Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSHIP

SINDROM NEFROTIK
Ilmu Penyakit Dalam
dr. Saddam Adriansyah Sudardono

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SINJAI


2016
No. ID dan Nama Peserta : dr. Tika Martika Rini
No. ID dan Nama Wahana: RSUD Sinjai
Topik: Sindrom Nefrotik
Tanggal (kasus) :
 Nama Pasien : Ny. M No. RM: 08319*
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Umur : 29 tahun

Tanggal presentasi : / /2016 Pendamping:

dr. Asria Rusdi dr. Syarifah Husnah


Tempat presentasi:
Obyek presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:

Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RSUD Cilegon dengan keluhan badan lemas sejak 1
minggu yang lalu. Keluhan disertai dengan perut membuncit sejak satu bulan yang lalu. Dan
kedua kaki bengkak sejak 4 hari yang lalu. Awalnya bengkak dialami pada kedua kelopak mata
pada saat bangun tidur di pagi hari. Kemudian diikuti bengkak pada badan dan pada kedua kaki.
Demam tidak ada, riwayat demam tidak ada.
Buang air besar tidak hitam dan buang air kecil lancar. Namun buang air kecil agak keruh
yang sudah berlangsung 2 hari terakhir ini. Pasien juga mempunyai riwayat minum minuman
kemasan sejak SD.

Tujuan: : Menegakkan diagnosis dan penataksanaan


Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan: pustaka

2
Cara Diskusi Presentasi dan E-mail Pos
membahas: diskusi

Data Pasien: Nama: Ny. M No.Registrasi: 08389*


Nama klinik RSUD Sinjai
Data utama untuk bahan diskusi:
Pemeriksaan Subjektif
Anamnesis :

Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RSUD Cilegon dengan keluhan badan lemas sejak 1
minggu yang lalu. Keluhan disertai dengan perut membuncit sejak satu bulan yang lalu. Dan
kedua kaki bengkak sejak 4 hari yang lalu. Awalnya bengkak dialami pada kedua kelopak mata
pada saat bangun tidur di pagi hari. Kemudian diikuti bengkak pada badan dan pada kedua kaki.
Demam tidak ada, riwayat demam tidak ada.
Buang air besar tidak hitam dan buang air kecil lancar. Namun buang air kecil agak keruh
yang sudah berlangsung 2 hari terakhir ini. Pasien juga mempunyai riwayat minum minuman
kemasan sejak SD.
Riwayat Penyakit dahulu, tidak ada riwayat asma, sesak napas atau penyakit lain. Pada
keluarga tidak ada yang pernah mengalami keluhan yang sama dengan pasien.

Pemeriksaan Objektif
Pemeriksaan fisik:
Kesadaran kompos mentis, status gizi cukup. Tanda vital tekanan darah 140/100 mmHg, nadi 80
x/menit, pernafasan 22 x/menit, suhu 36,5oC. Pemeriksaan kepala didapatkan edema pada
kelopak mata. Pada leher dalam batas normal. Pada thorak didapatkan pemeriksaan Paru
Inspeksi retraksi (-), simetris kiri = kanan, palpasi vokal fremitus kiri = kanan, nyeri tekan (-),
Perkusi sonor kiri = kanan, batas paru hepar ICS IV anterior kanan, Auskultasi vesikuler +/+,
ronki +/+, wheezing -/-.
Pemeriksaan jantung, inspeksi Apex Cordis tidak tampak, palpasi Apex Cordis tidak
kuat angkat, perkusi pekak, batas jantung kanan linea parasternal kanan, batas jantung kiri 1
jari ke lateral dari linea midclavicularis kiri ICS V, auskultasi : BJ I/II murni regular, suara
tambahan (-)
Pemeriksaan abdomen inspeksi cembung, hepar dan lien tidak teraba, undulasi (+).

3
Extermitas hangat, kering, merah, edema (+) pada tungkai simetris.

Pemeriksaan laboratorium :
WBC 8.300 /uL, RBC 4,02 juta/uL, Hb 11,5 g/dL, Hematokrit 34,6%, Trombosit 191.000
/uL. Ureum 80 mg/dL, Creatinin 0,6 mg/dl, SGOT 48 mmol/L, SGPT 70 mg/dl, Trigliserida 432
mg/dl, Cholesterol total 424 mg/dl.

Daftar Pustaka

1. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website: Indonesia Kidney Care
Club. [cited 2010, Dec 12]. Available: http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170

2. A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik
PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009
3. Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran
No. 150, 2006 53. Website: kalbe farma. [cited 2010, Nov 28]. Available:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_150_Sindrom
aNefrotikPatogenesis.html

4. Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology. Mar 17, 2010. [cited Dec 05,
2010]. Available: http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview

5. Ganong. W.F., editor Widjajakusumah D.H.M. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran., edisi
Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC. 2001
6. Guyton.A.C. et all .Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelpia: Elsevier saunders.
1996
7. Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3rd edition. New York: Mcgraw-hill.2001
8. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008:
vol.336.Website: BMJ. [cited 2010 Dec, 20]
9. Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In : Webb NJ.A,
Postlethwaite RJ ed. Clinical Paediatric Nephrology.3rd ED. Great Britain: Oxford
Universsity Press., 197-22
10. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrison’s Manual Of Medicine. 17th ed. USA:
McGraw Hill. 2008. Page: 803-806
11. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. 4th ed. Jakarta: IPD FKUI.

4
2007. Hal: 547-549

12. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US: FA Davis
Company; 2007
13. Stephen JM, William G. Nephrotic Syndrome. Pathophysiology of Disease. 5th ed. USA:
Lange-Mc Graw Hill. 2003. Page: 476-477

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:

1. Subyektif:
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis :
 Keluhan utama : Sesak
 Riwayat perjalanan penyakit :
Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RSUD Cilegon dengan keluhan badan
lemas sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan disertai dengan perut membuncit sejak satu
bulan yang lalu. Dan kedua kaki bengkak sejak 4 hari yang lalu. Awalnya bengkak
dialami pada kedua kelopak mata pada saat bangun tidur di pagi hari. Kemudian diikuti
bengkak pada badan dan pada kedua kaki.
Demam tidak ada, riwayat demam tidak ada. Buang air besar tidak hitam dan
buang air kecil lancar. Namun buang air kecil agak keruh yang sudah berlangsung 2 hari
terakhir ini. Pasien juga mempunyai riwayat minum minuman kemasan sejak SD.
 Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah berobat ke manapun terkait dengan keluhannya saat ini.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat penyakit jantung, paru, ginjal,
kencing manis, darah tinggi disangkal.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang sakit seperti pasien.
 Riwayat Psikososial (Pendidikan dan Sosial Ekonomi)
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Perkawinan : Sudah menikah

2. Obyektif:

5
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Status Gizi : Cukup
Tanda Vital
Tekanan Darah: 140/100 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36,5oC
Kepala dan leher
Mata : Anemis (-), sklera ikterus (-), reflek cahaya +/+, edema palpebra (+/+)
Bibir : Sianosis (-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Leher : JVP+2 cm H2O, deviasi trakea (-)
Thorak
Paru
Inspeksi : Retraksi (-), Simetris kiri = kanan
Palpasi : Vokal fremitus kiri = kanan, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor kiri = kanan
Batas paru hepar ICS IV anterior kanan
Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Apex Cordis tidak tampak
Palpasi : Apex Cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung kanan linea parasternal kanan, batas jantung kiri 1 jari
ke lateral dari linea midclavicularis kiri ICS V
Auskultasi : BJ I/II murni regular, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, simetris, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa tumor (-), Hepar dan Lien tidak teraba, undulasi (+)
Lingkar perut : +90cm

6
Perkusi : Shifting dullness
Extermitas : Hangat, kering, merah, edema (+) pretibial.

Labolatorium
 Hb : 11,5 gr/dl
 Leukosit : 8.300 /UL
 Ht : 34,6 %
 Trombosit : 191.000 /UI
 GDP : 90 mg/dl
 Kolesterol total : 424 mg/dl
 Kolesterol HDL : 15 mg/dl
 Trigliserida : 869 mg/dl
 Protein total : 4,4 g/dl
 Albumin : 1,7 g/dl
 Globulin : 2,7 g/dl
 SGOT : 15 U/I
 SGPT : 15 U/I
 Ureum : 32 mg/dl
 Kreatinin : 0,7 mg/dl
Urinalisa Makroskopis
 Warna : Kuning muda
 Kekeruhan : Jernih
 Keton : (-)
 Darah samar :+2
 Bilirubin : (-)
 Urobilinogen : (+)
 Nitrit : (-)
 Berat jenis : 1,015
 pH : 6,5
 Albumin : +3
 Glukosa : (-)

7
Urinalisa Mikroskopis
 Leukosit : 15-20 / LPB
 Eritrosit : 2-4 / LPB
 Lain-Lain : (-)

RONTGEN THORAKS PA
COR : CTR < 50 % bentuk dan letak normal
Pulmo : Corakan bronkovaskuler paru kanan kiri memadai, tak tampak infiltrat pada kedua
lapangan paru
Hilus kanan kiri tak menebal
Sinus diafragma kanan kiri baik
Diafragma kanan setinggi kosta 8 posterior, kiri 9 posterior
Tulang – tulang dan jaringan lunak baik
Kesan : *Cor dan pulmo dalam batas normal
*Diafragma kanan kiri letak tinggi  e.c. ascites

3. Pendekatan Diagnosis
SINDROM NEFROTIK
Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang
ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24jam/1.73 m3 disertai hipoalbuminemia, edema
anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. [1,2,3]

Etiologi [11]
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat
infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin,
dan akibat penyakit sistemik seperti berikut:

A. glomerulonefritis (GN) primer:


- GN lesi minimal (GNLM)
- Glomerulosklerosis fokal (GSF)
- GN membranosa (GNMN)

8
- GN membranoproliferatif (GNMP)
- GN proliferatif lain
B. GN sekunder akibat:
i. infeksi: - HIV, hepatitis virus B dan C
- sifilis, malaria, skistosoma
- tbc, lepra
ii. keganasan: - adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgki, mieloma
multiple, dan karsinoma ginjal
iii. penyakit jaringan penghubung: - SLE, artritis reumatoid
iv. efek obat dan toksin: obat NSAID, preparat emas, penisilinamin, probenesid, captopril
v. lain-lain: diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsi, sengatan lebah

Klasifikasi [4,8,10,11]
Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 3 kelompok:
I. Sindrom Nefrotik Bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya
adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua
pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa
neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya.
II. Sindrom Nefrotik Sekunder disebabkan oleh:
 Malaria kuartana atau parasit lain.
 Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
 Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombosis vena renalis.
 Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah,
racun oak, air raksa.
 Amiloidosis, penyakit anemia sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif
hipokomplementemik.
III. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan, yaitu :
a. Kelainan minimal
 Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot processus sel epitel
berpadu (mikroskop elektron)
 Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada dinding

9
kapiler glomerolus
 Lebih banyak terdapat pada anak
 Prognosis baik
b. Nefropati membranosa
 Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel
 Prognosis kurang baik
c. Glomerulonefritis proliferatif
 Eksudatif difus
Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus.
Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
 Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.
 Dengan bulan sabit (crescent)
Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral.
 Glomelurosklerosis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis
de mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-IA rendah.
d. Glomelurosklerosis Fokal Segmental
 Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus
 Prognosis buruk

Patofisiologi [3,4,8,10,11]

10
Gambar 1

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik,


namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat
menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel
kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan
albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.
Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat
rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler.


Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang
intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau
volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi
natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan
tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran
plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya
mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas sistem
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon)
dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan

11
kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan
bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia.
Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut.
Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan
penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang
disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal
primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema
terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini
dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron
rendah sebagai akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan
mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin
merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu. [11]
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan
aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-glikoprotein sebagai perangsang lipase.
Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein),
lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan
peningkatan VLDL ( very low density lipoprotein).
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan
lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan
peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis lipoprotein hati
terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL
turun diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase )
yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut
kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga
terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. [3]

Gejala Klinis [3,4,8]


Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak
periorbital, dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi edema
anasarka. Keluhan jarang selain malaise ringan dan nyeri perut.Anoreksia dan hilangnya protein

12
di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia
umbilikalis dan prolaps ani. Bila edema berat dapat timbul dispnoe akibat efusi pleura.
Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin
yang meningkat.

Kelainan Urin dan Darah Pada Pasien Sindrom Nefrotik [3,11]


Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan
kehilangan protein urinaria yang masif proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam atau ≥
3,5 g/hari), hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia, dan tanpa
ataupun disertai edema dan hiperkolesterolemia. Biasanya sedimen urin normal namun bila
didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal :
sklerosis glomerulus fokal).

Pemeriksaan laboratorium[2,3,11]
 Urin : - Volumenya : normal sampai kurang
- Berat jenis : normal sampai meningkat
- Proteinuria masif (>29gr / 24 jam)
- Glikosuria akibat disfungsi tubulus proksimal
- Sedimen : silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak,
oval fat bodies, leukosit normal sampai meningkat.

Albumin: Kualitatif: ++ sampai ++++


Kuantitatif: >50 mg/KgBB/hari (diperiksa memakai reagens ESBACH)
Sedimen: oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang
dijumpai eritrosit, lekosit, toraks hilain dan toraks eritrosit.
Hal tersebut diatas dikatakan sebagai proteinuria atau dapat juga disebut albuminuria. Albumin
adalah salah satu jenis protein. Ada dua sebab yang menimbulkan proteinuria, yaitu:
permeabilitas kapiler glomelurus yang meningkat akibat kelainan atau kerusakan mbg dan
reabsorpsi protein di tubulus berkurang. Oleh karena proteinuria parallel dengan kerusakan mbg,
maka proteinuria dapat dipakai sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat
glomerulus. Jadi yang diukur adalah index selectivity of proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan
dengan cara mengukur rasio antara clearance igG dan cleareance transferin.

13
Darah (2,4,7)
 Darah : - Hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl)
- Kolesterol meningkat (>200 mg% , TG > 300mg%)
- Kalsium menurun
- Ureum Normal
- Hb menurun, LED meningkat

Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:


 Protein total menurun (N : 6,2-8,1 mg/100ml)
 Albumin menurun (N : 4-5,8 mg/100ml). hal ini disebut sebagai hipoalbuminemia (nilai kadar
albumin dalam darah < 2,5 gram/100 ml). SN kelainan ini dapat disebabkan oleh:
- Proteinuria
- Katabolisme protein yang berlebihan
- Nutricional deficiency

Pemeriksaan urin yang didapatkan [7,10]:


Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes asam acetat)
didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin sangat keruh dan kekeruhan
berkeping-keping besar atau bergumpal-gumpal atau memadat (> 0,5%).
Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya) didapatkan hasil
proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15 gram/hari.
Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam.
Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini berlangsung selama
edema masih ada.
Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid
ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan pewarnaan
Sudan III).

Pemeriksaan darah yang didapatkan [2,3,11]:


Hipoalbuminemia sehingga ditemukan perbandingan albumin-globulin terbalik.
Hiperkolesterolemia

14
Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik Secara Suportif, Diitetik dan Medikamentosa Suportif:

Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar
dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati
komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol
edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid,
metalazon dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan
mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kg
BB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin
(angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II
receptor antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai
efek aditif dalam menurunkan proteinuria.
Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian
antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti memberikan
keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol
keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin
dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan kolesterol HDL. [11]
 Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas)
 Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam
urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB
ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.
 Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 – 2 gram/hari. Menggunakan garam
secukupnya dalam makanan dan menghidari makanan yang diasinkan.
 Diet rendah kolestrol < 600 mg/hari
 Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap ± 900 sampai 1200 ml/ hari

Medikamentosa: [3,8,11]
 Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien hingga kadar
albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring meningkatnya kembali tekanan
osmotik plasma.
 Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam,
sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton,

15
atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau
butematid. Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan komplikasi
seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler berat. Perlu
diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah,
apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta
muntahan bila ada harus dipantau secara berkala.[3,4]
 Pemberian ACE-inhibitors misalnya enalpril, captopril atau lisinopril untuk menurunkan
pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi
pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut
dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan
gangguan fungsi ginjal.
 Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada pasien yang
tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang ketergantungan dengan
kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2 - 3
mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Obat-obat
tersebut harus diperhatikan selama pemberian karena dapat menekan hormon gonadal
(terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemorrhagik dan menekan produksi
sel sumsum tulang. [1,2,3]

Komplikasi Sindrom Nefrotik [3,8,11]


1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan hemostasis pada
sindrom nefrotik:
Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
a) Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti AT III,
protein S bebas, plasminogen dan α antiplasmin.
b) Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2,
meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya
fibrinolisis.
Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan
oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang selanjutnya
mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.

16
2. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus, bronkopneumonia,
TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit
ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan
organisme apabila kelainan kulit dibiakan.
3. Gangguan tubulus renalis
Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya
reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa
henle tebal.
Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah
pemberian beban asam.
4. Gagal ginjal akut.
Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena edema
interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan
penurunan LFG.
5. Anemia
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap
pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum yang
menurun akibat proteinuria.
Prognosis Sindrom Nefrotik [3,4,8,11]

Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat
mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun
proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap
kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat
infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal
ginjal.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan
kortikosteroid

4. Rencana Penatalaksanaan
f. Diagnosis Kerja
Diagnosa Primer: Sindrom Nefrotik
Diagnosa Sekunder : -
g. Penatalaksanaan

17
 Bedrest
 IVFD RL 16 tpm
 Injeksi Ranitidin ampul/12 jam
 Injeksi vitamin B1,B6,B12 ampul / 12 jam
 Injeksi Furosemid 1 ampul/ 24 jam
 Diet protein 0,8 gr/KgBB
 Methil Prednisolone tab 16 mg 2 x 1 pagi dan siang
 Simvastatin tab 20 mg 1 x 1

PROGNOSIS
Prognosis: Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia

18

Anda mungkin juga menyukai