BAB II
EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN
A. Pengertian
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, metode-
metode & sahnya ilmu pengetahuan (Kattsoff 1987 : 76).Secara historis,
istilahepistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk
membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub
sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan
ataupengertian yang tidak mudah dipahami.Pengertianepistemologiini cukup
menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang
berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkanpengertianyang
berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya
memahami pengertiansuatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya
juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu
diawali dengan memperkenalkan pengertian(definisi) secara teknis, guna
mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut.
Hal ini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep
selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-
persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi
belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa
menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar,
hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan
sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan
“jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang
dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi
(pengertian).
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of
knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani
episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi,
pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-
persoalan dalam epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat
mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3).
Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman)
dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim
Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
Pengertianlain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan
pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah
sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup
pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk
ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian,
1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha
yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang
terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan,P.Hardono
Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang
mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W
Hamlynmendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-
pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai
penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir
sama. Sedangkan hal yang cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang
pertama menyinggung persoalan kodrat pengetahuan,
sedangkan pengertiankedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat
pengetahuan berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan
sifat yang asli dari pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan
dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang
sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua
aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme.
Selanjutnya, pengertianepistemologi yang lebih jelas daripada
kedua pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia
menyatakan, bahwa epistemologiadalah cabang filsafat yang membahas
sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara
itu, Azyumardi Azramenambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang
membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu
pengetahuan”.
Runes dalam kamusnya (1971) menjelaskan bahwa epistemology is the
branch of philoshophy which investigates the origion, structure, methods and
validity of knowledge. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah
filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal tentang pengetahuan. Istilah
epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F
Ferier pada tahun 1854 (Runes, 1971:94).
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat
dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme
artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan
adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat
diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Webster
Third New International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai “The
Study of method and ground of knowledge, especially with reference to its
limits and validity”. Paul Edwards, dalam The Encyclopedia of Philosophy,
menjelaskan bahwa epistemologi adalah “the theory of knowledge.” Pada
tempat yang sama ia menerangkan bahwa epistemologi merupakan “the
branch of philosophy which concerned with the nature and scope of
knowledge, its presuppositions and basis, and the general reliability of claims
to knowledge.”
Epistemology berhubungan dengan apa yang perlu diketahui dan
bagaimana cara mengetahui pengetahuan.Lacey mengatakan bahwa
epistemologi membahas tentang,”what can we know, and how do we know it,”
Sedangkan Qodri Azizy Epistemologi dikatakan sebagai filsafat ilmu. Lebih
lanjut Azizi mengatakan epistemologi berkecenderungan berdiri sendiri. Ada
juga yang menyatakan bahwa episteme berarti Knowledge atau science,
sedangkan logos berarti the theory of the nature of knowing and the means by
which we know. Dengan demikian epistemology atau teori pengetahuan
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan
lingkup pengetahuan, anggapan-anggapan dan dasar-dasarnya serta
reliabilitas umum yang dapat untuk mengklaim sesuatu sebagai ilmu
pengetahuan.
B. Study Tentang Pengetahuan Filsafat Ilmu
Corak dari pemikiran bersifat mitologis (keteranganya didasarkan atas
mitos dan kepercayaan saja) terjadi pada dekade awal sejarah manusia.
Namun setelah adanya demitologisasi oleh para pemikir alam
seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM),Phitagoras (532
SM), Heraklitos (535-475 SM),Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi
pemikir lainnya, maka pemikiran filsafat berkembang secara cepat kearah
kemegahanya diikuti oleh proses demitologisasi menuju gerakan
logosentrisme.
Sejumlah literatur mengungkapkan, orang yang pertama memakai
istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni
seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam
geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya
“philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya
hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Kemudian, orang yang oleh para
penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546
S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam
semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat
kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk
mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya.
Menurut sejarah kelahirannya istilah filsafat terwujud sebagai sikap yang
ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan
yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari
kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada
kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk
mendapatkan kebenaran.
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini
dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum
dalam sejumlah literatur kajian Filsafat Ilmu.
1. Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current
scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy
of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”.
(Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-
pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria
yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu
jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
2. Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods
of scientific thinking and tries to determine the value and significance of
scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi
metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya
upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
3. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of
the nature of science, especially of its methods, its concepts and
presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines.
(Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai
ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-
praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang
pengetahuan intelektual.)
4. Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the
relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”.
(Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-
hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
5. May Brodbeck“Philosophy of science is the ethically and philosophically
neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang
netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan –
landasan ilmu.
6. Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to
do for science what philosophy in general does for the whole of human
experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs
theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and
action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a
ground for belief or action, including its own theories, with a view to the
elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian
filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya
melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua
macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan
alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan
dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang
dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan,
termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan
ketakajegan dan kesalahan
7. Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first,
to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry
observational procedures, patens of argument, methods of representation and
calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the
grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical
methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu
mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses
penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbincangan,
metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan
metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi
kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan
metafisika).
Pendiri sebenarnya dari teori pengetahuan sebagai sebuah kajian filsafat
yang independen adalah John Locke. Ia telah mempertanyakan tentang asal-
usul, esensi, batasan dan tingkat keyakinan pengetahuan sejak lama.
Adapun Kant dianggap sebagai tokoh terpenting yang telah merumuskan teori
pengetahuan setelah Lock.Kant telah mempelajari hubungan antara hal-hal
yang bersifat inderawi dan hal-hal yang bersifat rasional serta telah
mempelajari batas-batas pengetahuan manusia melalui kritiknya terhadap
akal.
C. Sejarah Perkembangan Pemikiran Filsafat
1. Sejarah Perkembangan Pemikiran Yunani Kuno: Dari Mitos ke Logos
Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani
Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan
perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat. Dalam tradisi
sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni tradisi: (1)
Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini), (2) Sejarah Filsafat Cina
(sekitar 600 SM – dewasa ini), dan (3) Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM –
dewasa ini).
Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat
adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain)
sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Titik-tolak dan orientasi sejarah
filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat India maupun
Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak
periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang
berbeda. Pada tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina, lebih memperlihatkan
perhatiannya yang besar pada masalah-masalah keagamaan, moral/etika dan
cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan
kelak keselamatan sesudah kematian.
Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi
awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu
sudah mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang
dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché,
sedangkan Anaximander(sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché adalah
sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat
“udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain
pada periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) danParmenides (515 – 440
SM),Herakleitosmengemukakan bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (“panta
rhei”) bahwa segala sesuatu itu berubah terus-menerus/perubahan sedangkan
Parmenides menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu
yang tetap (tidak berubah).
Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu
itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain
adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang
menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang
yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui
berpikir/bermenung secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus.
Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk
segala sesuatu (arche), itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar
periode myte (mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran manusia pada
masa itu kearah rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk
mencari sebab awal dari segala sesuatu dengan merunut dari hubungan
kausalitasnya (sebab-akibat).
Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan
logika (konsekuensi). Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para
filsuf tadi masih bersifat spekulatif dalam arti masih belum dikembangkan
lebih lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi) melalui observasi
maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi prosedur
berpikir untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat
secara rasional itulah yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam
sejarah pemikiran manusia. Hubungan sebab-akibat inilah yang dalam ilmu
pengetahuan disebut sebagai hukum (ilmiah). Singkatnya, hukum ilmiah atau
hubungan sebab-akibat merupakan obyek material utama dari ilmu
pengetahuan.
Demikian pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi melalui observasi
dan eksperimen secara berulangkali dihasilkan teori ilmiah.
Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada
masa Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-
322 SM). Sokrates sebagai guru dari Plato maupun tidak meninggalkan karya
tulis satupun dari hasil pemikirannya, tetapi pemikiran-pemikirannya secara
tidak langsung banyak dikemukakan dalam tulisan-tulisan para pemikir
Yunani lainnya tetapi terutama ditemukan dalam karya muridnya Plato.
FilsafatPlato dikenal sebagai ideal (isme) dalam hal ajarannya bahwa
kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau bayang-bayang/bayangan dari
suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh karena itu yang ada nyata
adalah “ide” itu sendiri. Filsafat Plato juga merupakan jalan tengah dari
ajaran Herakleitos danParmenides. Dunia “ide” itulah yang tetap tidak
berubah/abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi sebagai sesuatu
yang senantiasa berubah. Karya-Karya lainnya dari Plato sangat dalam dan
luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika), teologi, etika,
estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.
Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak
setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato).
BagiAristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana
yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan/benda-
benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Lebih jauh bahkan
dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi,
sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan demikian maka
bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan
kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari
materi. Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik,
metafisika, psikologi dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis
tersebut banyak menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan.
2. Jaman Patristik dan Skolastik: Filsafat Dalam dan Untuk Agama
Pada jaman ini dikenal sebagai Abad Pertengahan (400-1500 ). Filsafat
pada abad ini dikuasai dengan pemikiran keagamaan (Kristiani). Puncak
filsafat Kristiani ini adalah Patristik (Lt. “Patres”/Bapa-bapa Gereja) dan
Skolastik Patristik sendiri dibagi atas Patristik Yunani (atau Patristik Timur)
dan Patristik Latin (atau Patristik Barat). Tokoh-tokoh Patristik Yunani ini
anatara lain Clemens dari Alexandria (150-215), Origenes (185-
254), Gregorius dari Naziane (330-390), Basilius (330-379). Tokoh-tokoh dari
Patristik Latin antara lain Hilarius (315-367),Ambrosius (339-
397), Hieronymus (347-420) danAugustinus (354-430). Ajaran-ajaran dari
para Bapa Gereja ini adalah falsafi-teologis, yang pada intinya ajaran ini ingin
memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari
manusia. Ajaran-ajaran ini banyak pengaruh dari Plotinos. Pada masa ini
dapat dikatakan era filsafat yang berlandaskan akal-budi “diabdikan” untuk
dogma agama.
Jaman Skolastik (sekitar tahun 1000), pengaruh Plotinus diambil alih
oleh Aristoteles. Pemikiran-pemikiran Ariestoteles kembali dikenal dalam
karya beberapa filsuf Yahudi maupun Islam, terutama melalui Avicena (Ibn.
Sina, 980-1037), Averroes (Ibn. Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-
1204). Pengaruh Aristoteles demikian besar sehingga ia (Aristoteles) disebut
sebagai “Sang Filsuf” sedangkanAverroes yang banyak membahas
karya Aristotelesdijuluki sebagai “Sang Komentator”. Pertemuan
pemikiran Aristoteles dengan iman Kristiani menghasilkan filsuf penting
sebagian besar dari ordo baru yang lahir pada masa Abad Pertengahan, yaitu,
dari ordo Dominikan dan Fransiskan.. Filsafatnya disebut “Skolastik” (Lt.
“scholasticus”, “guru”), karena pada periode ini filsafat diajarkan dalam
sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum
yang baku dan bersifat internasional. Inti ajaran ini bertema pokok bahwa ada
hubungan antara iman dengan akal budi. Pada masa ini filsafat mulai ambil
jarak dengan agama, dengan melihat sebagai suatu kesetaraan antara satu
dengan yang lain (Agama dengan Filsafat) bukan yang satu “mengabdi”
terhadap yang lain atau sebaliknya.
Sampai dengan di penghujung Abad Pertengahan sebagai abad yang kurang
kondusif terhadap perkembangan ilmu, dapatlah diingat dengan nasib seorang
astronom berkebangsaan Polandia N. Copernicus yang dihukum kurungan
seumur hidup oleh otoritas Gereja, ketika mengemukakan temuannya tentang
pusat peredaran benda-benda angkasa adalah matahari (Heleosentrisme).
Teori ini dianggap oleh otoritas Gereja sebagai bertentangan dengan teori
geosentrisme (Bumi sebagai pusat peredaran benda-benda angkasa) yang
dikemukakan oleh Ptolomeus semenjak jaman Yunani yang justru telah
mendapat “mandat” dari otoritas Gereja. Oleh karena itu dianggap
menjatuhkan kewibawaan Gereja.
3. Jaman Modern: Lahir dan Berkembangan Tradisi Ilmu Pengetahuan
Jembatan antara Abad pertengahan dan Jaman Modern adalah jaman
“Renesanse”, periode sekitar 1400-1600. Filsuf-filsuf penting dari jaman ini
adalahN. Macchiavelli (1469-1527), Th. Hobbes (1588-1679), Th.
More (1478-1535) dan Frc. Bacon (1561-1626). Pembaharuan yang sangat
bermakna pada jaman ini (renesanse) adalah “antroposentrisme”nya. Artinya
pusat perhatian pemikiran tidak lagi kosmos seperti pada jaman Yunani Kuno,
atau Tuhan sebagaimana dalam Abad Pertengahan.
Setelah Renesanse mulailah jaman Barok, pada jaman ini tradisi
rasionalisme ditumbuh-kembangkan oleh filsuf-filsuf antara lain; R.
Descartes (1596-1650), B. Spinoza (1632-1677) dan G. Leibniz (1646-1710).
Para Filsuf tersebut di atas menekankan pentingnya kemungkinan-
kemungkinan akal-budi (“ratio”) didalam mengembangkan pengetahuan
manusia.
Pada abad kedelapan belas mulai memasuki perkembangan baru. Setelah
reformasi, renesanse dan setelah rasionalisme jaman Barok, pemikiran
manusia mulai dianggap telah “dewasa”. Periode sejarah perkembangan
pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman Pencerahan” atau “Fajar Budi” (Ing.
“Enlightenment”, Jrm. “Aufklärung”. Filsuf-filsuf pada jaman ini disebut
sebagai para “empirikus”, yang ajarannya lebih menekankan bahwa suatu
pengetahuan adalah mungkin karena adanya pengalaman indrawi manusia
(Lt. “empeira”, “pengalaman”). Para empirikus besar Inggris antara lain J.
Locke (1632-1704), G. Berkeley (1684-1753) dan D. Hume (1711-1776). Di
Perancis JJ. Rousseau(1712-1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-
1804)
Secara khusus ingin dikemukakan disini adalah peranan filsuf
Jerman Immanuel Kant, yang dapat dianggap sebagai inspirator dan
sekaligus sebagai peletak dasar fondasi ilmu, yakni dengan “mendamaikan”
pertentangan epistemologik pengetahuan antara kaum rasionalisme versus
kaum empirisme. Immanuel Kant dalam karyanya utamanya yang terkenal
terbit tahun 1781 yang berjudul Kritik der reinen vernunft (Ing. Critique of
Pure Reason), memberi arah baru mengenai filsafat pengetahuan.
Dalam bukunya itu Kant memperkenalkan suatu konsepsi baru tentang
pengetahuan. Pada dasarnya dia tidak mengingkari kebenaran pengetahuan
yang dikemukakan oleh kaum rasionalisme maupun empirisme, yang salah
apabila masing-masing dari keduanya mengkalim secara ekstrim pendapatnya
dan menolak pendapat yang lainnya. Dengan kata lain memang pengetahuan
dihimpun setelah melalui (aposteriori) sistem penginderaan (sensory system)
manusia, tetapi tanpa pikiran murni (a priori) yang aktif tidaklah mungkin
tanpa kategorisasi dan penataan dari rasio manusia. Menurut Kant,
empirisme mengandung kelemahan karena anggapan bahwa pengetahuan
yang dimiliki manusia hanya lah rekaman kesan-kesan (impresi) dari
pengalamannya. Pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan hasil sintesis
antara yang apriori (yang sudah ada dalam kesadaran dan pikiran manusia)
dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman. Bagi Kant yang terpenting
bagaimana pikiran manusia mamahami dan menafsirkan apa yang direkam
secara empirikal, bukan bagaimana kenyataan itu tampil sebagai benda itu
sendiri
BAB III
PENUTUP
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia
merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara
memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan.
sumberdari pengetahuan dalam Islam adalah wahyu. Dan untuk
mendapatkan ilmu tersebut adalah dengan mempergunakan panca indra dan
akal yang kesemua kegiatan tersebut dikendalikan oleh iman dan wahyu.
Wahyu merupakan puncak segala sumber pengetahaun yang merupakan
manisfestasi dari firman Allah.
Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih
dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut,
metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang Agung,
menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagimana.
Sedangkan nilai kebenaran itu bertingkat-tingkat, sebagai mana yang
telah diuraikan oleh Andi Hakim Nasution dalam bukunya Pengantar ke
Filsafat Sains, bahwa kebenaran mempunyai tiga tingkatan, yaitu haq al-
yaqin, ‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin. Adapun kebenaran
menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1. Kebenaran wahyu
2. Kebenaran spekulatif filsafat
3. Kebenaran positif ilmu pengetahuan
4. Kebenaran pengetahuan biasa.
http://sakriahakka.blogspot.com/2012/07/filsafat-ilmu.html