Anda di halaman 1dari 31

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Protein sangat penting untuk mencapai makanan yang sehat dan bergizi.
Saat ini, konsumsi protein masyarakat Indonesia sudah semakin tinggi. Hal ini
terlihat pada tahun 2004 angkanya sebesar 4,95 kg/kapita/tahun maka pada tahun
2009 naik menjadi 6,06 kg/kapita/tahun (Siswahyu, 2010). Namun demikian,
konsumsi protein penduduk Indonesia ini masih lebih rendah jika dibandingkan
dengan beberapa negara Asean lainnya. Untuk itu perlu berbagai usaha untuk
memenuhi sumber protein karena sangat penting untuk meningkatkan
kesejahteraan petani peternak. Kebutuhan daging secara nasional hingga saat ini
masih bertumpu pada ternak sapi dan ayam. Selain ayam, ternak unggas lain yang
mempunyai potensi untuk menghasilkan daging dengan waktu cepat adalah itik
(Suparyatno, 2005). Ternak itik mempunyai potensi untuk dikembangkan karena
memiliki daya adaptasi yang cukup baik dan memiliki banyak kelebihan
dibandingkan dengan ternak unggas lainnya, diantaranya adalah ternak itik lebih
tahan terhadap penyakit. Selain itu, itik memiliki efisiensi dalam mengubah pakan
menjadi daging yang baik (Anwar, 2005).
Peternakan itik telah dibudidayakan dan dikembangkan secara meluas
dengan jenis yang beragam, hal ini dikarenakan itik merupakan salah satu sektor
yang berperan sangat penting dalam penyediaan kebutuhan pangan khususnya
kebutuhan protein hewani. Kebutuhan protein hewani terus meningkat seiring
dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya nilai gizi. Upaya pemenuhan kebutuhan akan gizi dari ternak itik
cukup baik hal ini dapat dilihat dengan upaya masyarakat meningkatkan populasi
ternak itik dari tahun 2010 berjumlah 237.697 ekor dan ditahun 2011 meningkat
menjadi 274.033 ekor (Riau Dalam Angka, 2012).
Pemeliharaan itik yang mengarah ke pola intensif yaitu dari digembalakan
menjadi dikandangkan terkendala masalah pakan. Cepatnya pertumbuhan itik
memerlukan pakan yang berkualitas dan mengandung semua nutrien dalam
keadaan seimbang. Biaya untuk pakan pada usaha peternakan unggas mencapai
60-70% dari total biaya produksi (Kartadisastra,1994).

1
Pakan yang seimbang, menurut Setioko dan Rohaeni (2001) antara lain
dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan pakan lokal yang terdapat disekitar
lokasi peternakkan. Pemanfaatan bahan pakan lokal tersebut hendaknya tidak
bersaing dengan kebutuhan manusia, harganya murah, dan potensinya berlimpah
serta tersedia sepanjang waktu. Salah satu bahan pakan unggas lokal sebagai
sumber energi potensial adalah tanaman sagu.
Sagu (Metroxylon sp) merupakan tanaman tahunan yang tumbuh subur
dalam bentuk hamparan didaerah rawa bergambut, sepanjang aliran sungai dan
disekitar air atau hutan rawa yang kadar garamnya rendah. Menurut Haryanto dan
Pangloli (1992), kandungan pati dalam empulur batang sagu berbeda-beda
tergantung umur, jenis, dan lingkungan tumbuh. Lahan gambut merupakan areal
yang cocok untuk pertumbuhan sagu karena terdapat banyak bahan organik.
Pertumbuhan sagu pada tanah mineral dengan tanah gambut berbeda. Hal tersebut
karena lahan gambut memiliki karakteristik yang berbeda baik fisik maupun kimia
tanah dengan lahan mineral. Gambut merupakan pemupukan bahan organik yang
air, sehingga hanya sedikit sekali mengalami perombakkan (Bintoro et al, 2010).
Bahan yang diperoleh dari tanaman sagu seperti tepung sagu, sagu parut dan
ampasnya dapat digunakan sebagai pakan ayam, itik dan ruminansia dengan
tingkat pemberian antara 5-45%.
Kandungan nutrien sagu kurang bagus karena kandungan proteinnya
rendah yaitu 3,84%, tetapi kandungan energinya relatif tinggi (Suryana, 2006).
Agar lebih berdaya guna, sagu dapat ditingkatkan nilai nutriennya, salah satunya
dengan menggunakan teknologi fermentasi dengan ragi tape, karena kapang ini
mampu meningkatkan kandungan nutrien dan mengurangi kadar serat kasar.
Fermentasi memungkinkan terjadinya proses perombakkan komponen bahan yang
sulit dicerna menjadi lebih mudah dan tersedia, sehingga diharapkan nilai
nutriennya meningkat, dan jika diberikan pada unggas, performansnya lebih baik.
Dengan adanya beberapa penelitian tentang pemanfaatan tanaman sagu
terhadap pakan ternak, peneliti mencoba memanfaatkan tanaman sagu dengan
menggunakan teknologi fermentasi yang dapat digunakan sebagai salah satu
bahan pakan ternak. Peneliti melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian
empulur sagu fermentasi terhadap performans itik umur 10-18 minggu.

2
1.2 Identifikasi Masalah
1. Identifikasi masalah yang akan diteliti adalah berapa besar pengaruh
pemberian empulur sagu fermentasi terhadap performans itik umur 10-18
minggu.
2. Berapa level pemberian empulur sagu fermentasi dalam pakan itik lokal
yang dapat memberikan pengaruh terhadap performans itik lokal umur 10-
18 minggu.

1.3 Tujuan penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :
1) Untuk mengetahui berapa besar pengaruh pemberian empulur sagu
fermentasi terhadap performans itik lokal umur 10-18 minggu.
2) Untuk mengetahui pada pemberian level berapa empulur sagu fermentasi
memberikan pengaruh yang baik terhadap konsumsi pakan, pertambahan
bobot badan dan konversi ransum pada itik.

1.4 Kegunaan penelitian


1) Sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang manfaat pengaruh pemberian
empulur sagu fermentasi terhadap performans itik lokal umur 10-18
minggu.
2) Mendorong penganekaragaman sumber bahan pakan itik lokal dengan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara lokal dan tidak bersaing
dengan kebutuhan manusia.

1.5 Kerangka pemikiran


Empulur sagu merupakan bagian terdalam dari batang tumbuhan
berpembuluh, berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan,
digunakan sebagai sumber karbohidrat dan pengganti makanan pokok. Empulur
sagu memiliki protein yang rendah, akan tetapi dengan menggunakan teknologi
fermentasi maka dapat meningkatkan protein dalam empulur sagu dan
mengurangi kadar serat kasar. Teknologi fermentasi dengan bantuan bakteri dapat
meningkatkan kandungan nutrisi, selain itu dapat meningkatkan palatabilitas

3
ternak unggas sehingga meningkatkan konsumsi pakan yang dapat meningkatkan
pertumbuhan itik. Oleh karena itu dilakukan penelitian terhadap kemungkinan
penggunaan empulur sagu fermentasi sebagai campuran bahan pakan ternak
penelitian.
Pada penelitian sebelumnya (Achmad Jaelani et al, 2013) pada itik serati
dinyatakan bahwa pemberian empulur sagu fermentasi dalam pakan dapat
meningkatkan konsumsi ransum itik serati umur 2-8 minggu. Rata-rata konsumsi
ransum itik serati tertinggi dihasilkan pada perlakuan 30% sebesar 4.340,50
g/ekor/, disusul perlakuan 40% sebesar 4.334,75 g/ekor/, 20% sebesar 4.294,50
g/ekor/, 10% sebesar 4.287,55 g/ekor/ dan terendah 0% sebesar 4.279,75 g/ekor/.
Hal ini disebabkan karena aroma (flavour) empulur sagu fermentasi lebih
menambah nafsu makan itik serati sehingga jumlah ransumnya meningkat. Selain
itu, jumlah konsumsi ransum yang tinggi juga disebabkan oleh tingkat
palatabilitas pakan yang baik dan akhirnya jumlah konsumsi ransumnya dapat
meningkat. Rata-rata berat badan akhir itik serati tertinggi dihasilkan pada
penggunaan empulur sagu fermentasi 20% sebesar 1.393,75 g/ekor/, disusul
perlakuan 30% sebesar 1.288,25 g/ekor/, 10% sebesar 1.287,75 g/ekor/, 40%
sebesar 1.182,75 g/ekor/, dan terendah perlakuan 0% sebesar 1.125,75 g/ekor.
Hasil dari produk fermentasi dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan juga
berfungsi untuk memperbaiki sistem pencernaan.
Fermentasi oleh mikrobia mampu mengubah makromolekul komplek
menjadi molekul sederhana yang mudah dicerna oleh unggas dan tidak
menghasilkan senyawa kimia beracun. Sistem pencernaan yang baik cenderung
meningkatkan konsumsi ransum. Pertambahan bobot badan sangat dipengaruhi
oleh konsumsi ransum, karena konsumsi ransum menentukan masukan zat nutrisi
kedalam tubuh yang selanjutnya dipakai untuk pertumbuhan dan keperluan
lainnya.

1.6 Hipotesa
Pemberian empulur sagu fermentasi berpengaruh nyata terhadap
performans itik umur 10-18 minggu.

4
1.7 Defenisi Operasional
1. Itik lokal merupakan hewan ternak unggas penghasil telur dan daging yang
cukup potensial disamping ternak ayam. Umumnya ternak itik merupakan
ternak unggas yang dipelihara oleh para petani yang bermukim di daerah
pantai sampai yang bermukim di pedesaan didaerah pegunungan.
2 Ransum adalah campuran dari beberapa bahan pakan yang diberikan
secara bertahap maupun sekaligus yang berguna untuk tujuan produksi dan
reproduksi itik selama penelitian.
3 Performans produksi adalah kemampuan seekor atau sekelompok ternak
utuh yang mungkin jika diukur melalui bobot badan awal, pertambahan
bobot badan, konversi pakan, produksi dan lainnya dalam kurun waktu
tertentu.
4 Konsumsi adalah jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan sisa
pakan yang diberikan pada ternak tersebut dan ditimbang setiap harinya.
5 Pertambahan bobot badan adalah selisih antara berat akhir dengan bobot
badan awal dibagi dengan selang waktu pemeliharaan.
6 Konversi ransum adalah perbandingan jumlah ransum yang dikonsumsi
dengan pertambahan berat badan pada waktu yang sama pada penelitian.
7 Sagu (Metroxylon) adalah tanaman berbentuk pohon jika diolah akan
menghasilkan tepung sebagai bahan makanan dan sebagai sumber
karbohidrat.
8 Empulur adalah jaringan yang letaknya dibagian terdalam dari batang
tumbuhan berpembuluh. Empulur tersusun dari sel parenkim yang lembut
yang menyimpan dan mengangkut nutrisi keseluruh bagian tumbuhan yang
berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan, digunakan
sebagai sumber karbohidrat dan pengganti makanan pokok.
9 Fermentasi adalah segala macam proses metabolis dengan bantuan dari
enzim mikrobia (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa,
dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu
substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu.

5
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Itik Lokal


Itik lokal (Anas domesticus) yang sering dipelihara oleh masyarakat saat
ini awalnya adalah itik liar yang telah mengalami proses domestikasi, dengan
menangkap itik liar dan mengurungnya hingga menjadi jinak atau dengan cara
mengambil telur itik liar dan dieramkan dengan ayam sehingga itik yang menetas
menjadi jinak (Suharno dan Amri, 2011). Dalam keadaan liar, ternak itik bersifat
monogamous, yaitu hidup berpasangan. Akan tetapi, setelah jinak (diternakkan)
menjadi bersifat polygamous, yaitu memiliki lebih dari satu pasangan pada satu
waktu. Ternak itik termasuk Ordo Antidae, kelas unggas air (waterfowl) bersama-
sama dengan angsa dan swan. Bersifat lebih aquatic dari pada angsa. Sifat khas
lainnya adalah sifat omnivorous, makan biji-bijian, rumput-rumputan, umbi-
umbian, dan makanan yang berasal dari hewan/binatang.
Itik merupakan unggas yang mempunyai ciri-ciri: kaki relatif lebih pendek
dibandingkan tubuhnya, jarinya mempunyai selaput renang, paruhnya ditutupi
oleh selaput halus yang sensitif, bulu berbentuk cekung, tebal dan berminyak, itik
memiliki lapisan lemak dibawah kulit, dagingnya tergolong gelap (dark meat),
tulang dada itik datar seperti sampan, warna bulunya beragam, betina biasanya
terdapat pola yang berbintik-bintik dan terlihat lebih kusam, ukuran tubuh jantan
lebih besar dibandingkan betina dan terlihat berlekuk dan membulat, saat
bersuara, pejantan tidak keras dan cenderung lembutdibandingkan betina yang
bersuara keras, bagian bulu ekor jantan pada ujungnya terlihat menekuk ke atas
sedangkan betina tidak, (Anonimous, 2010). Adapun Taksonomi itik lokal adalah
sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Sub Phylum :Vertebrata
Class : Aves
Ordo : Anseriformes
Super Ordo : Carinatae
Genus : Anas
Species : Anas Platryhynchos

6
2.2 Ransum Itik Lokal
Ransum merupakan campuran dari beberapa bahan pakan yang diberikan
pada ternak untuk memenuhi kebutuhannya yang dapat diberikan secara bertahap
maupun sekaligus untuk kebutuhan gizi ternak unggas (Rasyaf, 1990). Adapun
syarat yang dimaksud adalah kandungan gizi ransum yang terpenuhi, kondisi dan
kualitasnya baik, harus memenuhi syarat ekonomis dimana biaya tidak terlalu
tinggi namun dapat memenuhi kebutuhan nutrisi ternak tersebut, pasokannya
terjamin dan mudah dicari, dan bahan ransum tidak bersaing dengan manusia.
Pemberian ransum pada ternak bertujuan untuk menjamin pertambahan bobot
badan ternak, untuk pertumbuhan, penggemukan dan serta untuk menjamin
produksi telur secara optimal selama periode bertelur.
Pakan yang dikonsumsi sebagian dicerna dan diserap oleh tubuh. Sebagian
yang tidak dicerna digunakan untuk sejumlah proses didalam tubuh.
Penggunaannya secara pasti bervariasi tergantung spesies, umur dan
produktivitas. Sebagian besar unggas menggunakan zat-zat makanan yang diserap
untuk fungsi esensial tubuh seperti metabolisme tubuh serta mengganti dan
memperbaharui sel-sel dan jaringan. Penggunaan pakan untuk ternak,
penggemukan atau produksi telur, dikenal sebagai kebutuhan produksi (Abidin,
2002).
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan antara lain besar dan
berat badan, kondisi fisiologi serta gerak laju dan makanan tersebut didalam alat
pencernaan ternak, laju makanan dalam alat pencernaan dapat mempengaruhi
jumlah makanan yang dikonsumsi, yakni makin cepat aliran makanan dalam alat
pencernaan makin banyak pula jumlah makanan yang dikonsumsi.
Menurut Anggorodi (1985) ransum yang sempurna harus mengandung
karbohidrat, lemak, protein, mineral, dan vitamin. Kebutuhan zat makanan yang
seimbang akan memungkinkan ternak untuk melakukan aktivitas kehidupan
secara normal dan baik. Pada penyusunan pakan perlu juga diperhatikan
kandungan serat kasar yaitu golongan karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh
hewan monogastrik (Iswanto, 2002). Kebutuhan zat-zat makanan bagi ternak itik
tertera pada Tabel 1.

7
Tabel 1. Kebutuhan Zat-zat Makanan Bagi Ternak Itik
Umur (minggu)
Kandungan gizi
Starter 0-8 Grower 8-20 Layer (˃20)
Protein (%) 17 – 20 15-18 17-19
Energi (Kkal EM kg) 3100 2700 2700
Lemak 4-7 3-6 4-7
Serat kasar 4-7 6-9 4-7
Lisin (%) 1,05 0,74 1,05
Metionin (%) 0,37 0,29 0,37
Ca (%) 0,6-1,0 0,6-1,0 2,90-3,25
P tersedia 0,6 0,6 0,6
Sumber : Sinurat (2000)

2.3 Empulur Sagu Sebagai Pakan Ternak Itik Lokal


Sagu merupakan tanaman asli Indonesia. Diyakini bahwa pusat asal sagu
adalah sekitar Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Ditempat tersebut
dijumpai keragaman plasma nutfah sagu yang paling tinggi (Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Indonesia, 2007). Sagu merupakan salah satu komoditi
tanaman pangan yang dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat yang cukup
pontensial, tetapi kandungan protein sagu lebih rendah dibanding dengan bahan
pangan lainya. Sagu termasuk tumbuhan monokotil, Bentuk pohon yang tegak dan
kuat dengan ukuran tinggi dan diameter batang yang berbeda-beda menurut jenis
dan umurnya. Pohon sagu yang mulai berbunga mempunyai tinggi yang bervariasi
antara 10-15 m dan diameter batangnya mencapai 75 cm (Bintoro, 2008).
Menurut Suryana (2007), dikenal dua jenis sagu, yaitu Metroxylon sp dan Arenga
sp. Metroxylon sp umumnya tumbuh pada daerah rawa dan lahan marginal
sedangkan Arenga sp tumbuh pada daerah kering dan lahan kritis. Sagu
merupakan tanaman monokotil dari famili palmae. Sagu hanya memiliki satu
batang dantidak bercabang karena sagu adalah tanaman monokotil yang hanya
mempunyai satu titik tumbuh. Batang sagu berbentuk silinder dengan diameter
50-90 cm (Haryanto dan Pangloli, 1992), batang sagu bebas daun dapat mencapai
tinggi 16–20 m pada saat masa panen.
Batang sagu terdiri atas lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian
dalam berupa empulur atau isi sagu yang mengandung serat-serat dan pati. Tebal

8
kulit luar yang keras sekitar 3-5 cm. Batang sagu digunakan sebagai tempat
penyimpanan pati sagu selama masa pertumbuhan, sehingga semakin berat dan
panjang batang sagu semakin banyak pati yang terkandung di dalamnya. Pada
umur panen 10–12 tahun, berat batang sagu dapat mencapai 1,2 ton (Rumalatu,
1981). Berat kulit batang sagu sekitar 17-25% sedangkan berat empulurnya
sekitar 75-83% dari berat batang. Pada umur 3-5 tahun, empulur batang sagu
sedikit mengandung pati, akan tetapi pada umur 11 tahun empulur sagu
mengandung 15-20% pati sagu.
Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), kandungan pati dalam empulur
batang sagu berbeda-beda tergantung umur, jenis, dan lingkungan tumbuh. Sagu
dipesisir timur Provinsi Riau, sebagian besar tumbuh di lahan gambut. Lahan
gambut merupakan areal yang cocok untuk pertumbuhan sagu karena terdapat
banyak bahan organik. Pertumbuhan sagu pada tanah mineral dengan tanah
gambut berbeda. Hal tersebut karena lahan gambut memiliki karakteristik yang
berbeda baik fisik maupun kimia tanah dengan lahan mineral. Gambut merupakan
pemupukan bahan organik yang air, sehingga hanya sedikit sekali mengalami
perombakkan (Bintoro et al., 2010). Tanaman sagu memiliki susunan biologis
terdiri dari akar merupakan media pengambil makanan, batang yang merupakan
tempat menyimpan cadangan makanan berupa karbohidrat. Daun berperan penting
dalam pembentukan pati melalui proses fotosintesis.
Pada pohon sagu, empulur berfungsi sebagai tepat menyimpan cadangan
makanan, digunakan sebagai sumber karbohidrat dan pengganti makanan pokok.
Kandungan nutrisi sagu kurang bagus karna kandungan protein yang rendah tetapi
kandungan energinya relatif tinggi (Suryana,2006). Rendahnya kandungan PK
menjadi kendala pemanfaatannya sebagai bahan pakan. Untuk meningkatkan
kualitas bahan pakan dan pemanfaatannya maka empulur sagu perlu diolah
terlebih dahulu, salah satu pengolahan yang dapat dilakukan adalah melalui proses
fermentasi. Fermentasi menggunakan ragi tape yang akan menghasilkan kapang
Aspergillus niger yang dapat meningkatkan kandungan nutrient dan mengurangi
serat kasar (Bintoro, et al 2010).

9
Klasifikasi tanaman sagu adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Viridiplantae
Infra Kingdom : Streptophyta
Super Divisi : Embryophyta
Divisi : Tracheophyta
Sub Divisi : Spermatophytina
Kelas : Magnoliopsida
Super Ordo: : Lilianae
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Metroxylon Rottb
Spesies : Metroxylon sagu Rottb

Tabel 2. Kandungan Zat Nutrisi Empelur Sagu Sesudah dan Sebelum


Difermentasi
Fermentasi
Zat nutrisi
Sebelum* Sesudah**
Protein (%) 3,84 16,25
Serat kasar (%) 18,86 6,34
Abu (%) 5,40 -
Ca (%) 0,32 0,19
P (%) 0,05 0,05
Lemak Kasar (%) 14,51 9,22
Energi (Kkal/Kg) 1.352 2.562,7
Sumber : Puslit 13 angnak (1997)*
Dharmawati (2005)**

2.4 Performans Itik Lokal


2.4.1 Konsumsi Ransum Itik Lokal
Konsumsi ransum adalah jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak
jika diberikan secara adlibitum (Parakkasi, 1999), sedangkan menurut Tilman et
al. (1991) konsumsi diperhitungkan dari jumlah makanan yang dimakan oleh
ternak dimana zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi
kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi ternak tersebut. Konsumsi ransum
merupakan usaha atau tindakan untuk memasukkan makanan yang berupa

10
sejumlah protein–protein, asam–asam amino, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral
dan air melalui paruh itik lokal kedalam tubuh itik lokal tersebut (Rasyaf,1990).
Banyak faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan pada itik lokal, faktor–faktor
tersebut meliputi ukuran dan bangsa itik, temperatur lingkungan, sistem
perkandangan, ruang tempat makan itik lokal per ekor, bentuk tempat pakan, air
minum dingin dan bersih, tingkat penyakit dalam kandang dan kandungan energi
dalam pakan (Wahyu,2005).
Konsumsi ransum pada itik juga dapat dipengaruhi oleh bentuk paruh.
Paruh pada itik berbentuk lebar dan sangat berbeda pada ayam. Fungsi paruh
tersebut adalah untuk mencari makanannya didaerah berlumpur dan berair.
Dibagian dalam paruhnya seperti ada gigi, fungsinya adalah untuk menangkap
mangsanya seperti cacing atau belut agar tidak lepas dari gigitannya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi konsumsi pakan antara lain besar dan berat badan, kondisi
fisiologi serta gerak laju dan makanan tersebut didalam alat pencernaan ternak.
Laju makanan dalam alat pencernaan dapat mempengaruhi jumlah makanan yang
dikonsumsi, yakni makin cepat aliran makanan dalam alat pencernaan makin
banyak pula jumlah makanan yang dikonsumsi.
Untuk meningkatkan performans itik sebaiknya menyediakan bahan
makanan yang bervariasi dalam memberikan kesempatan pada itik dalam suatu
kelompok untuk memilih makanan apa yang dimakan (free choice). Kebutuhan
gizi seekor itik dalam suatu kelompok berbeda, disebabkan oleh keinginan
makanan dalam memenuhi produksi dan laju pertumbuhan. Oleh sebab itu
diperlukan pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak tersebut.
Menurut Anggorodi (1995) penentuan kadar protein dalam pakan bahan-
bahan makanan yang digunakan untuk anak itik dan itik muda berbeda dengan
makanan ayam. Menurut Djanah (1991), kadar protein pada pakan anak ayam
sampai umur ± 8 minggu berkisar antara 18-22%, tidaklah demikian halnya
dengan makanan anak itik, kadar protein dalam pakan itik fase starter 22%
dengan energi metabolisme 3000 Kkal. Dijelaskan oleh Srigandono (1996) itik
periode starter membutuhkan pakan dengan kadar protein antara 20-22% dan
energi metabolisme 3000 Kkal/kg, sementara pada periode finisher, kadar protein

11
tersebut turun menjadi antara 16-17% dan energi metabolisme berkisar antara
2800 Kkal/kg.
Menurut Rasyaf (1993) konsumsi pakan dapat diukur berdasarkan jumlah
pakan yang diberikan dikurangi dengan sisa pakan yang ada dalam bak pakan.
Bila manajemen pemberian makanan itik tidak sesuai, maka tingkat konsumsinya
akan menurun dan dapat berakibat pada defisiensi gizi. Wahju (1997) menyatakan
bahwa jumlah pakan yang dikonsumsi akan menentukan besarnya berat badan
yang diperoleh. Efisiensi penggunaan pakan atau FCR itik pedaging/itik jantan
yang digemukkan juga masih sangat buruk yaitu 3,2 – 5,0 jika dibandingkan
dengan FCR ayam ras pedaging yang hanya 2,1 – 2,2 pada umur yang sama 8
minggu (Anonimous, 1988). Karena itik membutuhkan jumlah pakan yang jauh
lebih banyak untuk memproduksi daging. Triyastuti (2005) menyatakan bahwa
konsumsi ransum itik lokal pada umur 10-18 minggu rata-rata mencapai 110 ±
9,67 gr/ekor/hari. Buruknya efisiensi penggunaan pakan pada itik petelur maupun
pedaging diakibatkan oleh berbagai faktor termasuk faktor genetik, banyaknya
pakan tercecer dan kandungan gizi pakan yang tidak sesuai kebutuhan. Maka kita
melakukan pemanfaatan bahan lokal yang sesuai dengan kubutuhan nutrisi itik
seperti sagu.
Tabel 3. Kebutuhan Ransum Untuk Itik Lokal Untuk 100 Ekor Sesuai Dengan
Tingkatan Umur
Umur itik local Jumlah
(minggu) (kg)
11 7,40/hari
12 7,60/hari
13 7,60/hari
14 7,80/hari
15 7,80/hari
16 8,0/hari
17 8,0/hari
18 9,0/hari
Sumber : Sudarjo dan Siriwa (2002)

12
2.4.2 Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan merupakan gambaran dari pertumbuhan daging,
tulang, dan lemak yang dapat dihitung dengan mengurangkan bobot akhir dengan
bobot awal dan dipengaruhi oleh konsumsi pakan, tipe unggas, jenis kelamin,
suhu lingkungan dan nutrien yang ada dalam pakan (Saleh etal. 2006). Menurut
Anggorodi (1985) pertumbuhan merupakan pertambahan dalam bentuk berat
jaringan-jaringan pembangun seperti urat daging, tulang dan jaringan tubuh
lainnya kecuali lemak. Pertumbuhan adalah proses yang sangat kompleks,
meliputi pertambahan berat badan dan pembentukan semua bagian tubuh secara
merata. Pertumbuhan dapat terjadi karena penambahan jumlah sel dan ukuran sel.
Zahra (1996) menyatakan bahwa berat badan seekor ternak dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti bangsa, makanan, jenis kelamin dan musim. Pada musim
panas nafsu makan ternak menurun, sehingga jumlah makanan yang dikonsumsi
menurun dan mempengaruhi berat badan ternak. Tillman et al., (1986)
menyatakan bahwa pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran
kenaikan berat badan yang dengan mudah dilakukan dengan penimbangan
berulang-ulang tiap hari, tiap minggu, atau tiap waktu.
Menurut Anggorodi (1985) pertumbuhan murni adalah pertambahan
bentuk dan bobot jaringan-jaringan pembangun seperti urat daging, tulang, otak,
jantung dan semua jaringan tubuh lainnya dan alat-alat tubuh. Yunilas (2005)
menyatakan bahwa pertambahan bobot badan merupakan tolak ukur yang lebih
mudah untuk memberi gambaran yang jelas mengenai pertumbuhan. Semua
bagian tubuh hewan tumbuh dengan cara yang teratur dan pertumbuhan ini
biasanya berlangsung mulai dari perlahan–lahan kemudian berlangsung lebih
cepat dan akhirnya perlahan–lahan lagi atau sama sekali berhenti dan
pertumbuhan pada ternak yang cepat terjadi dari awal sampai masa pubertas
sedangkan pertumbuhan lambat terjadi pada saat kedewasaan tubuh telah tercapai.
Irwadi (1991) menyatakan bahwa untuk memperoleh berta badan yang
maksimal maka ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu bibit yang baik,
temperatur lingkungan, penyusunan ransum, dan kandang yang memadai.
Pertumbuhan seekor ternak biasanya dideteksi melalui pengukuran berat badan
yang dapat dilakukan dengan penimbangan yang berulang yang disajikan

13
pertambahan berat badan setiap hari (tilmanet al. 1989). Dadang (2007)
menyatakan bahwa pertambahan berat badan itik pada umur 10 sampai 18 minggu
rata-rata 46,9 g/ekor/hari.
Protein merupakan nutrien yang penting bagi pertumbuhan karena
merupakan komponen terbesar dari penyusun urat daging, alat-alat tubuh, tulang
rawan, dan jaringan ikat. Kandungan nutrien lainnya juga perlu diperhatikan
dalam menyusun pakan. Imbangan yang baik antara protein, mineral, vitamin dan
energi akan mendukung pertumbuhan sehingga pertambahan bobot badan menjadi
optimal (Herdiana et al., 2014). Pakan yang baik bagi pertambahan bobot badan
tidak hanya dilihat dari kandungan nutriennya, tetapi juga tingkat kecernaannya.
Rendahnya tingkat kecernaan serat kasar dari pakan menyebabkan turunnya
kecernaan bahan organik dan nilai energi metabolis, sehingga mengganggu proses
pertumbuhan dan pertambahan bobot badan menurun (Mangisah et al., 2009).

2.4.3 Konversi Ransum Itik Lokal


Konversi ransum merupakan parameter efisiensi penggunaan ransum yaitu
perbandingan jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan
dalam waktu tertentu. Kartasudjana (2002) mendefenisikan bahwa konversi
ransum sebagai banyaknya ransum yang dihabiskan untuk menghasilkan setiap
pertambahan berat badan. Rasyaf (1996) menjelaskan bahwa konversi ransum
merupakan hasil dari perbandingan berat badan yang dicapai pada satu minggu
dengan jumlah konsumsi ransum yang dihasilkan pada minggu tersebut. Nilai
konversi ransum menunjukkan kemampuan seekor ternak untuk mengubah pakan
menjadi produk yang dihasilkan. Semakin kecil nilai konversi ransum berarti
semakin efisien ternak tersebut dalam memanfaatkan ransum yang diperoleh
untuk menaikkan bobot badan per satuan berat. Jika nilai konversi ransum tinggi
menunjukkan bahwa semakin banyak ransum yang dibutuhkan berarti kurang
efisien ternak tersebut dalam memanfaatkan ransum untuk menaikkan bobot
badan per satuan berat.
Beberapa faktor utama yang mempengaruhi konversi pakan adalah
genetik, kualitas ransum, penyakit, temperatur, sanitasi kandang, ventilasi,
pengobatan, dan manajemen kandang. Konversi ransum berguna untuk mengukur
produktivitas ternak. Indeks konversi ransum hanya akan naik bila hubungan

14
antara jumlah energi dalam formula dan kadar protein telah disesuaikan secara
teknis. Perbandingan tersebut bervariasi dalam hubungannya terhadap sejumlah
faktor, seperti umur hewan, bangsa, derajat masuk dini, daya produksi dan suhu
(Anggorodi, 1985). Wahju (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan yang baik
belum tentu menjamin keuntungan yang maksimal, tetapi pertumbuhan yang baik
diiringi konversi pakan yang baik dan biaya yang rendah akan mendatangkan
keuntungan yang maksimal. Menurut Sudiyono dan purwatri (2007) efisiensi
penggunaan pakan dapat ditunjukkan dengan nilai konversi pakan yang rendah
dan tentunya meningkatkan pertumbuhan itik menjadi lebih baik. Ketaren dan
Prasetyo (2001) melaporkan bahwa rataan konversi ransum itik lokal pada
pemeliharaan selama 8 minggu adalah sebesar 3,43 gr/ekor/hari.

2.5 Fermentasi
Fermentasi adalah suatu proses perubahan substrat baik secara fisik atau
kimiawi pada kondisi aerob atau anaerob oleh aktivitas enzim yang dihasikan oleh
mikrobia dengan tujuan meningkatkan kandungan gizi atau ketersediaan nutrisi,
tekstur dan palatabilitas (Sujono, 2000). Fermentasi pada prinsipnya adalah
mengaktifkan pertumbuhan mikroorganisme melalui perombakkan zat-zat
makanan sehingga menghasilkan produk yang berbeda dari bahan bakunya.
Fermentasi dapat meningkatkan kecernaan bahan pakan melalui penyederhanaan
zat yang terkandung dalam bahan pakan oleh enzim-enzim yang diproduksi oleh
mikroba. Proses fermentasi dapat meningkatkan ketersediaan zat-zat makanan
seperti protein dan energi metabolis akibat pemecahan komponen kompleks
menjadi komponen sederhana (Kompiang et al, 1994). Peningkatan kandungan
protein kasar tersebut disebabkan oleh kenaikan jumlah massa sel kapang dan
adanya kehilangan bahan kering selama fermentasi berlangsung.
Mikroorganisme pada proses fermentasi ini umumnya adalah bakteri asam
laktat, bakteri asam asetat yaitu bakteri yang mampu mengubah zat gula dalam
bahan menjadi asam,alkohol, dan karbondioksida. Faktor yang perlu diperhatikan
dalam proses fermentasi diantaranya ketersediaan substrat (media fermentasi)
karena substrat berfungsi sebagai sumber energi disamping bahan pembentuk sel
dan produk metabolisme. Proses fermentasi memerlukan dosis inokulum dan lama

15
fermentasi tertentu. Semakin banyak dosis inokulum semakin cepat proses
fermentasi berlangsung, dan semakin lama inkubasi semakin banyak zat makanan
yang dirombak. Tujuan fermentasi adalah untuk meningkatkan kualitas bahan
pakan, meningkatkan protein dan menurunkan serat kasar, sehingga bahan pakan
lebih mudah dicerna disamping menghasilkan flavour (rasa) dan aroma yang
disukai ternak.
Pada penelitian sebelumnya (Achmad Jaelani et al, 2013) pada itik serati
dinyatakan bahwa pemberian empelur sagu fermentasi dalam pakan dapat
meningkatkan konsumsi ransum itik serati umur 2-8 minggu. Rata-rata konsumsi
ransum itik serati tertinggi dihasilkan pada perlakuan 30% sebesar 4.340,50
g/ekor/hari, disusul perlakuan 40% sebesar 4.334,75 g/ekor/hari, 20% sebesar
4.294,50 g/ekor/hari, 10% sebesar 4.287,55 g/ekor/hari dan terendah 0% sebesar
4.279,75 g/ekor/hari. Hal ini disebabkan karena aroma (flavour) empulur sagu
fermentasi lebih menambah nafsu makan itik serati sehingga jumlah ransumnya
meningkat. Rata-rata berat badan akhir itik serati tertinggi dihasilkan pada
penggunaan empulur sagu fermerntasi 20% sebesar 1.393,75 g/ekor/hari, disusul
perlakuan 30% sebesar 1.288,25 g/ekor/hari, 10% sebesar 1.287,75 g/ekor/hari,
40% sebesar 1.182,75 g/ekor/hari, dan terendah perlakuan 0% sebesar 1.125,75
g/ekor. Hasil dari produk fermentasi dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan
juga berfungsi untuk memperbaiki sistem pencernaan. Sistem pencernaan yang
baik cenderung meningkatkan konsumsi ransum. Pertambahan bobot badan sangat
dipengaruhi oleh konsumsi ransum, karena konsumsi ransum menentukan
masukan zat nutrisi kedalam tubuh yang selanjutnya dipakai untuk pertumbuhan
dan keperluan lainnya.

16
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Materi Penelitian


3.1.1 Lokasi Dan Waktu
Penelitian akan dilakukan di Porlak Nommensen Simalingkar, Desa
Simalingkar B, Kecamatan Medan Tuntungan, Selama 8 minggu, dimulai pada
bulan November sampai Desember 2017.

3.1.2 Ternak Penelitian


Penelitian menggunakan Itik Lokal sebanyak 180 ekor jantan dengan
bobot badan awal rata-rata R0 (740,83), R1 (696,7), R2 (717,5), R3 (689,6), dan
R4 (684,3), dimana itik lokal diperoleh dari penelitian sebelumnya yaitu itik lokal
jantan.

3.1.3 Peralatan Penelitian


Kandang yang digunakan sebanyak 20 petak kandang dengan ukuran 150
x 100 x 65 cm per plotnya setiap kandang diisi 9 ekor itik dengan banyak kandang
20 petak dan dilengkapi tempat pakan dan tempat minum, ember, pisau,
kapak/parang, timbangan digital dengan tingkat ketelitian 5 gram, kalkulator,
kamera, alat tulis, plastik putih, sapu, sekop, parutan, karung dan alat–alat
fermentasi.

3.1.4 Bahan Pakan Penyusunan Ransum


Bahan yang diberikan pada ternak penelitian adalah campuran dari
empulur sagu fermentasi, jagung, dedak halus, bungkil kelapa, dan tepung ikan.
Dengan metode penyusunan ransum adalah metode coba–coba. Berikut
kandungan nutrisi dari beberapa bahan pakan selama penelitian.

17
Tabel 4. Kandungan Nutrisi Beberapa Bahan Pakan Penelitian
Kandungan nutrisi (%)
Protein Energy Lemak Serat Kalsium Phosphor
Bahan pakan
(%) (Kkal/Kg) (%) Kasar (%) (%) (%)
Empulur
18,86 3.661 0,09 8,82 0 0
fermentasi*
Jagung 9,0 3430 3,8 2,5 0,02 0,13
Dedak halus 13,5 1630 7,9 12 0,12 1,5
Bungkil
41,7 2240 6,5 3,5 0,32 0,67
kedelai
Bungkil
20,5 1540 6,7 12 0,2 0
kelapa
Tepung ikan 53,9 2080 4,2 1 3,5 2,8
Sumber : Baristan (2012) dan Dharmawati (2005)*

3.1.5 Perlakuan Ransum


Sesuai dengan data bahan pakan diatas maka tiap perlakuan disusun bahan
pakan dengan susunan 100%. Untuk memperjelas berapa bahan pakan yang
dibutuhkan untuk itik lokal selama penelitian dapat dilihat pada tabel 5 berikut.
Tabel 5. Susunan dan Kandungan Zat Gizi Ransum Penelitian untuk Itik Lokal
Ransum Penelitian (%)
Bahan Pakan
R0 R1 R2 R3 R4
Empulur sagu fermentasi 0 5 10 15 20
Jagung 48 43 40 38 38
Dedak halus 20 20 20 20 16
Bungkil kedelai 12 12 11 11 10
Bungkil kelapa 10 10 9 8 8
Tepung ikan 8 8 8 7 7
Minyak makan 2 2 2 1 1
Total 100 100 100 100 100
Protein (%) 18,386 18,879 18,93 18,949 18,935
Energi (Kkal/kg) 2813,6 2825,15 2867,5 2849,75 2875,2
Lemak (%) 7,19 7,00 6,76 4,58 5,20
Serat kasar (%) 5,3 5,61 5,82 6,08 6,01

18
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Perlakuan
Penelitian ini menggunakan 5 taraf perlakuan, yaitu:
TO : Ransum susun tanpa empelur sagu
T1 : Ransum susun + empelur sagu fermentasi 5%
T2 : Ransum susun + empelur sagu fermentasi 10%
T3 : Ransum susun + empelur sagu fermentasi 15%
T4 : Ransum susun + empelur sagu fermentasi 20%
Masing-masing taraf perlakuan dilakukan 4 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari
9 ekor itik lokal jantan.
.
3.2.2 Parameter Yang Diamati
Parameter yang akan diamati selama penelitian adalah :
a. Konsumsi ransum diperoleh dengan jumlah ransum yang diberikan di kurangi
dengan sisa ransum yang terdapat dalam tempat pakan.
b. Pertambahan bobot badan, diperoleh dengan menghitung selisih hasil
penimbangan bobot badan awal dan akhir dibagi dengan periode lamanya
penimbangan.
c. Konversi ransum, diperoleh dengan menghitung jumlah ransum yang
dikonsumsi dibagi dengan pertambahan bobot badan itik lokal selama
penelitian.

3.2.3 Prosedur Pelaksanaan Penelitian


A. Prosedur Fermentasi Empulur Sagu
cara pembuatan empulur sagu fermentasi adalah sebagai berikut:
1. Empulur sagu yang sudah diparut dan diayak ditambah air secukupnya, lalu
dikukus selama 30 menit dan didinginkan.
2. Ragi tape dicampurkan dalam adonan empulur sagu diaduk hingga homogen.
3. Adonan empulur sagu diletakan pada baki plastik segi dan difermentasi pada
suhu ruangan selama 4 hari (96 jam), hingga spora terbentuk dan menyebar
menutupi permukaan empulur sagu. Setelah proses fermentasi selesai,
selanjutnya dipanen dan dipecah-pecah bila ada yang menggumpal kemudian

19
dijemur dibawah sinar matahari , setelah itu digiling, siap digunakan untuk
pencampuran bahan pakan lainnya.

B. Pemeliharaan
Penelitian tentang pengaruh pemberian empulur sagu fermentasi
terhadap performans dilakukan pada itik lokal sebanyak 180 ekor umur
10–18 minggu dimana sebelum ternak dilakukan perlakuan, seluruh
peralatan kandang yang digunakan harus disiapkan terlebih dahulu.
Penggunaan lampu dalam kandang sebagai penerang pada itik lokal.
Sebelum ternak dilakukan perlakuan terlebih dahulu dilakukan
penimbangan untuk mengetahui bobot badan awal dari masing–masing
ternak, kemudian dilakukan pengacakan (random) untuk memperkecil nilai
keragaman. Pakan yang digunakan untuk penelitian adalah ransum yang
disusun dengan penambahan empulur sagu fermentasi. Pemberian pakan
dan minum diberikan dua kali sehari yaitu pagi hari dan sore hari. Untuk
mencegah penyakit dan stress diberikan vitamin pada itik lokal. Ternak
itik lokal dari jumlah 180 ekor yang dipelihara, dipilih secara acak dan
dimasukkan kedalam tiap petak kandang yang diberikan tanda (nomor)
sesuai dengan perlakuan, guna untuk mempermudah pengumpulan data.

3.2.4 Pengambilan Sampel Ternak


Semua ternak penelitian dilakukan penimbangan sebelum dimasukkan ke
dalam kandang penelitian, kemudian untuk pengambilan data penelitian dilakukan
penimbangan satu kali dalam satu minggu

3.3 Analisis Data


Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap satuan percobaan, semua
parameter diuji secara statistik menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
yang terdiri atas 5 perlakuan dengan 4 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 9 ekor
itik adalah sebagai berikut:

20
Yij = μ + αi + Є ij i…….. = 1,2,3,4,5…. (perlakuan)
…….. = 1,2,3,4…….(ulangan)
Keterangan

Yij : Nilai pengamatan pada perlakuan j dan ulangan ke i


μ : Nilai tengah umum
αi : Pengaruh perlakuan ke i
Є ij : Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-I dan ke-j.
Data yang diperoleh diuji dengan menggunakan sidik ragam (analysis of
variance) ANOVA dan dilanjutkan dengan uji lanjut yaitu Uji Beda Nyata Jujur.
𝑲𝑻𝑮
BNJα=Qα (r.db galat )X√
𝒓

21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Konsumsi Ransum Itik Lokal


Pengaruh pemberian empulur sagu fermentasi dalam pakan terhadap
konsumsi ransum itik lokal umur 10-18 minggu hasil penelitian ini disajikan pada
Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Konsumsi Ransum Itik Lokal Umur 10-18 Minggu Selama
Penelitian (gram/ekor/hari)
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
U1 U2 U3 U4
R0 82,65 79 82,64 82,77 327,06 81,76b
R1 82,72 82,70 82,69 82,70 330,80 82,70 a
R2 82,84 82,85 82,87 82,90 331,47 82,87 a
R3 82,74 82,67 82,52 82,70 330,64 82,68 a
R4 80,82 81,22 80,88 80,56 323,49 80,87c
Total 1.643,46
Rataan 82,17
Keterangan: Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata tidak
menunjukkan perbedaan

Dari tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa, rata-rata konsumsi ransum itik
pengaruh pemberian sagu fermentasi terhadap itik lokal rata-rata sebesar 82,17
gr/ekor/hari dengan kisaran 79-82,90 gr/ekor/hari. Sesuai dengan data diatas,
konsumsi itik lokal umur 10-18 minggu yang digunakan selama penelitian
tersebut masih rendah bila dibandingkan dengan pernyataan Triyastuti (2005)
yaitu rata-rata konsumsi pakan itik lokal dapat mencapai 110 ± 9,67 gr/ekor/hari.
Perbedaan tingkat konsumsi ransum pada itik lokal dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti ukuran dan bangsa itik lokal, temperatur lingkungan,
sistem perkandangan, ruang tempat makan itik lokal per ekor, bentuk tempat
pakan, air minum dingin dan bersih, tingkat penyakit, dalam kandang dan
kandungan energi dalam pakan (Wahyu, 2005). Jumlah konsumsi tertinggi selama
penelitian dihasilkan pada penggunaan empulur sagu fermerntasi R2 (10%)
sebesar 82,87 gram/ekor/hari, disusul perlakuan R1 (5%) sebesar 82,70
gram/ekor/hari, R3 (15%) sebesar 82,66 gram/ekor/hari, R0 (0%) 81,76
gram/ekor/hari, dan terendah perlakuan R4 (20%) sebesar 80,87 gram/ekor/hari.
Pada Tabel 6 dari hasil uji beda nyata jujur dapat dijelaskan bahwa ransum

22
dengan penambahan empulur sagu fermentasi R2 (10%) tidak berbeda nyata
dengan R1 (5%), dan R3 (15%), namun berbeda nyata dengan R0 (0%) dan R4
(20%), sementara R0 (0%), berbedan nyata dengan R4 (20%).
Dari hasil uji statistik menyatakan bahwa Konsumsi Ransum Penggunaan
empulur sagu fermentasi dalam pakan berpengaruh nyata (P<0,5) terhadap
konsumsi pakan itik lokal umur 10-18 minggu. Pemberian sagu fermentasi
cenderung meningkatkan konsumsi ransum itik lokal. Hasil penelitian ini sejalan
dengan yang dikemukakan Murugesan et al. (2005) dalam Nuraini (2009) bahwa
produk fermentasi lebih palatabel bila dibandingkan bahan baku asalnya.
Selanjutnya pada perlakuan ransum yang mengandung sagu fermentasi
20% cenderung menurunkan konsumsi ransum itik lokal karena kandungan
protein terus turun seiring dengan semakin tingginya tingkat pemberian empelur
sagu fermentasi, sementara kandungan lemak dalam tubuh itik meningkat
sehingga menyebabkan ternak itik cepat mengalami kekenyangan. Tilman et al
(1991) menyatakan bahwa sifat khusus unggas adalah mengonsumsi pakan untuk
memperoleh energi, sehingga jumlah pakan yang dikonsumsi setiap hari
berhubungan dengan kadar energi yang dihasilkan. Ketidak seimbangan energi
dan protein dapat menyebabkan konsumsi pakan semakin menurun.
Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi pakan pada itik adalah bentuk
ransum yang diberikan. Ransum yang diberikan pada masing-masing perlakuan
adalah dalam bentuk tepung (all mash) sehingga selera makannya relatif sama.
Konsumsi ransum semakin banyak seiring dengan umur yang semakin bertambah.
Konsumsi ransum dipengaruhi oleh imbangan nutrient ransum, strain, kesehatan,
bentuk ransum, temperatur lingkungan dan umur (Wahyu, 1985).

4.2 Pertambahan Bobot Badan (PBB)


Pertambahan bobot badan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
selisih bobot akhir itik lokal dikurangi dengan bobot awal dibagi dengan lamanya
pemeliharaan. Pertambahan bobot badan merupakan parameter tingkat
pertumbuhan. Rataan pertambahan bobot badan itik lokal setiap perlakuan selama
penelitian disajikan dalam tabel 7 berikut.

23
Tabel 7. Rataan Pertambahan Bobot Badan Itik Lokal Umur 10-18 Minggu
Selama Penelitian (gram/ekor/hari)
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
U1 U2 U3 U4
R0 14,42 13,46 13,06 12,32 53,26 13,32b
R1 13,01 13,55 11,86 13,74 52,15 13,04b
R2 15,90 13,06 14,19 15,63 58,78 14,69a
R3 12,45 13,30 12,09 13,06 50,90 12,73b
R4 12,08 12,99 12,36 12,87 50,30 12,57b
Total 265,40
Rataan 13,27
Keterangan: Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata tidak
menunjukkan perbedaan

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa, rataan pertambahan bobot badan
harian itik lokal jantan adalah 13,27 g/ekor/hari dengan kisaran 12,08-15,90
g/ekor/hari. Pertambahan bobot badan tertinggi selama penelitian dihasilkan pada
penggunaan empulur sagu fermerntasi R2 (10%) sebesar 16,35 gram/ekor/hari,
disusul perlakuan R0 (0%) sebesar 15,15 gram/ekor/hari, R1 (5%) sebesar 13,70
gram/ekor/ hari, R3 (15%) 13,51 gram/ekor/hari, dan terendah perlakuan R4
(20%) sebesar 13,47gram/ekor/ hari. Pada Tabel 6 dari hasil uji beda nyata jujur
dapat dijelaskan bahwa R2 (10%) berbeda tidak nyata dengan R0 (0%) dan
berbeda nyata dengan R1 (5%), R3 (15%) dan R4 (20%), sementara R1 (5%), R3
(15%), dan R4 (20%) berbeda tidak nyata.
Dari hasil uji statistik menyatakan bahwa Konsumsi Ransum Penggunaan
empulur sagu fermentasi dalam pakan berpengaruh nyata (P<0,5) terhadap
pertambahan bobot badan itik lokal umur 10-18 minggu. Rataan hasil penelitian
ini lebih rendah bila dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Dadang (2007)
menyatakan bahwa pertambahan berat badan itik pada umur 10 sampai 18 minggu
rata-rata 46,9 g/ekor. Hal ini dipengaruhi oleh konsumsi ransum yang tidak
efisiensi akibat paruh itik, hal ini sesuai yang dikatakan oleh penelitian Eniza
Saleh et al (2005) menyatakan bahwa pertambahan berat badan dipengaruhi oleh
jenis pakan yang dikonsumsi, strain, kesehatan, keadaan lingkungan dan umur.

24
4.3 Konversi Ransum
Pengaruh pemberian empulur sagu fermentasi dalam pakan terhadap
konsumsi ransum itik lokal umur 12-18 minggu hasil penelitian ini disajikan pada
Tabel 8.
Tabel 8. Rataan Konversi Ransum Itik Lokal Umur 10-18 Minggu Selama
Penelitian
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
U1 U2 U3 U4
R0 5,48 5,92 6,09 6,43 23,92 5,98b
R1 6,12 5,85 6,77 5,78 24,52 6,13b
R2 5,01 6,14 5,69 5,09 21,94 5,48a
R3 6,43 6,09 6,57 6,11 25,21 6,30b
R4 6,54 6,09 6,40 6,16 25,20 6,30b
Total 120,78
Rataan 6,04
Keterangan: Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada kolom rata-rata tidak
menunjukkan perbedaan

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa, rataan konversi ransum harian itik
lokal jantan sebesar 6,04g/ekor/hari dengan kisaran 5,01-6,77 g/ekor/hari. Rataan
konversi pakan pada penelitian masih lebih tinggi dibandingkan dengan
pernyataan Ketaren dan Prasetyo (2001) yaitu sebesar3,43 gr/ekor/hari. Konversi
pakan terendah selama penelitian dihasilkan pada penggunaan empulur sagu
fermentasi R2 (10%) sebesar 5,48 gram/ekor/hari, disusul perlakuan R0 (0%)
sebesar 5,98 gram/ekor/hari, R1 (5%) sebesar 6,13 gram/ekor/ hari, R3 (15%) dan
R4 (20%) masing-masing sebesar 6,30 gram/ekor/ hari. Pada Tabel 8 dari hasil uji
beda nyata jujur dapat dijelaskan bahwa ransum dengan penambahan empulur
sagu fermentasi R2 (10%) berbeda nyata dengan R0 (0%), R1 (5%), R3 (15%),
dan R4 (20%), sementara R0 (0%), R1 (5%), R3 (15%), dan R4(20%) berbeda
tidak nyata.
Dari hasil uji statistik menyatakan bahwa konversi Ransum Penggunaan
empulur sagu fermentasi dalam pakan berpengaruh nyata (P<0,5) terhadap
konversi pakan itik lokal umur 10-18 minggu. Menurut Anggorodi (1985)
konversi ransum merupakan perbandingan jumlah ransum yang dikonsumsi
dengan pertambahan berat badan pada waktu yang sama pada saat penelitian.
Angka konversi ransum merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai seberapa

25
banyak pakan yang dikonsumsi menjadi jaringan tubuh, yang dinyatakan dengan
besarnya bobot badan. Semakin rendah nilai konversi pakan maka ternak tersebut
semakin evisiensi dalam merubah pakan menjadi jaringan tubuh. Suprijatna
(2005) menyatakan bahwa konversi ransum dipengaruhi oleh kadar protein, energi
metabolisme, zat makanan yang terkandung dalam ransum dan tempat ternak.
Menurut Rasyaf (1991) semakin kecil konversi ransum berarti pemberian
ransum makin efisien, tetapi jika konversi ransum tinggi maka telah terjadi
pemborosan pada konsumsi ternak. Konversi ransum perlu di perhatikan karena
erat hubunganya dengan biaya produksi. Besarnya angka konversi ransum berarti
biaya produksi untuk setiap satuan bobot badan akan besar, dan sebaliknya jika
angka konversi ransum kecil berarti biaya produksi untuk setiap satuan bobot
badan akan kecil juga sehingga dapat membuatkan keuntungan bagi peternak.
Konversi ransum mencerminkan keberhasilan dalam memilih atau menyusun
ransum yang berkualitas dan juga di pengaruhi oleh bibit ternak.
Nilai konversi ransum dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: kualitas ransum,
teknik pemberian pakan dan angka mortalitas. Ketaren (2001) menyatakan bahwa
buruknya konversi pakan pada ternak itik disebabkan oleh perilaku makan,
termasuk mencari air minum saat makan dan setelah makan, dan pada umumya
pakan terbuang pada saat itik makan sambil meminum air.

26
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Pemberian empelur sagu fermentasi dalam ransum itik lokal umur 10–18
minggu memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan,
konsumsi ransum dan konversi ransum dan pemberian empelur sagu fermentasi
yang paling baik ditunjukan oleh pemberian empulur sagu fermentasi pada level
10%.

5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan disarankan bahwa
penggunaan empulur sagu fermentasi dalam ransum itik lokal umur 10–18
minggu dapat dijadikan sebagai bahan pakan untuk menekan harga pakan yang
saat ini harganya tidak menentu. Penggunaan empulur sagu fermentasi dapat
digunakan dengan tingkat pemberian level 10%, dan disarankan juga untuk
dilakukan penelitian lebih lanjut lagi.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, 2002.Ransum Terdiri Dari Bahan Nabati Dan Hewani.


http://kesehatan-ternak.blogspot.com[Diakses tanggal 23 januari 2013]

Achmad Jaelani, Muhammad Irwan Zakir & Kusyanti.2013. Tingkat Pemberian


Empulur Sagu Difermentasi Dengan Kapang Aspergillus Niger Terhadap
Persentase Karkas Itik Serati Umur 8 Minggu. Fakultas pertanian
Universitas Islam Kalimantan MAB, Banjarmasin

Anggorodi. R. 1985. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Universitas Indonesia Press.


Jakarta

Anggorodi. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia. Jakarta

Anwar. 2005. Produktivitas itik manila (chairina moscata). Jambi

Anonimous. 1988. Buku Pintar Peternakan. Dinas Peternakan Provinsi Riau.


Pekanbaru

Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI). 2007. Tanaman


sagu sebagai sumber energi alternatif. Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 29(4) : 3-4.

Bintoro. 2008. Bercocok Tanam Sagu. IPB Press. Bogor

Bintoro. MYJ. Purwanto, dan A. Shandra. 2010. Sagu di Lahan Gambut. IPB
Press. Bogor

Deptan, 2010. Panduan Lengkap Itik. Pusat Penyuluhan Pertanian, Badan


Penyuluhan dan Pengembangan Sdm Pertanian. Jakarta selatan
http://cybex.deptan.go.id/panduan-lengkap-itik

Djanah, 1991. Beternak ayam dan itik. CV. Yasaguna. Jakarta

Enizah saleh et al. 2005. Dasar Pengolahan Susu Dan Hasil Ikutan Ternak.
Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara, press, hal :2-7

Haryanto, B, dan Pangloli. 1992. Potensi Dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius.


Yogyakarta. Hal. 140

Iswanto. 2002. Ayam Kampung Pedaging. Agro Media Pustaka. Jakarta

Kartadisastra, H. R. 1994. Pengelolaan Pakan Ayam Kiat Meningkatkan


Keuntungan Agribisnis Unggas. Yogyakarta; Kanisius

28
Kartasudjana, 2002. Manajemen Ternak Unggas. Fakultas Peternakan Universitas
Padjajaran. Bandung.

Ketaren dan Prasetyo, 2001. Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas Terhadap


Penampilan Itik Silang Mojosari x Alabio (MA) umur 8 minggu. Fakultas
Peternakan IPB Bogor-Balai Penelitian Ternak, Bogor, hal. 105-110.

Ketaren. 2001. Kebutuhan Gizi Itik Petelur dan Pedaging. Agromedia Pustaka.
Jakarta.

Kompiang, 1994. Kumpulan Hasil Penelitian Ternak Unggas dan Aneka Ternak.
Balai Penelitian Ternak, Ciawi.

Mangisah et al. 2009. Pengaruh Pakan Berserat Tinggi Dan Probiotik Dalam
Ransum Terhadap Pertumbuhan Organ Pencernaan, Kecernaan Ransum
dan Kinerja Itik. Laporan Penelitian Kegiatan A3 Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Parakkasi, 1999. Ilmu Gizi Dan Makanan Ternak. Angkasa. Bandung

Rasyaf Muhammad, 1990. Bahan makanan unggas di Indonesia. Kanisius,


cetakan pertama.Yogjakarta.

Rasyaf, 1991. Beternak itik lokal. Kanisius, cetakan pertama.Yogjakarta

Rasyaf, 1993. Makanan Ayam Broiler. Yogyakarta. Kanisius

Rumalatu FJ. 1981. Distribusi Dan Potensi Pati Beberapa Jenis Sagu Metroxylon
sp. Didaerah seram barat. Karya Ilmiah Fakultas Pertanian/Kehutanan
Unpati Yang Berafiliasi Dengan Fakultas Peternakan IPB. Bogor (ID)

Saleh et al. 2006. Pengaruh Pemberian Tepung Eceng Gondok (Eichrnia


Grassipes) dan Tepung Paku Air (Azolla Pinnata) Fermentasi Terhadap
Performans Ayam Broiler. Jurnal agribisnis peternakan. 1 (3): 87-92

Setioko, A.R. dan E. S. Rohaeni. 2001 Pemberian Ransum Bahan Pakan Lokal
Terhadap Produktifitas Itik Alabio. Loka karyaUnggas Air Nasional.
Fakultas Peternakan IPB dan Balai Penelitian Ternak di Ciawi.

Sinurat, A.P. 2000. Penyusunan Ransum Ayam Buras dan Itik. Pelatihan proyek
pengembangan agribisnis peternakan, Dinas Peternakan DKI Jakarta, 20
Juni 2000.

Siswahyu. 2010. Tingkat Konsumsi Protein Hewani Indonesia rendah.


http: eksposnews.com [ Diakses tanggal 22 Maret 2013 ]

Srigandono. 2000. Beternak Itik Pedaging. Tribus Agriwidya. Jakarta

29
Sudarjo, Y. dan A. Siriwa. 2002. Ransum Ayam dan Itik. Penebar Swadaya.
Jakarta

Surhano dan Amri. 2011. Panduan Beternak Itik Secara Intensif. Penebar
Swadaya. Jakarta.

Suparyanto, A. 2005. Peningkatan produktivitas daging itik madalung melalui


pembentukan galur induk. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. InstitutPertanian
Bogor.

Suprijatna, 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Cetakan I. Penebar swadaya,


Jakarta

Suryana. 2006. Pengaruh Sagu Segar dan Sagu Kukus dengan Suplementasi
Lisiana dan Metionina Terhadap Penampilan dan Persentase Lemak
Abdominal Ayam Broiler. Jurnal lmu Peternakan danVeteriner 11 (3): 175-
181.

Tilman, dkk., 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta

Tilman, A.D., Hartadi H., S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S.


Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Triyastuti, A. 2005. Pengaruh Penambahan Enzim Dalam Ransum Terhadap


Performan Itik Lokal Jantan. Fakultas Pertanian Universitas Negeri
Surakarta.

Wahyu. 2005. .Ilmu nutrisi ternak unggas. UGM Press, Yogyakarta

Yunilas. 2005. Performans ayam broiler yang diberi berbagai tingkat protein
hewani dalam ransum. Jurnal Agribisnis Peternakan 1 (1): 22-26.

Zahra, 1996. Pengaruh Berbagai Tingkat Penggunaan Protein dan Kepadatan


Kandang Terhadap Performans Ayam Ras Petelur Pada Fase Produksi.
Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang

30
31

Anda mungkin juga menyukai