuhan empiris
yang menentukan kekuatan massa batuan dengan tekanan mayor dan minor, serta
memprediki kekuatan batuan dari kekuatan uji triaxial dan data struktur kekar
pada massa batuan. Kekuatan massa batuan bergantung pada sifat batuan utuh dan
kesempatan runtuh pada kondisi tegangan tertentu. Keruntuhan terjadi karena
dipengaruhi oleh bentuk geometri dari batuan utuh dan kondisi diskontinuitas.
Batuan tajam dengan permukaan kekar yang bersih dan dan kasar akan
mempunyai kekuatan yang lebih besar dibanding dengan batuan berpartikel bulat
yang terlapukkan. Kriteria kekuatan massa batuan menurut Hoek and Brown
(2002) adalah :

24
σ3’ 𝑎
σ1’= σ3’ + σci 𝑚𝑏 (σci + 𝑆) ........................................................................... (3.4)
𝐺𝑆𝐼−100
mb = m1 exp ( 28−14𝐷 ) ...................................................................................... (3.5)
𝐺𝑆𝐼−100
S = exp ( ).............................................................................................. (3.6)
9 − 3𝐷
1 1
a = 2 + 6 (𝑒 −𝐺𝑆𝐼/15 - 𝑒 −20/3) ............................................................................. (3.7)

Keterangan :
σ1’ : Tegangan efektif mayor
σ3’ : Tegangan efektif minor
σci : Uniaxial compressive strength (UCS) dari intact rock material
mb : Nilai pengurangan untuk massa batuan dari konstanta mi
S dan a : Konstanta dari karakteristik massa batuan
D : Nilai dari disturbance factor berdasarkan dari besarnya pengaruh
gangguan luar terhadap batuan insitu

Gambar 3.5.
Geological Strength Index (Hoek : 1994)

25
Gambar 3.6.
Kriteria General Hoek-Brown
3.5. Grouting
Grouting kegiatan memasukkan cairan semen atau mortar ke dalam
batuan/tanah yang kemudian akan mengeras didalam untuk memperkokoh media
tersebut (Kolymbas : 2005). Tekanan dibutuhkan untuk dapat masuknya fluid ke
dalam fracture terkecil (microfracture).

3.5.1. Jenis-jenis Grouting


Menurut James Warner (2005) grouting dibedakan menjadi beberapa jenis
sesuai dengan tujuannya, yaitu :
1. Semetasi Penembusan (Permation Grouting)
Sementasi penembusan adalah teknik sementasi yang paling lama
diciptakan dan paling banyak digunakan. Sementasi mengacu pada
sementasi penetrasi yaitu mengisi crack, kekar, atau kerusakan kecil
lainnya pada batuan, beton, tanah, atau media berpori lainnya.
2. Sementasi Pemadatan (Compaction Grouting)

26
Sementasi kompaksi adalah sementasi yang mengontrol injeksi yang
sangat kuat, menggunakan sementasi mortar dengan tekanan tinggi ke
zona tanah tertentu. Sementasi pemadatan merupakan mekanisme
perbaikan yang bertujuan untuk meningkatkan daya dukung tanah karena
volume struktur pori tanah berkurang. Meskipun begitu sementasi
pemadatan tidak dapat sepenuhnya mencegah terjadi rembesan. Sementasi
pemadatan mampu meningkatkan beban tanah untuk mengompakkan atau
memadatkan
3. Sementasi Rekahan (Fracture Grouting)
Sementasi rekahan dilakukan pada rekahan hidrolik yang terdapat
pada tanah atau batuan dengan fluida suspensi atau material grouting
slurry, untuk menghasilkan hubungan antara lensa sementasi dan
memberikan penguatan kembali (Reinforcemen). Umumnya sementasi
rekahan pada kondisi media yang permeabilitasnya rendah, sementasi ini
dapat dilakukan pada beberapa jenis tanah terutama sangat baik pada tanah
lempung.
4. Sementasi Campuran/Jet (Mixing/Jet Grouting)
Sementasi campuran atau mixing dilakukan dengan cara mengikis
tanah menggunakan jet bertekanan tinggi dan injeksi serentak ke dalam
tanah yang terganggu dengan jet monitor. Sementasi jenis ini juga dapat
digunakan unutuk melakukan penyemenan di sekeliling tiang pondasi.
5. Sementasi Isi (Fill Grouting)
Rongga yang terjadi secara alami maupun buatan, kadang-kadang
membutuhkan suatu pengisian atau penutupan. Saat jaman dahulu
pengisian dilakukan dilakukan menggunakan peralatan yang sama
dengan alat sementasi lainnya. Saat ini sementasi dilakukan
menggunakan peralatan khusus dengan campuran concrete dan mortar.

27
6. Sementasi Vakum (Vacuum Grouting)
Saat pekerjaan sementasi dilakukan dengan cara mendorong
material semen ke dalam formasi dengan tekanan tinggi, akan tetapi pada
kondisi tertentu hasilnya tidak maksimal. Oleh karena itu vakum
digunakan untuk menyedot material semen masuk ke bagian yang
mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut harus diisolasi dari tekanan
barometric terlebih dahulu, sehingga dengan kondisi yang vakum,
material semen akan terhisap dan tertarik ke bagian yang rusak tersebut.

Gambar 3.7.
Jenis – Jenis Sementasi (Warner : 2005)

3.5.2. Fungsi dan Kegunaan Grouting


Teknologi grouting (sementasi) telah ada sejak tahun 1800an, pada
awalnya teknik sementasi digunakan untuk mengontrol aliran air, tetapi sekarang
telah meluas dan aplikasinya tidak terbatas, diantaranya :
1. Mengurangi aliran atau rembesan air.
2. Meningkatkan daya dukung tanah/batuan.
3. Pemadatan, yaitu mengisi rongga dan rekahan pada tanah/batuan.
4. Memperbaiki kerusakan sruktur.
3.5.3. Material Pada Grouting
Teknik grouting telah dikenal lama untuk mengisi celah dan
menguatkannya. Teknik grouting telah lama menggunakan campuran semen dan

28
air meskipun faktanya bermacam-macam, yang paling banyak digunakan adalah
sementasi hidrolik, yaitu semen yang akan mengeras dan menguat di bawah air.
Tetapi ada banyak tipe semen yang berbeda, yang dapat dikombinasikan dengan
berbagai macam jenis pengisi dan pengubah yang berbeda. Selain itu ada juga
grouting yang tidak menggunakan semen, yang menggunakan campuran kimia
dan resin. Pada kondisi yang melibatkan pengontrolan pergerekan air, grouting
menggunakan semen dan nonsemen dapat dikombinasikan.

3.5.3.1. Material Sementasi


Umumnya sekarang banyak digunakan adalah semen Portland,
meskipun sekarang banyak beberapa jenis tipe semen namun tidak ada
komposisi ataupun partikulasi ukuran butir yang cocok dengan pekerjaan
butir.
1. Ukuran Butir
Distribusi ukuran material yang digunakan pada grouting
khususnya adalah semen portland. Pada umumnya tidak disebutkan
ukuran butir dari pada semen portland, tetapi memberikan
informasi mengenai specific surface atau area permukaan butir
pada suatu berat tertentu (Blaine Fineness). Hal ini dikarenakan
besaran luas pada permukaan lebih tersedia dari pada ukuran
individual butiran.

Tabel 3.5
Nilai Blaine Fineness Pada Semen (Warner : 2005)
Besaran Blaine Fineness Besaran (cm2/gr)
Semen Portland biasa – Tipe 1 3000 – 5000
High early strength cement – Tipe 3 4000 – 6000
Semen sangat halus >8000

2. Komposisi Semen

29
Semen portland merupakan bahan pengikat yang penting dan
banyak digunakan dalam pekerjaan fluida grouting. Di dunia
sebenarnya terdapat berbagai macam semen, dan tiap macamnya
digunakan untuk kondisi-kondisi tertentu sesuai dengan sifat-
sifatnya yang khusus. Kualitas semen sangat mempengaruhi kualitas
saat pengerasan fluida grouting, yang mana semakin besar
pemakaian semen maka hasil grouting semakin kuat, namun jika
terlalu banyak juga tidak menjamin kekuatan yang baik (Nugraha
dan Antoni, 2007).
Jenis dari semen bermacam-macam oleh karena itu semen yang
digunakan untuk pekerjaan grouting harus disesuaikan dengan
rencana kekuatan dan spesifikasi teknik yang diberikan. Perbedaan
sifat jenis semen yang satu dengan yang lainnya dapat terjadi karena
perbedaan susunan kimia maupun kehalusan butir-butirnya. Bahan
pembentuk semen terdiri dari 4 senyawa pokok sebagaimana
diuraikan berikut ini :
a. Trikalsium Silikat (C3S)
Senyawa ini segera mulai berhidrasi dalam beberapa jam jam dengan
melepas sejumlah panas. Kuantitas yang terbentuk dalam ikatan
menentukan pengaruh terhadap kekuatan beton pada awal umurnya,
terutama pada 14 hari sebelumnya.
b. Dikalsium Siklat (C2S)
Senyawa ini bereaksi dengan air lebih lambat, sehingga hanya
berpengaruh terhadap pengerasan semen setelah berumur lebih dari 7
hari.
c. Trikalsium Aluminat (C3A)
Senyawa ini berhidrasi dan bereaksi sangat cepat, sangat
berpengaruh pada panas hidrasi tertinggi dan memberikan kekuatan
setelah 24 jam.
d. Tetra Kalsium (C4AF)

30
Senyawa ini kurang begitu besar pengaruhnya terhadap kekuatan dan
sifat-sifat semen keras lainnya.
Kandungan unsur kimia semen Portland terdiri dari bahan-bahan
yang mengandung kapur, silika, alumina, dan oksida besi, sebagai
mana yang dapat dilihat pada table 3.6

Tabel 3.6
Susunan Unsur Semen Ordinary Portland Cement (Tjokrodimuljo, 1996)
Oksida Persen (%)
Kapur (CaO) 60 – 65
Silika (SiO2) 17 – 25
Alumina (Al2O3) 3–8
Besi (Fe2O3) 0,5 – 6
Magnesia (MgO) 0,5 – 4
Sulfur (SO3) 1–2
Soda/potash (Na2O+K2O) 0,5 – 1

3. Air
Air merupakan bahan campuran yang penting untuk membuat
fluida grouting karena menentukan mutu dan kualitas. Fungsi air
pada campuran semen berfungsi untuk membantu reaksi kimia yang
menyebabkan berlangsungnya proses pengikatan serta sebagai
pelicin agar semen mudah dikerjakan. Air diperlukan pada
pembentukan semen yang berpengaruh pada sifat dapat dikerjakan
(workability) dari adukan beton, kekuatan, susut, dan keawetannya.

4. Zat Aditif Sika Viscocrete-SC 305ID


Zat Aditif adalah bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam
campuran semen pada saat atau selama pencampuran berlangsung.
Berfungsi untuk mengubah sifat-sifat dari semen agar menjadi lebih
cocok untuk pekerjaan tertentu. Perlu diperhatikan adalah kesalahan

31
dalam dosis penggunaan serta tata cara pemakaiannya, hal itu dapat
merugikan terhadap kualitas semen yang dihasilkan (Mulyono :
2004).
Sika Viscocrete-SC 305 ID termasuk bahan tambah kimia
(chemical admixture), yaitu bahan tambah berupa cairan yang
ditambahkan pada campuran semen dalam jumlah tertentu untuk
mengubah beberapa sifat semen. Bahan tambah Sika Viscocrete-SC
305 ID berfungsi untuk mengurangi jumlah air pencampur yang
diperlukan untuk menghasilkan semen dengan konsistensi tertentu,
sebanyak 30% - 40 %. Jenis bahan tambah ini adalah berupa
superplasticizer, dosis yang disarankan adalah 400 -1600 ml/100 kg.
Bahan Aditif ini berfungsi juga untuk mempertahankan kuat tekan
batuan awal dan akhir.
Sika ViscoCrete-SC 305 ID adalah generasi ketiga
polycarboxylate polymer admixture untuk aplikasi shotcrete.
Polymer ini secara signifikan menurunkan jumlah air namun
meningkatkan slump life (menjaga workability) dari campuran
semen, tanpa terjadi long sett (retardation).

Tabel 3.7
Data Teknik Sika Viscocrete-SC 305 ID (PT. Sika Indonesia)
Dosis 400 – 1600 ml/100kg
Berat Jenis 1,07 – 1,09 kg/l
Umur 12 bulan
Penyimpanan Di tempat teduh dan kering
Kemasan 200 kg drum
pH 4±1
Fisik Warna coklat denga bentuk co-polimer

32
3.5.3.2. Material Non-Sementasi

Material bahan grout tidak hanya berasal dari semen, dapat juga berasal
dari non-semen, yaitu berupa resin, dan sodium silika. Sama halnya
dengan semen Portland penggunaannya dapat digunakan untuk grouting
tetapi jarang digunakan karena tingkat penjualan yang kecil. Hal ini
diakibatkan aplikasi grouting pada area yang terbatas dan kecil.
Non-sementasi untuk grouting mempunyai kemampuan untuk
mengontrol air , terlebih untuk daerah bawah tanah yang mempunyai
kebocoran pipa atau dalam struktur.

Gambar 3.8.
Bagan Alir Proses Grouting

33
3.6.Water/Cement Ratio

Water/Cement Ratio (W/C) adalah pencampuran antara air dan semen dan
satu satuan tertentu. Pembuatannya pada awalnya digunakan untuk campuran
concrete technology untuk menentukan campuran air dan semen dalam satuan
berat (kg) (Lombardi : 2003). Pada kenyataannya perbandingan ini banyak
dipakai untuk kebutuhan grouting , baik pencampuran dalam satuan berat maupun
dalam satuan volume. Pada praktek dilapangan campuran air dan semen untuk
grouting berbeda dengan teknologi concrete. Teknologi grouting adalah
mencampur semen ke dalam air sedangkan concrete mencampur air ke dalam
semen.

Gambar 3.9.

Definisi Water/Cement Ratio (Deere : 1982)

Kekentalan daripada campuran grouting dan kemampuan injektabilitas


berdasarkan proporsi campuran air dan semen kering (Warner : 2005). Pada
awalnya perbandingan air dan semen menggunakan dasar volume karena
memudahkan untuk memahami. Negara-negara industri membuat kemasan semen
yang lebih mudah dihitung langsung dalam bentuk volume. Diasumsikan 1 ft3
(28,3 liter) dalam 1 kemasan semen lebih sederhana dan lebih praktis di site, jika
dirubah dalam satuan berat, yaitu 94 lb (42,7 kg).

Pada dasaranya acuan volume maupun berat sama saja dan memberikan
hasil yang sama, hanya untuk lebih memudahkan dalam penggunaannya,

34
dibuatlah ketetapan dalam satuan berat (lebih umum). Untuk konversinya,, berikut
adalah yang biasa dipakai dalam grouting,

Tabel 3.8
Konversi Proporsi Campuran dari Volume ke Berat (Warner : 2005)
W:C dalam Volume W:C dalam Berat
0,4 : 1 0,26 : 1
0,5 : 1 0,33 : 1
0,6 : 1 0,4 : 1
0,8 : 1 0,53 : 1
Sama Dengan
1:1 0,66 : 1
2:1 1,32 : 1
3:1 1,98 : 1
4:1 2,64 : 1
5:1 3,3 : 1
Air

1 gal = 8,3 lbs = 3,8 L

1 ft3 = 7,5 gal = 62,4 L

OPC ( Ordinary Portland Cement)

1 bag = 94 lb = 42,7 kg = 1 ft3 = 28,4 L (Bulked)

= 0,48 ft3 = 13,6 L (Absolute)

Dengan Specific Gravity cement = 3,15

3.7. Penetrasi Pada Grouting

Proses penetrasi pada grouting ketika diinjeksikan kedalam fracture


dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang pertama adalah geometri batuan tersebut
yang berarti bentuk, variasi bukaan, dan hubungan dan sambungan fracture
tersebut (Lombardi : 2003). Menurut teori secara model, adanya hubungan antara
tekanan grouting, kohesi semen (slurry), bukaan fracture, dan capaian maksimum
dari grouting (Lombardi : 1985). Sehingga semakin tinggi tekanan, semakin besar

35
lubang fracture, dan semakin kohesi semen akan lebih panjang capaian dari pada
grouting.

Gambar 3.10.

Distribusi Tekanan Dari Pada Two Joint System Saat Grouting (Lombardi : 2003)
𝑃 ×𝑡
𝑅= …………………………………………………………………….(3.4)
𝐶

R = Capaian maksimum grouting

P = Tekanan yang diinjeksikan

t = Lubang bukaan pada fracture / joint

C = Kohesi adonan (Slurry)

1 = Bukaan sempit

2 = Bukaan lebar

Perbedaan luas lubang bukaan pada kekar di dalam batuan dapat


mempermudah atau mempersulit masuknya grouting kedalam batuan tergantung
dari pada bukaan itu sendiri. Secara sudut pandang praktek, grouting akan
mengisi semua celah dan fracture atau setidaknya mengisi bagian – bagian celah
yang jaraknya jauh. Adonan grouting yang encer akan lebih memungkinkan unutk
mencapai celah – celah sempit dan jangkauannya lebih jauh. Celah dalam batuan

36
yang tidak ter isi oleh semen akibat kurang encer akan memunculkan prosedur
grouting yang lain ,seperti menambah lubang bor dalam satu spasi dan menaikkan
tekanan agar nilai jarak capaiannya lebih jauh.
Hubungan antara ukuran butir dan bukaan kekar dalam batuan juga harus
menjadi pertimbangan dalam kegiatan grouting. Besar dan kecil celah dalam
batuan tidak bisa hanya menjadi pertimbangan satu-satunya, tetapi juga titik
dalam celah yang sama yang artinya tidak adanya lubang fracture yang konstan
sama nampak di permukaan. Untuk celah yang benar-benar kecil hanya air yang
dapat masuk ke dalam, untuk semen berbentuk pasta masuk ke daerah yang lebih
luas. Hubungan antara kohesi semen, tekanan grouting, jarak capaian, dan lubang
bukaan pada fracture berlaku untuk campuran stabil, dimana tidak ada air berlebih
yang mungkin terpisah dari semen.

Gambar 3.11.

Zona Kontak Area Tidak ter-Grouting Karena Daerah Kecil Dihubungkan


Dengan Ukuran Butir yang Tidak Sesuai. (Lombardi : 2003)

Keterangan : 1 = Kontak Area

2 = Daerah tidak ter-grouting

3 = Daerah ter-grouting dengan baik

37
3.8. Kuat Tekan, Flowrate, dan Flowability

3.8.1. Kuat Tekan (Unconfined Compresive Strength)

Tujuan uji kuat tekan adalah mengukur kuat tekan uniaksial


sebuah conto batuan dalam geometri yang beraturan, baik dalam bentuk
silinder, balok, atau prisma dalam satu arah (Uniaksial) (Wattimena :
2014). Tujuan utamanya adalah untuk klasifikasi kekuatan atau
karaktersitik batuan utuh.
Kemampuan suatu massa batuan untuk menahan suatu gaya yang
ditekan dan diberikan secara vertikal sampai terjadi failure disebut kuat
tekan. Kekuatan batuan untuk menahan terbagi merata di seluruh
permukaan batuan, sehingga

𝑃
𝐹 = ...............................................................................(3.5)
𝐴

F = Kuat tekan (Kpa)

P = Tekanan (KN)

A = Luas (m2)

Uji kuat tekan untuk penentuan campuran optimal semen air


diperlukan, untuk mengetahui kerapatan / permeabilitas semen. Semakin
tinggi kuat tekan maka jarak antar partikel dalam batuan akan semakin
kecil sehingga permeabilitas semakin kecil juga. Hal ini baik karena akan
mencegah merembesnya air dalam batuan.
Kekuatan batuan yang mendekati dan diperlukan untuk grouting
adalah uji kuat tarik, untuk mengetahui nilai gaya ikat antar partikel
semen. Namun dari hasil uji kuat tekan juga sudah dapat memperkirakan
kekuatan batuan.
Kuat tekan maupun kuat tarik pada batuan hasil grouting tidak
terlalu berpengaruh, namun aplikasi dari pada kuat tekan ataupun kuat
tarik dapat dipakai untuk menguatkan batuan atau tanah yang diinjeksikan.

38
Untuk grouting batuan, kekuatan semen setidaknya harus sekuat batuan
formasi yang diinjeksi (Warner : 2005)
Pengujian dilakukan dengan menggunakan sample berbentuk
kubus ukuran 50 mm x 50 mm x 50 mm dengan berbagai macam
campuran air semen viscocrete.

Gambar 3.12.
Grafik Kuat Tekan, Kuat Geser, dan Bleeding Pada OPC

Gambar 3.13.
Mesin Kuat Tekan di Laboratorium GBC Batch plant

39
3.8.2. Flowrate Test
Flowrate adalah pengujian dengan menghitung waktu suatu aliran
air dalam volume tertentu. Pada dasarnya semakin cepat waktu aliran
maka campuran/adonan semen tersebut semakin encer. Perlu diketahui
campuran semen yang proporsional sehingga tetap bisa mengalir dalam
celah sempit tetapi tetap mempunyai kekuatan yang tinggi.
Pengujian menggunkan corong dengan diameter atas150 mm dan
diameter bawah 6 mm dengan tinggi 320 mm. Corong di letakkan di atas
tabung ukur lalu dihitung waktu aliran sampai tabung ukur mencapai
volume tertentu.
Adonan yang terlalu kental tidak akan mengalir dalam corong
sehingga tidak mempunyai waktu aliran dengan kata lain tidak mempunyai
nilai flowrate

2
Gambar 3.14.

Alat Uji Nilai Flowrate Adonan (mix)

Keterangan :

1. Corong uji
2. Tabung ukur
3. Tempat corong untuk meyangga

40
3.7.3. Uji Flowabilitas

Flowability adalah kemampuan cairan untuk mengalir dalam suatu


media tertentu (Warner : 2005). Hampir sama dengan flowrate,
flowabilitas mengukur besarnya diameter (jarak) tumpahan suatu caiaran
pada suatu wadah.

Pengujian menggunakan corong berdiameter atas 90 mm dan


diameter bawah 42 mm, dengan tinggi 75 mm. Langkah pengujian
dilakukan seperti berikut :

1. Adonan campuran (mix) dimasukan ke dalam cawan sampai


penuh
2. Cawan diangkat perlahan secara merata
3. Ukur diameter tumpahan adonan

Campuran adonan yang mempunyai diamateter yang panjang


mempunyai nilai flowabilitas yang tinggi.

Gambar 3.15.
Cawan Uji Flowabilitas

41

Anda mungkin juga menyukai