Anda di halaman 1dari 40

BAB 1

PENDAHULUAN

Thromboemboli Vena, suatu pembekuan darah di dalam pembuluh darah


vena adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan
kecacatan dan kematian. Thromboemboli vena meliputi Thrombosis vena dalam
dan emboli paru merupakaan penyakit vaskular yang terkait dengan tingkat
morbiditas yang signifikan mulai dari pembengkakan kaki yang nyeri, nyeri dada,
nafas pendek, dan bahkan kematian. Komplikasi jangka panjang ternasuk
thromboemboli vena berulang, sindroma post emboli pulmo, chronic
thromboembolic pulmonary hypertension, dan sindroma post thrombosis.
(Bartholomew JR, 2017).
Thrombosis Vena Dalam merupakan salah satu jenis dari thromboemboli
vena yang banyak kasusnya, dengan angka kejadian 1,6 per 1000 penduduk tiap
tahunnya. Thrombosis vena dalam merupakan kelainan kardiovaskular tersering
nomor tiga setelah penyakit koroner arteri dan stroke. Thrombosis Vena Dalam
lebih banyak terdapat pada ekstremitas bawah dengan pembentukan clot diawali
pada bagian tungkai dan menyebar secara proksimal. Angka keterlibatan dari
organ tubuh pun bervariasi: vena distal 40%, vena poplitea 16%, vena femoralis
20%, dan vena illiaca 4%. (Stubbs, et al., 2018).
Faktor resiko thrombosis vena dalam antara lain faktor
demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas yang lama), kelainan patologi (trauma,
hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome, vena varikosa
ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan), kehamilan,
tindakan bedah, obat-obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid) (JCS
Guidelines, 2011). Penyakit keganasan merupakan salahs atu faktor risiko utama
terjadinya thrombosis vena dalam. Lebih dari 10% penderita thrombosis vena
dalam memiliki suatu penyakit keganasan (Stubbs, et al., 2018). Meskipun
thrombosis vena dalam umumnya timbul karena adanya faktor resiko tertentu,
thrombosis vena dalam juga dapat timbul tanpa etiologi yang jelas. (Bates, 2004).
Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan

1
2

penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan untuk dapat memulai terapi dengan
obat-obat antikoagulan. Kematian dan kecacatan dapat terjadi sebagai akibat
kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan perdarahan karena penggunaan
antikoagulan yang tidak tepat, oleh karena itu pentingnya penegakan diagnosa dan
penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan. (Bates, 2004).
3

BAB 2
THROMBOSIS VENA DALAM

2.1. Definisi
Thrombosis vena dalam adalah terbentuknya suatu thrombus atau
gumpalan darah pada salah satu vena besar, lebih banyak terjadi pada pada
ekstremitas bagian bawah. Trombus yang terbentuk dapat mengakibatkan
sumbatan parsial maupun total pada sikulasi vena. (Bartholomew JR, 2017).
Pada umumnya thrombosis vena dalam terjadi pada daerah betis, berawal dari
sinusoid soleal dan di belakang katup-katup vena. Sevitt menyarankan bahwa
arus terjadi ketika darah melewati katup vena lalu mendorong endapan
thrombus ke puncak katup. Kompresi pembuluh darah dapat diapai dengan
melatih otot olahraga sehingga dapat menghilangkan endapan thrombus.
(Line B, 2001)

Gambar 2.1. Anatomi Sistema Vena Dalam (Line B, 2001)

2.2. Patogenesis
Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan
dalam patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu stasis
4

vena, kerusakan dinding vaskular, dan hiperkoagulabilitas. Stasis vena


merupakan yang paling penting menyebabkan thrombosis vena dalam, tetapi
stasis saja tampaknya tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya trombus.
Namun, dengan adanya stasis vena disertai dengan cidera vaskular dan
hiperkoagulabilitas akan meningkatkan risiko terbentuknya trombus. Ketiga
faktor penyebab diatas akan membentuk gumpalan dengan cara mengganggu
keseimbangan sistem koagulasi dan fibrinolitik yang berlawanan. (Stone J, et
al., 2017).
2.2.1. Stasis vena atau flow reduction
Venous return dari kaki dapat meningkat akibat kontraksi pada otot
betis sehingga akan mendorong darah keatas dari ekstremitas bawah. Sstasis
vena berperan dalam terjadinya thrombogenesis dengan mengaktivasi faktor
koagulasi sehingga terakumulasi. Stasis vena terjadi akibat immobilisasi,
sumbatan vena, peningkatan tekanan vena, peningkatan viskositas darah,
dan pelebaran vena. Immobilisasi lama dan bedrest sebagai salah satu faktor
risiko utama terjadinya thrombosis vena dalam. Immobilisasi dalam waktu
lama, perjalanan jauh di pesawat juga berisiko tinggi terjadi thrombosis
vena dalam dan emboli meskipun tidak ada riwayat penyakit jantung
sebelumnya. Meningkatnya tekanan vena central mengakibatkan stasis vena
di ekstremitas,hal ini menjelaskan tingginya risiko thrombosis vena pada
pasien gagal jantung. Stasis vena dapat diakibatkan juga oleh karena dilatasi
vena atai meningkatnya viskositas darah, hal ini terkait dengan
meningkatnya hematokrit (polisitemia vera), hipergammaglobulinemia,
disproteinemia, atau peningkatan konsentrasi fibrinogen. Estrogen juga
memicu terjadinya dilatasi vena sehingga risiko terjadinya thrombosis
meningkat pada kehamilan atau pemakai pil kontrasepsi yang mengandung
estrogen. (Stone J, et al., 2017).
2.2.2. Gangguan koagulasi
2.2.2.1. Kaskade Koagulasi
Diakibatkan oleh aktivasi koagulasi yang rendah terjadi pada orang
sehat terus menerus. Dalam keadaan normal, aktivasi faktor koagulasi
5

larut dalam darah yang mengalir dan dinetralisir oleh inhibitor pada
permukaan sel-sel endotel atau antiproteinase yang yang beredar. Namun,
aktivasi faktor-faktor pembekuan diluar jalur akan memicu aktivasi
sistem koagulasi, yang akan merangsang pembentukan fibrin. Kaskade
koagulasi diinisiasi melalui jalur ekstrinsik atau jalur tissue factor. Pada
jalur tissue factor, aktivasi faktor VII dikatikan pada aktivasi tissue
factor pada pembuluh darah yang rusak. Tissue factor – kompleks faktor
VIIa lalu akan mengaktivasi kaskade koagulasi, yang mengakibatkan
prothrombin menjadi thrombin. Thrombin akan merubah fibrinogen
menjadi fibrin dan mengaktivasi platelet. Tissue factor akan membentuk
lapisan hemostatic disekitar pembuluh darah, jika pembuluh darah cidera,
tissue factor yang terpapar akan memicu koagulasi. (Line B, 2001).

Gambar 2.2. Sejarah Thrombosis Vena Dalam (Line B, 2001).


Pada cascade koagulasi lebih dominan diawali dengan kerusakan
pembuluh darah yang menyebabkan keluarnya Tissue Factor ke dalam
darah. Tissue Factor juga dapat ditemukan dalam mikropartikel yang
diturunkan melalui sel yang berasal dari darah dan dalam leukosit atau
trombosit. Plasma faktor VII (FVII) adalah untuk ligan dan diaktivasi
(FVIIa) dengan cara mengikat Tissue Factor yang ada di lokasi
pembuluh darah yang rusak. Pengikatan FVII /VIIa ke Tissue Factor
mengaktifkan konversi faktor X (FX) ke FX aktif (FXa). Dalam reaksi
alternatif, jaringan FVII / FVIIa kompleks Tissue Factor awalnya
mengubah FIX ke FIXa, yang kemudian mengaktifkan FX bersamaan
dengan co-faktor faktor VIII (FVIIIa). Faktor Xa dengan kofaktornya,
6

FVa mengubah protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengubah


fibrinogen plasma terlarut menjadi fibrin tidak larut, yang menyebabkan
terjadinya gumpalan atau pembentukan trombus. Thrombin juga
mengaktifkan FXIII ke FXIIIa, transglutaminase yang secara kovalen
saling silang dan menstabilkan fibrin yang menggumpal. Pembentukan
trombin dipengaruhi oleh mekanisme yang mengatur struktur fibarin dan
stabilitas termasuk varian fibrinogen spesifik dengan cara mengubah
pembentukan, kekuatan dan struktur fibrin. (Freedman JE, Loscalzo J,
2015).
Beberapa faktor antitrombotik juga berperan dalam proses
koagulasi, yaitu: antitrombin, Tissue Factor Pathway Inhibitor (TFPI) ,
kofaktor heparin II, dan protein C/Protein S. Pada umunya, faktor-faktor
ini jumlahnya terbatas dalam memproduksi thrombin untuk mencegah
terjadinya proses koagulasi dan thrombus. Secara umum, setelah
gumpalan yang terbentuk menimbulkan sumbatan pada pembuluh darah
yang rusak dan mulai menyebar pada pembuluh darah yang normal,
reaksi antikoagulan dipicu oleh endotelium normal menjadi sangat
penting untuk melihat sejauh mana proses hemostasis ini melindungi
gumpalan yang ada agar tidak pecah. (Freedman JE, Loscalzo J, 2015).

Gambar 2.3. Kascade Koagulasi (Freedman JE., Loscalzo J, 2015).


2.2.2.2. Sistem Fibrinolitik
7

Sistem fibrinolitik bertanggung jawab atas kerusakan thrombus


dan bekuan darah. Reaksi dasar dari sistem fibrinolitik plasma adalah
konversi plasminogen menjadi enzim plasmin yang aktif. Plasmin
menghidrolisis fibrin dan berbagai protein koagulasi di plasma termasuk
fibrinogen. Dua aktivator plasminogen endogen, aktivasi tissue
plasminogen dan urokinase, disintesis oleh dan dilepaskan dari sel-sel
endotel. Aktivasi tissue plasminogen dilepaskan sebagai respon terhadap
berbagai tekanan, termasuk stasis vena, sekresi adrenalin, dan exercise.
Hasil yang tidak sempurna akibat pelepasan aktivator dari dinding
pembuluh darah vena ternyata terkait dengan kejadian thrombosis vena
dalam berulang. Penurunan aktivitas fibrinolitik terjadi pada periode awal
pasca operasi pada seseorang yang menggunakan kontrasepsi oral,
selama trimester akhir kehamilan, dan obesitas. Aktivitas fibrinolitik
pada kaki tidak sebanyak di tangan, hal ini dapat menjelaskan mengapa
thrombosis vena dalam lebih banyak terjadi pada ekstremitas bawah.
(Freedman JE., Loscalzo J, 2015).
2.2.3. Kerusakan Dinding Pembuluh Darah
Meskipun endothelium normal sifatnya nonthrombogenik,
kerusakan pada endothelium dapat memicu aktivasi platelet dan
koagulasi. Endothelium vascular dapat rusak karena trauma langsung,
paparan thrombin, atau tekanan oksigen yang rendah. Selain itu,
endothelium vascular bisa juga rusak akibat paparan endotoxin atau
paparan sitokin inflamasi, seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis
factor. Kerusakan vaskular memicu ekspresi tissue factor, baik secara
langsung oleh sel-sel endotel atau monosit yang tertarik pada lokasi
kerusakan pembuluh darah. Adanya darah yang terpapar pada subendotel
akan memicu adhesi dan agregasi platelet. Di sisi lain, untuk
mengaktifkan koagulasi, kerusakan jaringan juga menyebabkan
terganggunya sistem fibrinolysis karena sitokin proinflamasi
menstimulasi sel endotel mensintesis inhibitor aktivator plasminogen.
Stimulasi sel endotel (dalam waktu ebberapa detik sampai beberapa
8

menit ) dapat menarik sel-sel endotel satu sama lain. Hal ini terjadi
disertai dengan translokasi P-selectin, pelepasan faktor von Willebrand
dan sekresi faktor aktivasi platelet. Aktivasi sel-sel endotel (4-6jam)
mennyebabkan transkripsi gen secara progresif, termasuk sitokin (IL-1,
IL-6, IL-8) dan tissue factor, yang merupakan pemicu awal terjadinya
koagulasi. (Freedman dan Loscalzo, 2015).
2.3. Faktor Risiko
Faktor risiko timbulnya thrombosis vena secara umum terkait dengan
kondisi hiperkoagulabilitas, yang dapat bersifat genetik, didapat, atau terkait
dengan kondisi imobilisasi dan stasis vena. Prediktor independen terjadinya
rekuren thrombosis vena dalam adalah usia lanjut, obesitas, keganasan, dan
parese ekstremitas akut. Seringkali pada seorang penderita memiliki beberapa
faktor risiko untuk terjadinya thrombosis vena dalam. Faktor risiko
tinggiyang dapat menyebabkan terjadinya thrombosis vena dalam diantaranya
operasi tulang, abdomen, maupun neurologi. Untuk risiko sedang bisa
diakibatkan tirah baring lama, beberapa jenis keganasan, terapi pengganti
hormonal atau kontrasepsi oral, kehamilan, diabetes melitus, hiperlipidemia,
dan beberapa kondisi imobilisasi lainnya, seperti perjalanan pesawat jarak
jauh. (Freedman dan Loscalzo, 2015).
Tabel 2.1. Faktor Risiko Awal Thrombosis Vena
(Streiff M, et.al., 2016)

Faktor Risiko Awal Thrombus Vena

Faktor Risiko Genetik


Defisiensi Antithrombin
Defisiensi Protein C
Defisiensi Protein S
Faktor V leiden
Mutasi Gen Prothrombin
Golongan darah ABO Non-0
Disfibrigonemia
Peningkatan Faktor VIII
Peningkatan Faktor IX
Peningkatan Faktor XI
Hiperhomosisteinemia (termasuk homosistinuria)
9

Faktor Risiko Didapat


Usia
Kanker
Antifosfolipid sindrom
Infeksi (HIV, sepsis, dll)
Inflamasi (SLE, IBD, Vaskulitis,dll)
Sindroma Nefrotik
Obesitas
Merokok
Faktor Lingkungan
Riwayat Operasi Besar
Trauma
Imobilisasi
Kateter Vena Sentral
Kehamilan/Post partum
Terapi Hormonal (kontrasepsi oral, Suntik KB, implant, dl)
Kemoterapi
Perjalanan Jauh
Kemoterapi

2.4. Tanda dan Gejala Klinis Thrombosis Vena Dalam


Gejala klinis yang khas pada thrombosis vena dalam meliputi nyeri,
terasa berat,kram, pada daerah ekstremitas bawah, paling sering pada betis,
yang berkembang secara perlahan selama beberapa hari hingga pada suatu
keadaan dapat memberat hingga timbul bengkak dan perubahan warna biru
kemerahan atau sianosis. (Bauersachs RM, 2012).
Tanda dan gejala yang muncul pada penderita thrombosis vena dalam
bisa diakibatkan oleh obstruksi aliran vena, peradangan vaskular, atau emboli
pulmo. Edema satu sisi atau asimetris menandakan obstruksi vena dan
merupakan tanda utama dari thrombosis vena dalam. Edema bilateral atau
simetris lebih mengarah ke penyakit sistemik, seperti gagal jantung,tapi bisa
juga terjadi pada obstruksi vena cava inferior. Edema disebabkan oleh
thrombosis vena akut, biasanya keluhan berkurang kaki dielevasikan dan
akan bertambah parah ketika kaki diimobilisasi. Bengkak dapat bertahan
selama beberapa minggu atau beberapa bulan setelah episode awal dan bisa
jadi tidak hilang sepenuhnya. Pada umumnya, pitting edema menandakan
bahwa bengkaknya bersifat reversible dan relative cepat hilang. Pada
perabaan terasa seperti adanya kawat dengan tanda peradangan local
10

mengindikasikan thrombophlebitis superfisial, vena dalam jarang bisa teraba.


Homan’s Sign didefinisikan sebagai nyeri pada betis ketika posisi dorsofleksi,
tanda ini tidak hanya kurang sensitive tetapi juga tidak spesifik mengarah ke
thrombosis vena dalam, karena sering terjadi pada pasien dengan tirah baring
lama. Kebanyakan tungkai kaki yang terkena thrombosis vena dalam warna
kakinya hampir mendekati normal atau sedikit pucat diakibatkan oleh
kongesti dari pembuluh daran vena di kulit. (Line BR, 2001)

Gambar 2.4. Foto Klinis Thrombosis Vena Dalam (Bauersachs RM,


2012)
Pretest Probability (PTP) telah dikembangkan untuk menegakkan
diagnosis thrombosis vena dalam lebih terstruktur dan konsisten. Studi
terbaik dan tervalidasi adalah kriteria Well’s yang digunakan untuk
thrombosis vena dalam. Bersama dengan tes D-Dimer, studi ini aman
digunakan untuk menegakkan thrombosis vena dalam tanpa menggunakan
alat diagnostik imaging pada pasien yang dicurigai thrombosis vena dalam.
(Streiff MB, et al., 2016).
2.5. Wells' score
Langkah pertama yang dapat dilakukan untuk menegakkan thrombosis
vena dalam adalah dengan melakukan assessment menggunakan Wells’ score.
11

Jika skor ≤ 1 (DVT unlikely) dan skor ≥ 1 (DVT Likely). (Kesieme E, et.al.,
2011).
Tabel 2.2. Wells Score (Kesieme E., et.al., 2011)
Prestest Probability Assessment (Wells Score)

Kanker Aktif (sedang pengobatan atau 1


dalam kurun waktu 6 bulan atau paliatif
Paralisis, paresis, atau riwayat immobilisasi 1
pada ekstremitas bawah
Tirah baring selama 3 hari atau riwayat 1
operasi besar dalam kurun waktu 12 minggu
dengan anastesi local atau total
Kemerahan satu sisi sepanjang jalur vena 1
dalam
Bengkak seluruh kaki satu sisi 1
Bengkak pada betis > 3cm asimptomatik 1
(10m dibawah tuberositas tibia)
Pitting edema pada sisi yang sakit 1
Riwayat thrombosis vena dalam 1
Differensial diagnosis lain yang mirip -2
dengan thrombosis vena dalam

2.6. Interpretasi Wells Score


Tabel 2.3. Interpretasi Wells Score, (Kesieme, E., et.al. . 2011)
Wells’ Score Kelompok Risiko Prevalensi thrombosis
vena dalam
≤0 Low/unlikely 5%
1-2 Moderate 17%
≥3 High/Likely 17-53%

Gambar 2.5. Algoritma Diagnosa thrombosis vena dalam berdasar klinis, D-dimer
,dan Venous Ultrasonography
12

2.7. Kriteria Diagnosis Thrombosis Vena Dalam


2.7.1 Thrombosis Vena Dalam Ekstremitas Bawah
2.7.1.1 Low Pretest Probability (PTP) (Prevalensi ≤ 10%)
Menurut guideline American Society of Hematology (ASH),
pemeriksaan D-dimer untuk menyingkirkan ada tidaknya thrombosis vena
dalam pada pasien dengan low PTP, selanjutnya dilakukan pemeriksaan
tambahan berupa USG doppler ekstremitas bawah bagian proksimal atau
ekstremitas bawah whole leg apabila hasil D-dimer positif. (Lim W, et.al.,
2018)
Tabel 2.4. Alur Diagnosis thrombosis vena dalam untuk pasien low PTP
( Prevalensi ≤ 10%) hemodinamik stabil dan tidak hamil (Lim W, et.al., 2018).

Suspected Lower Extremity DVT

CDR

Non-low Clinical Low Clinical PTP


PTP**

D-Dimer ***

D-Dimer Not
Available

Negative Positive

Proximal US/ Whole leg US

Negative Positive

No LE DVT LE DVT
13

2.7.1.2. Intermediate Pretest Probability (Prevalensi ≤ 20%)


Menurut Guideline ASH, dilakukan pemeriksaan USG doppler
ekstremitas bawah whole leg atau bagian proksimal saja untuk
menegakkan diagnosis. Tidak diperlukan pemeriksaan tambahan jika
USG doppler whole leg didapatkan hasil negatif, tetapi apabila
pemeriksaan USG proksimal ekstremitas bawah didapatkan hasil negatif
harus dilakukan pemeriksaan USG doppler proksimal secara serial jika
tidak ada alternatif pemeriksaan lain. (Lim, W., et.al. 2018)
Tabel 2.5. Alur Diagnosis thrombosis vena dalam untuk pasien
Intermediate PTP ( Prevalensi ≤ 20%)
(Lim W, et.al., 2018)
14

2.7.1.3. High Pretest Probability (Prevalensi ≥ 50%)


Guideline ASH menganjurkan pemeriksaan USG doppler
Suspected
leg Lower Extremitypada pasien dengan high
ekstremitas bawah whole atau proksimal
DVT
prevalence thrombosis vena dalam. Pemeriksaan USG harus dilakukan
secara serial apabila pada USG doppler awal didapatkan hasil negatif dan
CDR
tidak ada alternatif pemeriksaan lain. (Lim W, et.al., 2018)
Tabel 2.6. Alur Diagnosis thrombosis vena dalam untuk pasien high PTP
( Prevalensi ≥ 50) (Lim W, et.al., 2018)

Low or High Intermediate Clinical


Suspected Lower Extremity DVT
Clinical PTP PTP

CDR
D-Dimer *** Positive Proximal US/
Whole leg US

High Clinical PTP


Non-High Clinical PTP
Negative Positive
Proximal US/Whole leg US
Serial US

Negative Negative Positive Positive

Serial US
No LE DVT LE DVT

Negative Positive

No LE DVT LE DVT
15

2.7.1.4. Recurrent Thrombosis Vena Dalam


Guideline ASH menganjurkan pemeriksaan D-dimer pada pasien
dengan kecurigaan thrombosis vena dalam berulang. Bila didapatkan
hasil positif makan dilanjutkan pemeriksaan USG doppler ekstremitas
bawah proksimal. (Lim W, et.al., 2018)
Tabel 2.7. Thrombosis Vena Dalam (Lim W, et.al., 2018)
Suspected Recurrent Lower Extremity DVT

CDR

Unlikely Clinical PTP


Likely Clinical PTP

D-Dimer ***

Positive Negative

Proximal US/Whole leg US

Positive Negative

Recurrent LE No Recurrent LE
OMBOSIS VENA DVT
DALAM
16

2.7.2. Thrombosis Vena Dalam Ekstremitas Atas


2.7.2.1. Unlikely PreTest Probability (Prevalensi 10%)
Menurut Guideline ASH pada populasi pasien dengan prevalensi
thrombosis vena dalam yang rendah/Unlikely PTP (10%) dapat dimulai
dengan pemeriksaan D-dimer, jika didapatan hasil positif dapat
dilanjutkan pemeriksaan USG doppler. Jika tidak ada pemeriksaan D-
dimer bisa menggunakan USG Doppler sebagai modalitas tunggal untuk
penegakan diagnosis. (Lim W, et.al., 2018)
Tabel 2.8. Unlikely PreTest Probability (Prevalensi 10%)
(Lim W, et.al., 2018)
,((Lim,
Suspected UpperW., et.al. 2018)
Extremity DVT

CDR

Non-low Clinical PTP** Unlikely Clinical PTP

D-Dimer ***
D-Dimer Not Available

Negative Positive

Duplex US

Negative Positive

UE DVT
No UE DVT
17

2.7.2.2. Likely PreTest Probability (prevalensi 40%)


Guideline ASH mengatakan bahwa pada populasi dengan likely
PTP bisa menggunakan pemeriksaan D-dimer kemudian dilanjutkan
pemeriksaan USG Doppler/USG Doppler serial maupun dengan
pemeriksaan USG Doppler/USG Doppler serial saja tanpa pemeriksaan
D-dimer. (Lim W, et.al., 2018)
Tabel 2.9. Likely PreTest Probability (prevalensi 40%) (Lim W, et.al., 2018)
,((Lim,
Suspected Upper W., et.al.DVT
Extremity 2018)

CDR

Non- high Clinical PTP Likely Clinical PTP

D-Dimer ***

Negative Positive

Duplex US/Serial Duplex US

Negative Positive

No UE DVT UE DVT
18

2.8. Pemeriksaan Diagnostik Lainnya


Pemeriksaan imaging lainnya yang dapat digunakan untuk menegakkan
thrombosis vena dalam antara lain: contrast venography, computed
tomography (CT) venography, dan magnetic resonance (MR) venography.
(Stone J, et al., 2017).
2.8.1 Contrast Venography
Contrast venography merupakan gold standart untuk menegakkan
diagnosis thrombosis vena dalam ekstremitas inferior, tetapi pemeriksaan ini
dibatasi oleh beberapa faktor, antara lain ketidaknyamanan pasien, visualisasi
yang tidak adekuat, kemampuan pemeriksa, dan berbagai faktor dari pasien
sendiri, seperti alergi bahan kontras maupun gangguan ginjal. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan memasukkan kanul melalui pembuluh darah vena di bagian
dorsal pedis dan menekan sampai ke proksimal paha. Kemudian bahan
kontras diinjeksikan dan gambaran radiologi serial akan terlihat untuk
memvisualisasikan sistem vena pada tungkai. (Stone J, et al., 2017).

Gambar 2.6. Venografi dengan Kontras. Gambaran angiogram pada vena popliteal
kiri terdapat thrombus oklusif dengan margin irregular dan mengisi kontras.
Thrombus ini diterapi dengan cateter langsung. (Stone J, et al., 2017).
19

2.8.2. CT Venography
Pada pemeriksaan CT Venography bahan kontras diinjeksikan
melalui lengan dan gambaran pencitraan ini terlihat sebagai opasitas pada
sistem vena pada ekstremitas bawah. Pemeriksaan ini tidak invasif, mudah
tersedia, dan spesifitas dan sensitivitasnya tinggi untuk mengeakkan
diagnosis thrombosis vena dalam. Pemeriksaan ini juga berguna untuk
menegakkan diagnosis thrombosis vena dalam ekstremitas atas dengan
curiga pulmonary emboly. Seperti halnya Venography konvensional,
pemeriksaan ini juga menggunakan radiasi ionisasi dan bahan kontras,
serta terbatas pada pasien dengan gangguan ginjal maupun alergi bahan
kontras. (Stone J, et al., 2017).

Gambar 2.8. CT Venography. CT imaging menunjukkan thrombus vena sebagai


massa oklusif hipodens dan dilatasi. Thrombus ini mengenai vena cava inferior
(Stone J, et al., 2017).
20

2.8.3. MR Venography
MR Venography memberikan keuntungan yang sama dengan CT
venoraphy tanpa menggunakan radiasi ionisasi. Pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas dan spesifitas yang sama untuk menegakkan diagnose
thrombosis vena dalam Sebagai tambahan, beberapa variasi gambaran
imaging dapat memvisualisasikan sistem vena tanpa menggunakan bahan
kontras. Kekurangan MR Venography, sama halnya seperti pemeriksaan MR
lainnya, antara lain intolerabilitas pasien, biaya besar, dan inkompatibilitas
alat. Meskipun belum diteliti lebih lanjut, namun MR Venography dapat
menjad pilihan yang tepat ketika USG tidak memberikan hasil memuaskan
pada kasus dicurigai thrombosis vena dalam. (Stone J, et al., 2017).

Gambar 9. MR Venography. MR imaging menunjukka fokal thrombus pada vena


illiaca kiri yang terlihat melebar pada bagian superior sampai dengan vena cava
inferior. Tidak tampak thrombus pada sisi kontralateral. (Stone J, et al., 2017).

2.9. Manajemen Thrombosis Vena Dalam


21

Guideline NICE dan ACCP merekomendasikan Direct Oral


Anticoagulants (DOACs) sebagai first line terapi thrombosis vena dalam.
DOACs yang meliputi direct factor Xa inhibitors apixaban, rivaroxaban, and
edoxaban, dan direct thrombin inhibitor, dabigatran. Pada sebuah penelitian
Randomized Controlled Trials menunjukkan DOACs sama efektifnya dengan
antagonis vitamin K untuk tatalaksana thrombosis vena dalam (Stubbs MJ,
2018).
Ketika diagnosa thrombosis vena dalam sudah ditegakkan, pemberian
obat antikoagulan harus segera diberikan selama tidak ada kontraindikasi
seperti perdarahan. Assessment awal harus selalu dilakukan ketika sebelum
dan sesudah pemberian obat antikoagulan. (Steiff, et al., 2017). Tujuan utama
terapi thrombosis vena dalam adalah untuk mencegah penyebaran thrombus,
emboli pulmo akut, thrombosis rekuren, dan kompilkasi-komplikasi lainnya,
seperti hipertensi pulmonal, sindroma post trombotik. (Kesieme, et al., 2017).
Antikoagulan merupakan pendekatan terapi utama untuk terapi
thrombosis vena dalam pada semua fasenya (akut, short term, dan long term).
Pada pasien—pasien dengan kondisi yang mengancam nyawa atau limb
threatening atau pada pasien dengan thrombus yang signifikan atau
thrombolysis akibat kateter yang berhubungan dengan thrombektomi
mekanik dapat dipertimbangkan menggunakan terapi fase akut. Jika kasus ini
diterapkan menggunakan short term therapy kurang bermanfaat karena risiko
thrombus yang ada menjadi semakin parah. Manajemen thrombosis vena
dalam fase akut mulai diberikan sebagai terapi awal selama 5-10 hari dengan
terapi parenteral tradisional berupa antagonis vitamin K yang merupakan
terapi utama pada fase akut dan terapi jangka panjang pada Venous
Thromboembolism (VTE). Tujuan terapi pada fase akut adalah untuk segera
memusnahkan thrombin serta mencegah pembentukan clot fibrin. Dengan
tercapainya hal ini, maka akan mengurangi gejala thrombosis vena dalam
akut dan menghambat perkembangan thrombus dan embolisasi. Pencegahan
pembentukan thrombus lebih lanjut juga memungkinkan sistem fibrinolitik
tubuh untuk menghilangkan thrombus. (Streiff MB, 2016).
22

Gambar 2.9. Pilihan terapi antikoagulan pada VTE (Streiff MB, 2016).

Antikoagulan dapat diberikan pada beberapa fase VTE (0-7 hari),


Short term (7 hari–3 bulan), dan long term (3 bulan dan seterusnya). Pilihan
terapi antikoagulan ada beeberapa macam diantaranya Unfractionated
Heparin (UFH), Low Molecular Weight Heparin (LMWH), fondaparinux,
antagonis vitamin K, dan direct oral anticoagulants (DOACs). Untuk
menentukan jenis antikoagulan yang digunakan tergantung dari indikasi,
penyakit dasar pasien, pilihan pasien, dan risiko perdarahan pada pasien.
Heparin, LMWH, fondaparinux, dan DOACs adalah beberapa obat yang telah
diterima oleh Food and Drug Administratin (FDA) dan direkomendasikan
untuk terapi fase akut, sedangkan DOACs dan warfarin merupakan pilihan
antikoagulan jangka panjang. (Bartholomew JR, 2017).
23

Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya


perdarahan dan rekurensi dari trombosis. Resiko perdarahan selama terapi
inisial dengan UFH atau LMWH kurang lebih 2-5%, sedangkan pada
penggunaan warfarin kurang lebih 3% pertahun. Annual case fatality
rate pada penggunaan antikoagulan adalah 0,6%. Case fatality rate rekurensi
thrombosis vena dalam kurang lebih 5% (Hirsh and Lee, 2002). Banyak studi
membandingkan keuntungan dan kekurangan pemberian oral vitamin K
antagonis jangka panjang (>3 bulan) karena adanya fakta bahwa kejadian
thrombosis vena dalam sebenarnya merupakan kasus kronik dengan angka
rekurensi jangka panjang yang cukup signifikan (<50% setelah 10 tahun
penghentian antikoagulan) (Zhu, 2009). Terapi antikoagulan yang inadekuat
dapat meningkatkan resiko terjadinya rekurensi dan sindroma post trombotik
(Zhu, 2009).
Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien
dengan faktor resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah
terapi antikoagulan selama 3 bulan, sebaliknya pada pasien thrombosis vena
dalam M idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan memiliki
resiko rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan
ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal
trombosis, pasien dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah,
sedang, tinggi dan sangat tinggi. (Hirsh dan Lee, 2002).
Tes D-Dimer dapat digunakan untuk menilai risiko terjadinya VTE.
Tes D-dimer diperiksa satu bulan setelah terapi antikoagulan selesai, dengan
ditemukannya peningkatan serum D-dimer menunjukkan risiko terjadinya
VTE rekuren meningkat. Namun, pada guideline ACCP, pemeriksaan D-
dimer tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin. (Wilbur dan
Shiane, 2017).

Tabel 2.10. Jenis-Jenis Terapi Antikoagulan pada VTE Akut (Kesieme, et,
al., 2011)
Pilihan terapi VTE akut Elimination Half Life
24

Unfractionated heparin: 80 U/kg 1h


intravenous bolus dilanjutkan 18 U/ km/h
infus sesuai kadar activated partial
thromboplastin time (aPTT)
Low molecular weight heparin (LMWH)
 Dalteparin 100 U/kg subcutan per 3–5 h (Half-life 5.7 h setelah
12 jam atau 200 U/kg subcutan pemberian IV 5000 units pada
per 24 jam pasien hemodialysis dibanding
Renal dosing: tidak ada rekomendasi 2.1–2.3 h in normal renal function)
khusus penggunaan harus hati-hati,
monitoring LMWH dan anti Xa
untuk dosis penyeusaian
 Enoxaparin 1 mg/kgbb subcutan 4.5–7 jam (17% lower clearance
per 12 jam atau 1.5 mg/kgbb dengna gangguan ginjal ringan
subcutan tiap 24 jam. FDA (CrCl 50–80 mL/min; 31 % lower
approved renal dosing 1 mg/kg sc clearance gangguan ginjal sedang
per 24hours (CrCl\30 mL/min) CrCl 30–50 mL/min 44 % lower
clearance dengan gangguan ginjal
 Tinzaparin 175 U/kg subcutan per berat -CrCl\30 mL/min)
24 jam 3-4 jam (24 % mengurangi
Renal dose: tidak ada bukti adanya clearance pada gangguan ginjal
bioaccumulasi pada IRIS studi berat CrCl\30 mL/min
Pentasaccharide 17–21 jam (25 % lower clearance
Fondaparinux 5–10 mg subcutan per 24 dengan insufisiensi ginjal ringan
jam(5mg untuk BB<50 kg, 7.5 mg untuk -CrCl 50–80 mL/min; 40 % lower
BB 50–100 kg and 10 mg untuk BB with gangguan ginjal sedang-CrCl
>100 kg) 30–50 mL/min; 55 % lower
Renal dosing: hindari pada pasien dengan gangguan ginjal berat
denganCrCl\30 mL/min; hati-hati CrCl\30 mL/min)
diberikan pada pasien dengan CrCl 30–
50 mL/min
Direct oral anticoagulants (DOACs)
 Apixaban (oral direct factor Xa 12 H
inhibitor) 10 mg oral 2x sehari selama
7 hari lalu 5 mg po 2x sehari
Pada pasien dengan kategori seperti ini:
25

age≥80 years, BB≤60 kg, atau serum


creatinin≥1.5 mg/dL, dosis yang
direkomendasikan adalah 2.5 mg po 2x
sehari. Hindari pada pasien dengan
CrCl<25 mL/min atau Cr<2.5 mg/dL or
hepatic dysfunction (AST/ALT)> 2x
ULN or bilirubin>1.5X ULN
 Dabigatran (oral direct thrombin
inhibitor) 150 mg po 2x sehari setelah 13 h (CrCl C 80 mL/min) 15 h
5–10 hari setelah pemberiain (CrCl 50–79 mL/min) 18 h (CrCl
antikoagulan parenteralenteral 30–49 mL/min) 27 h (CrCl 15–29
(hindari pada pasien dengan CrCl< mL/min)
30 mL/min and liver impairment with
transaminase> 2x ULN
 Edoxaban (oral direct factor Xa
inhibitor) 60 mg po 1x sehari
10–14 h (Total systemic exposure
30 mg 1x sehari jika CrCl 15–50
meningkat hinggga 32 % (CrCl
mL/min atau BB≤60 kg
Hindari pada pasien dengan CrCl<15 50–79 mL/ min), 74 % (30–49
mL/min atau gangguan fungsi hari mL/min), 72 % (CrCl\30
dengan skor Child-Pugh class B/C mL/min), and 93 % (peritoneal
Rivaroxaban (oral direct factor Xa dialysis), respectively
inhibitor) 15mg po 2x sehari selama 3
minggu dilanjut dengan 20 mg 1x
sehari
Hindari pada pasien CrCl<30 mL/min
and Child-Pugh class B/C
5–9 h (usia 20–45 tahun)
11–13 h (usia≥ 65 tahun)

2.10. Jenis Terapi Venous Thromboembolism (VTE)


2.10.1. Direct Oral Antioagulants (DOACs)

DOACs merupakan pilihan terapi yang cukup menjanjikan selain


antagonis vitamin K, seperti warfarin. DOACs memiliki beberapa
keuntungan dalam terapi thrombosis vena dalam, diantaranya: interaksi
26

dengan obat lain kecil, dapat dikonsumsi per oral, pada beberapa kasus
tidak perlu bridging, tidak membutuhkan monitoring laboratorium
(PT/INR), sama efektif dengan antagonis vitamin K, serta dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien. Salah satu kelemahan DOACs
adalah tidak dapat digunakan pada pasien dengan gangguan liver, ginjal,
trombositopenia, keganasan, serta risiko perdarahan tinggi. (Stone,
2017).
DOACs diantaranya meliputi inhibitor faktor Xa (rivaroxaban,
apixaban, edoxaban) dan inhibitor direct thrombin (dabigatran) telah
dipelajari secara lulas dan menunjukkan hasl yang tidak kalah efektifnya
dengan penggunaan antagonis vitamin K untuk terapi VTE. DOACs juga
telah direkomendasikan oleh ACCP untuk terapi jangka panjang pada
kasus VTE dan beberapa juga direkomendasikan sebagai terapi
lanjut/extended treatment pada kasus VTE. Salah satu efek samping yang
dikhawatikan dari penggunaan DOACs adalah manifestasi perdarahan,
tetapi DOACs terbukti lebih aman dibaningkan obat-obat VTE lainnya,
seperti heparin, LMWH, antagonis vitamin K. Risiko perdarahan
terutama perdarahan intracranial terbukti lebih kecil risikonya
dibandingkan dengan antagonis vitamin K. dari keempat jenis DOACs
yang telah disebutkan diatas, hanya dabigatran yang memiliki agen
anticoagulant-reversing (idarucizumab), meskipun antidotum untuk
ketiga jenis DOACs lainnya masih menunggu FDA. (Bartholomew JR,
2017).
Rivaroxaban dapat digunakan sebagai monoterapi pada kasus
VTE. Rivaroxaban telah diterima oleh FDA sebagai teranpi VTE maupun
manajemen profilaksis pada kasus VTE. Sebagai terapi profilaksis,
rivaroxaban dapat diberikan per oral 10mg per hari selama 35 hari pada
pasien post operasi total hip replacement dan selama 12 hari pada pasien
post operasi knee replacement. Sedangkan untuk terapi VTE, rivaroxaban
daapt diberikan per oral 15mg dua kali sehari selama 21 hari untuk terapi
awal, lalu dilanjutkan dengan pemberian 20mg per hari untuk terapi
27

jangka panjang. Rivaroxaban kontraindikasi pada pasien dengan


gangguan ginjal (CrCl < 30 ml/min). Penggunaan obat baik 15mg
maupun 20mg diberikan bersamaan dengan makanan. (Bartholomew,
2017). Pada pasien usia diatas 75 tahun ditemukan adanya peningkatan
kasus perdarahan saluran cerna akibat penggunaan rivaroxabam
dibanding warfarin, namun untuk kejadian acute coronary syndrome
tidak ditemukan. (Streiff, et al., 2016).
Apixaban juga telah diterima oleh FDA sebagai monoterapi untuk
manajemen VTE dan tidak kalah efektif dibandingkan terapi standar
berupa LMWH dan warfarin dengan risiko perdarahan yang lebih kecil.
Apixaban juga dapat digunakan sebagai terapi profilaksis VTE pada
pasien yang menjalani operasi hip and knee replacement. Terapi
profilaksis dapat diiberikan dengan dosis 2,5mg per oral dua kali sehari
selama 7 hari lalu dilanjutkan dengan 5mg dua kali sehari untuk terapi
jangka panjang. Dosis dapat diturunkan menjadi 2,5mg dua kali sehari
pada pasien usia diatas 80 tahun, berat badan kurang dari 60kg, dan
creatinine lebih dari 1,5 mg/dl. Apixaban juga dapat digunakan sebagai
extended therapy, sebuah studi randomized double blind mengatakan 2
dosis (2,5mg dan 5mg dua kali sehari) apixaban dibandingkan dengan
placebo, apixaban dapat menurunkan risiko terjadinya rekuren VTE
tanpa meningkatkan risiko perdarahan. (Bartholomew JR, 2017).
Dabigatran dan edoxaban memerlukan antikoagulan parenteral
sebagai terapi awal dalam 5 hari pertama. Dabigatran diberikan dengan
dosis 150mg dua kali sehari per oral jika CrCl lebih dari 30mL/min untuk
terapi jangka panjang. Edoxaban diberikan dengan dosis 60mg satu kali
perhari, namun dosis dapat diturunkan menjadi 30mg per hari jika CrCL
30-50mL/min atau jika berat badan kurang dari 60 kg atau jika pasien
menggunakan obat-obatan golongan P-glycoprotein inhibitor.
(Bartholomew, JR, 2017). Efektivitas dabigatran untuk terapi thrombosis
vena dalam telah dikonfirmasi pada 3 penelitian double-blind
randomized controlled trials: RE-COVER, REMEDY, and RESONATE.
28

Pada RE-COVER trial, lebih dari 2500 pasien dengan thrombosis vena
dalam proksimal diberikan baik dabigatran atau LMWH/warfarin dalam
jangka waktu yang sama. Tidak ada perbedaan pada mortalitas, efek
samping perdarahan, kejadian acute coronary atau rekuren VTE. Pada
studi RE-LY ditemukan adanya peninngkatan risiko perdarahan saluran
cerna pada pasien dengan atrial fibrilasi yang diberikan dabigatran
dibandingkan warfarin. Dabigatran harus diberikan hati-hati pada pasien
usia lanjut dengan atrial fibrilasi atau faktor risiko jantung lainnya.
(Stone, et al., 2017).
2.10.2. Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Low Molecular Weight Heparin merupakan obat yang digunakan
sebagai terapi thrombosis vena dalam akut maupun profilaksis. LMWH
digunakan sebagai obat untuk transisi ke obat-obat oral seperti warfarin,
dabigatran atau edoxaban sebagai terapi antikoagulan jangka panjang dan
LMWH lebih direkomendasikan untuk diberikan pada pasien dengan
keganasan maupun kehamilan dibandingkan dengan warfarin maupun
DOAC untuk terapi THR thrombosis vena dalam Enoxaparin, obat
golongan LMWH yang paling sering digunakan di United States,
diberikan dalam bentuk injeksi harian (1,5mg/KgBB/hari) atau dua kali
sehari (1mg/KgBB/per 12 jam). Enoxaparin juga bisa digunakan sebagai
terapi profilaksis pada pasien yang akan menjalani oeprasi penggantian
tulang panggul maupun lutut atau operasi laparotomy atau pasien dengan
imobilitas terbatas karena penyakit yang bersifat akut. LMWH juga dapat
diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal (CrCL < 30mL/min)
dengan penyeusaian dosis.(Barholomew JR, 2017).
LMWH merupakan antikoagulan yang memiliki beberapa
keuntungan dibanding Unfractionated Heparin (UFH) antara lain respon
antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, waktu paruh yang lebih
panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali sehari, dosis
yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak
29

menggantikan peranan UFH sebagai antikoagulan. (Hirsh dan Lee,


2002).
Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih
jarang terjadi dibanding penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi
antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat stroke perdarahan,
metastase ke central nervous system (CNS), kehamilan peripartum,
operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan
gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan aman dan
efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor.
Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan
pada pasien dengan trombosis masif, memiliki kecenderungan
perdarahan yang tinggi seperti usia tua, baru saja menjalani pembedahan,
riwayat penyakit ginjal dan liver serta memiliki penyakit penyerta yang
berat. (Ramzi dan Leeper, 2004).
2.10.3. Unfractionated Heparin (UFH)
Unfractionated Heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang
cepat tapi harus diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan
antitrombin dan meningkatkan kemampuannya untuk menginaktivasi
faktor Xa dan trombin (Mackman dan Becker, 2010). Unfractionated
Heparin (UFH) diberikan secara parenteral dan dapat digunakan baik
sebagai profilaksis maupun terapi pada kasus thrombosis vena dalam.
Heparin merupakan terapi pilihan utama untuk terapi awal pada pasien
dengan kasus thrombosis vena dalam dan secara umum lebih dipilih
daripada LMWH terutama untuk pasien-pasien dengan hemodinamik tidak
stabil atau thrombosis vena dalam ileofemoral. UFH juga lebih
direkomendasikan pada pasien dengan gangguan ginjal dosis yang
digunakan lebih ke dosis berdasarkan berat badan (80 unit/KgBB bolus
dilanjutkan SP 18 unit/KgBB per jam). (Barhtolomew JR, 2017).
Dosis Unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dititrasi
sesuai kadar activated partial-thromboplastin time (APTT). Dosis heparin
yang disesuaikan berdasarkan berat badan dan APTT dapat dilihat pada
30

tabel. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali
kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu
karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein
sel. Efek samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi
inisial resiko terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung
pada dosis, usia, penggunaan bersama dengan antitrombotik atau
trombolitik. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien.
Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari setelah penggunaanya
bersama warfarin jika target International Normalized Ratio (INR)
dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0. (Ramzi dan Leeper, 2004).
Heparin juga bisa diberikan secara subkutan pada pasien rawat
jalan dengan dosis awal bolus 333 unit/kgBB lalu dilanjutkan dengan dosis
17500 unit subkutan dua kali sehari. (Bartholomew JR, 2017).
Tabel 2.11. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT (Ramzi dan
Leeper, 2004).

Dosis Awal Bolus 80unit per KgBB, dilanjut SP 18


unit/KgBB per jam
APTT < 35 detik (< 1,2 kali dari Bolus 80unit per KgBB, dilanjut 4unit
nilai rujukan ) per KgBB per jam

APTT 35-45 detik (1,2-1,5 kali nilai Bolus 40unit per KgBB, dilanjut 2unit
rujukan) per KgBB per jam

APTT 46-70 detik (1,5-2,3 dari nilai Bolus 40unit per KgBB, dilanjut 2unit
rujukan) per KgBB per jam

APTT 71-90 detik (2,3-3,0 dari nilai Turunkan dosis SP menjadi 2unit per
rujukan) KgBB per jam

APTT > 90 detik (> 3,0 dari nilai Hentikan terapi selama 1 jam, dilanjut
rujukan) dengan dosis 3unit per KgBB per jam
31

Penyesuaian dosis heparin untuk mencapai target dilakukan


pada hari ke 1 tiap 6 jam, hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan
karena biasanya pada 6 jam pertama hanya 38% yang mencapai nilai
target dan sesudah dari ke 1 baru 84%. Heparin dapat diberikan 7–10 hari
yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian heparin dosis rendah yaitu
5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau pemberian anti koagulan oral, selama
minimal 3 bulan. Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam
sebelum rencana penghentian heparin karena anti koagulan oral efektif
sesudah 48 jam.(Ramzi dan Leeper, 2004).
Fondaparinux merupakan inhibitor faktor Xa indirek, yang
secara biokimiawi masih terkait dengan LMWH. Fondaparinux diterima
sebagai terapi thrombosis vena dalam akut dengan kombinasi antagonis
vitamin K (warfarin), dabigatran atau edoxaban. Obat ini juga dapat
digunakan sebagai terapi profilaksis pada pasien yang menjalani operasi
fraktur panggul, atau operasi penggantian lutut maupun panggul, serta
laparotomy. Fondaparinux digunakan dengan cara injeksi subkutan sehari
sekali 2,5mg untuk terapi profilaksis thrombosis vena dalam dan dosis
berdasarkan berat badan untuk terapi thrombosis vena dalam (5mg untuk
BB< 50kg; 7,5mg untuk BB 50-100kg; 10mg untuk BB> 100kg).
Fondaparinux kontraindikasi pada pasien dengan gangguan ginjal berat
(CrCl < 30 mL/min) dan endocarditis bacterial. (Bartholoemw JR, 2017).

2.10.4. Antagonis Vitamin K


Warfarin, sebagai antagonis vitamin K merupakan terapi
thrombosis vena dalam jangka panjang dan extended therapy selain
DOACs. Warfarin digunakan setelah pemeberian terapi awal dengan
heparin, LMWH, atau fondaparinux selama 5 hari sampai mencapai
International Normalized Ratio (INR) setidaknya 2,0 dalam waktu 24
jam. Terapi inisiasi dengan menggunakan antagonis vitamik K pada hari
pertama pemberian terapi parenteral lebih disarankan. Warfarin masih
32

menjadi salah satu obat pilihan sebagai terapi thrombosis vena dalam
jangka panjang atau pemanjangan faktor koagulasi dengan gangguan
fungsi hati (peningkatan enzim transaminase diatas dua kali lipat batas
atas ataupun penyakit hati) atau gangguan ginjal (CrCl < 30 mL/min).
(Bartolhomew JR, 2017).
Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring
INR secara berkala diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan
efek samping perdarahan. INR sebaiknya diperiksa 2 kali per minggu
selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan, diikuti 1 kali perminggu
untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1 bulan
berikutnya dan akhirnya tiap sebulan sekali jika target INR tercapai dan
pasien dalam kondisi optimal (Bates, 2004; Hirsh and Lee, 2002).
Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang
dievaluasi. LMWH memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin
yaitu tidak memerlukan monitoring INR sehingga cost effective dan dapat
digunakan jika ada kesulitan akses laboratorium, LMWH juga
memiliki onset dan offset of action yang lebih cepat daripada warfarin,
lebih efektif pada trombosis pasien kanker dan kasus rekurensi trombosis
pada penggunaan warfarin jangka lama. Akan tetapi kelemahan LMWH
adalah penggunaannya yang tidak nyaman bagi pasien karena harus
diberikan subkutan disamping harganya yang mahal. (Hirsh dan Lee,
2002).
Warfarin sebagai terapi jangka panjang thrombosis vena dalam
memiliki banyak kelemahan antara lain onset of action yang lambat,
dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan banyak jenis obat
dan makanan, therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan
monitoring ketat. Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral
yang baru dan lebih baik untuk menggantikannya. Ada beberapa macam
antikoagulan baru yang telah banyak dipakai sebagai profilaksis
thrombosis vena dalam seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa),
apixaban (inhibitor faktor Xa) dan dabigatran etexilate (inhibitor
33

trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai terapi pada


thrombosis vena dalam akut. Secara teori obat antikoagulan baru
memiliki kelebihan dibanding warfarin antara lain onset of action yang
cepat dan tidak membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan
parenteral, tapi belum ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan obat
antikoagulan baru adalah tidak adanya antidotum yang spesifik terehadap
efek samping perdarahan sehingga penggunaan obat-obat ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut, selain itu harganya jauh lebih mahal
dari warfarin. (Mackman dan Becker, 2010).

Tabel 2.12. PililhanTerapi Antikoagulan berdasarkan Fasenya


(Bartholomew JR, 2017)

Pasien Akut Jangka Panjang Extended


(0-7 hari) (7 hari – 3 bulan) (3 bulan- tak
ditentukan)
Pasien  UFH  DOACs  Gunakan
 LMWH rivaroxaban, antikoagulan
 Fondaparinux
apixaban,dabigatr yang sama saat
,
 DOACs an atau edoxaban) terapi jangka
 Antagonis vitamik
(rivaroxaban atau panjang
K (warfarin)  Timbul DVT
apixaban)
proksimal atau
emboli pulmo
dengan risiko
perdarahan
ringan-sedang
setelah DVT
pertama atau
kedua
Gagal ginjal UFH Antagonis vitamik Antagonis
(CrCl< K (warfarin) vitamik K
34

30ml/min) atau (warfarin)


gangguan hati
dengan
koagulopati
Hemodinamik  UFH - -
tidak stabil  LMWH
Kehamilan atau  UFH LMWH LMWH
keganasan  LMWH
Dosis 1x sehari  Fondaparinux  Antagonis vitamik  Antagonis
 LMWH dengan K (warfarin) vitamik K
dosis  Rivaroxaban (warfarin)
1,5mg/kg/hari (setelah 21 hari)  Rivaroxaban
 Edoxaban  Edoxaban
THROMBOSI -  Jika sebelumnya  Jika sebelumnya
S VENA menggunakan non menggunakan
DALAM LMWH ganti ke non LMWH
rekuren LMWH ganti ke LMWH
 Jika sebelumnya Jika sebelumnya
dengan LMWH dengan LMWH
tingkatkan dosis tingkatkan dosis
Kombinasi obat  UFH  Antagonis  Antagonis
 LMWH Vitamin K Vitamin K
(Warfarin) (Warfarin)
 Dabigatran  Dabigatran

2.10.5. Terapi Trombolitik


Terapi trombolitik dapat berupa sistemik maupun local melalui
Catheter Directed Therapy (CDT). Kedua cara ini sama-sama memiliki
risiko perdarahan yang lebih besar disbanding dengan terapi thrombosis
vena dalam biasanya. Pada guideline ACCP 2012 dan 2016 lebih
menyarankan menggunakan terapi antikoagulan dibandingkan CDT pada
pasien thrombosis vena dalam akut tungkai, namun pengugnaan
trombolitik dapat lebih menguntungkan padapasien dengan thrombosis
vena dalam simptomatik pada daerah ileofemoral dengan onset kurang
35

dari 14 hari, status fungsional baik, risiko perdarahan rendah. Hal ini
bertentangan dengan guideline CHEST 2008 dimana merekomendasikan
terapi CDT pada pasien dengan thrombosis vena dalam proksimal yang
ekstensif, yang berisiko menjadi ganren, memiliki risiko perdarahan
rendah, dan memiliki status fungsional baik. Hal ini direkomendasikan
arena CDT dirasa dapat memulai rekanalisasi lebih dini dan
meminimalisir terjadinya Post Thrombotic Syndromes (PTS).
(Bartholomew JR, 2017).
Serine protease inhibitor endogen seperti urokinase dan
rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi
streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik
dengan efek samping yang lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat
kesehatan lebih memilih menggunakan alteplase (Patterson, 2010).
Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi
resiko perdarahan juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan
menghasilkan konsentrasi lokal yang lebih tinggi daripada secara
sistemik dan secara teori seharusnya dapat meningkatkan efikasinya dan
menurunkan resiko perdarahan. (Patterson, 2010).
Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih
besar dibanding penggunaan heparin (Patterson, 2010). Indikasi
dilakukan trombolisis antara lain thrombosis massif pada daerah
proksimal ekstremitas bawah atau thrombosis iliofemoral yang dapat
mengakibatkan gejala yang berat serta iskemia yang mengancam dengan
onset kurang dari 14 hari (Wilbur and Shian, 2017). Kontraindikasi
trombolisis antara lain bleeding diathesis/trombositopeni, resiko
perdaraham spesifik organ (infark miokard akut, trauma serebrovaskular,
perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati atau gagal
ginjal, keganasan (metastase otak), kehamilan, stroke iskemi dalam
waktu 2 bulan, hipertensi berat yang tidak terkontrol (SBP>180 mmHg,
DBP>110 mmHg) (Patterson, 2010). CDT dilakukan dengan
36

tuntunan ultrasound sehingga dapat meminimalkan terjadinya komplikasi


dan punksi multipel pembuluh darah. (Patterson, 2010).
Tabel 2.13. Kategori Risiko Kekambuhan dan Rekomendasi Durasi
Terapi (Hirsh dan Lee,2002)

Kelo Karakteristik Pasien Berdasarkan Risiko Durasi


mpok Kasus Thrombosis Kekambuhan Antikoagulan
Risik
o
Low Faktor Risiko Mayor (operasi < 5%/tahun 3 bulan
besar, trauma panggul atau
tungkai, major medical illness
Mode Faktor Risiko Lemah < 10%/tahun 6 bulan
rate (penggunaan estrogen, perjalanan
jauh, trauma ringan) dan tidak ada
factor keturunan maupun
menderita thrombofilia
Unprovoked thrombosis dengan
tanpa riwayat thrombofilia
Unprovoked thrombosis dengan
High 10%/ tahun 6 bulan
mutasi heterozigot factor V leiden
atau protrombin G20210A
Unprovoked thrombosis yang
Very rekuren dengan atau tanpa fase Extended
HIgh thrombofilik >12 %/tahun therapy atau
Unprovoked thrombosis dengan
indefinite
antihrombin, defisiensi protein C
atau protein S, Homozygot factor
V leiden, double heterozigositas,
sindroma antifosfolipid antibody,
keganasan

Alteplase merupakan recombinant tissue-type plasminogen


activator (r-TPA) telah diterima oleh FDA untuk terapi VTE. Alteplase
37

digunakan dengan dosis 100mg dalam 2 jam. Guideline ACCP


merekomendasikan terapi trombolitik sistemi pada kondisi hemodinamik
pasien tidak stabil (tekanan darah sistolik < 90mmHg) dengan risiko
perdarahan rendah melalui vena perifer. Guideline ACCP juga
merekomendasikan penggunaan thrombolysis yang kondisinya
memburuk setelah terapi inisiasi menggunakan antikoagulan tetapi belum
mengalami hipotensi. (Bartholomew JR, 2017).
Tabel 2.14. Protokol Trombolisis Pada Thrombosis Vena Dalam
(Patterson, 2010)

Protokol Pemberian Thrombolitik

Identifikasi Pasien:
jika dalam terapi LMWH stop selama 8 jam
Hentikan antikoagulan oral, cek INR hingga < 1,5
Bolus UFH 5000 IU
Infus UFH 15unit/KgBB, pertahankan APTT 1,2-17 kali dari
batas normal
Tentukan akses vena dengan USG guidance dan local anestesi
Wire/kateter dimasukkan dibagian proksimal dari thrombus lalu
lakukan venografi
20mg alteplase dalam 500cc nacl 0,9% dalam SP 0,01
mg.kgbb/jam sampai dosis maksimal 20mg dalam 24 jam
Obeservasi hemodinamik dan lokasi tusukan
Evaluasi clotting setiap hari dengan venografi
Maksimal diberikan < 96jam
Ballooning angioplasty/placement of venous stents dapat
dilakukan bila perlu
Kateter dikeluarkan, lakukan penekanan pada lokasi untuk
emncegah perdarahan
Balut tekan dilakukan selama 2 jam, dosis tambahan LMWH
selama 1 jam setelah kateter dikeluarkan
Antikoagulan dapat diberikan

2.10.6. Terapi Intervensi


2.10.6.1.Inferior Vena Cava Filters (IVC)
38

Beberapa Guideline terbaru telah merekomendasikan IVC filter


pada pasien-pasien thrombosis vena dalam maupun PE yang diterapi
dengan menggunakan obat-obat antikoagulan. Indikasi absolut
penggunaan IVC filter, antara lain: kontraindikasi penggunaan
antikoagulan dan thromboemboli rekuren yang sudah mendapat terapi
antikoagulan yang adekuat. Indikasi relative penggunaan IVC, antara
lain: PE massif, thrombosis vena dalam regio iliocaval, thrombosis vena
dalam proksimal dengan free floating, insufisiensi jantung maupun paru,
risiko besar terjadi komplikasi akibat pemberian antikoagulan, antara
lain: risiko tinggi terjadinya komplikasi dari obat-obatan antikoagulan.
(Bartholomew JR, 2017).
Penggunaan rutin IVC pada pasien dengan terapi antikoagulan
tidak mengurangi mortalitas, bahkan pada pasien yang risiko tinggi
menderita thrombosis vena dalam. Komplikasi yang mungkin terjadi
setelah penempatan IVC adalah thrombosis dan fistula arteriovenosa
(Wilbur and Shian, 2017). Penggunaan Retrievable filter dapat dipakai
pada kondisi tertentu dimana penggunaan antikoagulan sementara
dihentikan karena ditemukan kontraindikasi. Consensus Guideline
terbaru mengatakan indikasi pemasangan retrievable IVC filter sama
dengan pemasangan IVC permanen. Penggunaan IVC filter sendiri
menjadi tidak efektif untuk terapi VTE. Antikoagulan harus segera
diberikan kembali setelah proses pemasangan selesai. (Bartholomew JR,
2017).
Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen
trombolitik, penggunaan venous stenting tambahan dan inferior vena
cava filter (IVC) berbeda-beda pada tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin
dilakukan dan umumnya hanya dipakai sementara, penggunaannya
dilakukan pada kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi
penggunaan antikoagulan dan timbulnya thrombosis vena dalam pada
penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus melalui diskusi tim
multidisiplin dan kasus per kasus (Patterson, 2010). Pemasangan stent
39

endovaskular pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan pada kasus


tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya
thrombosis vena dalam (May-Thurner syndrome). Pada sindrom ini vena
iliaka komunis ditekan oleh arteri iliaca komunis sehingga terjadi tekanan
dan kerusakan pembuluh darah. Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor
daerah pelvis, osteofit, retensi urin kronik, aneurisma arteri iliaka,
endometriosis, kehamilan, tumor uterus (Patterson, 2010). Aspiration
thrombectomy juga dapat dilakukan bersama CDT pada kasus tertentu.
Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan trombolisis
untuk mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus.
(Patterson, 2010).
2.10.6.2.Thrombektomi
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT
iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal
dengan trombolitik maupun mechanical thrombectomy, lesi yang tidak
dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan
pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan.
Trombus di vena iliaka komunis dipecah dengan kateter embolektomi
fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus
dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking
dan esmarch bandage. Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan
dilatasi balon dan atau stenting. Setelah tindakan pembedahan, heparin
diberikan selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari
setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan.
Untuk hasil yang maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan
kurang dari 7 hari setelah onset DVT. Pasien dengan phlegmasia
cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi kompartemen
dan perbaikan sirkulasi (JCS Guidelines, 2011).
40

BAB 3

RINGKASAN

Thrombosis vena dalam merupakan pembentukan bekuan darah pada


lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding
pembuluh darah dan jaringan periven. Thrombosis vena dalam disebabkan oleh
disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah
vena (stasis) yang dikenal dengan trias virchow. Faktor utama yang berperan
terhadap terjadinya trombosis vena adalah status aliran darah dan meningkatnya
aktifitas pembekuan darah. Faktor kerusakan dinding pembuluh darah adalah
relatif berkurang berperan terhadap timbulnya trombosis vena dibandingkan
trombosis arteri. Sehingga setiap keadaan yang menimbulkan statis aliran darah
dan meningkatkan aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis vena.
Contrast venography merupakan pemeriksaan gold standart untuk
menegakkan diagnosis thrombosis vena dalam pada ekstremitas inferior, namun
pemeriksaan ini memiliki banyak kelemahan, antara lain adalah ketidaknyamanan
pasien, biaya mahal, dan sulit dilakukan. Langkah pertama yang dapat dilakukan
untuk menegakkan thrombosis vena dalam adalah dengan melakukan assessment
menggunakan Wells’ score. Menurut guideline American Society of Hematology
(ASH), selain menggunakan kriteria Wells’ score dapat dilanjutkan pemeriksaan
D-dimer maupun USG Dopper untuk menegakkan diagnose thrombosis vena
dalam.
Terapi harus segera diberikan setelah diagnosa thrombosis vena dalam
diteegakkan. Guideline NICE dan ACCP merekomendasikan Direct Oral
Anticoagulants (DOACs) sebagai first line terapi thrombosis vena dalam. Pada
ummnya, terapi thrombosis vena dalam diberikan selama minimal 3 bulan untuk
mengurangi angka kekambuhan thrombosis vena dalam pada pasien.

Anda mungkin juga menyukai