Anda di halaman 1dari 6

Menyemai Generasi Muda Indonesia“A’KREASI” Melalui

Pendidikan Karakter Berbasis Pembelajaran Kearifan Budaya


Tradisional

Karya Ini Disusun untuk Mengikuti Lomba Esai “Membangun Karya


Nyata Teruntuk Indonesia”

Disusun Oleh :
ANGGUN MEGA NURFADHILLA ( 1703014)

Future Leader League 2018


PENDIDIKAN KITA SAAT INI
Indonesia sudah beberapa kali mendapat penghargaan karena juara di Olimpiade
Fisika dan Matematika. Kita begitu berbangga, tetapi kebanggaan kita tak akan bertahan
lama karena yang kita kejar hanyalah kuantitas. Mutu pendidikan kita pun diukur dari
segi kuantitasnya. Padahal, kuantitas adalah sebuah postulat matematis yang abstrak dan
mudah dimanipulasi. Sangat berbeda dengan negara-negara Eropa yang justru mengejar
kualitas. Orientasi ini memungkinkan mereka punya daya dorong yang tinggi untuk
berkreasi dan berinovasi. Mereka akhirnya menemukan banyak hal dan memproduksi
banyak teori. Indonesia hanya mampu menghafal rumus untuk diuji dan tetap jadi negara
konsumtif. Selain itu, pendidikan kita pun terbelenggu dengan ”politik uang”.

PENDIDIKAN KARAKTER
Pertanyaan muncul: Bagaimana kita bisa mendesain pendidikan kita sehingga
yang namanya mutu pendidikan dan perkembangan serta pertumbuhan kepribadian itu
sungguh bisa dicapai?” yaitu dengan menggelorakan kembali pendidikan karakter.
Berbicara tentang pendidikan karakter memang bukanlah hal baru dalam sistem
pendidikan di Indonesia sejak lama pendidikan karakter ini telah menjadi bagian penting
dalam misi kependidikan nasional, walaupun dengan penekanan dan istilah yang berbeda.
Saat ini, wacana urgensi pendidikan karakter kembali digelorakan dan menjadi bahan
perhatian sebagai respons atas berbagai persoalan bangsa terutama masalah dekadensi
moral seperti korupsi, kekerasan, perkelahian antar pelajar, bentrok antar etnis dan
perilaku seks bebas yang cenderung meningkat. Fenomena ini merupakan salah satu
eksistensi dari kondisi masyarakat yang sedang berada dalam masa transformasi sosial
menghadapi era globalisasi
Pendidikan karakter masih sangat perlu dan masih sangat penting bagi generasi
muda bangsa Indonesia. Karena sekarang, negeri yang tercinta ini seperti negeri yang
tidak memiliki jati diri, mudah mengambil contoh dan meniru gaya serta jati diri dari
bangsa luar negeri. Tanpa melihat apakah itu budaya baik atau buruk, asal dari luar negeri,
para penerus bangsa ini tak segan-segan untuk menirunya dan mempraktikkan dalam
kehidupan sehari-sehari mereka. Budaya cipika-cipiki atau cium pipi kanan, cium pipi
kiri yang sebenarnya jauh dari adab budaya negeri ini, sungguh ironis bangsa yang
beradab tetapi sudah kehilangan rasa malu karena para penerusnya telah teracuni oleh
budaya seperti ini.

Future Leader League 2018


Dengan adanya globalisasi problematika seperti ini menjadi sangat kompleks.
Globalisasi menyebabkan perkembangan teknologi, kemajuan ekonomi dan kecanggihan
sarana informasi. Kondisi tersebut diatas telah membawa dampak positif sekaligus
dampak negatif bagi bangsa Indonesia, Kebudayaan negara-negara Barat yang cenderung
mengedepankan rasionalitas, mempengaruhi negara-negara Timur termasuk Indonesia,
yang masih memegang adat dan kebudayaan leluhur, menjunjung nilai-nilai tradisi dan
spiritualitas keagamaan.
Hal ini menjadi tantangan pendidikan saat ini, dihadapkan pada situasi dimana
proses pendidikan sebagai upaya pewarisan nilai-nilai budaya tradisional, di satu sisi
menghadapi derasnya nilai global. Pembelajaran melibatkan aspek seni, IPTEK dan
implementasi kearifan budaya. Tentu tidak semua nilai kearifan budaya dapat
diimplementasikan dalam pembelajaran, oleh karena itu hanya dipilih aspek tertentu yang
terkait dengan budaya keilmuan. Kearifan budaya tradisional sekarang mulai meluntur
dari jiwa pelajar. Era globalisasi menghilangkan sekat-sekat budaya satu dengan lainnya.
Dalam era ini karakter budaya tertentu akan menjadi semakin samar dan tergantikan
dengan budaya global yang bersifat umum. Kecenderungan warna budaya tertentu
berbasis budaya tradisional akan semakin tenggelam.
Ki Hajar Dewantoro, mengatakan bahwa “kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari
pendidikan,” bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan. Rumusan ini
menjangkau jauh ke depan, sebab dikatakan bukan hanya pendidikan itu dialaskan kepada
suatu aspek kebudayaan yaitu aspek intelektual, tetapi kebudayaan sebagai keseluruhan.
Kebudayaan yang menjadi alas pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan. Dengan
demikian kebudayaan yang dimaksud adalah kebudyaan yang riil yaitu budaya yang
hidup di dalam masyarakat kebangsaan Indonesia. Gambaran ini menginterupsi kita
untuk kembali memperhatikan pentingnya pembangunan karakater (Character building)
generasi muda Indonesia yang berpijak kepada nilai-nilai kebudayaan yang kita miliki.
Generasi muda sekarang hampir meninggalkan martabat dan sopan santun,
kehilangan kesopanan, bahkan sudah melanda elit politik dan pemimpin bangsa kita.
Telah terjadi kontradiksi budaya masyarakat kapitalis yang melanda bangsa Indonesia
yang kebetulan sedang melanda kapitalis Barat, selain itu terjadi juga inkoherensi antara
masyarakat dan budaya, atau structure dan culture baik itu dalam bentuk anomie maupun
kontradiksi budaya. Maka dari itu, pendidikan karakter sekarang harus menyemai dan

Future Leader League 2018


membangun Indonesia Dengan Generasi Muda A’KREASI (aktif, kreatif, dan anti-
korupsi) yang berorientasi dari kearifan nilai dan budaya tradisional.
Pendidikan karakter memang sudah di gelorakan sebagai pelopor gerbang
reformasi generasi muda, tetapi “mengapa di negeri tercinta ini kebanyakkan dari kaum
intelektualnya suka menjadi tikus berdasi?” Kita harus memanfaatkan kaca spion
sebelum jauh melangkah, karena negeri yang kaya akan budaya yang memiliki nilai-nilai
untuk merekontruksi generasi muda Indonesia yang A’KREASI.

PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA


Pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: (1)
Belajar tentang Budaya Menempatkan Budaya sebagai Bidang Ilmu adalah proses belajar
tentang budaya, sudah cukup dikenal selama ini, misalnya mata pelajaran kesenian dan
kerajinan tangan, seni dan sastra, seni suara, melukis atau menggambar, seni musik, seni
drama, tari dan lain-lain. Budaya dipelajari dalam satu mata pelajaran khusus, tentang
budaya. Mata pelajaran tersebut tidak terintegrasi dengan mata pelajaran lain, dan tidak
berhubungan satu sama lain; (2) Belajar dengan Budaya adalah budaya dan
perwujudannya media pembelajaran dalam proses belajar, menjadi konteks dan contoh-
contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu mata pelajaran, menjadi konteks
penerapan prinsip atau prosedur dalam suatu mata pelajaran; (3) Belajar melalui Budaya
merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan
pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu mata pelajaran
melalui ragam perwujudan budaya. Belajar melalui budaya merupakan salah satu bentuk
multiple representation of learning assessment atau bentuk penilaian pemahaman dalam
beragam bentuk.

BUDAYA TRADISIONAL MENYURAT LONTAR


Menyurat lontar adalah menulis aksara Bali (anacaraka), Jawa (hanacaraka) di
daun lontar. Aksara ini merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai
harganya. Bentuk aksara dan seni pembuatannya pun menjadi suatu peninggalan yang
patut untuk dilestarikan.
Menyurat lontar aksara ini, jangan sampai punah di derasnya arus globalisasi. Ini
juga sebagai bentuk antisipasi dalam mempertahankan kearifan budaya tradisional. Selain
itu, untuk menyemai generasi muda yang A’KREASI memerlukan tingkat kontrol diri

Future Leader League 2018


yang baik. Kontrol diri dalam hal ini adalah bahwa orang dapat mengontrol tingkat
psiologis dirinya dalam menjalankan aktivitas hidupnya sehari-hari yang diantaranya
termasuk kesabaran, ketelitian, dan ketekunan ketiga hal tersebut merupakan hal dasar
yang seharusnya dimiliki oleh generasi muda Indonesia di era globalisasi
Aksara ini merupakan unsur kebudayaan, bagian dari kebudayaan nasional,
sehingga semua pihak berkewajiban melestarikan aksara dan bahasa yang religius ini,
sejalan dengan hal ini, budaya tradisional seperti ini dapat diterapkan dalam proses
pembelajaran pada era globalisasi sekarang yang merupakan salah satu upaya
meningkatkan mutu pendidikan yang dapat dilakukan melalui pengajaran dan
pemasyarakatan aksara dan bahasa ke sekolah-sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama dalam konteks sebagai media edukasi dan melestarikan budaya tradisional.
Selain itu, pengajaran di prioritaskan ke siswa sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama karena untuk melatih kontrol diri generasi muda dari sejak dini karena pada usia
ini adalah usia untuk membentuk karakter A’KREASI untuk modal mereka kedepannya.
Pertanyaan muncul: “bagaimana kita bisa menerapkan dalam proses
pembelajaran ke siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama?” dalam konteks
ini kita bisa menerapakan baik dalam pendidikan formal maupun pendidikan non-formal,
dalam pendidikan formal dapat diterapkan pada saat proses pembelajaran sastra yang
dirancang untuk membentuk siswa yang gemar membaca dan menulis. Sehingga,
akhirnya terbentuk pola pikir yang kreatif dan berpikiran terbuka (open-minded) dalam
menyelesaikan masalah. Sedangkan dalam pendidikan non-formal, bisa diterapkan
melalui ekstrakulikuler atau sangar belajar sebagai wadah kebebasan melukiskan pikiran
dalam bentuk tulisan yang cukup efektif untuk mempertajam kadar berimajinasi dan
bereksplorasi agar tidak hanya dijejali soal–soal yang tidak akan mereka hadapi di
kehidupan nyata. Sekolah juga dapat menugaskan guru untuk berpartisipasi aktif sebagai
peserta dalam pelatihan, seminar dan lokakarya tentang kearifan budaya tradisional ini.
Saya ingin sedari dini warisan budaya seperti batik, wayang, upacara sakral,
kesenian daerah diperkenalkan di sekolah. Setidaknya jika ada yang mengklaim, kita
tidak hanya berteriak saling menyalahkan, tetapi nyatanya kita tidak meruwat budaya
Indonesia. Saya bermimpi profesi guru kembali kepada hakikatnya sebagai pendidik,
bukan sekadar pengajar yang hanya mempersiapkan siswa untuk lulus ujian. Saya ingin
nadi budaya baca-tulis dan rasa ingin tahu selalu berdenyut di pelosok pedesaan hingga

Future Leader League 2018


jantung perkotaan. Saya tidak mau institusi modern mematikan potensi berpikir kritis
anak-anak hanya karena tidak ada yang memicu kebiasaan berargumentasi di ruang kelas.
Harapan saya pendidikan di tanah air tidak lagi menjadi ajang transfer ilmu yang
menjadikan murid adalah cetak biru sang guru. Peserta didik harus mampu
mentransformasi ilmu pengetahuan sehingga tujuan akhir pendidikan untuk mencetak
generasi muda A’KREASI yang mampu menjawab tantangan di Era Globalisasi dan
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dapat tercapai.
Sistem pembelajaran berbasis kontrol diri sangat diperlukan Indonesia saat ini
untuk menciptakan generasi muda anti-korupsi, yang bukan berorientasi untuk menghafal
rumus tetapi pendidikan Indonesia sekarang harus menuntut generasi muda untuk
berimajinasi dan bereksplorasi yang menekankan berpikir kritis dan dibiasakan menulis
serta melatih cara berkomunikasi yang santun melalui budaya tradisional salah satunya
adalah budaya menyurat lontar.

Future Leader League 2018

Anda mungkin juga menyukai