BIOTEKNOLOGI TANAH
Disusun oleh:
I WAYAN DANA ATMAJA
Halaman
DAFTAR ISI 1
KATA PENGANTAR 3
PRAKATA 4
I. PENDAHULUAN 5
1.1. Batasan Bioteknologi 5
1.2. Perkembangan Bioteknologi dalam Pertanian 7
II. LIMBAH ORGANIK DAN PENGELOLAANNYA 11
2.1. Pengertian Limbah 11
2.2. Pengelolaan Limbah Organik 13
III.KOMPOS 20
IV. PERANAN JASAD HIDUP DALAM PENYEDIAAN HARA 25
V. CACING TANAH 29
5.1. Pengenalan dan Klasifikasi Cacing Tanah 30
5.2. Distriusi dan Ekologi Cacing Tanah 32
5.3. Peran Cacing Tanah dalam Meningkatkan Kesuburan tanah 33
VI. MIKORIZA 37
6.1. Pengertian dan tipe MVA 37
6.2. Anatomi dan morfologi MVA 39
6.3. Faktor yang mempengaruhi Perkembangan MVA 43
6.4. Peranan MVA 47
VII. MIKROORGANISME PELARUT FOSFAT 52
7.1. Jenis miroorganisme Pelarut Fosfat 52
7.2. Mekanisme dan potensi/ Kemampuan Melarutkan Fosfat 53
7.3. Aspek Agronomi 54
7.4. Hasil Penelitian Penggunaan BPF 55
VIII. AZOLLA DAN GANGGANG 57
8.1. Azolla 57
8.2. Ganggang (Algae) 63
1
IX. RHIZOBIUM 70
9.1. Pengelompokan Rhizobium 70
9.2. Simbiosis Tanaman Legum (Kedeli) dengan Rhizobium 72
9.3. Proses Pembentukan Bintil Akar 74
9.4. Proses Penambatan N2 76
9.5. Fakto Faktor yang Mempengaruhi Penambatan N2 78
2
KATA PENGANTAR
Perkuliahan akan berjalan baik dan efektif, bila sarana dan prasarana tersedia
sesuai dengan kebutuhan. Salah satu diantaranya adalah Buku Ajar yang sebaiknya
telah tersedia untuk setiap mata kuliah.
Penulis telah memikirkan hal tersebut di atas sejak lama. Namun karena
terbatasnya biaya yang ada dan berbagai faktor penghambat maka tahun 2001 baru
mampu menyusun Ringkasan Kuliah dengan judul Bioteknologi Tanah. Pada tahun
2006 dengan adanya kegiatan PHK A-1 di Jurusan Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Udayana, maka penulis diberi kesempatan untuk menyusun buku ajar
Bioteknologi Tanah. Penyusunan Buku Ajar ini merupakan penyempurnaan dari
Ringkasan Kuliah Bioteknologi Tanah yang disusun tahun 2001 dan telah disesuaikan
dengan kurikulum berbasis kompetensi. Tahun 2015 disempurnkan kembali dengan
nilai-nilai kebaharuan yang ada.
Harapan penulis, semoga buku ajar ini dapat membantu mahasiswa memahami
dengan mudah mata kuliah Bioteknologi Tanah sehingga memberikan kontribusi
yang berarti dalam meningkatkan kualitas proses belajar mengajar khususnya di
Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Penyusun
3
PRAKATA
Puji Syukur penyusun panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida
Hyang Widhi Wasa karena berkat rahmat-Nya Buku Ajar Bioteknologi Tanah ini
dapat diselesaikan.
Buku ajar ini dimaksudkan sebagai buku pegangan, sehingga diharapkan dapat
membantu mahasiswa dalam menempuh mata kuliah Bioteknologi Tanah dengan
bobot 3 SKS ,di Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Topik yang
disajikan dalam buku ajar ini mengacu pada Garis Besar Pokok Pembelajaran (GBPP)
yang telah disusun terdahulu, yang terdiri atas 9 bab yaitu: Pendahuluan, Limbah
Organik dan Pengelolaannya, Kompos, Peran Jasad Hidup dalam Penyediaan Hara,
Cacing Tanah, Mikoriza Vesikular-Arbuskular, Mikroorganisme Pelarut Fosfat dan
Rhizobium.
Buku ajar ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu saran dan krotik
yang bersifat konstruktif sangat diharapkan. Semoga Buku Ajar ini ada manfaatnya.
Penyusun
4
I. PENDAHULUAN
Kompetensi Dasar
Setelah selesai mengikuti kuliah ini, mahasiswa dapat mendefinisikan Bioteknologi
Tanah dan perkembangannya dalam bidang pertanian dengan tepat .
Sasaran Belajar
1. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan batasan Bioteknologi Tanah dengan
tepat.
2. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan Bioteknologi dalam
pertanian dengan tingkat dengan tepat.
5
Sekitar tahun 1920, proses fermentasi yang ditimbulkan mikroorganisme
mulai digunakan untuk memproduksi zat-zat seperti aseton, butanol, etanol, dan
gliserin. Fermentasi juga digunakan untuk memproduksi asam laktat dan asam asetat.
Perkembangan yang pesat di bidang biologi molekuler dan biologi seluler
dalam beberapa dasawarsa terakhir, sepenuhnya menjadi dasar ilmiah utama untuk
perkembangan teknologi mutakhir. Teknologi ensim dan rekayasa genetik
mengantarkan ke suatu bioteknologi dimensi baru, yang berkembang dengan sangat
cepat. (Sardjoko,1992).
Dari uraian di atas dapat dikatakan, bahwa Bioteknologi adalah ILMU
TERAPAN PROSES BIOLOGI. Dengan batasan demikian, Bioteknologi menjadi
terlalu luas dan perlu dirumuskan batasan yang lebih sempit. Tiap-tiap negara
mempunyai definisi masing-masing mengenai Bioteknologi. Indonesia sendiri belum
memberikan definisi secara nasional, seperti misal :
1. Batasan umum yang diusulkan wakil negara anggota organisasi untuk
Kerjasama dan pengembangan Ekonomi (OECD = Organisation For
Economic Cooperation and Development) adalah bahwa “ Bioteknologi
merupakan penerapan prinsip ilmiah dan rekayasa pengolahan bahan oleh
agen Biologi untuk menyediakan barang dan jasa .
2. Perhimpunan Kimia Murni dan Terapan (IUPAC = Internasional Unions of
Pure and Applied Chemistry) merumuskan bahwa : Bioteknologi adalah
penerapan biokimia, biologi, mikrobiologi dan rekayasa kimia dalam proses
industri, pembuatan produk (kesehatan, energi dan pertanian), dan pada
lingkungan.
3. Para Ahli dari Australia mendefinisikan : Bioteknologi sebagai penyusunan,
pengoptimuman dan peningkatan proses biokimia dan selular untuk produksi
senyawa yang bermanfaat dalam industri dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan produksi senyawa itu .
4. Menurut pandangan Belanda : Bioteknologi adalah ilmu tentang proses biologi
terapan, yang merupakan ilmu tentang proses produksi berdasarkan kegiatan
mikroorganisme dan komponen aktifnya, dan produksi yang melibatkan
penggunaan sel dan jaringan organisme yang lebih tinggi.
5. Bulan Desember 1981 European Federation of Biotechnology merumuskan
bioteknologi sebagai berikut: Bioteknologi adalah penggunaan secara terpadu
6
biokimia, mikrobiologi dan ilmu keteknikan (ingineering science) dengan
tujuan untuk mencapai penerapan teknologi kemampuan mikroorganisme,
biakan sel jaringan atau bagian dari kemampuan tersebut ( Joetono, 1988) dan
(Lynch, 1983).
Dari definisi di atas membuka peluang untuk dikaitkan dengan penelahan
ekologi mikroorganisme tanah, maka diusulkan untuk merumuskan Bioteknologi
Tanah sebagai ilmu dan upaya memperlakukan ( manipulasi) mikroorganisme tanah
serta proses-proses metabolismenya untuk mengoptimalkan produktivitas tanaman
ATAU:Definisi Bioteknologi Tanah ditetapkan : Bioteknologi Tanah merupakan
penyelidikan dan pengaturan serta pengendalian mikroorganisme tanah dan proses
metabolismenya, untuk mengoptimalkan produktivitas tanaman ( Lynch, 1983).
7
a. Peningkatan mutu varietas tumbuhan dan hewan, supaya hasilnya lebih
ditingkatkan baik kualitatif maupun kuantitatif. Menghasilkan bibit tanaman
budidaya yang dirancang untuk jenis tanah tertentu (lahan kering, masam, atau
kadar garam tinggi), bibit hortikultura yang dirancang secar khusus (misalnya
tahan terhadap serangan hama, resisten terhadap herbisida), bibit tanaman
hutan mempunyai bentuk batang tinggi dan lurus, memasukkan gen pembuat
protein ke dalam tanaman penghasil karbohidrat untuk meningkatkan nilai
gizi, dan lain sebagainya.
b. Menghasilkan bahan yang digunakan sebagai tambahan pangan misalnya
pemanis, pengenak rasa, bau yang enak, bahan pewarna, pengental dan
pemantap adonan, pengawet makanan dan minuman, bahan tambahan pakan,
dan lain sebagainya.
c. Pupuk hayati, misalnya hasil simbiose antara bakteri dan tanaman tinggi yang
dapat menambat nitrogen udara, simbiosa antara sejenis kapang dengan
tanaman yang dapat melepaskan ion fosfat yang terfiksasi di dalam tanah.
8
Pakar Bioteknologi melihat adanya tiga kemungkinan yang dapat
membantu tanaman budidaya untuk memanfaatkan pabrik pupuk yang berupa
mikrobia, yaitu :
1. Memodifikasi mikrobia (penambat N), padi-padian atau keduanya sehingga
dapat mengadakan simbiosis.
2. Memodifikasi jenis bakteri lain yang dapat hidup subur pada jenis padi-padian
menjadi dapat menambat nitrogen.
3. Menerapkan teknik rekayasa genetik, untuk mendapatkan jenis padi-padian
yang mampu menambat N, dengan cara mentransfer gen mikroba yang dapat
menambat nitrogen.
Latihan terstruktur
Tugas Mandiri
9
Daftar Pustaka
10
II. LIMBAH ORGANIK DAN PENGELOLAANNYA
Kompetensi Dasar
Sasaran Belajar
2.1.Pengertian Limbah
Limbah merupakan suatu barang (benda) sisa dari sebuah kegiatan produksi yang
tidak bermanfaat/bernilai ekonomi lagi. Limbah sendiri dari tempat asalnya bisa
beraneka ragam, ada yang limbah dari rumah tangga, limbah dari pabrik-pabrik besar
dan ada juga limbah dari suatu kegiatan tertentu. Dalam dunia masyarakat yang
semakin maju dan modern, peningkatan akan jumlah limbah semakin meningkat.
Logika yang mudah seperti ini; dahulunya manusia hanya menggunakan jeruk nipis
untuk mencuci piring, namun sekarang manusia sudah menggunakan sabun untuk
mencuci piring sehingga peningkatan akan limbah tak bisa di elakkan lagi.
11
Limbah dikelompokkan menjadi tiga, yakni:
1. Brdasarkan Wujudnya
Pada pengelompokan limbah berdasarkan wujud lebih cenderung di lihat dari fisik
limbha tersebut. Contohnya limbah padat, disebut limbah padat karena memang
fisiknya berupa padat, sedangkan limbah cair dikarenakan fisiknya berbentuk cair,
begitu pula dengan limbah gas. Limbah Gas, merupakan jenis limbah yang berbentuk
gas, contoh limbah dalam bentuk Gas antara lain: Karbon Dioksida (CO2), Karbon
Monoksida (CO), SO2,HCL,NO2. dan lain-lain. Limbah cair, adalah jenis limbah
yang memiliki fisik berupa zat cair misalnya: Air Hujan, Rembesan AC, Air cucian,
air sabun, minyak goreng buangan, dan lain-lain. Li mbah padat merupakan jenis
limbah yang berupa padat, contohnya: Bungkus jajanan, plastik, ban bekas, dan lain-
lain.
2. Berdasarkan sumbernya
Pada pengelompokan limbah nomor 2 ini lebih difokuskan kepada dari mana limbah
tersebut dihasilkan. Berdasarkan sumbernya limbah bisa berasal dari:
3. Berdasarkan senyawa
Berdasarkan senyawa limbah dibagi lagi menjadi dua jenis, yakni limbah organik dan
limbah anorganik.
Limbah Organik, merupakan limbah yang bisa dengan mudah diuraikan (mudah
membusuk), limbah organik mengandung unsur karbon. Contoh limbah organik dapat
anda temui dalam kehidupan sehari-hari, contohnya kotoran manusia dan hewan.
Limbah anorganik, adalah jenis limbah yang sangat sulit atau bahkan tidak bisa untuk
di uraikan (tidak bisa membusuk), limbah anorganik tidak mengandung unsur karbon.
Contoh limbah anorganik adalah Plastik dan baja.
12
Untuk mengendalikan dan melestarikan kualitas lingkungan dapat dilakukan
berbagai cara, namun jelas, bahwa peran bioteknologi dalam pengolahan limbah
tampak selalu meningkat. Jika diikuti jalur peredaran bahan dari masukan bahan
mentah sampai menjadi keluaran yang berupa produk dan limbah, maka kita lihat
adanya interaksi antara bahan, energi, dan lingkungan. Bahan utama yang bermanfaat
bagi kehidupan umat manusia adalah hasil fotosintesis. Hasil fotosintesis
meninggalkan bahan bakar fosil yang berupa batu bara, gas alam, dan minyak bumi,
yang dimanfaatkan sebagai sumber energi. Fotosintesis juga memberi hasil hutan dan
hasil pertanian, selain itu secara tidak langsung juga hasil perternakan, perikanan, dan
senyawa kimia organik yang diolah menjadi bahan pangan dan pakan. Pengolahan
bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, langsung atau tidak
langsung memerlukan energi, udara, air, dan mineral. Produk akhir setelah
dikonsumsi manusia dan hewan, dikembalikan pada lingkungan dalam bentuk CO2
melalui pernafasan, panas yang dipancarkan melalui kulit, tinja, air seni dan sisa-sisa
makanan sebagai limbah.
13
2. Perlakuan anaerobik (proses fermentasi), yang akhir-akhir ini proses fermentasi
dilakukan dengan bantuan Efektif Mikroorganisme (EM) yang akan menghasilkan
produk yang disebut “Bokashi”.
Sardjoko (1991) menguraikan perlakuan anaerobik sebagai berikut :
penguraian bahan organik oleh bakteri anaerobik yang menghasilkan gas metan itu
adalah proses yang terjadi di dalam alam. Proses ini merupakan salah satu mekanisme
pembusukan yang juga mempunyai peran yang penting dalam sistem pencernaan
makanan pada binatang memamah biak. Pembusukan pada umumnya dianggap
sebagai pencernaan anaerobik, dan pertama kali dimanfaatkan dengan tujuan untuk
pengolahan limbah. Akhir-akhir ini tujuan diarahkan ke penerapan untuk
mendapatkan energi dari bahan biomassa, terutama yang mempunyai kandungan air
yang tinggi.
Salah satu keuntungan utama dari proses pencernaan anaerobik adalah
didapatnya energi yang berharga dari sumber bahan organik tanpa merusak zat hara
yang terkandung didalamnya, sehingga proses ini meninggalkan sisa yang kaya akan
zat hara yang dapat digunakan sebagai pupuk, dan kadang-kadang sebagai pakan
ternak. Perannya dalam pembersihan limbah dan kesehatan masyarakat, dengan
demikian dapat digabungkan dengan upaya untuk menghasilkan energi dan pendauran
ulang zat hara.
Efisiensi yang tinggi, yang dapat dicapai dalam pengolahan sumber daya
untuk mempunyai kemungkinan yang besar untuk diterapkan dalam berbagai bidang.
Pengendalian pencernaan industri, pembuangan limbah kota, baik yang berupa cairan
maupun zat padat, dan pendauran ulang rabuk dari ternak dan industri unggas
merupakan pilihan yang sangat menarik untuk dikembangkan. Bagi negara ketiga,
dapat pula proses ini dikembangkan untuk menekan penggunaan bahan bakar kayu
dan meningkatkan penggunaan kotoran ternak sebagai sumber bahan bakar untuk
memasak. Jika limbah ternak langsung dibakar, asapnya menimbulkan masalah bagi
kesehatan, tetapi jika dicerna secara anaerobik, gas yang keluar merupakan bahan
bakar yang bersih, sedangkan sisa yang kaya akan zat hara dapat dimanfaatkan
sebagai rabuk .
Biarpun demikian, ada sejumlah kendala praktis, yang menghambat
penyebaran teknik pencernaan anaerobik, terutama biaya untuk mengembangkan
14
sistem ini. Dalam penerapannya dalam negara ke tiga, kendala sosial ekonomi dapat
kelihatan dengan jelas.
Gas yang dihasilkan dari pencernaan anaerobik sering disebut biogas,
mengandung antara 60 sampai 70% metan, sisanya terutama karbondioksida, bersama
sedikit hidrogen sulfida dan hidrogen. Kandungan energinya berkisar antara
20.000sampai 26.000 kj/m kubik bergantung pada jumlah kandungan metan
sedangkan untuk metan murni 35.000 kj/m kubik .
Mekanisme pencernaan anaerobik merupan suatu hal yang komplek, yang
melibatkan interaksi majemuk dari banyak jenis bakteri. Meskipun hanya sebagian
yang dimengerti, sekarang dianggap adanya tiga tahap dalam proses ini, masing-
masing terjadi dengan perantara kelompok bakteri yang berbeda-beda. Dalam tahap
pertama bekerja kelompok bakteri yang menguraikan secara fermentatif selulosa,
hemiselulosa, dan makromolekul lain yang terdapat dalam bahan sumber untuk
menghasilkan berbagai asam organik disamping etanol, hidrogen, karbondioksida.
Kelompok bakteri ke dua kemudian mengubah asam propinat dan asam organik lain
yang lebih panjang menjadi asam asetat, karbondioksida, dan hidrogen. Akhirnya,
senyawa sederhana ini diubah menjadi metan oleh kelompok bakteri yang lain lagi
yang tergolong dalam bakteri-bakteri mutan. Mengenai energi yang dihasilkan,
keseluruhan proses adalah sangat efisien, lebih dari 90% kandungan energi biomassa
yang diuraikan tersimpan dalam hasil yang berupa metan .
Kinetika proses pencernaan anaerobik bergantung pada sejumlah faktor, antara
lain suhu, pH, aras nitrogen, kelembaban dan, laju percampuran. Optimasi laju
konvensi, sampai sekarang merupakan proses empirik. Faktor yang mengendalikan
kepadatan populasi bakteri misalnya, baru sedikit diketahui. Persaingan antar jenis,
pemacuan, dan penghambatan oleh metabolit, aras hara, dan adanya toksin, semuanya
mungkin penting dalam masalah ini.
Suhu memegang peran yang sangat penting untuk menentukan laju
penguraian.bakteri yang terlibat dapat digolongkan menjadi dua katagori, masing-
masing dengan suhu optumum yang berbeda. Jenis termofilik bekerja terbaik pada
suhu sekitar 45 sampai 55o C sedangkan jenis mesofilik mempunyai suhu optimum
yang terletak antara 25 sampai 40o C di luar kisaran suhu tersebut laju konvensi turun
dengan mencolok. Penguraian dibawah 10oC berjalan sangat lama, sehingga
15
menimbulkan masalah bagi daerah beriklim dingin karena sebagian hasil metan
diperlukan untuk memanaskan unit pengurian, kecuali bila unit itu cukup terisolasi.
Bahan biomassa yang digunakan untuk pencernaan anaerobik sangat
bermacam-macam. Bahan organik yang potensial untuk menghasilkan gas metan,
tercantum dalam Tabel 2.2.
Berbeda dengan jenis khamir yang digunakan untuk fermentasi etanol, bakteri
pengurai dalam sistem pencernaan anaerobik mampu menghasilkan enzim selulotik
untuk menghancurkan selulosa. Kesulitan utama pada penguraian timbul jika
menggunakan kayu sebagai substrat yang mengandung banyak zat kayu (lignin).
Biomassa yang paling umum digunakan untuk penguraian anaerobik adalah kotoran
hewan. Bahan ini dapat diubah menjadi metan dengan efisiensi 35 sampai 50% energi
yang terkandung dalam bahan sumber.
Tabel 2.2. Bahan Organik yang Mempunyai Potensial Untuk Menghasilkan Metan.
Limbah panenan : Sampah tebu, pangkal dan daun jagung, jerami, sisa
Makan ternak, dan gulma.
Limbah ternak : Limbah kandang ternak (kotoran, kencing, sampah)
Sampah unggas, kotoran biri-biri dan kambing, limbah
rumah pemotongan (darah, daging), limbah perairan,
Penyamakan kulit, dan bulu domba.
Limbah manusia : Tinja, kencing, dan sampah
Produk sampingan : Bungkil, ampas tebu, sekam, limbah tembakau, limbah
Industri, limbah pengolahan buah dan sayur, belotong,
Pertanian limbah teh, dan debu kapas dari pabrik tekstil.
16
Seresah hutan : Daun, ranting, kelika, dan cabang
Limbah tumbuhan
Air : Ganggang laut, gulma air, (enceng gondok, dan lainnya)
17
1. perlakuan limbah memerlukan waktu lama, yang berarti memerlukan kolam yang
luas bila harus dapat menampung limbah dalam jumlah besar .
2. benda-benda padat akan mengendap diuraikan secara aerobik .
3. menyediakan tempat untuk berkembang biaknya serangga.
Latihan Tersruktur
Tugas Mandiri
Mahasiswa menjelaskan suatu metode pengelolaan limbah organik yang dapat
menghasilkan produk yang bermanfaat bagi pertanian.
18
Daftar Pustaka
Dana Atmaja, Wayan. 2001. Bioteknologi Tanah, Fakultas Pertanian Universitas
Udayana, Denpasar.
Vaugan,D.& R.E. Malcolm. 1985. Soil Organic Matter and Biological Activity.
Kluwer Academic.
19
III. KOMPOS
Kompetensi Dasar
Sasaran Belajar
20
bakteri, actinomisetes, cendawan, protozoa dan cacing. Jenis organisme yang dominan
bergantung pada susunan bahan organik, ukuran zarah, kandungan lengas, jumlah
oksigen dan suhu. Selama proses pengomposan bahan organik diubah menjadi
karbondioksida (CO2 ) dan air (H2O), disertai dengan pembebasan energi. Sebagian
energi tersebut dipergunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan selnya dan
sebagian lain menyebabkan meningkatnya suhu.
Pada proses pengomposan, bahan-bahan organik ditumpuk sedemikian rupa
sehingga mengalami perubahan-perubahan tertentu.senyawa-senyawa yang larut
dalam air merupakan senyawa yang paling awal dimetabolisme oleh
mikroorganisme.kandungan senyawa-senyawa yang larut dalam air berkisar antara 20
sampai 40% dari berat kering. Setelah itu selulosa dan hemiselulosa akan mengalami
peruraian. Lignin merupakan senyawa yang lebih sulit dan lambat diuraikan. Pada
humus, lignin merupakan penyusun utamanya. Setelah satu sampai dua bulan, warna
bahan akan berubah menjadi coklat tua atau kelabu gelap. Volume bahan akan
berkurang, dapat mencapai sekitar setengah dari volume asalnya.Ratio C-N bahan
juga mengalami penurunan sehingga mencapai sekitar 10 : 1 pada waktu kompos
telah matang.
Menurut Murbandono (1992) didalam tumpukan bahan-bahan organik pada
pembuatan kompos, selalu terjadi berbagai perubahan yang dilakukan oleh jasad
mikro tanah. Perubahan-perubahan tersebut terjadi :
a. Penguraian hidrat arang, selulosa, hemiselulosa menjadi CO2 dan H2O.
b. Penguraian protein, melalui amida-amida dan asam-asam amino menjadi
amoniak (NH3), H2O dan CO2.
c. Pengikatan beberapa jenis unsur-unsur hara dalam tubuh jasad mikro,
terutama, N, P dan K dan lain-lain yang akan terlepas kembali setelah jasad
tersebut mati.
d. Pembebasan unsur-unsur hara dari sennyawa-senyawa organik menjadi
senyawa anorganik yang tersedia bagi tumbuh-tumbuhan.
e. Menguraikan lemak dan lilin menjadi CO2 dan H2O.
Cepat atau lambatnya perubahan-perubahan yang terjadi akan dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Menurut Murbandono (1992), berlangsungnya penguraian bahan
tanaman pada pembuatan kompos dipengaruhi oleh :
21
1. Kandungan lignin dan senyawa-senyawa sejenisnya didalam bahan
asalnya.makin banyak mengandung senyawa tersebut makin lambat
penguraiannya dan makin banyak memberikan humus.
2. Ukuran bahan asalnya. Makin halus ukuran bagian-bagian tanaman yang
dipergunakan untuk membuat kompos, peruraiannya akan berlangsung semakin
cepat. Oleh karena itu bahan-bahan yang akan digunakan untuk pembuatan
kompos terlebih dahulu harus dipotong-potong.
3. Kandungan N dari bahan asalnya. Makin banyak kandungan senyawa N, makin
cepat pula terurai, karena jasad mikro yang menguraikan bahan-bahan ini
memerlukan senyawa-senyawa N untuk perkembangannya.
4. pH pada tumpukan kompos. Supaya proses peruraiannya berlangsung cepat, pH
dalam tumpukan kompos tidak boleh terlalu rendah, karena itu perlu ditambah
kapur atau abu dapur.
5. Cukup mengandung air dan udara. Bila tumpukan kompos kurang mengandung
air, maka peruraian akan berlangsung lambat dan tidak sempurna. Sebaliknya bila
terlalubanyak mengandung air, keadaan akan berubah menjadi anaerobik dan juga
tidak menguntungkan bagi kehidupan jasad yang menguraikan bahan-bahan
tersebut.
6. Suhu optimal untuk berlangsungnya proses peruraian adalah berkisar antara 30 –
45 o C.
7. Bila bahan dasarnya merupakan campuran dari berbagai macam bahan tanaman,
maka peruraiannya relatif lebih cepat dari pada bahan yang berasal dari tanaman-
tanaman sejenis.
Susunan hara kompos yang didapat tidak akan pernah tetap, karena hal ini
sangat tergantung dari bahan yang akan digunakan dan proses penanganannya.
Suatu hal yang dipakai sebagai pendiri kompos yang baik adalah: Penguraiaannya
telah terhenti yang biasanya memakan waktu 3 – 4 bulan, butirannya halus berwarna
coklat kehitaman dan mempunyai nisbah C/N yang rendah yaitu mendekti nisbah C/N
tanah.
Kandungan utama kompos adalah C-organik, dan unsur-unsur hara yang
kandungannya sangat berpariasi. Hasil penelitian pembuatan kompos oleh MCD
Plant di New Delhi dengan bahan sampah kota menghasilkan kompos dengan
kandungan hara sebagai berikut: 16,88 % C; 0,96 % N; 0,51 % P; 0,18 % K; C/N
22
18 dan pH nya 7 ( Hakim dan Moersidi, 1982). Sedang Balai Penelitian Perkebunan
Medan, Kompos Fa Jaya Tani, komposisinya sebagai berikut:
1. Kelembaban : 15,9 %
2. N-total : 3,4 %
3. P2O5 : 2,0 %
4. K2O : 1,6 %
5. C – organik : 9,5 %
6. Kehalusan : 14,0 % (Murbandono, 1992).
Latihan Terstruktur
Mahasiswa menjelaskan sumber- sumber bahan baku kompos dan memperediksi
kualitas kompos yang akan dihasilkan dari masing-masing bahan baku kompos
tersebut.
23
Tugas Mandiri
Daftar Pustaka.
Dana Atmaja, Wayan. 2001. Bioteknologi Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian
Universitas Udayana, Denpasar.
24
IV. PERAN JASAD HIDUP DALAM PENYEDIAAN
HARA
Kompetensi Dasar
Sasaran Belajar
1. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan Jasad Hidup perombak limbah
dengan tepat.
2. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan faktor- faktor yang mempengaruhi
perombak limbah dengan tepat.
Pelepasan hara/unsur hara dalam tanah sangat ditentukan oleh kehadiran dan
aktivitas jasad hidup dalam tanah. Tanpa jasad hidup tanah sudah tentu tidak akan
terjadi proses-proses pelapukan di dalam tanah.
Dalam sistem pertanian yang berwawasan lingkungan, masukan berenergi
tinggi seperti pupuk buatan (kimia) dan pestisida dibatasi penggunaannya, sedangkan
daur ulang limbah pertanian, penggunaan pupuk-pupuk organik dan pupuk hayati
dikembangkan untuk mempertahankan produksi pertanian. Sistem
pertanian seperti ini tidak akan dapat dipisahkan dari berbagai peran jasad hidup
tanah, terutama nisbah (bakteri, jamur dan Aktinomicetes).
Dari segi fungsi metabolisme dan manfaat bagi manusia, terutama pada
pertanian, mikroba tanah dapat dikelompokan menjadi : mikroba merugikan dan
mikroba bermanfaat. Mikroba merugikan mencakup : virus, jamur, bateri dan
nematoda pengganggu tanaman yang bertindak sebagai hama atau penyebab penyakit.
Kehadiran mikroba merugikan dalam tanah menyebabkan pertumbuhan tanaman
tertekan akan bahkan bisa mematikan tanaman. Sebaliknya, terdapat sejumlah jamur
25
dan bakteri yang dikelompokkan sebagai mikroba bermanfaat, karena kemampuan
mereka melaksanakan fungsi metabolisme menguntungkan bagi pertumbuhan dan
produksi tanaman. Secara garis besar fungsi menguntungkan tersebut dapat dibagi
menjadi sebagai (1) penyediaan hara, (2) peningkat ketersediaan hara, (3) pengontrol
organisme pengganggu tanaman, (4) pengurai bahan organik dan pembentuk humus,
(5) pemantap agregat tanah, dan (6) perombak penyewaan agrokia.(Gunalan, 1996).
Secara umum dari beberapa sumber dapat dirangkum peranan jasad mikro
dalam tanah dapat dipandang dari hasil kegiatannya langsung maupun tidak langsung
terhadap kesuburan tanah (fisik maupun kimia). Kegiatan ini meliputi tiga hal
penting:
1. Perombakan bahan organik
2. Transformasi senyawa-senyawa inorganik dan
3. Penambatan N2 atmosfer.
Emi Martani dkk. (1996) menjabarkan paran dalam tanah sebagai berikut :
Keberadaan dan aktifitas alami suatu komonitas mikroba telah diketahui
mempengaruhi berbagai gatra kehidupan. Dalam bidang pertanian telah banyak pula
di ketahui peranan mikroba bagi pertumbuhan tanaman. Asosiasi bakteri Rhizobium
dan Bradyrhizobium dengan tanaman kacang-kacangan yang membentuk bintil akar
dengan kemampuan menambat nitrogen merupakan contoh klasik asosiasi mutualistik
yang telah diketahui secara luas perannannya dalam mempertahankan kesuburan
tanah dan meningkatkan hasil pertanian. Asosiasi Sianobakteri Anabaena dengan
Azolla telah pula diketahui mampu menambat dan menyumbangkan nitrogen kedalam
tanah sawah. Azospirillum sp. danan Azotobacter sp, bakteri-bakteri tanah penambat
nitrogen yang secara reguler ditemukan didaerah perakaran tanaman rumput-
rumputan dan jagung, juga diketahui dapat membantu menambah kandungan nitrogen
tanah yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Selain peranannya dalam
penambatan nitrogen, mikroba juga berperan penting dalam proses perubahan bentuk
nitrogen kedalam tanah,seperti peranan mikroba, proses amonifikasi, nitrifikasi
reduksi nitrat dan denitrifikasi .
Beberapa jenis bakteri yang menghuni daerah perakaran juga diketahui
mampu membantu penyediaan fosfat bagi tanaman melalui pelarutan fosfat dengan
kegiatan ensimatik ataupun dengan sekresi asam-asam organik. Penyediaan fosfat
bagi tanaman-tanaman pertanian dan perkebunan juga telah dibuktikan terbantu oleh
26
adanya asosiasi antara jamur dan tanaman yang berbentuk endomikorisa. Selain
membantu penyerapan fosfat, pembentukan asosiasi endomikorisa vesekular-
arbuskular juga membantu penyerapan ion-ion yang lain oleh tanaman.
Selain peranan-peranan diatas, mikroba juga berperan penting dalam
perubahan bentuk unsur-unsur lain seperti belerang, besi dan mangan, pembentukan
humus didalam tanah, serta dekomposisi limbah pertanian, rumah tangga dan
perkotaan. Mikroba, dengan jenis tunggal ataupun beberapa jenis bekerja sama-sama,
juga ditemukan mampu mendegradasi bahan-bahan pencemar yang sulit dilapukkan
yang berasal dari pestisida maupun limbah industri.
Peran mikrobia dalam kaitannya dengan pertanian tidak hanya terbatas pada
aspek tanah/ kesuburan tanah saja, tapi interaksi/ asosiasi diantara populasi mikrobia
atau antara mikrobia dengan jasad hidup tingkat tinggi sangat berpengaruh terhadap
tingkat kesuburan/kehidupan tanaman.
Penjelasan lengkap mengenai peran masing-masing jasad hidup dengan segala
aktivitasnya disajikan bab-bab berikutnya.
Jelaskan dan berikan contoh masing- masing peran jasad hidup dalam
penyediaan hara.
Latihan Terstruktur
Mahasiswa mencari dan membiakkan jasad hidup yang berperan dalam
penyediaan hara.
Tugas Mandiri
27
Daftar Pustaka
Anas,I,1993. Pupuk hayati (Biofertilizes). Lab. Biologi Tanah, Jurusan Tanah, IPB.
Dana Atmaja, Wayan, 2001. Bioteknologi Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian,
univesitas Udayana, Denpasar.
Erni Martani, Triwibowo, T., dan Irfan D.P. 1996. Alternatif Bioteknologi untuk
meningkatkan peranan mikroba dalam Pertanian Masa Depan. Fakultas
Pertanian UGM.
Rao N.S. 1983. Biofertilizers in Agriculture, Oxford & IBH Publishing Co. New
Delhi, Bombay Calcuta.
Rao N.S. 1986. Soil Microorganism and Plant Grewth. Oxford & IBH Publishing Co.
New Delhi, Bombay Calcuta.
Vaugun,D. & R.E. Malcolm. 1985. Soil Organic Matter and Biological Activity.
Kluwer Academic.
28
V. CACING TANAH
Kompetensi Dasar
Setelah selesai mengikuti kuliah ini, mahasiswa dapat menggunakan Cacing
Tanah sebagai perombak bahan organik dan pupuk hayati dengan tepat dalam
rangka peningkatan produktivitas tanaman.
Sasaran Belajar
1. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan pengenalan dan klasifikasi
cacing tanah dengan tepat.
2. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan distribusi dan ekologi cacing
tanah dengan tepat
3. Seluruh mahasiswa mampu menggunakan peran cacing tanah dengan
tepat.
4. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan hubungan cacing tanah dengan
kesuburan tanah dngan tepat.
5. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan hubungan cacing tanah dengan
jasad mikro tanah dengan tepat.
6. Seluruh mahasiswa mampu melaksanakan perbanyakan cacing tanah
dengan tepat.
Cacing tanah termasuk salah satu jasad hidup penghuni tanah yang
memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Dalam bidang pertanian
manfaat cacing tanah antara lain : menguburkan lahan pertanian, meningkatkan daya
serap air permukaan, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan manfaat limbah
bahan organik dan lain-lain. Mengingat begitu banyak manfaat cacing tanah, maka
kiranya sangat perlu untuk di kaji secara mendalam. Mengingat keterbatasan waktu
maka dalam buku asjar ini akan ditinjau sekilas tentang klasifikasinya, distribusi dan
ekologinya, dan peranannya dibidang pertanian.
29
5.1. Pengenalan dan Klasifikasi cacing tanah
Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak memiliki tulang
belakang. Hewan ini banyak dijumpai ditempat-tempat yang lembab,bergerak dengan
memanjangkan otot-ototnya. Tampilan tubuh cacing dapat dideskripsi menjadi 5
bagian,yaitu:bagian depan (anterior),bagian tengah,bagian belakang (posterior),bagian
punggung (dorsal),dan bagian bawah atau perut (ventral).Tampilan bagian tersebut
dapat dilihat Gambar 5.1
Bentuk tubuh cacing tanah umumnya silendris memanjang.mulut terdapat
pada segmen pertama, sedang anus pada segmen yang terahir. Struktur tubuh cacing
tanah disajikan pada Gambar 5.2. Pada cacing dewasa terdapat alat untuk proses
perkembangbiakan yang disebut “Klitelum”. Klitelum merupakan bagian tubuh
cacing tanah yang menebal,terletak diantara interior dan posterior,warnanya lebih
terang dari pada warna tubuhnya.pada bagian bawah (vertal) terdapat pori-pori.Fungsi
pori-pori tersebut adalah untuk menjaga kelembaban kulit, karena pernafasannya
melalui kulit.
Cacing tanah mempunyai saluran pencernaan makanan yang lengkap dan
sistem peredaran darah yang sudah menggunakan pembuluh-pembuluh darah.
Saluran pencernaan makanan terdiri atas: mulut pada segmen pertama, pharynx,
kerongkongan, crop yang merupakan pelebaran dari kerongkongan, perut, otot, usus,
dan anus pada segmen yang terakhir.
Sistem pencernaan (metabolisme) cacing tanah melalui alur sebagai berikut :
a. Makanan cacing tanah umumnya bahan organik berupa daun-daunan dan
binatang- binatang kecil.
b. Makanan tersebut dimakan atau diambil oleh bibir mulut atau protanium, lalu
dimasukkan ke pharynx (faring), ke esophagus dan selanjutnya ke tembolok
(crop).
c. Makanan disimpan untuk disalurkan ke lambung otot. Di dalam lambung otot
(perut otot), makanan dihancurkan olehgerakan otot lambung dan dibantu pasir
serta benda-benda keras yang dimakan cacing tanah. Disamping itu, saluran
pencernaan makanan mengeluarkan enzim-enzim untuk mencerna makanan.
30
d. makanan yang tercerna diserap oleh usus, lalu diproses dari bentuk komplek
menjadi sederhana, diabsorbsi oleh dinding usus halus masuk kedalam pembuluh
darah, dan selanjutnya diedarkan ke seluruh tubuh.
e. Sisa makanan yang tidak tercerna dikeluarkan melalui anus sehingga dihasilkan
kascing.
Cacing tanah bersifat “hermaphodite” artinya pada setiap cacing tanah terdapat
alat kelamin jantan dan alat kelamin betina. Meskipun bersifat hermaphrodite, untuk
menghasilkan kokon yang berisi telur-telur, cacung harus berpasangan. Cacing tanah
tidak dapat melakukan perkawinan sendiri. Alat kelamin jantan dan betina biasanya
terletak pada bagian tubuh antara segmen ke-9 sampai segmen ke-15.
Berdasarkan klasifikasinya, cacing tanah termasuk kedalam phylum Annelida
atau binatang bersegmen-segmen. Dari ribuan jenis (spesies) cacing tanah, baru empat
famili atau sembilan spesies yang banyak menarik berbagai kalangan (Tabel 5.1).
Dari sembilan spesies cacing tanah diatas, empat spesies diant Lu aranya
sudah dibudidayakan dan diproduksi secara komersial, yaitu Lumbricus rubellus,
Eisenis foetida, Pheretima asiatica, dan Eudrilus eugine. Tiga jenis cacing tanah yang
telah dibudidayakan secara komersial di Amerika Serikat, Kanada dan Eropa adalah
L. rubellus, E. foetida dan E. eugeunia. Di filipina, jenis cacing tanah yang sedang
dalam pengkajian adalah Perionyx exavatus.
31
5.2. Distribusi dan Ekologi Cacing Tanah
Distribusi cacing tanah tidak merata tersebar didalam tanah. Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap variasi penyebaran ini adalah :
1. Sifat kimia dan fisika tanah yang meliputi : kelembaban tanah, pH dan bahan
organik.
2. Ketersediaan makanan, terdiri dari sampah, daun-daunan dan pupuk kandang.
3. Potensial reproduktif dan kemampuan penyebaran spesies itu sendiri.
Bila ketiga faktor diatas mendukung, maka penyebarannya akan semakin meluas
dengan populasi semakin meningkat. Biasanya banyak terdapat pada kedalaman tanah
12-18 cm dari permukaan.
Cacing tanah dapat hidup dan berkembang biak pada habitat alami dan habitat
buatan manusia. Di habitat alami cacing tanah hidup dan berkembang buak dalam
tanah. Faktor-faktor ekologi yang mempengaruhi kehidupan cacing tanah di habitat
alami adalah :
a. Suhu.
Semua aktivitas cacing tanah sangat dipengaruhi oleh temperatur (suhu). Suhu
tanah yang ideal untuk pertumbuhan cacing tanah dan penetasan kokonya berkisar
antara15 – 25o C. Suhu tanah yang lebih tinggi dari 25o C masih cocok, tetapi harus
diimbangi dengan kelembaban yang memadai dan naungan yang cukup.
b. Kelembaban.
Kelembaban tanah mempengaruhi pertumbuhan dan daya reproduksi cacing tanah.
Kelembaban yang ideal berkisar antara 15 – 50 %.
c. pH tanah
Cacing tanah tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila pH tanah berkisar
antara 8 – 7,2.
32
bahkan mampu memusnahkan bahan organik seberat dua kali lipat berat badannya
selama 24 jam. Oleh karena itu cacing tanah yang hidup dalam tanah yang kaya
bahan organik dapat berfungsi sebagai pemusnah bahan organik (dekomposisi)
dan kascingnya berguna sebagai pupuk organik.
33
lebih 217 kg nitrat / ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam plot yang
mengandung 126 g cacing / m2, dapat menghasilkan 70 kg N/ha.
34
Tabel 5.3. Sifat Kimia dan Kandungan Hara Dalam Kascing dengan
Bahan Dasar Sampah Rumah Tangga dan Sampah Pasar.
No. Parameter Kadar
1. pH (H2O) 7,1
2. C- organic 12,8 %
3. N total 1,7 %
4. P tersedia 71,0 mg/kg
5. P total 621,0 mg/kg
6. Ca 29,2 (me/100 g)
7. Mg 40,0 (me/100g)
8. K 18,1 (me/100 g)
9. Na 1,0 (me/100 g)
10. Kapasitas Tukar Kation (KTK) 61,3 (me/100 g)
11. Kejenuhan Basa (KB) 74,0 %
Sumber : Damayani (1993) dalam PIBI IKOPIN (1999), Abraham Suriadikusumah,
Nenny Nurlaeny dan Siti Mariam (1999).
Tabel 5.4. Perbandingan Sifat Kimia dan kandungan Hara dalam Kascing dengan
Kompos.
No. Parameter Kascing Kompos
1. pH (H2O) 6,8 6,0
2. C- organic 20,69 % 25,04 %
3. N total 1,90 % 1,19 %
4. P tersedia 33,54 ppm -
5. P total 61,42 ppm -
6. Ca 30,00 (me/100 g) 0,75 (me/100 g)
7. Mg 15,23 (me/100 g) 3,13 (me/100 g)
8. K 10,31 (me/100 g) 7,26 (me/100 g)
9. Na 2,42 (me/100 g) 5,30 (me/100 g)
10. KTK 68,95 (me/100 g) 35,50 (me/100 g)
11. KB 84,00 % 74,48 %
Sumber : *) Rikrik Wahyuningsih (1996), **) Dinas Kebersihan Kota (1996) dalam
Abraham Suriadikusumah, Nenny Nurlaeny dan Siti Mariam (1999)
35
Bahan Diskusi Kelompok
1. Jelaskan hubungan antara populasi cacing tanah dengan kedalaman tanah serta
dengan kadar bahan organik.
2. Jelaskan faktor faktor yang berpengaruh terhadap distribusi cacing tanah
3. Apakah jumlah caccing tanah bisa dipakai sebagai petunjuk tingkat kesuburan
tanah ?
Latihan Terstruktur
Daftar Pustaka
Dana Atmaja, Wayan . 2001. Bioteknologi Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian
Universitas Udayana, Denpasar.
Vaugan, D. & R. E. Malcolm. 1985. Soil Organic Matter and Biological Activity.
Kluwer Academic.
36
VI. MIKORIZA VESIKULAR – ARBUSKULAR
Kompetensi Dasar
Setelah selesai mengikuti kuliah ini, mahasiswa dapat menggunakan Mikoriza sebagai
pupuk hayati dengan tepat dalam rangka peningkatan produktivitas tanaman .
Sasaran Belajar
37
memenuhi keperluan hidupnya (karbohidrat dan keperluan tumbuh lainnya) dari
tanaman inang.
Berdasarkan struktur dan cara cendawan menginfeksi akar, mikoriza dapat
dikelompokkan kedalam tiga tipe :
a. Ektomikoriza,
b. Ektendomikoriza, dan
c. Endomikoriza.
Ektomikoriza mempunyai sifat antara lain akar yang kena infeksi membesar,
bercabang, rambut-rambut akar tidak ada, hifa menjorok ke luar dan berfungsi sebagai
alat yang efektif dalam pengambilan/penyerapan unsur hara dan air, hifa tidak masuk
ke dalam sel tetapi hanya berkembang diantara dinding-dinding sel jaringan korteks
membentuk struktur seperti pada jaringan Hartig. Cendawan pembentuk ektomikoriza
biasanya Basidiomisetes. Beberapa genera cendawan yang membentuk Ektomikoriza
antara lain Amanita, Boletellus, Boletus, Rhizopogon, dan Scleroderma.
Ektendomikoriza merupakan bentuk antara (intermediat) kedua mikoriza yang
lain. Ciri-cirinya antara lain : adanya selubung akar yang tipis berupa jaringan yang
Hartig, hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteksnya.
Penyebarannya terbatas dalam tanah-tanah hutan sehingga pengetahuan tentang
mokoriza tipe ini sangat terbatas.
Endomikoriza mempunyai sifat-sifat antara lain akar yang kena infeksi tidak
membesar, lapisan hifa pada permukaan akar tipis, hifa masuk ke dalam individu sel
jaringan korteks, adanya bentukan khusus yang berbentuk oval yang disebut
arbuscules (arbuskul). Cendawan endomikoriza (Vesikula – Arbuskular Mycorriza =
VAM) termasuk famili Endogonaceae. Beberapa genera yang sering ditemukan
menginfeksi tanaman pertanian antara lain : Glomus, Gigaspora, Glaziella, Scrocystis,
Acanlospora dan Modicella.
Ada beberapa teori tentang pembentukan mikoriza. Pembentukan mikoriza
tergantung pada tersedianya karbohidrat sederhana yang berlebihan di dalam akar
tumbuhan. Bila cahaya makin banyak dan unsur N dan P kurang, maka mikoriza akan
berkembang dengan baik. Ketersediaan N dan P mempengaruhi ketersediaan
karbohidrat (berkurang) sehingga mikoriza berkurang.
38
Ada juga pendapat yang mengatakan adanya korelasi langsung antara
banyaknya mikoriza dengan humus tanah. Mikoriza merupakan organ yang
berhubungan dengan pemanfaatan humus.
Pendapat lain mengatakan bahwa jumlah mikoriza menurun dengan
meningkatnya kesuburan tanah. Sebaliknya bila tumbuhan tidak mampu menyerap
unsur hara karena terbatasnya sistim perakaran maka asosiasi akar dengan cendawan
akan terbentuk. Sejalan dengan teori tersebut ada yang berpendapat bahwa mikoriza
akan terbentuk jika terdapat suatu ketidakseimbangan dalam ketersediaan satu atau
lebih unsur hara makro seperti N, P, K, dan Ca. Pendapat lain mengatakan bahwa
terdapat suatu senyawa yang khas/spesifik yang dikeluarkan oleh tumbuh-tumbuhan
yang menyebabkan pembentukan mikoriza terangsang.
Suatu simbiosis terjadi bila cendawan masuk kedalam akar atau melakukan
infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora didalam tanah. Hifa yang
tumbuh melakukan penetrasi ke dalam akar dan berkembang di dalam korteks. Pada
akar yang terinfeksi akan berbentuk arbuskul, vesikel intraselular, hifa internal
diantara sel-sel korteks dan hifa eksternal. Penetrasi hifa dan perkembangannya
biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensiasi dan proses
pertumbuhan. Hifa berkembang tanpa merusak sel.
Hampir semua tanaman pertanian akarnya terinfeksi cendawan mikoriza.
Gramineae dan Leguminoceae umumnya bermikoriza, jagung merupakan contoh
tanaman yng terinfeksi hebat oleh mikoriza, tanaman pertanian lainnya yang telah
dilaporkan terinfeksi mikoriza vesikular – arbuskular adalah kedelai, barley, bawang,
kacang tunggak, nenas, padi gogo, pepaya, selada, singkong, dan sorgum. Tanaman
perkebunan yang telah dilaporkan akarnya terinfeksi mikoriza adalah tebu, teh,
tembakau, palem, kopi, karet, kapas, jeruk, kakao, apel dan anggur.
39
menggunakan media buatan walaupun pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman
sangat mengembirakan. Spora cendawan ini cukup besar inilah maka spora ini dapat
dengan mudah diisolasi dari dalam tanah dengan menyaringnya.
Tempat infeksi MVA pada akar hanya pada korteks primer dan sekunder
sedangkan akar jagung yang tebal dalam sistem akar tanaman tidak terinfeksi.
Berbeda dengan infeksi oleh patogen, pada umumnya akar yang terinfeksi MVA tidak
menyebabkan luka maupun menimbulkan perubahan warna. Pada permukaan akar
juga sering dijumpai hifa, akan tetapi hifa tersebut tidak cukup banyak untuk
menutupi akar seperti pada ektomikorisa . Dengan adanya hifa eksternal ini maka
areal perakaran bertambah. Dengan bertambahnya akar eksternal ini maka
kemampuan untuk menyerap unsur hara terutama P dan air bertambah .
Cendawan MVA, membentuk organ-organ khusus dan mempunyai peranan
yang juga spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscule). Vesikel
(vesicle), dan spora (Gambar 6.1). Berikut ini dijelaskan sepintas lalu mengenai
struktur dan fungsi dari organ tersebut.
Mikoriza vesikular-arbuskular sukar dikenal dari morfologi akar. Oleh karena
itu penggunaan mikroskop merupakan suatu cara yang ditempuh untuk menjelaskan
adanya MVA pada akar suatu tanaman. Cara mempelajari asosiasi MVA sangat
bergantung pada arah penelitian. Namun pada dasarnya diperlukan pencucian isi sel
akar dan pewarna struktur mikoriza MVA.
Perkembangan MVA terjadi antara lain pada saat miselium eksternal dalam
dalam tanah membentuk spora dan tersebar disekitar akar. Sedangkan hifa yang
didalam sel/akar tanaman yang bermikoriza terdiri dari hifa yang tidak bercabang
yang terletak diruangan diantara sel hifa interseluler. Selain dari pada itu ada hifa
interseluler yang bercabang secara dichotomi (arbuskular), atau yang membengkok
menjadi bulat atau bulat memanjang (vesikel) dan hifa yang mengering (hifa gelung).
Dalam beberapa kasus, pertumbuhan cendawan dalam tanah dapat mencapai
80 – 134 kali panjang akar yang dikolominasinya. Di lain kasus, pertumbuhan
cendawan malahan tampak kurang berkembang (Bonfante-Fasolo, 1984). Ditinjau
dari morfologinya miselium eksternal ini tumbuh dan menuju kepermukaan akar
untuk membentuk unit kolonisasi. Banyaknya miselium eksternal ini sangat bervariasi
dapat sangat banyak pada beberapa contoh tanah atau bahkan sampai menutupi akar,
namun tidak sampai membentuk selubung cendawan seperti pada ektomikoriza .
40
6.2.1. Vesikel (Vesicle)
Organ ini berbentuk seperti kantong diujung hifa. Vesikel mengandung
banyak lemak yang berfungsi untuk penyimpanan. Vesike ini dapat terlepas dari akar
tanaman bila terkelupas. Vesikel yang terpisah ini akan berkecambah dan tumbuh dan
menginveksi akar baru. Kadang kala, vesikel ini agak sukar dibedakan dengan spora
pada saat penyaringan. Namun karena ukuran vesikel relatif lebih kecil (spora = 2 – 5
kali diameter vesikel) dan berbentuk agak lonjong (sedangkan prora bulat), maka
kedua organ ini dapat dibedakan dengan cepat (Gambar 6.1.). vesikel dibentuk
oleh hifa intraselular atau interselular dan dijumpai dalam sel korteks luar dan dalam
(Bomfante – Fasolo,1984). Struktur ini dijumpai pada Glomus spp., Acaulospora spp.,
(Gardemann dan Trappe, 1974).
Glomus spp. membentuk vesikel bulat memanjang secara intraselular atau
interselular. Acaulospora laevis membentuk vesikel intraselular dengan dinding tipis
41
dan bercupil atau tidak beraturan bentuknya, sedangkan A. trapii membentuk vertikel
tidak bercupil (Ames dan Linderman, 1976). Ukurannya lebih kecil dari A. Laevis.
Banyaknya vesikel sering dibentuk didalam akar tergantung pada species
cendawannya.
Pada awal perkembangan vesikel, sitoplasmanya cukup padat, berinti
banyak dan mengandung partikel-partikel kecil dan glikogen. Kemudian sitoplasma
menjadi lebih padat dan selama fase ini kandungan lifid bertambah banyak. Pada saat
dewasa hampir seluruh isi vesikel ditempati oleh butir-butir lipid. Sel korteks yang
dikolonisasi oleh vesikel mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak dikolonisasi. Umumnya vesikel dibentuk dalam jumlah banyak dibagian
korteks luar dari unit kolonisasiyang sudah lanjut usianya, namun ada pula vesikel
yang dibentuk tanpa pembentukan arbuskul terlebih dahulu, misalnya Glomus
fasciculatus pada kedelai .
Vesikel belum banyak diteliti. Dengan demikian fungsinya belum begitu
jelas. Kemungkinan lain vesikel berfungsi dalam transfer unsur hara.
6.2.2. Arbuskul
Arbuskul merupakan percabangan dari hifa masuk kedalam sel tanaman
inang diikuti oleh peningkatan sitoplasma, pembentukan organ baru, pembengkokan
inti sel, peningkatan respirasi, dan aktifitas enzim. Siklus hidup arbuskul cukup
singkat yaitu antara 1 sampai 3 minggu.
Hifa intraselular yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam
letaknya akan menembus dinding sel dan membentuk sistem percabangan hifa yang
kompleks, tampak seperti pohon kecil yang mempunyai cabang-cabang yang
dinamakan arbuskul. Arbuskul dianggap sebagai struktur utama yang terlihat dalam
transper hara dua arah antara simbion cendawan dan tanaman inang.
Mosse dan Hepper (1975) mengamati bahwa struktur yang dibentuk pada
akar-akar muda ialah arbuskul. Dengan bertambahnya umur, arbuskul ini berubah
menjadi suatu struktur yang mengumpul dan cabang-cabang pada arbuskul lama
kelamaan tidak dapat dibedakan lagi. Pada akar yang telah dikolominasi oleh MVA
dapat dilihat berbagai arbuskul dewasa terletak dekat pada sumber unit kolonisasi
tersebut.
42
Tanaman inang yang terinfeksi sama tanggapannya dengan patogen yang
masuk kedalam akar, akan tetapi sitoplasma tanaman inang tidak kembali (rusak).
Bila arbuskul hilang dari dalam sel, inti kembali seperti biasa dan sitoplasma tetap
berfungsi. Kadang-kadang sel tanaman dapat terinfeksi MVA untuk kedua kalinya.
6.2.3. Spora
spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat terbentuk secara
tunggal, berkelompok atau didalam sporokarp tergantung pada jenis cendawannya.
1. Suhu
Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktifitas cendawan. Untuk daerah
trofika basah, hal ini menguntungkan. Proses perkecambahan pembentukan MVA
melalui tiga tahap yaitu perkecambahan spora ditanah, penetrasi hifa ke dalam sel
akar dan perkembangan hifa kedalam korteks akar. Suhu optimum untuk
perkecambahan spora sangat beragam tergantung jenisnya. Beberapa Gigaspora yang
diisolasi dari tanah Florida, diwilayah subtropika mengalami perkecambahan paling
baik pada suhu 34oC, sedangkan untuk spesies Glomus yang berasal dari wilayah
beriklim dingin, suhu optimal untuk perkecambahan adalah 20oC. Penetrasi dan
perkecambahan hifa diakar peka pula terhadap suhu tanah. Pada umumnya infeksi
oleh cendawan MVA meningkat dengan naiknya suhu.. Schenck dan Schroder (1974)
menemukan bahwa infeksi maksimum oleh spesies Gigaspora yang diisolasi dari
tanah Florida terjadi pada suhu 30 – 33oC.
Suhu yang tinggi pad siang hari (35oC) tidak menghambat perkembangan dan
aktifitas fisiologis MVA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 40oC. Suhu
tinggi berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang . MVA mungkin lebih
mampu bertahan terhadap suhu tinggi pada tanah bertekstur berat dari pada ditanah
berpasir.
43
2. Kadar Air Tanah
Meskipun MVA dapat pula terbentuk pada tanaman air, pada umumnya
diyakini bahwa perkembangannya sangat terhambat pada kondisi tanah yang
tergenang. Pengetahuan tentang ekofisiologi MVA dalam hubungannya dengan
potensial air tanah penting untuk menilai MVA didaerah tersebut.
Untuk tanaman yang tumbuh didaerah kering, adanya MVA menguntungkan
karena dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bertahan pada
kondisi yang kurang air. Adanya MVA dapat memperbaiki dan meninggkatkan
kapasitas serapan air tanaman inang. Menge et al., (1978) mengamati kenampakan
aneh pada bibit tanaman alpukat (Acacia raddiana) yang diinokulasi dengan MVA.
Pada tengah hari, kelembaban air sangat rendah, daun bibit alpukat ber MVA tetap
terbuka sedangkan tanaman yang tidak diinokulasi tertutup. Hal ini menandakan
bahwa tanaman yang tidak ber-MVA memiliki evepotranspirasi yang lebih besar dari
tanaman ber-MVA. Meningkatkan kavasitas serapan air pada tanaman alpukat ber-
MVA menyebabkan bibit lebih tahan terhadap pemindahan.
Ada beberapa dugaan mengapa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap
kekeringan diantaranya adalah : (1) adanya mikoriza menyebabkan akar resistensi
terhadap gerakan air menurun sehingga, transfor air ke akar meninggkat, (2) tanaman
kahat P lebih peka terhadap kekeringan, adanya MVA menyebabkan status P tanaman
meningkat sehingga menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat pula,
(3) adanya hifa eksternal menyebabkan tanaman ber-MVA lebih mampu mendapatkan
airdari pada yang tidak ber-MVA tetapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti
kandungan logam-logam tanah lebih cepat menurun .
Penemuan akhir-akhir ini yang menarik adanya hubungan antara potensial air tanah
dan aktifitas mikoriza. Pada tanaman bermikoriza jumlah air yang dibutuhkan untuk
memproduksi 1 gram bobot kering tanaman lebih sedikit daripada tanaman yang tidak
bermikoriza, karena itu (4) tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan
barangkali karena pemakaian air yang lebih ekonomis, (5) pengaruh tidak langsung
karena adanya miselium eksternal menyebabkan MVA mempan (efektif di dalam
mengagregasi butir-butir tanah), sehingga kemampuan tanah menyimpan air
meningkat.
44
3. pH Tanah
Cendawan pada umumnya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah.
Meskipun demikian daya adaptasi masing-masing spesies cendawan MVA terhadap
pH tanah berbeda-beda, karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan,
perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman. Glomus
fasciculatus berkembang biak pada pH masam . Pengapuran menyebabkan
perkembangan G. fasciculatus menurun. Demikian pula peran G. fasciculatus didalam
meninggkatkan pertumbuhan tanaman pada tanah masam menurun akibat pengapuran
. Pada pH 5,1 dan 5,9, G. fasciculatus memperlihatkan pengaruh yang lebih besar
terhadap pertumbuhan tanaman justru kalau pH 5,1. G. mosseae memberikan
pengaruh terbesar pada pH netral sampai alkalis (pH 6,0 – 8,1).
Perubahan pH tanah melalui pengapuran biasanya berdampak merugikan bagi
perkembangan MVA asli yang hidup pada tanah tersebut sehingga pembentukan
mikoriza menurun. Untuk itu tindakan pengapuran dibarengi tindakan inokulasi
dengan cendawan MVA yang cocok agar pembentukan mikoriza perakaran terjamin.
4. Bahan Organik
Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting
disamping bahan anorganik, air, dan udara. Jumlah spora MVA tampaknya
berhubungan erat dengan kandungan bahan organik di dalam tanah. Jumlah
maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organik 1-2
persen sedangkan pada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0,5 persen
kandungan spora sangat rendah .
Residu akar mempengaruhi ekologi cendawan MVA, karena serasah akar yang
terinfeksi mikoriza merupakan sarana penting untuk menularkan mikoriza. Akar yang
terinfeksi mikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan generasi MVA
dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah akar tersebut mengandung hifa,
vesikel, dan spora yang dapat menginfeksi MVA. Disamping itu juga berfungsi
sebagai inokulum untuk generasi tanaman berikutnya.
45
karbohidrat didalam akar hingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi oleh
cendawan MVA. Derajat infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai
kesuburan yang rendah. Pertumbuhan perakaran yang sangat aktif jarang terinfeksi
oleh MVA. Jika pertumbuhan dan perkembangan akar menurun infeksi MVA
meningkat.
Peran mikoriza yang erat dengan penyediaan P bagi tanaman menunjukkan
keterikatan khusus antara mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang
konsentrasi P tanah yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi MVA yang
mungkin disebabkan konsentrasi P internal yang tinggi dalam jaringan inang .
Hyman (1975) mengadakan studi yang mendalam mengenai pemupukan N
dan P terhadap MVA pada tanah diwilayah beriklim sedang. Pemupukan N (188 kg
kg N/ha) berpengaruh buruk terhadap populasi MVA. Petak yang tidak dipupuk
mengandung jumlah spora 2 hingga 4 kali lebih banyak dan berderajat infeksi 2
hingga 4 kali lebih tinggi dibandingkan petak yang menerima pemupukan. Hayman
mengamati bahwa pemupukan N lebih berpengaruh dari pada pemupukan P, tetapi
peneliti lain mendapatkan keduanya memiliki pengaruh yang sama .
Meskipun demikian tidak bisa ditarik kesimpulan yang berlaku mengenai
pengaruh pemupukan terhadap perkembangan dan peranan MVA, karena sering kali
ditemukan pula cendawan MVA terdapat dalam jumlah besar pada tanah-tanah yang
subur. Mikoriza masih memperlihatkan peranan yang menguntungkan pada takaran
(level) pemupukan yang tinggi (Santosa, 1985). Hal ini mungkin karena populasi
MVA tidak hanya dipengaruhi oleh pupuk tetapi juga tanaman, tanah, praktek
pengelolaan dan lain-lain.
46
Samuel dalam Mosse (1981) mengamati infeksi MVA lebih tinggi pada tanah yang
mengalami kekahatan Mn dari pada yang tidak.
Pada percobaan dengan menggunakan tiga jenis tanah dari wilayah iklim
sedang didapatkan bahwa pengaruh menguntungkan karena adanya MVA menurun
dengan naiknya kandungan Al didalam tanah. Beberapa spesies MVA diketahui
mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar
spesies MVA peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain
diketahui pula bahwa strain-strain cendawan MVA tertentu toleran terhadap
kandungan Mn, Al dan Na yang tinggi .
7. Fungisida
Fungisida merupakan racun kimia yang dirakit untuk membunuh cendawan
penyebab penyakit pada tanaman. Rupa-rupanya disamping mampu memberantas
cendawan penyebab penyakit, fungisida Agrosan, Benlate, Plantavax meskipun
dalam konsentrasi yang sangat rendah (2,5 ug per gram tanah) menyebabkan turunnya
kolonisasi MVA yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan
pengambilan P.
Pemakaian fungisida menjadi dilematis, di satu pihak jika fungisida tidak di
pakai maka tanaman yang terserang cendawan bisa mati atau merosot hasilnya, tetapi
jika dipakai membunuh cendawan MVA yang sangat berguna bagi pertumbuhan
tanaman. Pada masa depan perlu dicari satu cara untuk mengendalikan penyakit
tanaman tanpa menimbulkan pengaruh yang merugikan terhadap jazad renik berguna
didalam tanah. Praktek pengendalian secara biologis perlu mendapat perhatian lebih
serius karena memberikan dampak negatif yang mampu bertindak sebagai
pengendalian hayati yang aktif terhadap serangan patogen akar (Marx, 1982 ;
Roncandori dan Hussey, 1982 ).
47
ditambahkan, perbedaan pertumbuhan antara tanaman tidak bermikoriza dengan yang
bermikoriza tidak terlalu besar.
Efisiensi pemupukan P sangat jelas meningkat dengan penggunaan mikoriza.
Hasil penelitian Mosse (1981) menunjukkan bahwa tanpa pemupukan TSP, produksi
singkong pada tanaman yang tidak bermikoriza kurang dari 2 kg, sedangkan pada
tanaman bermikoriza hampir 4 kg. bila ditambahkan TSP pada takaran setara dengan
400 kg P/ha, masih belum ada peningkatan hasil singkong pada perlakuan tanpa
mikoriza. Hasil baru meningkat bila 800 kg P/ha ditambahkan. Pada tanaman yang
diinfeksi mikoriza, penambahan TSP setara dengan 200 kg P/ha saja telah cukup
meningkatkan hasil hampir 5 g. penambahan pupuk selanjutnya tidak begitu nyata
meningkatkan hasil.
Peningkatan penyerapan P oleh akar yang bermikoriza juga diikuti oleh
peningkatan penyerapan nitrogen. Hasil penelitian Zaag et al., (1979) menunjukkan
bahwa mikoriza vesikuler arbuskular dapat meningkatkan penyerapan kalium dan
sulfur. Penelitian lain menunjukan, mikoriza vesikular arbuskular juga membantu
penyerapan anion-anion seperti Cl ; SO4 = , dan NO 3 –, Ca unsur mikro Zn dan Cu .
De la Cruz (1981) melaporkan lebih banyak lagi unsur hara yang serapannya
meningkat akibat dari adanya mikoriza. Unsur hara yang meningkat penyerapannya
2adalah N, P, K, Ca, Mg, Fe, Cu, Mn, dan Zn. Hubungan antara MVA dengan
organisme tanah tidak bisa diabaikan, karena secara bersama-sama keduanya
membantu pertumbuhan tanaman.
Hubungan yang menarik antara MVA dengan bakteri pelarut fosfat telah
dilaporkan oleh banyak pakar. Inokulasi ganda bakteri pelarut fosfat dengan Glomus
sp. ternyata memberikan hasil yang lebih baik dari pada inokulasi tunggal.
Kemampuan inokulasi ganda tergantung pada spesies Glomus yang digunakan, karena
adanya bakteri pelarut fosfat menyebabkan turunnya pH di sekitar perakaran. MVA
diketahui mampu merangsang perkembangan awal bakteri pelarut fosfat di rizosfer.
MVA juga berinteraksi menguntungkan dengan jasad renik penambat nitrogen
baik yang bersimbiosis maupun yang hidup bebas ( Manjunath et al., 1984 dan
Leihner, 1984). Populasi Azotobacter di daerah perakaran menurun lebih lambat jika
ada MVA, dan bila ada keduanya menyebabkan total populasi bakteri penghuni akar
meningkat. Sabaliknya derajat infeksi MVA diketahui meningkat pada percobaan
inokulasi ganda dengan Azotobacter. Hal ini karena hormon tumbuh yang dihasilkan
48
oleh Azotobacter. Inokulasi ganda MVA dengan Azotobacter maupun Azospirillum
meningkat pertumbuhan tanaman lebih besar daripada inokulasi tunggal. Hubungan
MVA- jazad panambat N2 – hormon tumbuh merupakan kesatuan yang potensial
untuk meningkatkan produktifitas tanaman sekaligus untuk menurunkan
ketergantungan terhadap pupuk anorganik.
49
4. Produksi Hormon dan Zat Pengatur Tumbuh
Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa cendawan mikoriza dapat
menghasilkan hormon seperti, sitokinin dan giberalin. Zat pengatur tumbuh seperti
vitamin juga pernah dilaporkan sebagai hasil metabolisme cendawan mikoriza.
50
Latihan Terstruktur
Mahasiswa belajar menemukan mikoriza di daerah Rhisosfer dan kemudian
diadakan perbanyakan sebagai sumber inokulan.
Tugas Mandiri/PR
Mahasiswa merangkum hasil kuliah dan memberikan contoh-contoh hasil penelitian
Daftar Pustaka
1. Dana Atmaja, Wayan. 2001. Bioteknologi Tanah. Jurusan Tanah FP Unud.
51
VII. MIKROORGANISME PELARUT FOSFAT
Kompotensi Dasar
Setelah selesai mengikuti kuliah ini, mahasiswa dapat menggunakan Mikroorganisme
pelarut fosfot sebagai pupuk hayati dengan tepat dalam rangka peningkatan
produktivitas tanaman .
Sasaran Belajar
1. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan peranan Mikroorganisme Pelarut Fosfat
dalam pertanian dengan tepat.
2. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan jenis Mikroorganisme Pelarut Fosfat.
3. Seluruh mahasiswa mampu menggunakan mikroorganisme pelarut fosfat sebagai
pupuk hayati.
4. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan aspek agronomi dengan tepat.
52
7.2. Mekanisme dan potensi/ Kemampuan Melarutkan Fosfat
Perubahan senyawa fosfot anorganik tak larut menjadi senyawa fosfot yang larut
oleh mikrobia, umumnya disebabkan karena mikrobia menghasilkan beberapa asam
organik. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa pelarut fosfot disebabkan karena
Chelasi Ca++, Mg2+, Fe3+ dan Al3+ dengan hidroksi organik laktat, glikolat, suksinat
dan alfa ketoglutarat (Rao, 1982). Sedang asam organik lainnya seperti asam asetat,
malat, glukonat, oksalat, butirat dan malonat dapat langsung melarutkan fosfat
(Thomas et al., 1985). Adapun juga mengatakan dengan terbebaskanya asam-asam
organik oleh mikroba tersebut akan diikuti oleh penurunan pH yang tajam, sehingga
berakibat terjadinya pelarutan Ca – fosfat.
Kemampuan jasad mikro dalam membantu melarutkan bentuk-bentuk fosfat tak
tersedia ternyata berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Hal ini ditunjukan oleh hasil
penelitian pada tanah Alluvial (pH 7,4) seperti pada Tabel 7.2.
Tabel 7.2. kemampuan melarutkan bentuk-bentuk P tak tersedia (Banik dan Dey,
1982).
53
Penelitian dengan fungsi tanah sebagai mikroorganisme pelarut P telah banyak
dilakukan. Jenis yang paling benyak di teliti adalah Aspergillus sp. dan Penicilium sp.
Kelompok Pinicillium sp. mampu melarutkan 25,9 – 39,0% dari Ca3(PO4)2 ,
sedangkan Aspergillus sp. melarutkan 1,8% (Chonkar dan Rao, 1967). Asam sitrat
yang dihasilkan oleh Aspergillus awamori berperan dalam melarutkan Ca-fosfat.
Aspergillus niger menunjukan pertumbuhan yang kuat dengan sumber P dari senyawa
Al PO4 sedang Penicillium sp. sama kemampuannya pada media Al PO4, Fe PO4 dan
Ca3 (PO4)2 (Das, 1963). Ini berarti ke dua jenis tersebut banyak terdapat pada tanah
masam. Menurut (Banik et al., 1982) Ca3 (PO4)2 paling mudah dilarutkan, kemudian
berturut-terut Al PO4 dan Fe PO4, kecuali oleh aspergillus yang mudah melarutkan Fe
Po4 dari pada Al PO4.
Dalam upaya penentuan mikrobia dalam melarutkan fosfat, maka mikrobia
dirumbuhkan dalam media yang ditambah Ca3 (PO4)2 , apatik atau senyawa lain yang
tidak larut, sebagai sumber fosfat. Mikrobia tidak hanya mengasimilasi (Imobilisasi)
fosfat, tetapi juga menyebabkan sebagian besar senyawa fosfat menjadi larut. Dengan
demikian di bebaskan fosfat terlarut yang lebih tinggi dari yang diperlukan mikrobia.
54
7.4. Hasil – hasil Penelitian Penggunaan BPF
Beberapa tanaman yang pernah digunakan sebagai indikator antara lain :
gandum, bitgula, kubis, tomat,barli, jagung, kentang, padi, kedelai dan kacang
panjang. Inokulasi dengan B. megaterium dan B. Circulans dapat meningkatkan
serapan P tanaman kedelai dan meningkatkan produksinya berturut-turut 7 dan 10,5%
(P super fosfat) serta 34,2 dan 18,4 bila sumber P-nya batuan fosfat ( Ahmad dan
Jeha, 1982).
Pada gandum, Kundu dan Gaur (1980) mengkombinasikan inokulsi bakteri
pelarut P (B.Polymyla, P. striata) dengan bakteri pengikat N (Azobacter
chroococcum) ternyata mikrobia pelarut P tersebut dapat menstimulir perkembangan
dari A. Chroococcum, dapat meningkatkan 2-5 kali hasil gandum, serta meningkatkan
serapan gandum 3-10 kali.
Latihan Tersruktur
Mahasiswa mengisolasi mikroorganisme pelarut fosfat dan memperbanyaknya
sehingga terbentuk dalam inokulum.
55
Tugas Mandiri
Mahasiswa membuat rangkuman kuliah dan menambahkan hasil-hasil penelitian yang
terkait.
Daftar Pustaka
1. Dana Atmaja, Wayan. 2001. Bioteknologi Tanah. Jurusan Tanah FP Unud.
2. Lynch, J. M. 1983. Soil Biotechnology, Microbial Factor in Crop Produktivity.
Blackwell Sci. Publ. Oxford London.
56
VIII. AZOLLA DAN GANGGANG
8.1. Azolla.
Kompetensi Dasar
Setelah selesai mengikuti kuliah ini, mahasiswa dapat menggunakan Azolla dan
Ganggang sebagai pupuk hayati dengan tepat dalam rangka meningkatkan
produktivitas tanaman.
Sasaran Belajar
1. Seluruh mahasiswa mampu menggunakan peranan Azolla dan Ganggang
sebagai pupuk hayati dengan tepat.
2. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan Morfologi dan klasifikasi Azolla dan
Ganggang dengan tepat.
3 Seluruh mahasiswa mampu menggunakan cara perbanyakan Azolla dan
Ganggang dengan tepat.
4. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan faktor- faktor yang mempengaruhi
dalam pengembangan Azolla dan Ganggang dengan tepat.
Azolla merupakan tumbuhan air yang tumbuh dengan baik di daerah tropis
maupun sub- tropis. Tempat tumbuhnya bisa di kolam, saluran air maupun di areal
tanaman padi. Tumbuhan azolla ini mempunyai kandungan hara yang sangat tinggi,
terutama nitrogen, oleh karenanya baik digunakan sebagai pupuk organik, makan
ternak, unggas dan ikan.
Azolla dalam taksonomi tumbuhan mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
Divisio : Pteridophyta
Kelas : Leptosporangiopsida (heterosprous)
Ordo : Salviniales
57
Famili : Salviniaceae
Genus : Azolla
Spesies : Azolla spp. (Arifin, 1996 ).
Selanjutnya Arifin (1996) menjelaskan, bahwa genus azolla dikelompokkan
menjadi dua seksi, yaitu : Euazolla dan Rhizosperma. Jenis-jenis yang termasuk
Euazolla adalah :
1. Azolla filiculoides
2. Azolla caroliniana
3. Azolla mexicana
4. Azolla microphylla
Jenis-jenis yang termasuk Rhizosperma adalah :
1. Azolla pinnata, spesies ini dibagi menjadi dua varietas, yaitu :
a. Var. Pinnata
b. Var. imbricata
2. Azolla Nilotica
Bentuk dari azolla berbeda-beda, dan untuk lebih jelasnya dibawah ini
disajikan gambar Azolla seperti pada Gambar 8.1.
58
59
60
61
Azolla dapat bersimbiosis dengan endofiktik cyanobakteria yang dikenal
nama Anabaena azollae, dan terdapat didalam rongga daun Azolla. Didalam
rongga daun terdapat rambut- rambut epidermal yang berfungsi pada proses
metabilisme azolla. Anabaena azolla mempunyai dua macam sel, yaitu sel
vegetatif dan heterosis. Didalam sel hetorosis yang mengandung enzim
nitrogenase akan memfiksasi N2 udara melalui ATP yang berasal dari peredaran
fotofosforilasi. Dengan enzim ini dapat mengubah gas nitrogen (N2 ) menjadi
amonium (NH4+ ) yang selanjutnya diangkut ke inang (Azolla). Inang mempunyai
kemampuan memfiksasi CO2 dan melakukan fotosintesis, sehingga akan
dihasilkan fotosinfat. Selain dipergunakan untuk kebutuhan sendiri, fotosinfat
yang di hasilkan bersama- sama dengan asam amino akan disuplai ke simbion
(Anabaena azollae ).
62
3. pH tanah dan pH air.
Agar pertumbuahn azolla baik diperlukan pH tanah yang optimum yaitu berkisar
antara 4,5 – 7,0 dan pH air yang berkisar antara 5,0 -6,0.
4. Air.
Ketersediaan air harus terjamin baik kualitas maupun kualitasnya. Ini disebabkan
karena azolla merupakan tumbuhan air yang tumbuh dan berkembang di atas
permukaan air.
5.Cahaya.
Itensitas cahaya matahari dapat mempengaruhi pertumbuhan Azolla. Kebutuhan
cahaya matahari yang dapat diterima langsung oleh Azolla paling sedikit 25 -30%.
Sedangkan itensitas cahaya matahari yang optimum untuk fiksasi N2 oleh Anabaena
azollae berkisar 40 -60 klux.
6.Temperatur
Temperatur optimum untuk pertumbuhan azolla berkisar antar 25-30 0C.
7. Kelembaban Udara
Kelembaban relatif optimum yang dikehendaki untuk pertumbuhan azolla antara
85 -90%.
63
1. Ganggang Tanah.
Ganggang tanah tidak hanya terdapat pada permukaan tanah, tetapi masih
ditemui pada lapisan tanah bawah dimana cahaya matahari masih mampu
menembusnya. Namun ada informasi, bahwa ganggang masih terdapat pada beberapa
cm dibawah permukaan tanah meskipun tidak terdapat cahaya. Diduga ganggang
masih terdapat pada permukaan tanah (surface ) dan dibawah tanah (sub surfice )
termasuk jenis ganggang hijau, yang mampu merubah CO2 berasal dari udara masuk
kedalam protoplasma dan mengambil NO3+ dan NH4+ dari dalam tanah, apakah
kegiatan ini berkangsung dalam suasana gelap masih belum pasti diketahui. B.M.
Bristol Roach (1927) peneliti yang pertama kali menelaah masalah ganggang ini telah
mengemukakan bahwa ganggang tumbuh secara heterotropik dibawah permukaan
tanah. Pada lahan yang telah ditanami, ganggang lebih banyak ditemukan pada
tingkat kedalaman 10 cm dibandingkan dengan tanah permukaan.
Jumlah ganggang yang terdapat dalam setiap gram tanah sangat bervariasi
tergantung pada kondisi tanah yang bersangkutan. Bristol Roach dan Stokes telah
mencatat jumlah ganggang mencapai 100.000 atau 200.000 per gram tanah pada
beberapa jenis tanah di Utah dan Hongaria dan mencapai 3.000.000 pada tanah di
Danish.
Ganggang tanah dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman melalui 4
cara yakni :
(1) Mereka dapat menambahkan sejumlah bahan organik ke dalam tanah.
(2) Membantu mengikat partikel – partikel tanah pada permukaan.
(3) Memperbaiki aerasi pada tanah – tanah rawa.
(4) Dapat memfiksasi N- atmosfir.
Jumlah yang pasti dari bahan organik yang disuplai oleh ganggang ke dalam
tanah secara normal masih belum banyak diketahui secara pasti. Tetapi pada lahan
yang terbakar dan diistirahatkan, ganggang merupakan sumber dasar bahan organik
bagi tanah yang bersangkutan. Pada lokasi lahan terbakar di England, ganggang hijau
merupakan penghuni yang pertama kali mendiami tempat itu.
Beberapa jenis ganggang hijau dari famili Nostocaceae termasuk anggota dari
genus Nostoc, Anabaena, Aulosira dan Cylindrosperinum dan sedikit dari famili
Rivulariaceae, Stigonemataceae mempunyai kemampuan memfiksasi N-atmosfir dan
kebutuhan makanannya lebih sederhana dari pada organisme lainnya. Mereka dapat
64
memperoleh C dan N yang berasal dari udara. Kekuatan dalam memfiksasi N tidak
tergantung pada cahaya. Ganggang- ganggang itu dapat segera memfiksasi N dalam
situasi gelap bila disuplai dengan gula, tetapi kemampuan itu akan hilang bila
diberikan N03-, NH4+ dan asparagin. Mereka memerlukan M0 meskipun dalam jumlah
kecil. Hal ini disebabkan oleh sistem enzim yang bertanggung jawab sama dengan
terdapat pada bakteri Azotobacter. Allison dan Singh telah mendapatkan bahwa pH
optimum untuk kelangsungan proses fiksasi N pada tanah alkali yakni pH antara 7-
8,5, tetapi umumnya proses fiksasi dapat berlangsung pada kisaran pH 6-9.
Ganggang hijau- biru penambat N sangat besar peranannya pada tanah- tanah
sawah (padi soils) dimana mereka terdapat hidup secara universal. Masih sangat sulit
untuk dikemukakan, berapa banyak tanah sawah di kawasan tropik yang ditanam padi
secara tidak terbatas tanpa memperlihatka gejala kekurangan N. singh telah
menemukan lapisan ganggang yang berkembang pada tanah sawah di Propinsi United
dan di Bihar India dari jenis gangang hijau- biru yang aktif menambat N. disamping
itu juga telah ditemukan spesies dari Anabaena yang berasal dari lahan sawah di India
mampu mengeluarkan N mencapai 40% dari jumlah N terfiksasi dalam bentuk
senyawa- senyawa ini tidak dapat dengan segera diasimilasi oleh tanaman padi.
2. Morfo- Ekologi
Morfologi ganggang bersifat uniselluler atau berbentuk benang- benang
pendek, tetapi strain yang terdapat didalam tanah merupakan kelompok yang
karakteristik berukuran lebih kecil dan strukturnya lebih komplek dari pada yang
terdapat hidup dalam air.
Biomas organisme ini merupakan hal yang dipandang masih baru menarik
perhatian. Hasil dari beberapa pengukuran, jumlah bimas ini mencapai 7 sampai 300
kg/ha. Kadang –kadang dapat juga mencapai 500 kg/ha. Pada areal yang telah
berkembang jumlah ini mencapai 1500 kg/ha.
Gangang hijau adalah organisme yang dapat diklasifikasikan sebagai
Chlorophyta yang dicirikan oleh mempunyai Chromatophora yang dapat memberikan
warna hijau rumput. Sel- selnya mempunyai pigmen Xanthophyl dan Carotene.
Didalam tanah, organisme ini berbentuk uniselluler. Anggota dari kelompok yang
telah ditemukan mendominasi seluruh ganggang pada tanah bereaksi masam, netral
maupun alkali adalah spesies Ankistrodesmus, Charachium, Clamydomonas,
65
Chlorella, Dactylococus, Hormidium, Protococus, Protosiphon, Scenedesmus,
Spongiochloris, Stichoccus dan Ulothrix telah banyak ditemukan.
Diatomi adalah ganggang uniselluler atau berbentuk koloni. Dinding sel
dilapisi oleh silikat. Jenis yang terdapat hidup di darat kebanyakan berukuran lebih
kecil. Pada umumnya, jumlah diatomi terdapat sedikit pada tanah bereaksi masam.
Kelompok gangang ini lebih baik berkembang pada tanah bereaksi netral atau
mendekati alkali. Genus yang utama ditemukan di dalam tanah terdiri dari
Achnanthes, Cymbella, Fragilaria, Hantzschia, Navicula, Nitzschia, Pinnularia,
Surirella dan Synedra.
Gangang hijau- biru termasuk dalam kelompok Cynophyta ternyata berbeda
dengan kelompok ganggang lain. Ganggang ini tidak mempunyai pigmen yang hanya
terbatas dalam Chromatophora saja melainkan terdistribusi ke seluruh bagian
sitoplasma sel. Pigmen yang berwarna biru adalah phycocyamin. Dari hasil percobaan
lapangan dan laboratorium menunjukkan bahwa Cyanophyta menghendaki
lingkungan bereaksi netral sampai alkali. Organisme ini sangat sensitif terhadap
konsentrasi ion H+ . Telah dilaporkan bahwa mereka tidak terdapat pada kondisi
dengan nilai pH dibawah 5,2 tetapi mereka sering terdapat pada lahan bereaksi netral
dan berkapur. Banyak genus yang telah diketahui, tetapi yang paling banyak
dibicarakan antara lainnya adalah Anabaena, Colothrix, Chloococus,
Cylindropermum, Lyngbya, Microcoleus, Nodularia, Nostoc, Oscillatoria,
Pormidium, Plectonema, Schizotrix, Scizothrix, Scytonema, dan Tolypothrix.
Cyanophyta yang utama terdapat mendiami pada tiga jenis tanah di kawasan tropik
dikemukakan pada Tabel 8.1 berikut ini.
Ganggang hijau kuning diklasifikasikan sebagai Xanthophyta relatif jarang
terdapat. Pemisahan mereka dari jenis ganggang lain tidak mengalami kesulitan.
Batrydiopsis, Bumilleriopsis, Heterococcus, dan Heterothrix, ternyata merupakan
jumlah yang terbanyak tersebar diseluruh penjuru meskipun kelima jenis organisme
ini bukan organisme utama yang mendiami daratan.
Dibawah bekas erupsi vulkanik yang secara keseluruhan bebas dari semua
bentuk kehidupan, ternyata ganggang selalu menempati yang pertama kali. Ganggang
yang telah mati dan membusuk mampu menciptakan suasana lingkungan menjadi
lebih sesuai untuk pertumbuhan tanaman tingkat tinggi. Hal yang sama juga telah
banyak diobservasi pada areal bekas terbakar. Sejumlah besar lahan terkikis di
66
Amerika menghasilkan kerk ganggang yang mengawali siklus suksesi tanaman. Pada
areal volkanik dan areal terkikis, Cyanophyta ternyata merupakan organisme perintis
utama.
Tabel 8.1. Jumlah Spesies Ganggang Hijau- Biru Pada Tiga Jenis Tanah Salin
(Alexander,1997).
3. Pengaruh Lingkungan
67
Pada umumnya, ganggang hijau- biru dapat berkembang baik dalam
kulturmurni pada kisaran pH 7 – 10. Mereka sering tidak terdapat pada pH lebih kecil
dari 5,0 dan tidak umum pada nilai pH 6,0 .
Proses metabolisme sel-sel ternyata tinggi, hal ini terbukti bahwa ganggang
mampu mengasimilasi nutrisi anorganik dan membuatnya tidak tersedia untuk
organisme lain. Tetapi proses dekomposisi mampu berperan untuk membebaskan
unsur hara yang terkandung ke sekitarnya dimana unsur-unsur tersebut menjadi
tersedia untuk dikonsumsi oleh anggota komunitas yang terdiri dari mikroorganisme,
hewan dan tumbuh-tumbuhan tingkat tinggi. Nitrogen dan fosfat yang telah
diasemilasi akhirnya dibebaskan melalui proses dekomposisi.
68
Dari hasil percobaan membuktikan bahwa ada peningkatan jumlah N pada
tanah-tanah tergenang yang banyak mengandung ganggang hijau-biru. Penggunaan
organisme ini sebagai inokulan pada tanah-tanah tergenang secara praktis telah
mampu meningkatkan produksi tanaman padi.
Latihan Terstruktur
Mahasiswa belajar mengembangbiakkan Azolla dan menjadikan Asolla sebagai
pupuk organik.
Tugas Mandiri/PR
Mahasiswa merangkum hasil kuliah, dan mencari hasil-hasil penelitian
tentang Azolla dan Ganggang.
Daftar Pustaka
Arifin,Z. 1996. Azolla. Pembudidayaan dan Pemanfaatan Pada Tanaman Padi. PT.
Pmebar Swadaya , Jakarta.
69
IX. RHIZOBIUM
Kompetensi Dasar
Setelah selesai mengikuti kuliah ini, mahasiswa dapat mengunakan Rhizobium
sebagai pupuk hayati dengan tepat dalam rangka meningkatkan produktivitas
tanaman .
Sasaran Belajar
1. Seluruh mahasiswa mampu menggunakan hasil simbiosis Rhizobium dengan
leguminosa untuk meningkatkan kesuburan tanah dengan tepat.
2. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan proses pembentukan bintil akar
dengan tepat.
3. Seluruh mahasiswa mampu menjelaskan proses penambatan N dengan
tepat.
4. Seluruh Mahasiswa mampu menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi
penambatan N dengan tepat.
70
Menurut sistem klasifikasi/ pengelompokan diatas spesies Rhizobium dibagi
menjadi dua kelompok berdasarkan pada sifat-sifat pertumbuhannya, yaitu:
Rhizobium yang tumbuh cepat dan Rhizobium yang tumbuh lambat.
Ciri-ciri Rhizobium kelompok I (tumbuh cepat)
1. Menghasilkan asam.
2. Dalam media cair selama 2-3 hari membentuk kekeruhan yang sangat
jelas.
3. Waktu ganda (doubling time) pendek yaitu 2 - 4 jam.
4. Bentuk sel seperti tongkat.
5. Tumbuh baik pada glukosa, manitol dan sukrosa.
6. Biasanya terdapat di daerah beriklim sedang.
71
9.2. Simbiosis Tanaman Legum (Kedelai) dengan Rhizobium
Kedelai merupakan salah satu tanaman leguminosa yang dapat bersimbiosis
dengan bakteri Rhizobium untuk menambat N2 dari udara. Dengan kenyataan ini maka
tanaman leguminosa khususnya kedelai mendapat N dari tanah dalam bentuk NH4+
dan NO3- dan juga di peroleh dari hasil simbiosis tersebut. Apabila tanaman kacang-
kacangan dan Rhizobium di tumbuhkan secara terpisah, keduanya tidak dapat
menambat N baik tanaman kacang-kacangan maupun Rhizobium, akan tetapi
keduanya mempunyai sifat interaksi. Hal ini merupakan inti simbiosis yang keduanya
mempunyai keuntungan dari asosiasi. Tanaman kacang-kacangan menyediakan
energi dari sumber karbon kepada bakteri, dan bakteri memberi N kepada tanaman.
Simbiosis di cirikan dengan terbentuknya dengan bintil akar pada sistem
perakaran tanaman legum. Bintil akar tersebut merupakan organ simbiosis dan tempat
berlangsungnya proses penambatan nitrogen dari udara, sehingga tanaman mampu
memenuhi sebagian besar kebutuhan nitrogennya dari proses penambatan tersebut.
Kemenpuan untuk menambat nitrogen bebas dari udara, merupaka ciri khas dari
tanaman leguminosa khususnya kedelai, yang perlu dipertimbangkan dalam
pembudidayaannya dan upaya meningkatkan produksinya.
Asosiasi antara bakteri Rhizobium dengan tanaman inang bersifat spesifik
(khas). Faktor penentu yang berperan dalam spesifikasi asosiasi ini adalah Lektin
(Phytohemaglutinin) yang dihasilkan oleh sistem perakaran legum yang membentuk
bintil akar. Berbagai jenis tanaman legum dapat menghasilkan Lektin dengan
kekhususan yang berbeda terhadap berbagai spesies Rhizobium. Sebagai contoh,
sejenis Lektin yang di hasilkan oleh perakaran tanaman Clover (Trifolium sp) yang
disebut trifolii tidak dapat terikat dengan polisakarida yang ada pada permukaan sel
Rhizobium japanicum atau spesies Rhizobium yang lain (Rao, 1982).
Kesesuaian hubungan antara strain Rhizobium dan varietas kedelai yang
berbintil akar akan mementukan efektivitas penambatan nitrogennya. Agar
menghasilkan penambatan nitrogen yang maksimum, bintil akar yang efektif
memerlukan dukungan faktor-faktor tertentu dalam tanah dan faktor-faktor yang
mendukung pertumbuhan tanaman.
Bintil akar terbentuk melalui serangkaian proses, yang diawali dari kehadiran
suatu strain bakteri Rhizobium sebagai mikrosimbion pada bulu – bulu akar tanaman
leguminosa (sebagai makrosimbion), dan selanjutnya dengan penyusupan lebih lanjut
72
ke jaringan akar yang lebih dalam. Saling tindak antara bakteri Rhizobium dengan
jaringan akar yang menghasilkan pembentukan bintil akar. Dalam saling tindak
tersebut, sel Rhizobium akan berubah bentuk menjadi bakteroid, sedang di bagian
tengah jaringan bintil akar akan terbentuk pigmen berwarna merah yang disebut
leghaemoglobin yang di bentuk oleh bacteriod yang merupakan komponen yang
terlibat langsung dalam proses penambatan nitrogen (Jutono, 1985).
Bintil akar dalam sistem perakaran tanaman legum merupakan struktur
pelindung, sedang bakteroid merupakan site dari proses penambatan nitrogen. Bintil
akar tersebut mempunyai keanekaragaman yang luas dalam ukuran, bentuk, warna,
lokasi dan jumlahnya. Keanekaragaman ini ditentukan oleh saling tindak antara
tanaman inang dan spesies Rhizobium-nya. Hasil beberapa penelitian menunjukkan
bahwa jumlah, ukuran beberapa lokasi bintil akar mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan kemampuan untuk menambat nitrogen udara.
Sebagai suatu ilustrasi mengenai jumlah, ukuran, bentuk dan penyebaran bintil
akar leguminosa dapat di lihat pada Gambar 9.1.
73
Gambar 9.1. Bintil Akar Pada Sistem Perakaran Leguminosa
74
Rhizobium dengan leguminosa adalah adanya bintil akar (Nodul) pada sistem
perakaran legum tersebut (Gambar 9.2.).
75
(karena leghaemoglobin) menunjukkan bahwa bintil akar itu efektif dan yang tidak
efektif berwarna hijau pucat, ukuran bintil akar yang efektif lebih besar dan berpusat
pada akar utama, sedangkan yang tidak efektif ukurannya relatif kecil dan tersebar
pada cabang akar. Kedua ukuran ini ditentukan pada satu tanaman.
Bintil akar yang telah dewasa terdiri atas daerah bakteroid yang dikelilingi
beberapa lapisan korteks. Volume jaringan bakteroid 16 – 50% lebih besar pada bintil
akar efektifdari pada bintil akar tidak efektif. Volume jaringan bakteroid pada bintil
akar efektif memiliki hubungan langsung yang positif dengan jumlah N yang
difiksasi. Nodule yang tidak efektif biasanya kecil – kecil dan jaringan bakteroidnya
tidak berkembang. Sebaiknya nodule yang efektif berukuran besar – besar dan
jaringan bakteroidnya berkembang dengan baik. Bakteroid bentuknya tidak teratur
dan tidak mempunyai flagella dan dikelilingi oleh membrane.
Pigmen merah yang mirip dengan hemoglobin darah dijumpai dalam bintil
akar antara bakteroid dengan selubung membran yang mengelilinginya. Pigmen
merah tersebut disebut “ Leghaemoglobin “. Jumlah leghaemoglobin didalam bintil
akar memiliki hubungan langsung dengan jumlah nitrogen yang difiksasi dengan
legum.
Leghaemoglobin pada bintil akar berfungsi sebagai pembawa elektron khusus
dalam fiksasi nitrogen, pengatur pasokan oksigen dan pembawa oksigen. Bukti-bukti
terakhir menunjukkan bahwa leghaemoglobin tidak berperan aktif dalam fiksasi
nitrogen secara simbiotik tetapi berfungsi sebagai katup biologis dalam mengatur
pemasok oksigen ke bakteroid pada tinggkat optimum yang kondusif untuk
berfungsinya secara tepat pada proses fiksasi nitrogen. Dengan demikian enzim
nitrogenase yang peka terhadap oksigen akan berfungsi secara optimal.
76
cepat dan sangat sensitif (Soedarsono, 1979; Tuner dan Gibson, 1980 cit Bergesen,
1980).
Penambatan nitrogen secara biologis adalah suatu proses yang anaerobik,
sehingga harus ada suatu mekanisme dalam bintil akar yang dapat menghalangi
masuknya oksigen ke dalam site penambatan nitrogen. Mekanisme tersebut dilakukan
oleh pigmen leghaemoglobin yang terdapat disekitar bacteroid dan terbungkus
kantong membran. Pigmen ini berfungsi di samping menjamin terjadinya suasana
anaerobik dan melindungi kerusakan enzim juga menjamin pasokan oksigen yang
dibutuhkan dalam proses fosforilasi oksidatif untuk pembentukan ATP. Jumlah dan
luas jaringan bakteroid pada jaringan bintil akar tanaman legume mempunyai
hubungan langsung dengan jumlah nitrogen yang ditambat oleh asosiasi antara
tanaman legume dengan bakteri Rhizobium.
Mekanisme enzimatik nitrogenase dalam penambatan nitrogen sangat rumit,
dan proses reduksi N2 dalam bintil akan dapat digambarkan sebagai berikut
N2 + 6H+ + 6e- + 12 ATP + 12 H2O 2 NH3 + 12 ADP.
Sifat – sifat nitrogenase yang harus diketahui :
1. Sangat sensitif terhadap oksigen oleh karenanya dalam proses penambatan N2
pada bintil akar legume peran leghaemoglobin sangat menentukan.
2. Enzim ini terdiri dari dua komponen protein yaitu :
a. Sub unit protein yang mengandung Mo, Fe dan S, labil terhadap asam,
dengan berat mahkul sebesar 200.000 dalton (Mo – Fe – protein).
b. Sub unit protein yang mengandung Fe dengan berat mohkul 500.000
dalton, dan sangat sensitif terhadap oksigen.
Dalam aktivitas nitrogenase diperlukan beberapa komponen penting, yaitu :
a. Harus ada substrat seperti N2, N2O, C2 H2 atau HCN.
b. Perlu ada Mg+, ATP.
c. Sumber energi.
d. Reduktan : -. Fe – S protein (Bakteroid).
-. Flavaprotein ( Azotobacter )
-. Feredoksin ( Clostridium)
Seperti telah dijelaskan, bahwa reduksi N2 menjadi amonia (NH3) atau proses
penambatan N2 diatur oleh enzim nitrogenase kompleks. Produksi nitrogenase
dikendalikan oleh “ gen nif “ yang terletak pada kromosom ( Dixon dan Postgate,
77
1972 ). Ekstrak nitrogenase murni tidak dapat memfiksasi (menambat N2 ), sehingga
dapat diasumsikan bahwa lebih banyak gen organisme dari gen tanaman inang terlihat
dalam keseluruhan proses penambatan N2.
Secara normal amonia mencegah (menekan ) ekspresi gen nif. Beberapa galur
mutan Rhizobium yang mempunyai kemampuan menghilangkan tekanan telah
diidentifikasi, yaitu galur yang tetap dapat mengekspresikan nif walaupun ada NH3.
Beberapa galur R. Japanicum secara teoritis lebih efisien daripada yang
lainnya,sebab kapasitasnya dalam mendaur ulang H2 yang dihasilkan oleh nitrogenase
untuk memproduksi ATP. Elektron yang tidak terdaur ulang tidak mereduksi N2
menjadi NH4+, yang merupakan hasil akhir yang diinginkan, melainkan menghasilkan
H2. Galur yang mampu memanfaatkan H2 yang dilepaskan tersebut merupakan suatu
sumber energi, yang membutuhkan ATP lebih sedikit dalam menambat N2.
Kehilangan H2 berarti hilangnya energi untuk sistem itu .
78
2. Pereduksi.
Pengubahan N2 menjadi NH4+ merupakan proses reduksi yang membutuhkan
masukan elektron. Dianggap bahwa sumbangan elektro, nukleotida piridin( ATP dan
NADPH ) diseduksi melalui feredoksin atau flavodoksin.
4. ATP.
Nokleutida piridin ini penting karena tidak ada satupun senyawa yang dapat
menggantikan ATP. Biasanya diperlukan 20 - 30 mol ATP untuk menubah satu mol
N2 menjadi NH4 dan kemudian menjadi asam glutamat. Asam amino yang lain
selanjutnya dihasilkan dari asam glutamat dengan cara transaminasi. Secara
keseluruhan, dibutuhkan enam elektron untuk mengubah melekul N2 menjadi 2NH3.
79
b. Aerasi.
Fiksasi nitrogen sangat sensitif terhadap kondisi yang anaerobek. Pada
kondisi tergenang air, fiksasi nitrogen dengan segera berhenti dan
setelah beberapa hari tanaman mulai menunjukkan gejala kekuning- kuningan
dan gejala lain seperti kekurangan nitrogen yang disebabkan oleh semua bintil
akar menjadi busuk.
c. Suhu.
Pengaruh suhu terhadap kecepatan fiksasi nitrogen tidak berpengaruh secara nyata.
Akan tetapi suhu ekstrim di daerah bintil akar pada tanah, diketahui menghambat
fiksasi nitrogen. Untuk di daerah tropis suhu optimum untuk fikasasi nitrogen
adalah berkisar antara 25- 30o C.
d. pH tanah .
Pertumbuhan bintil akar adalah sensitif terhadap pH tanah. pH tanah yang
optimum untuk perkembangan bakteri Rhizobium berkisar antara 5,5- 7,0.
e. Tersedia senyawa nitrogen
Seluruh fase dari simbiose antara leguminosa dan Rhizobium termasuk
pembentukan bintil akar, perkembangan bintil akar dan kecepatan fiksasi nitrogen
adalah dihambat oleh bertambah tersedianya nitrogen an-organik di dalam tanah.
Pengaruh N yang tinggi terhadap aktivitas nitrogenase dalam sistem
penambatan N telah diketahui dengan baik. Ada beberapa mekanisme umpan balik
yang menyebabkan penambatan N terhambat secara langsung maupun tidak langsung.
Aktivitas nitrogenase dapat secara langsung dihambat oleh amonia (NH3) atau
senyawa animo primer glutamin dan glutamat yang sintesisnya dalam bintil akar.
Pupuk amonium secara langsung dapat menghambat nitrogenase. Dalam bintil akar
aktivitas nitrat reduktase lebih tinggi dari pada nitrat reduktase yang menyebabkan
akumulasi nitrat (NO2). Akumulasi konsentrasi NO2 tersebut dalam bintil akar dapat
menyebabkan aktivitas mitrogenase menurun, apabila penyediaan NO3 banyak.
Disamping mekanisme umpan balik secara langsung didorong oleh N, terdapat juga
pengendalian laju penambatan N secara tidak langsung yaitu melalui penyediaan
karbohidrat dari bagian atas tanaman. Apabila kadar N tinggi (N dalam bantuk NO3-
atau NH4+), jumlah karbohidrat di perlukan lebih banyak untuk sintesis asam amino
dan protein, dengan demikian penyediaan karbohidrat kurang untuk ditarnslokasikan
ke bintil akar.
80
Berdasarkan hasil penelitian di perolehan pupuk N (urea) yang optimum
adalah 15,83 kg urea/ ha dan menghasilkan aktivitas nitrogenase yang maksimum
yaitu 1,17 mikromol C2H4 / jam / pot (DanaAtmaja, 1996) .
Pada tanah – tanah yang lain dengan kondisi yang berbeda (sifat fisik dan
kimia) sudah tentu akan menunjukkan hasil yang berbeda. Oleh karena itu perlu
diteliti dengan berbagai kombinasi perlakuan, sehingga didapatkan dosis urea yang
tepat dan tidak menurunkan aktivitas nitrogenase (fiksasi N ).
Latihan Terstruktur
81
Tugas mandiri/PR
1. Mahasiswa membuat rangkuman kuliah yang dilengkapi dengan data-data hasil
penelitian.
2. Mahasiswa mencari puplikasi hasil penelitian di internet.
Daftar Pustaka
1. Dana Atmaja, Wayan. 2001. Bioteknologi Tanah. Jurusan Tanah FP Unud.
82
83
84