Anda di halaman 1dari 14

REFERAT ILMU PENYAKIT MATA

AFAKIA KONGENITAL

Disusun oleh:
Cindy Riannie
01073170149

Pembimbing:
dr. Josiah Irma, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM LIPPO KARAWACI
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE
PERIODE 13 MEI – 15 JUNI 2019
TANGERANG
DAFTAR ISI

JUDUL ........................................................................................................................................ i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 2

2.1. Definisi ........................................................................................................................ 2

2.2. Epidemiologi ............................................................................................................... 2

2.3. Embriologi dan Anatomi Lensa .................................................................................. 2

2.4. Klasifikasi dan Patofisiologi ....................................................................................... 6

2.5. Manifestasi Klinis ....................................................................................................... 6

2.6. Diagnosis ..................................................................................................................... 8

2.7. Tatalaksana .................................................................................................................. 8

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................... 11

BAB IV DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Afakia di definisikan sebagai absennya lensa pada mata.1 Afakia dapat bersifat
kongenital akibat anomali intrauteri, dan acquired akibat operasi atau trauma. Afakia
kongenital merupakan anomali yang sangat jarang ditemukan,1-4 dan biasanya berhubungan
dengan kelainan struktur okular lainnya.1
Meskipun jarang ditemukan, afakia kongenital dibagi menjadi afakia kongenital primer
dan sekunder. Pada afakia kongenital primer, lensa tidak terbentuk sama sekali, sedangkan
pada afakia kongenital sekunder, lensa terbentuk tetapi kemudian terserap kembali.1-5
Manifestasi klinis dari afakia kongenital sangatlah luas karena biasanya ditemukan
dengan anomali struktur mata lainnya.4,6
Penegakkan diagnosis afakia kongenital dapat diketahui sejak dini yaitu saat
pemeriksaan USG di periode antenatal care, tatalaksana afakia kongenital juga memerluka
faktor dukungan dari orang tua, sehingga guna mendapatkan hasil akhir yang maksimal
diperlukan komunikasi sejak dini.7-9 Tatalaksana afakia kongenital bertujuan untuk
merangsang retina untuk tetap dapat menjalankan fungsinya, sehingga diperlukan koreksi
optikal dengan menggunakan beberapa alat untuk meningkatkan tajam penglihatan.8-10
Pada referat ini akan dibahas mengenai definisi, klasifikasi dan patofisiologi
berdasarkan embriologi, manifestasi klinis, cara penegakkan diagnosa, hingga tatalaksana pada
afakia kongenital.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Afakia kongenital merupakan istilah yang menunjukkan keadaan absennya
lensa pada mata manusia sejak sebelum lahir.1 Afakia kongenital merupakan anomali
yang sangat jarang ditemukan.1,2

2.2. Epidemiologi
Afakia kongenital merupakan anomali yang sangat jarang ditemukan, angka
prevalensi dari kelainan ini juga tidak diketahui.3 Meskipun angka prevalensi afakia
kongenital di seluruh dunia tidak diketahui, tetapi beberapa kasus sempat dilaporkan
dan memenuhi kriteria diagnostic dari afakia kongenital primer, dan kasus-kasus yang
paling terkenal secara histologik di deskripsikan oleh Manschot pada tahun 1963,
namun kasus afakia kongenital pertama kali ditemukan oleh Becker pada tahun 1888.4

2.3. Embriologi dan Anatomi Lensa


Optic Cup dan Lens Vesicle5
Pembentukan mata tampak pada hari ke-22 embrio sebagai sepasang lekukan
dangkal (shallow grooves) pada kedua sisi dari forebrain (Gambar 1). Dengan
menutupnya neural tube, lekukan-lekukan ini akan membentuk rongga seperti kantong
yang menghadap ke luar (outpocketing), yaitu optic vesicles. Kedua vesikel ini
kemudian akan bersentuhan dengan permukaan ektoderm dan memicu terjadinya
perubahan pada ektoderm yang dibutuhkan untuk pembentukan lensa (Gambar 1).
Setelah itu, optic vesicle akan mulai melakukan invaginasi dan membentuk double-
walled optic cup (Gambar 1 dan Gambar 2A).5

2
Gambar 1 A. Perkembangan embrio pada akhir minggu ke-4 menunjukan vesikel optic. B. Potongan
transversal dari forebrain dari embrio hari ke-22; menunjukkan optic grooves. C. Potongan transversal;
optic vesicles bersentuhan dengan permukaan ektoderm. Perhatikan adanya sedikit penebalan dari
lapisan ektoderm (lens placode). D. Potongan transversal; invaginasi dari optic vesicle dan lens
placode.5

Gambar 2 A. Ventrolateral; optic cup dan optic stalk dari embrio usia 6 minggu. B. Potongan
transversal dari optic stalk menunjukkan arteri hyaloid dan choroid fissure. C. Lens vesicle, optic cup,
optic stalk. D. Lens vesicle belum seluruhnya terlepas dari permukaan ektoderm, dan dua lapisan dari
optic cup sudah terbentuk. E. Lens vesicle sudah seluruhnya terlepas dari permukaan ektoderm dan
selanjutnya akan membentuk lens fibers.5

3
Lapisan terdalam dan terluar dari optic cup pada awalnya akan dipisahkan oleh suatu
lumen; intraretinal space (Gambar 2B), namun nantinya lumen ini akan hilang, dan
kedua lapisan tersebut akan menempel satu sama lain (Gambar 2D, 2E).5
Selama proses diatas berjalan, sel-sel dari permukaan ektoderm, yang awalnya
kontak dengan optic vesicle, mulai memanjang dan membentuk lens placode (Gambar
1). Placode ini kemudian akan melakukan invaginasi dan berkembang menjadi lens
vesicle. Pada minggu ke-5, lens vesicle akan kehilangan kontak dengan permukaan
ektoderm sehingga lens vesicle terletak pada bagian mulut dari optic cup (Gambar 2C-
E).5
Setelah lens vesicle telah terbentuk, sel-sel pada dinding lens vesicle posterior
akan mulai memanjang ke arah anterior dan membentuk serat-serat (fibers) panjang
yang perlahan akan mengisi lumen dari vesikel (Gambar 3). Pada akhir minggu ke-7,
primary lens fibers terbentuk dan akan mencapai dinding lens vesicle anterior.
Pertumbuhan dari lensa ini tidak selesai pada tahap ini, namun lens fibers sekunder juga
akan terbentuk dan mengisi pada bagian tengah (Gambar 2C-E dan Gambar 3).5

Gambar 3. Mata pada embrio akhir minggu ke-75

Regulasi Molekular pada Perkembangan Mata


PAX6 merupakan gen kunci regulatori dari perkembangan mata. Awalnya,
faktor transkripsi ini di ekspresikan pada pita di bagian anterior neural ridge dari neural
plate sebelum proses neurulasi dimulai (Gambar 4A,B). Pada tahap ini, terdapat satu
lapang mata yang nantinya akan terpisah menjadi dua optic primordia (Gambar 4B).
Sinyal yang diekspresikan untuk pemisahan tersebut adalah sonic hedgehog (SHH)
yang diekspresikan pada prechordal plate. Ekspresi SHH meregulasi PAX2 lebih
banyak pada bagian tengah dari lapang mata dan menurunkan PAX6. Proses ini

4
kemudian dipertahankan sehingga PAX2 diekpresikan pada optic stalks dan PAX6
diekspresikan pada optic cup dan permukaan ektoderm yang membentuk lensa.
Diferensiasi pada lensa bergantung pada PAX6 meskipun gen ini tidak
bertanggung jawab pada aktivitas induksi oleh optic vesicle. PAX6 berperan pada
lapisan ektoderm untuk meregulasi pembentukan lensa. Ekspresi gen ini meningkatkan
faktor transkripsi SOX2 dan juga mempertahankan ekspresi PAX6 di dalam ektoderm
lensa. Sebagai gantinya, optic vesicle mensekresikan BMP-4, yang juga akan
meningkatkan dan mempertahankan ekspresi SOX2 dan juga LMAF. Selanjutnya,
ekspresi dari dua gen homeobox, SIX3 dan PROX1, diatur oleh PAX6. Kombinasi
ekspresi PAX6, SOX2, dan LMAF akan menginisiasi ekspresi gen yang bertanggung
jawab pada pembentukan lensa kristalin, termasuk PROX1. SIX3 juga berperan
meregulasi produksi kristalin dengan menghambat gen kristalin. Akhirnya, PAX6,
berperan bersama dengan FOX3, meregulasi proliferasi sel di dalam lensa.

Gambar 4 A. Dorsal; cranial neural plate (area warna biru). B,C. Tahap awal dari pembentukan mata.
Transkripsi faktor PAX6 merupakan gen master pada pembentukan mata, yang awalnya diekspresikan
pada pita di tengah dari anterior neural ridge. B. SHH yang disekresikan oleh prechordal plate,
menghambat ekspresi PAX6 pada midline dan meningkatkan ekspresi dari PAX2 di lokasi yang sama.
C. PAX2 meregulasi diferensiasi optic stalk, sedangkan PAX6 melanjutkan meregulasi diferensiasi sel
pada mata.

5
2.4. Klasifikasi dan Patofisiologi
Afakia kongenital dibagi menjadi dua subdivisi; afakia kongenital primer dan
afakia kongenital sekunder.1-4

Afakia Kongenital Primer


Afakia kongenital primer terjadi akibat terhentinya (arrest) perkembangan
embrio pada usia gestasi 4-5 minggu, yaitu saat pembentukan lens placode. Terhentinya
proses embriologi pada usia gestasi ini menyebabkan terjadinya pencegahan
pembentukan struktur lensa apapun, sehingga menyebabkan tidak adanya lensa pada
mata secara seluruhnya, yang nantinya akan menyebabkan defek okular sekunder yang
berat, termasuk aplasia segmen anterior mata.2-4
Afakia kongenital primer disebabkan oleh mutasi pada gen forkhead box protein
E3 (FOXE3) pada manusia dan mencit.2 Fungsi dari FOXE3 pada perkembangan lensa
telah dipelajari dimana mutasi homozigot FOXE3 merupakan penyebab afakia
kongenital primer, dan merupakan gen resesif yang bersifat turunan pada afakia
kongenital primer, dan merupakan gen dominan pada disgenesis okular, katarak, dan
Peter’s anomaly.2,3

Afakia Kongenital Sekunder


Afakia kongenital sekunder merupakan keadaan dimana lensa pada awalnya
terbentuk tetapi selanjutnya terserap kembali atau terekstrusi akibat perforasi kornea
selama periode sebelum atau saat masa persalinan.2 Pada afakia kongenital sekunder,
induksi lensa saat embriologi terjadi, dan lens vesicle terbentuk hingga tahap tertentu,
tetapi kemudian secara progresif di serap kembali (resorbed) sebelum fetus lahir. Hal
tersebut menyebabkan defek okular yang tidak seberat pada kasus afakia kongenital
primer.3,4 Penyebab terserapnya kembali lensa tersebut hingga saat ini tidak diketahui,
tetapi terdapat laporan kasus seorang pasien dengan afakia kongenital sekunder
disebabkan oleh infeksi rubella yang didasari dengan pemeriksaan serologi (hasil tes
pada ibu positif terhadap virus rubella, dan tes darah rubella-spesifik IgM positif pada
anak), penemuan intraoperative, dan ultrasound oftalmik.1

2.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari afakia kongenital baik primer dan sekunder bervariasi
sangat luas berdasarkan ekspresi gen yang dibentuk. Manifestasi klinis yang paling
6
sering ditemui pada kasus afakia kongenital adalah aplasia atau hipoplasia segmen
anterior mata, mikrophthalmia, abnormalitas tajam penglihatan, displasia retina, dan
sklerokornea.4,6

,
Gambar 5. Afakia kongenital primer2

Gambar 6 (Kiri). Afakia kongenital primer menunjukkan adanya bilateral


mikrophthalmia (Kanan). Potongan aksial dari MRI kepala (T1) menunjukkan tidak
adanya lensa, bola mata asimetrik, dan struktur otak yang normal.3

Gambar 7 (Kiri). Afakia kongenital primer dengan bilateral dan mikrophthalmia


simetris. (Kanan). Menggunakan kamera dengan pembesaran lebih tinggi;
sklerokornea.3

Gambar 8. Afakia kongenital sekunder setelah melakukan operasi katarak dan


diberikan koreksi optikal.1

7
2.6. Diagnosis
Diagnosis afakia kongenital dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
ultrasonography (USG) selama masa awal kehamilan dan kemudian di konfirmasi
setelah lahir.7
Pada saat penemuan mengarahkan kecurigaan pada afakia atau pada bayi yang
baru lahir terdapat opasiti mata kebiruan (bluish hue opacities), pemeriksaan genetik
(gen FOXE3 pada kromosom 1p33, SOX2, PAX6), dan konsultasi dengan spesialis
oftalmologi sangat disarankan.7 Pemeriksaan skrining TORCH (Toxoplasmosis,
Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex, dan HIV) perlu dilakukan untuk
mengeksklusi kemungkinan terjadinya infeksi rubella kongenital.1,7
Pemeriksaan penunjang seperti hand-held slit-lamp, B-ultrasound, funduskopi
dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala pada saat bayi lahir juga dapat
dilakukan untuk mengkonfirmasi absennya lensa dan/atau memeriksa dan menilai
defek di struktur mata lainnya.3,8

Gambar 9. Foto digital; bluish hue pada kornea dengan afakia kongenital primer.8

2.7. Tatalaksana
Tatalaksana pada afakia kongenital bertujuan untuk merangsang retina agar
tetap menjalankan fungsinya, sehingga koreksi optikal merupakan tatalaksana yang
sampai saat ini masih dilakukan. Untuk beberapa alasan, koreksi afakia pada anak-anak
dan dewasa tentu berbeda.9 Mata pada anak terus berkembang selama awal masa kanak-
kanaknya. Elemen refraktif mata mengalami perubahan radikal; elongasi aksial (axial
elongation) dan perubahan pada kurvatura kornea merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perubahan refraktif selama awal masa kanak-kanak.9 Singkatnya, rata-
rata kurvatura kornea akan mendatar dari 52D pada saat lahir, menjadi 43,5D pada usia
18 bulan.9 Sebagai tambahan, panjang aksial (axial length) meningkat dari rata-rata
16,8 mm pada saat lahir, menjadi 23,6 mm pada dewasa.9 Alasan yang kedua adalah,
sistem visual anak yang masih imatur dapat memberikan resiko terjadinya ambliopia
jika visual input tidak terfokuskan (defocused) atau tidak sama pada kedua mata. Ketiga,
8
beberapa komplikasi dari koreksi optikal dapat diterima pada dewasa, namun tidak pada
anak-anak.9
Saat ini, koreksi optikal pada anak dengan kondisi afakia mencakup kacamata
afakia, kontak lensa afakia (CLs), dan implantasi IOL (intraocular lens) primer atau
sekunder.

Kacamata Afakia
Kacamata afakia jarang digunakan pada anak dengan afakia binokular atau
monokular. Restriksi penggunaan kacamata afakia adalah menyempitkan lapang
pandang hingga 30o, meningkatkan amplitude nistagmus, dan perbedaan yang jelas
pada ukuran retina hingga 30%.9 Anisometropia juga dapat menyebabkan kebingungan
(confusion) yang dapat menurunkan kerja otak, ambliopia atau anomali retina, dan
strabismus. Kerugian lainnya pada bayi baru lahir (newborns) dan infants adalah berat
dan ukuran dari kacamata tersebut. Jika memang harus digunakan, biasanya pemakaian
kacamata afakia berupa goggles pada newborn dapat diberikan.9

Kontak Lensa Afakia (CLs)


Kontak lensa dapat digunakan pada semua kelompok usia, dan merupakan alat
yang sangat efektif dalam rehabilitasi visual pada afakia pediatrik. Pada kasus afakia
unilateral, pemberian CLs dapat menjadi terapi utama terkait dengan obturasi dari mata
yang normal. Pada kasus bilateral, pemberian CLs dengan tambahan plus power untuk
koreksi penglihatan jarak dekat.9 Terdapat tiga tipe CLs yang digunakan pada afakia
pediatrik: rigid gas permeable (RGP), silicone elastomer, dan lensa hidrogel.9
Lensa silicone elastomer memiliki permeabiltas yang tinggi terhadap oksigen,
dan karena unsur utamanya adalah silicone elastomer, penumpukan lipid-mucin sangat
mudah terakumulasi pada permukaan lensa yang dapat mengakibatkan komplikasi pada
kornea dan konjungtiva. Oleh sebab itu, pemakaian lensa ini hanya diperbolehkan pada
saat pasien terbangun.9
Lensa hidrogel, pada prinsipnya, hanya diperbolehkan pada anak usia lebih dari
4 tahun. Lensa ini tidak dapat digunakan pada newborns dan infants dengan
mikrophthalmia dan kornea yang curam. Pemakaian lensa ini juga memerlukan
tambahan plus power yang tinggi sehingga dapat menurunkan permeabilitas oksigen
yang mengakibatkan komplikasi kornea dan konjungtiva yang berat seperti

9
konjungtivitis, giant papillary conjunctivitis, edema kornea, keratitis infeksi, dan
sebagainya.9 Lensa ini hanya digunakan pada kasus-kasus tertentu.
Lensa RGP dapat menjadi salah satu pilihan tatalaksana afakia pada anak. Pada
kasus dengan diameter kornea yang kecil, lensa ini merupakan pilihan yang baik. Pada
kasus dengan mikrophthalmia, kornea yang curam, pertimbangan yang matang sangat
diperlukan.9
Namun, permasalahan utama dari pemakaian lensa kontak adalah minimnya
ketaatan pemakaian dengan jangka waktu yang lama, hilangnya lensa, dan iritasi okular
dan infeksi.9

Intraocular Lenses (IOL)


Implantasi IOL pada anak memberikan keuntungan yaitu menurunkan tingkat
ketergantungan terhadap alat dibandingkan dengan kacamata afakia dan CLs. Implantas
IOL juga memberikan keuntungan pada perkembangan penglihatan pada pasien dengan
mata yang cenderung ambliopia. Namun, pertimbangan tatalaksana implantasi IOL
adalah kesulitan secara teknis pada saat implantasi IOL pada mata anak, memiliki
power IOL yang sesuai, dan resiko terjadinya opasifikasi aksis visual (VAO) atau
opasifikasi kapsular posterior (PCO) setelah implantasi.9 IOL dan CLs keduanya
memberikan tajam penglihatan yang sama setelah operasi dengan ketaatan penggunaan
CLs yang baik, namun IOL memberikan dampak yang lebih baik pada pasien dengan
ketaatan penggunaan CLs yang buruk. Pilihan IOL untuk afakia kongenital saat ini yang
sering digunakan antara lain, iris clipped, sutured IOLs, dan scleral-haptic fixated
IOLs.10

Ketiga pilihan tatalaksana diatas tetap perlu dipertimbangkan berdasarkan hasil


pemeriksaan struktur mata lainnya. Pemakaian kacamata afakia, pemakaian CLs, dan
implantasi IOL tetap memerlukan faktor ketaatan dari orang tua agar fungsi penglihatan
pada anak dengan afakia kongenital dapat dimaksimalkan. Faktor tersebut seperti
bagaimana orang tua berkomitmen dengan pemakaian kacamata dan CLs afakia, dan
apabila dilakukan operasi, follow-up tetap harus dilakukan terutama pada 6 bulan
pertama.

10
BAB III
KESIMPULAN

Afakia kongenital merupakan anomali yang sangat jarang ditemukan. Meskipun langka,
afakia kongenital dibagi menjadi dua kelompok; (a) afakia kongenital primer, yaitu tidak
adanya lensa yang terbentuk selama proses embriologi sehingga dapat menyebabkan defek
okular sekunder berat, termasuk aplasia komplit dari segmen anterior mata, dan (b) afakia
kongenital sekunder, yaitu lensa terbentuk pada proses embriologi namun pada tahap tertentu,
lensa tersebut di serap kembali atau di ekstrusi akibat perforasi kornea sebelum atau selama
masa persalinan, yang dapat menyebabkan defek okular sekunder yang tidak seberat pada
afakia kongenital.
Terdapat banyak gen, termasuk faktor transkripsi, gen homeobox, dan signaling
molecules yang berpengaruh pada proses pembentukan mata, sehingga terjadinya mutasi pada
salah satu unsur tersebut dapat mengakibatkan terjadinya afakia. Hingga saat ini penyebab
afakia kongenital yang diketahui adalah adanya mutasi pada gen FOXE3 yang merupakan gen
autosomal resesif.
Manifestasi klinis dari afakia kongenital sangat beragam luas karena dapat berkaitan
dengan defek okular lainnya, sehingga pemeriksaan penunjang saat sebelum dan setelah lahir
yang mencakup pemeriksaan ultrasonography pada masa kehamilan, slit-lamp, B-ultrasound,
funduskopi, serta MRI setelah lahir, dapat membantu mengkonfirmasi diagnosa dan
menentukan tatalaksana selanjutnya.
Tatalaksana dari afakia kongenital pada prinsipnya adalah untuk merangsang retina
untuk tetap menjalankan fungsinya semaksimal mungkin, sehingga koreksi optikal untuk
meningkatkan tajam penglihatan pasien merupakan penanganan utama. Tatalaksana ini
mencakup pemberian kacamata afakia, lensa kontak afakia, atau implantasi IOL berdasarkan
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan sebagai pertimbangan tatalaksana yang dipilih.
Selanjutnya, faktor dukungan dari orang tua juga berperan penting pada penanganan
afakia kongenital. Ketataatan dalam melakukan pemeriksaan follow-up atau pemakaian
kacamata atau lensa kontak afakia juga membutuhkan kontribusi dari orang tua yang sangat
besar.

11
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Ionescu C, Dascalescu D, Cristea M, Schmitzer S, Cioboata M, Iancu R, Corbu C.


Secondary congenital aphakia. Rom J Ophthalmol. 2016; 60:37-9.
2. Anjum I, Eiberg H, Baig SH, Tommerup N, Hansen L. A mutation in the FOXE3 gene
causes congenital primary aphakia in an autosomal recessive consanguineous Pakistani
family. Mol Vis. 2010; 16:549-55.
3. Valleix S, Niel F, Nedelec B, Algros M, Schwartz C, Delbosc B, dkk. Homozygous
nonsense mutation in the FOXE3 gene as a cause of congenital primary aphakia in humans.
Am J Hum Genet. 2006; 79:358-64.
4. Manschot WA. Primary congenital aphakia. Arch Ophthalmol. 1963; 69:571-7.
5. Sadler TW. Eye dalam Langman’s Medical Embryology. Edisi ke-12. Filadelfia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2012. h.329-38.
6. Anonimus. Congenital primary aphakia. Orphanet J Rare Dis. 2019 [dikunjungi pada 16
Mei 2019]. Tersedia dari: https://www.orpha.net/consor/cgi-
bin/Disease_HPOTerms.php?lng=EN&data_id=11574&Typ=Pat&diseaseType=Pat&fro
m=rightMenu
7. Meglio FD, Vascone C, Meglio LD, Turco lcl, Vitale SG, Cignini P, dkk. Ultrasound
prenatal diagnosis of congenital primary aphakia: case report. J Perinat Med. 2015; 9:16-
17.
8. Ramappa M, Chaurasia S, Jalali S. Keratoplasty in congenital primary aphakia. Indian J
Ophthalmol. 2018; 66:341-2.
9. Rafii AB, Shirzadeh E, Eslani M, Akbari M. Optical correction of aphakia in children. J
Ophthalmic Vis Res. 2014; 9:71-82.
10. Cheng CSM, Ghanam OAA, Dhawahir-Scala F. Managing aphakia without capsular
support. 2017 [dikunjungi pada 18 Mei 2019]. Tersedia dari: https://www.retina-
specialist.com/article/managing-aphakia-without-capsular-support

12

Anda mungkin juga menyukai