Bab 3 David
Bab 3 David
LANDASAN TEORI
Gambar 3.1
Konsep Pembentukan Massa Batuan (Palmstrom, 2001)
17
yang lebih kecil bila dibandingkan dengan batuan utuh. Menurut Hoek & Bray
(1981) dalam Sitohang (2008), massa batuan adalah batuan insitu yang dijadikan
diskontinu oleh sistem struktur seperti joint, sesar dan bidang perlapisan. (Lihat
Gambar 3.2.)
Gambar 3.2.
Kondisi Massa Batuan Berdasarkan Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown
(Hoek,1994)
18
merupakan sistem klasifikasi praktis pertama yang dikenalkan dan secara dominan
digunakan di Amerika Serikat lebih dari 35 tahun. Klasifikasi Stand Up Time
Classification yang diusulkan oleh Lauffer (1958) berdasarkan pada hasil penelitian
Stini (1950) merupakan langkah yang sangat baik dalam perencanaan lubang
bukaan karena konsep yang diperkenalkan lebih relevan pada penentuan tipe dan
jumlah penyangga terowongan. Klasifikasi Rock Quality Designation (RQD) yang
diusulkan oleh Deere (1967), merupakan metode sederhana dalam mendeskripsikan
kualitas ini batuan dari lubang bor. Untuk RQD yang diusulkan oleh Prinest and
Hudson (1976) mendekripsikan kualitas batuan secara tidak langsung berdasarkan
jumlah total kekar per meter yang terdapat pada dinding lereng ataupun lubang
bukaan.
Konsep Rock Structure Rating (RSR) yang dikembangkan di Amerika Serikat
oleh Wickham, Tiedemann, dan Skinner (1972, 1974) untuk pembobotan yang
relatif penting dari klasifikasi. Klasifikasi Rock Mass Rating (RMR) yang diusulkan
oleh Bieniawski (1973, 1989) dan Q-System yang diusulkan oleh Barton, Lien, dan
Lune (1974), telah dikembangkan secara independen dan keduanya menyediakan
data kuantitatif untuk memilih tindakna perkuatan terowongan yang modern, misal
dengan menggunakan Shotcrete dan Rockbolt.
Beberapa sistem klasifikasi massa batuan menggunakan lebih dari
2 parameter, namun hal tersebut tergantung untuk kepentingannya. Klasifikasi
massa batuan dibuat untuk memenuhi kepentingan berikut:
a. Untuk mengidentifikasi parameter yang paling mempengaruhi perilaku massa
batuan
b. Untuk membagi massa batuan kedalam kelompok grup yang berperilaku sama
yaitu kelas massa batuan dengan kualitas berbeda
c. Untuk melengkapi suatu dasar pengertian karakteristik masing-masing kelas
d. Untuk menghubungkan pengalaman atas pengamanan suatu kondisi massa
batuan disatu tempat dengan lainnya
e. Untuk menghasilkan data kuantitatif untuk desain rekayasa
f. Untuk melengkapi suatu dasar umum komunikasi
19
3.3. Rock Mass Rating (Bieniawski, 1989)
Sistem Rock Mass Rating (RMR) atau yang dikenal sebagai Geomechanics
Classification terdiri dari 5 parameter utama dan 1 parameter pengontrol untuk
membagi massa batuan.
a. Kuat Tekan Batuan Utuh (UCS)
Uniaxial Compressive Strength (UCS) adalah kekuatan dari batuan utuh
(intact rock) yang diperoleh dari hasil uji UCS. Uji UCS menggunakan mesin tekan
untuk menekan sampel batuan dari satu arah (uniaxial). Nilai UCS merupakan besar
tekanan yang harus diberikan sehingga mambuat batuan pecah. Bieniawski
mengusulkan sampel yang digunakan pada pengujian Point Load Strength Index
berdiameter 50 mm. Sehingga, faktor koreksi digunakan apabila diameter sampel
tidak 50 mm dapat dihitung dari persamaan (3.1).
𝐷 0,45
𝐹 = (50) …………………………………………………………………………….. (3.1)
20
<1 Dapat dipatahkan oleh ibu jari tangan 0
Berbagai peneliti yang melakukan studi hubungan PLI dan kuat tekan pada
berbagai jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2.
Persamaan hubungan kuat tekan dengan PLI untuk berbagai batuan dari berbagai
peneliti
Referensi Persamaan Tipe Batuan
Broch & Franklin (1972) 𝝈c = 24 Is (50) Batu pasir
Batuan Beku,
Bieniawski (1975) 𝝈c = 23 Is (50)
Batuan sedimen
Brook (1985) 𝝈c = 22 Is (50) -
Batu pasir,
Singh (1981) 𝝈c = 18,7 Is (50)
Shale
Vallejo et al. (1980) 𝝈c = 12,5 Is (50) Shale
Vallejo et al. (1980) 𝝈c = 17,4 Is (50) Batu Pasir
Batu Pasir dan
Kramadibrata (1992) 𝝈c = 11,82 Is (50)
Batuan Lempung
Dolostone,
Gunsallus & Kulhawy (1984) 𝝈c = 16,5 Is (50) + 51 Batu Pasir,
Batu Bamping
Batuan Sedimen,
Chargill & Shakoor (1990) 𝝈c = 23 Is (50) + 13
Batuan Metamorf
Batun Beku,
Kahraman (2001) 𝝈c = 8,41 Is (50) + 9,51 Batuan Sedimen,
Batuan Metamorf
Is (50)
Tsidzi (1990) 𝝈c = 0,03+0,0031 𝐼 (50) Batuan Metamorf
𝑠
21
Dalam menghitung nilai RQD, metode tidak langsung digunakan apabila
core logs tidak tersedia. Menurut Priest and Hudson (1976), RQD dapat ditentukan
dengan menghitung frekuensi kekar per meter yaitu;
𝑅𝑄𝐷 = 100 𝑒 −0.1𝜆 (0.1𝜆 + 1)……………………………………………. (3.3)
Keterangan, 𝜆 = jumlah total kekar per meter
Adapun hubungan antara RQD dengan kualitas massa batuan adalah yang
dikemukakan oleh Deere (1968) adalah semakin besar nilai RQD maka semakin
baik kualitas batuan tersebut (Tabel 3.3), semakin kecil nilai RQD semakin jelek
kualitas batuan tersebut.
Tabel 3.3.
Kualitas Massa Batuan Berdasarkan Nilai RQD (Deere, 1968)
RQD (%) Rock Quality
<25 Very poor
25 – 50 Poor
50 – 75 Fair
75 – 90 Good
90 – 100 Excellent
22
General condition mengamati atap dan dinding terowongan secara visual
sehingga secara umum dapat dinyatakan dengan keadaan umum dari
permukaan seperti kering, lembab, menetes atau mengalir.
23
3.4. Geological Strength Index (GSI)
Identifikasi karakteristik massa batuan bertujuan untuk mengetahui
kualitas suatu batuan. Setiap klasifikasi massa batuan mempunyai parameter-
paremeter tertentu yang berbeda untuk menentukan klasifikasi massa batuan.
Klasifikasi massa batuan pada penelitian ini menggunakan system Geological
Strength Index (GSI). Pengklasifikasian kualitas massa batuan berdasarkan
metode Geological Strength Index (GSI), mengkombinasikan dua parameter
utama, yaitu struktur batuan dari sifat blok atau Structure Rating (SR), dan
kondisi permukaan atau Surface Condition Rating (SCR) yang memiliki sub
parameter berupa tingkat kekasaran, derajat pelapukan dan pengisi diskontinuitas.
Chart standar batuan terkekarkan yang dibuat oleh Hoek & Marinos (2005),
digunakan dalam mengestimasi kualitas massa batuan secara kualitatif, untuk
mendapatkan nilai GSI dari setiap stasiun pengamatan lapangan (Hoek E : 1994).
Cara penilain klasifikasi massa batuan berdasarkan metode GSI adalah
dengan pengamatan struktur (ukuran blok dan bentuk) dan kondisi diskontinuitas.
Ukuran blok dan bentuk geometri massa batuan keseluruhan dan proporsi volume
batuan. Nilai GSI berkisar dari 0 - 100, dimana nilai 100 sama dengan massa
batuan utuh.
Metode GSI adalah metode untuk menentukan kriteria keruntuhan empiris
yang menentukan kekuatan massa batuan dengan tekanan mayor dan minor, serta
memprediki kekuatan batuan dari kekuatan uji triaxial dan data struktur kekar
pada massa batuan. Kekuatan massa batuan bergantung pada sifat batuan utuh dan
kesempatan runtuh pada kondisi tegangan tertentu. Keruntuhan terjadi karena
dipengaruhi oleh bentuk geometri dari batuan utuh dan kondisi diskontinuitas.
Batuan tajam dengan permukaan kekar yang bersih dan dan kasar akan
mempunyai kekuatan yang lebih besar dibanding dengan batuan berpartikel bulat
yang terlapukkan. Kriteria kekuatan massa batuan menurut Hoek and Brown
(2002) adalah :
24
σ3’ 𝑎
σ1’= σ3’ + σci 𝑚𝑏 (σci + 𝑆) ........................................................................... (3.4)
𝐺𝑆𝐼−100
mb = m1 exp ( 28−14𝐷 ) ...................................................................................... (3.5)
𝐺𝑆𝐼−100
S = exp ( ).............................................................................................. (3.6)
9 − 3𝐷
1 1
a = 2 + 6 (𝑒 −𝐺𝑆𝐼/15 - 𝑒 −20/3) ............................................................................. (3.7)
Keterangan :
σ1’ : Tegangan efektif mayor
σ3’ : Tegangan efektif minor
σci : Uniaxial compressive strength (UCS) dari intact rock material
mb : Nilai pengurangan untuk massa batuan dari konstanta mi
S dan a : Konstanta dari karakteristik massa batuan
D : Nilai dari disturbance factor berdasarkan dari besarnya pengaruh
gangguan luar terhadap batuan insitu
Gambar 3.5.
Geological Strength Index (Hoek : 1994)
25
Gambar 3.6.
Kriteria General Hoek-Brown
3.5. Grouting
Grouting kegiatan memasukkan cairan semen atau mortar ke dalam
batuan/tanah yang kemudian akan mengeras didalam untuk memperkokoh media
tersebut (Kolymbas : 2005). Tekanan dibutuhkan untuk dapat masuknya fluid ke
dalam fracture terkecil (microfracture).
26
Sementasi kompaksi adalah sementasi yang mengontrol injeksi yang
sangat kuat, menggunakan sementasi mortar dengan tekanan tinggi ke
zona tanah tertentu. Sementasi pemadatan merupakan mekanisme
perbaikan yang bertujuan untuk meningkatkan daya dukung tanah karena
volume struktur pori tanah berkurang. Meskipun begitu sementasi
pemadatan tidak dapat sepenuhnya mencegah terjadi rembesan. Sementasi
pemadatan mampu meningkatkan beban tanah untuk mengompakkan atau
memadatkan
3. Sementasi Rekahan (Fracture Grouting)
Sementasi rekahan dilakukan pada rekahan hidrolik yang terdapat
pada tanah atau batuan dengan fluida suspensi atau material grouting
slurry, untuk menghasilkan hubungan antara lensa sementasi dan
memberikan penguatan kembali (Reinforcemen). Umumnya sementasi
rekahan pada kondisi media yang permeabilitasnya rendah, sementasi ini
dapat dilakukan pada beberapa jenis tanah terutama sangat baik pada tanah
lempung.
4. Sementasi Campuran/Jet (Mixing/Jet Grouting)
Sementasi campuran atau mixing dilakukan dengan cara mengikis
tanah menggunakan jet bertekanan tinggi dan injeksi serentak ke dalam
tanah yang terganggu dengan jet monitor. Sementasi jenis ini juga dapat
digunakan unutuk melakukan penyemenan di sekeliling tiang pondasi.
5. Sementasi Isi (Fill Grouting)
Rongga yang terjadi secara alami maupun buatan, kadang-kadang
membutuhkan suatu pengisian atau penutupan. Saat jaman dahulu
pengisian dilakukan dilakukan menggunakan peralatan yang sama
dengan alat sementasi lainnya. Saat ini sementasi dilakukan
menggunakan peralatan khusus dengan campuran concrete dan mortar.
27
6. Sementasi Vakum (Vacuum Grouting)
Saat pekerjaan sementasi dilakukan dengan cara mendorong
material semen ke dalam formasi dengan tekanan tinggi, akan tetapi pada
kondisi tertentu hasilnya tidak maksimal. Oleh karena itu vakum
digunakan untuk menyedot material semen masuk ke bagian yang
mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut harus diisolasi dari tekanan
barometric terlebih dahulu, sehingga dengan kondisi yang vakum,
material semen akan terhisap dan tertarik ke bagian yang rusak tersebut.
Gambar 3.7.
Jenis – Jenis Sementasi (Warner : 2005)
28
air meskipun faktanya bermacam-macam, yang paling banyak digunakan adalah
sementasi hidrolik, yaitu semen yang akan mengeras dan menguat di bawah air.
Tetapi ada banyak tipe semen yang berbeda, yang dapat dikombinasikan dengan
berbagai macam jenis pengisi dan pengubah yang berbeda. Selain itu ada juga
grouting yang tidak menggunakan semen, yang menggunakan campuran kimia
dan resin. Pada kondisi yang melibatkan pengontrolan pergerekan air, grouting
menggunakan semen dan nonsemen dapat dikombinasikan.
Tabel 3.5
Nilai Blaine Fineness Pada Semen (Warner : 2005)
Besaran Blaine Fineness Besaran (cm2/gr)
Semen Portland biasa – Tipe 1 3000 – 5000
High early strength cement – Tipe 3 4000 – 6000
Semen sangat halus >8000
2. Komposisi Semen
29
Semen portland merupakan bahan pengikat yang penting dan
banyak digunakan dalam pekerjaan fluida grouting. Di dunia
sebenarnya terdapat berbagai macam semen, dan tiap macamnya
digunakan untuk kondisi-kondisi tertentu sesuai dengan sifat-
sifatnya yang khusus. Kualitas semen sangat mempengaruhi kualitas
saat pengerasan fluida grouting, yang mana semakin besar
pemakaian semen maka hasil grouting semakin kuat, namun jika
terlalu banyak juga tidak menjamin kekuatan yang baik (Nugraha
dan Antoni, 2007).
Jenis dari semen bermacam-macam oleh karena itu semen yang
digunakan untuk pekerjaan grouting harus disesuaikan dengan
rencana kekuatan dan spesifikasi teknik yang diberikan. Perbedaan
sifat jenis semen yang satu dengan yang lainnya dapat terjadi karena
perbedaan susunan kimia maupun kehalusan butir-butirnya. Bahan
pembentuk semen terdiri dari 4 senyawa pokok sebagaimana
diuraikan berikut ini :
a. Trikalsium Silikat (C3S)
Senyawa ini segera mulai berhidrasi dalam beberapa jam jam dengan
melepas sejumlah panas. Kuantitas yang terbentuk dalam ikatan
menentukan pengaruh terhadap kekuatan beton pada awal umurnya,
terutama pada 14 hari sebelumnya.
b. Dikalsium Siklat (C2S)
Senyawa ini bereaksi dengan air lebih lambat, sehingga hanya
berpengaruh terhadap pengerasan semen setelah berumur lebih dari 7
hari.
c. Trikalsium Aluminat (C3A)
Senyawa ini berhidrasi dan bereaksi sangat cepat, sangat
berpengaruh pada panas hidrasi tertinggi dan memberikan kekuatan
setelah 24 jam.
d. Tetra Kalsium (C4AF)
30
Senyawa ini kurang begitu besar pengaruhnya terhadap kekuatan dan
sifat-sifat semen keras lainnya.
Kandungan unsur kimia semen Portland terdiri dari bahan-bahan
yang mengandung kapur, silika, alumina, dan oksida besi, sebagai
mana yang dapat dilihat pada table 3.6
Tabel 3.6
Susunan Unsur Semen Ordinary Portland Cement (Tjokrodimuljo, 1996)
Oksida Persen (%)
Kapur (CaO) 60 – 65
Silika (SiO2) 17 – 25
Alumina (Al2O3) 3–8
Besi (Fe2O3) 0,5 – 6
Magnesia (MgO) 0,5 – 4
Sulfur (SO3) 1–2
Soda/potash (Na2O+K2O) 0,5 – 1
3. Air
Air merupakan bahan campuran yang penting untuk membuat
fluida grouting karena menentukan mutu dan kualitas. Fungsi air
pada campuran semen berfungsi untuk membantu reaksi kimia yang
menyebabkan berlangsungnya proses pengikatan serta sebagai
pelicin agar semen mudah dikerjakan. Air diperlukan pada
pembentukan semen yang berpengaruh pada sifat dapat dikerjakan
(workability) dari adukan beton, kekuatan, susut, dan keawetannya.
31
dalam dosis penggunaan serta tata cara pemakaiannya, hal itu dapat
merugikan terhadap kualitas semen yang dihasilkan (Mulyono :
2004).
Sika Viscocrete-SC 305 ID termasuk bahan tambah kimia
(chemical admixture), yaitu bahan tambah berupa cairan yang
ditambahkan pada campuran semen dalam jumlah tertentu untuk
mengubah beberapa sifat semen. Bahan tambah Sika Viscocrete-SC
305 ID berfungsi untuk mengurangi jumlah air pencampur yang
diperlukan untuk menghasilkan semen dengan konsistensi tertentu,
sebanyak 30% - 40 %. Jenis bahan tambah ini adalah berupa
superplasticizer, dosis yang disarankan adalah 400 -1600 ml/100 kg.
Bahan Aditif ini berfungsi juga untuk mempertahankan kuat tekan
batuan awal dan akhir.
Sika ViscoCrete-SC 305 ID adalah generasi ketiga
polycarboxylate polymer admixture untuk aplikasi shotcrete.
Polymer ini secara signifikan menurunkan jumlah air namun
meningkatkan slump life (menjaga workability) dari campuran
semen, tanpa terjadi long sett (retardation).
Tabel 3.7
Data Teknik Sika Viscocrete-SC 305 ID (PT. Sika Indonesia)
Dosis 400 – 1600 ml/100kg
Berat Jenis 1,07 – 1,09 kg/l
Umur 12 bulan
Penyimpanan Di tempat teduh dan kering
Kemasan 200 kg drum
pH 4±1
Fisik Warna coklat denga bentuk co-polimer
32
3.5.3.2. Material Non-Sementasi
Material bahan grout tidak hanya berasal dari semen, dapat juga berasal
dari non-semen, yaitu berupa resin, dan sodium silika. Sama halnya
dengan semen Portland penggunaannya dapat digunakan untuk grouting
tetapi jarang digunakan karena tingkat penjualan yang kecil. Hal ini
diakibatkan aplikasi grouting pada area yang terbatas dan kecil.
Non-sementasi untuk grouting mempunyai kemampuan untuk
mengontrol air , terlebih untuk daerah bawah tanah yang mempunyai
kebocoran pipa atau dalam struktur.
Gambar 3.8.
Bagan Alir Proses Grouting
33
3.6.Water/Cement Ratio
Water/Cement Ratio (W/C) adalah pencampuran antara air dan semen dan
satu satuan tertentu. Pembuatannya pada awalnya digunakan untuk campuran
concrete technology untuk menentukan campuran air dan semen dalam satuan
berat (kg) (Lombardi : 2003). Pada kenyataannya perbandingan ini banyak
dipakai untuk kebutuhan grouting , baik pencampuran dalam satuan berat maupun
dalam satuan volume. Pada praktek dilapangan campuran air dan semen untuk
grouting berbeda dengan teknologi concrete. Teknologi grouting adalah
mencampur semen ke dalam air sedangkan concrete mencampur air ke dalam
semen.
Gambar 3.9.
Pada dasaranya acuan volume maupun berat sama saja dan memberikan
hasil yang sama, hanya untuk lebih memudahkan dalam penggunaannya,
34
dibuatlah ketetapan dalam satuan berat (lebih umum). Untuk konversinya,, berikut
adalah yang biasa dipakai dalam grouting,
Tabel 3.8
Konversi Proporsi Campuran dari Volume ke Berat (Warner : 2005)
W:C dalam Volume W:C dalam Berat
0,4 : 1 0,26 : 1
0,5 : 1 0,33 : 1
0,6 : 1 0,4 : 1
0,8 : 1 0,53 : 1
Sama Dengan
1:1 0,66 : 1
2:1 1,32 : 1
3:1 1,98 : 1
4:1 2,64 : 1
5:1 3,3 : 1
Air
35
lubang fracture, dan semakin kohesi semen akan lebih panjang capaian dari pada
grouting.
Gambar 3.10.
Distribusi Tekanan Dari Pada Two Joint System Saat Grouting (Lombardi : 2003)
𝑃 ×𝑡
𝑅= …………………………………………………………………….(3.4)
𝐶
1 = Bukaan sempit
2 = Bukaan lebar
36
yang tidak ter isi oleh semen akibat kurang encer akan memunculkan prosedur
grouting yang lain ,seperti menambah lubang bor dalam satu spasi dan menaikkan
tekanan agar nilai jarak capaiannya lebih jauh.
Hubungan antara ukuran butir dan bukaan kekar dalam batuan juga harus
menjadi pertimbangan dalam kegiatan grouting. Besar dan kecil celah dalam
batuan tidak bisa hanya menjadi pertimbangan satu-satunya, tetapi juga titik
dalam celah yang sama yang artinya tidak adanya lubang fracture yang konstan
sama nampak di permukaan. Untuk celah yang benar-benar kecil hanya air yang
dapat masuk ke dalam, untuk semen berbentuk pasta masuk ke daerah yang lebih
luas. Hubungan antara kohesi semen, tekanan grouting, jarak capaian, dan lubang
bukaan pada fracture berlaku untuk campuran stabil, dimana tidak ada air berlebih
yang mungkin terpisah dari semen.
Gambar 3.11.
37
3.8. Kuat Tekan, Flowrate, dan Flowability
𝑃
𝐹 = ...............................................................................(3.5)
𝐴
P = Tekanan (KN)
A = Luas (m2)
38
Untuk grouting batuan, kekuatan semen setidaknya harus sekuat batuan
formasi yang diinjeksi (Warner : 2005)
Pengujian dilakukan dengan menggunakan sample berbentuk
kubus ukuran 50 mm x 50 mm x 50 mm dengan berbagai macam
campuran air semen viscocrete.
Gambar 3.12.
Grafik Kuat Tekan, Kuat Geser, dan Bleeding Pada OPC
Gambar 3.13.
Mesin Kuat Tekan di Laboratorium GBC Batch plant
39
3.8.2. Flowrate Test
Flowrate adalah pengujian dengan menghitung waktu suatu aliran
air dalam volume tertentu. Pada dasarnya semakin cepat waktu aliran
maka campuran/adonan semen tersebut semakin encer. Perlu diketahui
campuran semen yang proporsional sehingga tetap bisa mengalir dalam
celah sempit tetapi tetap mempunyai kekuatan yang tinggi.
Pengujian menggunkan corong dengan diameter atas150 mm dan
diameter bawah 6 mm dengan tinggi 320 mm. Corong di letakkan di atas
tabung ukur lalu dihitung waktu aliran sampai tabung ukur mencapai
volume tertentu.
Adonan yang terlalu kental tidak akan mengalir dalam corong
sehingga tidak mempunyai waktu aliran dengan kata lain tidak mempunyai
nilai flowrate
2
Gambar 3.14.
Keterangan :
1. Corong uji
2. Tabung ukur
3. Tempat corong untuk meyangga
40
3.7.3. Uji Flowabilitas
Gambar 3.15.
Cawan Uji Flowabilitas
41