PENDAHULUAN
1
2
penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan untuk dapat memulai terapi dengan
obat-obat antikoagulan. Kematian dan kecacatan dapat terjadi sebagai akibat
kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan perdarahan karena penggunaan
antikoagulan yang tidak tepat, oleh karena itu pentingnya penegakan diagnosa dan
penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan. (Bates, 2004).
3
BAB 2
THROMBOSIS VENA DALAM
2.1. Definisi
Thrombosis vena dalam adalah terbentuknya suatu thrombus atau
gumpalan darah pada salah satu vena besar, lebih banyak terjadi pada pada
ekstremitas bagian bawah. Trombus yang terbentuk dapat mengakibatkan
sumbatan parsial maupun total pada sikulasi vena. (Bartholomew JR, 2017).
Pada umumnya thrombosis vena dalam terjadi pada daerah betis, berawal dari
sinusoid soleal dan di belakang katup-katup vena. Sevitt menyarankan bahwa
arus terjadi ketika darah melewati katup vena lalu mendorong endapan
thrombus ke puncak katup. Kompresi pembuluh darah dapat diapai dengan
melatih otot olahraga sehingga dapat menghilangkan endapan thrombus.
(Line B, 2001)
2.2. Patogenesis
Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan
dalam patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu stasis
4
larut dalam darah yang mengalir dan dinetralisir oleh inhibitor pada
permukaan sel-sel endotel atau antiproteinase yang yang beredar. Namun,
aktivasi faktor-faktor pembekuan diluar jalur akan memicu aktivasi
sistem koagulasi, yang akan merangsang pembentukan fibrin. Kaskade
koagulasi diinisiasi melalui jalur ekstrinsik atau jalur tissue factor. Pada
jalur tissue factor, aktivasi faktor VII dikatikan pada aktivasi tissue
factor pada pembuluh darah yang rusak. Tissue factor – kompleks faktor
VIIa lalu akan mengaktivasi kaskade koagulasi, yang mengakibatkan
prothrombin menjadi thrombin. Thrombin akan merubah fibrinogen
menjadi fibrin dan mengaktivasi platelet. Tissue factor akan membentuk
lapisan hemostatic disekitar pembuluh darah, jika pembuluh darah cidera,
tissue factor yang terpapar akan memicu koagulasi. (Line B, 2001).
menit ) dapat menarik sel-sel endotel satu sama lain. Hal ini terjadi
disertai dengan translokasi P-selectin, pelepasan faktor von Willebrand
dan sekresi faktor aktivasi platelet. Aktivasi sel-sel endotel (4-6jam)
mennyebabkan transkripsi gen secara progresif, termasuk sitokin (IL-1,
IL-6, IL-8) dan tissue factor, yang merupakan pemicu awal terjadinya
koagulasi. (Freedman dan Loscalzo, 2015).
2.3. Faktor Risiko
Faktor risiko timbulnya thrombosis vena secara umum terkait dengan
kondisi hiperkoagulabilitas, yang dapat bersifat genetik, didapat, atau terkait
dengan kondisi imobilisasi dan stasis vena. Prediktor independen terjadinya
rekuren thrombosis vena dalam adalah usia lanjut, obesitas, keganasan, dan
parese ekstremitas akut. Seringkali pada seorang penderita memiliki beberapa
faktor risiko untuk terjadinya thrombosis vena dalam. Faktor risiko
tinggiyang dapat menyebabkan terjadinya thrombosis vena dalam diantaranya
operasi tulang, abdomen, maupun neurologi. Untuk risiko sedang bisa
diakibatkan tirah baring lama, beberapa jenis keganasan, terapi pengganti
hormonal atau kontrasepsi oral, kehamilan, diabetes melitus, hiperlipidemia,
dan beberapa kondisi imobilisasi lainnya, seperti perjalanan pesawat jarak
jauh. (Freedman dan Loscalzo, 2015).
Tabel 2.1. Faktor Risiko Awal Thrombosis Vena
(Streiff M, et.al., 2016)
Jika skor ≤ 1 (DVT unlikely) dan skor ≥ 1 (DVT Likely). (Kesieme E, et.al.,
2011).
Tabel 2.2. Wells Score (Kesieme E., et.al., 2011)
Prestest Probability Assessment (Wells Score)
Gambar 2.5. Algoritma Diagnosa thrombosis vena dalam berdasar klinis, D-dimer
,dan Venous Ultrasonography
12
CDR
D-Dimer ***
D-Dimer Not
Available
Negative Positive
Negative Positive
No LE DVT LE DVT
13
CDR
D-Dimer *** Positive Proximal US/
Whole leg US
Serial US
No LE DVT LE DVT
Negative Positive
No LE DVT LE DVT
15
CDR
D-Dimer ***
Positive Negative
Positive Negative
Recurrent LE No Recurrent LE
OMBOSIS VENA DVT
DALAM
16
CDR
D-Dimer ***
D-Dimer Not Available
Negative Positive
Duplex US
Negative Positive
UE DVT
No UE DVT
17
CDR
D-Dimer ***
Negative Positive
Negative Positive
No UE DVT UE DVT
18
Gambar 2.6. Venografi dengan Kontras. Gambaran angiogram pada vena popliteal
kiri terdapat thrombus oklusif dengan margin irregular dan mengisi kontras.
Thrombus ini diterapi dengan cateter langsung. (Stone J, et al., 2017).
19
2.8.2. CT Venography
Pada pemeriksaan CT Venography bahan kontras diinjeksikan
melalui lengan dan gambaran pencitraan ini terlihat sebagai opasitas pada
sistem vena pada ekstremitas bawah. Pemeriksaan ini tidak invasif, mudah
tersedia, dan spesifitas dan sensitivitasnya tinggi untuk mengeakkan
diagnosis thrombosis vena dalam. Pemeriksaan ini juga berguna untuk
menegakkan diagnosis thrombosis vena dalam ekstremitas atas dengan
curiga pulmonary emboly. Seperti halnya Venography konvensional,
pemeriksaan ini juga menggunakan radiasi ionisasi dan bahan kontras,
serta terbatas pada pasien dengan gangguan ginjal maupun alergi bahan
kontras. (Stone J, et al., 2017).
2.8.3. MR Venography
MR Venography memberikan keuntungan yang sama dengan CT
venoraphy tanpa menggunakan radiasi ionisasi. Pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas dan spesifitas yang sama untuk menegakkan diagnose
thrombosis vena dalam Sebagai tambahan, beberapa variasi gambaran
imaging dapat memvisualisasikan sistem vena tanpa menggunakan bahan
kontras. Kekurangan MR Venography, sama halnya seperti pemeriksaan MR
lainnya, antara lain intolerabilitas pasien, biaya besar, dan inkompatibilitas
alat. Meskipun belum diteliti lebih lanjut, namun MR Venography dapat
menjad pilihan yang tepat ketika USG tidak memberikan hasil memuaskan
pada kasus dicurigai thrombosis vena dalam. (Stone J, et al., 2017).
Gambar 2.9. Pilihan terapi antikoagulan pada VTE (Streiff MB, 2016).
Tabel 2.10. Jenis-Jenis Terapi Antikoagulan pada VTE Akut (Kesieme, et,
al., 2011)
Pilihan terapi VTE akut Elimination Half Life
24
dengan obat lain kecil, dapat dikonsumsi per oral, pada beberapa kasus
tidak perlu bridging, tidak membutuhkan monitoring laboratorium
(PT/INR), sama efektif dengan antagonis vitamin K, serta dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien. Salah satu kelemahan DOACs
adalah tidak dapat digunakan pada pasien dengan gangguan liver, ginjal,
trombositopenia, keganasan, serta risiko perdarahan tinggi. (Stone,
2017).
DOACs diantaranya meliputi inhibitor faktor Xa (rivaroxaban,
apixaban, edoxaban) dan inhibitor direct thrombin (dabigatran) telah
dipelajari secara lulas dan menunjukkan hasl yang tidak kalah efektifnya
dengan penggunaan antagonis vitamin K untuk terapi VTE. DOACs juga
telah direkomendasikan oleh ACCP untuk terapi jangka panjang pada
kasus VTE dan beberapa juga direkomendasikan sebagai terapi
lanjut/extended treatment pada kasus VTE. Salah satu efek samping yang
dikhawatikan dari penggunaan DOACs adalah manifestasi perdarahan,
tetapi DOACs terbukti lebih aman dibaningkan obat-obat VTE lainnya,
seperti heparin, LMWH, antagonis vitamin K. Risiko perdarahan
terutama perdarahan intracranial terbukti lebih kecil risikonya
dibandingkan dengan antagonis vitamin K. dari keempat jenis DOACs
yang telah disebutkan diatas, hanya dabigatran yang memiliki agen
anticoagulant-reversing (idarucizumab), meskipun antidotum untuk
ketiga jenis DOACs lainnya masih menunggu FDA. (Bartholomew JR,
2017).
Rivaroxaban dapat digunakan sebagai monoterapi pada kasus
VTE. Rivaroxaban telah diterima oleh FDA sebagai teranpi VTE maupun
manajemen profilaksis pada kasus VTE. Sebagai terapi profilaksis,
rivaroxaban dapat diberikan per oral 10mg per hari selama 35 hari pada
pasien post operasi total hip replacement dan selama 12 hari pada pasien
post operasi knee replacement. Sedangkan untuk terapi VTE, rivaroxaban
daapt diberikan per oral 15mg dua kali sehari selama 21 hari untuk terapi
awal, lalu dilanjutkan dengan pemberian 20mg per hari untuk terapi
27
Pada RE-COVER trial, lebih dari 2500 pasien dengan thrombosis vena
dalam proksimal diberikan baik dabigatran atau LMWH/warfarin dalam
jangka waktu yang sama. Tidak ada perbedaan pada mortalitas, efek
samping perdarahan, kejadian acute coronary atau rekuren VTE. Pada
studi RE-LY ditemukan adanya peninngkatan risiko perdarahan saluran
cerna pada pasien dengan atrial fibrilasi yang diberikan dabigatran
dibandingkan warfarin. Dabigatran harus diberikan hati-hati pada pasien
usia lanjut dengan atrial fibrilasi atau faktor risiko jantung lainnya.
(Stone, et al., 2017).
2.10.2. Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Low Molecular Weight Heparin merupakan obat yang digunakan
sebagai terapi thrombosis vena dalam akut maupun profilaksis. LMWH
digunakan sebagai obat untuk transisi ke obat-obat oral seperti warfarin,
dabigatran atau edoxaban sebagai terapi antikoagulan jangka panjang dan
LMWH lebih direkomendasikan untuk diberikan pada pasien dengan
keganasan maupun kehamilan dibandingkan dengan warfarin maupun
DOAC untuk terapi THR thrombosis vena dalam Enoxaparin, obat
golongan LMWH yang paling sering digunakan di United States,
diberikan dalam bentuk injeksi harian (1,5mg/KgBB/hari) atau dua kali
sehari (1mg/KgBB/per 12 jam). Enoxaparin juga bisa digunakan sebagai
terapi profilaksis pada pasien yang akan menjalani oeprasi penggantian
tulang panggul maupun lutut atau operasi laparotomy atau pasien dengan
imobilitas terbatas karena penyakit yang bersifat akut. LMWH juga dapat
diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal (CrCL < 30mL/min)
dengan penyeusaian dosis.(Barholomew JR, 2017).
LMWH merupakan antikoagulan yang memiliki beberapa
keuntungan dibanding Unfractionated Heparin (UFH) antara lain respon
antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, waktu paruh yang lebih
panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali sehari, dosis
yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak
29
tabel. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali
kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu
karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein
sel. Efek samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi
inisial resiko terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung
pada dosis, usia, penggunaan bersama dengan antitrombotik atau
trombolitik. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien.
Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari setelah penggunaanya
bersama warfarin jika target International Normalized Ratio (INR)
dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0. (Ramzi dan Leeper, 2004).
Heparin juga bisa diberikan secara subkutan pada pasien rawat
jalan dengan dosis awal bolus 333 unit/kgBB lalu dilanjutkan dengan dosis
17500 unit subkutan dua kali sehari. (Bartholomew JR, 2017).
Tabel 2.11. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT (Ramzi dan
Leeper, 2004).
APTT 35-45 detik (1,2-1,5 kali nilai Bolus 40unit per KgBB, dilanjut 2unit
rujukan) per KgBB per jam
APTT 46-70 detik (1,5-2,3 dari nilai Bolus 40unit per KgBB, dilanjut 2unit
rujukan) per KgBB per jam
APTT 71-90 detik (2,3-3,0 dari nilai Turunkan dosis SP menjadi 2unit per
rujukan) KgBB per jam
APTT > 90 detik (> 3,0 dari nilai Hentikan terapi selama 1 jam, dilanjut
rujukan) dengan dosis 3unit per KgBB per jam
31
menjadi salah satu obat pilihan sebagai terapi thrombosis vena dalam
jangka panjang atau pemanjangan faktor koagulasi dengan gangguan
fungsi hati (peningkatan enzim transaminase diatas dua kali lipat batas
atas ataupun penyakit hati) atau gangguan ginjal (CrCl < 30 mL/min).
(Bartolhomew JR, 2017).
Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring
INR secara berkala diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan
efek samping perdarahan. INR sebaiknya diperiksa 2 kali per minggu
selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan, diikuti 1 kali perminggu
untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1 bulan
berikutnya dan akhirnya tiap sebulan sekali jika target INR tercapai dan
pasien dalam kondisi optimal (Bates, 2004; Hirsh and Lee, 2002).
Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang
dievaluasi. LMWH memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin
yaitu tidak memerlukan monitoring INR sehingga cost effective dan dapat
digunakan jika ada kesulitan akses laboratorium, LMWH juga
memiliki onset dan offset of action yang lebih cepat daripada warfarin,
lebih efektif pada trombosis pasien kanker dan kasus rekurensi trombosis
pada penggunaan warfarin jangka lama. Akan tetapi kelemahan LMWH
adalah penggunaannya yang tidak nyaman bagi pasien karena harus
diberikan subkutan disamping harganya yang mahal. (Hirsh dan Lee,
2002).
Warfarin sebagai terapi jangka panjang thrombosis vena dalam
memiliki banyak kelemahan antara lain onset of action yang lambat,
dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan banyak jenis obat
dan makanan, therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan
monitoring ketat. Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral
yang baru dan lebih baik untuk menggantikannya. Ada beberapa macam
antikoagulan baru yang telah banyak dipakai sebagai profilaksis
thrombosis vena dalam seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa),
apixaban (inhibitor faktor Xa) dan dabigatran etexilate (inhibitor
33
dari 14 hari, status fungsional baik, risiko perdarahan rendah. Hal ini
bertentangan dengan guideline CHEST 2008 dimana merekomendasikan
terapi CDT pada pasien dengan thrombosis vena dalam proksimal yang
ekstensif, yang berisiko menjadi ganren, memiliki risiko perdarahan
rendah, dan memiliki status fungsional baik. Hal ini direkomendasikan
arena CDT dirasa dapat memulai rekanalisasi lebih dini dan
meminimalisir terjadinya Post Thrombotic Syndromes (PTS).
(Bartholomew JR, 2017).
Serine protease inhibitor endogen seperti urokinase dan
rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi
streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik
dengan efek samping yang lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat
kesehatan lebih memilih menggunakan alteplase (Patterson, 2010).
Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi
resiko perdarahan juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan
menghasilkan konsentrasi lokal yang lebih tinggi daripada secara
sistemik dan secara teori seharusnya dapat meningkatkan efikasinya dan
menurunkan resiko perdarahan. (Patterson, 2010).
Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih
besar dibanding penggunaan heparin (Patterson, 2010). Indikasi
dilakukan trombolisis antara lain thrombosis massif pada daerah
proksimal ekstremitas bawah atau thrombosis iliofemoral yang dapat
mengakibatkan gejala yang berat serta iskemia yang mengancam dengan
onset kurang dari 14 hari (Wilbur and Shian, 2017). Kontraindikasi
trombolisis antara lain bleeding diathesis/trombositopeni, resiko
perdaraham spesifik organ (infark miokard akut, trauma serebrovaskular,
perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati atau gagal
ginjal, keganasan (metastase otak), kehamilan, stroke iskemi dalam
waktu 2 bulan, hipertensi berat yang tidak terkontrol (SBP>180 mmHg,
DBP>110 mmHg) (Patterson, 2010). CDT dilakukan dengan
36
Identifikasi Pasien:
jika dalam terapi LMWH stop selama 8 jam
Hentikan antikoagulan oral, cek INR hingga < 1,5
Bolus UFH 5000 IU
Infus UFH 15unit/KgBB, pertahankan APTT 1,2-17 kali dari
batas normal
Tentukan akses vena dengan USG guidance dan local anestesi
Wire/kateter dimasukkan dibagian proksimal dari thrombus lalu
lakukan venografi
20mg alteplase dalam 500cc nacl 0,9% dalam SP 0,01
mg.kgbb/jam sampai dosis maksimal 20mg dalam 24 jam
Obeservasi hemodinamik dan lokasi tusukan
Evaluasi clotting setiap hari dengan venografi
Maksimal diberikan < 96jam
Ballooning angioplasty/placement of venous stents dapat
dilakukan bila perlu
Kateter dikeluarkan, lakukan penekanan pada lokasi untuk
emncegah perdarahan
Balut tekan dilakukan selama 2 jam, dosis tambahan LMWH
selama 1 jam setelah kateter dikeluarkan
Antikoagulan dapat diberikan
BAB 3
RINGKASAN