Anda di halaman 1dari 7

Legislasi Semu (PSEUDOWETGEVING)

Peraturan-peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregels, Policy Rules)

Salah satu topik bahasan di kalangan ahli hukum administrasi adalah tentang sarana tata usaha negara yang
digunakan oleh pemerintahan dalam menyelenggarakan urusan umum pemerintahan. Selain dari dari sarana berupa
keputusan tata usaha negara (beschikking), sarana tata usaha negara lainnya adalah dalam bentuk:

1. Peraturan perundang-undangan dan keputusan tata usaha negara yang memuat pengaturan yang bersifat
umum;
2. Peraturan-peraturan kebijaksanaan (beleidsregels);
3. Rencana (het plan);
4. Penggunaan sarana hukum keperdataan; dan
5. Perbuatan materiil (feitelijke handelingan).

Peraturan kebijaksanaan terkait dengan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari yang menunjukkan betapa badan
atau pejabat tata usaha negara acapkali menempuh pelbagai langkah kebijaksanaan tertentu, antara lain
menciptakan apa yang kini sering dinamakan peraturan kebijaksanaan (beleidsregels, policy rule). Produk semacam
peraturan kebijaksanaan ini tidak terlepas dari kaitan penggunaan freies Ermessen, yaitu, badan atau pejabat tata
usaha negara yang bersangkutan merumuskan kebijaksanaannya itu dalam pelbagai bentuk “juridische regels”,
seperti halnya peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran, dan mengumumkan kebijaksanaan itu.[10]

Suatu peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bersifat
“naar buiten gebracht schriftelijk beleid” (menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis) namun tanpa disertai
kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan
kebijaksanaan tersebut. Peraturan-peraturan kebijaksanaan tersebut dimaksud pada kenyataannya telah merupakan
bagian dari kegiatan pemerintahan (bestuuren) dewasa ini.

Pada tahun-tahun terakhir, peraturan-peraturan kebijaksanaan telah mengambil tempat yang makin lama makin
penting di dalam hukum administrasi Belanda. Peraturan-peraturan kebijaksanaan juga ditandai dengan
sebutan pseudo-wetgeving (perundang-undangan semu).

Kewenangan berdasarkan freies Ermessen

Untuk melaksanakan tugas menyelenggarakan kesejahteraan umum, pemerintah diberi juga freies Ermessen yaitu
kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan
kepentingan umum, seperti: memberi izin, melakukan pencabutan hak (onteigening), mendirikan rumah sakit,
sekolah, perusahaan, dan sebagainya.

Tercakup pula dalam pengertian freies Ermessen membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada
pengaturannya, atau mengimplementasikan peraturan yang ada sesuai dengan kenyataan. Pencakupan demikian
disebut discretionary power.[11]

Freies berasal dari kata frei yang berarti bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka. Freies artinya orang yang bebas,
tidak terikat, dan merdeka. Sementara itu Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan
memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan menilai, menduga, dan mempertimbangkan
sesuatu.

Istilah ini kemudian secara khusus digunakan di bidang [emerointahan, sehingga freies Ermessen
(diskresioner) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagoi pejabat atau badan-badan
administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa terikat sepenuhnya pada undang-undang.[12]
Meskipun terdapat peluang melaksanakan tugas pemerintahan secara bebasss tanpa terikat sepenuhnya pada
undang-undang, namun dalam kerangka Negara hukum harus dipahami bahwa unsure-unsur freies Ermessen dalam
Negara adalah sebagai berikut:[13]

1. ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis public;


2. merupakan sikap tindak yang aktif dari administrrasi Negara;
3. sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
4. sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;
5. sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-
tiba.

Menurut E. Utrecht, seperti dikutip SF Marbun dan Mahfud MD, implikasi di bidang perundang-undangan yang dapat
dimiliki pemerintah berdasarkan freies Ermessen adalah:

- kewenangan atas inistiatif sendiri untuk membuat peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-
undang tanpa meminta persetujuan parlemen terlebih dahulu (Pasal 22 UUD 1945);

- kewenangan karena delegasi perundang-undangan dari UUD 1945, yaitu kewenangan membuat peraturan
perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah dari undang-undang dan yang berisi masalah-masalah untuk
mengatur ketentuan-ketentuan yang ada di dalam undang-undang (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945);

- droit function yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik memperluas maupun mempersempit) sendiri mengenai
ketentuan-ketentuan yang bersifat enunsiatif.

Untuk melaksanakan tiga bentuk kewenangan berdasarkan freies Ermessen pemerintah dilarang berbuat sewenang-
wenang. Pemerintah dilarang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat detournement de pouvoir (melakukan
sesuatu di luar tujuan kewenangan yang diberikan) atau disebut juga onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan
melawan hukum oleh pemerintah). Sebab setiap perbuatan pemerintah yang merugikan warganya
karena detournement de pouvoir atau onrechtmatige overheidsdaad dapat dituntut di muka hakim baik melalui
peradilan administrasi negara maupun melalui peradilan umum.[14]

Pengertian Legislasi Semu

Kamus Hukum Bahasa Belanda istilah Pseudowetgeving (legislasi semu) berarti regelstelling door een betrokken
bestuursorgaan zonder dat dit op grond van een uitdrukkelijke wettelijke bepaling die bevoegdheid
bezit.[15] (Perundang-undangan semu adalah tata aturan oleh organ pemerintahan yang terkait tanpa memiliki
dasar ketentuan undang-undang yang secara tegas memberikan kewenangan kepada organ tersebut).

Definisi di atas memberikan pengertian bahwa legislasi semu mengandung beberapa unsur, yaitu:

 legislasi merupakan tata aturan (regelstelleing), yang berarti tampak dari luar seolah-olah dia adalah tata
aturan biasa seperti halnya dengan peraturan perundang-undangan yang dikenal jenis, bentuk dan tata
urutannya. Disebut “legislasi semu” karena menyerupai peraturan perundang-undangan, namun sebenarnya
bukan perundang-undangan;
 Legislasi semu dibuat oleh organ pemerintahan yang bersangkutan (betrokken bestuursorgaan), yang
berarti legislasi semu dibentuk, diterbitkan atau dibuat oleh badan-badan pemerintahan (badan tata usaha
negara) baik di tingkat pusat maupun daerah, yang menyelenggarakan tugas umum pemerintahan;
 Legislasi semu tidak berdasarkan kepada suatu ketentuan perundang-undangan yang secara tegas
(uitdrukkelijke bepalingen) memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membentuk atau
menerbitkannya. Ini berarti legislasi semu tidak perlu menyebutkan dasar pertimbangan yang secara tegas
(eksplisit) memerintahkan pembentukan legislasi tersebut. Pemberian kewenangan mengeluarkan legislasi
semu (aturan kebijakan tersebut) merupakan doktrin dalam hukum tata pemerintahan (bestuursrechtelijke
doctrine) yang menegaskan bahwa suatu organ pemerintahan dibolehkan memiliki kewenangan secara
implicit (inplicite bevoegdheid) untuk menyusun aturan kebijakan (beleidsregels) dalam rangka menjalankan
tugas umum pemerintahan.

Perbandingan dengan Peraturan Perundang-undangan

Selanjutnya untuk memahami masalah tersebut perlu dibandingkan dengan pengertian peraturan perundang-
undangan sebagaimana tercantum dalam UU 10/2004 yang menyatakan bahwa “peraturan perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara
umum.”[16]

Bagaimana sifat dari suatu aturan tertulis? Dalam membahas tentang pengertian undang-undang (wet) sebagai salah
satu bentuk peraturan tertulis, P.J. Boon menyebutkan bahwa di Negeri Belanda, suatu undang-undang harus
memenuhi 3 unsur, yaitu:[17]

 Undang-undang mengatur sesuatu hal yang bersifat umum (algemenheid), yaitu suatu norma yang berlaku
secara umum;
 Undang-undang mempunyai kekuatan mengikat keluar (externe werking), yaitu setelah melalui proses
pengumuman (bekendmaking);
 Suatu undang-undang dibentuk apabila pembentuk undang-undang memiliki kewenangan berdasarkan
undang-undang yang secara tegas memberikan kewenangan untuk membentuknya (uitdrukkelijke wettelijke
grondslag).

Dasar Kewenangan Legislasi Semu

Sebuah pemikiran baru yang terkait mengenai hal ini muncul pada bulan September 2005. Jimly Asshiddiqie, Guru
Besar UI dan Ketua Mahkamah Konstitusi, menerbitkan buku mengenai format kelembagaan negara dan
pergeseran kekuasaan dalam UUD 1945. Tulisan tersebut juga menyinggung masalah pejabat eksekutif dan
peraturan perundang-undangan.

Dalam tulisan tersebut Prof. Jimly berpendapat bahwa sebagai aparat pelaksana, pada pokoknya, para pejabat
Pemerintah hanya berfungsi sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan produk DPR. Memang benar bahwa
setiap pemerintah perlu diberikan hak untuk mengatur (pouvoir reglementair), yaitu melalui apa yang disebut dengan
“beleidsregels” atau “policy rules” di luar bentuk undang-undang yang dihasilkan oleh parlemen. Namun, policy
rules itu hendaknya tetap dibuat atas dasar perintah ataupun kuasa UU. Karena itu, perlu dibedakan antara materi-
materi policy rules” seperti ini dengan materi dengan materi yang seharusnya dibentuk dalam undang-undang, tetapi
karena keadaan tidak memungkinkan terpaksa dibuat dalam bentuk peraturan di bawah tingkat undang-undang.
Bentuk peraturan ini selama ini disebut Peraturan Pemerintah yang berfungsi sebagai pengganti undang-undang
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.[18]

Menurut Jimly Asshiddiqie pula, ilmu hukum tata negara mengenal adanya prinsip freies Ermessen atau kebebasan
bagi pemerintah untuk memiliki ruang gerak yang leluasa dalam usahanya mencapai tujuan pemerintahan. Prinsip
inilah yang selama ini dipakai untuk memberikan justifikasi kepada Presiden dalam membuat keputusan-keputusan
yang bersifat mandiri, terlepas dari perintah undang-undang. Atas jalan pikiran ini, wewenang Pemerintah untuk
menetapkan policy rules (beleidsregels) dibuat leluasa untuk mengatur segala sesuatu yang belum ditentukan dalam
undang-undang. Akibat samping dari adanya wewenang demikian adalah bahwa proses pemerintahan secara
mudah dapat dilakukan dengan keputusan-keputusan Presiden saja. Makin otoriter karakter sistem kekuasaan yang
dikembangkan, makin banyak pula keputusan-keputusan tanpa didasarkan atas perintah undang-undang yang
cenderung ditetapkan.

Karena itu, Jimly mengusulkan kiranya prinsip freis Ermersen itu di masa depan hendaklah dibatasi, baik dalam
materinya maupun dalam prosedurnya. Pertama, materi yang dapat diatur melalui policy rules yang didasarkan atas
prinsip freies Ermessen itu hendaknya dibedakan antara materi yang seharusnya dimuat dalam bentuk undang-
undang, dan materi yang seharusnya dimuat dalam bentuk peraturan di bawah undang-undang.

Kedua, nomenklatur yang dipakai untuk bentuk peraturan yang memuat materi yang seharusnya dimuat dalam
undang-undang itu adalah Peraturan Pemerintah atau yang dalam ketentuan UUD 1945 yang lama disebut
Peraturan Pemerintah Pengganti UU. Ketiga,prosedur penetapannya dilakukan oleh Presiden dan segera setelah itu
dimintakan persetujuan DPR. Masa berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut paling lama adalah 1 tahun. Apabila
dalam masa itu, tidak diperoleh persetujuan DPR, maka peraturan tersebut tidak berlaku lagi karena hukum,
meskipun tidak dicabut secara resmi oleh Presiden.

Keempat, selain bentuk peraturan pemerintah (sebagai pengganti undang-undang) tersebut diatas, semua bentuk
peraturan yang lain haruslah dibuat atas dasar perintah undang-undang atau dalam rangka melaksanakan undang-
undang. Para pejabat yang diberi hak untuk mengeluarkan produk peraturan dimaksud harus dibatasi hanya pejabat
yang menduduki jabatan-jabatan yang bersifat politik, yaitu Presiden, Menteri atau Pejabat setingkat Menteri,
Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa. Agar konsisten, nomenklautr untuk semua bentuk peraturan itu
sebaiknya menggunakan sebutan “peraturan”, misalnya Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur
Bank Indonesia dan sebagainya. Dengan demikian pejabat administratif seperti Sekretaris Jenderal dan Direktur
Jenderal tdak lagi diperkenankan mengeluarkan peraturan untuk kepentingan publik atas nama jabatannya sendiri.
Semua bentuk dokumen pengaturan kepentingan publik harus dituangkan dalam bentuk peraturan yang dikeluarkan
oleh pejabat publik, dalam hal ini yaitu pejabat yang menduduki jabatan yang bersifat politis (political appointment).

Dari uraian yang ditulis oleh guru besar tata negara tersebut terlihat bahwa wewenang Pemerintah untuk
menetapkan policy rules (beleidsregels) dibuat leluasa untuk mengatur segala sesuatu yang belum ditentukan dalam
undang-undang,. semua bentuk peraturan yang lain haruslah dibuat atas dasar perintah undang-undang atau dalam
rangka melaksanakan undang-undang. Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa legislasi semu juga harus dibuat
atas dasar perintah undang-undang atau dalam rangka melaksanakan undang-undang. Jika pendapat ini diikuti
maka legislasi semu kehilangan ciri pembedanya yang utama, yaitu pembentukannya tidak mempunyai dasar
hukum yang jelas.

Pandangan tersebut berbeda dengan pemikiran para ahli hukum administrasi pada umumnya yang berpendapat
bahwa legislasi semu tidak memerlukan dasar hukum yang secara tegas memerintahkan pembentukannya.

Perbedaan Legislasi Semu dengan Peraturan Perundang-undangan

Aturan kebijakan (legislasi semu) bukan peraturan perundang-undangan. Badan yang mengeluarkan peraturan
kebijaksanaan adalah in casu tidak memiliki kewenangan pembuatan peraturan (wetgevende bevoegdheid).
Peraturan kebijaksanaan juga tidak mengikat hukum secara langsung, namun mempunyai relevansi hukum.
Peraturan kebijaksanaan memberi peluang bagaimana suatu badan tata usaha negara menjalankan kewenangan
pemerintahan (beschikkingsbevoegdheid). Hal tersebut dengan sendirinya harus dikaitkan dengan kewenangan
pemerintahan atas dasar penggunaan discretionaire karena jika tidak demikian, tidak ada tempat bagi peraturan
kebijaksanaan.

Suatu terobosan di lapangan yang mempunyai relevansi hukum pada peraturan kebijaksanaan terjadi pada tahun
1970 (HR, 07-01-1970). Arrest Resolusi Pajak, AB 1970, hal. 130). Hal ini berkaitan dengan suatu pedoman di dalam
surat edaran Menteri Keuangan yang tertuju pada pemeriksaan-pemeriksaan pajak. Surat edaran ini, dengan
sepengatahuan departemen, diumumkan oleh penerbit swasta. HR menentukan warga yang bersangkutan sejak
semula berpendapat bahwa inspektur pajak akan menerapkan surat edaran tersebut. Tidak diterapkannya surat
edaran dimaksud akan bertentangan dengan asas pemerintahan yang layak, yakni asas kepercayaan
(vertrouwensbeginsel). Karena itu, orang tidak memandang perlunya suatu pengujian langsung terhadap surat
edaran, sebagaimana jika hal dimaksud terjadi bagi peraturan perundang-undangan, tetapi dengan pengujian yang
tidak langsung melalui asas kepercayaan.

Suatu aspek khusus dalam kasus ini adalah bahwa badan berwenang yang ditunjuk berbeda dengan badan yang
menetapkan surat edaran. Inspektur pajak sesungguhnya menurut hirarkis pegawai adalah bawahan menteri.
Menteri dapat setiap saat memberi petunjuk kepad inspektur pajak. Hal ini dapat pula ditangani berdasar asas
kepercayaan karena warga yang bersangkutan boleh saja percaya bahwa inspektur pajak akan mematui surat
edaran menteri dan jika tidak dimungkinkan demikian, maka menteri akan memerintahaknnya pada inspektur pajak.

Di Negeri Belanda – berdasarkan suatu putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Juni 1980 - suatu peraturan tertulis
yang diterbitkan oleh menteri yang mengatur tentang tunjangan yang diberikan kepada mahasiswa di perguruan
tinggi negeri (rijksstudietoelagen)termasuk salah satu dari bentuk aturan kebijakan/legislasi semu, karena peraturan
seperti itu tidak memiliki dasar hukum.[19]

Suatu perbedaan hukum lain yang penting antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan kebijaksanaan,
adalah bahwa peraturan kebijaksanaan mengandung suatu syarat pengetahuan yang tidak tertulis (aangeschreven
harheidsclausule). Ini berarti bahwa manakala terdapat keadaan khusus yang mendesak, maka badan tata usaha
negara – di dalam hal yang sifatnya individual – harus menyimpang dari peraturan kebijaksanaan guna
kemaslahatan warga. Hal ini disebabkan karena tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka badan tata
usaha negara berdasar ketentuan peraturan kebijaksanaan sendiri, tidak dapt meniadakan kewenangan di dalam hal
yang menyimpang dari garis kebijaksanaan. Tata usaha negara pada setiap kasus harus menanyakan sendiri
apakah tidak terdapat keadaan-keadaan khusus.

Suatu perbedaan hukum lagi ialah bahwa peraturan perundang-undangan termasuk bidang hukum dan karena itu
dapat diuji dalam kasasi, sedangkan peraturan kebijaksanaan termasuk dunia fakta dan karena itu tidak dapat
berperan dalam kasasi.

Adanya peraturan kebijaksanaan di Indonesia dapat dilihat pada pelbagai keputusan, surat edaran, surat edaran
bersama, dan lain-lain, yang dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Hanya saja produk peraturan
kebijaksanaan sedemikian masih belum secara sadar diberlakukan sebagai “peraturan kebijaksanaan” mengingat
ketiadaan wewenang pembuatan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang membuat peraturan kebijaksanaan
itu kadangkala masih dilihat dari sudut ukuran pendekatan hukum (rechtmatigheid). Hal dimaksud mengakibatkan
bahwa suatu peraturan kebijaksaan adakalanya dinilai sebagai produk perbuatan penguasa yang melanggar hukum.

Sebagai contoh pengalihan status kayu-kayu hitam (ebony logs) eks tebangan lama di kawasan hutan Sulawesi
Tengah menjadi kayu milik negara sebagaimana ditetapkan pada Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal
Penguasahaan Hutan, Nomor 114/Kpts/IV-Tlb/1988 tentang Batas Waktu Penurunan Kayu Ebony Eks Tebangan
Lama di dalam Areal HPH, tanggal 29 Februari 1988, adalah satu contoh aturan kebijaksanaan. Disyaratkan bahwa
semua kayu ebony hitam (ebony logs) itu dinyatakan menjadi milik negara. Surat Keputusan Dirjen Penguasaan
Hutan dimaksud menyatakan tidak berlakunya Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan sebelumnya, yaitu
tanggal 8 Februari 1986, Nomor 038/Kpts/IV/1986 yang menetapkan bahwa semua kayu hitam (ebony logs) yang
berada pada areal HPH (dan setelah melalui batas tertentu belum diturunkan oleh pemiliknya) diberikan kepada
pemegang HPH yang bersangkutan guna dimanfaatkan. Tidak tepat jika SK Dirjen Pengusahaan Hutan tanggal 29
Februari 1988 Nomor 144/Kpts/IV-Tlb/1088 itu dipandang telah memuat kewenangan pencabutan hak atas benda-
benda bergerak (yang harus diatur atas dasar undang-undang) mengingat hal tersebut pada kenyataannya
merupakan rangkaian dari kebijaksanaan pengaturan kayu hitam (ebony logs) yang harus segera diturunkan guna
diolah (a.l. di “dolken) dan dipasarkan.

Peran Legislasi Semu dalam Penyelengaraan Pemerintahan


Legislasi semu memainkan peran penting dalam birokrasi pemerintahan dimanapun di dunia ini, termasuk di
Indonesia. Legislasi semu salah satu bentuk dari instrumen hukum publik yang digunakan oleh pemerintah untuk
menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan.

Pertimbangan untuk membentuk legislasi semu haruslah benar-benar cermat karena keadaan mendesak yang
mengharuskan pemerintah segera mengeluarkan sebuah legislasi (aturan), karena tidak ada peraturan perundang-
undangan yang dapat dipakai oleh pemerintah sebagai dasar perbuatan hukum pemerintah yang hendak dilakukan
(ingat asas legalitas!).

Meskipun dasar penerbitan legislasi semu adalah kewenangan diskresioner (discretionary power) atau freies
Ermessen, namun tidaklah berarti kewenangan tersebut dapat digunakan seenaknya. Dengan demikian :

 Substansi legislasi semu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;


 Legislasi semu dibentuk dalam keadaan mendesak, karena pemerintah memerlukan suatu peraturan untuk
menjalankan tugas umum pemerintahan;
 Legislasi semu dapat dipertanggungjawabkan secara etika dan moral

Sebagai contoh dari substansi legislasi semu dapat disebutkan hal-hal sebagai berikut:

1. Direktur Jenderal Imigrasi mengeluarkan pengumuman bagi calon mahasiswa Akademi Keimigrasian
tentang salah satu syarat bahwa calon mahasiswa tinggi badannya paling kurang 165 cm.
2. Menteri Hukum dan HAM menetapkan bahwa seorang pegawai negeri berusia 55 tahun tidak dapat
dipromosikan lagi dari eselon III untuk menduduki jabatan eselon II B dan II A.
3. Menteri Hukum dan HAM mengharuskan calon pejabat yang akan menduduki jabatan eselon II A harus
pernah bertugas di daerah;
4. Menteri Hukum dan HAM menetapkan klasifikasi lembaga pemasyarakatan
5. Menteri Pendidikan Nasional menetapkan berbagai persyaratan terhadap calon mahasiswa yang akan
memasuki perguruan tinggi (misalnya lulus Ujian Masuk Bersama).
6. Kapolri memerintahkan kepada segenap jajaran polisi untuk melakukan pemeriksaan terhadap pawai
peserta unjuk rasa dan menindak mereka yang membawa senjata tajam, dan melarang pawai diadakan di
lokasi yang berdekatan dengan kawasan vital (istana, gedung DPR/DPRD, dan lain-lain).

Ciri-ciri Legislasi Semua (Peraturan Kebijaksanaan)

Menurut Bagir Manan, seperti dikutip oleh Ridwan HR, peraturan kebijaksanaan (legfislasi semu) mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:[20]

1. Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-undangan;


2. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan
pada peraturan kebijaksanaan;
3. Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tiodak ada dasar peraturan
perundang-undangan untukmembuat keputusan peraturan kebijaksanaan tersebut;
4. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan freies Ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi
bersangkutan membuat peraturan perundang-undangan;
5. Pengujian terhadap peratruran kebijaksanaan lebih diserahkan kepada doelmatigheid sehingga batu ujinya
adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak;
6. Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat
edaran, pengumuman, dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.

Bentuk-bentuk Legislasi Semu


Dalam praktek pemerintahan sehari-hari legislasi semu dapat diterbitkan oleh semua badan atau organ
pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Umumnya format dan nomenklatur yang dipakai untuk legislasi
semu berbeda dengan peraturan perundang-undangan, walaupun dapat pula dijumpai substansi legislasi semu
dituangkan dalam format perundang-undangan.

Tidak ada suatu format baku yang digunakan dalam pembentukan legislasi semu. Beberapa contoh yang populer
legislasi semu dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Surat Edaran (SE), biasanya digunakan oleh seorang pejabat (menteri atau direktur jenderal) untuk
memberitahukan kepada jajaran di bawahnya mengenai suatu kebijakan yang harus dilaksanakan yang berkaitan
dengan pelayanan publik. Di lingkungan perpajakan (sebelum lahirnya UU Ketentuan Umum Perpajakan yang baru)
banyak terdapat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak, yang mengatur berbagai persoalan teknis perpajakan.
Demikian pula di lingkungan Departemen Hukum dan HAM, dapat dikemukakan adanya Surat Edaran Direktur
Jenderal Administrasi Hukum Umum yang mengatur tentang tata cara pendaftaran fidusia sebagai pedoman bagi
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM dalam memberikan pelayanan publik mengenai pendaftaran akta
jaminan fidusia.

2. Petunjuk Pelaksana, yang dikeluarkan oleh pejabat sebagai pedoman bagi bawahan untuk melaksanakan
peraturan tertentu yang termasuk dalam tugas pokok dan fungsinya.

3. Petunjuk Operasional atau Petunjuuk Teknis yang memuat berbagai cara teknis adminstratif dan operasional
mengenai tugas tertentu.

4. Instruksi yang dikeluarkan oleh pimpinan yang bersifat perintah untuk menjalankan tugas tertentu.

5. Pengumuman, yang antara lain berisi informasi yang diperlukan bagi masyarakat yang berkepentingan mengenai
suatu pelayanan publik yang disediakan oleh instansi pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai