892 520520981 1 SM PDF
892 520520981 1 SM PDF
Abstrak
Tuberkulosis paru (TB Paru) adalah penyakit menular yang telah menewaskan 1,5 juta orang di
seluruh dunia hingga 2014. Puskesmas Nguter memiliki kasus TB paru orang dewasa tertinggi di Kabupaten
Sukoharjo. Munculnya penyakit TB paru dipengaruhi oleh faktor inang dan lingkungan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok,
pendidikan, pengetahuan, dan kontak dengan pasien TB dewasa dengan kejadian TB paru dewasa di
wilayah kerja Pusat Kesehatan Nguter. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan
pendekatan kasus kontrol dan metode pengambilan sampel dengan total sampling. Jumlah sampel 38 kasus
dan 38 kontrol. Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret 2019. Analisis data dilakukan secara bivariat
menggunakan uji chi square dengan Confident Interval (CI) 95% atau α=0.05, kemudian dilanjutkan dengan
analisis mulitivariat menggunakan Regresi Logistik. Tingkat signifikansi setiap variabel adalah usia
(OR=2.67, p=0.037), jenis kelamin (OR=3.76, p=0.006), kebiasaan merokok (OR=3.11, p=0.037),
pendidikan (OR=3.58, p=0.009), pengetahuan (OR=2.38, p=0.034), riwayat kontak dengan pasien TB
(OR=5.58, p=0.022). Analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel terkuat yang menentukan TB paru
orang dewasa adalah jenis kelamin laki-laki.
Abstract
Pulmonary tuberculosis (pulmonary tuberculosis) is an infectious disease that has killed 1.5 million
people worldwide until 2014. Nguter Primary Health Care have the highest case of adult pulmonary TB in
Sukoharjo Regency. The emergence of pulmonary TB disease is influenced by host factors and the
environment. This study aims to determine the relationship between risk factors for age, sex, smoking habits,
education, knowledge, and contact with adult TB patients with the incidence of adult pulmonary TB in the
working area of the Nguter Health Center. This type of research is observational analytic with a case control
approach and sampling method with total sampling. The number of sample were 38 case and 38 control.
This research was conducted during March 2019. Data analysis was done by bivariate using chi square test
with Confident Interval (CI) 95% or α=0,05, then continued with mulitivariate analysis using Logistic
Regression. The degree of significance of each variable is age (OR=2.67, p=0.037), gender (OR=3.76,
p=0.006), smoking habits (OR=3.11, p=0.037), education (OR=3.58, p=0.009), knowledge (OR=2.38,
p=0.034), contact history with TB patient (OR=5.58, p = 0.022). Multivariate analysis showed that the
strongest variable that determined adult pulmonary TB was male gender.
dilaporkan terdapat di Provinsi Jawa Barat pokok hidup. Selain merugikan secara ekonomi,
dengan jumlah kasus 78.698 kasus, diurutan TB juga memberikan dampak buruk lainnya
kedua Provinsi Jawa Timur dengan jumlah kasus secara sosial yaitu stigma bahkan dikucilkan
48.323 kasus dan Jawa Tengah menempati posisi oleh masyarakat (Depkes RI, 2008). Penelitian
ketiga dengan jumlah kasus 42.272 kasus. Rukmini (2010) kelompok umur 15-34 tahun
Berdasarkan kelompok usia jumlah penderita TB memiliki resiko 2,1 kali lebih tinggi untuk
paling banyak terjadi pada usia 25-34 tahun menderita TB dibandingkan dengan kelompok
dengan presentase sebesar 17,32% dari usia 55-74 tahun dan bermakna secara statistik
keseluruhan kasus pada tahun 2017 (Kemenkes dengan (p=0,018). Faktor risiko lainnya adalah
RI, 2018). jenis kelamin laki-laki. Berdasarkan data
Berdasarkan Global Tuberculosis Report Kemenkes RI (2017) sebesar 58,11% dari
2017 dalam (Kemenkes RI, 2018) pada tahun keseluruhan penderita TB paru dewasa adalah
2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TB yang laki-laki.
setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Puskesmas Nguter berada diurutan nomor
Indonesia menempati urutan kedua setelah India satu di Kabupaten Sukoharjo dengan jumlah
dengan di kawasan Asia Tenggara dengan pederita sebanyak 38 kasus, urutan kedua yaitu
insiden TB sebesar 45%. Negara dengan beban Puskesmas Bulu dengan 27 kasus dan urutan
tinggi/High Burden Countries (HBC) untuk TBC ketiga yaitu Puskesmas Polokarto dengan 25
berdasarkan 3 indikator yaitu TB, TB/HIV, dan kasus. Hasilnya menunjukkan 66,7% berusia
MDR-TB. Satu negara dapat masuk dalam salah produktif, 41,7% berpendidikan rendah, 66,7%
satu daftar tersebut atau keduanya bahkan masuk memiliki kebiasaan merokok, dan 58,3%
dalam ketiga indikator tersebut. Indonesia berpengetahuan yang kurang mengenai TB paru
bersama 13 negara lainnya masuk dalam daftar dewasa, 41,7% responden hidup dalam
HBC untuk ketiga indikator tersebut. Kasus TB kepadatan hunian <10m2/orang, 83,3% tinggal di
pada tahun tahun 2015 sebesar 115,17 per hunian dengan minimum ventilasi (Dinkes
100.000 penduduk, tahun 2016 sebesar 118 per Sukoharjo, 2018). Namun, hingga saat ini belum
100.000 penduduk dan pada tahun 2017 dilakukan studi untuk menentukan faktor risiko
mengalami kenaikan menjadi 132,9 per 100.000 yang berhubungan dengan kejadian TB paru
penduduk (Dinkes Prov Jateng, 2017). dewasa di wilayah kerja Puskesmas Nguter.
Hampir 40% pasien TB adalah kelompok usia Penelitian ini bertujuan utuk menentukan faktor
yang paling produktif secara ekonomis yakni risiko yang berhubungan berhubungan dengan
umur 15-50 tahun dengan estimasi akan kejadian TB paru dewasa di wilayah kerja
kehilangan rata-rata waktu kerja 3 sampai 4 Puskesmas Nguter.
bulan dan kerugian ekonomi mencapai 8 juta
METODE
rupiah. Hal tersebut berakibat pada hilangnya
Jenis penelitian ini adalah observasional
pendapatan keluarga yang akan berdampak pula
analitik, yaitu penelitian yang mencoba menggali
pada kemampuan keluarga memenuhi kebutuhan
bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu a. Variabel bebas: usia (0=15-58 tahun dan
terjadi dengan rancangan penelitian yang 1=<15 tahun dan >58 tahun); jenis kelamin
digunakan kasus kontrol (case control study). (0=laki-laki dan 1=perempuan); kebiasaan
Rancangan ini sangat sesuai untuk mengetahui meroko (0=terpapar rokok dan 1=tidak
faktor risiko yang diduga memiliki hubungan terpapar rokok); pendidikan (0=rendah dan
erat dengan penyakit yang terjadi di masyarakat 1=tinggi); pengetahuan (0=kurang dan
(Notoatmodjo, 2010). 1=baik); riwayat kontak serumah (0=ya dan
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja 1=tidak).
Puskesmas Nguter Kabupaten Sukoharjo pada b. Variabel terikat: kejadian TB paru dewasa
bulan Maret 2019. Sampel adalah sebagian yang (0=kasus dan 1=kontrol).
diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan c. Variabel pengganggu: kebiasaan membuka
dianggap mewakili seluruh populasi jendela, kebiasaan menjemur kasur,
(Notoatmodjo, 2010). Teknik penggambilan HIV/AIDS, kepadatan hunian, ventilas dan
sampel penelitian ini digunakan dengan cara pencahayaan.
total sampling dimana seluruh anggota populasi
menderita TB paru dewasa kemudian dilakukan
matching, yaitu menyamakan karakteristik
responden kasus yaitu kebiasaan membuka
jendela, kebiasaan menjemur kasur, HIV/AIDS,
kepadatan hunian, ventilasi dan pencahayaan
(Notoatmodjo, 2010).
Sampel dalam penelitian ini meliputi :
a. Kasus, yaitu penderita TB paru dewasa di
wilayah kerja Puskesmas Nguter pada tahun
2018, berjumlah 38 orang. Gambar 1. Proses Wawancara Responden Kasus
b. Kontrol, yaitu warga yang tidak menderita
TB paru dewasa dan tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Nguter, berjumlah 38 orang.
Berdasarkan jumlah sampel tersebut dan untuk
mengurangi bias, maka peneliti menggunakan
perbandingan 1:1 untuk kelompok kasus dan
kelompok kontrol, sehingga jumlah sampel
sebesar 76 orang.
Variabel adalah sesuatu yang digunakan
sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki oleh
Gambar 2. Proses Wawancara Responden
peneliti (Notoatmodjo, 2010).
Kontrol
laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC terkait dengan influenza dan radang paru
misalnya merokok dan kurangnya kepatuhan lainnya. Pada penderita asma, merokok akan
minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari memperparah gejala asma sebab rokok akan
seluruh partisipan laki-laki yang merokok lebih menyempitkan saluran pernafasan. Efek
sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan merugikan tersebuut mencakup meningkatnya
perempuan yang merokok (Kemenkes RI, 2018). kerentanan terhadap batuk kronis, produksi
Penelitian ini sejalan dengan Kemenkes RI dahak dan serak (Wijaya, 2012).
(2018) yang menyatakan bahwa laki-laki Merokok adalah membakar tembakau yang
memiliki risiko lebih besar untuk menderita TB kemudian dihisap isinya. Berdasarkan hasil
dibandingkan dengan perempuan. Hasil Riskesdas (2013) rata-rata jumlah batang rokok
penelitian Fariz (2014) juga menyatakan bahwa yang dihisap per hari per orang di indonesia
jenis kelamin juga berpengaruh terhadap adalah 12 batang rokok atau setara satu bungkus.
kejadian TB Paru. Diperoleh hasil responden Definisi perokok menurut WHO dalam depkes
laki-laki memiliki risiko terkena TB Paru 3,8 tahun 2004 adalah mereka yang merokok setiap
kali dibanding responden perempuan. Rukmini hari untuk jangka waktu minimal 6 bulan selama
(2011) juga menyatakan jenis kelamin hidupnya. Merokok diketahui mempunyai
mempengaruhi kejadian TB Paru. Laki-laki hubungan dengan meningkatkan resiko untuk
memiliki risiko 1,613 kali bila dibandingkan mendapatkan kanker paru, penyakit jantung
dengan perempuan. koroner, bronkitis kronik dan kanker kandung
Kebiasaan Merokok Terhadap Kejadian TB kemih. Kebiasaan merokok juga meningkatkan
Paru 2,2 kali resiko untuk terkena TB paru (Sarwani,
Hasil analisis menunjukkan nilai p=0.037, 2012).
diartikan bahwa ada hubungan kebiasaan Berdasarkan data Kemenkes RI (2012),
merokok terhadap kejadian TB Paru Dewasa di jenis perokok dibagi menjadi 3, perokok
Puskesmas Nguter Kabupaten Sukoharjo. Nilai ringan dengan jumlah rokok yang dihisap 1-
OR sebesar 3,11 yang artinya OR > 1 10 batang per hari, perokok sedang 11-20
menunjukkan bahwa responden yang memiliki batang per hari, dan perokok berat lebih dari
kebiasaan merokok memiliki risiko 3,11 kali 20 batang per hari. Sejalan dengan
lebih besar dari pada responden yang tidak penelitian Laila (2015) pernah merokok
memiliki kebiasaan merokok. Nilai CI meningkatkan risiko terjadinya TB paru 3,44
(Confident Interval) sebesar (1.04 – 9.28) kali dibandingkan yang tidak merokok.
menunjukkan bahwa variabel kebiasaan Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian
merokok merupakan faktor risiko terjadinya TB yang dilakukan oleh Feny Widiyarsih, dkk
Paru Dewasa. (Tabel 1) (2013) dimana perilaku merokok berhubungan
Merokok merupakan penyebkan utama dengan kejadian TB Paru di UPK Puskesmas
penyakit paru yang bersifat kronis dan obstruktif, Perum 2 Kota Pontianak (p = 0,027). Hal ini
misalnya bronkitis dan emfisemia. Merokok juga berarti responden dengan kebiasaan merokok
memiliki risiko 3,519 kali mengalami TB Paru preventif lainnya. Tingkat pendidikan yang
dibandingkan dengan responden yang tidak rendah dapat mempengaruhi pengetahuan di
memiliki kebiasaan merokok. Hal ini diperkuat bidang kesehatan, maka secara langsung maupun
dengan penelitian Beta (2018) yang menyatakan tidak langsung dapat mempengaruhi lingkungan
seseorang yang memiliki perilaku merokok fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial
berisiko 2,87 kali bila dibandingkan dengan yang yang merugikan kesehatan dan dapat
tidak merokok. Penelitian serupa dilakukan oleh mempengaruhi penyakit TB dan pada akhirnya
Yusran (2018) menyatakan perilaku merokok mempengaruhi tingginya kasus TB yang ada
meningkatkan 2,776 kali risiko menderita TB (Rosmaniar, 2009).
Paru. Pendidikan berkaitan dengan
pengetahuan penderita. Pendidikan
Tingkat Pendidikan Terhadap Kejadian TB penderita yang rendah mengakibatkan
Paru Dewasa pengetahuan rendah, sehingga
Responden yang memiliki pendidikan memungkinkan penderita dapat putus dalam
rendah pada penderita TB Paru Dewasa pengobatan karena minimnya pengetahuan
sebanyak 18 responden, sedangkan pada kontor dari penderita dan ketidakmengertinya
29 responden. Pengujian statistik menggunakan pengobatan. Hal ini mengakibatkan
uji chi square pada taraf signifikan 5% penderita tidak dapat teratur dalam program
didapatkan nilai p = 0.009 yang artinya Ho pengobatan yang dijalani. Hampir seluruh
ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian dapat penelitian sebelumnya menemukan faktor
diartikan bahwa ada hubungan pendidikan pendidikan sangat erat kaitannya dengan
terhadap kejadian TB Paru Dewasa di ketidakteraturan berobat dan minum obat
Puskesmas Nguter Kabupaten Sukoharjo. Nilai (Wirdani, 2009).
OR sebesar 3,58 yang artinya OR > 1 Penelitian serupa dilakukan oleh Oktavia,
menunjukkan bahwa responden dengan dkk (2016) di wilayah kerja Puskesmas Kertapati
pendidikan rendah memiliki risiko 3,11 kali Palembang yang menyatakan bahwa ada
lebih besar dari pada responden dengan hubungan (p = 0,02) antara pendidikan dengan
pendidikan tinggi. Nilai CI (Confident Interval) kejadian TB Paru. Hasil penelitian ini sejalan
sebesar (1.341−9.561) menunjukkan bahwa dengan Kemenkes RI (2018) yang menyatakan
variabel pendidikan merupakan faktor risiko bahwa semakin rendah tingkat pendidikan maka
terjadinya TB Paru Dewasa. (Tabel 1) semakin tinggi risiko untuk menderita TB.
Pendidikan akan menggambarkan perilaku Penelitian serupa dilakukan oleh Laila (2015)
seseorang dalam kesehatan. Semakin rendah yang menyatakan pendidikan kurang dapat
pendidikan maka ilmu pengetahuan di bidang meningkatkan 2,05 kali risiko menderita TB paru.
kesehatan semakin berkurang, baik yang
Pengetahuan Terhadap Kejadian TB Paru
menyangkut asupan makanan, penanganan
Dewasa
keluarga yang menderita sakit dan usaha-usaha
penyakit TB (0=kurang, 1=baik) TB, maka yang akan menjadi sakit parah bahkan
RK : Riwayat kontak langsung / serumah
bisa menyebabkan kematian (Annie, 2013).
dengan penderita TB (0=ya, 1=tidak)
penyebab TB tidak tahan terhadap panas dan Terima kasih disampaikan kepada Kepala
dapat mati oleh sinar matahari secara langsung Puskesmas Nguter, Kepala Dinas Kesehatan
(Heriyani, 2012). Pencahayaan yang kurang Kabupaten Sukoharjo, Dekan Fakultas
terang dapat meningkatkan perkembangan Kesehatan Masyarakat, Ketua Prodi Ilmu
kuman TB Paru dikarenakan cahaya matahari Kesehatan Masyarakat yang telah mendukung
merupakan salah satu faktor yang membunuh dan membimbing secara penuh pelaksanaan
kuman TB Paru, sehingga jika pencahayaan penelitian ini. Mahasiswa Ilmu Kesehatan
bagus maka penularan dan perkembangbiakan Masyarakat, Univet Bantara yang telah
kuman bisa dicegah (Halim dkk, 2015). membanu dalam proses pengumpulan dan
Berdasarkan Depkes RI (2008), pengukuran analisis data.
pencahayaan terhadap sinar matahari dengan
menggunakan lux meter, yang di ukur di tengah- DAFTAR PUSTAKA
tengah ruangan pada tempat setinggi <84 cm dari Beta, Martanto (2018). Hubungan Perilaku
lantai, dengan ketentuan pencahayaan alam atau MerokokDengan Kejadian Penyakit
buatan langsung atau tidak langsung dapat Tuberkulosis Di Wilayah Kerja
menerangi seluruh bagian ruangan minimal Puskesmas Gamping 1 Sleman
intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan Yogyakarta. Universitas Aisyiyah:
Yogyakarta.
KESIMPULAN Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Variabel yang berhubungan dengan kejadian 2008. Pedoman Nasional
TB Pparu dewasa di wilayah kerja Puseksmas Penanggulangan Tuberkulosis.
Nguter yaitu usia (p=0,037, OR=2,67 (1,04- Cetakan Kedua. Jakarta.
6,82); jenis kelamin (p=0,006, OR=3,76 (1,44- Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo (2018).
9,79); kebiasaan merokok (p=0,037, OR=3,11 Buku Profil Kesehatan Kabupaten
(1,04-9,28); tingkat pendidikan (p=0,009, Sukoharjo 2018.
OR=3,58 (1,34-9,56); tingkat pengetahuan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2017).
(p=0,034, OR=2,8 (1,07-7,32); riwayat kontak Buku Profil Kesehatan Provinsi
serumah (p=0,022, OR=5,58 (1,11-27,90). Jawa Tengah.
Keseluruhan variabel yang berhubungan Fariz, Muaz (2014). Faktor-Faktor Yang
terhadap kejadian TB paru dewasa pada hasil Mempengaruhi Kejadian
analisis bivariat, terbukti memang berpengaruh uberkulosis Paru Basil Tahan Asam
secara bersama-sama pula di analisis multivariat. Positif Di Puskesmas Wilayah
Variabel yang paling mendominasi adalah jenis Kecamatan Serang, Kota Serang.
kelamin. Laporan Penelitian. Universitas
Islam Syarif Hidayatullah: Jakarta.
UCAPAN TERIMA KASIH Feny Widiyarsih, dkk (2013). Faktor Risiko
Kejadian Tuberkulosis Paru Di