Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan panas berkepanjangan yang
diikuti dengan bakteremia dan invasi bakteri salmonella typhi sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus
dan plak peyeri. 1
Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, terutama pada negara berkembang
dengan sanitasi yang buruk. Delapan puluh persen kasus tifoid di dunia berasal dari
Banglades, Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan. Demam tifoid
menginfeksi setiap tahunnya 21.6 juta orang (3.6/1.000 populasi) dengan angka
kematian 200.000/tahun. Di Indonesia insidensi kasus demam typhoid masih
termasuk tinggi di Asia, yakni 81 kasus per 100.000 populasi per tahun. Prevalensi
tifoid banyak ditemukan pada kelompok usia Sekolah (5 – 14 tahun) yaitu 1.9% dan
terendah pada bayi (0.8%). Kelompok yang berisiko terkena demam typhoid adalah
anak – anak yang berusia dibawah usia 15 tahun.2
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia dengan angka
kejadian yang masih tinggi serta merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan sanitasi yang buruk. Demam tifoid juga
merupakan salah satu penyakit menular penyebab kematian di Indonesia (6%
dengan n = 1.080), khusus pada kelompok usia 5 – 14 tahun tifoid merupakan 13%
penyebab kematian pada kelompok tersebut.3
Komplikasi serius dapat terjadi hingga 10%, khususnya pada individu yang
menderita tifoid lebih dari 2 minggu dan tidak mendapat pengobatan yang adekuat.
Case Fatality Rate (CFR) diperkirakan 1–4% dengan rasio 10 kali lebih tinggi pada
anak usia lebih tua (4%) dibandingkan anak usia ≤4 tahun (0,4%). Pada kasus yang
tidak mendapatkan pengobatan, CFR dapat meningkat hingga 20%.2 Di Indonesia,
tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, karena penyakit ini
bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat. Permasalahannya semakin
kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier (carrier) atau relaps dan
resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga menyulitkan upaya
pengobatan dan pencegahan.4

1.2 Tujuan Penulisan

1. Referat ini dibuat untuk memenuhi syarat dalam kepaniteraan klinik senior
pada Ilmu Penyakit Dalam RSUD M. Natsir.
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang diagnosis dan penatalaksanaan
demam tifoid.

1.3 Manfaat Penulisan

1.3.1 Bagi penulis

Manfaat bagi penulis yaitu untuk menambah pengetahuan tentang demam


tifoid terutama mengenai penegakan diagnosa dan penatalaksanaannya.

1.3.2 Bagi Pembaca

1. Meningkatkan pengetahuan tentang demam tifoid.


2. Meningkatkan pengetahuan tentang penegakan diagnosa dan
penatalaksanaan demam tifoid.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B dan C. Penularan demam
tifoid melalui oral yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi. 1

2.2 Epidemiologi

Sejak awal abad ke-20, insiden demam tifoid menurun di USA dan Eropa.
Hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik, dan
ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Insiden demam tifoid
tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara dan
Afrika Selatan ( insidens >100 kasus per 100.000 populasi per tahun). Insiden
demam tifoid yang tergolong sedang ( 10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun
) berada diwilayah Afrika, Amerika Latin dan Oceania (kecuali Australia dan
Selandia Baru) serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per
tahun) di bagian dunia lainnya.
Menurut Depkes RI tahun 2009 Demam tifoid merupakan penyakit
infeksi yang dapat dijumpai diseluruh dunia, secara luas di daerah tropis dan
subtropis terutama didaerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai
dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah dimana di Indonesia dijumpai
dalam keadaan endemik.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009 jumlah kejadian
Demam tifoid dan Paratifoid di Rumah Sakit adalah 80.850 kasus pada penderita
rawat inap dan 1.013 diantaranya meninggal dunia. Sedangkan pada tahun 2010
penderita demam tifoid dan para tifoid sejumlah 55.098 kasus pada penderita rawat
inap dan jumlah pasien meninggal dunia sebanyak 276 jiwa.Berdasarkan Profil
Kesehatan Indonesia tahun 2011, Demam Tifoid dan Paratifoid sebanyak41.081
kasus menempati urutan ke 3 dari 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit
Indonesia Demam Tifoid dan Paratifoid dengan CFR sebesar 2,06 %.

Menurut data WHO yang dikutip oleh Departemen Kesehatan Republik


Indonesia tahun 2013 menunjukkan bahwa penderita demam tifoid di Indonesia
cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 800 per 100.000 penduduk.(2)

2.3 Etiologi Deman Tifoid

Demam Tifoid disebabkan oleh Salmonella thypi yang menyerang saluran


pencernaan. Salmonella Typhi adalah bakteri berbentuk batang, tidak berspora,
bersifat gram negatif, berukuran 1-3,5 um x 0,5-0,8 um, besar koloni rata-rata 2-4
mm, mempunyai flagel. Bakteri Salmonella tumbuh pada suhu 15-41°C (suhu
pertumbuhan optimum 37,5°C), dan PH pertumbuhan 6-8. Dalam air bakteri dapat
bertahan hidup selama 4 minggu(3). Salmonella sp mempunyai 3 struktur antigen,
yaitu:
a. Antigen somatic (O). Lapisan luar tediri dari protein, lipopolisakarida (LPS)
dan lipid. Memiliki sifat endotoksin.
b. Antigen flagel (H). Terdapat pada flagella, fimbrae, dan pili dari kuman,
berstruktur kimia protein.
c. Antigen permukaan (Vi) : pada selaput dinding kuman untuk melindungi
fagositosis dan berstruktur kimia protein.
2.4 Patofisiologi Demam Tifoid
Masuknya kuman salmonella typhi dan salmonella paratyphi kedalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Sebagian
kuman dimusnahkan didalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
yang terdapat didalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ ini kuman meninggalkan
sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Kuman dapat masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan


bersama cairan empedu dieksresikan secara intermitten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi darah setelah menembus usus. Proses yang sama terulang lagi, karena
makrofag yang teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, dakit kepala, sakit
perut, gangguan vaskular, mental dan koagulasi.

Didalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia


jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan
gangguan organ lainnya. (4)

2.5 Gambaran Klinis

Penegakan Diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan


terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis
penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun
pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu
menegakkan diagnosis.

Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala


klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian.

Pada minggu pertama gejala penyakit ini ditemukan keluhan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut lainnya yaitu Demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaaan tidak enak diperut,
batuk epistaksi. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.
Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam
hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1°C tidak diiukuti
peningkatan denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput (kotor ditengah,
tep dan ujung merah serta tremor) hepatomegali, splenomegali, meteroismus,
gangguan mental berupa somnolen,sopor,koma,delirium atau psikosis. Roseola
jarang ditemukan pada orang indonesia

Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan rutin

o Leukopenia, leukosit normal atau leukositosis

o Anemia ringan dan trombositopenia


o Hitungjenis : aneosinofilia, limfopenia

o LED 

o SGOT dan SGPT sering kali 

 Pemeriksaan Urine

o Tes Diazzo Positif

o Biakan kuman (tinggi pada minggu 2-3)

 Pemeriksaan tinja

o Pra soup stool atau kadang-kadang bloody stool

o Biakan kuman (minggu 2-3)

 Uji Widal

o Reaksi aglutinasi antara antigen kuman S typhy dengan antibodi

(aglutinin)

o Pembentukan agglutininakhir minggu pertama, puncak minggu

keempat.

o Positifbila titer O Widal I 1/320 atau Titer O Widal II naik 4 kali

lipat atau lebih atau titer O Widal I (-) tetapi titer O Widal II (+)

berapapun angkanya

o Sensitivitas dan spesifitasnya rendah maka uji Widal menjadi

kurang efektif lagi


 Uji TUBEX

o Semi-kuantitatif kalori metrik

o Mendeteksi adanya antibodi anti-S.typhipada serum pasien

 UjiTyphidot

o Mendeteksi antibody IgM dan IgG pada protein membrane luar S

Typhi

o Uji positif setelah 2-3 hari infeksi

 Uji IgM Dipstik

o Mendeteksi antibody IgM spesifik S Typhi

o Akurasi pemeriksaan setelah 1 minggu gejala

 Kultur darah

o Hasil positifpasti demam tifoid

o Hasil negatiftidak menyingkirkan demam typoid, karena mungkin

disebabkan beberapa hal seperti berikut :

1. Telah mendapatkan terapi antibiotik

2. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc

darah)

3. Riwayat Vaksinasi

4. Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama pada saat

aglutinin semakin meningkat


2.6 Sumber Penularan

2.6.1 Makanan dan minuman yang terkontaminasi

Penularan Demam Tifoid melalui makanan dan minuman yang tercemar

Salmonella Typhosa atau Salmonella paratyphosa yang terdapat didalam air, es,

debu, maupun benda lainnya, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus

halus dan melalui peredaran darah, bakteri sampai di organ tubuh terutama hati dan

limfa yang berkembang dan menyebabkan rasa nyeri saat diraba. Penggunaan air

minum secara massal yang tercemar bakteri sering menyebabkan terjadinya KLB.15

Vektor berupa serangga juga berperan dalam penularan penyakit. Dibeberapa

negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari

air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan

kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau

penderita yang tidak teridentifikasi. Lalat dapat juga berperan sebagai perantara

penularan memindahkan mikroorganisme dari tinja ke makanan. Di dalam makanan

mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif,

dimana dosisnya lebih rendah pada tifoid dibandingkan dengan paratifoid.16

2.6.2 Carrier Demam Tifoid

Bakteri Demam Tifoid dapat berasal dari carrier sering dikenal dengan

“Typhoid Mary” Demam Tifoid yang merupakan sumber penularan yang sukar

diketahui karena mereka tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Setelah infeki

subklinis, beberapa individu melanjutkan untuk mempertahankan Salmonella

dalam jaringan tubuh selama waktu yang bervariasi. Tiga persen typhoid yang

bertahan menjadi carrier permanen, berada dalam gallbladder, saluran biliary atau

intestinum, tinja, dan saluran urin. Tiga persen orang yang sembuh dari typhoid
menjadi carrier yang permanen dan mengidap bakteri di dalam kandung empedu,

saluran empedu, atau terkadang usus dan saluran kemih. Salmonella dapat masuk

ke organ-organ tubuh lain, misalnya ke pembuluh darah jantung, paru-paru,

empedu, hati, dan tulang, bahkan ke otak dan akan menimbukan peradangan. Ada

2 macam carrier atau pembawa:16

1. Healthy carrier.

Orang ini membawa organisme di dalam ususnya dan mengekskresinya

dalam tinja, tetapi mereka tidak menderita / menunjukkan gejala apapun (dalam

keadaan sehat).

2. Convalescent carrier.

Orang ini baru sembuh dari sakit akibat Salmonella dan masih terus

mengeluarkan organisme tersebut. Beberapa spesies Salmonella dapat dieksresikan

selama beberapa bulan, bahkan beberapa tahun. Dapat terjadi seorang carrier kronik

mengeluarkan Bakteri Salmonella Typhi dalam tinja seumur hidupnya, dan carrier

lebih banyak terjadi pada orang dewasa daripada anak-anak dan lebih sering

mengenai wanita daripada laki-laki. Penyakit ini dapat sembuh sempurna, tetapi

jika tidak ditangani dengan baik, maka selain dapat menyebabkan seseorang

menjadi carrier atau relaps, dan resistensi, juga menimbulkan komplikasi seperti

perforasi dan kematian.16


2.7 Pencegahan Demam Tifoid

Tifoid sangat mudah dicegah dengan perubahan prilaku masyarakat dan

ketersediaan fasilitas sanitasi yang baik. Pencegahan demam tifoid yang dapat

diterapkan seperti :

1. Cuci tangan sebelum makan dengan benar yaitu dengan air mengalir dan

memakai sabun

2. Memasak air minum sampai mendidih

3. Memiliki tempat BAB pada tiap rumah, tidak membuang tinja kesungai,

sawah, danau, laut dan ke kebun.

4. Vaksin, vaksin tifoid merupakan program pengendalian tifoid pada daerah

endemis.11

2.8 Vaksin Demam Tifoid

Badan kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan vaksin tifoid untuk

daerah endemik, melalui studi yang mendalam vaksin dianggap alat pencegah yang

paling cost effective, pemberian vaksin ini dianjurkan untuk wisatawan, anak

sekolah, petugas laboratorium, dan orang-orang yang beresiko tinggi untuk

terinfeksi kuman tifoid.

Di Indonesiasa kini telah tersedia 2 jenis vaksin tifoid, yaitu:

1. Vaksin vi kapsuler polisakarida

Vaksin ini mengandung polisakarida vi dari kapsul bakteri salmonella.

Vaksin dapat mencapai level protektif 2-3 minggu pemberian dan dapat diberikan

pada usia>2 tahun. Vaksin tersedia dalam bentuk syringe siap pakai (suntikan) 0,5

ml yang berisikan 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer enolisotonik. Vaksin

diberikan dengan cara IM (intra muskular) di deltoid. Vaksin ulangan dilakukan


tiap 3 tahun. Kontra indikasinya pada ibu hamil, anak umur < 2 tahun, dalam

keadaan demam dan ibu menyusui.

2. Vaksin kombinasi vi kapsuler polisakarida dengan hepatitis A inaktif

Disebut juga dengan vaksin double. Kelebihan vaksin ini adalah lebih

praktis dalam pemberian vaksin tifoid dan hepatitis A. Vaksin dapat mencapai level

protektif setelah 2-3 minggu pemberian. Vaksin ini dapat diberikan pada usia > 16

tahun. Vaksin tersedia dalam bentuk dual-chamber syringe (suntikan) siap pakai

dengan volume 1 ml, masing-masing 0,5 ml tiap vaksin. Vaksin diberikan intra

muscular pada deltoid, dan vaksin ulangan tiap 3 tahun. Kontra indikasi pada ibu

hamil dan ibu menyusui. 11

2.9 Faktor resiko

Faktor resiko yang besar pada demam tifoid adalah yang mempunyai

kebiasaan kurang bersih dalam mengkonsumsi makanan, karena penyakit ini dapat

ditukarkan melalui makanan dan minuman, sanitasi lingkungan yang tidak bersih,

personal hygen yang buruk dan penderita carrier demam tifoid. Selain itu

minimnya pengetahuan seperti tidak mementingkan gizi makanan, air bersih,

pembuangan limbah dan tinja, pembuangan sampah, pengetahuan tentang apakah

penyakit tersebut menular atau tidak menular dan minimnya pengetahuan

bagaimana cara pencegahan pada demam tifoid.12

2.10 Diagnosa banding

- Dengue hemmorage fever

- Malaria

- Cikungunya
2.11 Penatalaksanaan Demam Tifoid(6),(7)

 Terapi non farmakologi

a. Tirah Baring

Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal hari bebas demam atau

kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya

komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.

b. Diet

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah

selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk

penderita demam tifoid, diklasifikasikan atas: diet cair, bubur lunak, tim dan nasi

biasa.

c. Nutrisi

Penderita harus mendapat terapi cairan yang cukup baik secara oral maupun

parenteral. Pemberian parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, terdapat

komplikasi, sulit makan dan penurunan kesadaran.

 Terapi farmakologi

 Pemberian Antimikroba

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobatio demam

tifoid adalah sebagai berikut:

Klorafenikol

2) Terapi Suportif

Pengobatan suportif menentukan keberhasilan pengobatan demam tifoid dengan


antibiotik. Pengobatan suportif yang terpenting adalah pemberian cairan dan kalori.
Diet pada anak yang menderita demam tifoid biasanya tidak terlalu ketat bila
dibandingkan dengan dewasa. Makanan tidak berserat dan mudah dicerna dapat
diberikan. Pemberian makanan setelah demam reda berupa makanan yang lebih
padat dengan kalori yang cukup.

Antipiretik diberikan pada demam yang terlalu tinggi. Para ahli menganjurkan
pemberian antipiretik apabila demam lebih dari Pada anak yang mempunyai
riwayat kejang demam, antipiretik dapat diberikan lebih awal.

Pada kasus demam tifoid berat perlu diperhatikan tentang kebutuhan volume cairan
intravaskular dan jaringan dengan pemberian oral atau parenteral, fungsi sirkulasi,
oksigenasi jaringan, dan memelihara nutrisi dengan memperhitungkan jumlah
kalori yang dibutuhkan dengan pemberian makanan per oral maupun parenteral.

- Resistensi Obat Demam Tifoid

Resistensi obat ganda terhadap salmonella typhi yang telah resisten

Terhadap dua atau lebih antibiotic yang dipergunakan untuk pengobatan demam

tifoid secara konversional, yaitu ampisilin, cholaramphenicol, dan kotrimokazol.

Pemberianobat antibiotic yang berlebihan (over-use), atau pemakaian antibiotic

yang salah (mis-use), pemakaian antibiotic yang tidak tepat (inapropriate).

2.12 Komplikasi Demam Tifoid

 Intestinal

- Perdarahan usus

- Perforasi usus

- Ileus paralitik

- Pankreatitis

 Ekstraintestinal

- Kardiovaskular : gagal sirkulasi perifer,miokarditis, tromboflebitis

- Darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis

- Paru : pneumonia, empiema, kolesistitis


- Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis

- Tulang : osteomielitis, periosistitis, spondilitis, artritis

- Neuropsikiatrik/ tifoid toksik

2.13 Prognosis

Quo Ad vitam : Dubia Ad Bonam

Quo Ad fungsionam: Dubia Ad Bonam

Quo ad sanationam: Dubia Ad Bonam


BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien :


Nama : Ny. E
Umur : 55 tahun
Alamat : Kinari
No. MR : 182124
Tanggal masuk / Pukul : 04 Februari 2019 / 15.30 WIB

3.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Demam sejak 15 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang :


 Pasien datang dengan keluhan demam sejak 15 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam yang dirasakan terus meningkat setiap harinya selama seminggu pertama,
demam mulai meningkat ketika sore menjelang malam hari, demam tidak disertai
kejang. Demam tidak menggigil dan tidak mengalami penurunan kesadaran.
 Pasien sudah sempat dibawa ke dokter dan diberi obat penurun panas namun belum ada
perbaikan dan panas kembali meninggi. Pasien tidak mengeluh nyeri sendi, tidak ada
mimisan ataupun gusi berdarah.
 Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala sejak 1 minggu SMRS, nyeri kepala yang di
rasakan hilang timbul dan nyeri kepala tidak disertai pusing.
 Pasien juga mengeluhkan kehilangan nafsu makan sejak 1 minggu yang lalu sebelum
masuk rumah sakit dan sebelum sakit pasien makan sebanyak 3 kali sehari .
 Lidah kotor tidak ada
 Mual dan muntah disangkal
 Batuk tidak ada
 BAK Lancar, kuning, tidak nyeri sewaktu BAK.
 BAB pasien lancar, teratur 1x sehari, konsistensi lunak, warna coklat kekuningan, darah
(-), lendir (-).
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Pasien tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya
 Riwayat penyakit DM disangkal
 Riwayat Hipertensi disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti pasien
 Riwayat penyakit DM (ayah, ibu, saudara) disangkal
 Riwayat Hipertensi (ayah, ibu, saudara) disangkal
 Riwayat penyakit Jantung (ayah, ibu, saudara) disangkal

Riwayat Psikososial dan Kebiasaan :


Pasien seorang ibu rumah tangga berusia 55 tahun. Pasien memiliki 4 orang anak. Pasien tidak
merokok ataupun meminum kopi.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Composmentis cooperatif
Vital Sign
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88x/menit, reguler
Nafas : 20x/menit
Suhu : 38,1oC

Status Gizi
BB : 60 kg
TB : 157 cm
BMI : 24,3 (normoweight)

Status Generalisata :
Kulit : Ikterik (-), Sianosis (-)
Kepala : Normocephal, rambut tidak mudah dicabut dan tidak mudah rontok
Wajah : Edema (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor kiri dan kanan
Telinga: Dalam batas normal
Hidung: Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal, stomatitis angularis (-),atrofi lidah (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pemebesarak KGB submandibula, sepanjang M.
sternocleidomastoideus, supra/infraclavicula kiri dan kanan
Thorak :
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di RIC V linea midclavicularis sinistra
Perkusi :
Batas kiri : 2 jari di RIC V Linea medioclavicularis sinistra
Batas kanan : RIC IV Linea sternalis dextra
Batas atas : RIC II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Irama murni, P2<A2, M1<M2, bising jantung (-)

 Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, statis dan dinamis
Palpasi : Focal fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen :
Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit, venectasi (-), sikatrik (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-) pada epigastrium, nyeri lepas (-). Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Tympani
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Ekstremitas :
 Superior
Inspeksi : Edema (-), sianosis (-)
Palpasai : Perabaan hangat, pulsasi artei radialis kuat angkat
Tes Sensibilitas : Sensibilitas halus (+), sensibilitas kasar (+)
Reflek :
REFLEK FISIOLOGIS KANAN KIRI
Reflek biseps ++ ++
Reflek triseps ++ ++
Reflek brachioradialis ++ ++
REFLEK PATOLOGIS KANAN KIRI
Reflek Hoffman-Tromer - -

 Inferior
Inspeksi : Edema (-), sianosis (-)
Palpasi ` : Perabaan hangat, pulsasi a. femoralis, a. dorsalis pedis, a. tibialis
posterior, dan a. poplites kuat angkat
Reflek :
REFEKS FISIOLOGIS KANAN KIRI
Reflek Patella ++ ++
Reflek Achiles ++ ++
REFLEKS PATOLOGIS KANAN KIRI
Reflek Babinski - -
Reflek Gordon - -
Reflek Oppeinheim - -
Reflek Chaddoks - -

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium (04 Februari 2019)
 Darah
Hb : 11,0 g/dl
Ht : 34,2 %
Leukosit : 6.500/mm3
Trombosit : 295.000/mm3
 Kimia klinik
GDS : 101 mg/dl
Ureum : 17 mg/dl
Creatinin : 0,62 mg/dl
 Serologi
 Test widal :
S. Typhi O (widal) : 1/320
S. Typhi H (widal) : 1/160

3.5 Diagnosa kerja :


 Demam Tifoid

3.6 Diagnose Banding :


 Malaria
 DHF
 Cikungunya

3.7 Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis :
a. Tirah baring
b. Banyak minum air putih
c. Diet ML
2. Farmakologis :
 IVFD RL 8 jam /kolf
 Inj. Cefriaxon 2x1 amp (IV) skin test
 Ranitidine 2x150 mg
 Paracetamol 3x500mg
 B.complex 2x1tab

3.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad fuctionam : dubia ad bonam
Follow Up
Tanggal Selasa, 05 Februari 2019
S Demam (<), nyeri kepala (+), mual (-) dan muntah (-),
BAK dan BAB normal
O Tampak Sakit Sedang
Keadaan Umum: Sens : CM RR : 21x/menit
TD : 120/70 mmHg Temp : 36,8oC
Nadi : 80 x/menit

assesment Demam Tifoid


Planning:  IVFD RL 8 jam/kolf
 Inj. Cefotaxime 2x1gr
 Paracetamol 3x500mg
 Ranitidin 2x150mg
 B. complex 2x1 tab

Tanggal Rabu, 06 Februari 2019


S Demam (-), nyeri kepala (-), mual (-) dan muntah (-), BAK
dan BAB normal
O Tampak Sakit Sedang
Keadaan Umum: Sens : CM RR : 24x/menit
TD : 120/70 mmHg Temp : 36,8oC
Nadi : 68 x/menit

Assesment: Demam Tifoid


Planning:  IVFD RL 8 jam/kolf
 Inj. Cefotaxime 2x1gr
 Paracetamol 3x500mg
 Ranitidin 2x150mg
 B. complex 2x1 tab

Tanggal Kamis , 07 februari 2019


S Demam (-), Nyeri kepala (-), mual (-) dan muntah (-), BAK
dan BAB normal
O Tampak Sakit Sedang
Keadaan Umum: Sens : CM RR : 16x/menit
TD : 130/80 mmHg Temp : 36,6oC
Nadi : 84 x/menit

Assesment Demam Tifoid


Planning  IVFD RL 8 jam/kolf
 Inj. Cefotaxime 2x1gr
 Paracetamol 3x500mg
 Ranitidin 2x150mg
 B. complex 2x1 tab

Tanggal Juma’at , 08 februari 2019


S Demam (-), Nyeri kepala (-), mual (-) dan muntah (-), BAK
dan BAB normal
O Tampak Sakit Sedang
Keadaan Umum: Sens : CM RR : 20x/menit
TD : 130/90 mmHg Temp : 36,3oC
Nadi : 86 x/menit

Assesment Demam Tifoid


Planning  cefixime 2x100mg
 Paracetamol 3x500mg
 Ranitidin 2x150mg
 B. complex 2x1 tab

Rencana Pasien boleh pulang


BAB III

PENUTUP

4.1 SIMPULAN

Demam typhoid biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimptomatis.
Walaupun gejala klinis sangat bervariasi, namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat
dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, (3) gangguan kesadaran. Pada
kasus khas terdapat demam remitten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari
dan meningkat ketika sore menjelang malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada
dalam keadaan demam, yang turun secara berangsur- angsur pada minggu ketiga.
Pada pasien ini yaitu perempuan berusia 55 tahun dirawat di bangsal Penyakit Dalam wanita
RSUD M. Natsir pada tanggal 04 Februari 2019, di tegakkan diagnosa demam typhoid tanpa
komplikasi. Diagnosa ditegakkan berdasarkan :
Anamnesa :
Pasien demam 15 hari yang remitten, demam sore menjelang malam hari dan demam berkurang
pada pagi harinya. Demam di sertai dengan nyeri kepala sejak 1 minggu SMRS, nyeri kepala
yang di rasakan hilang timbul dan nyeri kepala tidak disertai pusing.Nafsu makan pasien
menurun sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, Lidah kotor tidak ada, Mual dan muntah
disangkal, batuk tidak ada serta BAK Lancar, kuning, tidak nyeri sewaktu BAK dan BAB
pasien lancar, teratur, konsistensi lunak, warna coklat kekuningan, darah (-), lendir (-).
Pada pasien ini pemeriksaan fisiknya ditemukan :
Didapatkan tanda-tanda vital keadaan umum sedang, kesadaran Compos Mentis Cooperative,
tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 88 x/menit reguler, pernafasan 20 x/menit, suhu 38,1 0C,
pada lidah pasien tidak kotor dan pada pemeriksaan jantung, paru dan abdomen dalam batas
normal.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb: 11,0 g/dl, Ht: 34,2 %, Leukosit: 65.00/mm3,
Trombosit: 295.000/mm3, Ureum: 17 mg/dl, Creatinin: 0.62 mg/dl, GDS: 101 mg/dl.
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa demam typhoid pada kasus ini:
Uji serologis untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen. Pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan serologis dan didapatkan hasil + pada serologi Salmonella typhi O 1/320.
Penatalaksanaan penderita dengan demam typhoid, pada pasien ini dengan perawatan bed rest,
pemberian diet yang lunak yang mudah dicerna dengan kalori dan protein yang cukup dan
rendah serat.
Pasien diberikan terapi Farmakologi : Cefixime 2x100 mg, Paracetamol 3x500 mg, Ranitidin
2x150 mg, B. Complex 2x1 tab.
Pasien diperbolehkan pulang setelah perawatan di rumah sakit karena tidak ada keluhan dan
ada perbaikan klinis. Namun pasien tetap dianjurkan untuk istirahat dan mobilisasi bertahap,
diet makanan lunak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &
Penyakit Tropis, edisi 1. 2002. Jakarta : BP FKUI.
2. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002 ; 347(22): 1770-82
3. Widodo, Djoko. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jilid III.
2006. Jakarta : IPD FKUI
4. Baker et al. Searching For The Elusive Typhoid Diagnostic. BMC Infectious Diseases
2010, 10:45
5. Lifshitz, Edward I. Travel trouble: Typhoid fever--a case presentation and
review. Journal of American College Health, 07448481, Vol. 45, Issue 3
6. Antony S.Fauci t al. Harrison’s Manual of Medicine 17th Edition. 2008. McGraw Hill
7. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment
and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18
8. Frankie, et al. The TUBEX test detects not only typhoid-specific antibodies but also
soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical Microbiology (2008), 57, 316–
323

Anda mungkin juga menyukai