Anda di halaman 1dari 21

Filsafat Ilmu

EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN


By. SAKRIAH AKKA
BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan)
yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah). Filsafat ilmu
yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakekat ilmu, seperti: (1)
obyek apa yang ditelaah ilmu (2) bagaimana wujud yang hakiki dari obyek
tersebut (3) bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap
manusia (seperti:berfikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan
pengetahuan. (Jujun S. Suriasumantri, 1984:33)
Masalah yang paling prinsip dalam proposisi keilmuan adalah,
bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar. Masalah inilah yang
dalam kajian filsafat disebut Epistemologi. Epistemologi merupakan kajian
bagaimana kita mendapatkan pengetahuan, a.l : (1) Apakah sumber – sumber
pengetahuan ? (2) apakah hakekat, jangkauan dan ruang lingkup
pengetahuan? (3) apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan
pengetahuan? (4) sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk
ditangkap manusia?.(William. S. dan Mabel L. Sahakian, 1965:3).
Sains berasal dari bahasa latin scientia yang artinya
adalah knowledge, kita menterjemahkankan sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu
yang mempelajari asal-usul ilmu pengetahuan adalah Epistemology, akan
tetapi tentang asal-usul ilmu pengetahuan itu sendiri, sampai saat ini masih
menjadi perdebatan panjang di kalangan para filsuf. Disini kita berusaha
untuk tidak terjebak di tengah-tengah perdebatan tersebut.
Ilmu pengetahuan adalah informasi (information),
keahlian (expertise) dan ketrampilan (skills) yang dimiliki seseorang melalui
berbagai proses hidup berupa pengalaman(experience), dan belajar (education),
baik langsung maupun tidak langsung. Dalam perkembangannya, sains mulai
diposisikan sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, dimana sains didefinisikan
sebagai sebuah usaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan melalui
penelitian (research) yang menggunakan serangkaian metode ilmiah (scientific
method)dan dilandasi prinsip-prinsip pemikiran dan pertimbangan yang
logis (reasoning).
Metode ilmiah digunakan untuk menyelidiki dan menjelaskan suatu
fenomena, baik fenomena alam maupun fenomena sosial, dan sebagai cara
untuk memperbaiki ilmu pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Oleh sebab
itu, sang professor dengan tegas menyatakan, tidak ada ilmu pengatahuan
atau sains yang buruk, yang ada adalah sains atau ilmu pengetahuan yang
belum tuntas (unaccomplished knowledge). Reasoning sendiri adalah proses
kognitif dalam mencari alasan (reasons), keyakinan (beliefs), logika (logics),
kesimpulan (conclusions), tindakan (actions) atau perasaan(feelings).
Scientific method = generate hypotheses of some phenomena →
experiment/simulation → observe the evidence → record measurable
data/empirical information → analysis → construct theoretical
explanations.
Dengan metode ilmiah, penyelidikan dilakukan dengan berdasarkan
pada fenomena yang dapat diamati (observable), dengan data
empiris (empirical) dan bukti-bukti terukur(measurable evidence) dan
dilakukan dengan prinsip reasoning.Metode ilmiah berisi sekumpulan data
hasil pengamatan(observation) dan percobaan (experimentation),
formulasi(formulation) dan pengujian hipotesis (testing of hypotheses).
Mungkin jadi pertanyaan kita, siapa yang pertama kali mengembangkan
metode ilmiah dalam sains? Proses-proses ilmiah, terutama metode empiris
dan analis mungkin sudah digunakan sejak munculnya peradaban manusia
modern dan berkembang pesat saat peradaban Yunani melalui Socrates,
Plato, Aristoteles, Archimedes, Euclid dan lain-lain. Akan tetapi, metode
ilmiah modern sebagai sebuah sistem sebagaimana yang kita kenal sekarang
dikembangkan oleh ilmuwan Arab bernama Ibn al-Haytham (dikenal juga
sebagai Alhazen atau Alhacen), seorang ilmuwan dan insinyur terkemuka yang
menguasai bidang-bidang matematika, astronomi, anatomi, fisika, kedokteran,
psikologi, filosofi dan beberapa bidang lainnya.
Ibn al-Haytham (965-1040) berasal dari Basra, wilayah Iraq sekarang,
hidup pada masa ke khalifahan Abbasiyah di Iraq dan kekhalifahan Fatimiyah
di Mesir. Masa kekhalifahan Abbasiyah dikenal sebagai the golden age of
Islam, dan kota Basra dikenal sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan.
Walaupun lahir dan besar di Basra, Ibn al-Haytham menghabiskan sebagian
besar hidupnya di Kairo, Mesir.
Pada dasarnya metoda ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan
menyusun dasar kerangka pengetahuan berdasarkan pada :
a. Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat
konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.
b. Menjalankan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran
tersebut.
c. Melakukan verivikasi terhadap hipotesis termasuk untuk menguji kebenaran
pernyataan secara factual. Secara akronim metode ilmiah terkenal sebagai
“logico hypothetico verifikatif” atau deduco-hypothetico-verifikatif”, (Akta V,
U.T. 1985 :91)
Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, karena
disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh
manusia menjadi bahan pijakan. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang
berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang
ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang
membentuknya. Dari epistemologi, juga filsafat –dalam hal ini filsafat modern –
terpecah berbagai aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme,
pragmatisme, positivisme, maupun eksistensialisme.
Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pernyataan”setiap manusia
dari kodratnya ingin tahu.” Aristoteles meyakini hal itu.Keyakinan tersebut
tidak hanya untuk orang lain saja, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Berbeda
dengan Socratesyang telah meniti karirnya sendiri dengan berdasarkan suatu
pondasi yang berbeda, ia meyakini bahwa tidak seorang manusia pun
mempunyai pengetahuan. Ada kemungkinan manusia tidak mempunyai
pengetahuan karena tidak menggunakan inderanya untuk mengenali alam ini
manusia akan mengetahui ketika ada rasa kagum. Ketika manusia tidak
kagum , maka ia tidak akan pernah mengenal filsafat,karena pada dasarnya
dari rasa kagumlah filsafat bermula. Rasa kagum sebenarnya bukan muncul
dari sesuatu yang sulit, tetapi kekaguman sering muncul dan tampak
sederhana dalam kehidupan manusia.
RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI
M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber
dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmadmerinci menjadi enam aspek,
yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan.
Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup
pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa
sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan
benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa
yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua
pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah pokok; masalah sumber
ilmu dan masalah benarnya ilmu.
Jadi meskipun epistemologi itu merupakan sub sistem filsafat, tetapi
cakupannya luas sekali. Jika kita memaduakan rincian aspek-aspek
epistemologi, sebagaimana diuraikan tersebut, maka teori pengetahuan itu
bisa meliputi, hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validias, unsur,
macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat,
pertanggungjawaban dan skope pengetahuan. Bahkan menurut, Sidi
Gazalba, taklid kepada pengetahuan atas kewibaan orang yang
memberikannya termasuk epistemologi, sekalipun ia sebenarnya merupakan
doktrin tentang psikologi kepercayaan. Jelasnya, seluruh permasalahan yang
berkaitan dengan pengetahuan adalah menjadi cakupan epistemologi.
Mengingat epistemologi mencakup aspek yang begitu luas,
sampai Gallagher secara ekstrem menarik kesimpulan, bahwa epistemologi
sama luasnya dengan filsafat.

BAB II
EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN
A. Pengertian
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, metode-
metode & sahnya ilmu pengetahuan (Kattsoff 1987 : 76).Secara historis,
istilahepistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk
membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub
sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan
ataupengertian yang tidak mudah dipahami.Pengertianepistemologiini cukup
menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang
berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkanpengertianyang
berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya
memahami pengertiansuatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya
juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu
diawali dengan memperkenalkan pengertian(definisi) secara teknis, guna
mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut.
Hal ini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep
selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-
persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi
belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa
menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar,
hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan
sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan
“jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang
dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi
(pengertian).
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of
knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani
episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi,
pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-
persoalan dalam epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat
mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3).
Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman)
dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim
Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
Pengertianlain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan
pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah
sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup
pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk
ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian,
1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha
yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang
terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan,P.Hardono
Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang
mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W
Hamlynmendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-
pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai
penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir
sama. Sedangkan hal yang cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang
pertama menyinggung persoalan kodrat pengetahuan,
sedangkan pengertiankedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat
pengetahuan berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan
sifat yang asli dari pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan
dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang
sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua
aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme.
Selanjutnya, pengertianepistemologi yang lebih jelas daripada
kedua pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia
menyatakan, bahwa epistemologiadalah cabang filsafat yang membahas
sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara
itu, Azyumardi Azramenambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang
membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu
pengetahuan”.
Runes dalam kamusnya (1971) menjelaskan bahwa epistemology is the
branch of philoshophy which investigates the origion, structure, methods and
validity of knowledge. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah
filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal tentang pengetahuan. Istilah
epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F
Ferier pada tahun 1854 (Runes, 1971:94).
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat
dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme
artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan
adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat
diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Webster
Third New International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai “The
Study of method and ground of knowledge, especially with reference to its
limits and validity”. Paul Edwards, dalam The Encyclopedia of Philosophy,
menjelaskan bahwa epistemologi adalah “the theory of knowledge.” Pada
tempat yang sama ia menerangkan bahwa epistemologi merupakan “the
branch of philosophy which concerned with the nature and scope of
knowledge, its presuppositions and basis, and the general reliability of claims
to knowledge.”
Epistemology berhubungan dengan apa yang perlu diketahui dan
bagaimana cara mengetahui pengetahuan.Lacey mengatakan bahwa
epistemologi membahas tentang,”what can we know, and how do we know it,”
Sedangkan Qodri Azizy Epistemologi dikatakan sebagai filsafat ilmu. Lebih
lanjut Azizi mengatakan epistemologi berkecenderungan berdiri sendiri. Ada
juga yang menyatakan bahwa episteme berarti Knowledge atau science,
sedangkan logos berarti the theory of the nature of knowing and the means by
which we know. Dengan demikian epistemology atau teori pengetahuan
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan
lingkup pengetahuan, anggapan-anggapan dan dasar-dasarnya serta
reliabilitas umum yang dapat untuk mengklaim sesuatu sebagai ilmu
pengetahuan.
B. Study Tentang Pengetahuan Filsafat Ilmu
Corak dari pemikiran bersifat mitologis (keteranganya didasarkan atas
mitos dan kepercayaan saja) terjadi pada dekade awal sejarah manusia.
Namun setelah adanya demitologisasi oleh para pemikir alam
seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM),Phitagoras (532
SM), Heraklitos (535-475 SM),Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi
pemikir lainnya, maka pemikiran filsafat berkembang secara cepat kearah
kemegahanya diikuti oleh proses demitologisasi menuju gerakan
logosentrisme.
Sejumlah literatur mengungkapkan, orang yang pertama memakai
istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni
seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam
geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya
“philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya
hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Kemudian, orang yang oleh para
penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546
S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam
semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat
kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk
mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya.
Menurut sejarah kelahirannya istilah filsafat terwujud sebagai sikap yang
ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan
yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari
kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada
kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk
mendapatkan kebenaran.
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini
dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum
dalam sejumlah literatur kajian Filsafat Ilmu.
1. Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current
scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy
of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”.
(Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-
pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria
yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu
jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
2. Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods
of scientific thinking and tries to determine the value and significance of
scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi
metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya
upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
3. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of
the nature of science, especially of its methods, its concepts and
presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines.
(Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai
ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-
praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang
pengetahuan intelektual.)
4. Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the
relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”.
(Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-
hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
5. May Brodbeck“Philosophy of science is the ethically and philosophically
neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang
netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan –
landasan ilmu.
6. Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to
do for science what philosophy in general does for the whole of human
experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs
theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and
action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a
ground for belief or action, including its own theories, with a view to the
elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian
filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya
melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua
macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan
alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan
dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang
dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan,
termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan
ketakajegan dan kesalahan
7. Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first,
to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry
observational procedures, patens of argument, methods of representation and
calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the
grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical
methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu
mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses
penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbincangan,
metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan
metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi
kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan
metafisika).
Pendiri sebenarnya dari teori pengetahuan sebagai sebuah kajian filsafat
yang independen adalah John Locke. Ia telah mempertanyakan tentang asal-
usul, esensi, batasan dan tingkat keyakinan pengetahuan sejak lama.
Adapun Kant dianggap sebagai tokoh terpenting yang telah merumuskan teori
pengetahuan setelah Lock.Kant telah mempelajari hubungan antara hal-hal
yang bersifat inderawi dan hal-hal yang bersifat rasional serta telah
mempelajari batas-batas pengetahuan manusia melalui kritiknya terhadap
akal.
C. Sejarah Perkembangan Pemikiran Filsafat
1. Sejarah Perkembangan Pemikiran Yunani Kuno: Dari Mitos ke Logos
Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani
Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan
perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat. Dalam tradisi
sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni tradisi: (1)
Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini), (2) Sejarah Filsafat Cina
(sekitar 600 SM – dewasa ini), dan (3) Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM –
dewasa ini).
Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat
adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain)
sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Titik-tolak dan orientasi sejarah
filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat India maupun
Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak
periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang
berbeda. Pada tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina, lebih memperlihatkan
perhatiannya yang besar pada masalah-masalah keagamaan, moral/etika dan
cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan
kelak keselamatan sesudah kematian.
Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi
awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu
sudah mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang
dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché,
sedangkan Anaximander(sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché adalah
sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat
“udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain
pada periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) danParmenides (515 – 440
SM),Herakleitosmengemukakan bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (“panta
rhei”) bahwa segala sesuatu itu berubah terus-menerus/perubahan sedangkan
Parmenides menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu
yang tetap (tidak berubah).
Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu
itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain
adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang
menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang
yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui
berpikir/bermenung secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus.
Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk
segala sesuatu (arche), itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar
periode myte (mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran manusia pada
masa itu kearah rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk
mencari sebab awal dari segala sesuatu dengan merunut dari hubungan
kausalitasnya (sebab-akibat).
Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan
logika (konsekuensi). Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para
filsuf tadi masih bersifat spekulatif dalam arti masih belum dikembangkan
lebih lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi) melalui observasi
maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi prosedur
berpikir untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat
secara rasional itulah yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam
sejarah pemikiran manusia. Hubungan sebab-akibat inilah yang dalam ilmu
pengetahuan disebut sebagai hukum (ilmiah). Singkatnya, hukum ilmiah atau
hubungan sebab-akibat merupakan obyek material utama dari ilmu
pengetahuan.
Demikian pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi melalui observasi
dan eksperimen secara berulangkali dihasilkan teori ilmiah.
Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada
masa Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-
322 SM). Sokrates sebagai guru dari Plato maupun tidak meninggalkan karya
tulis satupun dari hasil pemikirannya, tetapi pemikiran-pemikirannya secara
tidak langsung banyak dikemukakan dalam tulisan-tulisan para pemikir
Yunani lainnya tetapi terutama ditemukan dalam karya muridnya Plato.
FilsafatPlato dikenal sebagai ideal (isme) dalam hal ajarannya bahwa
kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau bayang-bayang/bayangan dari
suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh karena itu yang ada nyata
adalah “ide” itu sendiri. Filsafat Plato juga merupakan jalan tengah dari
ajaran Herakleitos danParmenides. Dunia “ide” itulah yang tetap tidak
berubah/abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi sebagai sesuatu
yang senantiasa berubah. Karya-Karya lainnya dari Plato sangat dalam dan
luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika), teologi, etika,
estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.
Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak
setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato).
BagiAristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana
yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan/benda-
benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Lebih jauh bahkan
dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi,
sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan demikian maka
bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan
kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari
materi. Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik,
metafisika, psikologi dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis
tersebut banyak menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan.
2. Jaman Patristik dan Skolastik: Filsafat Dalam dan Untuk Agama
Pada jaman ini dikenal sebagai Abad Pertengahan (400-1500 ). Filsafat
pada abad ini dikuasai dengan pemikiran keagamaan (Kristiani). Puncak
filsafat Kristiani ini adalah Patristik (Lt. “Patres”/Bapa-bapa Gereja) dan
Skolastik Patristik sendiri dibagi atas Patristik Yunani (atau Patristik Timur)
dan Patristik Latin (atau Patristik Barat). Tokoh-tokoh Patristik Yunani ini
anatara lain Clemens dari Alexandria (150-215), Origenes (185-
254), Gregorius dari Naziane (330-390), Basilius (330-379). Tokoh-tokoh dari
Patristik Latin antara lain Hilarius (315-367),Ambrosius (339-
397), Hieronymus (347-420) danAugustinus (354-430). Ajaran-ajaran dari
para Bapa Gereja ini adalah falsafi-teologis, yang pada intinya ajaran ini ingin
memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari
manusia. Ajaran-ajaran ini banyak pengaruh dari Plotinos. Pada masa ini
dapat dikatakan era filsafat yang berlandaskan akal-budi “diabdikan” untuk
dogma agama.
Jaman Skolastik (sekitar tahun 1000), pengaruh Plotinus diambil alih
oleh Aristoteles. Pemikiran-pemikiran Ariestoteles kembali dikenal dalam
karya beberapa filsuf Yahudi maupun Islam, terutama melalui Avicena (Ibn.
Sina, 980-1037), Averroes (Ibn. Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-
1204). Pengaruh Aristoteles demikian besar sehingga ia (Aristoteles) disebut
sebagai “Sang Filsuf” sedangkanAverroes yang banyak membahas
karya Aristotelesdijuluki sebagai “Sang Komentator”. Pertemuan
pemikiran Aristoteles dengan iman Kristiani menghasilkan filsuf penting
sebagian besar dari ordo baru yang lahir pada masa Abad Pertengahan, yaitu,
dari ordo Dominikan dan Fransiskan.. Filsafatnya disebut “Skolastik” (Lt.
“scholasticus”, “guru”), karena pada periode ini filsafat diajarkan dalam
sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum
yang baku dan bersifat internasional. Inti ajaran ini bertema pokok bahwa ada
hubungan antara iman dengan akal budi. Pada masa ini filsafat mulai ambil
jarak dengan agama, dengan melihat sebagai suatu kesetaraan antara satu
dengan yang lain (Agama dengan Filsafat) bukan yang satu “mengabdi”
terhadap yang lain atau sebaliknya.
Sampai dengan di penghujung Abad Pertengahan sebagai abad yang kurang
kondusif terhadap perkembangan ilmu, dapatlah diingat dengan nasib seorang
astronom berkebangsaan Polandia N. Copernicus yang dihukum kurungan
seumur hidup oleh otoritas Gereja, ketika mengemukakan temuannya tentang
pusat peredaran benda-benda angkasa adalah matahari (Heleosentrisme).
Teori ini dianggap oleh otoritas Gereja sebagai bertentangan dengan teori
geosentrisme (Bumi sebagai pusat peredaran benda-benda angkasa) yang
dikemukakan oleh Ptolomeus semenjak jaman Yunani yang justru telah
mendapat “mandat” dari otoritas Gereja. Oleh karena itu dianggap
menjatuhkan kewibawaan Gereja.
3. Jaman Modern: Lahir dan Berkembangan Tradisi Ilmu Pengetahuan
Jembatan antara Abad pertengahan dan Jaman Modern adalah jaman
“Renesanse”, periode sekitar 1400-1600. Filsuf-filsuf penting dari jaman ini
adalahN. Macchiavelli (1469-1527), Th. Hobbes (1588-1679), Th.
More (1478-1535) dan Frc. Bacon (1561-1626). Pembaharuan yang sangat
bermakna pada jaman ini (renesanse) adalah “antroposentrisme”nya. Artinya
pusat perhatian pemikiran tidak lagi kosmos seperti pada jaman Yunani Kuno,
atau Tuhan sebagaimana dalam Abad Pertengahan.
Setelah Renesanse mulailah jaman Barok, pada jaman ini tradisi
rasionalisme ditumbuh-kembangkan oleh filsuf-filsuf antara lain; R.
Descartes (1596-1650), B. Spinoza (1632-1677) dan G. Leibniz (1646-1710).
Para Filsuf tersebut di atas menekankan pentingnya kemungkinan-
kemungkinan akal-budi (“ratio”) didalam mengembangkan pengetahuan
manusia.
Pada abad kedelapan belas mulai memasuki perkembangan baru. Setelah
reformasi, renesanse dan setelah rasionalisme jaman Barok, pemikiran
manusia mulai dianggap telah “dewasa”. Periode sejarah perkembangan
pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman Pencerahan” atau “Fajar Budi” (Ing.
“Enlightenment”, Jrm. “Aufklärung”. Filsuf-filsuf pada jaman ini disebut
sebagai para “empirikus”, yang ajarannya lebih menekankan bahwa suatu
pengetahuan adalah mungkin karena adanya pengalaman indrawi manusia
(Lt. “empeira”, “pengalaman”). Para empirikus besar Inggris antara lain J.
Locke (1632-1704), G. Berkeley (1684-1753) dan D. Hume (1711-1776). Di
Perancis JJ. Rousseau(1712-1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-
1804)
Secara khusus ingin dikemukakan disini adalah peranan filsuf
Jerman Immanuel Kant, yang dapat dianggap sebagai inspirator dan
sekaligus sebagai peletak dasar fondasi ilmu, yakni dengan “mendamaikan”
pertentangan epistemologik pengetahuan antara kaum rasionalisme versus
kaum empirisme. Immanuel Kant dalam karyanya utamanya yang terkenal
terbit tahun 1781 yang berjudul Kritik der reinen vernunft (Ing. Critique of
Pure Reason), memberi arah baru mengenai filsafat pengetahuan.
Dalam bukunya itu Kant memperkenalkan suatu konsepsi baru tentang
pengetahuan. Pada dasarnya dia tidak mengingkari kebenaran pengetahuan
yang dikemukakan oleh kaum rasionalisme maupun empirisme, yang salah
apabila masing-masing dari keduanya mengkalim secara ekstrim pendapatnya
dan menolak pendapat yang lainnya. Dengan kata lain memang pengetahuan
dihimpun setelah melalui (aposteriori) sistem penginderaan (sensory system)
manusia, tetapi tanpa pikiran murni (a priori) yang aktif tidaklah mungkin
tanpa kategorisasi dan penataan dari rasio manusia. Menurut Kant,
empirisme mengandung kelemahan karena anggapan bahwa pengetahuan
yang dimiliki manusia hanya lah rekaman kesan-kesan (impresi) dari
pengalamannya. Pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan hasil sintesis
antara yang apriori (yang sudah ada dalam kesadaran dan pikiran manusia)
dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman. Bagi Kant yang terpenting
bagaimana pikiran manusia mamahami dan menafsirkan apa yang direkam
secara empirikal, bukan bagaimana kenyataan itu tampil sebagai benda itu
sendiri

4. Masa Kini: Suatu Peneguhan Ilmu Yang Otonom


Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas perkembangan pemikiran
filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran besar: rasionalisme,
empirisme dan idealisme dengan mempertahankan wilayah-wilayah yang luas.
Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan abad kedelapan belas,
filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh banyak bermunculan
aliran-aliran baru dalam filsafat tetapi wilayah pengaruhnya lebih tertentu.
Akan tetapi justru menemukan bentuknya (format) yang lebih bebas dari corak
spekulasi filsafati dan otonom. Aliran-aliran tersebut antara lain: positivisme,
marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neo-kantianisme, neo-tomisme dan
fenomenologi.
Berkaitan dengan filosofi penelitian Ilmu Sosial, aliran yang tidak bisa
dilewatkan adalah positivisme yang digagas oleh filsuf A. Comte (1798-1857).
Menurut Comte pemikiran manusia dapat dibagi kedalam tiga tahap/fase,
yaitu tahap: (1) teologis, (2) Metafisis, dan (3) Positif-ilmiah. Bagi era manusia
dewasa (modern) ini pengetahuan hanya mungkin dengan menerapkan
metode-metode positif ilmiah, artinya setiap pemikiran hanya benar secara
ilmiah bilamana dapat diuji dan dibuktikan dengan pengukuran-pengukuran
yang jelas dan pasti sebagaimana berat, luas dan isi suatu benda. Dengan
demikian Comte menolak spekulasi “metafisik”, dan oleh karena itu ilmu
sosial yang digagas olehnya ketika itu dinamakan “Fisika Sosial” sebelum
dikenal sekarang sebagai “Sosiologi”. Bisa dipahami, karena pada masa itu
ilmu-ilmu alam (Natural sciences) sudah lebih “mantap” dan “mapan”,
sehingga banyak pendekatan dan metode-metode ilmu-ilmu alam yang
diambil-oper oleh ilmu-ilmu sosial (Social sciences) yang berkembang
sesudahnya.
Pada periode terkini (kontemporer) setelah aliran-aliran sebagaimana
disebut di atas munculah aliran-aliran filsafat, misalnya : “Strukturalisme”
dan “Postmodernisme”. Strukturalisme dengan tokoh-tokohnya misalnya Cl.
Lévi-Strauss, J. Lacan dan M. Faoucault. Tokoh-tokoh Postmodernisme
antara lain.J. Habermas, J. Derida. Kini oleh para epistemolog (ataupun dari
kalangan sosiologi pengetahuan) dalam perkembangannya kemudian, struktur
ilmu pengetahuan semakin lebih sistematik dan lebih lengkap (dilengkapi
dengan, teori, logika dan metode sain), sebagaimana yang dikemukakan
oleh Walter L.Wallace dalam bukunya The Logic of Science in Sociology. Dari
struktur ilmu tersebut tidak lain hendak dikatakan bahwa kegiatan
keilmuan/ilmiah itu tidak lain adalah penelitian (search dan research).
Demikian pula hal ada dan keberadaan (ontologi/metafisika) suatu ilmu
/sain berkaitan dengan watak dan sifat-sifat dari obyek suatu ilmu /sain dan
kegunaan/manfaat atau implikasi (aksiologi) ilmu /sain juga menjadi bahasan
dalam filsafat ilmu. Setidak-tidaknya hasil pembahasan kefilsafatan tentang
ilmu (Filsafat Ilmu) dapat memberikan perspektif kritis bagi ilmu /sain dengan
mempersoalkan kembali apa itu:pengetahuan?, kebenaran?, metode
ilmiah/keilmuan?, pengujian/verifikasi? dan sebaliknya hasil-hasil terkini dari
ilmu /sain dan penerapannya dapat memberikan umpan-balik bagi Filsafat
Ilmu sebagai bahan refleksi kritis dalam pokok bahasannya (survey of
sciences) sebagaimana yang dikemukakan olehWhitehead dalam bukunya
Science and the Modern World (dalam Hamersma, 1981:48).
Setiap pemikir mempunyai definisi berbeda tentang makna filsafat karena
pengertiannya yang begitu luas dan abstrak. Tetapi secara sederhana filsafat
dapat dimaknai bersama sebagai suatu sistim nilai-nilai (systems of values)
yang luhur yang dapat menjadi pegangan atau anutan setiap individu, atau
keluarga, atau kelompok komunitas dan/atau masyarakat tertentu, atau pada
gilirannya bangsa dan negara tertentu. Pendidikan sebagai upaya
terorganisasi, terencana, sistimatis, untuk mentransmisikan kebudayaan
dalam arti luas (ilmu pengetahuan, sikap, moral dan nilai-nilai hidup dan
kehidupan, ketrampilan, dll.) dari suatu generasi ke generasi lain.
Adapun visi, misi dan tujuannya yang ingin dicapai semuanya
berlandaskan suatu filsafat tertentu. Bagi kita sebagai bangsa dalam suatu
negara bangsa (nation state) yang merdeka, pendidikan kita niscaya dilandasi
oleh filsafat hidup yang kita sepakati dan anut bersama.
Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa (nation
formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state formation dan
nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman, pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi utama dari setiap bentuk
pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai (systems of values) yang
memberi warna dan menjadi “semangat zaman” (zeitgeist) yang dianut oleh
setiap individu, keluarga, anggota¬-anggota komunitas atau masyarakat
tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara nasional. Landasan filsafat
ini hanya dapat dirunut melalui kajian sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan
Indonesia.
Sebagai komparasi, di negara-negara Eropa (dan Amerika) pada abad ke-19
dan ke-20 perhatian kepada Sejarah Pendidikan telah muncul dari dan
digunakan untuk maksud-maksud lebih lanjut yang bermacam-macam, a.l.
untuk membangkitkan kesadaran berbangsa, kesadaran akan kesatuan
kebudayaan, pengembangan profesional guru-guru, atau untuk kebanggaan
terhadap lembaga-lembaga dan tipe-tipe pendidikan tertentu. (Silver, 1985:
2266).
Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam
tergantung kepada maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi pemikiran dan
para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistim pendidikan
beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan dalam
hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial
atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi,
dan gerakan-gerakan sosial. Sehubungan dengan MI semua Sejarah
Pendidikan erat kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah
sosial. (Silver, 1985: Talbot, 1972: 193-210)
Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah pengalihan (transmisi)
kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta
(estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam
setiap masyarakat atau bangsa. Oleh sebab itu sejarah dari pendidikan
mempunyai sejarah yang sama tuanya dengan masyarakat pelakunya sendiri,
sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai kepada
pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun
industri.
Selama ini Sejarah Pendidikan masih menggunakan pendekatan lama atau
“tradisional” yang umumnya diakronis yang kajiannya berpusat pada sejarah
dari ide-ide dan pemikir-pemikir besar dalam pendidikan, atau sejarah dan
sistem pendidikan dan lembaga-lembaga, atau sejarah perundang-undangan
dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. (Silver, 1985: 2266)
Pendekatan yang umumnya diakronis ini dianggap statis, sempit serta
terlalu melihat ke dalam. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan
dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul atau
ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam Sejarah
Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan
pendidikan kemudian. (Talbot, 1972: 206-207)
Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan
timbal balik antara pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara
pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang
merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan nasional. Produk dari
pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal);
masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya
(positif ataupun negatif) dirasakan terutama oleh masyarakat pemakai,
misalnya, timbulnya golongan menengah yang menganggur karena jenis
pendidikan tidak sesuai dengan pasar kerja; atau kesenjangan dalam
pemerataan dan mutu pendidikan; pendidikan lanjutan yang hanya dapat
dinikmati oleh anak-anak orang kaya dengan pendidikan terminal dari anak-
anak yang orang tuanya tidak mampu; komersialisasi pendidikan dalam
bentuk yayasan-yayasan dan sebagainya. Semuanya menuntut peningkatan
metodologis penelitian dan penulisan sejarah yang lebih baik danipada
sebelumnya untuk menangani semua masalah kependidikan ini.
D. Epistemologi Menurut Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemologi
adalah bagaimana mengetahui pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan
mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, Nabi Muhammad
SAWmengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi muslim dan
muslimat. Dalam hadisnya yang lainNabi MuhammadSAWmengatakan
bahwa menuntut ilmu itu dari ayunan sampai liang kubur. Dari
perkataanNabi MuhammadSAWtadi dapat dipahami bahwa menuntut ilmu
sangat penting bagi manusia. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa Allah akan
meninggikan derajat orang yang yakin dan berilmu,” Hai orang-orang beriman
apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”,
Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan
apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa menuntut ilmu
penting bagi manusia, karena dapat meningkatkan derajat manusia di sisi
Allah Swt dan di sisi manusia.
Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih
dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut,
metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang Agung,
menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagimana.
Pengetahuan dan kebenaran dalam Islam dapat diperoleh melalui
ilham,”Dan (ingatlah), Kebenaran dan pengetahuan dapat diperoleh manusia
melalui ilham yang langsung diberikan Allah kepadamanusia yang telah
dipilih-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam pengetahuan dan
kebenaran tidak harus melalui metode ilmiah, penelitian, tetapi dapat
langsung diperoleh manusia melalui ilham.
Dalam epistemologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu
dimulai dari panca indra. Dengan pengamatan & pengalaman dapat diperoleh
pengetahuan indrawi. Hal-hal ma’rifat dilakukan dengan dua cara : pemikiran
atau renungan seperti yang dilakukan para filosof muslim & kasyf ruhani
(tasawuf), seperti yang dilakukan oleh kaum sufi. Kesesuaian antara nalar &
infuisi membentuk esensi epistemologi Ibnu Thufail.
Menurut Mu’tazilah, pengetahuan ada dua macam, pengetahuan
inderawi & pengetahuan rasional. Pengetahuan inderawi diperoleh dengan
perantara pancaindera & pengetahuan rasional dicapai dengan
akal. Mu’tazilah mengambil alih pendapat Aristotelestentang sensasi (ihsas).
Pancaindera hanya dipandang sebagai alat untuk memperoleh rasa bagi jiwa.
Pancaindera tidak mengetahui sesuatu tetapi menerima bekas dari benda-
benda inderawi.
Bekas yang diterimanya tidak menjadi pengetahuan, kecuali dengan
perantaraan akal.Pengetahuan rasional diperoleh dengan jalan akal, yang
oleh Abu Al-Hudzail dan sebagainya sebagai potensi untuk memperoleh
pengetahuan. Fungsi akal ialah mentajrid (abstraksasi) kebenaran-kebenaran
spiritual & hal-hal inderawi & mengetahui hubungan satu sama lain.Selain itu
juga dapat memberikan petunjuk kepada manusia mengenai perbuatan-
perbuatan yang harus dilakukan.
Al-Kindi menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia, yaitu:
pengetahuan indrawi, pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan
akal yang disebut pengetahuan rasional dan pengetahuan yang diperoleh
langsung dari Tuhan yang disebut isyragi atau iluminatif.
- Pengetahuan Inderawi
Pengetahuan inderawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati
terhadap obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tengang waktu
& tanpa berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwirah), diterukan ketempat
penampungannya yang disebut Hafizhah ( ) pengetahuan yang diperoleh
dengan jalan ini tidak tetap karena objek yang diamati pun tidak tetap, selalu
dalam keadaan menjadi berubah setiap saat, bergerak, berlebih, berkurang
kuantitasnya & berubah-ubah pula kualitasnya.
- Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal
bersifat universal, tidak parsial & bersifat immaterial. Objek pengetahuan
rasional bukan individu tetapi genus & spesies. Orang mengamati manusia
sebagai yang berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit
putih atau berwarna yang semua ini menghasilkan pengetahuan inderawi.
Tetapi orang yang mengamati manusia, menyelidiki hakikatnya sehingga
sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk berpikir (rational
animal = hayawan nathig), telah memperoleh pengetahuan rasional yang
abstrak universal, mencakup semua individu manusia. Manusia yang telah
ditajrid (dipisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar yang terlukis
dalam perasaan.
- Pengetahuan Isyragi
Al-kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai
pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat-hakikat. Al-kindi, sebagaimana
halnya banyak filosof isyaragi, mengingatkan adanya jalan lain untuk
memperoleh pengetahuan lewat jalan isyragi (iluminasi), yaitu pengetahuan
yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Illahi. Puncak dari jalan ini
ialahdiperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran yang berasal dari
wahyu kepada umat manusia.
Sebagai uraian penutup pada poin ini, perlu dipahami bahwa
pengetahuan dalam Islam berawal dari sebuah keyakinan/ premis keyakinan.
Keyakinan akan kebenaran al-Quran sebagai sumber pengetahuan. Dikatakan
al-Quran sumber pengetahauan karena di antara fungsi al-Quran adalah
sebagai petunjuk dan pembeda antara yang hak dan yang batil.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa sumberdari pengetahuan
dalam Islam adalah wahyu. Dan untuk mendapatkan ilmu tersebut adalah
dengan mempergunakan panca indra dan akal yang kesemua kegiatan
tersebut dikendalikan oleh iman dan wahyu. Wahyu merupakan puncak
segala sumber pengetahaun yang merupakan manisfestasi dari firman Allah.

E. Epistemologi Ilmu Menurut Science Sekuler


Kata sekuler berasal dari bahasa Inggris yang berarti yang berarti
bersifat duniawi, fana, temporal yang tidak bersifat spiritual, abadi dan sacral,
kehidupan di luar biara, dan sebagainya. Dari arti kamus tersebut sekuler
dapat dipahami sebagai alur pemikiran yang membebaskan diri dari hal-hal
yang bersifat religi dan berkecenderungan kepada hal-hal yang bersifat
duniawi dan kebendaan. Harun Nasution mengatakan bahwa kata
sekulerisme dan sekulerisasi berasal dari bahasa latin, saeculum yang berarti
abad, sekuler berarti seabad. Seperti permainan yang terjadi sekali dalam
seabad.
Sekuler mengandung arti sebagai hal yang bersifat duniawi, berarti
segala kegiatannya, apakah dibidang pendidikan, pekerjaan, profesi dan lain
sebagainya tidak ada hubungannya dengan agama. Segala akibat dan
permasalahan yang mungkin timbul tidak ada sangkut pautnyadengan ajaran
agama maupun kepercayaan yang bersifat spiritual.
Wilson mengatakan bahwa sekulerisasi adalah cara hidup yang
memisahkan agamadengan urusan Negara, sedangkan sekuleris adalah orang
yang berpegang pada sekulerisme dan memparktekkan sekulerisasi dalam
kehidupan berbagnsa dan bernegara.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa kehidupan meliputi
berbagai aspek kehidupan individu, masyarakat, berbangsa,bernegara,
pendidikan dan sektor kehidupan lainnya. Sekulerisme berusaha
membebaskan manusia dari pemikiran yang terkait dengan keagamaan dan
metafisika. Pemikiran sekuler berusaha membebaskan manusia dari hal-hal
yang bersifat ukhrowi dan memfokuskan diri kepada hal-hal yang bersifat
duniawi dan materi belaka.
Pada awalnya ajaran sekuler lahir dari gerakan protes terhadap social
dan politik. Istilah sekuler pertama kali diperkenalkan oleh George Jacub
Holyoake pada tahun 1846 Masehi. Meskipun GJ. Holyoake pada awalnya
mendapatkan pendidikan keagamana, tetapi karena keadaan sosial politik
pada waktu ia masih remaja telah merubah dirinya menjadi seorang yang
sekuler sehingga akhirnya ia dijuluki sebagai bapak sekulerisme.
Dari uraian tersebut terindikasi bahwa seseorang yang agamis pun
dapat menjadi orang yang sekuler sejati tatkala tidak mampu mengendalikan
diri dan tidak mempunyai kesabaran dan keimanan yang kuat. Kesabaran dan
keimanan yang kuat akan membentengi seseorang dari sekulerisme.
Sekulerisme mengalami puncak keesktriman pada pemikiran
materialisme historis. Kemudian pada masa sekuleris memoderat agama
dianggap sebagai masalah pribadi. Dari kutipan tersebut tergambar bahwa
sekulerisme erat kaitannya dengan materialisme dalam dunia filsafat. Dalam
pandangan filsafat sekuler prinsip moralitas alamiah, bebas dari wahyu dan
supranatural harus dienyahkan dari pemikiran manusia, pemikiran sekuler
harus mengedepankan pengetahuan yang berdsarkan kebenaran ilmiah,
kebenaran yang bersifat sekuler tanpa ada hubungannya dengan agama
maupun metafisika.
Sekulerisme lahir dari sebuah pertentangan antara ilmu dan
agamakristen. Ilmu mengedepankan independensinya yang mutlak, sehingga
bersifat sekuler. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui metode ilmiah telah
meghasilkan kemajuan kemajuan ilmu-ilmu sekuler seperti matematika,
fisika, dan kimia telah berhasil membawa kemajuan bagi kehidupan manusia.
Anggapan ini terdapat kelemahan karena menafikan aspek kemanusiaan dan
nilai moral religi. Dengan landasan ilmiah dan akal mereka mengusulkan agar
kebenaran ilmiah menjadi dasar darietika bukan etika yang menjadi dasar
ilmiah.Pemikiransekuler sangat anti terhadapagama dan lebih
mengedepankan aspek rasio dan kecerdasan,berdasarkan prisnsip
kemampuan rasio dan kecerdasan mereka menganggap bahwa ilmu
pengetahuan mampu mengajarkan aturan-aturan yang berkenaan dengan
kebahagiaan. Ilmu menurut paham sekulerisme mampu menghilangkan
kebejatan moral dan menghilangkan kemiskinan. Keyakinan bahwa ilmu
pengetahuan dapat menghasilkan kebahagiaan, situasi yang mapan dan
banyaknya materi dapat menghilangkan kebejatan moral dan menghilangkan
kemiskinan adalah suatu kebohongan dan sesuatu prinsip yang tidak dapat
dipertangungjawabkan secara ilmiah. Dari pendapat mereka sebenarnya
paham sekulerisme telah membantah dirinya sendiri.
Menurut aliran rasionalisme kebenaran dapat dikatakan benar jika
sesuai dengan kenyataan, jadi sesuatu yang dianggap benar harus sesuai
dengan kenyataan atau dapat dibuktikan, kalau sesuatu itu tiudak dapat lihat
secara nyata maka hal tersebut tidak dianggap benar karena tidak sesuai
dengan kenyataan. Aliran ini juga berpendapat bahwa pengalaman dan
pengamatan bukan jaminan untuk mendapatkan kebenaran.
Para rasionalisme berprinsip bahwa sumber pengetahuan adalah akal
budi. Akal budi akan mampu menemukan kebenaran dan pengetahuan yang
akan secara terus menerus mencari kebenaran hingga ke akar permasalahan.
Aliran ini berusaha menghilangkan aspek pengamatan inderawi sebagai alat
untuk mendapatkan kebenaran, tetapi mereka lebih mengunggulkan akal
untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan.
Epistemologi sains dalam pandangan sekuler mencoba mencari
kebenaran dengan metode ilmiah. Metode ini dianggap valid dalam
menemukan kebenaran. Dengan metode ilmiah mereka mendapatkan ilmu.
Ilmu dapat dikatakan sebagai ilmu kalau telah memenuhi metode ilmiah.
Pengetahaun dapat dikatakan sebagai ilmu jika telah memenuhi kaidah
ilmiah. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara kerja pikiran.
Sehingga nantinya akan menghasilkan pengetahuan yang memenuhi syarat-
syarat ilmiah. Metode ilmiah berusaha menggabungkan cara berfikir deduktif
dan induktif. Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa metode ilmiah
menggabungkan pemikiran deduktif dan induktif. Penalaran deduktif mengacu
kepada rasionalisme sedangkan induktif mengacu kepada empirisme.
Untuk lebih memperjelas uraian tersebut akan dipaparkan lebih lanjut
sebagai berikut: aliran rasionalisme menyatakan bahwa akal adalah dasar
kepastian pengetahuan, pengetahuan yang benar dapat diperoleh dan diukur
dengan akal manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh pengetahuan
dan kebenaran.
Rasionalisme beranggapan bahwa pengalaman atau pengamatan bukan
jaminan untuk mendapatkan kebenaran. Karena menurut mereka realitas
yang dapat dicapai validitasnya dapat dicapai tanpa bantuan dari empirisme.
Sebagai argumen mereka adalah dengan menerapkan pola pikir deduksi dan
intuisi. Yang kedua pola pemikiran tersebut tidak memerlukan metode
empirisme.
Rasionalisme juga berprinsip bahwa sumber pengetahuan berasal dari
akal budi. Rasionalitas yang dipunyai manusia akan menalar, menemukan
sumber-sumber ilmu pengetahuan baru, dan menggagas kebenaran yang
berasal dari rasio dan akal budi.
Empirisme berarti pengelaman indrawi. Aliran ini mempercayai bahwa
indrawi manusia sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah
yang berhubungan dengan dunia dan pengalaman batiniah yang berhubungan
dengan pribadi manusia.
Dalam pandangan sekuler pengetahuan berawal dari keraguan, dengan
keraguan tersebut manusia berusaha membangun sebuah pengetahuan, yang
mereka teliti dengan kerangaka berfikir ilmiah, dengan pola deduktif maupun
induktif.
METODE ILMIAH
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan
yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat
metode ilmiah. Metode, menurut Senn, merupakan prosedur atau cara
mengetahui sesuatu, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis.
Metodologi ilmiah merupakan pengkajian dalam mempelajari peraturan-
peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan
pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.
Proses kegiatan ilmiah, menurut Riychia Calder, dimulai ketika
manusia mengamati sesuatu. Secara ontologis ilmu membatasi masalah yang
diamati dan dikaji hanya pada masalah yang terdapat dalam ruang lingkup
jangkauan pengetahuan manusia. Jadi ilmu tidak mempermasalahkan tentang
hal-hal di luar jangkauan manusia. Karena yang dihadapinya adalah nyata
maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata
pula. Einstein menegaskan bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri
dengan fakta, apapun juga teori-teori yang menjembatani antara keduanya.
Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat
dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di
mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.
Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesusaian
dengan obyek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun
meyakinkannya, harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.
Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris
dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional, ilmu
menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara
empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang
tidak.
KEBENARAN PENGETAHUAN
Jika seseorang mempermasalahkan dan ingin membuktikan apakah
pengetahuan itu bernilai benar, menurut para ahli estimologi dan para ahli
filsafat, pada umumnya, untuk dapat membuktikan bahwa pengetahuan
bernilai benar, seseorang harus menganalisa terlebih dahulu cara, sikap, dan
sarana yang digunakan untuk membangun suatu pengetahuan. Seseorang
yang memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indera akan berbeda cara
pembuktiannya dengan seseorang yang bertitik tumpu pada akal atau rasio,
intuisi, otoritas, keyakinan dan atau wahyu atau bahkan semua alat tidak
dipercayainya sehingga semua harus diragukan seperti yang dilakukan oleh
faham skeptisme yang ekstrim di bawah pengaruh Pyrrho.
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang kebenaran, antara lain
sebagai berikut:
1. The correspondence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran atau
keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu
pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya.
2. The consistence theory of truth. Menurut teori ini, kebenaran tidak dibentuk
atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau
realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan
kata lain bahwa kebenaran ditegaskan atas hubungan antara yang baru itu
dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kita akui
benarnya terlebih dahulu.
3. The pragmatic theory of truth. Yang dimaksud dengan teori ini ialah bahwa
benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung
kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia
untuk bertindak dalam kehidupannya.
Dari tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah
kesesuaian arti dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang
telah kita akui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori
tersebut bagi kehidupan manusia.
Sedangkan nilai kebenaran itu bertingkat-tingkat, sebagai mana yang
telah diuraikan oleh Andi Hakim Nasution dalam bukunya Pengantar ke
Filsafat Sains, bahwa kebenaran mempunyai tiga tingkatan, yaitu haq al-
yaqin, ‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin. Adapun kebenaran
menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1. Kebenaran wahyu
2. Kebenaran spekulatif filsafat
3. Kebenaran positif ilmu pengetahuan
4. Kebenaran pengetahuan biasa.
Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak
benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif,
mungkin benar dan mungkin salah. Jadi, apa yang diyakini atas dasar
pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita
yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu
benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan.
Karena itu, kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan. Itulah sebabnya ilmu
pengetahan selalu berubah-rubah dan berkembang.

BAB III
PENUTUP
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia
merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara
memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan.
sumberdari pengetahuan dalam Islam adalah wahyu. Dan untuk
mendapatkan ilmu tersebut adalah dengan mempergunakan panca indra dan
akal yang kesemua kegiatan tersebut dikendalikan oleh iman dan wahyu.
Wahyu merupakan puncak segala sumber pengetahaun yang merupakan
manisfestasi dari firman Allah.
Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih
dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut,
metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang Agung,
menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagimana.
Sedangkan nilai kebenaran itu bertingkat-tingkat, sebagai mana yang
telah diuraikan oleh Andi Hakim Nasution dalam bukunya Pengantar ke
Filsafat Sains, bahwa kebenaran mempunyai tiga tingkatan, yaitu haq al-
yaqin, ‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin. Adapun kebenaran
menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1. Kebenaran wahyu
2. Kebenaran spekulatif filsafat
3. Kebenaran positif ilmu pengetahuan
4. Kebenaran pengetahuan biasa.

http://sakriahakka.blogspot.com/2012/07/filsafat-ilmu.html

Anda mungkin juga menyukai