Anda di halaman 1dari 5

Ikterus yang Terjadi pada Neonatus

Swesty Bian Mustamu

102017078

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara, No 6, Jakarta Barat 11510

Abstract

Jaundice or jaundice neonatorum or commonly known as a yellow baby, is a condition where the
yellow color of the skin and sclera in newborns, due to accumulation of bilirubin in the skin and
mucous membranes. The prevalence of jaundice is higher in less than one-month-old babies.
Jaundice can be physiological or pathological. Enforcement of the diagnosis of jaundice in the
neonate is visually and can also be by measuring serum bilirubin. Management of jaundice is
carried out with the aim of preventing hyperbilirubinemia and reducing levels of bilirubin in the
body.

Keywords: neonatal jaundice, jaundice

Abstrak

Ikterus neonatorum atau biasa dikenal dengan bayi kuning, adalah suatu kondisi dimana
terjadinya warna kuning di kulit dan sklera pada bayi baru lahir, akibat penumpukan bilirubin
pada kulit dan membran mukosa. Prevalensi ikterus lebih tinggi terjadi pada bayi lahir kurang
bulan daripada bayi lahir cukup bulan. Ikterus dapat bersifat fisiologi atau patologi. Penegakan
diagnosis ikterus pada neonatus yaitu secara visual dan dapat juga dengan mengukur serum
bilirubin. Tatalaksana ikterus dilakukan dengan tujuan mencegah hiperbilirubinemia dan
menurunkan kadar bilirubin dalam tubuh.

Kata kunci: Ikterus neonatorum, jaundice


Pendahuluan

Neonatus adalah bayi baru lahir hingga usia 28 hari. Neonatus sangat rentan terserang
penyakit baik yang didapat selama masa kehamilan maupun yang didapat saat proses persalinan.
Hal inilah yang terkadang membuat ibu merasa cemas. Salah satu hal yang sering terjadi pada
neonates adalah bayi tampak kekuningan yang disebut ikterus. Makalah ini akan membahas lebih
dalam tentang ikterus pada neonatus.

Isi

Ikterus atau jaundice neonatorum atau biasa dikenal dengan bayi kuning, adalah suatu
kondisi dimana terjadinya warna kuning di kulit dan sklera pada bayi baru lahir, akibat
penumpukan bilirubin pada kulit dan membran mukosa. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan level bilirubin pada sirkulasi. Kejadian ikterus berkisar 50% pada bayi cukup bulan
dan 75% pada bayi kurang bulan. Ikterus pada neonatus dapat terjadi karena peningkatan
bilirubin akibat hemodialisis, tidak cukup albumin sebagai pengangkut, kurangnya liganding
untuk mengambil ke hati, kurangnya konjugasi didalam hati,ekskresi yang tidak cukup serta
meningkatnya sirkulasi enterohepatik.1

Bilirubin terbentuk dari degradasi hemoglobin. Tingkat degradasi bilirubin pada neonates
lebih tinggi daripada bayi yang lebihtua yaitu sekitar 1 g hemoglobin yang dapat menghasilkan
35 mg bilirubin indirek yaitu bilirubin yang larut dalam lemak dan tidak larut dalam air.
Bilirubin kemudian berikatan dengan albumin untuk ditransfer kedalam sel hepatosit tetapi
albumin tidak. Didalam sel bilirubin kemudian berikatan dengan ligandin, serta sebagian kecil
akan berikatan dengan glutation S-transferase lain dan protein Z. Sebagian besar bilirubin yang
masuk hepatosit akan di konjugasi dan diekskresikan kedalam empedu. Di dalam hepatosit
terjadi konjugasi lanjut dari bilirubin menjadi bilirubin diglukoronid. Sebagian kecil bilirubin ter-
dapat dalam bentuk monoglukoronid, yang akan diubah oleh glukoronil-transferase menjadi
diglukorinid. Enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukorinid, yaitu uridin difosfat-
glukoronid transferase (UDPG-T), yang mengatalisis pembentuk- an bilirubin monoglukoronid.
Sintesis dan ekskresi diglukoronid terjadi di kanalikuli empedu. Isomer bilirubin yang dapat
mem- bentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi langsung ke dalam
empedu tanpa konjugasi, misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar. Setelah konjugasi
bilirubin menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, terjadi ekskresi segera ke sistem empedu
kemu- dian ke usus. Di dalam usus, bilirubin direk ini tidak di absorbsi; sebagian bilirubin direk
dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi, siklus ini disebut siklus enterohepatik.2

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan,
diantaranya RSCM dengan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir tahun 2003 sebesar 58% untuk
kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 29,3% untuk kadar bilirubin ≥12 mg/dL pada minggu pertama
kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi sehat cukup bulan mempunyai kadar
bilirubin ≥5 mg/dL dan 23,8% mempunyai kadar bilitubin ≥13 mg/dL, RS Dr. Kariadi Semarang
dengan prevalensi ikterus neonatorum sebesar 13,7%, RS Dr.Soetomo Surabaya sebesar 30%
pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002.5 Dari survey awal yang peneliti lakukan di RSUD
Raden Mattaher, kejadian ikterus neonatorum yang tercatat di bagian perinatologi sejak Agustus
2012 sampai Januari 2013 sebanyak 100 kasus. Faktor risiko yang merupakan penyebab
tersering ikterus neonatorum di wilayah Asia dan Asia Tenggara antara lain, inkompatibilitas
ABO, defisiensi enzim G6PD, BBLR, sepsis neonatorum, dan prematuritas.3

Ikterus yang dialami oleh sebagian besar bayi baru lahir ini merupakan ikterus yang
fisiologis, memiliki derajat ringan, yang terjadi karena adanya peningkatan bilirubin bebas
(indirect) di dalam darah neonatus. Bilirubin ini merupakan hasil metabolisme hemoglobin yang
terkandung di dalam sel darah merah, sel darah merah ini memiliki usia tertentu, 120 hari pada
manusia dewasa, dan sekitar 70-90 hari pada neonatus. Usia sel darah merah yang pendek ini
terjadi karena kondisi sel darah merah neonatus yang masih sangat muda (immature), selnya
berinti besar sehingga sangat mudah mengalami hemolisis (pemecahan). Apabila mencapai
masanya, sel darah merah ini akan mengalami destruksi atau pemecahan. Sebagai
manifestasinya, akan terjadi akumulasi bilirubin bebas dalam darah neonatus yang umumnya
akan terlihat pada kulit, lapisan mukosa lainnya, serta sklera mata. Hal ini disebabkan karena
bilirubin bebas larut dalam lemak, padahal konsentrasi lemak banyak terdapat di lapisan
subkutan, sehingga bilirubin akan terlarut disana dan tampak sebagai “penyakit kuning”.4

Ikterus pada neonatus dapat bersifat fisiologi dan patologi. Ikterus fisiologi adalah ikterus
yang muncul setelah 24 jam kelahiran atau timbul pada hari kedua maupun hari ketiga, dengan
kadar bilirubin indirek tidak melebihi 15 mg/dl, kecepatan peningkatan bilirubin tidak melebihi 5
mg/dl/hari, kadar tertinggi pada hari ke 5 untuk bayi cukup bulan dan hari ke 7 pada bayi kurang
bulan, serta icterus menghilang dalam 10-14 hari. Sedangkan, Ikterus patologis adalah ikterus
yang terjadi dalam 24 jam pertama, kenaikan bilirubin lebih dari 5 mg/dl/hari, ikterus menetap
sesudah 2 minggu pertama, kadar bilirubin direk melebihi 2 mg/dl serta warna feses seperti
dempul dan urin berwarna kuning tua.5

Diagnosis ikterus dapat ditegakan dengan menentukan ikterus secara visual, yaitu dengan
memeriksa pada pencahayaan yang cukup, menekan kulit bayi secara lembut untuk mengetahui
warna dibawah kulit dan subkutan serta keparahannya dapat dilihat dari usia dan bagian tubuh
yang tampak kuning. Selain itu, diagnosis ikterus juga dapat ditegakan dengan memeriksa serum
bilirubin, jika kadar bilirubin serum > 15 mg/dl maka sudah dikategorikan ikterus patologi.6

Manifestasi klinis pada ikterus yang dapat ditemukan terutama pada kulit maupun sklera
mata, dengan manifestasinya yaitu memberikan warna kuning, dan akan dapat dianalisis dengan
mengamati perubahannya. Analisis ini dilakukan dengan cara mengamati perubahan konsentrasi
warna kuning pada bayi, sebelum dan sesudah dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari
pagi. Perubahan konsentrasi warna ini dapat terjadi karena sinar biru yang terkandung di dalam
sinar matahari akan mengubah bilirubin bebas menjadi fotoisomer yang larut dalam air, sehingga
bilirubin akan dapat dikeluarkan melalui saluran pencernaan tanpa melalui proses konjugasi dan
pada akhirnya akan mengurangi konsentrasi warna kuning yang tampak pada lapisan mukosa,
kulit maupun sklera mata bayi.4

Komplikasi yang sering terjadi pada ikterus khususnya ikterus patologi yaitukern ikterus atau
ensefalopati bilirubin yg terjadi akibat hiperbilirubemia sehingga bilirubin indirect melalui sawar
otak. Kern ikterus dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan retardasi mental.7

Penatalaksanaan ikterus secara umum adalah dengan mencegah hiperbilirubinemia dengan


cara memberikan ASI dini agar bilirubin direk dapat kluar bersama meconium dan menurunkan
kadar bilirubin dengan cara terapi sinar atau terapi tukar. Selain itu, berdasarkan penelitian dapat
juga dengan menjemur bayi dibawah sinar matahari pagi selama maksimal 30 menit.8

Simpulan

Ikterus pada neonatus ada yang bersifat fisiologidan patologi. Ikterus di katakana
fisiologi jika muncul setelah 24 jam kelahiran atau timbul pada hari kedua maupun hari ketiga,
dengan kadar bilirubin indirek tidak melebihi 15 mg/dl, kecepatan peningkatan bilirubin tidak
melebihi 5 mg/dl/hari, kadar tertinggi pada hari ke 5 untuk bayi cukup bulan dan hari ke 7 pada
bayi kurang bulan, serta icterus menghilang dalam 10-14 hari. Sedangkan, Ikterus patologis
adalah ikterus yang terjadi dalam 24 jam pertama, kenaikan bilirubin lebih dari 5 mg/dl/hari,
ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama, kadar bilirubin direk melebihi 2 mg/dl serta warna
feses seperti dempul dan urin berwarna kuning tua. Penegakan diagnosis dapat dilakukan secara
visualmaupun dengan pemeriksaan serum bilirubin. Tatalaksana untuk ikterus fisiologis adalah
dengan terapi sinar matahari.

Daftar Pustaka

1. Herawati Y, Indriati M. Pengaruh pemberian asi awal terhadap kejadian icterus 0-7 hari.
Midwife Journal Volume 3 No. 01,Januari 2017.

2. Maisels MJ. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Klaus MH, Fanaroff AA, editors. Care of the
High-Risk Neonate (Fifth Edition). Philadelphia: WB Saunders Co, 2001; p.324-62.

3. Health Technology Assesment. Tatalaksana ikterus neonatorum. HTA Indonesia 2004.


Jakarta: Unit pengkajian teknologi kesehatan direktorat jenderal pelayanan medik departemen
kesehatan RI. 2004.

4. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1. Jakarta: EGC. 1996.


5. Rini K. Analisis faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ikterus neonatarum fisiologi.
Surabaya. 2013. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

6. Hansen TWR. Jaundice, neonatal. E. Medicine [homepage on the Internet]. 2011 [updated
2011 June 15; cited 2011 October 15]. Available from: http://www.emedicine.medscape.com/a
rticle/974786-overview.

7. Jurnal imiah kesehatan keperawatan, volume 7, No.1, Februari 2011. Efektifitas fototerapi 24
jam dan 36 jam terhadap penurunan bilirubin indirect pada bayi ikterus neonatorum.

8. Ramasethu J. Neonatal Hyperbilirubinemia Neonatal Intensive Care Workshop, Jakarta:


RSAB Harapan Kita; 2002

Anda mungkin juga menyukai