Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Seorang

remaja sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai kanak - kanak, namun ia masih

belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Ia sedang mencari pola hidup

yang paling sesuai baginya dan inipun sering dilakukan melalui metoda coba-coba

walaupun melalui banyak kesalahan. Kesalahan yang dilakukannya sering

menimbulkan kekuatiran serta perasaan yang tidak menyenangkan bagi

lingkungan dan orangtuanya. Sedangkan kekerasan adalah sebuah tindakan yang

mengacu pada sikap atau perilaku yang tidak manusiawi, sehingga dapat

menyakiti orang lain yang menjadi korban kekerasan dan juga merugikan orang

lain.

Kekerasan remaja merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Ini

mencakup berbagai tindakan dari bullying dan fighting secara fisik ataupun

seksual hingga bahkan yang lebih parah adalah pembunuhan.

Menurut hasil penelusuran Prof. Dr. Endang Ekowarni terkait kondisi

psikologis anak yang berisiko melakukan agresivitas, banyak ditemukan remaja

tidak paham mengenai hukum. Mereka tidak paham risiko, maupun dampak yang

muncul akibat perbuatannya. Ketidakpahaman mengenai hukum, menjadi salah

satu penyebab dari terjadinya kekerasan pada remaja.

1
Data UNICEF tahun 2016 menunjukkan bahwa kekerasan pada sesama

remaja di Indonesia diperkirakan mencapai 50 persen. Sedangkan dilansir dari

data Kementerian Kesehatan RI 2017, terdapat 3,8 persen pelajar dan mahasiswa

yang menyatakan pernah menyalahgunakan narkotika dan obat berbahaya.

Keterbatasan data terkait kekerasan pada remaja, maupun kurangnya upaya

sistemik untuk monitoring ataupun intervensi pencegahan penyimpangan perilaku

pada remaja masih menjadi permasalahan bersama. Saat ini upaya penguatan

regulasi dan penegakan hukum sudah dilakukan, akan tetapi dirasakan belum

cukup efektif untuk pencegahan jangka panjang terjadinya kekerasan berulang.

Faktor yang dapat meningkatkan terjadinya kekerasan remaja sangat

kompleks, meliputi diri remaja sendiri, keluarga, dan komunitas atau negara.

Faktor risiko dalam diri individu remaja meliputi sifat hiperaktif, impulsif, agresif,

kontrol perilaku yang buruk, kurang perhatian, keterlibatan awal atau kecanduan

alkohol, obat-obatan dan rokok, keyakinan aneh, dan bersikap anti sosial.

Rentang usia remaja menurut WHO merupakan penduduk berusia 10-19

tahun, sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 25 tahun 2014

remaja ialah penduduk berusia 10-18 tahun. Di Indonesia, usia 10-19 tahun

merupakan hampir seperlima dari total penduduk. Di masa mendatang, mereka

menjadi penggerak utama ekonomi dan perubahan sosial sehingga perlu menjadi

fokus perhatian dan titik intervensi yang strategis bagi pembangunan sumber daya

manusia di masa depan, terutama dalam penanganan masalah kekerasan remaja.

(PKPR)

2
Remaja umur 15-19 tahun lebih suka berdiskusi atau curhat dengan teman

sebaya. Berdasarkan hal tersebut, edukasi tentang kesehatan jiwa kepada remaja

menjadi salah satu langkah penting dalam deteksi dan penanganan masalah

kererasan remaja. Edukasi kesehatan jiwa ini terfokus pada pemberdayaan remaja

sebagai kader dalam mendeteksi, menjaga, dan mengoptimalkan kondisi mental

untuk menjalani kehidupan sehari-hari. (PKPR)

1.2 Identifikasi Masalah

1. Kurangnya pengetahuan remaja mengenai hukum serta dampak dari

kekerasan remaja

2. Kurangnya penyuluhan tentang kekerasan remaja

3. Tidak ada tenaga kader remaja untuk melakukan deteksi dini kekerasan

pada remaja

1.3 Prioritas Masalah

Untuk menentukan prioritas masalah perlu dilakukan untuk

menentukan masalah mana yang perlu mendapat perhatian lebih dari masalah

lainnya salah satu metodenya adalah metode Urgency, Seriousness, Growth

(USG).

Tabel 1.2 Kriteria penentuan prioritas masalah dengan metode USG

U Urgency Tingkat kepentingan yang mendesak


Tingkat kesungguhan, bukan dengan
S Seriousness
waktu penanganan masalah
G Growth Tingkat perkiraan dan bertambah

buruknya keadaan pada saat masalah

3
mulai terlihat sesudahnya

Tabel 1.3 Penilaian Kriteria USG

Nila Kriteria
Urgency Seriousness Growth
i
5 Sangat urgen Sangat serius Sangat tumbuh
4 Cukup urgen Cukup serius Cukup
3 Urgen Serius Tumbuh
2 Kurang urgen Kurang serius Kurang tumbuh
Sangat kurang
1 Sangat kurang urgen Sangat kurang serius
tumbuh
Keterangan: Nilai tertinggi ditetapkan sebagai prioritas masalah.
Berikut adalah penerapan analisis USG yang dilakukan pada prioritas
masalah-masalah yang didapatkan:

Tabel 1.4 Prioritas Masalah

No Kriteria
Masalah Pokok Total Ranking
. U S G

1 Kurangnya pengetahuan

remaja mengenai hukum serta 4 4 4 12 1

dampak dari kekerasan remaja


2 Kurangnya penyuluhan
2 2 3 7 3
tentang kekerasan remaja
3 Tidak ada tenaga kader remaja

untuk melakukan deteksi dini 3 3 2 8 2

kekerasan pada remaja

Dengan menjumlah (U+S+G), nilai tertinggi ditetapkan sebagai prioritas

masalah. Berdasarkan data tersebut diatas, diperlukan adanya tindak lanjut

4
terhadap permasalahan tingkat kesadaran remaja tentang pentingnya kesehatan

jiwa. Penting untuk diadakan sosialisasi ke remaja setempat untuk memberi

motivasi dan membangun inisiatif agar terbentuk tim kader jiwa yang siap untuk

membantu mendeteksi masalah kekerasan pada remaja.

1.4 Analisis Penyebab Masalah dan Alternatif Pemecahan Masalah

Alternatif Pemecahan
Masalah Penyebab Masalah
Masalah
Tingkat  Pengetahuan remaja mengenai a. Penyuluhan kekerasan

kesadaran kekerasan remaja masih kurang. remaja

remaja  b. Konseling mengenai

tentang kekerasan remaja


 Tidak ada kader remaja untuk a. Melakukan pelatihan
pentingnya
deteksi dini kekerasan pada remaja untuk menjadi
kesehatan
remaja kader yang siap
jiwa
mendeteksi kekerasan

remaja
 Perencanaan Tingkat Puskesmas a. Kerjasama lintas program

sudah ada namun belum optimal b. Pengadaan lokakarya

 Lokakarya mini lintas program c. Penyuluhan dan sosialisasi

dan lintas sektor belum terlaksana kesehatan jiwa dan deteksi

 Evaluasi tingkat puskesmas belum dini gangguan jiwa secara

optimal berkala

5
1.5 Tujuan Kegiatan

1.5.1 Tujuan Umum

Melaksanakan kegiatan internsip berupa mini project sebagai Usaha

Kesehatan Masyarakat (UKM) di Puskesmas Cisaat, Kabupaten Sukabumi.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui tingkat pengetahuan remaja tentang kekerasan remaja

2. Meningkatkan kemampuan tenaga kader remaja dalam mendeteksi

kekerasan remaja

2.1 Manfaat Penelitian

2.1.1 Manfaat Bagi Puskesmas

Program ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah khususnya

terkait dengan kesehatan jiwa pada remaja sehingga diharapkan dapat membantu

puskesmas untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan jiwa masyarakat, yang

akhirnya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan..

Program ini juga diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan untuk

program selanjutnya, khususnya dalam rangka peningkatan tingkat pengetahuan,

cara deteksi dini, serta pengawasan korban kekerasan remaja pada penduduk

Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi.

2.1.2 Manfaat Bagi Masyarakat

Program ini diharapkan dapat menambah wawasan dan kepedulian remaja

terhadap kesehatan jiwa, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan remaja

mengenai cara mendeteksi dini kekerasan remaja.

6
2.1.3 Manfaat Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengalaman yang berguna dalam

menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh sebelum internsip.

BAB II

PEMBAHASAN

Kekerasan remaja merupakan masalah kesehatan masyarakat global.

Kekerasan remaja mencakup berbagai tindakan dari bullying dan fighting

(perkelahian remaja), serta kekerasan seksual hingga bahkan yang lebih parah

adalah pembunuhan. Kekerasan remaja memiliki dampak serius karena sering kali

berlangsung seumur hidup, tidak hanya pada aspek medis, tetapi juga pada fungsi

psikologis dan sosial.1

2.1. Perilaku Bullying

2.1.1. Arti Perilaku Bullying

Bullying adalah sebuah istilah dan isu yang telah

7
mendapatkan perhatian serius selama kurang lebih 20 tahun

belakangan ini. Masih banyak siswa di sekolah yang tidak

memahami pengertian dan dampak yang dapat ditimbulkan dari

perilaku bullying. Terdapat suatu fenomena dimana banyak

siswa tidak menyadari dirinya sedang menjadi pelaku, atau

bahkan korban bullying. Untuk itu, langkah awal yang harus

diambil adalah memahami terlebih dahulu pengetian dari

bullying itu sendiri.

Perilaku bullying berpotensi dan terdapat pada siapa saja.

Perilaku bullying pada masa kanak-kanak berawal dari ejekan-

ejekan biasa yang memang tidak bisa dihindari dalam proses

pembentukan perilaku dalam berhubungan dengan teman

sebaya. Jika ejekan berubah bentuk dan sudah menjadi celaan

dan hinaan, maka dari situlah dapat dikatakan berbahaya. Anak

belajar menggunakan kekuasaannya untuk menyerang orang

lain. Bentuknya dapat berbagai macam dan jika tindakannya

membuat anak yang lain menjadi takut dan tidak tahu berbuat

apa, maka kondisi tersebut menjadi suatu masalah yang serius

dan mempermudah awal terjadinya perilaku bullying.

Trigg dalam Media Indonesia (2006), mengatakan bahwa

bullying merupakan penggunaan kekuasaan atau kekuatan

untuk menyakiti seseorang atau kelompok, sehingga korban

merasa tertekan, trauma dan tak berdaya. Penggunaan

8
kekuasaan tersebut dilakukan berulang-ulang, baik dengan

sasaran korban yang sama ataupun berbeda.

Papalia, et al. menyatakan bahwa bullying adalah perilaku

agresif yang disengaja dan berulang untuk menyerang target

atau korban, yang secara khusus adalah seseorang yang lemah,

mudah diejek dan tidak bisa membela diri. Riauskina et al.

mencoba mengartikan bullying dengan membatasi konteksnya

dalam school bullying. Mereka mendefinisikan school bullying

yaitu sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang

oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan,

terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan

menyakiti orang tersebut.

Olweus et al. menyebutkan definisi yang lebih lengkap tentang

bullying. Bullying adalah salah satu bentuk agresi yang

ditujukan untuk menyakiti atau menyebabkan gangguan pada

korban. Hal ini terjadi akibat adanya perbedaan kekuasaan atara

pelaku dengan korban. Perilaku dapat dikatakan bullying bila

hal itu terjadi secara berulang. Perilaku bullying muncul

bukanlah karena hasil provokasi melainkan muncul dari

keinginan pelakunya.

Newman, Horne & Bartolomucci (Orpinas, 2006:14-15)

mengatakan mengenai perilaku bullying sebagai berikut:

Bullying may be considered a subset of aggression.

9
Characterized by what is sometimes refered to as “double I and

R” (Imbalance of power, Intentional acts and Repeated over

time), the bully is more powerfull than the victim and commits

aggressive behaviors intentionally and repeatedly over tim.

Seperti yang sudah disampaikan diatas, Orpinas (2006: 14-16)

mengatakan bahwa bullying merupakan bagian dari perilaku agresi.

Adapun perbedaan dan persamaan antara bullying dengan agresi menurut

Orpinas antara lain:

Tabel 1.

Perbedaan dan Persamaan Bullying dengan Agresi

Bullying Agresi

Tindakan dilakukan untuk


Tindakan berpotensi untuk

Tujuan menyerang dan merendahkan melukai orang lain

orang lain

Orang lain, baik sendiri Orang lain maupun benda


Objek
maupun kelompok mati

Dengan atau tidak ada alasan,

Alasan tindakan tetap dilakukan untuk Ada niat untuk mencederai

menyerang dan merendahkan atau melukai orang lain

orang lain

10
Fisik, verbal, relasional, Fisik, verbal, relasional,
Bentuk
seksual seksual

Peran Pelaku, korban dan penonton Pelaku, korban dan penonton

Ada kecenderungan untuk

mengulang terus menerus


Pengulangan Hanya kepada objek pada

dengan objek yang sama saat tindakan terjadi..

maupun berbeda

Pamela Orpinas (2006:14-16)

Menurut Bangu (2007), kata bullying dipakai untuk

menguraikan suatu tindakan yang destruktif. Bullying berasal

dari kata bull yang dapat berarti menyeruduk kesana kemari.

Secara umum, bullying menggambarkan suatu bentuk agresi

yang di dalamnya terdapat kekuatan yang tidak seimbang antara

pelaku dan korbannya. Bullying tidaklah sama dengan

occasional conflict atau pertengkaran biasa yang umum terjadi

pada anak. Konflik pada anak adalah normal dan membuat anak

belajar cara bernegosiasi dan bersepakat satu sama lain.

Bullying merujuk pada tindakan yang bertujuan menyakiti dan

dilakukan secara berulang.

Ketika peristiwa bullying terjadi, ada beberapa unsur yang

terlibat di dalamnya. Menurut Coloroso (2007 : 44), ketika

peristiwa bullying terjadi, maka sesungguhnya akan selalu

11
melibatkan unsur-unsur berikut ini:

1. Ketidakseimbangan kekuatan.

Para pelaku bullying selalu lebih kuat dari korban bullying.

Hal ini membuat perilaku bullying dapat terjadi berulang kali,

karena sang pelaku memiliki kekuatan yang tidak bisa

diimbangi oleh korban maupun lingkungannya.

2. Kesengajaan

Tindakan bullying dapat dilakukan dengan niat untuk

mencederai. Jika pelaku dapat melakukan tindakan yang

melukai orang lain, maka akan menimbulkan rasa senang di

hati sang pelaku saat menyaksikan luka tersebut.

3. Pengulangan

Tindakan bullying dilakukan berulang kali. Pelaku maupun korban

bullying

mengetahui bahwa penindasan dapat dan mungkin akan terjadi kembali.

4. Teror.

Bullying adalah kekerasan sistematik yang digunakan untuk

mengintimidasi dan memelihara dominasi. Teror yang menusuk

tepat di jantung korban bullying bukan hanya merupakan

sebuah cara untuk mencapai tujuan bullying, teror itulah yang

12
menjadi tujuan penindasan.

Berdasarkan pendapat para ahli yang sudah tersebut di atas,

penulis menyimpulkan bahwa perilaku bullying merupakan suatu tindakan

yang menggunakan kekuasaan atau kekuatan yang ada dalam diri untuk

menyerang dan merendahkan seseorang atau kelompok lain yang

lebih lemah supaya seseorang atau kelompok tersebut menjadi tertekan

serta tidak berdaya. Perilaku tersebut dilakukan tidak hanya sekali

melainkan berulang-ulang terhadap sasaran korban yang sama ataupun

berbeda. Prinsip yang serupa dalam setiap pengertian dari para ahli yaitu

adanya niat untuk merendahkan orang lain, dan pengulangan perilaku yang

terus-menerus. Semakin korban tidak berdaya menghadapi serangan atau

perlakuan negatif yang diberikan kepadanya maka para pelaku akan

mendapatkan kesenangan. Pelaku juga akan melakukan serangan kembali

dengan tingkat yang semakin tinggi pula.

2.1.2. Jenis-Jenis Perilaku Bullying

Perilaku bullying oleh Coloroso (2007: 46-52)

dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu verbal, fisik dan

relasional. Masing-masing dapat menimbulkan akibat atau

dampak sendiri. Ketiga jenis kategori tersebut kerap

membentuk kombinasi untuk menciptakan serangan yang lebih

kuat. Ketiga jenis perilaku tersebut adalah :

1. Verbal

13
Kata-kata adalah alat yang kuat dan dapat mematahkan

semangat seorang anak yang menjadi sasaran perkataan.

Kekerasan verbal adalah bentuk bullying yang paling umum

digunakan, baik anak perempuan maupun anak laki-laki.

Persentasenya dilaporkan mencapai 70 persen dari seluruh

kasus kekerasan jenis ini. Kejadiannya cepat dan tidak

meninggalkan bekas bagi sang pelaku bullying, namun dapat

sangat melukai korbannya. Anak- anak yang lebih muda, yang

belum mengembangkan suatu kesadaran diri secara tepat,

merupakan pihak paling rentan terpengaruh terhadap hal ini.

Serangan secara berulang dapat mengecilkan setiap anak dan

tidak peduli berapa pun usianya.

Jika tindak kekerasan verbal dibolehkan atau diterima,

bullying verbal akan menjadi sesuatu yang dianggap wajar.

Sekali seorang anak telah direndahkan martabatnya, maka anak

itu akan lebih mudah diserang tanpa perlu menimbulkan rasa

iba dari orang lain yang berada dalam jarak radius pendengaran.

Ragam bentuk bullying verbal antara lain berupa julukan nama,

celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan (baik yang bersifat

pribadi maupun rasial), pernyataan-pernyataan bernuansa

ajakan seksual atau pelecehan seksual, hinaan yang diikuti

dengan perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon

yang kasar, e-mail yang mengintimidasi, surat-surat kaleng

14
yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan yang tidak

benar, kasak-kusuk yang keji dan keliru, serta gosip yang tidak

benar.

2. Fisik

Bullying fisik merupakan jenis yang paling tampak dan

paling dapat diidentifikasi di antara bentuk-bentuk penindasan

lainnya, namun kejadian kekerasan fisik hanya sepertiga dari

peristiwa bullying yang dilaporkan oleh anak-anak (Coloroso,

2007: 47-48).. Bentuk-bentuk bullying fisik antara lain

memukuli, mencekik, menyikut, meninju, menendang,

menggigit, memithing, mencakar serta meludahi anak yang

ditindas; menekuk anggota tubuh anak yang ditindas hingga ke

posisi yang menyakitkan, dan merusak serta menghancurkan

pakaian serta barang-barang milik anak yang menjadi korban.

Semakin kuat dan semakin dewasa sang pelaku, semakin

berbahaya jenis dan dampak serangan ini.

3. Relasional

Jenis perilaku ini merupakan yang paling sulit dideteksi

dari luar. Jenis bullying relasional adalah pelemahan harga diri

si korban bullying secara sistematis melalui pengabaian,

pengucilan, pengecualian ataupun penghindaran. Penghindaran

yang merupakan suatu tindakan penyingkiran merupakan alat

yang paling kuat. Anak yang digunjingkan mungkin bahkan

15
tidak mendengar gosip itu, namun akan tetap akan mengalami

efeknya. Bullying relasional dapat digunakan untuk

mengasingkan atau menolak seorang teman atau secara sengaja

ditujukan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat

mencakup sikap-sikap tersembunyi seperti pandangan yang

agresif, lirikan mata yang tajam, helaan napas, bahu yang

bergidik, cibiran, tawa yang mengejek dan bahasa tubuh yang

kasar. Bullying relasional mencapai puncak kekuatannya di

awal masa remaja, saat terjadi perubahan-perubahan fisik,

mental, emosional dan seksual. Ini adalah saat remaja mencoba

untuk mengenali dan menyesuaikan diri dengan rekan- rekan

sebaya mereka.

Jenis bullying relasional ini di berbagai sumber yang lain

dinamai secara berbeda. Ada ahli yang menyebutkan jenis ini

dengan bullying psikologis, emosional, dan bullying verbal

tidak langsung. Pemberian nama tersebut merujuk pada hal

yang sama yaitu jenis bullying yang bertujuan untuk

memberikan tekanan dan merendahkan harga diri korban.

Wujud dari jenis bullying relasional tersebut, seperti yang sudah

tersebut di atas yaitu: menyebarkan teror, pengucilan dari

lingkungan, pemberian cap buruk, menyebarkan cerita-cerita

tertentu dengan maksud merendahkan korban, dan yang lain

sebagainya.

16
Orpinas (2006 : 25) menambahkan salah satu jenis perilaku

bullying yaitu pelecehan seksual. Wujud perilaku tersebut

adalah pemerkosaan, pemaksaan untuk melakukan tindakan

seksual, dipaksa untuk mencium atau memegang sesuatu yang

bersifat seksual, dan pelecehan seksual lainnya. Terkadang

perilaku ini dapat dikategorikan sebagai perilaku agresi fisik

atau verbal.

Dari ketiga jenis perilaku bullying yang telah disebutkan di

atas yaitu: verbal, fisik dan relasional, didapatkan bahwa

bullying verbal adalah salah satu jenis bullying yang paling

mudah dan sering tanpa sadar dilakukan. Siapa saja dapat

dengan mudah melakukan jenis bullying tersebut. Jenis bullying

verbal ini kerap menjadi pintu masuk menuju ke bentuk

perilaku bullying lainnya serta dapat menjadi langkah pertama

menuju pada kekerasan yang lebih kejam dan merendahkan

martabat.

2.2. Fighting (Perkelahian Remaja)

Perkelahian pelajar (tawuran) merupakan perilaku

kekerasan terbuka (overt) yang dilakukan oleh sekelompok

pelajar (croud). Perkelahian pelajar terjadi anatar lain karena rasa

setia kawan, balas dendam, salah paham, merasa terusik ataupun

sebab-sebab sepele lainnya.

17
Pemicu aksi tawuran biasanya berawal dari

ketersinggungan salah satu pihak yang kemudian berbuntut

tindak kekerasan. Sebagai akibatnya, muncul aksi solidaritas

sesama teman untuk melakukan aksi balasan yang muncul lebih

keras dari pada aksi pertama. Begitu aksi kekerasan susulan tidak

diselesaikan, dapat muncul kekerasan berikutnya. Di lingkungan

pelajar, kasus tawuran bahkan merenggut korban jiwa, karena

berakibat fatal bagi korban, kasus perkelahian pelajar diusut oleh

pihak yang berwajib.

Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya agresivitas dalam

kelompok-kelompok pelajar antar sekolah antara lain :

1. Frustasi dalam waktu yang lama

2. Tersinggung

3. Dirugikan

4. Ada ancaman dari luar

5. Diperlakukan secara tidak adil

6. Menyangkut bidang-bidang kehidupan yang sensitif.

Tinjauan psikologis penyebab remaja terlibat perkelahian pelajar:

1. Faktor internal

Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu

melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks

menyangkut keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat

ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin

18
lama makin beragam.

2. Faktor keluarga

Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan jelas berdampak pada

anak. Ketika meningkat remaja, anak belajar bahwa kekerasan

adalah bagian dari dirinya. Sehingga adalah hal yang wajar

jika ia melakukan kekerasan pula.

3. Faktor sekolah

Lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk

belajar akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan

kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru

setelah itu masalah penddikan dimana seorang guru

memainkan peranan penting. Sayangnya, guru lebih berperan

sebagai penghukum dan pelaksana aturan serta tokoh

otoriteryang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan

untuk mendidik siswanya (walau dalam bentuk yang berbeda).

4. Faktor lingkungan

Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari

dialami remaja juga mmbawa dampak terhadap munculnya

perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan

kumuh, anggota keluarga berprilaku buruk, begitu pula sarana

transportasi umum yang menomorsekiankan perlajar.

2.3. Kekerasan seksual

19
Kencan atau pacaran adalah bagian dari perkembangan

kehidupan normal seseorang. Namun jika kencannya eksklusif,

maka nampaknya hubungan seksual sudah terjadi. Seringkali

mereka sulit meninggalkan pasangannya karena merasa telah

melampaui hubungan yang lebih dekat. Sehingga meski

kekerasan terjadi (verbal, seksual, maupun fisik) individu

tersebut tidak juga beranjak pergi dari pacarnya.

Anak yang cepat memulai hubungan pacaran, kebanyakan

merupakan anak yang hubungan dengan orangtuanya tidak dekat.

Kebutuhannya akan perlekatan dialihkan pada orang lain. Remaja

yang memulai seks dini, lebih banyak tidak menggunakan

pengaman sehingga menempatkan mereka pada IMS dan

kehamilan sebelum usia yang matang.

Sebuah survei di Amerika Serikat tahun 20062008

mengatakan bahwa tidak semua remaja seksual aktif mengambil

risiko tinggi dalam hubungan seksual. 39% perempuan dan 33%

laki-laki hanya berhubungan dengan pasangannya saja.

Untuk setiap kasus kekerasan remaja, 40% mengalami cidera berat

yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Cidera ini mencakup 24%

gadis remaja yang mengalami kekerasan seksual.1

Komisi Nasional Perempuan Indonesia (2015)

mengklasifikasikan kekerasan seksual berdasarkan hasil

pemantauannya selama 15 tahun (1998– 2013), yaitu:

20
1. Perkosaan,

2. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan

perkosaan,

3. Pelecehan seksual,

4. Eksploitasi seksual,

5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual,

6. Prostitusi paksa,

7. Perbudakan seksual,

8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung,

9. Pemaksaan kehamilan,

10. Pemaksaan aborsi,

11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi,

12. Penyiksaan seksual,

13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual,

14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan

atau mendiskriminasi perempuan, dan kontrol seksual.

2.4. Pencegahan Kekerasan pada Remaja

Beberapa cara agar remaja tidak menjadi korban kekerasan atau

menjadi pelaku kekerasan :

1. Tingkatkan percaya diri

2. Melakukan kegiatan yang bermanfaat

3. Jangan bolos atau putus sekolah

21
4. Melakukan rekreasi

5. Mengurangi menonton yang mengandung kekerasan di media, baik

game, tv, internet, dll

6. Pandai memilih teman dan lingkungan yang baik

7. Mengetahui bagian tubuh yang bersifat pribadi.

Proses adaptasi untuk mengembalikan keseimbangan dengan

membebaskan diri dari perasaan takut dan perasaan tidak berdaya, biasanya

disebut dengan sindrom trauma tindak kekerasan terdiri atas dua tahap, yaitu

tahap akut atau disorganisasi dan tahap jangka atau reorganisasi

1. Adaptasi tahap akut atau disorganisasi

Tahap disorganisasi meliputi reaksi pertama yang deiekspresikan atau

reaksi yang ditahan atau dikendalikan, reaksi fisik dan reaksi emosional

terhadap situasi yang mengancam kehidupan korban. Pada tahap akut

ini, wanita yang mengalami tindak keerasan biasanya merasa cemas,

marah, merasa bersalah, merasa terhina, mengingkari, syok, tidak

percaya atau merasa takut mati, bahkan merasa ingin membalas

dendam. Perasaan yang dialami korban tindak kekerasandapat bersifat

ekspresif dengan membicarakan perasaan yang dialaminya, atau

sebaliknya berupaya untuk mengendalikan perasaannya dengan tetap

tampak tenang. Ketenangan ini tidak berarti bahwa korban tersebut

tidak menderita dan merasa takut, tetapi hanya cara mengatasi

traumanya saja yang berbeda.


Reaksi fisik pada tahap akut akan bergantung pada cedera tubuh yang

dialami. Mersa sakit pada bagian tertentu yang terkena serangan atau

22
bersifat umum, seperti merasakan otot yang tegang. Biasanya juga

terdapat gangguan pola tidur dan makan. Pada tahap disorganisasi,

reaksi emosional akibat tindak kekerasan adalah perasaan takut, takut

membahayakan tubuh, takut mati atau mutilasi, disertai perasaan lain,

seperti marah, terhina dan menyalahkan diri sendiri. Sering kali korban

mengalami reaksi emosional yang kuat dan bereaksi secara berlebihan

terhadap situasi lain yang tidak berhubungan dengan tindak kekerasan.

Misalnya, mudah tersinggung, tidak sabar, cengeng, dan marah yang

dapat menyebabkan korban merasa tidak mampu mengendalikan diri

dan merasa berjarak terhadap dirinya sendiri.

2. Adaptasi tahap jangka panjang atau reorganisasi

Reorganisasi adalah proses penyesuaian atau adaptasi selama beberapa

bulan setelah terjadi tindak kekerasan. Stuart & Sundeen (1995) dan

Johnson (1996) menyatakan bahwa korban tindak kekerasan

mengalami masalah psikologis yang berkepanjangan. Pemulihan

keseimbangan fisik, psikologis, sosial, spiritual dan seksual terjadi

berbulan atau bertahun kemudian. Korban tindak kekerasan kembali

pada kehidupan rutin seperti sebelum terjadi tindak kekerasan. Pada

awalnya, bersifat sementara kemudian disusul dengan masa resolusi,

yaitu perasaan terhadap diri sendiri, terhadap perilaku tindak kekerasan,

dan perasaan kehilangan secara bertahap menyatu.


Pada tahap reorganisasi, hal penting yang dialami adalah :

a. Mendapatkan kembali rasa aman

23
b. Mengatasi perasaan takut

c. Mengatasi perasaan kehilangan, seperti kehilangan harga diri dan

rasa percaya

d. Menyatukan kejadian dalam diri secara menyeluruh.

Trauma akibat tindak kekerasan yang tidak terselesaikan dapat juga

terjadi apabila tidak ada atau sangat sedikit intervensi yang mendukung

korban pada masa akut (disorganisasi), tindak kekerasan terjadi

berulangkali, sebelum terjadi tindak kekerasan terjadi berulangkali,

sebelum terjadi tindak kekerasan korban tersebut sedang menghadapi

stresor kehidupan, dan tidak mempunyai dukungan sosial. Trauma

tindak kekerasan yang tidak teratasi dapat terlihat pada:

a. Individu yang mengalami gejala fobia, seperti rasa takut sendirian

atau keluar rumah

b. Menarik diri dari kegiatan sosial, harga dirir rendah, dan perasaan

bersalah

c. Hanya dengan sedikit pemicu dapat menimbulkan gejala trauma

tindak kekerasan

d. Menghindari kontak dengan orang yang identik dengan pelaku

tindak kekerasan

e. Menarik diri, pendiam atau mudah marah terhadap keluarga dan

teman

Kondisi tersebut biasanya terlihat pada korban tindak kekerasan yang tidak

pernah membicarakan kejadian yang dialaminya.

24
25

Anda mungkin juga menyukai