Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Organ Penghidu
1. Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung
dengan pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid dengan
bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung, 2) dorsum nasi, 3) puncak
hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).1
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os
nasalis, 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal. Sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari.1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), 3) beberapa pasang
kartilago ala minor, dan 4) tepi inferior kartilago septum.1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring. 1
Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
hidung licin, yang disebut ala nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.1
Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai yang terkecil
adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimeter.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Terdapat 3 meatus, yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus
superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimaris, pada
meatus media terdapat muara sinus frontalis, sinus maksilaris, dan sinus etmoid
anterior. Sedangkan pada meatus superior bermuara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.1
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,
konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.1
Pendarahan hidung berasal dari a. maksilaris interna (bagian bawah hidung), a.
fasialis (bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor, yang
disebut pleksus Kieselbach. Vena-vena membentuk pleksus yang luas di dalam
submucosa. Pleksus ini dialirkan oleh vena-vena yang menyertai arteri.1
Persarafan hidung pada bagian depan dan atas, saraf sensoris n. etmoid
anterior (cabang n. nasolakrimalis, cabang N. oftalmikus). Rongga hidung lainnya
saraf sensoris n. maksila. Saraf vasomotor (autonom) melalui ganglion
sfenopalatinum.2
2. Fisiologi
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi
penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi
suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.1
3. Gangguan Penghidu
A. Rhinitis Alergi
1. Definisi
Menurut Von Pirquet, rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut.1
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.1
2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak
dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis
alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli
kesehatan profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rinitis alergi
mencapai 20%. Menurut International Study of Asthma and Allergies in
Children (ISAAC, 2006), Indonesia bersama-sama dengan negara Albania,
Rumania, Georgia dan Yunani memiliki prevalensi rinitis alergi yang rendah
yaitu kurang dari 5%.3
3. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi
tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak.4
Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang
menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur.
Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua
spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang
pengerat.4
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta
sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.
Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya
jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa
faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat
atau merangsang dan perubahan cuaca.4
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:5
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
4. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.6
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4
(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3,
IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC).6
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).6
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.6
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-
menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:6
Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih
ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respon tersier.
Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag
oleh tubuh.
Gambar 2.2 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan
selanjutnya7
5. Gejala Klinis
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali
setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis.8
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata,
telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang
garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok
hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema
mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak.
Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema
kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic
shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis
media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal
termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara.9
6. Klasifikasi
Klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan persistensi adalah sebagai berikut:10
1. Rhinitis alergi intermiten, bila gejala berlangsung kurang dari 4
hari/minggu atau kurang dari 4 minggu/tahun
2. Rhinitis alergi persisten, bila gejala berlangsung lebih dari 4 hari/minggu
atau lebih dari 4 minggu/tahun
Klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan derajat gangguan adalah sebagai
berikut:
1. Ringan, bila tidak satupun dari hal-hal seperti gangguan tidur, gangguan
aktivitas sehari-hari, gangguan pekerjaan atau sekolah, gejala dirasa
menganggu
2. Sedang berat, bila didapatkan salah satu atau lebih hal seperti gangguan
tidur, gangguan aktivitas sehari-hari, gangguan pekerjaan atau sekolah,
gejala dirasa menganggu.
7. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan
hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien.6
Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset
dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti
bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer
lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka
dinyatakan positif.6
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic
crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga
bawah.6
Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh
punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan
mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan
sekret yang encer dan banyak.6
Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat
memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan
konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti
sinusitis dan otitis media.6
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test)
sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien
lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan.
Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.6
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi
makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis
biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada
pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada
diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.6
8. Tatalaksana
a. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.8
b. Simptomatis
Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang
bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti
pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi
dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan
generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik,
sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.11
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin
atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk
beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat
respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,
mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah
ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas
inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor.11
Operatif seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat.12
Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi
dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi
inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain
belum memuaskan.11
9. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan
limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia
skuamosa.
Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para
nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa
yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi
dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan
rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh
mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat
sinusitis akan semakin parah.13
10. Prognosis
Prognosis pada rhinitis alergi baik bila diberikan terapi yang adekuat.
2. Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan:
- Batas luar : membran timpani
- Batas depan : tuba eustachius
- Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
- Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
- Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
- Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah; kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round
window), dan promontorium.
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari
luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga
tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membrana timpani,
maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada
tingkap oval yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang
pendengaran merupakan persendian. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.1
3. Telinga Dalam
Labirin (telinga dalam) mengandung organ pendengaran dan keseimbangan,
terletak pada pars petrosa os temporal. Labirin terdiri dari labirin bagian tulang dan
labirin bagian membran. Labirin bagian tulang terdiri dari kanalis semisirkularis,
vestibulum dan koklea. Labirin bagian membran terletak didalam labirin bagian
tulang, dan terdiri dari kanalis semisirkularis, utrikulus, sakulus, sakus dan duktus
endolimfatikus serta koklea.14
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan kanalis
semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel
rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus
oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan
dengan berat jenis yang lebih besar daripada endolimfe. Karena pengaruh gravitasi,
maka gaya dari otolit akan membengkokkan silia sel-sel rambut dan menimbulkan
rangsangan pada reseptor.
Gambar 1. Vestibulum
Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga
merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada
bidang yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis
bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai suatu ujung yang
melebar membentuk ampula dan mengandung sel-sel rambut krista. Sel-sel rambut
menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam kanalis
semisirkularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan
silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel rambut reseptor.14
C. Fisiologi Pendengaran
Suara ditandai oleh nada, intensitas, kepekaan. Nada suatu suara ditentukan oleh
frekuensi suatu getaran. Semakin tinggi frekuensi getaran, semakin tinggi nada. Telinga
manusia dapat mendeteksi gelombang suara dari 20 sampai 20.000 siklus per detik, tetapi
paling peka terhdap frekuensi 1000 dan 4000 siklus per detik. Intensitas atau Kepekaan
suatu suara bergantung pada amplitudo gelombang suara, atau perbedaan tekanan antara
daerah bertekanan tinggi dan daerah berpenjarangan yang bertekanan rendah. Semakin
besar amplitudo semakin keras suara. Kepekaan dinyatakan dalam desible (dB).
Peningkatan 10 kali lipat energi suara disebut 1 bel, dan 0,1 bel disebut desibel. Satu
desibel mewakili peningkatan energi suara yang sebenarnya yakni 1,26 kali. Suara yang
lebih kuat dari 100 dB dalam merusak perangkat sensorik di koklea. Kualitas suara atau
warna nada (timbre) bergantung pada nada tambahan, yaitu frekuensi tambahan yang
menimpa nada dasar. Nada-nada tambahan juga yang menyebabkan perbedaan khas suara
manusia
Frekuensi suara yang dapat didengar oleh orang muda adalah antara 20 dan 20.000
silkuls per detik. Namun, rentang suara bergantung pada perluasan kekerasan suara yang
sangat besar. Jika kekerasannya 60 desibel dibawah 1 dyne/cm2 tingkat tekanan suara,
rentang suara adalah samapai 500 hingga 5000 siklus per detik. Hanya dengan suara keras
rentang 20 sampai 20.000 siklus dapat dicapai secara lengkap. Pada usia tua, rentang
frekuensi biasanya menurun menjadi 50 sampai 8.000 siklus per detik atau kurang. Suara
3000 siklus per detik dapat didengar bahkan bila intensitasnya serendah 70 desibel
dibawah 1 dyne/cm2 tingkat tekanan suara. Sebaliknya, suara 100 siklus per detik dapat
dideteksi hanya jika intensitasnya 10.000 kali lebih besar dari ini.
Gelombang suara yang memasuki telinga melalui kanalis auditorius eksterna
menggetarkan membran timpani. Getaran ini akan diteruskan oleh tulang-tulang
pendengaran (maleus, incus, dan stapes) di rongga telinga tengah. Selanjutnya akan
diterima oleh "oval window" dan diteruskan ke rongga koklea serta dikeluarkan lagi
melalui "round window". Rongga koklea terbagi oleh dua sera menjadi tiga ruangan, yaitu
skala vestibuli, skala tympani dan skala perilimfe dan endolimfe. Antara skala tympani
dan skala medial terdapat membran basilaris, sel-sel rambut dan serabut afferen dan
efferen nervus cochlearis. Getaran suara tadi akan menggerakkan membrana basilaris,
dimana nada tinggi diterima di bagian basal dan nada rendah diterima di bagian apeks.
Akibat gerakan membrana basilaris maka akan menggerakkan sel-sel rambut sensitif di
dalam organ corti.15
Organ corti kemudian merubah getaran mekanis di dalam telinga dalam menjadi
impuls saraf. Impuls ini kemudian dihantar melalui akson atau cabang saraf sel-sel
ganglion pada ganglion spiralis telinga dalam. Akson dari ganglion spiralis menyatu,
membentuk nervus auditorius atau koklearis yang membawa impuls dari sel-sel di dalam
organ corti telinga dalam ke otak untuk diinterpretasi.
Gambar 3. Pola getaran membran basiler untuk frekuensi suara yang berbeda
Jaras Pendengaran
Jaras pendengaran utama tergambarkan pada gambar dibawah ini. Jaras ini
menunjukkan bahwa serabut dari ganglion spiralis corti memasuki nukleus koklearis
dorsalis dan ventralis yang terletak pada bagian atas medula. Pada titik ini, semua sinaps
serabut dan neuron berjalan terutama ke sisi yang berlawanan dari batang otak dan
berakhir di nukleus olivarius superior. Beberapa serat juga berjalan secara ipsilateral ke
nukleus olivarius superior, jaras pendengaran kemudian berjalan ke atas melalui
lemniskus lateral. Beberapa serat berakhir di nukleus leminiskus lateralis. Banyak yang
memintas nukleus ini dan berjalan ke kolikulus inferior, tempat semua atau hampir semua
serat ini berakhir. Dari sini, jaras berjalan ke nukleus medial thalamus, tempat semua
serabut bersinaps. Dan akhirnya, jaras berlanjut melalui radiasio auditorius ke korteks
auditorius, yang terutama terletak pada girus superior lobus temporalis. 16
Gambar 4. Jaras pendengaran
Kerusakan pada duktus koklearis atau nervus koklearis dapat mengakibatkan
menurunya kemampuan atau hilangnya pendengaran pada telinga pada sisi yang sama.
Suatu lesi yang mengenai satu lemniskus lateralis dapat menimbulkan penurunan
kemampuan pendengaran (tuli parsial) secara bilateral, yang lebih berat akibatnya pada
telinga kontralateral. Namun, inervasi bilateral menjamin bahwa suatu lesi sentral
unilateral tidak akan bermanifestasi menjadi penurunan kemampuan mendengan
unilateral.16
Destruksi korteks pendengaran pada kedua sisi otak baik pada manusia atau pada
mamalia yang lebih rendah menyebabkan kehilangan sebagian besar kemampuannya
mendeteksi arah asal suara. Namun, mekanisme untuk deteksi ini dimulai pada nuklei
olivarius superior di dalam batang otak.
Nukleus olivarius superior dibagi menjadi dua yakni nukleus olivarius superior
medial dan lateral. Nukleus lateral bertanggung jawab unuk mendeteksi arah sumber
suara, agaknya melalui perbandingan sederhana diantara perbedaan intensitas suara yang
mencapai kedua telinga, dan mengirimkan sinyal yang tepat ke korteks auditorik untuk
memperkirakan arahnya. Nukleus olivarius superior medial mempunyai mekanisme
spesifik untuk mendeteksi perbedaan waktu antara sinyal akustik yang memasuki kedua
telinga. Nukleus ini terdiri atas sejumlah besar neuron yang mempunyai dua dendrit
utama yang menonjol ke arah kanan dan kiri. Intensitas eksitasi di setiap neuron sangat
sensitif terhadap perbedaan waktu yang spesifik antara dua sinyal akustik yang berasal
dari kedua telinga. Pada nukleus tersebut terjadi pola spasial perangsangan neuron. Suara
yang datang langsung dari depan kepala merangsang satu perangkat neuron olivarius
secara maksimal dan suara dari sudut sisi yang berbeda menstimulasi pernagkat neuron
lainnya dari sisi yang berlawanan.
c. Tipe campuran
Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen gejala
gangguan pendengaran jenis hantaran dan sensorineural. Pada pemeriksaan fisik
atau otoskopi tanda-tanda yang dijumpai sama seperti pada gangguan
pendengaran jenis sensorineural. Pada tes bisik dijumpai penderita tidak dapat
mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata baik
yang mengandung nada rendah maupun nada tinggi. Tes garputala Rinne negatif.
Weber lateralisasi ke arah yang sehat. Schwabach memendek.
Pemeriksaan audiometric diapatkan air-bone gap lebih dari 10 dB dengan BC
abnormal (lebih dari 25 dB)
E. Tuli Sensorineural
1. Patofisiologi
Pada tuli sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam),
nervus VIII atau di pusat pendengaran. Sel rambut dapat dirusak oleh tekanan udara
akibat terpapar oleh suara yang terlalu keras untuk jangka waktu yang lama dan
iskemia. Kandungan glikogen yang tinggi membuat sel rambut dapat bertahan
terhadap iskemia melalui glikolisis anaerob.
Sel rambut juga dapat dirusak oleh obat-obatan, seperti antibiotik aminoglikosida
dan agen kemoterapeutik cisplatin, yang melalui stria vaskularis akan terakumulasi di
endolimfe. Hal ini yang menyebabkan tuli telinga dalam yang nantinya
mempengaruhi konduksi udara dan tulang. Ambang pendengaran dan perpindahan
komponen aktif membran basilar akan terpengaruh sehingga kemampuan untuk
membedakan berbagai nada frekuensi yang tinggi menjadi terganggu. Akhirnya,
depolarisasi sel rambut dalam tidak adekuat dapat menghasilkan sensasi suara yang
tidak biasa dan mengganggu (tinnitus subyektif). Hal ini bias juga disebabkan oleh
eksitasi neuron yang tidak adekuat pada jaras pendengaran atau korteks auditorik.
Kekakuan membran basilar mengganggu mikromekanik yang akan berperan
dalam ketulian pada usia lanjut. Tuli telinga dalam juga disebabkan oleh sekresi
endolimfe yang abnormal. Jadi, loop diuretics pada dosisi tinggi tidak hanya
menghambat kotranspor Na+ -K+ -2Cl- ginjal, tetapi juga di pendengaran. Kelainan
genetik pada kanak K+ di lumen juga diketahui menyebabkan hal tersebut.
Ganggguan penyerapan endolimfe juga dapat menyebabkan tuli di mana ruang
endolimfe menjadi menonjol keluar sehingga mengganggu hubungan antara sel
rambut dan membran tektorial (edema endolimfe). Akhirnya, peningkatan
permeabilitas antara ruang endolimfe dan perilimfe yang berperan dalam penyakit
Meniere yang ditandai dengan serangan tuli dan vertigo.
2. Manifestasi Klinis
Gangguan pendengaran mungkin timbul secara bertahap atau tiba-tiba. Gangguan
pendengaran mungkin sangat ringan, mengakibatkan kesulitan kecil dalam
berkomunikasi atau berat seperti ketulian. Kehilangan pendengaran secara cepat dapat
memberikan petunjuk untuk penyebabnya. Jika gangguan pendengaran terjadi secara
mendadak, mungkin disebabkan oleh trauma atau adanya gangguan dari sirkulasi
darah. Sebuah onset yang tejadi secara bertahap bisa dapat disebabkan oleh penuaan
atau tumor.
Gejala seperti tinitus (telinga berdenging) atau vertigo (berputar sensasi),
mungkin menunjukkan adanya masalah dengan saraf di telinga atau otak. Gangguan
pendengaran dapat terjadi unilateral atau bilateral. Kehilangan pendengaran unilateral
yang paling sering dikaitkan dengan penyebab konduktif, trauma, dan neuromas
akustik. Nyeri di telinga dikaitkan dengan infeksi telinga, trauma, dan obstruksi pada
kanal. Infeksi telinga juga dapat menyebabkan demam.
3. Diagnosis
Anamnesis
Diperlukan anamnesis yang terarah untuk menggali lebih dalam dan luas keluhan
utama pasien. Keluhan utama telinga antara lain pekak (tuli), suara berdenging
(tinnitus), rasa pusing berputar (vertigo), rasa nyeri di dalam telinga (otalgia), dan
keluar cairan dari telinga (otore). Perlu ditanyakan apakah keluhan tersebut pada satu
atau kedua telinga, timbul tiba-tiba atau bertambah berat, sudah berapa lama diderita,
riwayat trauma kepala, telinga tertampar, trauma akustik, terpajan bising, pemakaian
obat ototoksik, pernah menderita penyakit infeksi virus, apakah gangguan
pendengaran ini sudah diderita sejak bayi sehingga terdapat gangguan bicara dan
komunikasi, dan apakah gangguan lebih terasa di tempat yang bising atau lebih
tenang.
Pemeriksaan audiologi khusus
Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea diperlukan pemeriksaan yang
terdiri dari audiometri khusus, audiometri objektif, pemeriksaan tuli anorganik, dan
pemeriksaan audiometri anak.
Audiometri khusus
Perlu diketahui adanya istilah rekrutmen yaitu peningkatan sensitifitas
pendengaran yang berlebihan di atas ambang dengar dan kelelahan merupakan
adaptasi abnormal yang merupakan tanda khas tuli retrokoklea. Kedua fenomena
ini dapat dilacak dengan beberapa pemeriksaan khusus, yaitu:
Tes SISI (short increment sensitivity index)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah pasien dapat
membedakan selisih intensitas yang kecil (samapai 1 dB).
Tes ABLB (alternate binaural loudness balans test)
Diberikan intensitas bunyi tertentu pada frekuensi yang sama pada kedua
telinga sampai kedua telinga mencapai persepsi yang sama.
Tes Kelelahan (Tone decay)
Telinga pasien dirangsang terus-menerus dan terjadi kelelahan. Tandanya
adalah tidak dapat mendengar dengan telinga yang diperiksa.
Audiometri Tutur (Speech audiometri)
Tujuan pemeriksaan adalah untuk menilai kemampuan pasien berbicara dan
untuk menilai pemberian alat bantu dengar (hearing aid).
Audiometri Bekesy
Tujuan pemeriksaan adalah menilai ambang pendengaran seseorang dengan
menggunakan grafik.
Audiometri Impedans
Tujuan pemeriksaan adalah untuk memeriksa kelenturan membran timpani
dengan tekanan tertentu pada meatus akustikus eksterna.
Elektrokokleografi
Digunakan untuk merekam gelombang-gelombang yang khas dari evoke
electropotential cochlea.
Evoked Response Audiometry
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai perubahan potensial listrik di otak
setelah pemberian rangsang sensoris berupa bunyi. Pemeriksaan ini
bermanfaat pada keadaan tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan
biasa dan untuk memeriksa orang yang berpura-pura tuli (malingering) atau
kecurigaan tuli saraf retrokoklea.
Otoacoustic Emission/OAE
Emisi otoakustik menunjukkan gerakan sel rambut luar dan merefleksikan
fungsi koklea.
Pemeriksaan tuli anorganik
Cara Stenger
Memberikan 2 nada yang bersamaan pada kedua telinga, kemudian nada
dijauhkan pada sisi yang sehat.
Audiometri nada murni dilakukan secara berulang dalam satu minggu.
Dengan Impedans.
Dengan BERA
Audiologi anak
Free field test
Bertujuan untuk menilai kemampuan anak dalam memberikan respons
terhadap rangsang bunyi yang diberikan.
Audiometri bermain (play audiometry).
BERA (Brainstem Evoke Response Audiometry).
Echocheck dan emisi Otoakustik (Otoacoustic emissions/OAE).
4. Diagnosis Banding
Beberapa penyakit yang dapat dijadikan sebagai diagnosis banding
tuli sensorineural,antara lain barotrauma, serebrovaskular hiperlipidemia, efek akibat
terapi radiasi, traumakepala, lupus eritematosus, campak, multiple sclerosis, penyakit
gondok, neoplasma kanal telinga, neuroma, otitis externa, otitis media dengan
pembentukan kolesteatoma, ototoxicity, poliartritis, gagal ginjal, dan sipilis.
5. Penatalaksanaan
Tuli sensorineural tidak dapat diperbaiki dengan terapi medis atau bedah tetapi dapat
distabilkan. Tuli sensorineural umumnya diperlakukan dengan menyediakan alat
bantu dengar (amplifikasi) khusus. Volume suara akan ditingkatkan melalui
amplifikasi, tetapi suara akan tetap teredam. Saat ini, alat bantu digital yang di
program sudah tersedia, dimana dapat diatur untuk menghadapi keadaan yang sulit
untuk mendengarkan.