Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

Dokter sebagai orang yang melakukan pemeriksaan khususnya atas diri

korban, perlu secara hati-hati cermat dan teliti di dalam menafsirkan hasil yang

didapatnya. Fokus utama seorang dokter terhadap kasus luka tembak korban

hidup adalah tindakan life saving termasuk dalam menghentikan perdarahan

kemudian penilaian deskripsi luka dalam penentuan derajat luka (clinico-

medicolegal aspect). Tetapi pada korban mati seharusnya yang menjadi

perhatian penting seorang dokter pemeriksa adalah mendeskripsikan luka secara

tepat dan sistematik serta tetap mempertahankan orisinilitas luka jika akan

dirujuk untuk dilakukan autopsi (medicolegal aspect). Hal ini diperlukan untuk

keakuratan interpretasi luka tembak untuk dapat menjelaskan tugas dan fungsi

sebagai pemeriksa diantaranya :

1. Menentukan luka intravital atau postmortem, ini bertujuan untuk esensi

penentuan sebab kematian.

2. Menentukan apakah luka tersebut memang luka tembak (

mengidentifikasi luka tembak)

3. Menentukan luka tembak masuk dan keluar, diameter peluru, komponen

anak peluru, jarak tembak, arah tembakan, berapa kali korban ditembak

dan luka tembak mana yang menyebabkan kematian.

4. Mencari anak peluru yang bersarang dalam tubuh

5. Dapat mendeskripsikan luka dari luka tembak. (1,2)

1
Interpretasi yang benar mengenai luka tembak oleh para dokter tidak

hanya memberikan informasi berharga yang dapat menunjang pelaksanaan

hukum selama investigasi, tetapi juga penting untuk penentuan sebab kematian.

Dalam naskah ini akan dibahas kasus korban mati, yang sebelumnya

sempat dibawah oleh penyidik ke Puskesmas untuk korban masih hidup. Setelah

pihak Puskesmas memastikan korban sudah meninggal, penyidik meminta pihak

bagian Forensik-Medkolegal UNHAS untuk melakukan otopsi disertai Surat

Permintaan Visum (SPV)

2
VeR: KS. 15/ II/ 2013

BAB II

LAPORAN HASIL VISUM et REPERTUM

KASUS LUKA TEMBAK


(KORBAN MATI)

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK-MEDIKOLEGAL

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

3
BAB III

PEMBAHASAN DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Prosedur Medikolegal

Ilmu kedoteran forensic merupakan cabang spesialistik ilmu kedokteran

yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokterana

untuk membantu penegakkan hukum dan keadilan. Di Indonesia,

pelaksanaan layanan kedokteran forensic ini dilakukan berdasarkan

aturan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) nomor 8 tahun 1981, khusunya dalam Bab XIV

Bagian Kedua Tentang Penyidikan. Dalam salah satu pasal KUHAP,

yaitu pasal 133 ayat (1), disebutkan bahwa :3

(1) Dalam hal penyidik kepentingan peradalian menangani seorang

korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena

peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan

permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau

dokter dan atau ahli lainnya.

Dari pasal ini tampak bahwa dalam menangani perkara yang diduga

disebabkan oleh suatu tindak pidana yang menyangkut tubuh manusia,

penyidik berwenang meminta keterangan dari seorang ahli untuk

memperjelas perkara.

4
Dalam memeriksa dan menjelaskan hal-hal yang menyangkut tubuh

manusia, yang dianggap sebagai “ahli” tentunya adalah seorang dokter,

yang telah memperoleh kompetensi melalui pendidikannya. Lebih lanjut

lagi, karena keterangan yang diminta oleh penyidik tersebut biasanya

berkaitan dengan masalah hukum, maka yang dianggap paling

kompeten adalah dokter ahli kedokteran kehakiman (dokter spesialis

forensic). Oleh karena itu, dalam penjelasan KUHAP tercantum bahwa:

“Keterangan yang diberikan oleh dokter ahli kedokteran kehakiman

disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh

dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan”.. 3

Namun, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

maka ruang lingkup suatu disiplin ilmu cenderung semakin terbatas dan

spesialistik. Akibatnya disiplin ilmu tersebut hanya dikuasai secara

mendalam oleh orang-orang yang menekuninya secara khusus. Oleh

karena itu dalam memberikan keterangan, seorang dokter spesialis

forensic harus dapat berkoordinasi dengan baik dengan ahli-ahli dalam

bidang ilmu lainnya yang terkait. Koordinasi tersebut diperlukan agar

keterangan ahli yang diberikan kepada penyidik dapat benar-benar

membuat terang perkara tersebut secara menyeluruh.

Dalam KUHAP juga diatur tentang tata cara permintaan keterangan

ahli tersebut. Pasal 133 ayat (2) menyebutkan bahwa : 3

5
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan

tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau

pemeriksaan bedah mayat.

Surat yang dimaksud biasanya disebut “Surat Permintaan Visum

(SPV)” dan menjadi bukti tertulis perihal permintaan keterangan ahli

tersebut. Dalam SPV harus dicantumkan keterangan mengenai :

 Pihak yang meminta keterangan ahli, penyidik yang memenuhi

syarat;

 Pihak yang diminta memberikan keterangan ahli, agar jelas

kewenangannya dalam melakukan pemeriksaan dan memberikan

keterangan hali;

 Jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan

luka/pemeriksaan mayat/bedah mayat;

 Identitas obyek yang akan diperiksa, agar jelas status obyek

tersebut sebagai barang bukti; dan

 Keterangan lainnya tentang kasus yang dihadapi, seperti tempat

dan waktu kejadian/pelaporan, dugaan delik tindak pidana, dan

sebagainya.

Syarat penyidik yang berwenang meminta keterangan ahli tersebut

diatur dalam KUHAP pasal 6 ayat (1) jo Peraturan Pemerintah (PP)

no. 27 Tahun 1983. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa

6
penyidik yang berwenang untuk meminta permintaan ahli adalah

pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan pangkat serendah-

rendahnya Pembantu Letnan Dua, yang bila diselaraskan dengan

jenjang kepangkatan POLRI saat ini adalah Ajun Inspektur Polisi Dua

(AIPDA). Bila di suatu daerah tidak ada pejabat POLRI berpangkat

AIPDA, maka seorang Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) dapat

bertindak selaku penyidik karena jabatannya. Pada kasus ini, yang

bertindak sebagai penyidik adalah pejabat Kepolisian Resor Jakarta

Utara, yang mengambil alih penyidikan dari Kepolisian Sektor Koja.

SPV ditandatangani oleh pejabat yang berpangkat Ajun Komisaris

Polisi (AKP) sehingga sebenarnya secara kepangkatan tidak perlu lagi

mengatasnamakan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres).3

B. Hasil pemeriksaan, tinjauan pustaka dan pembahasan

Pada pemeriksaan mayat, hal yang pertama dapat dinilai adalah

perubahan post mortem. Perubahan postmortem yang dapat dinilai antara

lain kaku mayat (rigor mortis), lebam mayat (livor mortis), perubahan suhu

tubuh (algor mortis), dan dekomposisi Perubahan ini tidak dapat dicegah

dan bersifat progresif kecuali terdapat faktor lain yang menghambat

progresifitasnya seperti mayat yang diawet atau dibekukan. Hasil

pemeriksaan jenazah kasus ini, kaku mayat terdapat pada seluruh tubuh,

sukar dilawan (rigor mortis). Diketahui bahwa rigor mortis adalah

kekakuan otot post mortem akibat perubahan bahan kimiawi di dalam

mioplasma. Kaku mayat terjadi akibat kelenturan otot yang menghilang

7
setelah kematian karena metabolisme tingkat selular sudah tidak ada lagi,

khususnya dalam pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan

energi untuk mengubah ADP menjadi ATP yang dipakai oleh serabut aktin

dan miosin agar tetap lentur. Pada orang yang telah mati, cadangan

glikogen dalam otot lama kelamaan akan habis dan energi tidak terbentuk

lagi, sehingga aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Kaku

mayat ini mulai tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari

bagian luar tubuh (otot-otot kecil) ke arah dalam (sentripetal). Setelah mati

klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam

dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Berdasarkan hal

tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa waktu kematian berdasarkan

kekakuan otot yang terdapat pada seluruh tubuh dan sukar dilawan yaitu

terjadi kurang dari 24 jam.

Lebam mayat (Livor mortis), merupakan proses yang terjadi berupa

bercak warna merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh akibat

eritrosit yang menempati tempat terbawah dari tubuh karena gaya tarik

bumi (gravitasi) yang mengisi vena dan venule membentuk bercak warna

merah ungu pada bagian terbawah tubuh, kecuali bagian tubuh yang

tertekan alas keras. Darah tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin

yang berasal dari endotel pembuluh darah. Pada kasus ini, pemeriksaan

luar didapatkan lebam mayat berwarna berwarna merah keunguan

terdapat pada punggung, pinggang dan tungkai bawah kiri dan kanan

bagian belakang, tidak hilang dengan penekanan. Lebam mayat adalah

8
hal yang terjadi setelah kematian dimana eritrosit akan menempati tempat

terbawah akibat gaya tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula,

membentuk bercak warna merah ungu (livide) pada bagian terbawah

tubuh, kecuali bagian tubuh yang tertekan alas keras. Darah tetap cair

karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh

darah. Lebam mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit pasca mati,

makin lama intensitasnya bertambah dan menjadi lengkap dan menetap

selama 8-12 jam. Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh tertimbunnya

sel-sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi.

Penekanan pada daerah lebam mayat yang dilakukan setelah 8-12 jam

tersebut tidak akan menghilang. Tidak hilangnya lebam mayat tersebut

dikarenakan telah terjadi perembesan darah akibat rusaknya pembuluh

darah ke dalam jaringan di sekitar pembuluh darah tersebut. Sehingga

berdasarkan lebam mayat pada kasus ini dapat disimpulkan waktu

kematian terjadi kurang dari 12 jam.

Pembusukan adalah suatu keadaan di mana bahan-bahan organik

tubuh mengalami dekomposisi baik yang disebabkan oleh karena adanya

aktivitas bakteri maupun karena autolisis. Poses pembusukan akan

dipercepat dengan adanya panas, pada suhu lingkungan di atas 20 0C

misalnya pada daerah tropis, pembusukan akan dapat dilihat dalam waktu

24 jam. Bila suhu lingkungan sesuai dengan suhu optimal untuk

pertumbuhan bakteri, maka pembusukan akan cepat terjadi. Tanda awal

pembusukan akan tampak sebagai warna kehijauan pada daerah perut

9
kanan bawah di mana usus besar di daerah tersebut banyak mengandung

cairan dan bakteri. Pada akhir minggu pertama tubuh akan seluruhnya

berwarna kehijauan dan akan tampak warna merah ungu. Pembentukan

gas dalam tubuh akan dimulai pada awal minggu kedua, yaitu akan

dimulai di lambung dan usus yang menyebabkan dinding perut tampak

tegang. Pada kasus ini belum didapatkan tanda-tanda pembusukan. Hal

ini menunjukkan kematian terjadi kurang dari 24 jam. Dari hasil

pemeriksaan dan penjelasan teori diatas, dapat disimpulkan bahwa

kematian terjadi antara 12-24 jam.

Pada pemeriksaan dalam, didapatkan limpa mengkerut. Limpa

merupakan

organ reservoar darah (bank darah). Bilamana tubuh kehabisan darah,

maka limpa akan mengerahkan seluruh cadangan dan produksi darah ke

organ-organ vital yang sangat membutuhkan oksigen untuk menjaga

homeostasis. (Robbins dan Cotran, 2010). Selain bukti limpa mengkerut

10
sebagai bukti adanya kegagalan sirkulasi, hal lain menunjukkan adanya

kegagalan sirkulasi dilihat dari bukti pada kasus ini adanya perdarahan

disekitar jantung berbentuk massa (bekuan darah) berwarna merah

kehitaman, sebanyak empat ratus dua puluh milimeter kubik.

Bekuan darah
420 cc

Diliteratur dikatakan bahwa bekuan darah ini merupakan tanda adanya

luka intravital, bekuan darah mulai timbul 15 sampai 20 detik bila trauma

dinding vaskuler berat dan 1-2 menit bila traumanya ringan. (guyton,

1996). Adanya faktor koagulasi adalah yang berperan dalam proses

pembekuan. Koagulasi diawali dalam keadaan hemostatis (respon tubuh)

dengan adanya cedera vaskular. Vasokonstriksi merupakan respon

segera terhadap cedera, yang diikuti dengan adhesi trombosit pada

kolagen pada dinding pembuluh yang terpajan dengan cedera. ADP

11
dilepas oleh trombosit menyebabkan agregasi trombosit ditambah oleh

faktor III sehingga mempercepat pembekuan plasma. Terjadi reaksi

“kaskade”, aktivasi satu prokoagulan menyebabkan aktivasi bentuk

pengganti melalui rangkaian jalur intrinsik maupun ekstrinsik. Jalur intrinsik

diawali dari plasma yang keluar terpajan dengan kulit atau kolagen di

dalam pembuluh darah yang rusak. Faktor XII, XI, IX harus dilibatkan

sebelum faktor X diaktivasi. Langkah berikutnya adalah pembentukan

fibrin yang berlangsung jika faktor Xa, dibantu oleh fosfolipid dari trombosit

yang diaktivasi, memecah protrombin, membentuk trombin yang

selanjutnya memecahkan fibrinogen menjadi fibrin. Sedangkan kehilangan

volume darah > 40 % dapat menyebabkan kematian. (NHMRC-ASBT,

2002). Pada korban ini, panjang badan 157 cm, berat badan diperkirakan

antara 50-55 kg dengan, perawakan kesan kurus. Artinya untuk

mengetahui total volume darah, bila berat badan perkiraan minimal 50

kgx65 mL, maka jumlah total volume darah korban ini adalah 3250 mL.

Dikatakan bila kehilangan >40%, total darah dari 3250, maka kehilangan

1300 mL dapat menyebabkan kematian. Sementara volume darah yang

hilang terdeteksi adalah 420 mL kubik. Ini menunjukkan belum cukup bukti

kegagalan sirkulasi bila hanya melihat kehilangan volume darah. Secara

teori dikatakan, proses perdarahan disebabkan oleh tiga hal yaitu

hilangnya integritas pembuluh darah (keadaan yang paling sering

dijumpai), trombositopenia (kadar trombosit yang rendah), atau defisiensi

12
salah satu faktor pembekuan. Bila melihat bukti fisik pada pemeriksaan

luar juga ditemukan tampak kebiruan (sianosis) pada ujung jari tangan.

Sianosis merupakan warna kebiru-biruan pada kulit dan selaput lendir

yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolute yang tereduksi (Hb yang

tak berikatan dengan O2). Sianosis biasanya tak diketahui sebelum jumlah

absolut Hb yang tereduksi mencapai 5 g per 100 ml atau lebih pada

seseorang dengan konsentrasi Hb yang normal (saturasi oksigen [SaO2]

kurang dari 90 %). Ini akibat dari aliran darah vena yang terhambat

sedangkan aliran darah arteri tidak terhambat, atau karena volume darah

yang kekurangan akibat perdarahan yang banyak sehingga secara tidak

langsung kandungan Hb yang ada dalam darah juga berkurang, akibatnya

Hb secara tidak langsung tidak dapat maksimal mengangkut oksigen,

terutama kedaerah organ vital. Ikatan Hb dan oksigen inilah yang

memberikan gambaran berwarna merah. Bila ikatan ini tidak kuat maka

13
gambarannya berwarna kebiruan . Untuk mencukupkan kebutuhan karena

kekurangan darah, maka darah yang ada diperifer akan sepenuhnya

diarahkan ke organ vital dengan cara kontraksi maksimal pembuluh darah

perifer. Akibat dari itu darah yang sepenuhnya dialirkan ke organ vital

menyebabkan daerah ekstrimitas bawah (kedua ujung kaki) tampak pucat.

Hasil pemeriksaan luar didapatkan perlukaan yang dialami oleh

korban disebabkan karena adanya luka tembak masuk. Hal ini disokong

oleh teori yang menyatakan bahwa luka terbuka yang dikelilingi oleh kelim

lecet. Bila peluru masuk ke dalam tubuh secara tegak lurus maka kelim

lecet yang terbentuk akan sama lebarnya pada setiap arah. Peluru yang

masuk secara membentuk sudut atau serong akan dapat diketahui dari

perangai kelim lecet. Kelim lecet yang paling lebar merupakan petunjuk

bahwa peluru masuk dari arah tersebut.5,6,7,8 Dengan kata lain kelim lecet

yang terlebar menunjukkan arah masuknya peluru. Pada hasil

pemeriksaan luar kasus ini terdapat terbuka dengan tepi luka tersebut

tampak luka lecet tekan (kelim lecet) berwarna merah kehitaman

melingkari luka dengan ukuran panjang yang berbeda (episentris) yaitu

kelim lecet terlebar delapan millimeter posisi jam enam dan lebar terkecil 1

milimeter posisi jam tiga. Diameter lubang luka terkecil dengan kelim lecet

terlebar dua puluh millimeter sejajar dengan garis tengah tubuh, dan

diameter lubang luka terlebar dengan kelim lecet terkecil lima belas

millimeter sejajar garis mendatar (horizontal). Dari bukti ini dengan teori

diatas bahwa arah masuknya peluru sejajar dengan garis tengah tubuh

14
korban dari bawah ke atas ditandai dengan kelim lecet terlebar yaitu

delapan milimeter posisi jam enam.

Perkiraan diameter anak peluru merupakan penjumlahan antara

diameter lubang luka ditambah dengan lebar kelim lecet yang tegak lurus

dengan arah masuknya peluru.9,11,12 Pada kasus ini perkiraan diameter

anak peluru yaitu lima belas milimeter (0,6 inci) didapatkan dari diameter

lubang luka dua belas millimeter sejajar garis mendatar (horizontal)

ditambah dengan lebar kelim lecetnya dua milimeter posisi jam sembilan

dan ditambah kelim lecetnya satu milimeter posisi jam tiga.

15 mm

Arah masuknya
anak peluru

Pada jenazah ini tidak ditemukan kelim tato atau kelim jelaga.

Dikatakan bila tidak ditemukan kelim tato atau kelim jelaga maka luka

tembak berdasarkan sifat lukanya tersebut adalah luka tembak jarak jauh.

Ini mengandung dua arti yaitu memang korban ditembak jarak jauh yang

berarti diluar jangkauan atau jarak tempuh butir-butir mesiu yang tidak

15
terbakar atau sebagian terbakar, yang kedua adalah korban ditembak

dari jarak dekat atau sangat dekat, akan tetapi antara korban dengan

moncong senjata ada penghalang seperti bantal dan lain sebagainya.12

Pada pemeriksaan dalam ditemukan satu buah benda asing di

sekitar

otot leher diantara tulang belakang kedua dan ketiga dari leher sebelah

kanan, berbahan logam, berwarna perak (putih abu-abu) bentuk tidak

beraturan, ukuran panjang lima belas millimeter, lebar dua belas

millimeter, tinggi sepuluh millimeter. Hal ini merupakan tanda pasti adanya

luka tembak. Sementara dari hasil pemeriksaan tersebut didapatkan

robekan pembuluh nadi besar leher (arteri carotis) sebelah kanan.

Diketahui bahwa sifat dari pembuluh darah arteri kekuatan kontraksinya

lebih besar dibanding vena oleh karena arteri merupakan pengangkut

terbesar kaya akan oksigen. Sehingga ketika terjadi robekan pembuluh

16
nadi besar arteri carotis ini akan menyebabkan banyak kehilangan darah

bila tidak segera diberi pertolongan akan menyebabkan kematian

Pada keadaan lain yang memperberat keadaan ini yaitu dari

pemeriksaan dalam ditemukan pada permukaan jantung berwarna merah

kecoklatan kecuali bagian depan (facies anterior) tampak beberapa

bagian yang putih pucat, yaitu bagian bilik kanan (ventrikel kanan

dan bagian bilik kiri (ventrikel kiri) Pembuluh darah jantung bagian depan

kiri (arteri coronaria sinister, ramus interventrikularis anterior) semuanya

tampak berwarna putih dan teraba kaku dan keras. Pembuluh darah

jantung bagian belakang (arteri coronaria posterior) yang melewati sinus

coronaria pada bagian bilik kanan (ventrikel kanan) tampak berwarna

putih dan teraba kaku dan keras. Tebal otot bilik kanan ( ventrikel kanan)

empat milimeter dan tebal otot bilik kiri (ventrikel kiri) sepuluh milimeter.

Disekitar jantung terdapat darah yang sebagian berbentuk massa

17
(bekuan darah) berwarna merah kehitaman, sebanyak empat ratus dua

puluh milimeter kubik. Hasil pemeriksaan mikroskopik jantung pada

pembuluh darah jantung (arteri coronaria) tampak penebalan tunika intima

yang disertai dengan penimbunan lemak pada bagian tengah dari

penebalan tersebut (plaque atherosclerosis) disertai gambaran trombus

(plaque atherotrombus).

Tunika intima
menebal

Plak trombus

Gambar mikroskopik jantung arteri


coronaria ( HE, 400X)
Dinding Pembuluh darah bagian tunika intima, ditemukan ada plak trombus (plak
atherotrombus) maknanya bila atherom ini membesar maka lumen menjadi kecil,
sehingga mengurangi aliran darah ke otot jantung

Hal tersebut memberi gambaran penyumbatan sampai tiga puluh persen.

Keadaan ini tentunya mempengaruhi keadaan homestasis tubuh untuk

mengatasi perdarahan yang banyak pada leher. Akibatnya jantung

berkontraksi semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan oksigen di

18
organ vital seperti otak, namun upaya kontraksi maksimal ini tidak adekuat

karena adanya penebalan tunika intima yang disertai dengan penimbunan

lemak pada bagian tengah dari penebalan tersebut (plaque

atherosclerosis) disertai gambaran trombus (plaque atherotrombus).

Akibatnya aliran darah ke jaringan terutama organ vital kurang, sementara

darah juga makin berkurang secara terus menerus karena adanya

kebocoran pada pembuluh darah besar dileher kanan ( arteri karotis).

Sementara tugas jantung secara otonom memompa darah keseluruh

jaringan. Jantung tetap memompa, akan tetapi darah yang akan dipompa

untuk dialirkan habis karena adanya robekan pada pembuluh darah besar

arteri karotis tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa korban ini meninggal oleh kegagalan

sirkulasi yang disebabkan oleh karena perdarahan yang banyak akibat

robeknya pembuluh nadi besar leher sebelah kanan (arteri carotis) yang

diakibatkan oleh luka tembus masuk pada leher sebelah kanan. Luka

tersebut sesuai dengan luka tembak jarak jauh dengan arah masuk sejajar

garis tengah tubuh dari bawah ke atas. Diameter perkiraan maksimal

anak peluru lima belas milimeter. Keadaan tersebut diatas diperberat

dengan adanya atherosklerois dan atherotrombus pada pembuluh darah

jantung (arteri coronaria).

19
Dengan menggunakan pendekatan konsep transleting pendulum

hypotesis. (Lawrence GS, 2005). Maka penyusunan sistematis

patomekanisme patobiologik dari damage atau cedera pada kasus

apapun akan sangat memudahkan didalam penulisan Multiple Cause of

Death (MCOD) dari WHO .

Multiple Cause of Death (MCOD) dari WHO dari kasus diatas

adalah :

(I-a) Penyebab kematian yang langsung : Kegagalan Sirkulasi.

(I-b) Penyebab antara : Perdarahan yang banyak

(I-c) Penyebab antara : akibat robeknya pembuluh nadi besar leher

sebelah kanan (arteri carotis)

(I-d) Penyebab yang mendasari kematian : luka tembus masuk pada leher

sebelah kanan. Luka tersebut sesuai dengan luka tembak jarak jauh

dengan arah masuk sejajar garis tengah tubuh dari bawah ke atas

(II) Penyebab kontribusi lainnya :atherosklerois dan atherotrombus yang

pada pembuluh darah jantung. (arteri coronaria)

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Maio, Di M.D; J.M., Vincent; Gunshot Wounds: Practical Aspects of


Firearms, Ballistics, and Forensic Techniques, Second Edition (Practical
Aspects of Criminal & Forensic Investigations). CRC Press LLC: Florida.
1999.
2. Miglietta, Maurizio A., Dr.; Trauma and Gunshot wounds: What you need
to know to save a life.
3. Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 8 Tahun 1981. p.36
4. Wilson J: Wound Ballistics (Trauma Rounds). West J Med 127:49-54, Jul
1977.
5. Dix, Jay. Color Atlas of Forensic Pathology First Edition. CRC Press LLC:
Boca Raton, Florida. 2000. Hal. 66 – 82.
6. Dokumentasi Foto Otopsi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,
2009.
7. Oehmichen, Manfred; Auer, Roland N.; Konig, Hans Gunter. Forensic
Neuropathology and Neurology. Springer – Verlag Berlin Heidelberg:
Jerman. 2006. Hal. 151 – 173.
8. Lew, Emma M.D.; Dolinak, David M.D.; Matshes, Evan M.D.. Firearm
Injuries. In: Forensic pathology: principles and practice. Elsevier
Academic Press: London. 2005. Hal. 164 – 200.
9. Salisbury, David Psy.D.; Novack, Thomas A. Ph.D.; Brunner, Robert M.D.
; TBI Inform – Traumatic Brain Injury Caused by Violence. UAB –
TBIMS: Birmingham. 2005.
10. Messmer, James M., M.D.; Fierro, Marcella F., M.D.. Radiologic Forensic
Investigation of Fatal Gunshot Wounds. The Radiological Society of North
America 1986; 6(3): 457-461.
11. Wilson JM: Shotgun ballistics and shotgun injuries (Trauma Rounds-San
Francisco General Hospital). West J Med 129:149-155, Aug 1978.
12. Anthony J Williams, Hans H Wei, et al. Acute and Delayed
Neuroinflammatory Response Follwing Experimental Penetrating

21
Ballistic Brain Injury in the Rat. Journal of Neuroinflammation, 4:17.
2007.

22
LAMPIRAN-LAMPIRAN

23

Anda mungkin juga menyukai