Anda di halaman 1dari 23

Mengenal Faktor Risiko Persalinan Prematur

Sebagai Upaya Rasional


Menurunkan Kejadian Persalinan Prematur

Sofie Rifayani Krisnadi

Pendahuluan:

Usia kehamilan merupakan salah satu prediktor penting bagi kelangsungan hidup janin dan
kualitas hidupnya. Umumnya kehamilan disebut cukup bulan bila berlangsung sekitar 9 bulan
1 minggu (37-41 minggu) dihitung dari hari pertama siklus haid terakhir pada siklus 28 hari.
Persalinan Kurang Bulan yang lebih dikenal dengan istilah “Persalinan Prematur” adalah
persalinan yang terjadi sebelum janin genap berusia 37 minggu.1 Dibandingkan dengan bayi
yang lahir cukup bulan, bayi prematur terutama yang lahir dengan usia kehamilan < 32
minggu, mempunyai risiko kematian 70 kali lebih tinggi, karena mereka mempunyai
kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan di luar rahim akibat ketidak matangan sistem
organ tubuhnya seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati dan sistem pencernaannya. Sekitar
75% kematian perinatal (sekitar persalinan), disebabkan oleh prematuritas2.
Sekitar seperlima bayi yang lahir di bawah usia 32 minggu tidak dapat bertahan hidup
dalam tahun pertama dibandingkan dengan 1% kematian bayi yang lahir dengan usia 33-36
minggu dan hanya sekitar 0,3% kematian bayi bila lahirnya pada usia cukup bulan.
Masalah lain yang dapat timbul adalah masalah perkembangan neurologi yang bervariasi
dari gangguan neurologis berat, seperti serebral palsi, gangguan intelektual, retardasi mental,
gangguan sensoris (kebutaan,gangguan penglihatan, tuli), sampai gangguan yang lebih ringan
seperti kelainan perilaku, kesulitan belajar dan berbahasa, gangguan konsentrasi/atensi dan
hiperaktif. Hal ini dapat mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa
yang akan datang. Selain itu perawatan bayi prematur juga membutuhkan teknologi
kedokteran canggih dan mahal (misalnya Neonatal Intensive Care Unit/NICU; Surfactant)
yang bagi negara kita saat ini sulit disediakan sebagai pelayanan bagi masyarakat luas.

Kejadian persalinan prematur berbeda pada setiap Negara, di Negara maju, misalnya di
Eropa, angkanya berkisar antara 5–11%.3 Di USA, satu dari delapan bayi dilahirkan
prematur,4 dan di Australia kejadiannya sekitar 7%. Meskipun di negara2 maju deteksi dini,
pencegahan, pengelolaan persalinan prematur telah dilakukan dengan baik, namun dalam
dekade terakhir terdapat sedikit kenaikan insidensi sebagai akibat dari meningkatnya
angkatan kerja wanita, meningkatnya kehamilan dengan teknologi berbantu (bayi tabung,
ART-assisted reproductive technic) yang meningkatkan kejadian bayi kembar.

Di Negara yang sedang berkembang angka kejadian masih jauh lebih tinggi, di India sekitar
30%, di Afrika Selatan sekitar 15% dan di Sudan 31% dan di Malaysia 10%. Di Indonesia
angka kejadian prematuritas nasional belum ada, namun angka kejadian Bayi dengan Berat
Lahir Rendah (BBLR) dapat mencerminkan Prematuritas secara kasar; angka nasional rumah
sakit adalah 27,9%.5 Di Ujung Berung, Jawa Barat Alisjahbana, dkk (1983) melaporkan
angka 14,7%; sedangkan di RSHS pada tahun yang sama Alisjahbana melaporkan angka
17.4%.6 Data Laporan Tahunan Bagian Obstetri-Ginekologi mencatat kejadian prematuritas

1
di RSUP Dr.Hasan Sadikin sebesar 18%, dan tidak banyak berubah selama 10 tahun
terakhir.7
Alasan masih tingginya kejadian persalinan kurang bulan adalah karena kurangnya
pengetahuan mengenai faktor antenatal yang berkontribusi terhadap kejadian prematuritas;
banyaknya faktor-faktor penyebab prematuritas; ketidak jelasan patofisiologinya, sarana
diagnostik yang tidak memadai, dan kurangnya pengetahuan tentang pencegahan persalinan
prematur. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari faktor–faktor risiko terjadinya
persalinan prematur, namun adanya faktor risiko tersebut tidak selalu menyebabkan
terjadinya persalinan prematur, bahkan sebagian persalinan prematur yang terjadi spontan
tidak mempunyai faktor risiko yang jelas.

Faktor Risiko Persalinan Prematur :


1. Idiopatik
2. Iatrogenik (Elektif)
3. Sosio Demografik
4. Faktor Ibu
5. Penyakit medis dan Keadaan Kehamilan
6. Infeksi
7. Genetik

1. Idiopatik
Meskipun di masa lampau dikatakan sekitar 50% penyebab persalinan prematur tidak
diketahui, saat ini penggolongan idiopatik dianggap berlebihan, karena ternyata setelah
diketahui banyak faktor yang terlibat dalam persalinan prematur, maka sebagian besar
penyebab persalinan prematur harus dapat digolongkan ke dalamnya. Apabila faktor-
faktor penyebab lain tidak ada sehingga penyebab prematuritas tidak dapat diterangkan,
maka penyebab persalinan prematur ini disebut idiopatik.

2. Iatrogenik 3
Dalam mengupayakan kelangsungan hidup bayi prematur, perkembangan ilmu, teknologi
kedokteran dan perkembangan etika kedokteran, menempatkan janin sebagai individu
yang mempunyai hak atas kehidupannya (Fetus as a Patient). Maka apabila kelanjutan
kehamilan diduga dapat membahayakan janin, ibunya akan ”dipecat” sebagai tempat
tinggal dan janin akan dipindahkan ke dalam lingkungan luar yang dianggap lebih baik
dari rahim ibu sebagai tempat kelangsungan hidupnya. Sebaliknya, apabila keadaan Ibu
terancam oleh kehamilannya, maka dokter akan mengakhiri kehamilan meskipun janin
masih membutuhkan rahim ibu sebagai tempat hidupnya dan memaksa janin hidup di
dunia luar agar ibu dan janin selamat. Kondisi tersebut menyebabkan persalinan prematur
buatan/Iatrogenik yang disebut juga sebagai Elective preterm.

a. Keadaan ibu yang sering menyebabkan persalinan prematur elektif adalah:


- Preeklamsi berat dan eklamsi
- Perdarahan antepartum
- Korioamnionitis
- Penyakit jantung yang berat atau penyakit paru/ginjal yang berat.

b. Keadaan janin yang dapat menyebabkan persalinan prematur dilakukan adalah:


- Gawat janin, (anemia, hipoksia, asidosis atau gangguan jantung janin)
- Infeksi intrauterin
- Pertumbuhan janin terhambat (PJT/ IUGR-Intra Uterine Growth Restriction)

2
- Isoimunisasi Rhesus
- Simpul Tali pusat (Cord Entanglement) pada kembar monokorionik.

3. Faktor Sosio-demografik
Yang termasuk kedalam faktor ini adalah :
3.1 Faktor psiko-sosial, seperti kecemasan, depresi, keberadaan stres, respons emosional,
suport sosial, pekerjaan, perilaku ibu, aktivitas seksual, dan keinginan untuk hamil; dan
3.2 Faktor demografik, seperti usia ibu, status marital, kondisi sosio-ekonomi, faktor ras
dan etnik.

3.1 Faktor Psiko-sosial


a. Kecemasan dan Depresi
Penelitian awal tentang pengaruh psiko-sosial terhadap kejadian persalinan
kurang bulan yakni mengenai kecemasan dan depresi pada ibu, dilakukan oleh
Gorsuch dan Key (1974),8 ternyata sulit memisahkan faktor tingkat kecemasan
dengan faktor depresi. Dari 11 penelitian prospektif yang menghubungkan tingkat
kecemasan ibu dengan kejadian persalinan prematur, ternyata 9 menyimpulkan
adanya hubungan kecemasan dengan prematuritas, sedangkan 2 penelitian
menyimpulkan adanya hubungan antara kecemasan dengan gangguan pertumbuhan
janin, bukan dengan usia kehamilan; dan hanya pada golongan kulit putih.9
Dole dkk, 2003 membuat skoring risiko dari berbagai faktor kecemasan dan
menemukan hanya ibu hamil yang mengalami kecemasan disertai kenaikan berat
badan tidak adekuat yang berhubungan dengan kejadian persalinan prematur.10 Di
Indonesia belum ada penelitian nasional (multisenter) yang menghubungkan
kecemasan dan depresi terhadap usia kehamilan.

b. Stres
Stresor adalah rangsang eksternal atau internal yang memunculkan gangguan pada
keseimbangan hidup individu. Karenanya, secara sederhana stres dapat didefinisikan
sebagai suatu keadaan dimana individu dituntut berespon adaptif. Stres merupakan
suatu keadaan yang menuntut pola respon individu, karena peristiwa/rangsang/hal
tersebut mengganggu keseimbangannya.11
Stres ditampilkan antara lain dengan meningkatnya kegelisahan, ketegangan,
kecemasan, sakit kepala, ketegangan otot, gangguan tidur, meningkatnya tekanan
darah, cepat marah, kelelahan fisik, atau perubahan nafsu makan, kehilangan selera
makan atau sebaliknya terus menerus makan dan depresi. 11
Stres pada ibu dapat meningkatkan kadar katekholamin dan kortisol yang akan
mengaktifkan placental corticotrophin releasing hormone dan mempresipitasi
persalinan melalui jalur biologis. Stres juga menganggu fungsi imunitas yang dapat
menyebabkan reaksi inflamasi atau infeksi intraamnion dan akhirnya merangsang
proses persalinan. Moutquin (2003), membuktikan bahwa stres yang berhubungan
dengan prematuritas adalah adanya kematian atau keluarga yang sakit, kekerasan
dalam rumah tangga, disruption, atau masalah keuangan.12

c. Pekerjaan ibu
Bukti-bukti menunjukkan bahwa kejadian prematuritas lebih rendah pada ibu
hamil yang bukan pekerja dibandingkan dengan ibu pekerja yang hamil. 13,14.
Pekerjaan ibu dapat meningkatkan kejadian persalinan prematur baik melalui
kelelahan fisik atau stres yang timbul akibat pekerjaannya. Jenis pekerjaan yang
berpengaruh terhadap peningkatan kejadian prematuritas adalah bekerja terlalu lama

3
(long work hours), pekerjaan fisik yang berat, dan pekerjaan yang menimbulkan stres
seperti berhadapan dengan konsumen atau terlibat dengan masalah uang/kasir.
Pada EUROPOP Case Control Survey yang dilakukan oleh Saurel-Cibizoles dkk
(2004) dan melibatkan ibu hamil yang bekerja sampai dengan trimester ketiga
kehamilan, didapatkan 2.369 kasus prematur serta 4.098 persalinan cukup bulan.
Ternyata kejadian persalinan prematur meningkat 1,3 kali lebih tinggi bila ibu hamil
bekerja lebih dari 42 jam per minggu, wanita hamil yang pekerjaannya berdiri lebih
dari 6 jam sehari, dan wanita yang tingkat kepuasan kerjanya rendah. 15 Newman dkk
(2001), lebih spesifik menyatakan peningkatan terhadap kejadian ketuban pecah dini
pada mereka yang pekerjaannya melelahkan yang mereka ukur berdasarkan 5
indikator yakni postur, bekerja di pabrik, pekerjaan fisik (physical exertion), stres
mental, dan stres lingkungan. Dalam penelitiannya mereka mendapatkan peningkatan
kejadian persalinan prematur 2 kali lipat pada ibu hamil yang mengalami 4 dari lima
indikator tersebut.16

d. Perilaku Ibu
Faktor perilaku yang diduga ada kaitannya dengan persalinan prematur adalah
merokok, alkohol, NAZA (Narkotika dan Zat Adiktif lainnya), pola makan, dan
aktivitas seksual.17
Merokok
Merokok dalam kehamilan mempunyai hubungan yang kuat dengan kejadian
solusio plasenta, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan kematian janin, 18 namun
akibat langsung terhadap prematuritas hanya jelas terlihat pada ibu yang tetap
merokok pada trimester akhir kehamilan dan tidak terlihat hasil persalinan yang
buruk pada ibu yang berhenti merokok segera setelah hamil atau pada trimester
pertama. Risiko persalinan prematur pada perokok meningkat sebanyak 1,2 kali.
Demikian juga wanita hamil yang merokok pasif (suaminya perokok atau bekerja di
lingkungan perokok) akan mengalami sulit tidur, tidur kurang nyenyak dan rasa sulit
bernafas dibandingkan ibu hamil yang tidak terpapar asap rokok. Akibat merokok
aktif selama masa kehamilan tidak jauh berbeda dengan merokok pasif selama
kehamilan.19

Alkohol
Pemakaian alkohol semasa kehamilan mempunyai hubungan erat dengan
pertumbuhan janin dan cacat janin, demikian juga dengan kejadian prematuritas.20
Marijuana dan kokain merupakan obat-obatan yang banyak diteliti dan dihubungkan
dengan kejadian prematuritas. Pemakai kokain mempunyai kemungkinan
prematuritas 2 kali lebih tinggi. Meskipun disebutkan penyebabnya adalah
vasokonstriksi, masih harus dipikirkan apakah benar hanya hal itu yang berhubungan
dengan persalinan prematur. Pertama karena ibu hamil pemakai NAZA biasanya juga
peminum alkohol, yang sering mempunyai masalah lain seperti infeksi atau nutrisi
yang buruk; kedua, perkiraan memakai kokain bisa lain dengan memang memakai
kokain, termasuk cara pemakaiannya.20
Yang menarik dari pengaruh perilaku ini adalah bahwa terbukti perilaku dapat
diubah, sehingga dapat menurunkan angka kejadian prematur; di pihak lain,
kebenaran data yang diperoleh sulit, karena pada umumnya penelitian berdisain
retrospektif, sehingga terkadang recall sulit atau ada stigma pada pemakai NAZA/
alkohol.

4
Berat Badan sebelum hamil
Berat badan sebelum hamil bukan merupakan perilaku, namun berhubungan
dengan pola makan/diet, oleh karena itu dimasukkan ke dalam faktor kebiasaan.
Bukti menunjukkan bahwa BB sebelum hamil yang rendah berhubungan dengan
kejadian persalinan prematur. Preterm Prediction Study mendapatkan risiko relatif
(RR) 1,5 pada ibu dengan Indeks Massa Tubuh (BMI, Body Mass Index) yang
rendah,21 sedangkan Hendler, 2005 mendapatkan RR 2,5 pada BMI yang rendah dan
peningkatan persalinan prematur spontan pada wanita dengan berat badan
berlebihan,22 namun Honest dkk, 2005 melakukan metaanalisis dan tidak
mendapatkan hubungan antara BMI dengan prematuritas.23
Pertambahan Berat Badan selama kehamilan
Kenaikan berat badan selama hamil dan BMI sebelum hamil juga berhubungan
dengan kejadian prematuritas, Berkowitz dan Papiernik (1993) mendapatkan
hubungan antara persalinan prematur dengan pertambahan berat badan selama hamil
yang rendah terutama untuk wanita yang tidak obese dengan risiko relatif antara 1,5–
2,5.24 Ibu dengan BMI rendah (< 19,8) dan kenaikan BB selama hamil < 0,5 kg/
minggu) akan meningkat kejadian persalinan prematur 3 kali lipat dibandingkan
dengan ibu BMI normal (19,8-26) yang kenaikan BB selama hamilnya rendah;
apabila dibandingkan dengan ibu hamil dengan BMI normal dan kenaikan BB selama
hamilnya juga normal, maka risiko persalinan prematurnya meningkat 6 kali. 25 Harus
difahami pula bahwa pertambahan berat badan selama kehamilan tidak hanya karena
naiknya kalori atau deposit lemak, tapi juga akibat retensi cairan, yang menyebabkan
hidrasi penting dalam upaya menurunkan persalinan prematur.

Komposisi diet
Diet merefleksikan pilihan individu dan gaya hidup, sehingga akan sulit
memperhitungkan pengaruh komposisi mikronutrien perorangan dan hubungannya
dengan prematuritas. Juga keadaan sosio-ekonomi dapat merupakan faktor perancu
pada penilaian diet. Penelitian-penelitian pada tahun 1970-an menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan antara pemberian tambahan kalori dengan penurunan kejadian
prematuritas, demikian juga penelitian uji acak klinis di negara maju dan berkembang
menunjukkan tidak ada keuntungan memberikan suplementasi diet dalam usaha
mencegah prematuritas.17 Malahan pemberian protein belum dapat dibuktikan
menurunkan kejadian prematuritas, bahkan ada kecenderungan meningkatkan
kejadiannya, sesuai dengan pemberian multivitamin.26
Meskipun anemi defisiensi meningkatkan kejadian prematuritas, namun ternyata
kekurangan zat besi bukan merupakan penyebab persalinan prematur; karena serum
ferritin mencerminkan respons terhadap infeksi dan inflamasi, bukan cerminan asupan
besi. Bagaimanapun terbukti bahwa suplementasi zat besi menurunkan kejadian
prematuritas.
Folat, sering diteliti terutama kaitannya dengan kelainan kongenital, namun
beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara kenaikan kadar folat dengan
penurunan kejadian prematuritas.27 Penelitian lain menunjukkan tidak ada hubungan
supplementasi folat dengan persalinan prematur.28
Suatu penelitian observational membuktikan bahwa kadar vitamin C yang rendah
meningkatkan kejadian pecah ketuban pada kehamilan kurang bulan sehingga
menyebabkan persalinan prematur.29
Hubungan suplementasi Seng (Zinc) telah diteliti di Amerika pada ibu hamil
dengan indeks masa tubuh yang rendah. Berat badan janin lebih besar pada ibu hamil

5
dengan indeks masa tubuh rendah yang diberi suplementasi Zinc dibandingkan yang
tidak diberi suplementasi; sedangkan pada ibu hamil dengan indeks masa tubuh
tinggi, suplementasi Zinc tidak berpengaruh terhadap peningkatan berat badan.30
Serial penelitian membuktikan konsumsi tinggi ikan yang mengandung asam
lemak berantai panjang meningkatkan usia kehamilan dan pertumbuhan janin.31
Pada populasi lain Olsen dkk (1990) juga meneliti konsumsi ikan dengan usia
kehamilan dan berat badan lahir, mereka tidak mendapatkan hubungan bermakna
antara konsumsi ikan dengan usia kehamilan maupun berat badan lahir. Apabila
populasi dikhususkan pada ibu hamil yang tidak merokok, maka konsumsi ikan
berhubungan dengan usia kehamilan dan berat badan lahir. 32

Aktivitas seksual
Penelitian sekitar tahun 1980 menunjukkan bahwa aktivitas seksual diduga
berhubungan dengan kejadian persalinan prematur sehubungan dengan akibat
langsung semen terhadap inisiasi persalinan atau akibat penjalaran asendens
mikroflora vagina yang patogen saat koitus. Pada wanita hamil dengan infeksi
traktus genitalis seperti Trikomoniasis, Vaginosis bakterial, Mikoplasma hominis,
aktivitas seksual meningkatkan kejadian prematuritas,33 akan tetapi penilitian2
selanjutnya antara lain oleh Sayle dkk (2003), menyatakan bahwa hubungan seksual
sama sekali tidak ada hubungan dengan peningkatan kejadian prematuritas. 34
Irigasi vagina diduga meningkatkan kejadian ketuban pecah dini yang akan
diikuti dengan persalinan prematur. Wanita hamil jarang melakukan irigasi vagina,
sehingga penelitian lebih sering menghubungkan irigasi vagina sebelum hamil dengan
kejadian prematuritas. Bruce dkk (2002) melaporkan tidak ada hubungan antara
irigasi vagina sebelum hamil dengan kejadian prematuritas dengan Odd Rasio 0,7–
1,1. Namun pada sekelompok kecil wanita hamil yang memang melakukan irigasi
vagina saat kehamilannya, maka kejadian persalinan prematur meningkat menjadi 1,9
kali lebih tinggi.35

3.2 Faktor Demografis


Berbagai karakteristik sosio-demografis ibu ternyata berhubungan dengan
meningkatnya kejadian persalinan prematur, antara lain usia ibu, status marital, kondisi
sosio-ekonomi, faktor ras dan etnik.
Usia ibu
Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa usia ibu berhubungan dengan
kejadian prematuritas. 17 Kehamilan remaja yang berusia < 16 tahun, terutama yang
secara riwayat ginekologis juga muda (remaja yang mendapatkan haid pertamanya < 2
tahun sebelum kehamilannya) akan meningkatkan kejadian persalinan prematur pada usia
kehamilan < 33 minggu.
Wanita usia > 35 tahun juga meningkat risikonya untuk mengalami persalinan prematur.
Astolfi dan Zonta (2002) mendapatkan 64% peningkatan kejadian persalinan prematur
pada populasi wanita Itali yang berusia 35 tahun atau lebih, terutama pada kehamilan
pertama (primi tua). Alasan peningkatan ini belum diketahui, masih perlu penelitian lebih
lanjut bagaimana hubungan ini terjadi.36

Status marital
Persalinan prematur pada ibu yang tidak menikah meningkat pada semua golongan
etnik dan semua golongan usia ibu. Penyebab pasti belum diketahui, diduga berkaitan
dengan faktor psiko-sosial (kecemasan, stress), dukungan lingkungan dan faktor sosio-
ekonomi.

6
Di USA, 40% persalinan prematur terjadi pada ibu-ibu yang tidak menikah namun
mempunyai pasangan hidup bersama (cohabitation), demikian pula di belahan dunia lain,
hubungan pasangan hidup bersama di luar nikah meningkat dan meningkatkan kejadian
persalinan prematur.17
Kondisi Sosio-ekonomi
Perbedaan kejadian persalinan prematur berdasarkan kondisi sosio-ekonomi telah
lama diketahui, bukan hanya di USA, namun juga di Negara-Negara Eropa, Canada,
Finlandia, Scotlandia dan Spanyol yang pada umumnya mempunyai penduduk dengan
tingkat sosio-ekonomi cukup baik. Hal ini berkaitan dengan faktor-faktor lain yang dapat
terjadi pada kondisi tersebut seperti kecenderungan untuk hamil pada usia muda, tidak
menikah, mengalami lebih banyak stres, nutrisi yang kurang, tidak dapat memanfaatkan
pelayanan kesehatan, merokok atau pemakaian obat-obatan narkotika, dan kekerasan
fisik.17
Ras-Etnik.
Di USA terdapat perbedaan kejadian prematuritas pada berbagai ras. Data dari Santa
Clara County Public Health Department, Birth Records 2005, menunjukkan perbedaan
kejadian prematuritas antara etnik kulit putih (10%); kulit hitam (16%); Hispanic(12%);
Asian/Pacific Islander (11%); dan American Indian (19%). Perbedaan ini telah
berlangsung sekitar 2 dekade, dan tidak berubah. Penyebabnya dikaitkan dengan
perbedaan rasial, sosio-ekonomi, stress, gaya hidup, kebiasaan ibu, infeksi dan genetik.
Perbedaan antar etnik ini tidak dipengaruhi oleh pendidikan atau kenaikan status sosio-
ekonomi, artinya meskipun pada golongan pendidikan yang tinggi dan status sosio-
ekonomi lebih baik, perbedaan kejadian prematuritas menurut etnik tetap terjadi.17

4. Faktor Maternal
4.1 Inkompetensi Serviks
Inkompetensi serviks didiagnosis secara klinis bila terdapat pembukaan serviks pada
saat kehamilan (tidak ada kontraksi rahim), beberapa peneliti memasukkan faktor
risiko ini ke dalam kelainan rahim.
Angka kejadian pastinya sulit untuk diketahui, dan keadaan ini sangat mungkin
menjadi persalinan prematur apabila dipicu oleh keadaan, seperti perambatan infeksi
asendens yang akan menyebabkan pecahnya ketuban atau mengeluarkan
prostaglandin dan menyebabkan kontraksi rahim. Dapat juga persalinan berlangsung
karena fetus dengan cairan ketubannya terlalu berat untuk disangga oleh rahim yang
mempunyai serviks inkompeten; ketuban dapat segera pecah atau kontraksi rahim
terjadi mendahuluinya. Pada beberapa kasus, keadaan ini terjadi akibat tindakan
operatif pada serviks, misalnya pernah melakukan aborsi, dilatasi serviks yang
menimbulkan robekan, atau kelainan kongenital pada serviks.
Dalam kehamilan inkompetensi serviks dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
sonografi. Pemeriksaan secara teknik transvaginal merupakan pemeriksan yang
paling dianjurkan karena tingkat presisinya optimal, karena transduser langsung
menyentuh serviks. Funneling sebagai prediktor persalinan prematur dapat dideteksi
secara transvaginal tetapi seringkali tidak tampak bila dilakukan pemeriksaan
transabdominal.36

7
4.2 Riwayat Reproduksi
Pernah mengalami persalinan prematur
Ibu yang mempunyai riwayat persalinan prematur sebelumnya akan meningkatkan
risiko untuk mendapat persalinan prematur lagi sebesar 2,2 kalinya pada ibu yang
pernah mengalami satu kali persalinan prematur sampai 4,9 kalinya bila ia pernah
mengalami 3 kali persalinan prematur; peneliti lain mendapatkan kejadian persalinan
prematur 3 kali lipat pada ibu dengan riwayat persalinan prematur. Makin muda usia
riwayat persalinan prematur terdahulu, makin cepat terjadi prematuritas pada
kehamilan berikutnya.3,17

Pernah mengalami Ketuban Pecah Dini (KPD)


Risiko persalinan prematur pada ibu dengan riwayat KPD pada kehamilan prematur
(pPROM, preterm premature rupture of membrane) adalah 34-44%, sedangkan risiko
untuk mengalami pPROM kembali sekitar 16-32%.3
Pernah mengalami Keguguran (Abortus).
Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa pernah abortus atau terminasi kehamilan
pada trimester pertama tidak berhubungan langsung dengan kejadian persalinan
prematur, namun peneliti2 lain mendapatkan peningkatan kejadian prematuritas
setelah keguguran sebesar 1,3 kali pada ibu yang mengalami satu kali abortus dan 1,9
kali pada ibu yang duakali mengalami abortus. Kejadian keguguran pada kehamilan
trimester kedua meningkatkan kemungkinan abortus, persalinan prematur, gangguan
pertumbuhan janin dan kematin janin dalam rahim pada kehamilan berikutnya.17

Interval kehamilan
Beberapa penelitian membuktikan terdapatnya hubungan terbalik antara interval
kehamilan (jarak antara persalinan terakhir sampai awal kehamilan berikutnya)
dengan kejadian persalinan prematur. Risiko mengalami persalinan prematur < 32
minggu akan meningkat 30–90% pada ibu yang mempunyai interval kehamilan < 6
bulan dibandingkan dengan ibu yang mempunyai interval kehamilan > 12 bulan.37

Paritas (jumlah persalinan)


Persalinan prematur lebih sering terjadi pada kehamilan pertama. Kejadiannya akan
berkurang dengan meningkatnya jumlah paritas yang cukup bulan sampai dengan
paritas keempat. Penelitian dalam populasi yang besar di Abu Dhabi menunjukkan
tidak ada perbedaan jumlah paritas dengan kejadian persalinan prematur sampai
paritas ke-5, namun pada paritas lebih dari 10 ternyata kejadian persalinan prematur
meningkat.3,17

4.3 Kehamilan Multipel / Kehamilan Kembar


Kehamilan kembar merupakan penyebab persalinan prematur yang penting. Rata-rata
kehamilan kembar dua hanya mencapai usia 35 minggu, sekitar 60% mengalami
persalinan prematur pada usia kehamilan 32 minggu sampai < 37 minggu dan 12%
terjadi persalinan sebelum usia kehamilan 32 minggu. Pada kehamilan triplet (kembar
3) rata-rata kehamilan hanya akan mencapai usia kehamilan 32,2 minggu, quadruplet
(kembar empat) hanya mencapai 29,9 minggu dan quintuplets (kembar 5) 100% akan
lahir prematur dalam usia < 29 minggu tanpa intervensi yang baik. Jumlah persalinan
prematur akibat kehamilan kembar akan mencapai sekitar 12% seluruh kejadian
persalinan prematur. Pada laporan persalinan di USA oleh CDC tahun 2005, hanya
39.5% bayi kembar yang dilahirkan cukup bulan.1

8
4.4 Program Bayi Tabung
Program Bayi Tabung (ART-Assisted Reproduction Techniques/Teknologi Reproduksi
Berbantu-TRB) telah dikenal 20–30 tahun yang lalu baik di negara maju maupun
negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Akibat induksi ovulasi, atau
prosedur lainnya dalam TRB ini, kejadian bayi kembar meningkat. Pemakaian
preparat Clomiphene untuk induksi ovulasi telah dikenal sejak tahun 1966 di United
Kingdom, dan pada tahun 1995 tercatat > 60.000 resep dokter yang ditulis untuk
preparat ini. Demikian juga preparat induksi ovulasi lainnya dan di Negara-negara
lainnya. Sejalan dengan kemajuan obat-obatan induksi ovulasi, maka kejadian bayi
kembar dua atau lebih meningkat, hal ini karena pemakaian obat induksi ovulasi akan
menyebabkan ovulasi multipel, demikian pula pada proses TRB akan ditanamkan
beberapa embrio pada satu individu. Di USA sekitar 39% kehamilan kembar terjadi
akibat TRB, di Eropa 26%, sedangkan di Canada 21% dari seluruh kehamilan kembar
disebabkan karena program bayi tabung.17

4.5 Kelainan Uterus


Tumor jinak rahim (mioma) terutama mioma submukosa atau mioma subplasenta,
kelainan uterus bawaan seperti uterus septus, uterus bikornus dan serviks yang
inkompeten merupakan risiko untuk terjadinya persalinan prematur.
Meiss dkk (1998) dikutip oleh Greer mendapatkan kejadian persalinan dapat
meningkat antara 7–29 kali pada ibu yang mempunyai kelainan kongenital saluran
Muller.3
4.6 Pemeriksaan Kehamilan
Ibu hamil yang tidak mendapat pemeriksaan kehamilan, tidak mendapat pelayanan
pemeriksaan kehamilan yang berkualitas atau tidak cukup kuantitasnya, ternyata
meningkatkan kemungkinan mendapat persalinan prematur. Di USA, penelitian pada
lebih dari 14 juta kehamilan menyatakan bahwa baik pada etnik kulit putih dan kulit
hitam, ibu hamil tanpa pemeriksaan kehamilan meningkat kejadian persalinan
prematurnya sebanyak 2,8 kali. Penyebabnya belum jelas, mungkin pada ibu hamil yang
melakukan pemeriksaan kehamilan, faktor risiko lain terdeteksi dan dapat dilakukan
intervensi.3
4.5. Skoring Risiko
Dari sekian banyak faktor risiko persalinan prematur, Creasy dkk (dikutip oleh Greer,
2005) mengelompokannya kedalam suatu sistem skoring. Suatu kehamilan dikatakan berisiko
rendah terhadap persalinan prematur apabila hasil skoring risikonya antara 1-5; risiko sedang
pada skor 6-9 dan risiko tinggi bila nilai skoringnya 10 atau lebih.

9
Tabel : Sistem Skoring Risiko Creasy
Skoring Karakteristik Riwayat Kebiasaan Keadaan Kehamilan
Ibu Obstetri Sekarang
1 - Dua anak Abortus < 1 th Bekerja di luar
Kelelahan fisik
- Sos-ek. rendah terakhir rumah
2 Usia < 20 th 2 kali abortus Merokok > 10
Kenaikan BB < 13 kg
batang per hari
sampai 32 minggu
3 Sos-ek. sangat 3 kali abortus Bekerja berat
Sungsang pada
rendah
kehamilan 32 minggu
BB turun 2 kg
Kepala sudah engaged
Demam
4 Usia < 18 th
Perdarahan sebelum 12
Pernah pielo-
minggu
nefritis
Pendataran serviks
Iritabilitas uterus
Plasenta previa
5 Abortus tri-
Anomali uterus
mester II
Hidramnion
Terpapar DES
10 Abortus tri-
Hamil kembar
mester II
Operasi Abdomen
Berulang
Pernah
persalinan
prematur

10
5. Penyakit Medis dan Keadaan Kehamilan
Berbagai penyakit ibu, kondisi dan pengobatan medis akan mempengaruhi keadaan
kehamilan dan dapat berhubungan atau meningkatkan kejadian persalinan prematur.
Penyakit sistemik terutama yang melibatkan sistem peredaran darah, oksigenasi atau nutrisi
ibu dapat menyebabkan gangguan sirkulasi plasenta yang akan mengurangi nutrisi dan
oksigen bagi janin. Penyakit-penyakit ini dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin
dalam rahim dan meningkatkan kejadian preeklamsi/eklamsi yang juga sering menjadi
penyebab persalinan prematur buatan untuk menyelamatkan ibu dan janin dari kematian.
Penyakit-penyakit pada ibu yang diketahui menyebabkan hal tersebut di atas adalah:3
- Hipertensi kronis dan hipertensi dalam kehamilan
- Lupus Eritematosus Sistemik
- Penyakit paru restriktif
- Hipertiroidism
- Diabetes melitus pregestasional dan gestasional
- Penyakit jantung
- Penyakit ginjal.
Kondisi kehamilan ibu yang dapat meningkatkan kejadian persalinan prematur adalah;
- Hidramnion
- Janin dengan kelainan kongenital
- Anaemia berat

6. Infeksi
Sudah terdapat banyak bukti bahwa infeksi pada ibu hamil akan meningkatkan kejadian
persalinan prematur. Infeksi saluran kemih dan jalan lahir (traktus urogenital) sangat
berkaitan dengan kelahiran kurang bulan. Infeksi ini biasanya mewakili infeksi bakteri yang
menjalar secara ascendens dari saluran genital bawah; sedangkan infeksi virus belum pernah
diimplikasikan sebagai penyebab yang signifikan dari kelahiran prematur.
Sumber infeksi yang berhubungan dengan kejadian persalinan prematur adalah:
A. Infeksi Genital, antara lain oleh:
- Bacterial vaginosis
- Group B Streptococcus
- Chlamydia trachomatis

B. Infeksi Intra uterin:


- Penjalaran dari saluran genital
- Melalui plasenta (blood borne)
- Melalui saluran telur (Transfallopian, intraperitoneal)
- Iatrogenic (akibat prosedur invasif).

C. Infeksi Ekstra uterin:


- Radang piala ginjal (Pielonefritis)
- Bakteriuri tanpa gejala (asymptomatic bacteriuria)
- Periodontitis
- Malaria
- Penyakit radang paru (pneumonia).

11
Di Indonesia, infeksi genital sebagai salah satu komplikasi pada wanita hamil masih kurang
mendapat perhatian dari petugas kesehatan, karena sebagian bersifat tanpa gejala atau ibu
hamil tidak mengeluhkan gejala keputihan yang ada sebagai hal yang patologis; demikian
juga sebagian petugas kesehatan menganggap keputihan sebagai suatu hal yang wajar (faktor
ketidaktahuan) atau kurang penting karena tidak sebagai penyakit yang akan segera
mematikan ibu hamil. Sebab lain adalah karena diagnosis pemeriksaan bakteriologis
dianggap sulit dilakukan terutama untuk pembiakan; dan penentuan penyebab infeksi sulit
karena secara normal flora genitalia wanita bersifat polimikrobial.

6.1 Bacterial Vaginosis (BV)


Bacterial vaginosis adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh menghilangnya
laktobasili vagina (Lactobacillus acidophylus), yang dalam keadaan normal terdapat 105
sampai 106 mikroorganisme (m.o) per gram sekresi vagina, digantikan oleh pertumbuhan
mikroorganisme lain dalam konsentrasi yang tinggi 109 sampai 1011 per gram sekresi
vagina terutama m.o yang anerob, penyebab pergantian dan peningkatan m.o ini belum jelas
benar. Laktobasili asidofilus mempertahankan keasaman pH vagina dengan memproduksi
asam laktat sehingga pH vagina normal dibawah 4,5. Rendahnya pH vagina normal secara
langsung menghambat pertumbuhan mikroorganisme anerob; selain itu laktobasili juga
mengeluarkan hidrogen peroksida yang juga berperan terhadap rendahnya populasi
mikroorganisme anerob (seperti Prevotella sp. and Mobiluncus sp.), Gardnerella vaginalis
dan Mycoplasma hominis .38
Bacterial vaginosis merupakan penyebab keputihan tersering (15–50%). Pada wanita
hamil kejadiannya sekitar 30%, sebagian mengeluhkan gejala berbau amis (fishy odor),
namun lebih dari 50% penderita BV tidak mengeluhkan gejala.
Secara klinis BV ditandai oleh :
(1) Bertambahnya cairan vagina yang homogen, berwarna putih keabuan
(2) Berbau amis yang khas menyengat (Sangat jelas apabila cairan vagina diberi 2 tetes
larutan KOH 10%), dan jumlahnya bertambah setelah hubungan seksual.
(3) Pada pemeriksaan pH didapatkan pH > 4,5
(4) Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran karakteristik yakni adanya Clue Cell.
Diagnosis klinis dapat ditegakkan apabila didapatkan 3 dari 4 gejala tersebut di atas
(Kriteria Amsel). Diagnosis BV juga dapat ditegakkan atas dasar dominasi gambaran 3
jenis mikroorganisme pada pewarnaan Gram (Batang Gram-positif; Batang dan kokus
Gram-negatif variable,dan batang melengkung Gram negatif ( Kriteria Nugent). Diagnosis
yang cepat dapat dilakukan dengan DNA Probe based test terhadap konsentrasi
G.vaginalis yang sangat tinggi atau pemeriksaan gabungan kenaikan pH dan
trimetilamine pada BV dengan Pip Activity TestCard.
Keterlibatan BV dengan kejadian persalinan prematur sudah diteliti sejak tahun 1980,
penelitian dekade terakhir menunjukkan hubungan BV dengan ketuban pecah dini (KPD),
prematuritas dan bayi berat lahir rendah.39 McGregor dkk (1995) mencari hubungan antara
multifaktor seperti berbagai infeksi jalan lahir dan faktor lain yang bukan infeksi jalan lahir
dengan hasil persalinan; dengan BV sebagai risiko tunggal, ia mendapatkan RR 2,6 untuk
kejadian prematuritas. Bila dikombinasikan dengan risiko pernah mengalami prematuritas,
maka risikonya lebih tinggi lagi.40
Nejad dan Shafaie (2008) mendapatkan BV pada 25% persalinan prematur
dibandingkan dengan 11,3% pada persalinan cukup bulan.41

12
Meskipun gejala BV ringan atau bahkan tanpa gejala, namun ternyata BV yang terjadi
selama kehamilan menimbulkan dampak yang serius pada hasil kehamilan. Data dari
penelitian BV pada ibu hamil menunjukkan meningkatnya risiko kejadian:38
- Bayi dengan berat badan lahir rendah
- Ketuban pecah dini
- Infeksi cairan amnion
- Korioamnionitis
- Endometritis pascasalin
- Infeksi pasca-seksio sesarea.

6.2 Group B Streptokokus


Group B Streptococcus (GBS) adalah diplokokus gram positif yang dikenal sebagai
Streptococcus agalactiae. Klasifikasinya didasarkan atas reaksi hemolitiknya pada agar
darah. Reaksi Beta menunjukkan hemolisis komplit di sekitar koloni bakteri, sedangkan
reaksi Alfa menunjukkan hemolisis parsial di sekitar koloni dan reaksi gamma tidak
menunjukkan adanya hemolisis.
Kolonisasi traktus genitalis oleh GBS tanpa gejala (asymptomatic colonization) pada
wanita hamil berkisar antara 2–25% dan tetap sekitar 2.3-28% pada dua dekade selanjutnya.
Insidensi tertinggi di USA (21,2%) terdapat pada golongan kulit hitam; disusul 20,9% pada
hispanics dan 13,7% pada kulit putih. GBS dapat diisolasi dari daerah anorektal ibu hamil
(17%). Reviu beberapa penelitian dan menyatakan bahwa koloni GBS terdapat pada traktus
gastrointestinalis dan rekolonisasi pada traktus urogenital dapat terjadi secara asendens.42
Infeksi GBS pada wanita hamil dapat ditandai dengan adanya duh tubuh vagina yang
purulen, genitalia eksterna yang kemerahan dan kadang-kadang bengkak serta pH > 5.
Mereka juga menyatakan bahwa GBS lebih sering didapatkan pada mereka yang mengalami
vulvovaginal kandidosis; namun infeksi GBS tidak mempunyai korelasi dengan infeksi
Chlamydia trachomatis. McDonald (1986) berhasil membuat penelitian kohort dan
membuktikan adanya hubungan kolonisasi GBS pada traktus genitalia 696 wanita hamil 24
minggu dan mendapatkan 18,7% kejadian prematuritas dibandingkan dengan 5,5% mereka
yang kolonisasinya negatif.43
6.3 Chlamydia trachomatis
Chlamydia trachomatis adalah bakteri obligat intraseluler, infeksi C. trachomatis saat
ini merupakan penyakit menular seksual (PMS) yang paling tinggi angka kejadiannya di
negara berkembang, terutama pada wanita muda. Insidensi infeksi C. trachomatis dalam
kehamilan adalah sekitar 20%. Infeksi ini menyebabkan peningkatan persalinan prematur
sebanyak 3 kali lipat. Ibu hamil dengan infeksi C.trachomatis biasanya tidak mengeluhkan
gejala, bila bergejala, maka biasanya terdapat cairan yang kuning kehijauan dari vagina atau
terjadi radang serviks. Diagnosis ditegakkan dengan kultur atau PCR (polymerase chain
reation).44
6.4 Infeksi intrauterin
Infeksi intrauterin dapat terjadi akibat penjalaran infeksi dari vagina, penjalaran melalui
plasenta, penjalaran dari rongga perut melalui saluran telur (transfallopian infection), atau
secara tidak sengaja pada saat melakukan tindakan diagnosis seperti pengambilan cairan
amnion(amniosentesis) atau pengambilan contoh vili (chorionic villi sampling). Infeksi
intrauterin yang paling sering terjadi adalah akibat penjalaran infeksi dari saluran genital
yang dapat diikuti oleh ketuban pecah sebelum waktunya atau pada ketuban yang intak
menginfeksi desidua, korion, pembuluh darah janin, menginfeksi amnion dan cairan amnion,

13
pada akhirnya menginfeksi janin. Disamping itu janin juga dapat menginhalasi cairan ketuban
yang terinfeksi yang dapat menyebabkan peradangan paru janin bahkan sepsis.
Terdapat hubungan yang erat antara infeksi intrauterin dengan kejadian persalinan
prematur, baik didahului pecahnya ketuban atau pada ketuban intak. Pada persalinan
prematur spontan yang ketubannya intak, ternyata 13% terbukti kultur cairan amnion positif,
sedangkan dari persalinan prematur yang didahului oleh pecahnya ketuban, 35% mempunyai
kultur amnion yang positif.45

6.5 Bakteriuri tanpa gejala (Asymptomatic bacteriuria)


Bakteriuri tanpa gejala didefinisikan apabila ditemukannya >100.000 koloni dari satu
spesies bakteri per l mL urin, yang didapat dari sampel urin aliran tengah (midstream urine)
dua kali berturut-turut pada wanita yang tidak mengeluhkan gejala. Insidensi bakteri uria
asimtomatik sekitar 2-7% dari seluruh kehamilan. Bakteri terbanyak yang berhasil diisolasi
adalah Esherichia coli, yang juga sering didapatkan dan potensial untuk menyebabkan
persalinan prematur adalah Grup B Streptokokus. Ibu hamil dengan bakteriuria asimtomatik
mempunyai risiko persalinan prematur lebih tinggi daripada ibu hamil tanpa bakteriuria
karena 40% bakteriuri akan menjadi sistitis akut dan 25% akan berlanjut menjadi pielonefritis
akut, yang keduanya berhubungan dengan persalinan prematur. 46
Penyaringan untuk Bakteriuria asimtomatik harus dilakukan saat pertama kali
kunjungan pemeriksaan kehamilan, dan apabila terdiagnosis harus diterapi sampai kuman
dapat dieradikasi. Kultur urin harus diulangi, dan apabila terdapat bakteriuria rekuren
persisten, harus dipertimbangkan pemberian antibiotika supresif sampai saat persalinan.

6.6 Periodontitis
Periodontitis adalah peradangan pada jaringan penunjang gigi yang meliputi gusi, alur
antar gusi dan gigi, jaringan ikat/ligamen, semen dan tulang alveolar. Infeksi ini dapat
disebabkan oleh peningkatan jumlah mikroorganisme pada plak gigi atau ketidak seimbangan
mikroorganisme patogen dan komensal. Etiologi yang sering antara lain adalah
Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, Treponema denticola, Campylobacter
rectus. 47
Periodontitis dalam kehamilan meningkat karena perubahan hormonal yang terjadi,
insidensinya sekitar 50%, biasanya dimulai pada bulan kedua kehamilan dan bertambah berat
sesuai usia kehamilan apabila tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Produk bakteri
melalui aliran darah menjadikan infeksi sistemik, dan melalui mediator biokimia seperti
LPS, PGE2, Interleukin 1-B, Tumor nekrosis faktor dan interleukin-6, mengaktifkan
kontraksi uterus sehingga menyebabkan KPD atau persalinan prematur tanpa KPD. Kejadian
persalinan prematur pada ibu hamil dengan periodontitis meningkat 7 kali dibandingkan
dengan ibu hamil tanpa periodontitis 48

6.7 Penyakit infeksi sistemik lain


Berbagai penyakit infeksi sistemik pada ibu hamil dapat mencetuskan persalinan
prematur melalui respons ibu dan respons fetus terhadap eksotoksin dan endotoksin yang
diproduksi oleh mikroorganisme patogen. Infeksi sistemik yang sering dihubungkan dengan
persalinan prematur yakni pielonefritis, tifoid, dan malaria.

14
7. Faktor Genetik49,50
Mekanisme persalinan prematur sampai saat ini belum diketahui pasti. Saat ini dikenal
empat jalur yang akan memicu persalinan prematur yakni melalui rangkaian:
- Respons inflamasi
- Keseimbangan Hormonal
- Respons terhadap stres
- Faktor fetus
Karena ketidak-jelasan mekanisme persalinan, diupayakan untuk mencari penyebab
persalinan prematur melalui pendekatan genetik. Terdapat beberapa bukti predisposisi
genetik dan eksistensi interaksi gen-lingkungan yang berhubungan dengan persalinan
prematur, demikian juga terdapat beberapa bukti adanya pengaruh familial dan
intergenerasional terhadap persalinan prematur. Sejalan dengan kemajuan-kemajuan
terkini di bidang genetika manusia dan biologi molekuler, penilaian kontribusi genetik
terhadap penyakit manusia telah berkembang dari cara tidak langsung yang didasarkan
pada riwayat keluarga sampai penelitian langsung genotip individual pada lokus tertentu.

Gen yang berpotensi untuk persalinan prematur antara lain dari :51
- Inflammatory pathway: Colony stimulating factor (CSF 1,2,3) dengan reseptornya,
IFNGR1 (interferon gamma receptor 1), Interleukin (1α,β; 2α,β; 4,5, 6, 8, 10, 11, 12α, 13,
15, 17,18, LT (Lymphotoxin α, β); Nitric oxide synthase, TNFα; γ Interferon;
Neurotrophin, TLR (Toll-like receptor); MCP (Monocyt Chemoattractant protein);
CDA08; Macrophag Inflammatory protein, Prolactin & reseptornya, TGFβ; PTAF
(Platelet activating factor) dan PTAFR serta GNB (Guanine nucleotide binding protein).
- Uteroplacental pathway: F2, F5 (Coagulation factor-2, 5); PROC (Protein C); β2AR
(Adrenergic receptor); VEGF; AGT (angiotensinogen); APOE (Apolipoprotein E);
MTHFR (Methylenetetrahydrofolate reductase); MTR (Methylenetetrahydrofolate-
homocysteine methyltransferase).
- Endocrine pathway: ACTH (adenocorticotropin); CRH; CRHR1,2; CRHBP; ESR
(Estrogen receptor) 1,2; BDNF (Brain derived neurotropic factor); DRD2 (Dopamine
receptor D2); PGR (Progesteron Receptor).
- Uterine contraction: PTGER (Prostaglandin E Receptor)2,3, PTGES(PTGESynthase);
PTGFR; COX-1; COX-2 OXT; OXTR (Oxytocin receptor); MMP (Matrix metallo-
proteinase)-1,2,3,8,9; RLN (Relaxin)1,2,3.
- Metabolic pathway: GSTT1 (Glutathione S Transferase θ); OPRM1 (Opiodoid
receptor,mu 1); NAT1,2 (N-acetyltransferase); CYP (Cytochrome P450) 1A1, 2A6, 2D6,
2E1; Hsp-70 (Heat shock protein); ADH (Alcohol dehydrogenase 1A,1B,1C); ALDH2
(aldehyde dehydrogenase).

PENCEGAHAN:

Setelah kita mengetahui begitu banyak faktor yang berhubungan dengan kejadian persalinan
prematur apa yang dapat kita lakukan untuk menanggulanginya, baik sebagai petugas
kesehatan, pendidik, anggota masyarakat dan anggota keluarga?

Di Negara maju telah terbukti upaya pencegahan menurunkan angka persalinan


prematur sampai mereka mencapai angka yang stabil bertahun-tahun, karena itu upaya lain
yakni penanggulangan bayi prematur ditingkatkan. Di Negara-negara yang sedang
15
berkembang termasuk Indonesia masih banyak faktor-faktor penyebab yang mungkin
dirubah, diintervensi atau dihilangkan, dan upaya itu yang paling mungkin kita lakukan
karena menanggulangi akibat persalinan prematur (mengurus bayi prematur) akan jauh lebih
sulit dan lebih mahal serta hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat bersosio-
ekonomi tinggi.
Upaya yang telah dilakukan di Indonesia selama ini antara lain adalah deteksi dan
pengelolaan kehamilan risiko tinggi, pencegahan anemi dengan pemberian zat besi dan
perbaikan gizi, namun semua ini belum dapat menurunkan kejadian persalinan prematur.
Melihat banyaknya faktor risiko tentu saja upaya yang sudah dilakukan belum cukup, masih
banyak hal lain yang harus kita perbuat. Tujuan utama adalah mencegah terjadinya persalinan
prematur, karena bila persalinan telah berlangsung akan sulit untuk mencegahnya, dan kita
masih jaun dari kemampuan mengelola bayi prematur. Artinya deteksi ibu berisiko tinggi
sangat penting. Upaya upaya yang dapat kita lakukan adalah:

1. Pertama kita harus mempunyai data dasar kejadian prematuritas di Indonesia. Laporan
DEPKES 2007 mengenai Profil Kesehatan Indonesia 2005, menyatakan belum ada angka
resmi kejadian prematuritas di Indonesia, data yang ada hanya tentang BBLR, yang
terbaur antara bayi matur dengan pertumbuhan janin terhambat dengan bayi yang benar-
benar lahir kurang bulan.
Langkah awal yang dapat kita mulai adalah menyebarluaskan pentingnya pencatatan
persalinan prematur di institusi, rumah sakit, rumah sakit jejaring, puskesmas, posyandu,
praktek dokter, praktek bidan, kecamatan, apabila itu dapat dilakukan setidaknya data
yang mendekati akan dapat diperoleh. Dalam hal ini organisasi profesi seperti POGI
(Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia), Himpunan Kedokteran Feto Maternal
Indonesia, PERINASIA (Perkumpulan Perinatologi Indonesia), IDI (Ikatan Dokter
Indonesia) dan IBI (Ikatan Bidan Indonesia) dapat sangat membantu pelaksanaannnya.
Dari data dasar yang didapat, akan dapat ditelusuri setidaknya daerah mana yang angka
kejadian persalinan prematurnya paling tinggi dan dapat diamati, diteliti faktor2 apa yang
terkait dan dapat dilakukan intervensi.

2. Mempersiapkan ibu untuk mendapatkan kehamilan yang baik dan dinginkan.


Meskipun hal ini terkait dengan banyak faktor dan keadaan lingkungan, kita dapat
mulai dari sekitar kita, anak-anak kita, murid-murid, tetangga, teman sekerja, pekerja
kita; dengan cara menginformasikan dari ibu yang sehat akan didapatkan janin yang
sehat, kapan usia ibu sebaiknya hamil, menunda usia kehamilan dengan cara
kontrasepsi apabila perkawinan usia muda sulit dihindari karena aspek budaya.
Sebaliknya kadang perlu seorang wanita dibangunkan dari kenyamanannya bekerja
yang membuat ia lupa bahwa ia belum hamil atau baru mempunyai satu anak karena
mengejar kedudukan dalam pekerjaannya (untuk mencegah jangan sampai baru ingin
hamil lagi pada usia yang “tua” untuk hamil (> 35 tahun).
Persiapan lainnya adalah mempersiapkan berat badan sebelum hamil, jangan
terlalu kurus dan turunkan dahulu berat badan bila terdapat obesitas.
Kesehatan umum harus diperhatikan, apabila seorang wanita sedang dalam
pengobatan untuk penyakit menahun, pastikan ia mengikuti kontrasepsi dulu sampai
betul-betul siap untuk hamil, terutama ibu dengan TB (tuberculosis), anjurkan berobat
yang patuh dan benar sambil berikan metode kontrasepsi yang nyaman untuk tiap
individu. Pastikan ibu dengan penyakit berat yang membahayakan dirinya jangan
hamil (misalnya : ibu dengan payah jantung, penyakit ginjal berat ).

16
3. Menyebarluaskan “keistimewaan” kehamilan pada seluruh lapisan masyarakat, para
suami, keluarga, rekan sekerja, para atasan, pembuat kebijakan sampai pemerintahan.
Masih banyak mereka yang “belum sadar” bahwa dari rahim seorang ibu lah generasi
bangsa ditentukan, maka hargailah masa yang seyogyanya hanya dialami dua atau tiga
kali saja dalam kurun kehidupan wanita yang normal. Mereka harus lebih memperhatikan
kebutuhan istrinya, bawahannya, pekerjanya, rekan sekerjanya yang sedang hamil, baik
mengenai kebutuhan gizi, nutrisi, lingkungan yang baik bebas asap rokok, suport mental,
mengurangi beban pekerjaan fisik dan mengurangi stres psikis.
Menginformasikan pada masyarakat melalui multimedia faktor-faktor risiko ini
sehingga mereka dapat mengantisipasi sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Guru yang biasa mengajar berdiri berjam-jam dapat disediakan tempat duduk selama
mengajar, ibu hamil dengan pekerjaan fisik yang berat dapat dipindah-posisikan atau
dicutikan bila pekerjaannya membuat stres. Perusahaan-perusahaan yang mempunyai
karyawan sedang hamil memberi kesempatan untuk ibu hamil berisiko tinggi untuk
mendapat keringanan yang sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. POGI membuat
leaflet murah berisi informasi dan upaya pencegahan yang seragam dan disebar-luaskan
pada seluruh anggotanya untuk dapat diberikan sebagai servis pada ibu-ibu hamil.

4. Memfasilitasi sedikitnya seorang ibu hamil mendapat 4 kali pelayanan pemeriksaan


kehamilan berkualitas. Pendataan ibu hamil dari golongan miskin dan memberikan kartu
pemeriksaan kehamilan gratis bagi semua ibu hamil akan jauh lebih bermanfaat daripada
member kartu askeskin bagi sebagian masyarakat miskin yang sudah tidak viable karena
penyakit tumor ganas atau stadium akhir.
5. Upaya sederhana dapat diberikan oleh semua petugas kesehatan pada ibu hamil berisiko
tinggi untuk persalinan prematur berupa:
- Istirahat 2 kali 1 jam dalam sehari diantara kesibukan kerja ibu hamil
- Hidrasi, minum sehari 8–10 gelas (sekitar 2 liter)
- Kurangi beban kerja fisik
- Kurangi stres
- Perbaiki gizi ibu hamil, lengkapi dengan vitamin dan mineral yang dibutuhkan
- Bawa ke dokter apabila diduga terdapat penyakit penyerta
- Cari penyakit infeksi terutama infeksi saluran kemih dan genital dan obati.

6. Semua petugas kesehatan tidak boleh menganggap remeh atau mengabaikan keputihan
dalam kehamilan. Jangan menunggu ibu mengeluhkannya, periksalah saat pertama kali
ibu datang untuk pemeriksaan kehamilan. Sediakan bahan-bahan sederhana yang dapat
dipakai untuk memisahkan tiga besar jenis keputihan yakni:
- Kertas pemeriksaan pH (Lakmus yang dapat mendeteksi pH cairan vagina dengan
perubahan nspektrum warna antara 3,5–6). Dengan pinset secarik kertas lakmus dapat
ditempelkan pada dinding lateral vagina dan dicocokan pHnya.
- Larutan KOH 10%, dapat diteteskan apabila ada kecurigaan Bacterial Vaginosis, dua
tetes KOH 10% pada speculum yang berisi sekret vagina akan memberikan bau amin
yang khas. (Amine test)
- Larutan H2O2 yang bila diteteskan pada sekret vagina dengan trikomononiasis akan
memberikan cairan yang berbusa.
Terapi BV adalah metronidazol 500 mg b.i.d. selama 7-10 hari, atau klindamisin 300
mg b.i.d. selama 7–10 hari.

17
7. Meningkatkan peran serta dokter umum dalam penanganan ibu hamil, baik dalam
kegiatan pemeriksaan ibu hamil, pengelolaan risiko tinggi dan pertolongan persalinan.
Meskipun risk approach tidak diutamakan dan paradigma baru semua ibu hamil berisiko
disebarluaskan; yang penting pada persalinan prematur adalah pencegahannya. Pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak di Puskesmas masih sering dilakukan oleh bidan. Seorang dokter
umum akan jauh lebih berkompeten dalam pemeriksaan kehamilan, penyaringan risiko,
pencegahan persalinan prematur bahkan pertolongan persalinan. Ajakan yang serius dari
dokter spesialis obstetri dan POGI agar dokter umum turut berperan dalam pelayanan KIA
sesuai dengan kompetensinya dalam KIPDI.
Untuk mengenal dan mendeteksi serta melakukan intervensi pencegahan dimulai
dengan hal-hal sederhana seperti KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) pada ibu
hamil berisiko tinggi terhadap persalinan prematur secara individual akan jauh lebih baik
dilakukan oleh dokter umum daripada bidan. Image masyarakat bahwa ibu bersalin harus
diperiksa oleh bidan harus diubah, dari mulai mahasiswa, calon dokter harus sudah diajak,
dibangkitkan semangatnya untuk berperan dan bertanggung jawab terhadap pelayanan
KIA. Saat mengikuti pelajaran klinik selama 9 minggu di Bagian Obstetri, keinginan dan
kemampuannya ditambah sehingga kompetensinya meningkat. Peningkatan peran dokter
umum dalam pelayanan KIA akan merupakan terobosan dalam mengungkit kesehatan ibu
dan anak.

8. Mengawasi pelaksanaan cuti bagi ibu hamil dan memberikan kebijaksanaan cuti lebih
panjang pada ibu hamil berisiko untuk persalinan prematur misalnya ibu dengan hamil
kembar, ibu hamil dengan inkomptensi serviks yang harus dicutikan dan berbaring sejak
usia kehamilan 4 bulan dengan menjamin dapat menduduki jabatannya kembali setelah
persalinan. Cuti yang lebih panjang dapat diberikan misalnya dengan memberikan
tambahan cuti sebanyak 12 bulan X 2 hari dari cuti haid yang tidak dimanfaatkan.

9. Apabila persalinan telah terjadi, maka akan sangat sulit untuk menghentikannya. Di
Negara maju petanda persalinan prematur telah banyak dipakai untuk deteksi dini seperti:
- CRH (Corticotrophin Releasing Hormone) dari plasenta yang meningkat dalam plasma
ibu karena mekanisme stres,
- Perubahan keseimbangan estrogen dan progesteron yang mengawali perubahan
miometrium
- Sitokin proinflamasi (seperti IL-1, TNFα, IL-6, IL-8 dan RANTES/regulated on
activation, normal Tcell-expressed and -secreted).
- Matriks metaloproteinase MMP-1, MMP-9 dan fibronektin janin fFN pada serviks dan
vagina pada kehamilan > 20 minggu.
- Insuline-like growth factor-binding protein (IGFBP-1).
Di Indonesia beberapa senter pendidikan telah mulai mendeteksi persalinan
prematur jauh sebelum terjadi dengan memakai penanda tersebut, meskipun masih sangat
mahal, penelitian semacam ini harus terus digalakkan dan didukung.

10. Gejala awal persalinan prematur dikeluhkan ibu hamil dengan berbagai variasi, seperti
timbulnya kontraksi rahim yang teratur, dengan atau tanpa nyeri, nyeri pinggang yang
tidak hilang dengan istirahat, nyeri perut bagian bawah seperti nyeri haid, perasaan berat
yang menekan jalan lahir, atau keluhan lainnya. Objektif yang dapat diperiksa adalah
adanya kontraksi rahim yang dapat pemeriksa rasakan diatas rahim. Cara-cara sederhana
untuk mengawasi adanya kontraksi dapat diajarkan agar ibu segera memeriksakan
dirinya, meskipun di Negara maju cara ini sudah ditinggalkan, di Negara kita masih ada

18
tempat untuk deteksi dini. Pada fasilitas kesehatan yang memadai, pemeriksaan
sonografi vaginal untuk mengukur panjang serviks telah dapat dilakukan dari usia
kehamilan 24 minggu.

11. Apabila telah terjadi persalinan prematur maka berikan perawatan yang terbaik yang
dapat diberikan. Istirahat rebah, pemberian tokolitik, kortikosteroid dan bila perlu
antibiotika diberikan sesuai prosedur. Pemberian injeksi 17α-hydroxyprogesterone
caproate terbukti menyebabkan penurunan kejadian partus prematurus secara bermakna
(OR: 0,50; 95% CI: 0,3-0,85), demikian juga dengan pemberian supositori vaginal 100
mg setiap hari pada kehamilan 24-34 minggu.52 Kadang-kadang diperlukan tindakan
penjahitan serviks (cerclage) yang keberhasilannya cukup tinggi.53 Apabila persalinan
tidak dapat dicegah, rujukan persalinan untuk kepentingan bayi harus dapat dilakukan ke
tempat terbaik yang dapat terjangkau, bila mungkin rujuk ke tempat yang mempunyai
unit fetomaternal dan unit perinatologi.

12. Di tingkat institusi, dukungan riset mengenai etiologi kelahiran preterm demi memenuhi
kesenjangan pengetahuan yang kritis harus dilakukan. Penelitian penelitian yang bersifat
multisenter diharapkan mencakup :
- Karakteristik dan faktor risiko yang spesifik untuk tiap daerah, adakah hal yang
khusus pada bangsa kita mengenai faktor risiko ini ?
- Mekanisme fisiologi dan patologi proses parturisi selama seluruh periode kehamilan.
- Adakah peranan implantasi yang salah pada partus prematur ?
- Bagaimana mekanisme selular, endokrin dan parakrin untuk mempertahankan agar
uterus tidak berkontraksi ?
- Bagaimana mekanisme perubahan massa uterus tanpa kontraksi dengan saat mulai
aktivasi dan stimuli ?
- Apakah dasar dari perbedaan lamanya waktu persalinan antar berbagai grup etnik ?
- Apakah ada pengaruh biologis atau merupakan faktor lingkungan dan sosial saja ?
- Bagaimana peran infeksi dan regulasinya selama implantasi dan parturisi
- Penyebab-penyebab genetik sederhana dan epigenetik yang lebih kompleks dari
kelahiran preterm harus diteliti.
- Petanda infeksi sederhana yang dapat dikembangkan dari pemeriksaan-pemeriksaan
canggih yang masih dapat dipakai pada populasi Indonesia dengan biaya ringan dan
aplikatif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Centers for Disease Control and Prevention. (CDC) 2007. Births: Final data for 2005.
(online) Available at http://www.cdc.gov/nchs/data/nvsr/nvsr56/nvsr56_06.pdf (accessed
March 13rd,2008).
2. Slattery MM, Morrison JJ. Preterm delivery. Lancet 2002; 360(9344):1089-97.
3. Greer I, Norman J. Preterm Labor, Managing risk in clinical practice.Cambridge
University Press.2005.pp1-26.
4. Spong C.Y. Prediction and Prevention of Recurrent Spontaneous Preterm Birth. Obstet
Gynecol 2007;110:405–15.
5. Profil Kesehatan Indonesia 2005, diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia tahun 2007.
6. Alisjahbana A, Hamzah ES, Tanuwidjaja S.1983. Final Report V.Perinatal mortality and
morbidity survey and low birth weight.

19
7. Krisnadi SR, The Use of Clindamycin to Reduce LBW infant rate applied to Bacterial
Vaginosis, with or without Group B Streptococcal Colonization dan Chlamydia
trachomatis infection. Disertation,Padjadjaran Univerity, Bandung Indonesia, 2000.
8. Gorsuch RL, Key MK. Abnormalities of pregnancy as a function of anxiety and life
stress. Psychosom Med 1974; 36(4):352-62.
9. Goldenberg RL, Cliver SP, Mulvihill FX, Hickey CA, Hoffinan HJ, Klerman LV, Johnson
MJ. Medical, psychosocial, and behavioral risk factors do not explain the increased risk
for low birth weight among black women. Am J Obstet Gynecol 1996; 175(5): 1317-24.
10. Dole N, Savitz DA, Hertz-Picciotto 1, Siega-Riz AM, McMahon MJ, Buekens P.
Maternal stress and preterm birth. Am J Epidemiol 2003; 157(1): 14-24.
11. Kristi Poerwandari.2006. Stress dalam kehidupan sehari-hari. YAYASAN PULIH, Rabu,
12 April 2006 tersedia pada http://www.pulih.or.id/?lang=&page=self&id=113 (diakses
16 Maret,2008).
12. Moutquin JM. Socio-economic and psychosocial factors in the management and
prevention of preterm labour. Br J Obstet Gynaecol 2001; 20:56-60.
13. Saurel-Cubizolles MJ, Kaminski M.. Work in pregnancy: Its evolving relationship with
perinatal outcome. Social Science and Medicine1986; 22(4): 431-42.
14. Savitz DA, Whelan EA, Rowland AS, Kleckner RC. Maternal employment and
reproductive risk factors. Am J Epid. 1990; 132(5): 933-945.
15. Saurel-Cubizolles MJ, Zeitlin J, Lelong N, Papiernik E, Di Renzo GC, Breart G.
Employment, working conditions, and preterm birth: Results from the Europop
case-control survey. Journal of Epidemiology and Community Health 2004; 58(5):
395-401.
16. Newman RB, Goldenberg RL, Moawad AH, lams JD, Meis PJ, Das A, Miodovnik M,
Caritis SN, Thurnau GR, Dombrowski MP, Roberts J. Occupational fatigue and preterm
premature rupture of membranes. Am J Obstet & Gynecol. 2001; 184(3): 438- 46.
17. Behrman RE,Butler AS.Eds.Preterm Birth. Causes, Consequences and Prevention.
Committee on Understanding Premature Birth and Assuring Healthy Outcomes Board on
Health Sciences Policy. Institute of Medicine of National Academies. The National
Academies Press. Washington.2006.
18. Cnattingius S. The epidemiology of smoking during pregnancy: Smoking prevalence,
maternal characteristics, and pregnancy outcomes. Nicotine & Tobacco Research. 2004;.
6(Suppl. 2): S 125-S 140.

19. Niina Jaakkola. Passive Smoking During Pregnancy and Early Childhood Occurrence,
Determinants, Health Effects and Prevention. Academic Disertation. Department of
Public Health University of Helsinki,October 11th, 2002.
20. Parazzini F, Chatenoud L, Surace M, Tozzi L, Salerio B, Bettoni G, Benzi G.. Moderate
alcohol drinking and risk of preterm. birth. European Journal of Clinical Nutrition 2003;
57(10): 1345-9
21. Goldenberg RL, lams JD, Mercer BM, Meis PJ, Moawad AH, Copper RL, Das A, Thom
E, Johnson F, McNellis D, Miodovnik M, Van Dorsten JP, Caritis SN, Thumau GR,
Bottoms SF. The preterm prediction study: The value of now vs standard risk factors in
predicting early and all spontaneous preterm births. Am J Pub Health. 1998; 88(2 ): 233-
8.
22. Hendler I, Goldenberg RL, Mercer BM, Iams JD, Meis PJ, Moawad AH, MacPherson
CA, Caritis SN, Miodovnik M, Menard KM, Thumau GR, Sorokin Y. The Preterm
Prediction study: Association between matemal body mass index and spontaneous and
indicated preterrn birth. Am J Obstet Gynecol. 2005; Vol. 192(3): 882-6.

20
23. Honest H, Bachmann LM, Ngai C, Gupta JK, Kleijnen J, Khan KS. The accuracy of
maternal anthropometry measurements as predictor for spontaneous preterm birth--a
systematic review. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2005; 119(1): 11-20.
24. Berkowitz GS, Papiernik E. Epidemiology of preterm birth. Epid Rev 1993.15(2):
414-443.
25. Schieve LA, Cogswell ME, Scanlon KS, Perry G, Ferre C, Blackmore-Prince C, Yu SM,
Rosenberg D. Prepregnancy body mass index and pregnancy weight gain: Associations
with preterm delivery. Obstet Gynecol . 2000; 96(2): 194-200
26. Villar J, Merialdi M, Gulmezoglu AM, Abalos E, Carroli G, Kulier R, De Oni M..
Nutritional interventions during pregnancy for the prevention or treatment of maternal
morbidity and preterm delivery: An overview of randomized controlled trials. Journal of
Nutrition. 2003; 133(5 SUPPL. 1): 1606S- 25S.
27. Siega-Riz AM, Savitz DA, Zeisel SH, Thorp JM, Herring A. Second trimester folate
status and preterm birth. Am J Obstet & Gynecol. 2004; 191: 1851-7.
28. Shaw GM. Strenuous Work, Nutrition and Adverse Pregnancy Outcomes: A Brief Review.
J Nutr. 2003;133(5): 1718S-21S.
29. Siega-Riz AM, Promislow JH, Savitz DA, Thorp JM Jr, McDonald T. Vitamin C intake
and the risk of preterm delivery. Am J Obstet & Gynecol. 2003;189:519-25.
30. Merialdi M, Carroli G, Villar J, Abalos E, Gulmezoglu AM, Kulier R, De Onis M.
Nutritional interventions during pregnancy for the prevention or treatment of impaired
fetal growth: An overview of randomized controlled trials. Journal of Nutrition 133(5
SUPPL. 1) . 2003: 1626S - 31S.
31. Olsen SF, Secher NJ. Low consumption of seafood in early pregnancy as a risk factor for
preterm delivery: prospective cohort study. Br Med J. 2002.324:1-5
32. Olsen SF. 1993. Consumption of marine n-3 fatty acids during pregnancy as a possible
determinant of birth weight. A review of current epiderniologic evidence. Epidemiol Rev.
15:399-413.
33. Read JS, Klebanoff MA. Sexual intercourse during pregnancy and preterm delivery:
Effects of vaginal microorganisms. Am J Obstet and Gynecol. 1993. 168(2): 514-9.
34. Sayle AE, Savitz DA, Williams JF. Accuracy of reporting of sexual activity during late
pregnancy. Paed and Peri Epid. 2003; 17(2): 143-147.
35. Bruce FC, Kendrick JS 1, Kieke BAJrl, Jagielski S2, Joshi R2, Tolsma DD2. Is Vaginal
Douching Associated with Preterm Delivery? Epid 2002; 13(3): 328-333.
36. Iams JD. Abnormal cervical competence. In: Creasy RK, Resnik R, Iams JD, eds.
Maternal-fetal medicine. 5th ed.Philadelphia: Saunders;2004.p.603-22.
37. Smith GC, Pell JP, Dobbie R. Interpregnancy interval and risk of preterm birth and
neonatal death: retrospective cohort study. Bmj. . 2003; 327:9.
38. Eschenbach DA, Hillier S, Critchlow C, Stevens C, DeRouen T, Holmes KK. Diagnosis
and clinical manifestation of bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol 1988; 158: 819-23.
39. Gravett MG, Nelson HP, DeRouen T, Critchlow C, Eschenbach DA, Holmes KK.
Independent associations of bacterial vaginosis dan Chlamydia trachomatis infection with
adverse pregnancy outcome. JAMA 1986; 256: 1899-1903.
40. McGregor JA, French JI, Parker R, et al. Prevention of premature birth by screening dan
treatment for common genital tract infections: results of a prospective controlled
evaluation. Am J Obstet Gynecol 1995;173:157-67.
41. Nejad VM, Shafaie S. The Association of Bacterial Vaginosis and Preterm Labor. JPMA
2008; 58:104-28.
42. Edwards MS, Baker CJ. Streptococcus agalactiae ( Group B Streptococcus) in Mandell
GL, Bennett JE , Dolin R Eds. Principles and Practice of infectious diseases. 4th
Ed.Churchill Livingstone, NewYork; 1995; 180:1835-45.
21
43. McDonald, H., R. Vigneswaran, and J. A. O’Loughlin. Group B Streptococcal
colonization and preterm labor. Aust. N. Z. J. Obstet. Gynaecol. 1989; 29:291–3.
44. Gravett MG, Nelson HP, DeRouen R, Critchlow C, Eschenbach DA, Holmes KK.
Independent association of bacterial vaginosis and Chlamydia trachomatis infection with
adverse pregnancy outcome. JAMA. 1986; 256:1899-903.
45. Romero R, Erez O, Espinoza J. Intrauterine infection, preterm labor, and cytokines. J
Soc Gynecol Investig. 2005; 12463-5.
46. Cram LF, Zapata MI, Toy EC. Baker B, Christus. Genitourinary Infections and Their
Association with Preterm Labor. Am Fam Physician 2002;65:241-8.
47. Offenbacher S, Lieff S, Boggess KA, Murtha AP, Madianos PN, Champagne CM,
McKaig RG, Jared HL, Mauriello SM, Auten Jr. RL, Herbert WN, Beck JD. Materna
periodontitis and prematurity. Part 1: Obstetric outcome of prematurity and growth
restriction. Annals of periodont 2001; 6(1): 164-174
48. Tucker R. Periodontitis ang pregnancy. J Soc Prom Health.2006;126:24-7.
49. Kalish RB, Vardhana S, Gupta M, Perni SC, Witkin SS. Interleukin-4 and -10 Gene
Polymorphisms and Spontaneous Preterm Birth in Multifetal Gestations. Am J Obstet
Gynecol. 2004;190:702-6.
50. Kristin Peterson Oehlke .Genetics, genomic, preterm labor and birth.The Minnesota
Department of Health. 2004.
51. Engel SAM, Erichsen HC, Savitz DA, Thorp J, Chanock SJ, Olshan AF. Risk of
spontaneous preterm birth is associated with common proinflammatory cytokine
polymorphisms. Epid. 2005;16(4): 469-77.
52. Meis PJ. 17 Hydroxyprogesterone for the prevention of preterm delivery. Obstet &
Gynecol. 2005; 105(5): 1128-35.
53. Sakai M, Shiozaki A, Tabata M, Sasaki Y, Yoneda S, Arai T, Kato K, Yamakawa Y, Saito
S. Evaluation of effectiveness of prophylactic cerclage of a short cervix according to
interleukin-8 in cervical mucus. Am J Obstet Gynecol. 2006; 194(1): 14-19.

22
23

Anda mungkin juga menyukai