Afakia Kongenital - Cindy Riannie
Afakia Kongenital - Cindy Riannie
AFAKIA KONGENITAL
Disusun oleh:
Cindy Riannie
01073170149
Pembimbing:
dr. Josiah Irma, Sp.M
JUDUL ........................................................................................................................................ i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Afakia di definisikan sebagai absennya lensa pada mata.1 Afakia dapat bersifat
kongenital akibat anomali intrauteri, dan acquired akibat operasi atau trauma. Afakia
kongenital merupakan anomali yang sangat jarang ditemukan,1-4 dan biasanya berhubungan
dengan kelainan struktur okular lainnya.1
Meskipun jarang ditemukan, afakia kongenital dibagi menjadi afakia kongenital primer
dan sekunder. Pada afakia kongenital primer, lensa tidak terbentuk sama sekali, sedangkan
pada afakia kongenital sekunder, lensa terbentuk tetapi kemudian terserap kembali.1-5
Manifestasi klinis dari afakia kongenital sangatlah luas karena biasanya ditemukan
dengan anomali struktur mata lainnya.4,6
Penegakkan diagnosis afakia kongenital dapat diketahui sejak dini yaitu saat
pemeriksaan USG di periode antenatal care, tatalaksana afakia kongenital juga memerluka
faktor dukungan dari orang tua, sehingga guna mendapatkan hasil akhir yang maksimal
diperlukan komunikasi sejak dini.7-9 Tatalaksana afakia kongenital bertujuan untuk
merangsang retina untuk tetap dapat menjalankan fungsinya, sehingga diperlukan koreksi
optikal dengan menggunakan beberapa alat untuk meningkatkan tajam penglihatan.8-10
Pada referat ini akan dibahas mengenai definisi, klasifikasi dan patofisiologi
berdasarkan embriologi, manifestasi klinis, cara penegakkan diagnosa, hingga tatalaksana pada
afakia kongenital.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Afakia kongenital merupakan istilah yang menunjukkan keadaan absennya
lensa pada mata manusia sejak sebelum lahir.1 Afakia kongenital merupakan anomali
yang sangat jarang ditemukan.1,2
2.2. Epidemiologi
Afakia kongenital merupakan anomali yang sangat jarang ditemukan, angka
prevalensi dari kelainan ini juga tidak diketahui.3 Meskipun angka prevalensi afakia
kongenital di seluruh dunia tidak diketahui, tetapi beberapa kasus sempat dilaporkan
dan memenuhi kriteria diagnostic dari afakia kongenital primer, dan kasus-kasus yang
paling terkenal secara histologik di deskripsikan oleh Manschot pada tahun 1963,
namun kasus afakia kongenital pertama kali ditemukan oleh Becker pada tahun 1888.4
2
Gambar 1 A. Perkembangan embrio pada akhir minggu ke-4 menunjukan vesikel optic. B. Potongan
transversal dari forebrain dari embrio hari ke-22; menunjukkan optic grooves. C. Potongan transversal;
optic vesicles bersentuhan dengan permukaan ektoderm. Perhatikan adanya sedikit penebalan dari
lapisan ektoderm (lens placode). D. Potongan transversal; invaginasi dari optic vesicle dan lens
placode.5
Gambar 2 A. Ventrolateral; optic cup dan optic stalk dari embrio usia 6 minggu. B. Potongan
transversal dari optic stalk menunjukkan arteri hyaloid dan choroid fissure. C. Lens vesicle, optic cup,
optic stalk. D. Lens vesicle belum seluruhnya terlepas dari permukaan ektoderm, dan dua lapisan dari
optic cup sudah terbentuk. E. Lens vesicle sudah seluruhnya terlepas dari permukaan ektoderm dan
selanjutnya akan membentuk lens fibers.5
3
Lapisan terdalam dan terluar dari optic cup pada awalnya akan dipisahkan oleh suatu
lumen; intraretinal space (Gambar 2B), namun nantinya lumen ini akan hilang, dan
kedua lapisan tersebut akan menempel satu sama lain (Gambar 2D, 2E).5
Selama proses diatas berjalan, sel-sel dari permukaan ektoderm, yang awalnya
kontak dengan optic vesicle, mulai memanjang dan membentuk lens placode (Gambar
1). Placode ini kemudian akan melakukan invaginasi dan berkembang menjadi lens
vesicle. Pada minggu ke-5, lens vesicle akan kehilangan kontak dengan permukaan
ektoderm sehingga lens vesicle terletak pada bagian mulut dari optic cup (Gambar 2C-
E).5
Setelah lens vesicle telah terbentuk, sel-sel pada dinding lens vesicle posterior
akan mulai memanjang ke arah anterior dan membentuk serat-serat (fibers) panjang
yang perlahan akan mengisi lumen dari vesikel (Gambar 3). Pada akhir minggu ke-7,
primary lens fibers terbentuk dan akan mencapai dinding lens vesicle anterior.
Pertumbuhan dari lensa ini tidak selesai pada tahap ini, namun lens fibers sekunder juga
akan terbentuk dan mengisi pada bagian tengah (Gambar 2C-E dan Gambar 3).5
4
kemudian dipertahankan sehingga PAX2 diekpresikan pada optic stalks dan PAX6
diekspresikan pada optic cup dan permukaan ektoderm yang membentuk lensa.
Diferensiasi pada lensa bergantung pada PAX6 meskipun gen ini tidak
bertanggung jawab pada aktivitas induksi oleh optic vesicle. PAX6 berperan pada
lapisan ektoderm untuk meregulasi pembentukan lensa. Ekspresi gen ini meningkatkan
faktor transkripsi SOX2 dan juga mempertahankan ekspresi PAX6 di dalam ektoderm
lensa. Sebagai gantinya, optic vesicle mensekresikan BMP-4, yang juga akan
meningkatkan dan mempertahankan ekspresi SOX2 dan juga LMAF. Selanjutnya,
ekspresi dari dua gen homeobox, SIX3 dan PROX1, diatur oleh PAX6. Kombinasi
ekspresi PAX6, SOX2, dan LMAF akan menginisiasi ekspresi gen yang bertanggung
jawab pada pembentukan lensa kristalin, termasuk PROX1. SIX3 juga berperan
meregulasi produksi kristalin dengan menghambat gen kristalin. Akhirnya, PAX6,
berperan bersama dengan FOX3, meregulasi proliferasi sel di dalam lensa.
Gambar 4 A. Dorsal; cranial neural plate (area warna biru). B,C. Tahap awal dari pembentukan mata.
Transkripsi faktor PAX6 merupakan gen master pada pembentukan mata, yang awalnya diekspresikan
pada pita di tengah dari anterior neural ridge. B. SHH yang disekresikan oleh prechordal plate,
menghambat ekspresi PAX6 pada midline dan meningkatkan ekspresi dari PAX2 di lokasi yang sama.
C. PAX2 meregulasi diferensiasi optic stalk, sedangkan PAX6 melanjutkan meregulasi diferensiasi sel
pada mata.
5
2.4. Klasifikasi dan Patofisiologi
Afakia kongenital dibagi menjadi dua subdivisi; afakia kongenital primer dan
afakia kongenital sekunder.1-4
,
Gambar 5. Afakia kongenital primer2
7
2.6. Diagnosis
Diagnosis afakia kongenital dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
ultrasonography (USG) selama masa awal kehamilan dan kemudian di konfirmasi
setelah lahir.7
Pada saat penemuan mengarahkan kecurigaan pada afakia atau pada bayi yang
baru lahir terdapat opasiti mata kebiruan (bluish hue opacities), pemeriksaan genetik
(gen FOXE3 pada kromosom 1p33, SOX2, PAX6), dan konsultasi dengan spesialis
oftalmologi sangat disarankan.7 Pemeriksaan skrining TORCH (Toxoplasmosis,
Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex, dan HIV) perlu dilakukan untuk
mengeksklusi kemungkinan terjadinya infeksi rubella kongenital.1,7
Pemeriksaan penunjang seperti hand-held slit-lamp, B-ultrasound, funduskopi
dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala pada saat bayi lahir juga dapat
dilakukan untuk mengkonfirmasi absennya lensa dan/atau memeriksa dan menilai
defek di struktur mata lainnya.3,8
Gambar 9. Foto digital; bluish hue pada kornea dengan afakia kongenital primer.8
2.7. Tatalaksana
Tatalaksana pada afakia kongenital bertujuan untuk merangsang retina agar
tetap menjalankan fungsinya, sehingga koreksi optikal merupakan tatalaksana yang
sampai saat ini masih dilakukan. Untuk beberapa alasan, koreksi afakia pada anak-anak
dan dewasa tentu berbeda.9 Mata pada anak terus berkembang selama awal masa kanak-
kanaknya. Elemen refraktif mata mengalami perubahan radikal; elongasi aksial (axial
elongation) dan perubahan pada kurvatura kornea merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perubahan refraktif selama awal masa kanak-kanak.9 Singkatnya, rata-
rata kurvatura kornea akan mendatar dari 52D pada saat lahir, menjadi 43,5D pada usia
18 bulan.9 Sebagai tambahan, panjang aksial (axial length) meningkat dari rata-rata
16,8 mm pada saat lahir, menjadi 23,6 mm pada dewasa.9 Alasan yang kedua adalah,
sistem visual anak yang masih imatur dapat memberikan resiko terjadinya ambliopia
jika visual input tidak terfokuskan (defocused) atau tidak sama pada kedua mata. Ketiga,
8
beberapa komplikasi dari koreksi optikal dapat diterima pada dewasa, namun tidak pada
anak-anak.9
Saat ini, koreksi optikal pada anak dengan kondisi afakia mencakup kacamata
afakia, kontak lensa afakia (CLs), dan implantasi IOL (intraocular lens) primer atau
sekunder.
Kacamata Afakia
Kacamata afakia jarang digunakan pada anak dengan afakia binokular atau
monokular. Restriksi penggunaan kacamata afakia adalah menyempitkan lapang
pandang hingga 30o, meningkatkan amplitude nistagmus, dan perbedaan yang jelas
pada ukuran retina hingga 30%.9 Anisometropia juga dapat menyebabkan kebingungan
(confusion) yang dapat menurunkan kerja otak, ambliopia atau anomali retina, dan
strabismus. Kerugian lainnya pada bayi baru lahir (newborns) dan infants adalah berat
dan ukuran dari kacamata tersebut. Jika memang harus digunakan, biasanya pemakaian
kacamata afakia berupa goggles pada newborn dapat diberikan.9
9
konjungtivitis, giant papillary conjunctivitis, edema kornea, keratitis infeksi, dan
sebagainya.9 Lensa ini hanya digunakan pada kasus-kasus tertentu.
Lensa RGP dapat menjadi salah satu pilihan tatalaksana afakia pada anak. Pada
kasus dengan diameter kornea yang kecil, lensa ini merupakan pilihan yang baik. Pada
kasus dengan mikrophthalmia, kornea yang curam, pertimbangan yang matang sangat
diperlukan.9
Namun, permasalahan utama dari pemakaian lensa kontak adalah minimnya
ketaatan pemakaian dengan jangka waktu yang lama, hilangnya lensa, dan iritasi okular
dan infeksi.9
10
BAB III
KESIMPULAN
Afakia kongenital merupakan anomali yang sangat jarang ditemukan. Meskipun langka,
afakia kongenital dibagi menjadi dua kelompok; (a) afakia kongenital primer, yaitu tidak
adanya lensa yang terbentuk selama proses embriologi sehingga dapat menyebabkan defek
okular sekunder berat, termasuk aplasia komplit dari segmen anterior mata, dan (b) afakia
kongenital sekunder, yaitu lensa terbentuk pada proses embriologi namun pada tahap tertentu,
lensa tersebut di serap kembali atau di ekstrusi akibat perforasi kornea sebelum atau selama
masa persalinan, yang dapat menyebabkan defek okular sekunder yang tidak seberat pada
afakia kongenital.
Terdapat banyak gen, termasuk faktor transkripsi, gen homeobox, dan signaling
molecules yang berpengaruh pada proses pembentukan mata, sehingga terjadinya mutasi pada
salah satu unsur tersebut dapat mengakibatkan terjadinya afakia. Hingga saat ini penyebab
afakia kongenital yang diketahui adalah adanya mutasi pada gen FOXE3 yang merupakan gen
autosomal resesif.
Manifestasi klinis dari afakia kongenital sangat beragam luas karena dapat berkaitan
dengan defek okular lainnya, sehingga pemeriksaan penunjang saat sebelum dan setelah lahir
yang mencakup pemeriksaan ultrasonography pada masa kehamilan, slit-lamp, B-ultrasound,
funduskopi, serta MRI setelah lahir, dapat membantu mengkonfirmasi diagnosa dan
menentukan tatalaksana selanjutnya.
Tatalaksana dari afakia kongenital pada prinsipnya adalah untuk merangsang retina
untuk tetap menjalankan fungsinya semaksimal mungkin, sehingga koreksi optikal untuk
meningkatkan tajam penglihatan pasien merupakan penanganan utama. Tatalaksana ini
mencakup pemberian kacamata afakia, lensa kontak afakia, atau implantasi IOL berdasarkan
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan sebagai pertimbangan tatalaksana yang dipilih.
Selanjutnya, faktor dukungan dari orang tua juga berperan penting pada penanganan
afakia kongenital. Ketataatan dalam melakukan pemeriksaan follow-up atau pemakaian
kacamata atau lensa kontak afakia juga membutuhkan kontribusi dari orang tua yang sangat
besar.
11
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
12