Anda di halaman 1dari 40

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tubuh kita sepanjang waktu terpapar dengan bakteri, virus, jamur dan parasit,
akan terjadi secara normal dan dalam berbagai tingkat seperti pada kulit, jalan
nafas, saluran cerna, membbran yang melapisi mata, dan bisa juga saluran kemih.
Dari agen-agen infeksius ini akan menyebabkan penyakit yang serius atau bahkan
kematian bila agen masuk ke jaringan yang lebih dalam. Tubuh manusia
mempunyai kemampuan untuk melawan hampir semua jenis agen yang merusak
jaringan dan organ tubuh, kemampuan ini disebut imunitas.

Tubuh juga mempunyai sistem khusus untuk melwan bermacam-macam agen,


sistem ini terdiri atas leukosit (sel darah putih) dan sel-sel jaringan yang berasal
dari leukosit. sel ini bekerja bersama-sama untuk melwan penyakit dengan benar-
benar merusak bakteri dan membentuk antibodi dan limfosit yang tersensititasi.

1.2 Kata Sulit


1. Gatal : sensasi tidak nyaman yang terdapat pada kulit seseorang
2. Bentol : bintik-bintik yang terdapat pada permukaan kulit dengan ukuran-
ukuran tertentu
3. Urtikaria : Reaksi vaskular kulit pada dermis bagian atas, biasanya sebentar,
terdiri dari edema local yang disebabkan oleh dilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapilar, dengan pembentukan bentol (urtika)
4. Udem : penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh
5. Sensitif : keadaan responsitivitas abnormal terhadap rangsangan
6. Sesak napas : kesulitan untuk bernapas
7. Infeksi : masuk atau berkembangnya agen ifeksi ke dalam tubuh sesorang

1.3 Kata Kunci


Alergi : sebuah kondisi di mana tubuh memiliki respon yang berlebihan
1.4 Perumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme terjadinya alergi?
2. Mengapa makanan laut dapat menyebabkan alergi pada orang tertentu ?
3. Bagaimana mekanisme terjadinya Urtikaria?
4. Bagaimana mekanisme terjadinya sesak nafas ?

1.5 Hipotesa
1. Alergi terjadi karena adanya reaksi berlebihan terhadap antigen yang masuk
kedalam tubuh.
2. Karena pada makanan laut memiliki zat alergen yang dapat menyebabkan
pengeluaran mediator histamine yang menyebabkan manifestasi alergi
3. Urtikaria timbul masuknya antigen ke area kulit dan menimbulkan
penimbunan cairan
4. Sesak nafas terjadi karena adanya penyempitan pada saluran pernfasan.

1.6 Lerning Objectiv


1. Histologi : Darah dan sistem imun
2. Fisiologi : Darah dan sistem imun
3. Biokimia : Sistem imun
BAB II

TINJAUN PUSTAKA

2.1 ASPEK HISTOLOGI

2.1.1 Darah

Darah adalah suatu jaringan ikat khusus dengan materi ekstrasel cair yang
disebut plasma. Unsur berbentuk yang beredar dalam plasma adalah eritrosit (sel
darah merah), leukosit (sel darah putih), dan trombosit. Jika darah meninggalkan
sistem sirkulasi, baik dalam suatu tabung reaksi atau di matriks ekstrasel yang
mengelilingi pembuluh darah, protein plasma bereaksi satu sama lain dan suatu
cairan bening kekuningan yang disebut serum.1

1. Komposisi Plasma
Plasma terdiri dari 92% air, 7% protein (albumin, globulin, fibrinogen,
protein regulator), dan 1% zat terlarut lain (elektrolit, nutrien, gas respiratori,
produk sisa). Protein plasma utama mencakup protein, yakni : 1
 Albumin, protein plasma terbanyak, dibuat di hati dan berfungsi
terutama dalam memelihara tekanan osmotik darah
 α-globulin dan β-globulin, dibentuk di hati dan sel lain, mencakup
transferring dan faktor transpor lainnya fibronektin; Protombin dan
faktor koagulasi lain; lipoprotein dan protein lain yang memasuki darah
dari jaringan
 γ-globulin, merupakan immunoglobulin (antibodi) yang disekresi oleh
limfosit di banyak tempat
 Protein komplemen, suatu sistem faktor yang penting pada peradangan
dan destruksi mikroorganisme
 Fibrinogen, protein plasma terbesar (340 kD), yang juga dibentuk di hati,
yang berpolimerisasi menjadi serat ikatan-silang yang tidak larut selama
pembekuan, yang menyumbat pengeluaran darah dari pembuluh kecil 1
2.Sel Darah
Sel-sel darah biasanya dipelajari dalam sediaan apus atau film yang dibuat
dengan menyebarkan setetes darah dalam lapisan tipis diatas kaca objek. 1
a. Eritrosit
Eritrosit berdiameter sekitar 7,5 μm, dengan tebal 2,6 μm di bagian tepi,
dan tebal 0,75 μm di bagian tengah. Eritrosit berbentuk bikonkaf, memberi rasio
yang lebih besar untuk luas permukaan terhadap volume dan mempermudah
pertukaran gas. Diferensiasi eritrosit mencakup hilangnya inti dan semua organel
sesaat sebelum sel dilepaskan oleh sumsum tulang ke dalam sirkulasi. Tanpa
mitokondria, eritrosit matur bergantung pada glikolisis anaerob untuk kebutuhan
energi minimalnya. Tanpa adanya inti, eritrosit tidak dapat mengganti protein
yang mengalami defek. 1
b.Leukosit
Leukosit (sel darah putih) bermigrasi ke jaringan, tempat leukosit menjadi
fungsional dan melakukan berbagai aktifitas. Leukosit terbagi menjadi dua :
granulosit dan agranulosit.1 Granulosit memiliki inti polimorfik dengan dua atau
lebih lobus dan mencakup neutrofil, eusinofil, dan basofil. Agranulosit tidak
memiliki granul spesifik, tetapi sel ini mengandung granul azurofilik atau
lisosom. Inti tersebut berbentuk bulat atau berlekuk. Sel ini meliputi limfosit dan
monosit. (jungquera)
Jumlah leukosit dalam darah bervariasi sesuai umur, jenis kelamin, dan
keadaan fisiologis. Pada orang dewasa normal, terdapat sekitar 6000-10000
leukosit per mikroliter darah. 1
 Neutrofil ( Leukosit Polimorfonuklear)
Neutrofil sekitar 60-70 % dari leukosit keseluruhan. Diameternya
12-15 µm pada sediaan apus darah dengan inti yang terdiri atas 2-5 lobus
yang dihubungkan oleh jembatan inti yang halus. Neutrofil bersifat
mematikan bakteri dan membantu membersihkan debris. Neutrofil berumur
pendek, dengan waktu paruh 6-7 jam dalam darah dan memiliki rentang
hidup selama 1- 4 hari dalam jaringan ikat sebelum leukosit menemui
apoptosis. 1
 Eosinofil
Eosinofil jauh lebih sedikit daripada neutrofil, dan merupakan 2-4%
leukosit dalam darah normal. Pada sediaan apus darah, sel ini berukuran
hampir sama dengan neutrofil dan mengandung inti bilobus yang khas. Ciri
utama untuk mengenalinya adalah sejumlah besar granul spesifik berukuran
besar dan lonjong yang terpulas dengan eosin. Eosinofil memfagosit
kompleks antigen-antibodi dan memodulasi respon inflamatorik. Sel-sel
tersebut merupakan faktor penting memperantari reaksi alergi dan asma. 1
 Basofil
Basofil berdiameter sekitar 12-15 μm, membentuk ±1% leukosit
darah sehingga basofil sukar ditemukan pada asupan darah normal. Intinya
terbagi menjadi dua atau lebih lobuli ireguler, inti bertipe dense kromatin.
Granul spesifik basofil banyak mengandung histamin dan berbagai mediator
peradangan, termasuk faktor pengaktifasi trombosit, faktor kemotaksik
eosinofil, dan fosfolipase A yang menghasilkan faktor dengan berat molekul
rendah yang disebut leukotrien. Basofil dapat melengkapi fungsi sel mast pada
reaksi hipersensitifitas cepat, dengan cara bermigrasi ke dalam jaringan ikat.1
Kedua sel tersebut memiliki asal sel progenitor yang serupa. Basofil
dan sel mast memiliki granul metakromatin yang mengandung heparin dan
histamin, memiliki IgE yang terikat pada reseptor permukaan, dan menyekresi
komponen granulanya sebagai respon terhadap antigen tertentu. 1
 Limfosit
Inti limfosit berbentuk sferis. Limfosit dibagi menjadi limfosit T,
limfosit B, dan pembunuh alami (NK, Natural Killer). Limfosit berhubungan
dengan reaksi imun dalam pertahanan terhadap serangan mikroorganisme,
antigen abnormal atau asing, dan sel-sel kanker. 1
Limfosit kecil berdiameter 6-8 µm; limfosit berukuran sedang/besar
berdiameter 9-18 µm. Sejumlah limfosit yang berukuran lebih besar dapat
berupa sel yang telah diaktifkan oleh antigen spesifik. Limfosit kecil yang
mendominasi dalam darah ditandai dengan inti sferis, kadang-kadang berlekuk
dengan kromatin yang berkondensasi dan sangat basofilik, yang membuat sel
ini mudah dibedakan dari granulosit. Sebagian limfosit dapat hidup beberapa
hari dan yang lain bertahan dalam sirkulasi darah atau jaringan lain bertahun-
tahun.1
 Monosit
Monosit adalah agranulosit yang berasal sumsum tulang dengan variasi
diameter antara 12-20 µm. Intinya besar, terletak agak eksentris, dan dapat
berbentuk lonjong, berbentuk ginjal atau seperti huruf U. Kromatinnya kurang
padat dibandingkan dengan limfosit dan terpulas lebih terang dibanding
kromatin limfosit besar. Monosit darah merupakan sel prekursor. Setelah
menembus dinding venula pascakapiler, monosit berdiferensiasi menjadi
makrofag dalam jaringan ikat, mikroglia dalam SSP, osteoklast dalam tulang,
dan lain-lain. 1 makrofag dalam jaringan ikat, mikroglia dalam SSP, osteoklast
dalam tulang, dan lain-lain. 1
c. Trombosit (Platelet darah)
Trombosit mirip cakram dan tak berinti, dengan diameter 2-4 µm.
Trombosit berasal dari fragmentasi di ujung prosessus sitoplasma yang terjulur
dari sel poliploid raksasa yang disebut megakaryosit dalam sumsum tulang.
Trombosit mempermudah pembekuan darah dan membantu memperbaiki
robekan atau kebocoran di dinding pembuluh darah. Jumlah trombosit normal
berkisar 200.000-400.000/µL darah. Jangka hidup trombosit dalam darah ±10
hari. 1
Pada sediaan apus darah, trombosit sering tampak menggumpal. Setiap
trombosit memiliki zona perifer yang terpulas ringan, yaitu hialomer, dan suatu
zona sentral yang mengandung granul gelap yang disebut granulomer. 1

A. Sistem Imun
1.Sel-sel Sistem Imun
Sel-sel primer yang berperan pada respon imun adalah limfosit, sel plasma,
sel mast, neutrofil, eosinofil, dan sel-sel fagosit mononuklear. Sel penyaji-
antigen, suatu kelompok yang terdiri atas berbagai jenis sel, menyertai sel-sel
lain pada respon imun. Kelompok tersebut mencakup, di antara sel-sel lain,
limfosit, makrofag, dan sel dendritik. 1
a. Limfosit
Limfosit diklasifikasikan menjadi sel B dan sel T, serta sel NK (natural
killer). Sel B dan T merupakan satu-satunya yang memiliki kemampuan
mengenai secara selektif epitop diantara sejumlah besar epitop yang berbeda
(dengan kelipatan 1018). Sel B dan T dibedakan berdasarkan riwayat hidup,
reseptor permukaan, dan perilakunya selama suatu respon imun. Protein
permukaan (penanda) memungkinkan dapat dibedakannya antara sel B dan T
yaitu dengan metode imunositokimiawi.
Prekursor semua jenis limfosit berasal dari sumsung tulang, sejumlah
limfosit mengalami pematangan dan menjadi fungsional dalam sumsum
tulang, dan setelah meninggalkan sumsum tulang, memasuki sirkulasi darah
dan bersirkulasi untuk berkumpul dalam jaringan ikat, epitel, nodul limfoid,
dan organ limfoid. Sel-sel tersebut menjadi limfosit B. Sedangkan prekursor
limfosit T meninggalkan sumsum tulang dan melalui sirkulasi darah,
mencapai timus sel-sel ini mengalami proliferasi dan diferensiasi yang intens
atau mati melalui apoptosis. Setelah pematangan akhirnya, sel-sel T
meninggalkan timus dan terdistribusi di seluruh tubuh di jaringan ikat dan
organ limfoid. Sumsum tulang dan timus disebut organ limfoid primer dan
sentral karena fungsinya pada produksi dan pematangan limfosit. 1
Struktur limfoid lainnya merupakan organ limfoid sekunder atau perifer
yaitu limpa, nodus limfe, nodus limfoid soliter, tonsil, apendiks, dan bercak
peyer pada ileum. Sel B dan T tidak menetap di organ limfoid, terus berpindah
lokasi sehingga komponen selular dan anatomi mikoskopik jaringan limfoid
berbeda dari satu hari ke hari yang lain. 1
Gambaran utama limfosit B dan T mencakup reseptor yang dimiliki pada
permukaannya. Sel-sel T mengenali sekuens asam amino sedangkan di sel-sel
B, susunan spasial (misalnya, konformasi molekular) protein, asam nukleat,
polisakarida atau lipid yang penting.1
Limfosit natural killer tidak mempunyai molekul-molekul penanda yang
karateristik untuk sel B dan T. Limfosit ini sekitar 10-15% di dalam darah.
Diberi nama natural killer karena ia menyerang sel yang terinfeksi virus, sel-
sel yang ditransplantasikan, dan sel kanker tanpa perangsangan sebelumnya,
dengan alasan ini, limfosit natural termasuk dalam bagian dalam respon imun
bawaan (innate immune respons). 1
b. Sel Penyaji-Antigen (antigen-presenting cell = APC)
APC ditemukan dalam banyak jaringan dan membentuk populasi sel yang
heterogen yang meliputi sel dendritik, makrofag, dan limfosit B. Sel-sel
dendritik (berbeda dengan sel saraf), terdapat hanya dalam organ limfoid,
tetapi banyak terdapat dalam epidermis dan mukosa, di tempat ini sel tersebut
dinamakan sel Langerhans. Sel Langerhans merupakan sel dendritik penyaji
antigen di epidermis dan epitel permukaan tubuh, tempat sel-sel tersebut
membentuk pertahanan penting terhadap patogen dan iritan lingkungan.
seperti APC lainnya, sel-sel tersebut terbentuk di sumsum tulang, bergerak ke
dalam sumsum tulang, dan akhirnya bermigrasi ke dalam epitel skuamosa
berlapis. 1

2. Tonsila
Tiga kelompok tonsila : tonsila palatina, tonsila lingua, dan tonsila
faringea, membentuk sebuah cincin jaringan limfoid mengelilingi faring, tempat
menyatunya rongga hidung dan rongga mulut. Tonsila tuba, kelompok tonsila
keempat, terletak di sekitar muara tuba auditiva pada faring. Ciri khas tonsila
adalah permukaan epitelnya yang tertekan dan dikelilingi kelompok-kelompok
limfonodulus. Jenis-jenis tonsila: 1
 Tonsila Palatina
Tonsila palatina, di bagian posterior langit-langit lunak, dilapisi oleh epitel
skuamosa berlapis. Setiap tonsil memiliki 10-20 invaginasi epitel yang
mempenetrasi tonsil ke dalam, yang membentuk kriptus. Jaringan limfoid di
tonsil-tonsil tersebut membentuk suatu pita yang mengandung limfosit bebas
dan nodul limfoid, biasanya dengan centrum germinale. Epitel yang melapisi
tonsila palatina dapat menjadi terinfiltrasi sedemikian penuh oleh sel dendritik
dan limfosit sehingga sulit untuk dikenali. Suatu pita jaringan ikat padat
sebagai simpai atau sawar dari penjalaran infeksi tonsil, memisahkan jaringan
limfoid dari struktur yang berdekatan. 1
 Tonsila Faringea
Tonsila faringea berada di dinding posterior nasofaring dan biasanya
ditutupi oleh epitel kolumnar bertingkat bersilia, meskipun area epitel
berlapis juga dapat diamati. Tonsila faringea terdiri atas lipatan mukosa
yang mengandung jaringan limfoid difus dan nodul limfoid dan suatu simpai
yang lebih tipis daripada simpai tonsila palatina. 1
 Tonsila Lingualis
Tonsila lingualis berada di sepanjang permukaan posterior lidah dan
dilapisi oleh epitel skuamosa bertingkat dengan kriptus. Jaringan limfoid
tonsil-tonsil ini memiliki banyak gambaran yang sama dengan tonsila
palatin. Semua epitel tersebut mengandung limfosit dan sel dendritik
intraepithelial. 1
3. Kelenjar Getah Bening
Kelenjar getah bening adalah struktur berbentuk buncis dan bersimpai,
yang umumnya berdiameter 2-10 mm dan tersebar di seluruh tubuh sepanjang
pembuluh limfe. Kelenjar getah bening ini membentuk sederetan saringan yang
penting untuk pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme dan penyebaran sel-sel
tumor. Semua limfe yang berasal dari cairan jaringan, disaring oleh sekurang-
kurangnya satu kelenjar getah bening sebelum masuk ke sirkulasi. Kelenjar getah
bening mempunyai permukaan konveks yang merupakan tempat masuk pembuluh
limfe dan lekukan konkaf, yakni hilum, tempat masuknya arteri dan saraf dan
keluarnya vena dan pembuluh limfe dari organ. Suatu simpai jaringan ikat
mengelilingi kelenjar getah bening, dan menjulurkan trabekula ke bagian dalam
organ.1
Sel terbanyak di kelenjar getah bening adalah limfosit, makrofag, dan APC
lain, sel plasma, dan sel retikuler; sel dendritik terdapat di dalam nodul limfoid.
Berbagai susunan sel dan stroma serabut retikuler yang menyangga sel
membentuk korteks, medulla, dan parakorteks. 1

Korteks, yang terletak di bawah simpai, terdiri atas komponen berikut :


 Banyak sel retikuler, makrofag, APC, dan limfosit
 Nodul limfoid, dengan atau tanpa centrum germinale, yang terbentuk terutama
dari limfosit B, yang terbenam di dalam populasi sel difus lainnya.
 Area yang tepat berada di bawah simpai, yang disebut sinus subkapsular,
tempat jaringan limfoid memiliki banyak jejaring serat retikuler. Limfe yang
mengandung antigen, limfosit dan APC beredar di sekitar ruang sinus-sinus
tersebut setelah dihantarkan melalui pembuluh limfe aferen.
 Sinus kortikal, yang berjalan di antara nodul limfoid, yang terbentuk dari dan
berbagi gambaran struktural sinus subkapsular. Sinus-sinus ini berkomunikasi
dengan sinus subkapsular melaui ruang yang mirip dengan ruang pada
medulla. 1

Parakorteks tidak memiliki batas yang tegas dengan korteks dan medulla.
Parakorteks dapat dibedakan dari korteks luar dengan sedikitnya sel limfoid B dan
akumulasi sel T-nya, yang dapat ditentukan dengan metode imunohistokimiawi.
Venula di parakorteks menjadi bagian dari titik masuk yang penting bagi
pergerakan limfosit dari darah ke dalam nodul limfoid.

Medulla di kelenjar getah bening memiliki dua komponen utama, yaitu : 1


 Korda medularis, merupakan perpanjangan jaringan limfoid yang bercabang
dan menyerupai korda serta berasal dari parakorteks. Korda tersebut
mengandung terutama limfosit B dan sering sel plasma dan makrofag. 1
 Korda medularis dipisahkan oleh ruang lebar, yang sering terhubung dengan
serat dan sel retikuler, yang disebut sinus medular. Korda tersebut
mengandung limfe, limfosit, sejumlah besar makrofag, dan granulosit jika
kelenjar getah bening mengalirkan area infeksi. Sinus tersebut bersifat kontinu
denagn sinus kortikal dan bergabung di hilum untuk mengalirkan limfe ke
pembuluh limfe eferen di kelnjar getah bening tersebut. 1

4.Timus
Timus adalah organ bilateral yang terletak di mediastinum, perkembangan
organ ini semasa muda. Seperti sumsum tulang dan sel-sel B, timus dianggap
sebagai organ limfoid primer atau sentral karena limfosit T terbentuk di sana.
Jika semua organ limfoid lainnya hanya berasal dari mesenkim (mesoderm),
maka timus memiliki asal embrionik ganda. Prekusor limfoidnya berasal dari
sumsum tulang, tetapi kemudian bergerak memasuki suatu epitel khusus yang
telah berkembang dari lapisan endoderm kantong faringeal ketiga dan keempat
embrio.1
Timus memiliki simpai jaringan ikat yang menyusup ke dalam parenkim
dan membaginya dalam lobulus yang inkomplet dengan kontinuitas antara
korteks dan medulla lobulus yang berdekatan. Setiap memiliki tepi yang gelap
dan dikenal sebagai korteks dan bagian pusat yang terang dan disebut medulla.
Korteks lebih kaya limfosit kecil dibandingkan medulla sehingga terpulas lebih
gelap. Korteks timus terdiri atas populasi besar limfoblast T (timosit) dan
makrofag dalam suatu stroma sel retikular epitelial. Sel retikular epitelial
biasanya memiliki inti eukromatik yang besar dan bervariasi secara morfologis,
tetapi biasannya berbentuk skuamosa atau stelata dengan prosessus yang
panjang. Sel retikuler ini biasanya dihubungkan dengan sel serupa di sebelahnya
oleh desmosom yang membentuk suatu sitoretikulum. Berkas filamen keratin
intermediat (tonofilamen) di dalam sitoplasma menjadi bukti bahwa sel ini
berasal dari epitel. Taut kedap antara sel retikuler epitelial gepeng pada
perbatasan antara korteks dan medulla membantu memisahkan kedua regio
tersebut. 1
Medula timus juga mengandung suatu sitoretikulum sel retikuler epitelial,
sejumlah besar limfosit T terdiferensiasi yang terkemas kurang padat, dan
struktur yang disebut korpuskel timus (korpuskel hasall) yang khas. Korpuskel
timus terdiri antara sel-sel retikuler epitelial gepeng yang tersusun secara
konsentris dan dipenuhi filamen kreatin, serta kadang-kadang mengapur.1
Arteriol dan kapiler di korteks timus diselubungi oleh sel retikuler epitelial
gepeng dengan taut erat. Endotel kapiler bersifat kontinu dan memiliki suatu
lamina basal yang tebal. Gambaran tersebut membentuk suatu sawar darah-
timus dan mencegah sebagian antigen agar tidak meninggalkan mikrovaskular
dan tidak memasuki korteks timus. Tidak terdapat sawar semacam itu di
medulla dan limfosit T matur meninggalkan timus melalui venula di zona
tersebut.1
Timus tidak memiliki pembuluh limfe aferen dan tidak membentuk saringan
bagi cairan limfe, seperti kelenjar getah bening. Sebagian kecil pembuluh limfe
timus berada di jaringan ikat simpai, septa dan pembuluh darah, yang
semuannya merupakan pembuluh aferen.1

5.Limpa
Limpa adalah organ limfoid terbesar dalam tubuh dan satu-satunya organ
yang terlibat dalam filtrasi darah sehingga limpa merupakan organ penting pada
pertahanan terhadap antigen dalam darah. Organ ini juga menjadi tempat
penghancuran eritrosit tua. Sebagaimana organ limfoid sekunder lainnya, limpa
adalah tempat produksi antibodi dan limfosit aktif, yang dihantarkan ke dalam
darah. Suatu pertikel inert dalam darah aktif difagositosis oleh limpa makrofag.1
Limpa dikelilingi oleh suatu simpai jaringan ikat padat yang menjadi asal
trabekula, yang sebagian membagi-bagi parenkim atau pulpa limpa. Trabekula
besar berasal dari hilum, pada permukaan medulla limpa; trabekula ini
membawa saraf dan arteri ke dalam pulpa limpa serta vena yang membawa
darah kembali ke dalam sirkulasi. Pembuluh limpe yang terletak di pulpa limpa
juga meninggalkan hilum melalui trabekula.1

Pulpa Limpa
Limpa terdiri atas jaringan retikuler yang mengandung sel-sel retikuler,
banyak limfosit dan sel darah lain, makrofag dan APC. Pulpa limpa memiliki dua
komponen, pulpa putih dan pulpa merah. Massa kecil pulpa putih terdiri atas
nodul limfoid dan selubung limfoid pariarteriolar, sementara pulpa merah terdiri
atas sinusoid yang berisi darah dan korda limpa (korda Bilorth). 1
Seperti yang sudah diduga dari organ yang khusus untuk pemrosesan
darah, mikrovaskular limpa bersifat penting, meskipun banyak hal yang masih
harus diketahui mengenainnya. Arteri lienalis bercabang dalam hilum, menjadi
arteri trabekularis kecil yang berjalan di jaringan ikat trabekula. Arteri tersebut
meninggalkan trabekula dan memasuki parenkim arteri ketika arteriol ditutupi
oleh selubung limfosit T, selubung limfoid pariarfeolar (PALS), yang merupakan
bagian pulpa putih. Karena diselubungi oleh PALS, pembuluh ini dikenal sebagai
arteriol sentral. Setelah berjaln melalui parenkim dengan berbagai regangan,
PALS menerima sejumlah besar limfosit, terutama sel B, dan dapat membentuk
nodul limfoid. Di nodul tersebut, arteriol menempati posisi eksentrik tetapi masih
disebut arteriol sentral. Selama pasenya melalui pulpa putih, arteriol ini
memberikan cabang kecil yang mendarahi jaringan limfoid sekitar. 1
Di sekeliling nodul limfoid terdapat zona marginal yang terdiri atas
banyak sinus darah dan jaringa limfoid. Zona marginal mengandung limfosit,
banyak makrofag dan sejumlah antigen sehingga berperan penting pada aktifitas
imunologis limpa. 1
Setelah keluar dari pulpa putih, selubung limfosit perlahan menipis dan
arteriol sentral barcabang membentuk arteriol penisili yang lurus. Sejumlah
kapiler yang berasal dari arteriol penisili ini diselubungi oleh sel retikuler,
makrofag dan limfosit dengan makna fungsional yang belum jelas. 1
Pulpa merah tersusun hampir sepenuhnya dari korda limpa dan sinus vena.
Korda limfa mengandung jejaring sel-sel retikuler atau serat-serat retikuler yang
menunjang limfosit B dan T, makrofag, sel plasma, dan banyak sel darah
(eritrosit, trombosit, dan granulosit). Ketika limpa dipisahkan oleh sinusoid lebar
yang tidak beraturan. Sel-sel endotel yang panjang (stave cell) melapisi sinusoid
limpa, yang tersusun sejajar dengan aliran darah sinusoid. Sel-sel ini dibentuk
serat retikuler dalam arah melintang, mirip pengikat gentong.1
Sinusoid limpa yang sangat permeabel dikelilingi oleh lamina basal yang
tidak utuh. Ruang antara sel-sel endotel sinusoid limpa berukuran 2-3 μm atau
lebih kecil dan hanya sel fleksibel yang mampu lewat secara mudah dari korda
pulpa merah ke dalam lumen sinusoid. Karena lumen sinusoid limpa sering terisi
darah dan sangat kecil serta karena korda limpa terinfiltrasi oleh sel darah merah,
perbedaan mikroskopik antar korda limpa dan sinusoid dapat sulit. 1

Aliran Darah di Pulpa Merah


Aliran darah mealui pulpa merah limpa dapat melalui dua rute. Pada
sirkulasi tertutup, arteriol penisilin atau kapiler yang bercabang darinya
berhubungan secara langsung dengan sinusoid sehingga darah selalu terselubungi
oleh endotel vaskular. Alternatif lain, arteriol penisilin memiliki ujung terbuka,
yang menuangkan darah kedalam stroma korda limpa dalam suatu sirkulasi
terbuka yang khas. Dengan rute tersebut, plasma dan elemen berbentuk dalam
darah masuk kembali ke dalam pembuluh darah dengan melewati stave cell di
sinusoid, yang tidak bermasalah untuk trombosit, leukosit, dan eritrosit yang
fleksibel . namun setelah, rentang hidup normal selama 120 hari, eritrosit tua
mengalami perubahan membran, membengkak dan menjadi kurang fleksibel,
yang menandakan penyelubungannya yang selektif oleh makrofag di korda-korda
limpa. Dari sinusoid, darah mengalir ke vena pulpa limpa yang bergabung
bersama dan memasuki trabekula, yang membentuk vena trabekula. Vena lienalis
berasal dari pembuluh- pembuluh tersebut dan berasal dari hilum limpa. Vena
trabekularis tidak memiliki otot di dindingnnya dan menyerupai kanal yang
berongga di jaringan ikat trabekula dan dilapisi oleh endotel. 1

2.2 ASPEK FISIOLOGI


A. Leukosit garanulosit dan sistem monosit—sel makrofag
1. Leukosit

Leukosit merupakan unit sistim pertahanan tubuh yang mobil. Leukosit


sebagian di bentuk di sumsum tulang (granulosit dan sedikit monosit serta
sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel
plasma). Setelah dibentuk, akan diangkut dalam darah menuju ke berbagai
bagian tubuh yang membutuhkannya.

Manfaat sel darah putih yang sesunngguhnya ialah sebagian besar


diangkut secara khusus ke daerah yang mengalami peradangan serius, dengan
demikian menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap agen-agen
infeksius. Granulosit dan monosit mempunyai kemampuan khusus untuk mencari
dan merusak setiap benda asing yang menyerang. (guyton lama 450)

Ada enam jenis sel darah putih yang biasa di temukan dalam darah yakni
;netrofil polimorfonuklear, eosinofil polimorfonuklear, basofil polimorfonuklear,
monosit, limfosit, dan, kadang-kadang, sel plasma, khusus untuk netrofil, easinofil
dan basofil, mempunyai gambaran granuler sehingga disebut granulosit. Selain itu
terdapat sejumlah besar trombosit yang merupakan sel jenis lain yang serupa
dengan sel darah putih yang dijumpai dalam sumsum tulang, yaitu megakariosit.
Megakariosit kemudian membentuk fragmen-fragmen dalam sumsum tulang
menjadi fragmen kecil yang di kenal sebagai platelet/trombosit yang selanjutnya
masuk ke dalam darah.

Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme penyerang


terutama dengan cara memakannya, yaitu melalui fagositosis.

1.Pembentukan leukosit
Pada pembentukan sel darah merah, sel-sel comited juga membentuk dua
silsilah utama sel darah putih, silsilah mielositik yang di awali dengan meoblas
dan limfositik yang di awali dengan limfoblas.
Granulosit dan monosit hanya di bentuk di dalam sumsum tulang
sedangkan limfosit dan sel plasma terutama di produksi di berbagai jaringan
limfogen khususnya di kelenjar limfe, limpa, tymus, tonsil dan berbagai
kantong jarinngan limfoid di mana saja dalam tubuh, seperti sum-sum tulang
dan plak peyer di bawah epitel dinding usus. (guyton lama 451)
Sel darah putih yang di bentuk dalam sumsum tulang, pada waktu di
perlukan maka berbagai macam faktor akan menyebebkan di lepaskannya
leukosit. Masa hidup granulosit sesudah dilepaskan dari sumsum tulang
normalnya 4-8 jam dalam sirkulasi darah dan 4-5 hari berikutnya dalam
jaringan yang membutuhkan. Pada keadaan infeksi jaringan yang berat, masa
hhidup keseluruhan sering kali berkurang sampai hanya beberapa jam, karena
granulosit bekerja lebih cepat pada daerah yang terinfeksi.
Monosit juga mempunyai masa edar yang singkat yaitu 10-20 jam dalam
darah, sebelum mengembara melalui membran kapiler ke dalam jaringan.
Begitu masuk ke dalam jaringan sel-sel ini membengkak sampai ukurannya
besar sekali dan menjadi makrofag jaringan, dalam bentuk ini sel-sel tersebut
dapat hidup berbulan-bulan, kecuali bila sel-sel itu dimusnahkan saat
melakukan fungsi fagositik dan merupakan pertahanan lanjutan untuk
melawan infeksi. Limfosit memasuki sistim sirkulasi secara kontinu dan dapat
hidup tergantung pada kebutuhan tubuh akan sel-sel tersebut.

2.Sifat pertahanan netrofil dan makrofag terhadap infeksi


Ternyata netrofil dan makrofag jaringan yang terutama menyerang dan
menghancurkan bakteri, virus dan agen-agen merugikan lain yang mnyerbu
masuk dalam tubuh. Netrofil adalah sel matang yang dapat menyerang dan
menghancurkan bakteri. Sebaliknya makrofag jaringan mulai hidup sebagai
monosit darah, yang merupakan sel imatur dan memiliki sedikit kemampuan
untuk melawan agen-agen infeksius. Namun begitu makrofag masuk ke dalam
jaringan, sel-sel ini mulai membengkak. Sel-sel ini disebut makrofag yang
mempunyai kemampuan hebat untuk memberantas agen-agen penyakit di
dalam jaringan.
Netrofil dan monosit dapat terperas melalui pori-pori kapiler darah dengan
caradiapedesis. Walaupun sebuah pori ukurannya jauh lebih kecil dari pada
sel, pada suatu ketika sebagian kecil sel tersebut meluncur melewati pori-pori,
bagian yang meluncur tersebut untuk sesaat terkontriksi sesuai dengan ukuran
pori dengan cara kemotaksis. Netrofil dan makrofag dapat bergerak melalui
jaringan dengan gerakan amebiod. Beberapa sel dapat bergerak dengan
kecepatan 40µ/menit, sepanjang ukuran tubuhnya sendiri setiap menit.
Banyak jenis zat kimia dalam jaringan dapat menyebabkan netrofil dan
makrofag menuju sumber zat kimia, yang dikenal sebagai kemotaksis. Zat-zat
ini adalah beberapa toksin bakteri atau virus, produk degeneratif dari jaringan
yang meradang, beberapa produk reaksi “kompleks komplemen” yang
diaktifkan di jaringan yang meradang dan beberapa produk reaksi yang
disebabkan oleh pembekuan plasma di area yang radang serta beberapa zat
lainnya. (guyton lama 452)

 Fagositosis

Fungsi netrofil dan makrofag yang terpenting adalah fagositosis, yang


berarti pencernaan seluler terhadap agen yang mengganggu. Terjadinya
fagositosis terutama tergantung pada tiga prosedur selektif berikut. (1)
sebagian besar struktur alami dalam jaringan memiliki permukaan halus,
yang dapat menahan fagositosis. Tetapi jika permukaannya kasar, maka
kecendurungan fagositosis akan meningkat. (2) sebagian besar bahan alami
tubuh mempunyai selubung protein pelindung yang menolak fagositosis.
Sebaliknya, sbagian besar jaringan mati dan partikel asing tidak mempunyai
selubung pelindung, sehingga jaringan atau partikel tersebut menjadi subjek
untuk difagositosis (3) sistem imun tubuh membentuk antibodi untuk
melawan agen infeksius seperti bakteri. Antibodi kemudian melekat pada
bakteri dan dengan demikian membuat bakteri menjadi rentan khususnya
terhadap fagositosis.

 Fagositosis oleh netrofil

Netrofil sewaktu memasuki jaringan sudah merupakan sel-sel matur


yang dapat segera memulai fagositosis. Sewaktu mendekati suatu partikel
untuk difagositosiskan, mula-mula netrofil melekatkan diri pada partikel
kemudian menonjolkan pseodoposia ke semua jurusan di sekeliling partikel.
Pseudopodia bertemu satu sama lain pada sisi yang berlawanan dan
bergabung sehingga menciptakan ruangan tertutup yang berisi partikel yang
sudah difagositosis. Kemudian ruangan ini berinvaginasi ke dalam rongga
sitoplasma dan melepaskan diri dari membran sel bagian luar untuk
membentuk gelembung fagositik yang mengapung dengan bebas (juga di
sebut fagosom) didalam sitoplasma.

 Fagositosis oleh makrofag

Makrofag merupakan produk tahap akhir monosit yang memasuki


jaringan dari dalam darah. Bila makrofag diaktifkan oleh sistem imun,
makrofag merupakan sel fagosit yang jauh lebuh kuat dari pada netrofil,
seringa kali mampu memfagositosis sampai 100 bakteri. Makrofag juga
mempunyai kemampuan untuk menelan partikel yang jauh lebuh besar,
bahkan sel darah merah utuh, atau, kadang-kadang, parasit malaria,
sedangkan netrofil tidak mampu memfagositosis partikel yang jauh lebih
besar dari bakteri. Makrofag setelah memakan partikel, juga dapat
mengeluarkan produk residu dan seringkali dapat bertahan hidup serta
berfungsi sampai berbulan-bulan kemudian.

Setelah partikel asing difagositosis lisosom dan granula sitoplasmik


lainnya segera datang untuk bersentuhan dengan gelembung fagositik,
danmembrannya bergabung dengan membran pada gelembung,
selanjutnya mengeluarkan banyak enzim pencernaan dan bahan
bakterisidal ke dallam gelembung. Jadi, gelembung fagositik sekarang
menjadi gelembung pencerna, dan segera dimulailah proses pencernaan
partikel yang sudah difagositosis. Netrofil dan makrofag, keduanya
mempunyai sejumlah besar lisosom yang berisi enzim proteolitik yang
khusus dipakai untuk mencerrna bakteri dan bahan protein asing lainnya.
Lisosom yang ada pada makrofag (tetapi tidak pada netrofil) juga
mengandung banyak lipase, yang mencerna membran lipid tebal yang
dimiliki oleh beberapa bakteri tertentu seperti basil tuberkulosis.

Netrofil dan makrofag juga mengandung bahan bakterisidal yang


membunuh sebagian besar bakteri bahkan bila enzim lisosomal gagal
mencerna bakteri tersebut. Hal ini penting karena ada beberapa bakteri
yang mempunyai selubung pelindung atau faktor lain yang mencegah
penghancurannya oleh enzim pencernaan. Banya efek pembunuhan
merupakan hasil dari beberapa bahan pengoksidasi kuat yang dibentuk
oleh enzim dalam membran fagosom atau oleh organel khusus yang
disebut peroksisom. Namun beberapa bakteri khususnya basil tuberkulosis
mempunyai selubung yang resisten terhadap pencernaan oleh lisosom dan
juga menyekresikan zat-zat yang memiliki ketahanan parsial terhadap efek
pembunuhan dari netrofil dan makrofag (guyton lama 453)

2. Sistem monosit—sel makrofag ulang, yaitu megakariosit


Setelah memasuki jaringan dan menjadi makrofag, sebagian monosit
lainnya melekat pada pada jarigan dan tetap melekat selama berbulan-bulan atau
bahkan bertahun-tahun sampai monosit tersebut dipanggil untuk melakuakan
fugsi pertahanan lokal spesifik. Bila dirangsang dengan cepat makrofag jaringan
dapat melepaskan diri dari tempat perlekatannya dan sekali lagi menjadi
makrofag mobil yang akan bereaksi terhadap kemotaksis dan semua rangsangan
yang berhubungan dengan proses peradangan. Jadi tubuh memiliki sistim
monosit—makrofag yang tersebar hampir di seluruh tubuh.
Gabungan keseluruhan monosit, makrofag mobil, makrofag yang terfiksasi
pada jaringan, beberapa sel endotel khusus dalam sumsum tulang, limpa dan
nodus limfe disebut sistem retikuloendotelial.
1. Makrofag jaringan di kulit dan jaringan subkutan
Kulit tahan terhadap agen infeksius, tetapi hal ini tidak berlaku lagi apabila
kulit rusak. Bila infeksi dimulai dijaringan subkutan dan timbul peradangan
setempat, maka makrofag setempat dapat membela in situ dan membentuk
makrofag lebih banyak lagi. Selanjutnya makrofag jaringan melakukan
fungsinya dengan menyerang dan menghancurkan agen infeksius.
2. Makrofag di nodus limfe
Bila partikel tidak dihancurkan dijaringan setempat, maka pertikel akan
masuk kedalam cairan limfe dan mengalir menuju nodus limfe. Partikel asing
tersebut lalu terjebak di nodus limfe dalam anyaman sinus yang dibentangi
oleh makrofag jaringan. Cairanlimfe yang masuk dari kapsul nodus limfe
melalui limfalik aferen kemudian mengalir melalui sinus medularis nodus
limfe dan akhirnya keluar dari hilus masuk kedalam limfatik eferen. Bila ada
partikel yang masuk kedalam sinus melalui cairan limfe, makrofag
memfagositosisnya dan mencegah penyebaran lebih lanjut keseluruh tubuh.
3. Makrofag di limpa dan sumsum tulang
Bila ada organisme yang berhasil menginfasi masuk kedalam sirkulasi
umum, masih ada lapisan pertahanan lain oleh sistim makrofag jaringan
khususnya oleh makrofag limfe dan sumsum tulang. Pada kedua jaringan ini
makrofag terjerat dalam anyaman retikular kedua organ tersebut. Dan bila
ada partikel asing yang bersentuhan dengan makrofag ini, maka partikel akan
difagositosis.
Pada peradangan yang ditandai oleh ; (1) vasodilatasi pembuluh darah
lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan;
(2) peningkatan permeabilitas kapiler, kemungkinan kebocoran banyak sekali
cairan ke dalam ruang interstisial; (3) seringkali terjadi pembekuan cairan di
dalam ruang interstisial yang disebabkan oelh fibrinogen dan protein lainnya
yang bocor dari kapiler dalam jumlah besar; (4) migrasi sejumlah besar
monosit dan granulosit kedalam jaringan, dan (5) pembengkakan sel
jaringan.Salah satu efek pertama dari peradangan adalah pembatasan area
yang cedera dari sisa jaringan yang tidak mengalami radang.

 Respon makrofag dan netrofil selama peradangan


Dalam waktu beberapa menit setelah peradangan dimulai, makrofag
telah ada didalam jaringan. Bila diaktifkan oleh produk infeksi dan
peradangan efek yang mula-mula terjadi adalah pembekakan setiap sel-sel
ini dengan cepat. Dalam beberapa jam pertama setelah peradangan dimulai
sejumlah besar netrofil dari darah mulai menginvasi darah yang meradang.
Hal in disebabkan oleh produk yang berasal dari jaringan yang meradang
akan memicu reaksi berikut ; (1) Produk tersebut mengubah permukaan
bagian dalam endotel kapiler, menyebabkan netrofil melekat pada dinding
kapiler di area yang meradang. Efek ini disebut marginasi. (2) Produk ini
menyebabkan longggarnya pelekatan interseluler antara sel endotel kapiler
dan sel endotel venula kecil sehingga terbuka cukup lebar, dan
memungkinkan netrofil untuk melewatinya dengan cara diapedesis
langsung dari darah kedalam ruang jaringan.(3) Produk peradangan
lainnya akan menyebabkan kemotksisa netrofil menuju jaringan yang
cedera, seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Jadi dalam waktu beberapa jam setelah dimulainya kerusakan
jaringan, tempat tersebut akan diisi oleh netrofil. Karena netrofil darah
telah berbentuk sel matur, maka sel-sel tersebut sudah siap untuk segera
memulai fungsinya untuk membunuhbakteri dan menyingkirkan bahan-
bahan asing.
Sesudah dimulainya radang akut yang berat, jumlah netrofil di dalam
darah kadang-kadang meningkat, keadaan ini disebut netrofilia. Netrofilia
di sebabkan oleh produk peradangan yang memasuki aliran darah,
kemudian diangkut ke sumsum tulang, dan disitu bekerja pada netrofil
yang tersimpan dalam sumsum untuk menggerakkan netrofil-netrofil ini ke
sirkulasi darah.
Bersama dengan infasi netrofil, monosit dari darah akan memasuki
jaringan yang merandang dan membesar menjadi makrofag. Selanjutnya
setelah menginfasi jaringan yang meradang, monosit memerlukan waktu 8
jam atau lebih untuk membengkat keukuran yang jauh lebih besar dan
membentuk lososom dalam jumlah yang sangat banyak, barulah mencapai
kapasitas penuh sebagai makrofag jaringan untuk proses fagositosis.
Lini pertahanan tubuh yang berikutnya adalah peningkatan hebat
produksi granolosit dan monosit oleh sumsum tulang yang disebkan oleh
perangsangan sel-sel progenitor granulositik dan monositik di sumsum.
Jika terus menerusmendapat perangsangan dari jaringan yang meradang,
maka sumsum tulang dapat terus memproduksi sel-sel ini dalam jumlah
yang banyak. (guyton baru 455)

B. IMUNITAS

Imunitas mengacu kepada kemampuan tubuh menahan atau mengeliminasi


benda asing atau sel abnormal yang potensial berbahaya. Aktivitas-aktivitas
berikut berkaitn dengan sistem pertahanan imun, yang berperan penting dalam
mengenali dan menghancurkan atau menetralisasi benda-benda di dalam tubuh
yang dianggap asing oleh diri normal.

Bakteri dan virus patogenik merupakan sasaran utama sistem pertahanan imun.
Bakteri adalah mikroorganisme bersel tuggal yang tidak mempunyai inti dan
diperlengkapi oleh semua perangkat yang esensial bagi kelangsungan hidup dan
reproduksi mereka. Virus berbeda dengan bakteri, virus hanya terdiri dari asam nukleat
(DNA dan RNA) yang terbungkus dalam suatu selubung protein. (sherwood lama) hal
367

Respon imun diklasifikasikan sebagai respon imun nonspesifik atau spesifik,


bargantung pada derajat selektivitas mekanisme pertahanan. Respon imun
nonspesifik adalah respon pertahanan inheren yang secara non selektif
mempertahankan tubuh dari invasi benda asing atau abnormal dari jenis apapun
walaupun baru pertama kali terpajan. Respon seperti ini membentuk lini pertama
pertahanan terhadap berbagai faktor yang mengancam, termasuk agen infeksi,
iritan kimiawi, dan cedera jaringan yang menyertai trauma mekanis atau luka
bakar .

Respon imun spesifik, di pihak lain secara selektif menyerang benda asing
tertentu yang telah mereka temui sebelumnya. Respon-respon spesifik seperti ini
diperantarai oleh limfosit, yang setelah mendapat pajanan berikutnya ke agen
yang sama, mengenali dan secara diskriminatif melawan agen tersebut.

1. Respon imun nonspesifik


Pertahanan- pertahanan nonspesifik yang beraksi tanpa memandang apakah
agen pencetus pernah dijumpai adalah :
 Peradangan,respon nonspesifik terhadap cedera jaringan, pada keadaan ini
spesialis-spesialis fagositik neutrofil dan makrofag berperan penting, disertai
bantuan dari sel-sel imun jenis lain.
 Interferon, sekelompok protein yang secara nonspesifik mempertahankan
tubuh terhadap infeksi virus.
 Sel natural killer, sel jens khusus mirip limfosit yang secara spontan dan
relatif nonspesifik melisiskan (menyebabkan ruptur) dan mengahancurkan sel
pejamu yang terinfeksi virus dan sel kanker
 Sistem komplemen, sekelompok protein plasma inaktif secara sekuensial,
menghancurkan sel asing dengan menyerang membran plasma. Sistem
komplemen dapat secara nonspesifik di aktifkan oleh adanya benda asing.
Sistem ini juga dapat diaktifkan oleh antibodi yang dihasilkan sebagai bagian
dari respon imun spesifik terhadap mikroorganisme tertentu.

2. Respon imun spesifik

Respon imun spesifik adalah serangan selektif yang ditujukan untuk


membatasi atau menetralisasi sasaran tertentu yang oleh tubuh telah di persiapkan
untuk dihadapi karena tubuh sebelumnya sudah pernah terpajan kesasaran
tersebut. Terdapat dua kelas respon imun spesifik, yaitu imunitas yang
diperantarai oleh antibodi atau imunitas humoral yang melibatkan pembentukan
antibodi oleh turunan limfosit B yang dikenal sebagai sel plasma dan imunitas
yang diperantara oleh sel atau imunitas seluler yang melibatkan pembentukan
limfosit T aktif yang secaralangsung menyerang sel-sel yang tidak diinginkan.
Baik sel B dan sel T, keduanya harus mampu secara spesifik mengenali sel-sel
dan benda lain yang tidak dibutuhkan untuk dihancurkan atau dinetralisasi karena
berbeda dari sel-sel diri yang normal. Pembedaan tersebut dimungkinkan dengan
adanya antigen. Antigen adalah molekul kompleks berukuran besar yang
mencetuskan respon imun spesifik terhadap dirinya sendiri apabila antigen
tersebut masuk ke dalam tubuh. (sherwood lama 367-379)

C. Limfosit Berperan Dalam Pembentukan Imunitas Didapat


Imunitas didapat murupakan produk limfotik tubuh. Orang-orang yang
memilik cacat genetik berupa kekurangan limfosit atau yang limfositnya
telah rusak akibat radiasi atau bahan kimia, tidak dapat membentuk imunitas
didapat. Limfosit palins banyak ditemukan dalam nodus limfe, namun dapat
juga dijumpai dalan jaringan limfoid khusus, seperti limpa,daerah
submukosa saluran cerna, timus, dan sumsum tulang. jaringan limfoid
tersebar di lokasi-lokasi yang sangat menguntungkan di dalam tubuh untuk
menahan invasi organism atau toksin sebelum dapat menyebar lebih luas. Dua
macam limfosit yang menimbulkan imunitas yang “diperantarai sel” dan
imunitas ” humoral”- Limfosit T dan B (guyton lama 461)

Limfosit B

Limfosit B diketahui diolah lebih dulu di hati selama periode pertengahan


kehidupan janin, dan di sumsung tulang selama masa akhir kehidupan janin dan
setelah lahir. Limfosit B berbea dengan limfosit T, yaitu berbeda dengan seuruh
sel yang membentuk reaktivitas terhadap antigen, seperti yang terjadi pada
limfosit T, limfosit B secara aktif menyekresikan antibodi yang merupakan bahan
reaktif. Bahan ini berupa molekul protein besar yang mampu berikatan dengan
bahan antigenik dan menghancurkannya. Limfosit B menbentuk berjuta-juta
antibodi tipe limfosit B dengan berbagai reaktivitas yang spesifik. Tempat limfosit
B menempati daerah limfoid yang berdekatan dengan limfosit-T tetapi sedikit
lebih jauh.

Limfosit mampu membentuk satu jenis antibodi atau sel T dengan satu
macam spesifisitas. Limfosit yang spesifik akan di aktifkan oleh antigennya, maka
ia akan berkembang biak dengan cepat dan membentuk banayak sekali limfosit
turunan. Pada limfosit B keturunannya akan menyekresikan antibodi spesifik yang
kemudian bersirkulasi keseluruh tubuh. Lalu pada limfosit T keturunannya adalah
sel T spesifik yang tersensititasi ysng sksn dilepaskan ke cairan limfe dan di
angkut ke dalam darah, kemudian disirkulasikan ke seuruh cairan jaringan dan
kembali lagi kedalam limfe.

Hanya ada beberapa ratus sampai beberapa ribu penyandi gen untuk jutaan
jenis antibodi dan limfosit T. Banyaknya Klon limfosit bermulai dari seluruh gen
membentuk setiap jenis sel T atau sel B tidak pernah ada di dalam sel stem asal
tempat sel imun fungsional terbentuk. Melainkan, yang ada hanyalah “segmen
gen” sebenarnya, terdiri dari bertaus-ratus segmen, tetapi tidak seluruh gen.
Selama proses pengolahan sel limfosit T dan B, segmen-segmen gen ini menjadi
tercampur satu sama lain dan membentuk seluruh gen. Pada setiap limmfosit T
dan limfosit B fungsional yang akhirnya terbentuk, sandi struktur gen yang ada
hanya untuk satu spesifisitas antigen. Sel-sel matang ini menjadi sel T dan sel B
yang sangat spesifik,yang memenuhi dan menyebar ke jaringan limfoid.

Setiap klon limfosit hanya responsif terhadap sati tipe antigen (atau
terhadap beberapa antigen serupa yang sifat stereikimianya hampir sama). Alasan
terjadinya ini dikarenakan pada Limfosit B, masing-masing mempunyai kira-kira
100.000 molekul antibodi pada permukaan membran selnya yang akan bereaksi
sangat spesifik dengan satu macan antigen spesifik saja. Jadi bila ada antigen yang
cocok, maka antigen ini segera melekat dengan ant5ibodi di membran sel,
keadaan ini menimbulkan proses aktiivasi, yang akan kita bicarakan lebih rinci.

Dalam jaringan limfoid, selain limfosit makrofag juga ikut berperan dalam
proses aktivasi. Makrofag melapisi sinusoid-sinusoid nodus limfe, limpa, dan
jaringan limfoid lain. Makrofag ini terletak bersebalahan dengan banyak limfosit
dalam nodus limfe. Kebanyakan organisme yang menginvasi mula-mula
difgositosis dan sebagian akan di cerna oleh makrofag. Kemudian produk
antigeniknya dilepaskan kedalam sitosol makrofag. Makrofag kemudian
mentransfer-transfer antigen tersebut secara langsung ke limfosit dengan cara
kontak sel-sel, sehingga menimbulkan aktivasi klon limfositik yang spesifik.
Makrofag juga menyekresikan zat pengaktivasi khusus yang meningkatkan
pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik, zat ini disebut interleukin-1.

Klon limfosit B tetsp dala keadaan dorman di dalam jaringan limfoid. Bila
ada antigen asing yang masuk, makrofag dalam jaringan limfoid akan
memfagositosis antigen dan kemudian membawanya ke limfosit B didekatnya.
Limfosit B yang bersifat spesifik terhadap antigen segera membesar dan tampak
seperti gambaran limfoblas. Beberapa limfoblas berdiferensiasi lebih lanjut untuk
membentuk plasmoblas, yang merupaka prekursor sel plasma. Dalam plasmablas
ini, sitopasma meluas dan retikulum endoplasma kasar akan berproliferasi dengan
cepat. Sel-sel ini kemudian mulai membelah dengan kecepatan 1 kali setiap 10
jam, sampai sekitar sembilan pembelahan, sehingga dari satu plasma dapa
terbentuk kira-kira 500 sel dalam waktu 4 hari. Sel plasma yang matur kemudian
menghasilkan antibodi gamma globulin dengan kecepatan tinggi kira-kira 2000
molekul perdetikuntuk setiap sel plasma. Kemudian, antibodi disekresikan
kedalam cairan limfe dan diangkut ke sirkulasi darah.

Pembentukan sel memori

Beberapa limfoblas yang terbentuk oleh pengaktifan klon limfosit B,


membentuk sel limfosit B baru dalam jumlah yang cukup dan serupa dengan klon
asal. Limfosit B yang baru bersirkulasi ke seluruh tubuh untuk mendiami seluruh
jaringan limfoid tetapi secara imunologis, limfosit B tetap dalam keadaan dorman
samapi di aktifkan lagi oleh sejumlah antigen baru yang sama. Limfosit ini
disebut sel memori.

Respon primer dan respon sekunder


Respon primer berfungsi untuk pembentukan antibodi yang terjadi saat
pajanan pertama oleh suatu antigen spesifik dan respon sekunder yang terjadi
setelah pajanan kedua oleh antigen yang sama.

LIMFOSIT T

Limfosit T berperan dalam imunitas yang diperantarai oleh sel (imunitas


seluler) dengan melibatkan destruksi langsung sel-sel yang terinvasi virus dan sel-
sel mutan melalui cara-cara non-fagostik.

Ada tiga jenis sel T yang dikhususkan untuk mematikan sel pejamu yang
terinfeksi virus serta, untuk membantu atau menekan sel imun lain. Walaupun
penting dalam pertahanan spesifik terhadap bakteri invasif dan benda asing lain,
limfosit B dan produk antibodinya hanya merupakan separuh dari pasukan
pertahanan imun spesifik yang dimiliki tubuh. Limfosit T juga sama pentingnya
dalam pertahanan terhadap infeksi sebagian besar virus dan jamur serta berperan
penting dalam mengatur mekanisme-mekanisme imun.

Tidak seperti sel B, yang mengeluarkan antibodi yang dapat menyerang


antigen yang terletak jauh, sel T tidak mengeluarkan antibodi. Sel – sel ini harus
berkontak langsung dengan sasaran, suatu proses yang dikenal sebagai imunitas
yang diperantarai oleh sel. Seperti sel B, sel T bersifat klonal dan spesifik antigen.
Di membran plasmanya, setiap sel T memiliki T memiliki protein-protein reseptor
unik, serupa tapi tidak identik dengan reseptor permukaan di sel B. Tidak seperti
sel B, sel T di aktifkan oleh antigen asing hanya apabila antigen tersebut disajikan
dipermukaan suatu sel yang juga membawa penanda identitas individu yang
bersangkutan, yaitu baik antigen asing maupun antigen diri harus terdapat
dipermukaan sel sebelum sel T dapat mengikat keduanya (dengan satu
pengecualian penting, yaitu sel-sel asing di transplantasikan secara utuh). Selama
pematangan di timuslah sel T belajar mengenal antigen asing hanya dengan
kombinasi dengan antigen jaringan individu itusendiri, suatu pelajaran yang
diwariskan ke semua turunan sel T berikutnya.
Biasanya diperlukan waktu beberapa hari setelah pajanan ke antigen
tertentu sebelum sel T tersensitisasi atau teraktivasi bersiap untuk melancarkan
serangan imun seleluer. Sewaktu terpajan ke kombinasi antigen spesifik, sel-sel
dari klon sel T komplementer berproliferasi dan berdiferensiasi selama beberapa
hari, menghasilkan sejumlah besar sel teraktvasi yang melaksanankan berbagai
respons imunitas seluler.

1. Sel T sitotoksik, yang menghancurkan sel pejamu yang memiliki antigen


asing, misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker dan sel
cangkokan. Sasaran sel yang paling sering adalah sel pejamu yang sudah
terinfeksi virus. Ketika virus sudah menginvasi sebuah sel, sebagai suatu
keharusan agar ia dapat hidup,pembungkus virus yang terdiri dari protein-
protein antigenik menyatu dengan membran permukaan sel pejamuu. Untuk
mnyerang virus intrsael, sel sitotoksik harus harus menghancurkan sel
pejamu yang telah terinfeksi tersebut. Sel T sitotoksik dari klon yang spesifik
untuk virus tersebut mengenali dan berikatan dengan antigen virus dan antigen
diri di permukaan sel yang terinfeksi. Setelah disensitisasi oleh antigen virus,
sel T sitotoksik mengahancurkan sel korban dengan mengeluarkan zat-zat
kimiawi yang melisiskan sel sebelum replikasi virus dapat dimulai.

2. Sel T penolong, yang meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi sel


plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel penekan (supresor)
yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag. Berikut ini adalah sebagian dari zat-
zat perantara kimiawi yang paling dikenal yang dihasilkan sel T ini :
 Sel T penolong mengeluarkan faktor pertumbuhan sel B yang
meningkatkan kemampuan klon sel B aktif menghasilkan antibodi.
Sekresi antibodi sangat menurun jika tidak terdapat sel T penolong,
walaupun sel T itu sendiri tidak memproduksi antibodi.
 Sel T penolong juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T, yang
juga dikenal sebagai interleukin 2 (IL-2) untuk meningkatkan akrivitas
sel T sitotoksik, sel T penekan, dan bahkan sel T penolong lain
responsif terhadap antigen yang masuk. Pada model yang biasa
interleukin 1 yang dikeluarkan oleh makrofag tidak hanya
meningkatkan aktivitas klon sel B dan sel T yang sesuai, tetapi juga
merangsang sekresi interleukin 2 oleh sel T penolong yang sudah di
aktifkan.
 Sebagai zat kimia yang dihasilkan oleh sel T berfungsi sebagai
kemotaksin untuk menarik lebih banyak neutrofil dan calon makrofag
ke tempat invasi.
 Setelah makrofag di tarik ke daerah invasi, sel T penolong
mengeluarkan macrophage-migration inhibition factor, suatu lmfokin
penting lain yang menahan sel-sel fagsitik besar ini di tempat,
sehingga tidak dapat bermigrasi keluar. Akibatnya terjadi
penumpukan makrofag dalam jumlah besar pada tempat yang
terinfeksi. Faktor ini juga menyebabkan peningkatan daya fagositik
makrofag-makrofag tersebut.
3. Sel T penekan, yang menekan produksi antibodi sel B dan aktivitas sel T
sitotoksik dan penolong. Sel-sel ini tampaknya berfungsi membatasi reaksi
imun melalui mekanisme “check and balance” dengan limfosit yanglain.
Melaui metode umpan balik negatif sel T penolong mendorong sel T penekan
beraksi, sel penekan pada gilirannya, menghambat sel penolong dan sel-sel
lain yang bertugas dipengaruhi oleh sel penolong. Karena lengkung umpan
balik ini, repons imun cenderung bersifat swarsirna. Efek inhibisi oleh sel T
penekan membantu mencegah reaksi imun berlebihan yang dapat
membahayakan tubuh. Peningkatan jumlah sel penekan sebagai respos
terhadap infeksi virus biasanya berlangsung lebih lambat dibandingkan
dengan proliferasi sel T sitotoksik dan sel T penolong, sehingga sel penekan
membantu menghentikan respons imun tersebut dalam melaksanakan
fungsinya. (sherwood 388-393)

D. Antibodi

Antibodi merupakan gamma globulin yang disebut imunoglobulin


(disingkat sebagai Ig), dab berat molekulnya antara 160.000 dan 970.000.
Imunoglobin misalnya menccakup sekitar 20% dari selurub protein plasma.
Semua imunoglobulin terdiri atas kombinasi kombinasii rantai polipeptida ringan
dan berat. Sebagian besar merupakan kombinasi 2 rantai berat dan 2 rantai ringan.

Setiap antibodi bersifat spesifik untuk antigen tertentu, hal ini di sebabkan
oleh struktur organisasi asam amino. Bila antibodi sangat spesifik, maka akan ada
banyak tempat ikatan yang dapat membuat pasangan antibodi-antigen itu sangat
terikat kuat satu sama lain, yaitu dengan cara :

 Ikatan hidrofobik
 Ikatan Hidrogen
 Daya tarik ionik
 Kekuatan Vander Waals.

Terdapat lima golongan antibodi yang diberi nama yaitu, IgM, IgG, IgA, IgD, dan
IgE.

a. IgG, kelas terbanyak yaitu 75-80% immunoglobin serum. IgG diproduksi


dalam jumlah besar selama respon imun. IgG adalah immunoglobulin satu-
satunya yang menembus sawar plasenta dan terbawa ke sirkulasi fetus,
yang akan melindungi neonatus terhadap infeksi untuk periode tertentu.
b. IgA, antibodi utama dalam produk sekresi seperti sekret hidung, bronkus,
usus, prostat, serta di air mata, kolostrum, air liur dan cairan vagina. Di
dalam sekret, IgA terdapat sebagai dimer atau trimer yang disebut IgA
sekretorik disatukan oleh satu rantai polipeptida yang disebut protein J dan
bergabung dengan protein lain, komponen sekretorik. IgA tahan terhadap
enzim, sehingga sekretori dapat memberi perlindungan terhadap proliferasi
mikroorganisme. IgA monomer dan protein J disekresi oleh sel plasma
dalam lamina propria epitel saluran cerna, saluran napas dan saluran
kemih. Komponen sekretorik disintesis oleh sel epitel mukosa dan
ditambahkan ke polimer IgA saat antibodi tersebut diangkut melalui sel
epitel.
c. IgM, merupakan 10% dari immunoglobulin darah dan biasanya terdapat
sebagai pentamer. Bersama IgD, IgM adalah immunoglobulin utama yang
ditemukan pada permukaan limfosit B. Kedua kelas immunoglobulin ini
terdapat dalam bentuk berlapis membran limfosit B berfungsi sebagai
reseptor untuk antigen spesifik. Hasil interaksi ini adalah proliferasi
limfosit B menjadi sel plasma penyekresi-antibodi. IgM yang disekresikan,
bila terikat pada antigen, sangat efektif dalam mengaktifkan sistem
komplomen.
d. IgE, terdapat sebagai suatu monomer. IgE memiliki afinitas yang tinggi
terhadap reseptor yang terletak pada membran plasma sel mast dan basofil,
sehingga IgE yang melekat pada sel-sel ini segera disekresi oleh sel
plasma dan hanya sejumlah kecil yang ditemukan dalam darah.
e. IgD, sifat dan aktivitas IgD belum dipahami seluruhnya. IgD merupakan
monomer dan lebih jarang ditemukan dibanding IgE serta hanya mencapai
0,001 % dari jumlah immunoglobulin dalam plasma. IgD ditemukan pada
membran sel limfosit B. 3
Mekanisme kerja Antibodi

Antibodi bekerja terutama malalui dua cara yaitu dengan langsung menyerang
penyebab penyakit tersebut dan dengan mengaktifkan sistem komplemen.

1. Kerja langsung antibodi terhadap agen yang menginvasi.


Karena sifat bivalen yang dimiliki oleh antibodi dan vanyaknya tempat
antigen pada sebagian besar agen penyebab penyakit, maka antibodi dapat
mematikan aktivitas agen tersebut dengan salah satu cara berikut :
 Aglutinasi : Proses yang menyebabkan banyak partikel besar dengan
antigen di permukaannya, seperti bakteri atau sel darah merah, terikat
bersama-sama menjadi satu gumpalan.
 Presipitasi : Prose3s menyebabkan molekuler dari antigen yang mudah
larut (misalnya racun tetanus) dan antibodi menjadi begitu besar sehingga
menjadi tidak larut dan membentuk presipiitat.
 Netralisasi : Proses yang menyebabkan antibodi menutupi tempat-tempat
yng toksik dari agen yang bersifat antigenik.
 Lisis : Proses yang menyebabkan beberapa antibodi yang sangat kuat
kadang-kadang mampu langsung meyerang membran sel agen penyebab
penyakit sehingga menyebabkan agen tersebut ruptur.

2. Sisitem Komplemen
Suau sistem yang terdiri kia-kira dari 20 protein, yang kebanyakan
prekursor enzim.Pemeranutam dalam sistem ini adalah 11 protein yang
ditandai dengan C1 sampai C9, B, dan D. Protein ini biasanya ada di
antara-antara protein plasma dalam darah dan juga piler masuk ke dalam
ruang jaringan. Biasanya prekursor enzim ini bersifat reaktif yang spesifik,
yang di aktifkan terutama oleh jalur klasik. Jaur klasik di aktifkan oleh
suatu reaksi anntigen-antibodi.
 Opsinisasi dan fagositosis. Salah satu produk kaskade komplemen, yaitu
C3b, dengan kuat menaktifkan proses fagositosis oleh netrofil dan
makrofag menyeabkan sel-sel in menelan bakteri yan telah dilekati oleh
kompleks antigen-antibodi. Proses ini mampii meningkatkan jumlah
bakteri yang dapat dihancurkan , sampai 100 kali lipat.
 Lisis. Produk paling penting dari seluruh produk kaskade komplemen
adalah kompleks litik, yang merupakan kombinasi dari banyak faktor
komplemen dan di tandai dengan C5b6789. Produk ini berpengaruh
merobek membran sel bakteri atau organisme penginvasi lainnya.
 Aglutinasi, Produk komplemen juga mengubah permukaan organisme
yang menginvasi tubuh, sehingga melekat satu sama lain, dan dengan
demikian memicu proses aglutinasi.
 Netralisasi virus. Eenzim komplemen dan produk komplemen lain dapat
menyerang strujtur beberapa virus dan demikian mengubahnya menjadi
non virulen.
 Kemotaksis. Fragmen C5a memiicu kemotaksis netrofil dan makrofag,
menyeabkan sejumlah besar sel fagosit ini bermigrasi kedalam jaringan
yang berbatasan dengan agen antigenik.
 Aktifasi sel mast dan basofil. Fragmen C3a, C4a, dan C5a, mengaktifkan
sel mast dan basofil. Menyebabkan sel-sel melepaskan histamin, heparin,
dan beberapa substansi lainnya kedalam cairan setempat.
 Efek Peradangan. Produk ini menyababkan alran darah meningkat,
peningkatan kebocoran protein dari kapiler, dan protein cairan interstisial
akan berkoagulasi dalam ruang jaringan, sehingga menghambat
pergerakan organisme yang melewati jaringan.
F. Reaksi Hipersensitivitas
Alergi adalah akuisisi reaktivitas imun spesifik yang tidak sesuai, atau
hipersensitivitas, terhadap bahan-bahan lingkungan yang dalam keadaan normal
tidak berbahaya. Bahan penyebab, yang dikenal sebagai alergen, mungkin
merupakan antigen atau berupa hapten yang menjadi antigen hanya apabila
berikatan dengan suatu protein tubuh. Pajanan ulang ke alergen yang sama pada
orang yang sudah tersensitisasi akan mencetuskan suatu serangan imun, yang
dapat bervariasi dari reaksi ringan yang mengganggu sampai reaksi parah yang
merusak tubuh dan bahkan dapat fatal.(5)
Terdapat empat jenis utama reaksi hipersensitivitas, yaitu Tipe I, Tipe II,
dan Tipe III yang diperantarai antibodi; dan Tipe IV yang diperantarai sel.
1. Hipersensitivitas Tipe I (Alergi Reaksi Cepat)
Beberapa orang mempunyai kecenderungan “Alergik”. Alergi semacam
ini disebut alergi atopik karena disebabkan oleh respon imun yang tidak
lazim. Kecenderungan alergi ini diturunkan secara genetis dari orang tua ke
anak, dan ditandai dengan adanya sejumlah besar antibody IgE dalam darah.
Antibody ini disebut regain atau antibody tersensitisasi, dimana IgE
berfungsi dalam melindungi tubuh dari infeksi parasit dan merupakan
mediator pada reaksi alergi untuk melepaskan histamin dari basofil dan sel
mast.Bila suatu alergen (antigen) yang bereaksi secara spesifik dengan
antibody regain IgE tipe spesifik memasuki tubuh, maka terjadi reaksi
alergen-regain, dan kemudian terjadi reaksi alergi.
Sifat khusus Antibody IgE (regain) adalah adanya kecenderungan yang
kuat untuk melekat pada sel mast dan basofil. Sesungguhnya, satu sel mast
atau basofil dapat mengikat sampai setengah juta molekul antibody IgE. Bila
suatu antigen (alergen) telah sampai pada jaringan tempat kerjanya melalui
pembuluh darah, antigen akan merangsang sel B untuk membentuk IgE.
Beberapa IgE kemudian diikat oleh mastosit melalui reseptor Fc
(Crystalizable Fragment).
Pada saat pertama kali terkena alergen, akan merangsang limfosit untuk
memproduksi antibodi (IgE) terhadap alergen tersebut. Beberapa antibody
IgE kemudian akan melekat pada sel mast atau basofil jaringan. Bila orang
terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat
oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastosit, maka pengikatan ini
menyebabkan perubahan segera pada membran sel mast dan basofil,
mungkin disebabkan oleh efek fisik dari molekul antibodi yang dapat
merubah membran sel.
Perubahan ini menyebabkan pada setiap saat banyak sel mast dan basofil
akan mengalami rupture, sehingga ada juga basofil atau sel mast yang segera
melepaskan substansi khusus seperti histamin, protease, substasi anafilaksis
yang bereaksi lambat ( yang merupakan campuran Leukotrien- Leukotrien
toksik), substansi eosinofil, substansi kemotaksik netrofil, heparin, dan
factor pengaktif trombosit. Substansi-substansi ini menyebabkan beberapa
efek seperti dilatasi pembuluh darah setempat; penarikan eosinofil dan
neutrofil menuju tempat yang reaktif; peningkatan permeabelitas kapiler dan
hilangnya cairan ke dalam jaringan; dan kontraksi sel otot polos lokal.
Karena itu, dapat terjadi beberapa respons jaringan, bergantung pada macam
jaringan tempat reaksi alergen-reagen terjadi. Beberapa reaksi alergi yang
disebabkan oleh pola ini, antara lain: asma, rinitis, dermatitis atopi, urtikaria,
anafilaksis.
2. Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Sitotoksik)
Hipersensitivitas tipe II melibatkan pengikatan antibodi (IgG atau IgM)
ke antigen permukaan sel atau molekul matriks ekstraseluler. Antibodi yang
ditujukan pada antigen permukaan sel dapat mengaktifkan komplemen (atau
efektor lain) untuk merusak sel. Antibodi (IgG atau IgM) melekat pada
antigen melalui regio Fab dan bekerja sebagai jembatan terhadap
komplemen melalui regio Fc. Hasilnya dapat terjadi lisis yang diperantarai
komplemen.Beberapa reaksi alergi yang disebabkan oleh pola ini, antara
lainreaksitransfusi, reaksiobat, Sindrom Good Pasture, miastenia gravis,
pemvigus.
3. Hipersensitivitas Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Bila antibodi bergabung dengan antigen spesifiknya, akan terbentuk
kompleks imun. Biasanya, kompleks imun akan segera dibuang oleh sistem
retikuloendotelial, tetapi kadang-kadang kompleks ini menetap dan
tersimpan dalam jaringan, menyebabkan beberapa gangguan. Pada infeksi
mikroba atau virus yang persisten, kompleks imun dapat tersimpan dalam
organ, yang menyebabkan disfungsi. Pada gangguan autoimun, antigen
“self” dapat memicu antibodi yang berikatan dengan antigen organ atau
tersimpan dalam organ dan jaringan dalam bentuk suatu kompleks, terutama
pada persendian (artritis), ginjal (nefritis), dan pembuluh darah (vaskulitis).
Akhirnya, antigen lingkungan seperti spora fungi dan beberapa obat tertentu
dapat menyebabkan pembentukan kompleks imun disertai timbulnya
penyakit. (sherwood lama 399-401)

2.3 ASPEK BIOKIMIA


Imunoglobulin plasma berperan penting dalam mekanisme pertahanan tubuh.
Komponen utama sistem imun, yaitu:
1. Limfosit B, terutama berasal dari sumsum tulang belakang.
2. Limfosit T, berasal dari kelenjar thymus.
Sel limfosit B bertanggung jawab atas sintesis humoral yang beredar dalam
darah, disebut juga imunoglobulin. Sel limfosit T terlibat dalam berbagai proses
imunologik yang diperantarai oleh sel, misalnya reaksi penolakan terhadap
transplantasi jaringan, hipersensitifitas, pertahanan terhadap sel ganas dan virus.
Struktur immunoglobulin, yaitu tiap 1 molekul imunoglobulin mengandung:
1. Dua Rantai Ringan (L), terdiri dari:
a. Regio Konstan (CL), bagian yang menuju ke arah terminal karboksil.
b. Regio Variabel (VL), bagian ujung terminal amino.
c. Mengandung 2 rantai lambda atau 2 rantai kappa.
2. Dua Rantai Berat (H), terdiri dari :
a. Regio Variabel (VH), pada seperempat bagian ujung terminal amino.
b. Regio Konstan (CH), pada tiga perempat sisanya.
Kelas immunoglobulin dikelompokkan berdasarkan perbedaan pada regio
CH (rantai berat regio konstan). Simbol: γ, α, µ, δ dan ε. Semua rantai memiliki 3
domain CH, kecuali Rantai µ dan ε memiliki 4 buah domain CH. Lima kelas
immunoglobulin, yaitu IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE.
Fungsi utama immunoglobulin, yaitu:
1.IgG
IgG berfungsi sebagai antibodi utama dalam respon sekunder.
Mengopsonisasi bakteri, dan menyebabkan bakteri tersebut lebih mudah
untuk difagositosis. Memfiksasi komplemen, yang meningkatkan
pemusnahan bakteri. Menetralkan toksin bakteri dan virus. Melewati
plasenta.
2.IgA
IgA berfungsi sebagai sekretorik untuk mencegah melekatnya bakteri
dan virus pada membran mukosa. Tidak memfiksasi komplemen.
3.IgM
IgM dibentuk dalam respons primer terhadap antigen. Memfiksasi
komplemen. Tidak dapat menembus plasenta. Reseptor antigen pada
permukaan sel B.
4.IgD
Fungsi utamanya tidak jelas. Banyak ditemukan pada permukaan sel B
serta di dalam serum.
5.IgE
IgE berfungsi memperantarai hipersensitivitas tipe cepat dengan
menyebabkan pelepasan mediator dari sel mast dan basofil jika terpajan oleh
antigen (alergen). Pertahanan terhadap infeksi cacing dengan menyebabkan
pelepasan berbagai enzim dari eosinofil. Tidak memfiksasi komplemen.
Pertahanan utama pejamu terhadap infeksi cacing.
Regio variabel L dan H, pada molekul imunoglobullin, tidak ada dua regio
varibel yang identik. Rantai L memiliki 3 regio variabel, dan rantai H memiliki 4
regio variabel. Regio hipervariabel (CDR = Complementary Determining
Regions) dibentuk dari 5-10 asam amino dan terletak pada lengkung kecil domain
yang bervariasi. Regio polipeptida yang mengelilingi CDR disebut framework
regions (kerangka kerja). CDR dari domain VH dan VH yang disatukan oleh
pelipatan rantai polipeptida inilah yang menyusun tapak Ag-Ab yang berada di
ujung Y disebut juga Fab (Antigen binding Fragment). Kombinasi CDR rantai H
dan L inilah yang menentukan spesifisitas Ab yang bersifat Combinatorial
Diversity. Antigen yang besar berikatan dengan semua CDR tetapi ligand yang
kecil hanya berikatan dengan satu atau beberapa CDR (terjadi saling
komplementer antara permukaan CDR dan epitop). Reaksi ini melibatkan ikatan
van der Waals, ikatan hidrogen dan hidrofobik (Gaya non kovalen)
Regio konstan L dan H, merupakan Fc (Crystalizable Fragment). Berfungsi
sebagai efektor spesifik pada tiap molekul imunoglobulin yang berbeda. Terutama
terletak pada CH2 dan CH3 (serta CH4 paga IgM dan IgE). IgG hanya terdapat
struktur tetramer dasar, sedangkan IgA dan IgM dalam tingkatan tetramer yang
lebih tinggi.
Rantai L dan H merupakan produk gen yang multiple. Setiap rantai L
disusun sedikitnya dari 3 gen stuktural, yaitu: (1) gen regio penghubung (J),
kecuali IgA atau IgM, (2) gen regio variabel (V), dan (3) gen regio konstan (C).
Setiap rantai H sedikitnya disusun dari 4 gen struktural, yaitu: (1) gen regio
divesitas (D), (2) gen regio penghubung (J), (3) gen regio variabel (V), (4) gen
regio konstan (C).
Yang menentukan keragaman antibody, yaitu keberadaan segmen gen yang
multiple, rekombinasi segmen gen tersebut, kombinasi rantai L dan H, frekuensi
mutasi somatik dalam gen imunologik, keragaman sambungan (junctional
diversity) yang meliputi penambahan dan delesi jumlah nukleotida yang acak saat
segmen gen tertentu disatukan.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 MEKANISME TERJADINYA ALERGI


Alergi merupakan akuisisi reaktivitas imun spesifik yang tidak sesuai, atau
hipersensitivitas, terhadap bahan-bahan lingkungan yang dalam keadaan normal
tidak berbahaya. Bahan penyebab alergi dikenal sebagai alergen.
Pada trigger, reaksi yang terjadi pada joni termasuk dalam hipersensitivitas
tipe I (tipe cepat). Reaksi seperti pada trigger disebut alergi atopik karena
disebabkan oleh respon imun yang tidak lazim. Kecenderungan alergi ini
diturunkan secara genetis dari orang tua ke anak, dan ditandai dengan adanya
sejumlah besar antibody IgE dalam darah. Antibody ini disebut regain atau
antibody tersensitisasi, dimana IgE berfungsi dalam melindungi tubuh dari infeksi
parasit dan merupakan mediator pada reaksi alergi untuk melepaskan histamin
dari basofil dan sel mast. Bila suatu alergen (antigen) yang bereaksi secara
spesifik dengan antibody regain IgE tipe spesifik memasuki tubuh, maka terjadi
reaksi alergen-regain, dan kemudian terjadi reaksi alergi.(guyton baru) (halaman
476)
Alergen yang paling sering merangsang hipersensitivitas tipe cepat adalah
butir-butir serbuk sari, sengatan lebah, penisilin, makanan tertentu, kapang, debu,
dan bulu binatang (unggas atau mamalia).(5)(Sherwood lama) (halaman 399-400).
Untuk alasan yang tidak diketahui, allergen-alergen tersebut berikatan dengan dan
mencetuskan sintesis antibody IgE dan bukan antibody IgG yang berkaitan
dengan antigen bakteri. Sewaktu individu dengan kecenderungan alergi terpajan
pertama kali ke allergen tertentu, sel-sel B kompatibel mensintesis antibody IgE
yang spesifik untuk allergen tersebut. Yang lebih penting, juga dibentuk sel-sel
pengingat yang bersiap untuk melancarkan respon yang lebih kuat pada pajanan
ulang ke allergen yang sama.
Berbeda dengan respon humoral yang dicetuskan oleh antigen bakteri,
antibody IgE tidak beredar bebas. Bahkan, bagian ekor antibody ini melekat ke sel
mast dan basofil. Pengikatan allergen yang sesuai dengan antibody IgE yang
melekat tersebut mencetuskan pengeluaran beberapa zat perantara kimiawi dari
sel mast dan basofil yang bersangkutan. Sebuah sel mast atau basofil mungkin
dilapisi oleh sejumlah antibody IgE yang berbeda-beda yang masing-masing
mampu berikatan dengan allergen yang berbeda-beda. (sherwwod lama) (hal 399-
400)

3.2 KANDUNGAN MAKANAN PENYEBAB DAN PENCETUS ALERGI


Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau
polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan
enzim proteolitik. Sebagian besar alergen pada makanan adalah glikoprotein dan
berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton. Molekul-molekul kecil lainnya juga
dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik secara langsung atau melalui
mekanisme hapten-carrier. Perlakuan fisik misalnya pemberian panas dan tekanan
dapat mengurangi imunogenisitas sampai derajat tertentu. Pada pemurnian
ditemukan allergen yang disebut sebagai Peanut-1 suatu glikoprotein dengan berat
molekul 180.000 dalton. Pemurnian pada udang didapatkan allergen-1 dan
allergen-2 masing-masing dengan berat molekul 21.000 dalton dan 200.000
dalton. Pada pemurnian alergen pada ikan diketahui allergen-M sebagai
determinan walau jumlahnya tidak banyak. Ovomukoid ditemukan sebagai
alergen utama pada telur.
Pada ikan akan menimbulkan gejala gangguan kulit berupa urtikaria.
Setiap makanan berbeda gejala, hal ini juga tergantung dengan organ yang sensitif
pada tiap individu. Meskipun demikian ada beberapa pakar alergi makanan yang
berpendapat bahwa jenis makanan tidak spesifik menimbulkan gejala tertentu.
Timbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh penyebab alergi, tapi juga
dipengaruhi oleh pencetus alergi. Beberapa hal yang menyulut atau mencetuskan
timbulnya alergi disebut faktor pencetus. Faktor pencetus tersebut dapat berupa
faktor fisik seperti tubuh sedang terinfeksi virus atau bakteri, minuman dingin,
udara dingin, panas atau hujan, kelelahan, aktifitas berlebihan tertawa, menangis,
berlari, olahraga. Faktor psikis berupa kecemasan, sedih, stress atau ketakutan.
Faktor pencetus sebetulnya bukan penyebab serangan alergi, tetapi
menyulut terjadinya serangan alergi. Tanpa paparan alergi maka faktor pencetus
tidak akan terjadi. Bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi disertai
dengan adanya pencetus maka keluhan atau gejala alergi yang timbul jadi lebih
berat. Tetapi bila tidak mengkonsumsi makanan penyebab alergi meskipun
terdapat pencetus, keluhan alergi tidak akan muncul. Hal ini yang dapat
menjelaskan kenapa suatu ketika meskipun dingin, kehujanan, kelelahan atau
aktifitas berlebihan seorang penderita asma tidak kambuh. Karena saat itu
penderita tersebut sementara terhindar dari penyebab alergi seperti makanan, debu
dan sebagainya. Namun bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi bila
terkena dingin atau terkena pencetus lainnya keluhan alergi yang timbul lebih
berat.

3.3 MEKANISME URTIKARIA

Pada hipersensitivitas tipe I, bila orang yang tersensitisasi terpajan ulang


dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah
ada pada permukaan mastosit, pengikatan ini menyebabkan perubahan segera
pada membran sel mast dan basofil. Perubahan tersebut menyebabkan banyak sel
mast dan basofil akan mengalami rupture, sehingga melepaskan zat perantara
kimiawi (mediator), seperti histamin.(6)

Histamin yang dikeluarkan menyebabkan vasodilatasi lokal, peningkatan


permeabilitas kapiler, dan edema lokal. Vasodilatasi lokal bertujuan untuk
meningkatkan penyaluran darah lokal sehingga lebih banyak leukosit fagositik
dan protein plasma yang tiba di tempat sel-sel pembawa IgE bertemu dengan
alergen.(5) (Sherwood lama) (halaman 369)

Histamin yang dikeluarkan juga meningkatkan permeabilitas kapiler dengan


memperbesar pori-pori kapiler, sehingga protein-protein plasma yang dalam
keadaan normal tidak dapat keluar dari pembuluh darah dapat lolos ke jaringan
yang meradang.(5)

Protein plasma yang bocor dan tertimbun di cairan interstisium tersebut


menimbulkan tekanan osmotik koloid. Peningkatan tekanan osmotik lokal ini,
yang disertai dengan peningkatan tekanan darah kapiler akibat peningkatan aliran
darah, cenderung meningkatkan filtrasi dan menurunkan reabsorpsi cairan
menembus kapiler yang bersangkutan. Hasil akhir pergeseran keseimbangan
cairan ini adalah oedema lokal.(5)(Sherwood lama)

Oleh sebab itu, pembengkakan yang sering kita jumpai menyertai peradangan
disebabkan oleh perubahan-perubahan vaskuler yang diinduksi oleh histamin.
Demikian juga, manifestasi peradangan lain yang bersifat makro, misalnya gatal,
kemerahan, panas, dan nyeri. Kemerahan dan panas disebabkan oleh peningkatan
aliran darah arteri yang hangat ke jaringan yang rusak. Nyeri disebabkan oleh
distensi lokal di dalam jaringan yang membengkak dan oleh efek langsung zat-zat
lokal di ujung-ujung reseptor neuron aferen yang mempersarafi daerah
tersebut.(Sherwood lama) hal 370

3.4 MEKANISME SESAK NAFAS


Pada sebagian orang yang alergi dapat mengalami sesak nafas, awalnya akan
nampak gejala-gejala yang bervariasi bergantung pada tempat, alergen, mediator
yang terlibat. Apabila reaksi terbatas di saluran nafas atas setelah seseorang
menghirup alergen, zat-zat kimia yang dilepaskan akan menimbulkan gejala-
gejala yang khas untuk hay fever. Sebagai contoh penyumbatan hidung yang
disebabkan oleh oedema lokal yang diinduksi oleh histamin dan bersin serta pilek
akibat peningkatan sekresi mukosa sebagai respon terhadap iritasi lokal. Jika
reaksi terkonsenterasi di bronkiolus (saluran nafas halus yang menuju ke kantung
udara kecil di dalam paru), akan menimbulkan asma.
Kontraksi otot polos di dinding bronkiolus mempersempit atau menyebabkan
konstriksi saluran nafas tersebut, sehingga individu yang bersangkutan sulit
bernafas. Selain itu sesak nafas juga dapat terjadi ketika seseorang dengan alergi
mengalami anafilaksis, dimana basofil dan sel mast yang teraktivasi juga
melepaskan suatu campuran leukotrien yang disebut substansi anafilaksis bereaksi
lambat. Leukotrien-leukotrien ini dapat menyebabkan spasme atau kejang otot
polos bronkiolus, sehingga menimbulkan serangan seperti sesak nafas dan
kadang-kadang menimbulkan kematian akibat mati lemas.

Anda mungkin juga menyukai