Analisis Wacana Foucault
Analisis Wacana Foucault
NIM : 121411131002
Pendahuluan
Novel merupakan suatu bentuk media massa yang memiliki kekuatan untuk
membentuk sebuah wacana. Bahasa merupakan media di dalam novel
untukmenunjukkan struktur hierarki kekuasaan dan menetapkan konsep-konsep atas
kebenaran, tatanan, dan realitas (Aschroft, Griffiths, & Tiffin dalam Wita, 2013).
Selain itu, nilai-nilai tertentu juga dapat disosialisasikan ke dalam masyarakat
melalui sebuah novel (Shoemaker & Reese dalam Chrisanty, 2012). Misalnya, nilai-
nilai rasisme yang ada pada seri novel Harry Potter and Orde Phoenix karya J.K.
Rowling (Keteng, 2011). Di dalam novel tersebut ditemukan ide-ide mengenai
rasisme yang dicerminkan melalui superioritas darah-murni terhadap darah
campuran (muggle) dan ras lainnya.
Antologi Rasa merupakan novel fiksi dengan genre metropop yang diterbitkan
pertama kali pada tahun 2011. Metropop merupakan salah satu genre novel terbitan
Gramedia Pustaka Utama (GPU) yang ceritanya mengedepankan kehidupan kaum
metropolitan (Fitriana, 2010). Tokoh-tokoh, latar sosial, serta latar tempat yang dekat
masyarakat urban merupakan beberapa kriteria yang dimiliki oleh novel-novel
bergenre metropop (Fitriana, 2010).
Secara umum, novel Antologi Rasa mengangkat tema percintaan. Novel ini
menceritakan kisah cinta ketiga tokoh-tokohnya, yaitu Keara, Harris, dan Ruly. Latar
fisik yang digunakan di dalam novel ini adalah Kota Jakarta, sedangkan latar sosial
yang digambarkan adalah gaya hidup kaum metropolis yang cenderung konsumtif,
mewah, dan berkelas.
Penonjolan gaya hidup konsumtif di dalam novel Antologi Rasa terlihat dari
banyaknya penyebutan merk dari produk-produk ataupun nama-nama tempat
tertentu. Selain itu, konsumerisme yang pada novel Antologi Rasa juga mengarah
pada perendahan terhadap barang-barang yang biasanya dikonsumsi oleh kelompok
masyarakat dengan status ekonomi kelas menengah ke bawah. Banyaknya merk
maupun nama tempat yang disebutkan di dalam Antologi Rasa menyebabkan
munculnya dugaan bahwa ada wacana konsumerisme yang terkandung di dalam
novel tersebut.
Pada media, dominasi semacam ini diwujudkan melalui rekayasa bahasa, di mana
bentuk kekuasaan tersebut ditunjukkan melalui bahasa. Contohnya iklan-iklan di
media massa yang dihiasi dengan visualisasi perempuan cantik berpakaian minim.
Ini merupakan sebuah bentuk eksploitasi terhadap tubuh perempuan, dimana
perempuan hanya digunakan sebagai ikon sebuah produk demi profit industri bisnis
bagi kaum kapitalis (Nurul, 2008).
Raymond William (dalam Qura, 2007) mengatakan bahwa hegemoni bekerja melalui
dua saluran yaitu ideologi dan budaya. Melalui hegemoni, ideologi kelompok
dominan dapat disebarkan dan nilai kepercayaan dapat ditularkan (Qura, 2007). Peter
D. Moss (dalam Muslich, 2008) pun mengatakan bahwa ideologi menjadi
seperangkat asumsi budaya yang menjadi normalitas alami dan tidak pernah
dipersoalkan lagi. Seperti halnya konsep cantik yang dikonstruksi dalam iklan
merupakan suatu hal yang sudah direkayasa (Aprilia, 2005). Di sini ideologi
digunakan untuk menampilkan citra yang bersifat imajiner, namun diyakini
kebenarannya. Ideologi telah digunakan sebagai topeng bagi kaum kapitalis untuk
tidak hanya menciptakan produk-produk baru, namun juga kebutuhan-kebutuhan
baru bagi sasaran pasarnya (Aprilia, 2005).
Storey (2007, h. 2) merangkum lima definisi ideologi yang umum digunakan dalam
mengkaji budaya populer. Pertama, ideologi merupakan sebuah sistem ide yang
diartikulasikan oleh kelompok masyarakat tertentu. Definisi kedua dari ideologi
adalah bahwa ideologi menyiratkan adanya
Wacana dalam perspektif Foucault tidak hanya dipahami sebagai serangkaian kata
atau proposisi dalam teks, wacana juga dapat memproduksi sebuah gagasan, konsep,
atau efek tertentu (Eriyanto, 2012, h. 65). Wacana bagi Foucault merupakan berbagai
teks yang memiliki makna, kekuatan, dan efek dalam konteks sosial (Ratu, 2012).
Wacana tidak pernah netral dan lahir berdasarkan asumsi alamiah, namun wacana
dibentuk dan dikondisikan oleh institusi-institusi yang lebih dominan atas aspek-
aspek yang didominasinya (Jalal, 2007).
Bagi Foucault, kekuasaan itu ada di mana-mana. Kekuasaan menyebar tanpa bisa
dilokalisasi dan meresap dalam seluruh relasi sosial (Jupriono, 2013). Kekuasaan
tidak berdiri di luar relasi sosial, melainkan bermain di dalam relasi tersebut (Ratu,
2012). Kekuasaan tidak dimiliki, melainkan dipraktikkan, dan praktik kekuasaan ini
disebar melalui teknik atau mekanisme tertentu yang dikenal dengan istilah
panoptikon
Panoptikon pertama kali diterapkan pada bangunan penjara yang didesain oleh
Jeremy Bentham (1787). Di tengah-tengah bangunan ini dibuat sebuah menara yang
memungkinkan pengawas mengawasi para tahanan di dalam sel. Di sisi lain,
keadaan ini menyebabkan para tahanan tidak benar-benar tau apakah pengawas
benar-benar ada di menara tersebut atau tidak. Namun hal ini akhirnya membuat para
tahanan bersikap seolah-olah mereka sedang diawasi (Storey, 2007, h. 131). Inilah
yang menurut Foucault sebagai kekuatan dari panoptikon. Ketika proses pengawasan
dilakukan sesaat, namun efek yang dirasakan oleh mereka yang sedang diawasi
bersifat terus menerus (Haryatmoko, 2014, h. 255). Panoptikon merupakan bentuk
dari kekuasaan yang menentukan sesuatu yang benar dan yang salah, normal atau
tidak, serta apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan (Storey, 2007, h. 131).
Menurut Featherstone (2007, h. 13), ada tiga perspektif yang dapat digunakan untuk
mendefinsikan budaya konsumen. Pertama, budaya konsumen merupakan perluasan
produksi komoditas kelompok kapitalis yang menimbulkan akumulasi budaya secara
besar-besaran, yang berbentuk barang-barang konsumsi serta tempat-tempat untuk
melakukan kegiatan konsumsi. Kedua, dari sudut pandang sosiologis, ada kepuasan
tersendiri yang disalurkan oleh barang-barang konsumsi. Dengan kata lain, setiap
orang menggunakan barang-barang konsumsi sebagai “alat pembeda” yang dapat
membentuk struktur sosial. Ketiga, adanya kesenangan emosional, mimpi, serta
keinginan yang terletak pada barang-barang konsumsi ataupun tempat-tempat untuk
melakukan kegiatan konsumsi.
Selanjutnya, tanda-tanda yang melekat pada sebuah barang konsumsi lahir dari
proses simulasi dan reproduksi images yang dibentuk oleh media massa secara terus-
menerus (Featherstone, 2007, h. 15). Baudrillard menyebut proses ini sebagai
simulacrum, yang kemudian mewujudkan suatu keadaan yang dikenal dengan istilah
hiperrealitas. Hiperrealitas merupakan situasi dimana simulasi, images, serta makna,
bersinergi membentuk halusinasi terhadap realitas, sehingga mengaburkan batasan-
batasan antara realitas dan imajiner (Featherstone, 2007, h. 83).
Berbicara mengenai konsumsi tidak bisa lepas dari masalah selera. Menurut
Bourdieu (1979), selera merupakan praktik yang memberikan seorang individu
ataupun orang lain sebuah pemahaman tentang posisinya di dalam tatanan sosial
(Ritzer & Goodman, 2010, h. 527). Selera bukan sesuatu yang bersifat netral atau
alamiah, namun merupakan representasi khas suatu kelompok sosial, menunjukkan
posisi seseorang di dalam masyarakat, dan simbol dari keinginan untuk
menempatkan diri di tangga kekuasaan (Sitowati, 2010). Selera digunakan seseorang
sebagai suatu hal yang dapat membedakan dirinya dengan orang lain. Ini merupakan
konsep Distinction yang dirumuskan oleh Bourdieu. Kalangan yang berasal dari
kelas dominan akan membedakan diri melalui tiga struktur konsumsi, yaitu makanan
atau minuman, budaya, dan penampilan (Ritzer dan Goodman dalam Fadhilah,
2011).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa konsumerisme adalah cerminan identitas
seseorang, yang akhirnya menyebabkan terbentuknya kelompok-kelompok sosial di
masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut saling berhubungan namun tidak dalam
keadaan yang seimbang, sebab ada kelompok yang dominan dan ada kelompok yang
termarginalkan. Oleh sebab itu, wacana konsumerisme yang ada di media massa
sekiranya dapat menjadi sesuatu yang harus diwaspadai. Masyarakat, disadari atau
tidak, akan mengalami perubahan setelah mengonsumsi media. Perubahan ini terlihat
dari pandangan dan ideologi masyarakat yang tidak lagi bertumpu pada budaya yang
mereka anut selama ini, namun bergeser pada budaya media (Arifianto, n.d.). Pada
akhirnya tanpa disadari ideologi yang ada pada media akan mempengaruhi budaya
masyarakat secara umum.
Dari hasil analisis yang dilakukan tehadap tiga struktur kegiatan konsumsi di dalam
novel Antologi Rasa yang terdiri dari makanan/minuman, penampilan, serta budaya,
terlihat bahwa ketiga struktur tersebut ditampilkan dengan menyebutkan jenis, nama,
atau merk tertentu. Mulai dari nama-nama makanan, merk wine, nama restoran,
brand pakaian dan aksesoris, nama mall, nama resort, hingga nama-nama tempat
yang dikunjungi. Berikut adalah beberapa contoh penyebutan merk ataupun nama
tempat tertentu yang ada di dalam novel Antologi Rasa.
“Hujan telah deras mengguyur Jakarta saat dia mengeluarkan Riesling dari
kulkas.” (Natassa, 2014, h. 96)
Penyebutan nama-nama dan merk-merk itu memberi gambaran yang jelas mengenai
apa saja yang dikonsumsi oleh tokoh-tokoh di dalam novel Antologi Rasa.
Penyebutan merk-merk tersebut mengindikasikan bahwa kegiatan konsumsi di dalam
novel ini tidak lagi menekankan pada fungsi sebuah benda, melainkan pada image
yang melekat. Hal ini sesuai dengan pandangan Baudrillard yang mengatakan bahwa
kegiatan konsumsi adalah tentang pertukaran tanda (Featherstone, h. 15).
Menurut Haryatmoko (2014, h. 241), kekuasaan baru dapat dilihat ketika menyadari
akibat yang menunjukkan posisi yang didominasi. Selain itu, Eriyanto (2012, h. 77)
pun mengungkapkan bahwa wacana yang dominan membatasi pandangan dengan
pilihan yang disediakan, sehingga pada akhirnya batasan-batasan tersebut tidak
hanya membatasi, tetapi juga menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi
terpinggirkan. Oleh sebab itu, dominasi wacana konsumerisme yang ada di dalam
novel Antologi Rasa juga mengakibatkan hal-hal lain menjadi termarginalkan.
Berikut ini beberapa situasi di dalam cerita yang menunjukkan adanya diskriminasi.
Mulai dari diskriminasi terhadap musik, makanan, gaya hidup, dan kalangan dengan
status ekonomi menengah ke bawah.
A. Marginalisasi Terhadap Musik Lokal
Keara, tokoh utama dalam novel ini diceritakan sebagai seorang penggemar musik
klasik dan jazz. Wacana ini kemudian membuatnya merendahkan tokoh lain bernama
Ruly, yang memiliki selera musik berbeda. Berikut beberapa potongan narasi yang
menunjukkan adanya dominasi Keara sebagai penggemar musik jazz terhadap Ruly
yang diceritakan menyukai musik-musik melayu.
Walaupun tokoh Keara di sini diceritakan jatuh cinta kepada tokoh bernama Ruly,
namun pada potongan narasi di atas tetap ada perendahan terhadap selera musik
Ruly. Mulai dari penggunaan kalimat “selera musiknya yang ajaib” dan kata “bikin
ilfil” yang merujuk pada selera musik Ruly, hingga pembandingan antara dua acara
musik seperti Dahsyat dan Java Jazz, di mana dalam hal ini acara musik Dahsyat
yang terpinggirkan.
Diskriminasi terhadap jenis musik yang berada di luar selera tokoh utama juga
ditunjukkan pada potongan narasi di bawah ini.
“Kenapa Ruly harus memakai Ipod di adegan ini? Karena jika aku harus
mendengar lengkingan Charly ST12 dengan “kamu, kamu, kamu”-nya
atau vokalisnya Exist meneriakkan lagu Mencari Alasan itu satu kali lagi
saja, I’m gonna kill myself.” (Natassa, 2014, h. 44)
Potongan narasi di atas menggambarkan ketidaksukaan Keara kepada grup band asal
Malaysia seperti Exist ataupun penyanyi Indonesia bersuara melayu seperti Charly
ST12. Hal tersebut ditunjukkan dalam kalimat “I’m gonna kill my self”, yang
merujuk pada apa yang akan dilakukan oleh tokoh Keara jika ia mendengar suara
dua penyanyi tersebut. Selain itu, terdapat juga potongan narasi seperti di bawah ini
yang digunakan untuk menjelaskan lagu-lagu milik band yang memiliki jenis musik
di luar selera tokoh utama Keara.
“Satu playlist yang diberi nama His Songs, berisi belasan lagu murahan
dari band kampungan bernada ke-Malaysia-Malaysia-an itu.”
(Natassa, 2014, h. 128)
Istilah „lagu murahan‟ dan „band kampungan‟ yang digunakan untuk menyebut
grup band ST 12 adalah sebuah bentuk perendahan. Dalam hal ini, lagu dan grup
band tersebut dikonstruksi sebagai jenis-jenis musik rendahan yang tidak cocok
untuk orang-orang yang berasal dari kalangan atas seperti Keara yang bergaya hidup
modern dan berselera tinggi.
“Aduh, sori ya, you two, nggak banget deh gue pakai ini lo ajak berdesak-
desakan dengan rakyat jelata demi menghadiri acara itu. Mending gue
nggak datang sekalian.” (Natassa, 2014, h. 185)
Pada potongan narasi di atas, tokoh Keara menolak ajakan kedua rekan kerjanya,
yaitu Harris dan Rully, untuk naik transportasi umum seperti Transjakarta.
Penggunaan istilah “rakyat jelata” yang ada di dalam potongan dialog di atas
ditujukan kepada para penumpang Transjakarta. Dalam konteks ini, hal yang ingin
ditunjukkan adalah tokoh Keara memiliki status sosial yang berbeda dengan para
pengguna bus Transjakarta.
Selain itu, penggunaan sebutan “rakyat jelata” juga terdapat pada potongan dialog
antara tokoh Ruly dan Keara seperti di bawah ini.
Penggunaan istilah “rakyat jelata” pada dua potongan dialog di atas menyiratkan
sebuah makna bahwa mereka yang menggunakan transportasi umum seperti
Transjakarta dan berbelanja di pusat grosir di Tanah Abang berasal dari masyarakat
dengan status ekonomi menengah ke bawah. Hal ini kemudian membentuk pemikiran
bahwa Transjakarta bukan alat transportasi yang pantas digunakan dan pasar Tanah
Abang juga bukan tempat yang layak dikunjungi oleh kalangan dengan status
ekonomi menengah ke atas yang tercermin di dalam tokoh Keara.
Tokoh utama di dalam novel Antologi Rasa dikonstruksi sebagai seseorang yang
gemar mengonsumsi makanan mahal dan berkelas. Hal tersebut dapat dilihat dari
hasil analisis pada sub-bab sebelumnya, mengenai nama-nama makanan ataupun
restoran yang banyak disebutkan di dalam novel tersebut. Nama-nama makanan serta
restoran yang disebutkan merupakan makanan dan restoran berkelas dengan harga
yang relatif mahal. Hal ini kemudian didukung denga pembentukan istilah “CFA”
yang merupakan kepanjangan dari Cheap Food Allergy. Di dalam cerita novel ini,
istilah “CFA” merupakan istilah yang dibuat oleh tokoh Keara. Berikut adalah
potongan dialog antara tokoh Keara dan Harris yang menunjukkan hal tersebut.
Gue cuma bisa bengong waktu Keara dengan nikmat melahap bubur ayam
pinggir jalan itu. Jangan sampai gue yang dimaki-maki aja seandainya
habis ini dia diare gara-gara CFA-nya itu. What is CFA? Cheap Food
Alergy, istilah buatannya sendiri.
Heh? Serius? “Tapi belinya di pinggir jalan lho, Key. Ntar lo CFA, lagi.”
Buset, jadi gue disuruh meriksa kuku si abang bubur kayak guru SD dulu
memeriksa kuku muridnya?
“Iya, pokoknya sih gue nggak pernah sakit perut sarapan ini, Key. Nggak
tahu deh kalau lo dan usus mahal lo itu.” (Natassa, 2014, h. 109)
Dari potongan dialog antara tokoh Harris dan Keara di atas, terlihat bahwa tokoh
Keara tidak terbiasa mengonsumsi makanan yang dijual di pinggir jalan. Hal ini
diperkuat juga dengan istilah “usus mahal” pada percakapan tersebut, yang
digunakan untuk mendefinisikan sosok tokoh Keara yang telah terbiasa
mengonsumsi makanan mahal.
Selain pembentukan istilah Cheap Food Allergy (CFA), di dalam novel ini juga
ditemukan perbandingan antara jenis/nama makanan yang satu dengan yang lain,
seperti yang ditampilkan pada potongan cerita sebagai berikut.
“Bakmi GM? Really?” ledeknya tadi. Aku tertawa. “What can I say? I’m
cheap.”
“Dessert then? Gue ke apartemen lo aja, ya. I’ll make sure it’s not cheap.
Panji muncul di apartemen ini sejam yang lalu. Merlot dan Patchi, bumi
dan langit dibandingkan Bakmi GM seharga tiga puluh ribu yang
kunikmati bersama Ruly di kantor tadi.” (Natassa, 2014, h. 130)
Percakapan antara tokoh Keara dan Panji di atas dengan jelas mengelompokkan
makanan mana yang mahal dan mana yang tidak. Hal ini ditunjukkan melalui
penyebutan harga seporsi Bakmi GM secara gamblang dan penggunaan metafora
“bumi dan langit”, sehingga tanpa disebutkan pun dapat diketahui bahwa wine
bermerek Merlot dan cokelat bermerek Patchi merupakan makanan dan minuman
mahal yang jauh berbeda dengan Bakmi GM.
“Mau cokelat nggak lo?” aku mengeluarkan sekotak Patchi dari handbag
dan menyodorkan ke Dinda. “Tumben cokelat lo mahal, Nyet,” Dinda
menyambut antusias. “Biasanya Silver Queen doang.” (Natassa, 2014, 138)
Percakapan di atas secara tidak langsung menyatakan bahwa cokelat merk Patchi
lebih berkelas dibandingkan dengan cokelat merk Silver Queen, karena dari segi
harga Patchi memang jauh lebih mahal.
Patchi merupakan sebuah merk cokelat premium dari Beirut Libanon. Harga cokelat
ini relatif mahal, dengan kisaran harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Selain
bahan baku cokelat dengan kualitas nomor satu, mahalnya Patchi juga dikarenakan
oleh taburan kristal Swarovski yang melekat pada kemasannya. Dari segi
pemasarannya, Patchi juga tidak dapat ditemukan di toko atau supermarket biasa.
Patchi memiliki outlet khusus dan hanya ada satu di Indonesia, tepatnya di mall
pada tanggal 18 April 2014).
Berbeda dengan Patchi, Silver Queen yang merupakan merk cokelat dari Indonesia
ini harganya hanya berkisar 15 ribu hingga 30 ribu rupiah. Selain itu, Silver Queen
juga dapat ditemukan dengan mudah di toko-toko atau supermarket. Dari segi harga
yang lebih terjangkau serta distribusi produk yang tersebar ini menjadikan Silver
Tokoh Keara di dalam novel ini juga dikonstruksi sebagai sosok yang benci berjalan
kaki, terutama di trotoar Kota Jakarta. Hal ini ditunjukkan dalam potongan narasi di
bawah ini.
“Harris dan Ruly sering sebal kalau mengajakku jalan kaki dari gedung
kantor kami di kawasan SCBD ke Pacific Place untuk makan siang –15
menit jalan kaki di bawah terik matahari dan asap knalpot Jakarta– dan aku
merengek kepanasan, pegal, berpeluh bau matahari, dan mencetus, “Look
what you’ve done to my expensive stilettos!” (Natassa, 2014, h. 34)
Dari kalimat yang digunakan oleh tokoh Keara yang berupa “look what you’ve done
to my expensive stilettos!”, menunjukkan bahwa sosok Keara tidak familiar dengan
aktivitas berjalan kaki karena akan merusak stilettos mahal yang ia kenakan.
Wacana konsumerisme dalam novel Antologi Rasa mengandung makna bahwa gaya
hidup konsumtif yang dilekatkan pada tokoh-tokoh di dalamnya merupakan gaya
hidup yang wajar bagi mereka yang hidup di kota besar dan memiliki status ekonomi
kelas menengah ke atas. Gaya hidup seperti itu dianggap sebagai sesuatu yang
normal dan memang begitu adanya. Dalam hal ini, terciptalah kepatuhan. Tercipta
sebuah kebenaran mengenai gaya hidup masyarakat urban. Lebih jauh lagi,
panoptisme ini dapat mencapai kepatuhan lainnya yaitu, jika ingin menjadi bagian
dari suatu kalangan, maka masyarakat juga harus mengonsumsi barang-barang atau
mengikuti gaya hidup yang dikonsumsi oleh kalangan tersebut.
Kesimpulan