Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

GIZI BURUK

Disusun oleh:

Sherly L. Kerjapy
NIM. 2013-83-061

Pembimbing:
dr. Dwi Murti Nuryanti, Msc, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2019
BAB I

IDENTITAS PASIEN

1.1 LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : An. Ahmad Yusuf Rehalat
Umur : 7 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 16 Kg
Alamat : Tulehu
No.RM : 05-45-48
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Masuk RS : 04 Juni 2019

B. ANAMNESIS (Alloanamnesis)
Keluhan Utama : Luka pada punggung bawah

Anamnesis Terpimpin : Pasien dibawa ke IGD RSUD Dr. H. Ishak


Umarella dengan keluhan Luka pada punggung bawah yang muncul akibat
terjatuh dari tembok rumahnya sekitar 5 hari SMRS. Luka tersebut dirawat
dirumah dengan ditutupi menggunakan daun sirih yang sudah di panaskan
dulu. Luka tersebut semakin memerah dan di sertai nyeri. Pasien mengeluh
demam (+) sejak 3 hari SMRS, hilang timbul. Pasien juga mengeluh
adanya batuk (+) berlendir sejak 1 hari SMRS, sesak (-), nafsu makan
kurang, mual/muntah (-) BAB/BAK lancar.

Anamnesis Tambahan : Pasien merupakan anak ke 2 dari 5 bersaudara


Pasien sejak kecil hanya tinggal dengan neneknya. Pasien mendapatkan
ASI sampai usia 2 tahun, setelah itu pasien tidak minum susu tambahan
apapun. Keseharian pasien biasanya kurang makan, sehari pasien hanya

1
makan paling banyak 2x, makan hanya porsi kecil dan terdiri dan nasi dan
ikan, pasien jarang makan sayur, dll. Selama kecil masa pertumbuhan
pasien baik, pasien termasuk anak yang aktif.

Riwayat Penyakit Dahulu : tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan


dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien.

Riwayat Kebiasaan : Tidak ada kebiasaan khusus

Riwayat Pengobatan : tidak ada

Riwayat Imunisasi :
Vaksin Jumlah Belum Tidak Vaksin Jumlah Belum Tidak Vaksin Jumlah Belum Tidak
Pernah Tahu Pernah Tahu Pernah Tahu
BCG 1 Hib 3 Hep. A
Hep. B 3 PVC Varisela
Polio 3 Influenza HPV
DPT 3 MMR Lain-
lain
Campak 1 Tifoid Lengkap

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status generalis
 Keadaan umum : Tampak sedang
 Kesadaran : Composmentis
 Gizi : BB 16 Kg, TB : 116,5 cm
2. Vital Sign
 Nadi : 115x/menit
 Pernafasan : 26x/menit
 Suhu : 38,2o C
 Saturasi O2 : 98% tanpa O2

2
3. Pemeriksaan Fisik
 Kepala :
 Bentuk : Normochephal
 Rambut :Pertumbuhan rambut baik, distribusi rambut
normal, rambut tidak mudah rontok.
 Wajah :
 Mata : Ikterus (-), Anemis (-/-), refleks cahaya (+),
refreks pupil (+)
 Hidung : Pernafasan cuping hidung (+)
 Mulut : Candidiasis (-), stomatitis (-)
 Bibir : Sianosis (-)
 Gigi : (-)
 Tenggorokan : T2/T2 hiperemis (+)
 Telinga : Otorea (-)
 Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar, skofuloderma (-)
 Thoraks
A. Pulmo :
 Inspeksi : Pengembangan dada simetris,
 Palpasi : Kripitasi (-), Nyeri tekan (-)
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
B. Cor :
 Inspeksi : Ictuskordis terlihat
 Palpasi : Ictuskordis teraba pada ICS 5 midclavicula
sinistra
 Perkusi : Redup
 Auskultasi : BJ S1 dan S2 Murni reguler
 Abdomen :
 Inspeksi : Datar

3
 Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, tidak ada
pembesaran organ, tidak ditemukan masa extra atau
intra abdomen
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : 8-9x/menit
 Extremitas :
 Tonus otot : +2 (Normal)
 Kekuatan otot : Tidak dapat dievaluasi
 CRT : <2 detik
 Genitalia : dalam batas normal
 Pemeriksaan Neurologis :
 Refleks Fisiologis : (+)
 Refleks Patologis : (-)
 KPR : (+) Normal
 APR : (+) Normal
 Nervus Cranialis : Normal
 Tanda rangsang meningen :
 Kaku kuduk : (-)
 Kernig sign : (-)
 Brudsinski : I : (-) II : (-) II : (-) IV : (-)
 Pemeriksaan Status Lokalis :
Ditemukan V. excoriasi pada regio lumbal, kemerahan (+),
hangat (+), Nyeri (+).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium : Tanggal 4 Juni 2019
Kesan : Limphopenia granulositosis, Micrositosis

4
Tabel 1. Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi Hasil
6 3
Jumlah eritrosit 5,21 x 10 /mm 3,5-5,5 Menurun
14,0-18,0 (L), Menurun
Hemoglobin 12.4 g/dL
12,0-15,0 (P)
40-52 (L), 37-43 Menurun
Hematokrit 38.5%
(P)
MCV 73,9 um3 80-100 Menurunl
MCH 23.8 pg 27-32 Menurun
MCHC 32.2 g/dL 32-36 Normal
RDW 15.5 % 11-16 Normal
162 x Menurun
Jumlah trombosit 150-400
103/uL
MPV 7.8 fL 6-11 Normal
3
Jumlah leukosit 4.3 x 10 /uL 4,0-12,0 Normal
Hitung jenis leukosit
Limfosit 14,2% 20-40 Menurun
MID 5,7% 2-10 Normal
Granulosit 80,1% 50-80 Meningkat

E. DIAGNOSIS MASUK
Vulnus excoriatum et regio lumbal with secunder infection
Tonsillitis akut
F. TERAPI
a. IVFD RL 18 tpm
b. Injeksi cefotaxim 3 x 600 mg / IV
c. Injeksi gentamisin 2 x 40 mg / IV
d. Injeksi metronidazol 3 x 150 mg / IV
e. Rawat Luka pagi dan sore

G. Hasil Follow Up pasien


Tabel 2. Follow Up Pasien
Hari/tgl S O A P Instruksi
5/06/2019  Demam (-)  N. 88x/mnt  Vulnus  IVFD RL 18 tpm
PH.1  Batuk (+)  S. 36.6’c Excoriatum et  Injeksi cefotaxim 3 x
 Nyeri pada  P. 20x/mnt region lumbal + 600 mg / IV
luka (+)  Status lokalis : vulnus 7 x secondary  Injeksi gentamisin 2 x

5
7 cm, nyeri tekan (+), infection 40 mg / IV
kemerahan (+)  Tonsilitis akut  Injeksi metronidazol 3
 BB : 16,4 Kg, BBI 22 Kg, x 150 mg / IV
TB : 116,5 cm, IMT : 12,8  Rawat Luka pagi dan
kg/m2, sore
 Status Gizi : < -3 SD =
Gizi Buruk
6/06/2019  Demam (-)  N. 88x/mnt  Vulnus  IVFD RL 18 tpm  F100
PH.2  Batuk (+)  S. 36.5’c Excoriatum et  Injeksi cefotaxim 3 x
 Nyeri pada  P. 20x/mnt region lumbal + 600 mg / IV
luka (-)  Status lokalis : vulnus 7 x secondary  Injeksi gentamisin 2 x
7 cm, nyeri tekan infection 40 mg / IV
berkurang, kemerahan (+),  Tonsilitis akut  Injeksi metronidazol 3
luka sudah mulai  Gizi Buruk x 150 mg / IV
mongering.  Rawat Luka pagi dan
 BB : 16,4 Kg, BBI 22 Kg, sore
TB : 116,5 cm, IMT : 12,8
kg/m2,
 Status Gizi : < -3 SD =
Gizi Buruk
7/06/2019  Demam (-)  N. 90x/mnt  Vulnus  IVFD RL 18 tpm .
PH.3  Batuk (+)  S. 36.7’c Excoriatum et  F100 8 x 200 cc
 Nyeri pada  P. 20x/mnt region lumbal +  Injeksi cefotaxim 3 x
luka (-)  Status lokalis : vulnus 7 x secondary 600 mg / IV
7 cm, nyeri tekan infection  Injeksi gentamisin 2 x
berkurang, kemerahan (+),  Tonsilitis akut 40 mg / IV
luka sudah mulai  Gizi Buruk  Injeksi metronidazol 3
mongering. x 150 mg / IV
 BB : 16 Kg, BBI 22 Kg,  Rawat Luka pagi dan
TB : 116,5 cm, IMT : 12,8 sore
kg/m2,
 Status Gizi : < -3 SD =
Gizi Buruk
8/06/2019  Demam (-)  N. 80x/mnt  Vulnus  IVFD RL 18 tpm  Pulv Batuk 3 dd 1
PH.4  Batuk (+)  S. 37’c Excoriatum et  F100 3 x 200 cc Salbutamol 0,5 mg
 Nyeri pada  P. 20x/mnt region lumbal +  Injeksi cefotaxim 3 x Ambroxol 10 mg
luka (-)  Status lokalis : vulnus 7 x secondary 600 mg / IV CTM 1 mg.
 Belum BAB 4 7 cm, nyeri tekan infection  Injeksi gentamisin 2 x Dexametason ½ tab
hari berkurang, kemerahan (-),  Tonsilitis akut 40 mg / IV
luka sudah mulai  Gizi Buruk  Injeksi metronidazol 3
mongering. x 150 mg / IV
 BB : 16,8 Kg, BBI 22 Kg,  Rawat Luka pagi dan
TB : 116,5 cm, IMT : 12,8 sore
kg/m2,
 Status Gizi : < -3 SD =
Gizi Buruk

9/06/2019  Batuk  N. 82x/mnt  Vulnus  IVFD RL 18 tpm


PH.5 berkurang  S. 37’C Excoriatum et  F100 3 x 200 cc
 Demam (-)  P. 20x/menit region lumbal +  Pulv Batuk 3x1
 Belum BAB 5  Status lokalis : vulnus 6 x secondary  Injeksi cefotaxim 3 x
hr 6 cm, nyeri tekan infection 600 mg / IV
berkurang, kemerahan (-),  Tonsilitis akut  Injeksi gentamisin 2 x
luka sudah mengeing  Gizi Buruk 40 mg / IV
 BB : 17,3 Kg,  Injeksi metronidazol 3
 Status Gizi : < -3 SD = x 150 mg / IV
Gizi Buruk  Rawat Luka pagi dan
sore
10/06/2019  Batuk  N. 102x/mnt  Vulnus excoriatum  IVFD RL 18 tpm  Konsul dr. Sp. B
PH.6 minimal  S.36’C et region lumbal  F100 3 x 200 cc  Mebendazol 2 x 100
 Demam (-)  P. 20x/menit  Rhinofaringiis  Pulv Batuk 3x1 mg (3 hari)
 Belum BAB 6  Status lokalis : vulnus 6 x akut  Injeksi cefotaxim 3 x  Pyrantel 1 x 160 mg
hari 6 cm, nyeri tekan  Gizi buruk 600 mg / IV  Cek albumin
 Nyeri berkurang, kemerahan (-),  Susp helminthiasis  Injeksi gentamisin
punggung luka sudah mengeing stop
pada daerah  BB : 16,6 Kg,  Injeksi metronidazol
luka (-) stop
 Sering garuk  Rawat Luka pagi dan
hidung sore
11/06/2019  Demam (-)  N. 84x/mnt  Combutsio gr II a  IVFD RL 18 tpm 
PH.7  Batuk (-)  S.36’C terepitelisasi  F100 3 x 200 cc
 Nafsu makan  P. 20x/menit  Rhinofaringitis  Pulv Batuk 3x1
membaik  BB : 17 kg Kg, akut  Injeksi cefotaxim 3 x
 BAB sudah  Luka di punggung bawah  Gizi buruk 600 mg / IV
setelah sudah mongering  Hleminthiasis  Injeksi gentamisin
minum obat  Hipoalbuminemia stop

6
cacing namun  Albumin 3,4 gr/dl  Injeksi metronidazol
belum ada stop
cacing yang  Mebendazol 2 x 100
keluar mg (3 hari)
 Pyrantel 1 x 160 mg
 Zalf gentamisin
12/06/2019  Demam (-)  N. 84x/mnt  Combutsio gr II a  IVFD RL 18 tpm  Aff infuse
PH.7  Batuk (-)  S.36’C terepitelisasi  F100 3 x 200 cc  Stop injeksi
 Nafsu makan  P. 20x/menit  Rhinofaringitis  Pulv Batuk 3x1  Berikan F100
membaik  BB : 17 kg Kg, akut  Injeksi cefotaxim 3 x sampai 7 hari
 BAB (-)  Luka di punggung bawah  Gizi buruk 600 mg / IV  BLPL
sudah mongering  Hleminthiasis  Injeksi gentamisin
 Hipoalbuminemia stop
 Injeksi metronidazol
stop
 Mebendazol 2 x 100
mg (3 hari)
 Pyrantel 1 x 160 mg
 Zalf gentamisin

H. Diagnosis Keluar

 Combutsio gr IIa terepitelisasi


 Rhinofaringitis akut
 Gizi buruk
 Helminthiasis
 Hipoalbuminemia

7
BAB II
DISKUSI

A. Definisi

Menurut WHO salah satu masalah gizi buruk terjadi akibat konsumsi
makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena adanya
gangguan kesehatan. Anak disebut gizi buruk apabila berat badannya kurang dari
berat badan normal. Sedangkan menurut Depkes RI (2005), gizi buruk adalah
status gizi menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) dengan Z-score <-3
dan atau dengan tanda-tanda klinis (marasmus, kwasiorkor dan marasmus-
kwasiorkor). Gizi buruk juga diartikan seseorang yang kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-
hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Malnutrisi primer bila kejadian kurang
energi akibat kekurangan asupan nutrisi, yang pada umumnya didasari oleh
masalah sosial ekonomi, pendidikan serta rendahya pengetahuan di bidang gizi.
Malnutrisi sekunder bila kondisi masalah gizi karena adanya penyakit utama,
seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan percernaan dan
metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan gizi meningkat, penyerapan gizi yang
turun dan atau meningkatnya kehilangan gizi.1,2,3,4
Pada kasus pasien memiliki status gizi <-3 SD sehingga dapat dikatakan
bahwa pasien memiliki gizi buruk, hal ini diakibatkan pasien memiliki kebiasaan
susah makan. Pasien juga hanya tinggal bersama neneknya, ibu pasien sedang
bekerja menjadi TKW sehingga kesaharianank ini hanya dirawat oleh neneknya.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa malnutrisi primer biasanya disebabkan karena
kurang asupan nutrisi akibat masalah sosial ekonomi, serta kurangnya
pengetahuan di bidang gizi.

8
Tabel 3. Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks1

B. Faktor Penyebab

Unicef (1998), mengemukan bahwa faktor-faktor penyebab kurang gizi


dapat di lihat dari penyebab langsung, tidak langsung, pokok permasalahan dan
akar masalah. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yaitu :1

a. Faktor Langsung
1. Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya
jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi
unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu
kemiskinan.
2. Penyakit infeksi. Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ
tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik.
b. Faktor tidak Langsung
1. Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat
2. Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak
3. Pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.

9
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi
buruk pada balita, yaitu:

1. Keluarga miskin
2. Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak
3. Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti: jantung, TBC, HIV/AIDS,
saluran pernapasan dan diare

Pada pasien faktor yang menjadi penyebab gizi buruk adalah kurangnya
asupan gizi dari makanan. Pasien memiliki kebiasaan makan tidak teratur, kalau
sudah bermain bisanya lupa makan, kurang makan sayur dan buah-buahan, selain
itu pasien juga tidak pernah minum susu selama masa pertumbuhan, namun
menurut neneknya pasien mendapatkan ASI sampai usia 2 tahun. Pasien juga
berasal dari keluarga miskin, dimana pasien hanya dirawat oleh neneknya, yang
memiliki tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah yang menyebabkan
kurangnya perhatian terhadap pentingnya asupan gizi pada pasien. Hal ini juga
terlihat pada pemeriksaan albumin dimana pasien mengalami hipoalbuminemia
yang mungkin saja disebabkan karena kurangnya asupan protein dari pasien.

C. Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran


antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:1,2,3
 BB/TB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus)
 Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor:
BB/TB >-3SD atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-3SD
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa
anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan
lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga
terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema (lihat gambar).
Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin
anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak

10
membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali jika ditemukan penyakit lain
yang berat.

Gambar 1. Anak Marasmus dan Kwashiorkor

D. Klasifikasi

Status Gizi dengan pengukuran antropomerti WHO 2005 dengan gejala-


gejala klinis yaitu :1,2,3

1. Marasmus

Marasmus memiliki ciri-ciri: Badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang


hanya terbungkus kulit, otot lemah, lunak, wajah tampak tua (monkey face), sering
pada bayi < 12 bulan, mudah menangis/cengeng dan rewel, kulit menjadi keriput,
jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana
longgar), perut cekung, dan iga gambang, sering disertai penyakit infeksi
(umumnyakronis berulang), diare kronik atau konstipasi (susah buang air), tidak
ada edema, warna rambut tidak berubah.

2. Kwashiorkhor

Kwasiorkor memiliki ciri-ciri: wajah bulat (moon face), biasa terjadi pada
anak usia 1-3 bulan, edema (pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama
punggung kaki dan wajah) membulat dan lembab, pandangan mata sayu, rambut
tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit

11
dan mudah rontok, terjadi perubahan status mental menjadi apatis dan rewel,
terjadi pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada
posisi berdiri atau duduk, terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang
meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy
pavement dermatosis), sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut,
anemia dan diare.

3. Marasmic-Kwashiorkor

Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala


klinis kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok.

Pada pasien tidak ditemukan gejala-gejala klinis seperti ketiga klasifikasi


diatas. Pasien hanya memiliki bentuk badan yang kurus dengan perawakan
pendek.

E. Penilaian Awal Gizi Buruk

Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
Anamnesis terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):1,3
a) Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
b) Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah
dan diare (encer/darah/lendir)
c) Kapan terakhir berkemih
d) Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin.
e) Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami
dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana
selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan ditangani):1,3
a) Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit
b) Riwayat pemberian ASI
c) Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
d) Hilangnya nafsu makan
e) Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru

12
f) Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
g) Batuk kronik
h) Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
i) Berat badan lahir
j) Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
k) Riwayat imunisasi
l) Apakah ditimbang setiap bulan
m) Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
n) Diketahui atau tersangka infeksi HIV

Gambar 2. Edema Tungkai pada Gizi Buruk1

Pemeriksaan fisis1,3
a) Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung
kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB
Tabel 4. Penentuan Status Gizi2

13
b) Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati
menentukan status dehidrasi pada gizi buruk).
c) Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat, nadi
lemah dan cepat), kesadaran menurun.
d) Demam (suhu aksilar ≥ 37.5° C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35.5° C).
e) Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung
f) Sangat pucat
g) Pembesaran hati dan ikterus
h) Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau
adanya suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)

Gambar 2. Bercak Bitot2

h) Tanda defisiensi vitamin A pada mata:


o Konjungtiva atau kornea yang kering, bercak Bitot
o Ulkus kornea
o Keratomalasia
i) Ulkus pada mulut
j) Fokus infeksi: telinga, tenggorokan, paru, kulit
k) Lesi kulit pada kwashiorkor:
o hipo- atau hiper-pigmentasi
o deskuamasi

14
o ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang telinga)
o lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seringkali dengan infeksi
sekunder (termasuk jamur).
l) Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir).
m) Tanda dan gejala infeksi HIV
Catatan:
a) Anak dengan defisiensi vitamin A seringkali fotofobia. Penting untuk
memeriksa mata dengan hati-hati untuk menghindari robeknya kornea.
b) Pemeriksaan laboratorium terhadap Hb dan atau Ht, jika didapatkan anak
sangat pucat.
c) Pada buku Pedoman TAGB untuk memudahkan penanganan berdasarkan
tanda bahaya dan tanda penting (syok, letargis, dan muntah/diare/
dehidrasi), anak gizi buruk dikelompokkan menjadi 5 kondisi klinis dan
diberikan rencana terapi cairan dan makanan yang sesuai.

Pada anamnesis yang dilakukan terhadap pasien didapatkan bahwa pasien


datang dengan keluhan luka pada punggung bawah yang tidak membaik kurang
lebih 1 minggu, disertai nyeri dan demam, pasien juga memiliki kebiasaan atau
pola makan yang tidak teratur, dalam sehari pasien hanya makan 2x dengan porsi
kecil dan kebanyakan hanya terdiri dari nasi dan ika, pasien jarang makan sayur
dan buah, serta pasien juga tidak minum susu tambahan apapun. Pasien dilahirkan
di dukun dan setelah itu dibesarkan oleh ibu dan neneknya, dan menurut neneknya
pasien mendapatkan ASI sampai usia 2 tahun, baru setelah itu pasien dirawat
sendiri oleh neneknya. Pasien juga mendapat imunisasi secara lengkap.
Pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan status gizi gizi buruk, tidak
ditemukan adanya tanda-tanda edema, dehidrasi, atau sesuai dengan tanda-tanda
gizi buruk diatas, namun dapat dikaitkan dengan keadaan pasien dimana luka
pasien yang lama sembuh, di buktikan dengan pemeriksaan albumin pasien yang
rendah sehingga dikatakan pasien mengalami kekurangan protein akibat intake
yang kurang.

15
F. Tatalaksana Umum1,4
Penilaian triase anak dengan gizi buruk dengan tatalaksana syok pada anak
dengan gizi buruk. Jika ditemukan ulkus kornea, beri vitamin A dan obat tetes
mata kloramfenikol/ tetrasiklin dan atropin; tutup mata dengan kasa yang telah
dibasahi dengan larutan garam normal, dan balutlah. Jangan beri obat mata yang
mengandung steroid. Jika terdapat anemia berat, diperlukan penanganan segera
Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 2 fase yaitu:
fase stabilisasi dan fase rehabilitasi.
Tabel 5. Tatalaksana anak gizi buruk (10 langkah)1

Selain terapi terhadap kegawat daruratan gizi buruk, terapi juga diberikan
untuk mengatasi penyakit penyerta seperti gangguan mata, gangguann kulit, diare
persisten, anemia, parasa/cacing, TB, malaria, HIV.

Terapi Gizi

Penyelenggaraan terapi gizi yaitu :4

1. Melalui 3 fase, fase stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi


2. Kebutuhan energi : 80-220 kkal/kgBB/hr
3. Kebutuhan protein : 1-4 gr/kgBB/hr
4. Pemberian suplemen vitamin, dan mineral khusus bila tidak ada diberikan
makanan sumber mineral tertentu.

16
5. Jumlah cairan 130-200 ml/kgBB/hr, bila edema berat (+++) cairan yang
diberikan harus 100 ml/kgbb/hr
Kriteria edema :
+ : edema pada tangan dan kaki
++ : edema pada tungkai dan lengan
+++ : edema pada seluruh tubuh (wajah dan perut)
6. Pemberian dapat peroral atau melalui pipa nasogastrik
7. Porsi makanan kecil dengan frekuensi makanan sering
8. Makanan fase stabilisasi harus hipoosmolar, rendah laktosa dan rendah serat.
9. ASI diteruskan sampai usia 2 tahun
10. Makanan padat diberikan pada fase rehabilitasi dan berdasarkan berat badan,
yaitu : BB < 7 Kg diberi makanan bayi/lumat, BB > 7 Kg diberi makanan
anak/lunak
Tabel 6. Kebutuhan Zat Gizi Anak Menurut Fase Pemberian Makanan4

17
Tabel 7. Jadwal Pemberian Makanan Anak Gizi Buruk Menurut Fase 4

Tabel 8. Formula WHO dan Modifikasinya4

Pemantauan dan evaluasi meliputi pemantauan terhadap akseptabilitas


atau penerimaan makanan, dan toleransi (reaksi simpang makanan).2

Reaksi simpang yang dapat terjadi pada pemberian enteral antara lain
adalah mual/muntah, konstipasi dan diare. Pada pemberian parenteral dapat terjadi
reaksi infeksi, metabolik dan mekanis. Selain itu, diperlukan pemantauan

18
efektivitas berupa monitoring pertumbuhan. Pada pasien rawat inap evaluasi dan
monitoring dilakukan setiap hari, dengan membedakan antara pemberian jalur
oral/enteral dan parenteral. Pada pasien rawat jalan evaluasi dilakukan sesuai
kebutuhan.2

Pada pasien didapatkan bahwa KU pasien baik, intake pasien juga normal
sehingga pemenuhan gizi berupa pemberian F100 sambil di pantau kenaikan berat
badan pasien setiap harinya. Kenaikan BB juga dicapai ketika pasien diberikan
obat cacing, hal ini dikarenakan pasien menunjukkan gejala helminthiasis yang
juga berpengaruh terhadap penyerapan gizi pasien, sehingga disamping pemberian
terapi gizi juga dilakukan terapi terhadap penyakit penyerta.2

19
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit ; Pedoman


Bagi RS Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Gedung Bina Mulia,
Jakarta, 2005.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Asuhan Nutrisi Pediatrik. Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta, 2011.
3. Kementrian Kesehatan RI. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk, Buku I,
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta, 2013.
4. Kementrian Kesehatan RI. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk, Buku II,
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta, 2013.

20

Anda mungkin juga menyukai