Anda di halaman 1dari 12

CUTANEOUS LARVA MIGRANS

Ivan Alexander Liando, S.Ked


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang

PENDAHULUAN
Cutaneous larva migrans (CLM) atau creeping eruption, merupakan peradangan kulit
berbentuk linear atau berkelok-kelok dan progresif disebabkan oleh infestasi dan migrasi larva
cacing tambang ke epidermis.1,2,3 Peradangan kulit ini disebabkan Ancylostoma braziliense,
Ancylostoma caninum, Ancylostoma ceylanicum, Uncinaria stenocephala dan Bubostomum
phlebotomum.4
Infestasi cacing tambang berkembang di negara tropis dan subtropis seperti Amerika
Serikat bagian tenggara, Kepulauan Karibian, Afrika, Amerika Tengah, Amerika Selatan, India,
dan Asia Tenggara yang merupakan suatu kondisi lingkungan yang kondusif bagi siklus hidup
cacing.1,2. Prevalensi CLM di pedalaman Negara brazil berkisar 14,9% pada anak dibawah 5
tahun dan 0,7% pada dewasa.5
Prevalensi infeksi cacing tambang di Indonesia berkisar 30-50%, lebih tinggi ditemukan
di daerah perkebunan, seperti di perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat (93,1%) dan di
perkebunan kopi di Jawa Timur (80,69%). Tingginya prevalensi dipengaruhi oleh sifat pekerjaan.
Sebagai contoh kelompok karyawan yang mengolah tanah di perkebunan teh atau karet akan
terus menerus terpapar sumber kontaminasi.6
Referat ini dibuat untuk menambah informasi dan wawasan mengenai CLM agar dapat
menegakkan diagnosis secara tepat dan memberikan terapi yang tepat. Dalam referat ini akan
dibahas mengenai epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding,
tatalaksana, dan prognosis CLM.

1
2

DEFINISI
Cutaneous larva migrans (CLM) disebut juga creeping eruption, creeping verminous
dermatitis, sandworm eruption, plumber’s itch, duck hunter’s itch, merupakan kelainan kulit
yang disebabkan oleh penetrasi dan migrasi larva cacing tambang ke epidermis yang berasal dari
kucing dan anjing, terbanyak disebabkan oleh Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum,
dan Ancylostoma ceylanicum. CLM secara klinis diartikan sebagai lesi yang linear, serpiginosa,
menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi atau merambat dalam pola yang tidak teratur. 1,2,4

EPIDEMIOLOGI
CLM banyak ditemukan pada daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab
terutama pada negara tropis dan subtropis seperti Amerika Serikat bagian tenggara, Kepulauan
Karibian, Afrika, Amerika Tengah, Amerika Selatan, India, dan Asia Tenggara yang merupakan
suatu kondisi lingkungan yang kondusif bagi siklus hidup cacing.1
Aktivitas yang menjadi faktor predisposisi terjadinya CLM yaitu kontak dengan pasir atau
tanah yang terkontaminasi feses hewan seperti bermain di pasir, berjalan tanpa alas kaki di pantai,
dan bekerja yang berhubungan dengan tanah seperti petani, tukang kebun dan tukang ledeng. 1
Mayoritas kasus di AS terjadi di sepanjang pantai tenggara dan disebabkan oleh penetrasi larva
cacing tambang Ancylostoma braziliense akibat kontak langsung dengan pasir atau tanah yang
telah terkontaminasi oleh kotoran anjing dan kucing. 2

ETIOLOGI
Larva cacing tambang yang menyebabkan CLM biasa disebut sebagai Hookworm-related
CLM (HrCLM). Ancylostoma braziliense adalah penyebab terbanyak CLM. Ancylostoma
caninum, dan Ancylostoma ceylanicum menjadikan anjing dan kucing sebagai inangnya.
Uncinaria stenocephala pada anjing eropa dan Bunostomum phlebotomum pada hewan ternak.1
Pada umumnya larva ini merupakan stadium ketiga siklus hidupnya. Cacing tambang
yang termasuk golongan nematoda ini hidup pada inangnya, telur terdapat pada kotoran binatang
dan berubah menjadi larva pada saat lembab yang dapat mengadakan penetrasi ke kulit manusia.
Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang epidermis yang menimbulkan
gejala pada kulit setelah penetrasi beberapa jam hingga hari.2
Di epidermis, larva Ancylostoma brazilense akan bermigrasi dan menyebabkan CLM
selama beberapa minggu sebelum larva tersebut mati. Di sisi lain, larva Ancylostoma caninum
3

dan Ancylostoma ceylanicum dapat melakukan penetrasi yang lebih dalam dan menimbulkan
gejala klinis yang lain seperti enteritis eosinofilik.1

PATOGENESIS
Cacing tambang dewasa hidup di usus anjing dan kucing. Telur keluar bersama tinja pada
kondisi yang menguntungkan (lembab, hangat, dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva
menetas dalam 1-2 hari. Larva rabditiform tumbuh di tinja dan/atau tanah, dan menjadi larva
filariform (larva stadium tiga) yang infektif setelah 5 sampai 10 hari. Larva infektif ini dapat
bertahan selama 3 sampai 4 minggu di kondisi lingkungan yang sesuai seperti lingkungan yang
tidak terkena sinar matahari langsung dan berada dalam lingkungan yang lembab. Jika terjadi
kenaikan suhu, maka larva akan mencari penjamunya. Pada kontak dengan pejamu hewan (anjing
dan kucing), larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah menuju jantung dan
paru-paru. Larva kemudian menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke faring dan tertelan.
Larva mencapai usus kecil, kemudian tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup
dalam lumen usus kecil dan menempel di dinding usus. Beberapa larva ditemukan di jaringan dan
menjadi sumber infeksi bagi anak anjing melalui transmammary atau transplasenta.5,7
Pada hewan, larva dapat menembus stratum korneum epidermis. Larva infektif
mengeluarkan protease agar dapat bermigrasi melalui folikel, fisura atau kulit intak. Setelah
penetrasi stratum korneum, larva melepas kutikelnya pada inangnya dan menembus dermis
sehingga dapat melengkapi siklusnya dengan hidup pada organ dalam. Hal ini menginduksi
reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Sedangkan pada manusia, larva tidak memiliki enzim
kolagenase yang cukup untuk menembus membran basa dan menyerang dermis, sehingga larva
tidak dapat melanjutkan hidupnya. Akibatnya selamanya larva terjebak di jaringan kulit penderita
hingga masa hidup dari cacing itu berakhir.5,7
Larva cacing tambang mensekresi beberapa protease yang dilepaskan ketika larva aktif,
dianggap mencerna molekul-molekul besar dan jaringan kulit. Diantaranya, Ancylostoma
caninum astacin-like zinc-metalloprotease (Ac-MTP-1) telah ditemukan sebagai produk sekret
dari larva cacing tambang. Selain protease larva cacing tambang juga memproduksi hialuronidase
yang mempunyai kemampuan untuk menghancurkan komponen-komponen dari matriks
ekstraseluler. Kombinasi dari dua enzim pencerna ini diduga berperan dalam penetrasi cacing
tambang pada kulit manusia. Larva cacing tambang memasuki kulit manusia melewati folikel
4

rambut dan kelenjar sebaseous. Larva tersebut memulai migrasi dalam kulit setelah 4 hari
penetrasi dan lebih aktif pada malam hari.7

Gambar 1. Siklus hidup larva5

MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi sepanjang 1-6 hari dari waktu terpapar sampai timbulnya gejala. Gejala
kulit berupa pruritus lokal dimulai setelah penetrasi larva dan timbul papul pada lokasi penetrasi.
Adanya lesi papul yang eritematosa menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit
selama beberapa jam atau hari. Lesi kulit CLM kemudian menjadi lesi yang khas berupa lesi
yang serpiginous, tipis, linier, meninggi, dan terdapat lesi seperti terowongan (burrow) dengan
lebar lesi 2-3 mm (gambar 2). Migrasi larva baru dimulai setelah hari keempat setelah penetrasi
larva ke kulit, dan lesi bertambah sekitar 2 cm perhari, walaupun pada beberapa kasus migrasi
baru muncul setelah beberapa bulan. Lesi linear dapat tertutup oleh gambaran papul diatasnya
yang menandakan terjadi fase resting larvae. Muncul beberapa atau lesi yang lebih dari satu
tergantung pada jumlah penetrasi larva.1,2,4
5

Gambar 2. Creeping eruption pada kaki1

Larva tidak dapat menembus membran basalis sehingga hanya terbatas pada epidermis
antara stratum germinativum dan stratum corneum dan menyebabkan reaksi inflamasi eosinofil.
Kebanyakan larva tidak dapat bermigrasi lebih jauh atau menginvasi jaringan lebih dalam,
kemudian mati setelah 2 sampai 8 minggu tanpa pengobatan dengan terjadi perbaikan pada
erupsi. Walaupun ada beberapa kasus bisa bertahan hingga lebih dari 1 tahun. Sesekali, Larva
dapat keluar dari kulit akibat garukan penderita akibat gatal dan panas pada lesi. Akibat garukan
tersebut dapat timbul lesi sekunder berupa erosi, ekskoriasi dan infeksi sekunder.1,2
Lesi biasanya terdapat pada area terbuka dan sering terpapar seperti ekstremitas distal
bagian bawah, bokong, alat kelamin, tangan juga di bagian tubuh di mana saja yang sering
berkontak dengan tempat larva berada. Terkadang terdapat manifestasi purulen akibat infeksi
sekunder berupa erosi dan eksoriasi akibat garukan (10% kasus). Eosinofilia bisa terjadi.1,2
Tidak terlalu sering namun dilaporkan adanya folikulitis cacing tambang, terdiri dari 20-
100 papul dan pustul folikel eosinofilik terbatas pada area khusus di tubuh, biasanya bokong.
Pasien dengan folikulitis biasanya terdapat creeping eruption juga. Lesi papul tanpa CLM
(papular larva migrans) jarang muncul. Tanda kutaneus lainnya berkaitan dengan migrasi
subkutan dari larva cacing kadang-kadang digambarkan, seperti urtikaria dan panikulitis. Gatal
dapat menjadi sangat menyakitkan dan jika tergores memungkinkan terjadi infeksi bakteri
sekunder, gatal akan berhenti setelah parasit mati. CLM dapat diikuti oleh Loeffler syndrome,
yaitu dengan manifestasi klinis patch infiltrat pada paru dan eosinofilia sebesar 50% di darah dan
90% di sputum, khususnya pada infestasi berat.1,2,4
DIAGNOSIS
Diagnosis CLM biasanya ditegakkan secara klinis. Meskipun diagnosis biasanya dibuat
6

secara klinis, berdasarkan karakteristik lesi berupa adanya bintik merah menonjol yang gatal
kemudian menjadi memanjang dan berkelok membentuk alur di bawah kulit dan adanya riwayat
pajanan (misalnya berjalan tanpa alas kaki), biopsi kadang-kadang dilakukan untuk
mengidentifikasi larva dalam epidermis. Didalam dermis, terdapat infiltrat inflamasi yang terdiri
dari limfosit, histiosit dan eosinofil. Terkadang, eosinofil terdapat dalam epidermis dan dalam
follikel rambut.1,2,4
Karena larva jarang menembus kulit yang lebih dalam, manifestasi sistemik seperti
migratory pulmonary infiltrates dan eosinofilia perifer (sindrom Loeffler) jarang terjadi. Temuan
sistemik yang umum adalah ditemukannya eosinofilia sedang pada pemeriksaan darah perifer.
Karena pruritus hebat dan proses penggarukan, bisa terjadi infeksi bakteri yang dapat
mempersulit gambaran klinis.2
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan laboratorim
dan biopsi. Pada pemeriksaan hematologi didapatkan eosinofilia perifer. Selain itu, pada
pemeriksaan dermatopatologi akan terlihat bagian dari parasit yang dapat dilihat pada spesimen
biopsi dari lesi, walaupun jarang dilakukan.1,2,4
Folikulitis juga dapat didiagnosis secara klinis; jika tidak, biopsi kulit mungkin
diperlukan. Temuan histopatologi dapat berupa larva yang terperangkap dalam saluran folikel,
stratum corneum, atau dermis, bersama-sama dengan infiltrat inflamasi. Kerokan kulit pada
pasien dengan follikulitis dapat mengungkapkan larva hidup dan mati ketika diperiksa dengan
mikroskop cahaya dengan minyak mineral.1

DIAGNOSIS BANDING
1. Skabies
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var. homini,
famili Sarcoptidae, dan kelas Arachnida. Skabies dikarakteristikkan dengan lesi papular pruritus,
eksoriasi, dan terowongan (burrows). Tempat predileksi termasuk sela-sela jari, pergelangan
tangan, aksila, areola, umbilikus, perut bagian bawah, genital dan bokong. Terowongan muncul
sedikit lebih tinggi, keabu-abuan, garis berliku-liku di kulit.6
7

Gambar 3. Scabies.2
Skabies memiliki gejala klinis seperti pruritus nokturnal, adanya terowongan (kanalikuli)
pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau
berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel.
Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih
stadium hidup tungau ini. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam
sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Dengan melihat adanya
terowongan harus dibedakan dengan skabies. Pada skabies terowongan yang terbentuk tidak akan
sepanjang seperti pada creeping eruption.3,6

2. Herpes Zoster

Gambar 4. Herpes zoster1


Bila invasi larva yang multiple timbul serentak papul-papul lesi dini sering menyerupai
herpes zoster stadium permulaan. Herpes zoster adalah penyakit yang yang disebabkan infeksi
virus varisela zoster yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus
yang terjadi setelah reaksi primer. Kadang-kadang infeksi primer berlangsung subklinis.
Frekuensi pada pria dan wanita sama, lebih sering mengenai usia dewasa.3
8

Daerah yang sering terkena adalah daerah torakal. Terdapat gejala prodromal sistemik
seperti demam, pusing, malaise. Sedangkan gejala lokal nyeri otot-tulang, gatal, pegal dan
sebagainya. Disamping gejala kulit berupa papul yang timbul serentak dijumpai pembesaran
kelenjar getah bening regional. Lokalisasi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai tempat
persarafan.3,6

3. Insect bite
Insect bite merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh gigitan dari hewan. Kelainan
kulit disebabkan oleh masuknya zat farmakologis aktif dan sensitasi antigen dari hewan tersebut.
Dalam beberapa menit akan muncul papul persisten yang seringkali disertai central hemmoragic
punctum. Reaksi bulosa sering terjadi pada kaki anak-anak. Pada permulaan timbulnya creeping
eruption akan ditemukan papul yang menyerupai insect bite (Gambar 5). Perbedaanya dengan
creeping eruption, pada insect bite mempunyai riwayat gigitan serangga dan tidak adanya
tampilan khas, papul yang linear atau berkelok-kelok dan serpinginosa.3

Gambar 5. Insect bite.1

4. Larva Currens
Infeksi intestinal oleh larva Strongyloides stercoralis dengan migrasi yang cepat sehingga
disebut larva currens (currens artinya berlari). Larva currens adalah autoinfeksi karena penetrasi
pada kulit perianal setelah defekasi. Lesi kulit pertama kali berupa urtikaria yang melingkar
9

perianal, petekie dan purpura yang semakin lebar, dan jika terdapat lesi papul linear atau berkelok
maka panjangnya 10 cm perhari. Setelah penetrasi melalui kulit, kemudian larva masuk ke usus
dan menyebabkan gejala sakit perut, diare, konstipasi, nausea, muntah, follikulitis eosinofilik dan
eosinofilia perifer (gambar 6).1,2

Gambar 6. Larva Currens. Multipel, pruritus, serpiginous,


inflamasi area penetrasi S. stercoralis pada regio gluteal.1

5. Gnathostomiasis
Adalah perdangan pada kulit akibat penetrasi dan migrasi larva Gnathostoma spigerum.
Gnathostoma spesies banyak pada asia tenggara seperti Thailand dan jepang. Penetrasi umumnya
berasal dari hewan yang terinfeksi seperti ikan, amfibi atau reptile atau pada air yang
terkontaminasi. Fase penetrasi dimulai 1-2 hari setelah memakan larva yang ada pada makanan
yang tidak matang. Muncul urtikaria dan gejala sistemik berupa demam, mual, muntah, diare dan
nyeri pada ulu hati yang hilang setelah 2 hari. Migrasi larva melalui kulit dan jaringan subkutan
menyebabkan migratory swelling (eosinophilic panniculitis), creeping dermatitis (1 cm perjam),
papul dan nodul. Migratory swelling berkembang cepat dan bertahan 1-4 minggu dan kemudian
terjadi perbaikan. Predileksi pada badan dan paha.1

PENATALAKSANAAN
Meskipun penyakit ini sembuh dengan sendirinya, manusia adalah host “dead-end".
Kebanyakan larva mati dan lesi sembuh dalam 2-8 minggu dan jarang hingga 2 tahun. Dalam
sebuah penelitian, 25-33% larva mati setiap 4 minggu, sedangkan 81% dari lesi menghilang
dalam 4 minggu. Beberapa bertahan selama berbulan-bulan.4
10

Nonmedikamentosa
Pencegahan dilakukan dengan menghindari kontak kulit langsung dengan tanah yang
tercemar tinja, memproteksi diri seperti memakai alas kaki dan memperhatikan kebersihan dan
menghindari kontak yang terlalu banyak dengan hewan-hewan yang merupakan karier cacing
tambang. Pasien diusahakan tidak menggaruk lesi, cukup digosok lembut karena akan membuat
lesi baru dan berisiko mengalami infeksi sekunder.1

Medikamentosa
Topikal
Walaupun dapat sembuh dengan sendirinya setelah beberapa bulan tetapi rasa gatal yang
ditimbulkan sangat mengganggu dan meningkatkan resiko infeksi sekunder oleh bakteri yang
dipicu karena garukan. Thiabendazol topikal dengan suspensi 10% atau krim 15% yang
digunakan empat kali sehari, akan mengurangi pruritus dalam 3 hari, dan membuat saluran
(burrow) menjadi tidak aktif dalam 1 minggu. Metronidazole topikal juga telah dilaporkan
efektif.2
Sistemik
Hasil pemakaian albendazole atau ivermektin telah berhasil diobservasi. Ivermektin
200 ug/kg, umumnya diberikan single dose 12 mg dan dilanjutkan hari berikutnya. pemberian
albendazol, 400 mg per hari (maksimum 800 mg/hari) selama 3 hari juga efektif sebagai
pengobatan. Kriteria keberhasilan terapi dilihat dari berkurangnya gejala dan creeping eruption
yang berhenti yang biasanya terjadi setelah 1 minggu pemberian.2
Pilihan terapi lain adalah cryotherapy yaitu dengan menggunakan CO2 snow (dry ice)
dengan penekanan selama 45” sampai 1’, dua hari berturut-turut. Penggunaan N 2 liquid juga
dicobakan. Cara beku dengan menyemprotkan kloretil sepanjang lesi. Karena larva biasanya telah
pindah melebihi lesi kulit yang terlihat dan lokasinya tidak dapat ditentukan, dan bila terlalu lama
dapat merusak jaringan sekitarnya sehingga krioterapi tidak disarankan.3

PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini biasanya baik dan merupakan penyakit self-limited, dimana larva
akan mati dan lesi membaik dalam waktu 4-8 minggu jarang hingga 2 tahun. Dalam sebuah
penelitian, 25-33% larva mati setiap 4 minggu, sedangkan 81% dari lesi menghilang dalam 4
11

minggu. Beberapa bertahan selama berbulan-bulan. Dengan pengobatan progresi lesi dan rasa
gatal akan hilang dalam waktu 48 jam.1

KESIMPULAN
Cutaneous larva migrans (CLM) atau creeping eruption merupakan kelainan kulit yang
disebabkan oleh penetrasi dan migrasi larva cacing tambang ke epidermis yang berasal dari
kucing dan anjing. Peradangan kulit ini disebabkan oleh Ancylostoma braziliense, Ancylostoma
caninum, Ancylostoma ceylanicum, Uncinaria stenocephala dan Bubostomum phlebotomum.
CLM secara klinis diartikan sebagai lesi yang linear atau serpiginius, sedikit menimbul, dan
kemerahan yang bermigrasi dalam pola yang tidak teratur. Diagnosis CLM dapat dilakukan hanya
dengan melihat gejala klinisnya berupa karakteristik lesi yaitu adanya bintik merah menonjol
yang gatal kemudian menjadi memanjang dan berkelok membentuk alur di bawah kulit dan
adanya riwayat pajanan (misalnya berjalan tanpa alas kaki). Pengobatan topikal yang bisa
diberikan adalah Thiabendazol topikal dengan suspensi 10% atau krim 15% yang digunakan
empat kali sehari. Pengobatan sistemik dapat Ivermektin 200 ug/kg, umumnya diberikan single
dose 12 mg dan dilanjutkan hari berikutnya. Atau pemberian albendazol, 400 mg per hari selama
3 hari juga efektif sebagai pengobatan. Prognosis penyakit ini biasanya baik dan merupakan
penyakit self-limited.

REFERENSI
1. Goldsmith L, Stephen K, Gilchrest B, Paller A, Leffel D, Wolff K. Fitzpatrick’s; Dermatology in
General Medicine, 8th ed. United States: the McGraw-Hill Companies, Inc; 2012. P. 2023-4
2. James WD, Berger TG, Elston DM. Parasitic Infestations, Stings, and Bites. Andrews’ Disease of the
Skin; Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia; Elsevier Inc. 2011. P. 435-7
12

3. Aisyah S, Djuanda A, Hamzah M. Penyakit Parasit Hewani. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011. P. 119-26
4. Burns T, Breathnach, Cox N, Griffiths C. Parasitic Worm and Protozoa. Rook’s Textbook of
Dermatology. 8th ed. Oxford: Blackwell Publishing; 2004. P. 37.2-20
5. Parasites – Zoonotic Hookworm [internet] 2013 November 29 [cited 2016 June 12]. Available from
http://www.cdc.gov/parasites/zoonotichookworm/epi.html.
6. Sutanto I, Ismid II, Sjarifuddin PK., Sungkar S. Cacing Tambang (Hookworm), Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit Fk UI. 2009. P. 12-24
7. Robles D. Cutaneous Larva Migrans. [internet] 2016 May 10 [cited 2016 June 12]. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/1108784-overview#a5.

Anda mungkin juga menyukai