Anda di halaman 1dari 18

IBADAH MAHDHAH & GHAIRU MHADHAH

Umay M. Dja’far Shiddieq

A. Pengertian Ibadah
Secara etomologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid,
berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, hatta dirinya
sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk
memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya.
Manusia adalah hamba Allah “‘Ibaadullaah” jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di
tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah
atau menghamba kepada-Nya:

56 ‫الذريات‬ ‫وما خلقت الجن والناس ال ليعبدونن‬


Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu (QS.
51(al-Dzariyat ): 56).

B. Jenis ‘Ibadah
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan
sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya;
1. ‘Ibadah Mahdhah, artinya penghambaan yang murni hanya merupakan hubung an
antara hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran
maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau
logika keberadaannya.
b. Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul
oleh Allah adalah untuk memberi contoh:

64 ‫وماارسلنا من رسول ال ليطاع باذن ا … النسآء‬


Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS.
4: 64).
7 ‫وما آتاكم الرسول فخذوه وما ناهاكم عنه فاناتهوا…الحشر‬
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang
dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).

Shalat dan haji adalah ibadah mahdhah, maka tatacaranya, Nabi bersabda:
‫ خذوا عنى مناسككم‬. ‫رواه البخاري‬. ‫ صلوا كما رايتموناى اصلى‬.
Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. Ambillah dari padaku tatacara haji
kamu

Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek
Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara meng-ada-ada, yang
populer disebut bid’ah: Sabda Nabi saw.:
، ‫ عليكم بسنتى وسنة الخلفآء الراشدين المهديين مععن بعععدى‬. ‫ متفق عليه‬. ‫من احدث فى امرناا هذا ما ليس منه فهو رد‬
‫ رواه احمععد‬. ‫ وكععل بدعععة ضععللة‬،‫ فان كل محدثععة بدعععة‬،‫ واياكم ومحدثات المور‬، ‫تمسكوا بها وعضوا بها بالنواجذ‬
‫ وشععر المععور‬.‫ وخير الهععدي هععدي محمععد ص‬، ‫ فان خير الحديث كتاب ا‬،‫ اما بعد‬، ‫وابوداود والترمذي وابن ماجه‬
‫ رواه مسععععععععععععلم‬. ‫محععععععععععععدثاتها وكععععععععععععل محدثععععععععععععة بدعععععععععععععة وكععععععععععععل بدعععععععععععععة ضععععععععععععللة‬
Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw.
adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul
mereka:
‫ فعاذا امرتكعم بشععيئ فعأتوا منعه‬،‫ فاناما هلك مععن كعان قبلكععم بكععثرة سعؤالهم واختلفهعم علععى انابيععآئهم‬،‫ذروناى ما تركتكم‬
‫ اخرجععععععععععععععه مسععععععععععععععلم‬. ‫ماسععععععععععععععتطعتم واذا ناهيتكععععععععععععععم عععععععععععععععن شععععععععععععععيئ فععععععععععععععدعوه‬
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan
ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya
berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan,
tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh
mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau
tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah
kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah
kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah,
dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi:
Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
1. Wudhu,
2. Tayammum
3. Mandi hadats
4. Adzan
5. Iqamat
6. Shalat
7. Membaca al-Quran
8. I’tikaf
9. Shiyam ( Puasa )
10. Haji
11. Umrah
12. Tajhiz al- Janazah

Rumusan Ibadah Mahdhah adalah

“KA + SS”
(Karena Allah + Sesuai Syari’at)
2. Ibadah Ghairu Mahdhah, (tidak murni semata hubungan dengan Allah) yaitu ibadah
yang di samping sebagai hubungan hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau
interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya . Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah
dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diseleng garakan.
b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah
bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal
yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan
dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat
atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika
sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.

Rumusan Ibadah Ghairu Mahdhah


“BB + KA”
(Berbuat Baik + Karena Allah)

3. Hikmah Ibadah Mahdhah


Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) , dan ibadah
mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu,
sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). Shalat semuanya harus menghadap
ke arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat
dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana untuk
menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa. Di mana pun
orang shalat ke arah sanalah kiblatnya (QS. 2: 144).
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak). Semua orang yang shalat gerakan pokoknya
sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika
thawaf dan sa’i, arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang
diibadati hanya satu.
c. Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa). Karena Allah yang disembah
(diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan ibadah kepadanya hanya
satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak,
harus satu bahasa, demikian juga membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-
Quran adalah bahasa al-Quran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.

IBADAH MAHDHAH & GHAIRU MHADHAH


Umay M. Dja’far Shiddieq

PENDAHULUAN
Jangan terburu-buru menilai orang !

Apalagi menilai amalan orang !

Menganggap orang lain bid'ah, sesat ?

Apakah kita sudah bisa jadi orang yang benar dalam beribadah ?

Atau hanya karena iri (hasad) lantas memojokkan seseorang ?

Mencari-cari kesalahan dan menyalahkan orang lain ?

Beribadah, hanya diri sendiri dan Allah yang tahu apakah ikhlas atau karena riya ?

Ibadah sendiri secara umum dapat dipahami sebagai wujud penghambaan diri seorang
makhluk kepada Sang Khaliq. Penghambaan itu lebih didasari pada perasaan syukur
atas semua nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah padanya serta untuk memperoleh
keridhaanNya dengan menjalankan titah-Nya sebagai Rabbul ‘Alamin.

Namun demikian, ada pula yang menjalankan ibadah hanya sebatas usaha untuk
menggugurkan kewajiban, tidak lebih dari itu. Misalnya, saat ini banyak umat islam yang
tidak berjama'ah ke masjid kecuali shalat jum’at. Bahkan ada pula yang tidak sholat
kecuali pada hari raya. Islamnya hanya ada di kartu identitas. Dan ada pula yang
beribadah, mendekatkan diri kepada Allah hanya pada saat ibadah ritual saja, setelah itu
dia jauh dari ridlo Allah.

II. PERMASALAHAN

1. Apa pengertian ibadah mahdhah dan ghairu mahdah?

2. Bagaimana hakikat ibadah itu?

3. Apa saja syarat-syarat diterimanya ibadah?

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Ibadah

Ibadah secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu ‫عبادة‬- ‫ يعبد‬-‫ عبد‬yang artinya
melayani patuh, tunduk. Sedangkan menurut terminologis ialah sebutan yang mencakup
seluruh apa yang dicintai dan diridhai allah azza wa jalla, baik berupa ucapan atau
perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin[1]. Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam
Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan
lainnya[2];

1. Ibadah Mahdhah

Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan
Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk
mahdhah, adalah :

Ø Wudhu,

Ø Tayammum

Ø Mandi hadats

Ø Shalat

Ø Shiyam ( Puasa )

Ø Haji

Ø Umrah

‘Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:

a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-


Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh
akal atau logika keberadaannya. Haram kita melakukan ibadah ini selama tidak ada
perintah.

b. Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul
oleh Allah adalah untuk memberi contoh:

‫وماارسلنا من رسول ال ليطاع باذن ا … النسآء‬


Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…
(QS. 64)

‫…وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا‬

Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang
dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).

c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan
ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya
berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebuthikmah tasyri’. Shalat, adzan,
tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh
mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau
tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.

d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah
kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah
kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah,
dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.

Rumus Ibadah Mahdhah adalah = “KA + SS” (Karena Allah + Sesuai Syariat)

2. Ibadah Ghairu Mahdah

Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah.
misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain
sebagainya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:

a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah
dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama
tidak diharamkan oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah
bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal
yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan
dalam ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.

c. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat


atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika
sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.

d. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.

Rumus Ibadah Ghairu Mahdhah = “BB + KA” (Berbuat Baik + Karena Allah)

B. Hakikat Ibadah

Sebenarnya dalam ibadah itu terdapat hakikatnya, yaitu[3] :

‫ب بمَحبة هالمَعبوهد وع ظ‬
‫ظمَتهه اعتقادا بان للعالم سلطا نا ليشِدهركه العقل حقيقظتظه‬ ‫شظعاهرالقل ه‬
ِ‫سته ش‬ ‫ح يظشِن ظ‬
ِ‫شا ظعهن ا ش‬ ‫خضوع الررشِو ه‬

“ ketundukan jiwa yang timbul dari karena hati (jiwa) merasakan cinta akan Tuhan yang
ma’bud dan merasakan kebesaran-Nya, lantaran beri;tiqad bahwa bagi alam ini ada
kekuasaan yang akal tak dapat mengetahui hakikatnya".

Adapun seorang arif juga mengatakan bahwa hakikat ibadah yaitu :

‫ وترضى عنه قاسمَا ومعطيا ومانعا وترضاه هالهها ومعبودا‬,‫اصل العبادهة ان ترضى ل مد براومختارا‬

“ pokok ibadah itu, ialah engkau meridhoi Allah selaku pengendali urusan; selaku orang
yang memilih; engkau meridhai Allah selaku pembagi, pemberi penghalang (penahan),
dan engkau meridhai Allah menjadi sembahan engkau dan pujaan (engkau sembah)
Didalam ibadah itu terdapat berbagai macam penghalang ibadah[4]. Penghalangnya yaitu
:

1. Rezeki dan keinginan memilikinya

2. Bisikan-bisikan dan keinginan meraih tujuan

3. Qadha; dan pelbagai problematika

4. Kesusahan dan berbagai musibah

C. Syarat-Syarat Diterimanya Ibadah

Ibadah adalah perkara taufiqiyyah, yaitu tidak ada suatu ibadah yang disyari’atkan
kecuali berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Apa yang tidak di syari’atkan berarti
bid’ah mardudah ( bid’ah yang ditolak ), hal ini berdasarkan sabda Nabi :

‫س ظعلظشِيهه أظشِمرظنا فظهظو ظررد‬


‫ظمشِن ظعهظمَظل ظعظمَله لظشِي ظ‬.

“ Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari Kami, maka amalan tersebut
tertolak.”

Ibadah-ibadah itu bersangkut penerimaannya kepada dua faktor yang penting, yang
menjadi syarat bagi diterimanya.

Syarat-syarat diterimanya suatu amal (ibadah) ada dua macam yaitu[5]:

1. Ikhlas

(12-11:‫ وامرت لن اكون اول المَسلمَين )الزمر‬.‫قل انى امرت ان اعبد ا مخلصا له الدين‬

“Katakan olehmu, bahwasannya aku diperintahkan menyembah Allah (beribadah kepada-


Nya) seraya mengikhlaskan ta’at kepada-Nya; yang diperintahkan aku supaya aku
merupakan orang pertama yang menyerahkan diri kepada-Nya.”

2. Dilakukan secara sah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah

........(110:‫فمَن كان يرجوالقاءربه فليعمَل عمَلصالحاوليشرك بعبادةربه احدا )الكهف‬


“Barang siapa mengharap supaya menjumpai Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang sholeh, dan janganlah ia mensyarikatkan seseorang dengan tuhannya dalam
ibadahnya itu”

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia
mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya.
Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah,
karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-
kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Ulama’ ahli bijak berkata: inti dari sekian banyak ibadah itu ada 4, yaitu[6]:

‫الوفاء بالعهدود والمَحافطة على الحدودوالصبر على المَفقو والرضا بالمَوجود‬

1. Melakasanakan kewajiban-kewajiban Allah

2. Memelihara diri dari semua yang diharamkan Allah

3. Sabar terhadap rizki yang luput darinya

4. Rela dengan rizki yang diterimanya.

IV. KESIMPULAN

Ibadah merupakan suatu uasaha kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah dalam
islam itu ada dua macam yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Hakikat
ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh
ketundukan dan perendahan diri kepada Allah. Seorang hamba yang ibadahnya ingin
dikabulkan hendaklah haruis memenuhi 2 syarat yaitu ikhlas dan sesuai dengan tuntunan
Rasulullah.

V. PENUTUP

Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah, yang telah memberikan rahmat-Nya


sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan waktu yng telah ditentukan.
Harapan saya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya sendiri dan para pembaca
sekalian. Kami memohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam penulisan
dalam materi yang disuguhkan dalam makalah ini. Terakhir kami sampaikan selamat
membaca.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

al Bantani, Imam Nawawi, Nashaihul Ibad. Toha Putra : Semarang.

al Ghazali, Abu Hamid, 2007. Minhaj al Abidin Ila al Jannah. Jogjakarta: Diva Press.

ash Shiddieqy, Hasbi, 1991. Kuliah Ibadah. Yogyakarta: Bulan Bintang.

Syukur, Prof. Amin MA, 2003. Pengantar Studi Islam. Semarang :CV. Bima Sakti

Alim, Drs. Muhammad, 2006. Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

Foot note:

[1] Prof. Amin Syukur MA, Pengantar Studi Islam, (Semarang :CV. Bima Sakti,2003),
Hlm. 80.

[2] Drs. Muhammad Alim, Pendidikan agama islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,2006), Hlm. 144.

[3] Hasbi ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (yogyakarta: Bulan Bintang, 1991), Hlm. 8-9

[4] Abu Hamid Al Ghazali, Minhaj Al Abidin Ila Al Jannah, (Jogjakarta: Diva
Press,2007), Hlm. 183

[5] Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1991), Hlm. 12-13

[6] Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad, (Toha Putra : Semarang,), Hlm. 29.

(http://sahrunalpilangi.blogspot.com/2010/03/ibadah-mahdah-dan-ghairu-mahdah.html)
HADIST TENTANG IBADAH MAHDHAH

1.Hadist tentang Puasa


Dari shilah, ia berkata : “Kami pernah berada disisi Ammar pada hari yang diragukan
(munculnya awal Ramadhan ). Kemudian ia dibawakan daging kambing lalu beberapa
orang yang saat itu ada menyingkir. Ammar berkata, 'Barangsiapa yang berpuasa pada
hari ini berarti ia telah mendurhakai Abu Qasim (Rasulullah) SAW. (Hadist Shahih
diriwayatkan oleh 4 imam)
Kandungan Hukum Hadist:
Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari mengatakan , “Hadist ini dijadikan dalil atas
diharamkan berpuasa pada hari syak (hari yang diragukan). Sebab seorang sahabat tidak
akan mengatakan keputusan dari pendapatnya sendiri, pasti apa yang dikatakannya itu
sifatnya Marfu' ( dari Rasulullah)”.
Ibn Abdul Bar mengomentari , “Hadist ini adalah Hadist Musannad dikalangan
Ahli Hadist, mereka tidak berbeda pandangan tentang hal itu”.
Tirmidzi mengatakan, “Hadist ini diamalka oleh kebanyakan Ahli ilmu dari
Sahabat Rasulullah SAW dan dari kalangan Tabi'in.
Syafi'i, Ahmad dan Ishaq memakruhkan seseorang untuk berpuasa pada hari syak,
mereka berpendapat jika puasa tetap dikerjakan pada hari itu kemudian diketahui bahwa
hari itu telah masuk bulan Ramadhan, yang melakukannya tetap harus mengqadha' satu
hari sebagai ganti puasa Ramadhannya.

=)
“Dari Hafshah istri Rasulullah SAW, bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa
tidak berniat berpuasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya”.
(Hadist Shahih, diriwayatkan oleh 4 imam)
Kandungan Hukum Hadist:
1. Tidak sah puasa seseorang yang tidak meniatkannya dari malam hari
2. Meniatkan puasa dimalam hari sebelum terbit fajar, sedangkan puasa sunnah sah dengan
niat di siang hari.
3. Niat adalah maksud dan kemauan keras untuk mengerjakan sesuatu dan tempatnya
adalah dimalam hari, sedangkan niat yag ragu-ragu masih dianggap sah.

=
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata “seorang laki-laki dari bani Ka'ab berkata : “kuda
Rasulullah SAW perang menyerang kami, kemudian kudatangi beliau tengah makan
siang lalu beliau bersabda “ Kemarilah dan makanlah”, Aku menjawab “Aku sedang
berpuasa”. Maka beliau bersabda, “Mendekatlah, akan kuberitakan kepadamu tentang
puasa. Sesungguhnya Allah melepaskan dari seorang musafir itu kewajiban berpuasa dan
sebagian shalat. Juga (melepaskan kewajiban) puasa dari wanita hamil / menyusui.
(Hadist shahih, diriwayatkan dari 4 imam)
Kandungan Hukum Hadist:
1. Seorang musafir diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan boleh juga berpuasa
2. Wanita hamil jika khawatir terhadap kandungannya atau wanita menyusui yang khawatir
akan kesehatan anaknya, mereka boleh tidak berpuasa dan menggantinya dengan
memberi makan seorang fakir miskin bagi puasa yang ditinggalkannya.

2. Hadist tentang Zakat

=)
Dari Ali bin Abi Thalib RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda , “Aku telah
menghapuskan zakat kuda dan budak. Maka keluarkan zakat perak satu dirham setiap 40
dirham. Dan tidak ada kewajiban zakat pada 190 (dirham). Namun bila ia telah mencapai
200 (dirham), maka harus dikeluarkan padanya 5 dirham (untuk zakat).
(Hadist shahih, diriwayatkan oleh 4 imam).
Kandungan Hukum Hadist:
1. Para ulama menilai bahwa tidak ada kewajiban zakat terhadap perak sehingga mencapai
batas 200 dirham keping perak murni dan tidak ada zakat pada emas hingga mencapai 20
mitsqal (timbangan Makkah)
2. Gugurnya kewajiban zakat terhadap kuda dan budak apabila dipergunakan sebagai
tunggangan atau untuk pelayanan.
=)
Dari Mu'adz bin Jabal RA ia berkata, “Aku diutus oleh Nabi SAW ke Yaman kemudian
memerintahkanmu untuk mengambil (zakat) satu ekor sapi berumur satu tahun (Tabi')
dari 30 ekor sapi dan 1 ekor sapi berumur 2 tahun (musinnah) dari 40 ekor sapi dan 1
dinar atau yang seharga dengan kain ma'afir (pakaian khas Yaman) dari setiap orang
dewasa”.

Kandungan Hukum Hadist:


1. Ungkapan “Dari setiap orang dewasa 1 dinar”, Al-Baghawi menilainya bukan sebagai
zakat, maksudnya adalah Jizyah (pajak kepala) yang dipungut dari Ahlud dzimmah (Non
muslim yang berada dibawah pemerintahan islam)
2. Hadist diatas merupakan dalil tentang kewajiban zakat terhadap sapi dan nishabnya
seperti yang disebutkan diatas.
3. Syarat zakat hewan, hewan digembala secara bebas (tanpa beban atau kesulitan) serta
tidak mendatangkan kerugian.
=)
Dari Abdullah bin Mas'ud RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang
meminta-minta kepada orang lain sedangkan ia memiliki sesuatu yang mencukupinya,
maka pada hari kiamat ia akan datang dengan permintaan yang berbekas di wajahnya
seperti khumusy, khudusy, atau kuduh. Lalu ada seseorang yang bertanya, “wahai
Rasulullah apakah sesuatu yang mencukupi orang itu? Beliau menjawab, “50 dirham atau
emas yang setara dengan nilainya”.
Makna Khudusy: terkelupasnya kulit karena tergores tongkat, Khumusy adalah
terkelupas karena kuku (cakaran) dan Kuduh adalah luka bekas gigitan.

3. Hadist tentang Haji


=)
Dari Abu Razin dari kalangan Bani Amir ia bertanya, “wahai Rasulullah sesungguhnya
bapakku seorang yang lanjut usia, tidak bisa mengerjakan Haji dan Umrah, dan tidak pula
sanggup melakukan perjalanan. Beliau menjawab, “Berhajilah untuk menggantikan
bapakmu dan umrahlah”.
Kandungan Hukum Hadist:
1. Boleh untuk menghajikan orang lain (badal haji), jumhur ulama mengkhususkan bagi
orang yang sudah pernah mengerjakan Haji untuk dirinya sendiri.
2. Hadist tersebut dijadikan dalil bagi orang yang berpendapat akan wajibnya umrah.
=)
Dari Saib bin Khallad dari bapaknya, Rasulullah SAW bersabda, “Aku didatangi oleh
Jibril, kemudian ia menyuruhku agar memerintahkan para sahabatku mengeraskan
suara mereka dalam mengucapkan tahlil dan talbiah”.
(Hadist Shahih, diriwayatkan oleh 4 imam)

Kandungan Hukum Hadist:


1. Disebutkan dalam At-Tuhfah, “Hadist tersebut menunjukan disunahkannya mengeraskan
suara ketika mengucapkan talbiah menurut mayoritas ulama.
2. Asy-Syaukani dalam Nail Al-Authar menuturkan, “Abu Daud menilai bahwa
mengeraskan suara dalam bertalbiyah hukumnya wajib. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW yang artinya “Haji yang paling afdhal adalah al 'ajj (bersuara keras dalam
bertalbiyah) dan tsajj (dipotongnya hewan kurban dalam haji)”.
3. Para wanita hendaknya mengeraskan suara mereka selama tidak khawatir terjadinya
fitnah, juga karena Aisyah RA telah mengeraskan suaranya dalam bertalbiyah hingga
di dengar oleh laki-laki.

=)
Dari Katsir bin Jumhan, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Abdullah bin Umar
diantara Shafa dan Marwa, “Wahai Abu Abdurrahman, mengapa aku melihatmu berjalan
sedangkan orang-orang berlari kecil-kecil? Ia menjawab, “Aku berjalan karena Aku telah
melihat Rasulullah SAW melakukannya dan Aku juga seorang lelaki tua.
(Hadist shahih, diriwayatkan oleh 4 imam)
Kandungan Hukum Hadist:
Asy-Syaukani mengatakan, “Disunahkannya sa'i (berlari-lari kecil) diantara Safa dan
Marwa, kemudian berjalan biasa pada jarak yang tersisa hingga mencapai Marwa.
=)
Dari Abdurrahman bin Ya'mar Ad-Dili ia berkata, “Aku datang kepada Nabi SAW ketika
beliau berada di Arafah, kemudian orang-orang atau sekelompok orang dari penduduk
Najed pun datang, maka mereka memerintahkan seorang lelaki untuk bertanya kepada
Rasulullah SAW, “Bagaimana cara berhaji?” Maka Rasulullah SAW memerintahkan
seorang lelaki menyerukan untuk berhaji, “Haji itu adalah Arafah. Barangsiapa yang
datang sebelum tiba waktu shalat Shubuh dari malam berkumpul(mabit), maka
hendaknya ia menyempurnakan hajinya selama tiga hari di Mina. Namun barangsiapa
yang menyegerakannya dalam dua hari, maka tidak ada dosa baginya”.
(Hadist Shahih, diriwayatkan oleh 4 imam)
Kandungan Hukum Hadist:
1. Al hajju 'arafah (haji itu adalah Arafah): Haji yang benar adalah hajinya orang yang
mendapatkan hari Arafah. Dari hadist Abdurrahman bin Ya'mar adalah barangsiapa tidak
melaksanakan wuquf di Arafahsebelum terbit fajar, maka ia telah ketinggalan haji dan
hajinya tidak sah jika ia datang setelah fajar. Ia hendaknya menjadikan ibadahnya sebagai
umrah saja, dan ia wajib mengerjakan haji pada kesempatan mendatang. Ini adalah
pendapat Syafi'i, Ahmad, dan Ishaq.
2. Man ja'a lailata jam'in (barangsiapa yang tiba pada malam berkumpul): malam
mabit(bermalam) di muzdalifah, yaitu malam id Adha sebelum terbit fajar (fajar hari
Nahar atau hari raya kurban). Barangsiapa datang di Arafah dan wuquf disana pada
malam hari sebelum terbit fajar, maka ia telah mendapatkan hajinya.
3. Wuquf dapat dilakukan dibagian manapun dari padang Arafah, sekalipun hanya sebentar
dari waktu yang telah ditentukan (ini pendapat jumhur ulama)
4. Ayyamu mina tsalatsah (hari-hari di Mina itu 3 hari): yaitu hari-hari tasyrik (11, 12, 13
Dzulhijjah) itulah hari melontar jumrah.

=
Dari Yazid bin Syaiban ia berkata, “Kami wukuf di Arafah pada tempat yang jauh dari
tempat wukuf Nabi SAW. Kemudian Ibnu Mirba' Al Anshari mendatangi kami dan
berkata, “Aku adalah utusan Rasulullah SAWkepada kalian”. Beliau bersabda, “Tetaplah
kalian berada di masya'ir kalian, karena kalian tengah berada pada salah satu warisan
dari warisan bapak moyang kalian Ibrahim AS.”
(Hadist Shahih, diriwayatkan oleh 4 imam).
Al Masya'ir: bentuk jama' dari kata masy'ar yakni temapt melaksanakan ibadah haji.
Kandungan Hukum Hadist:
Semua bagian padang Arafah adalah tempat wukuf , dan orang yang wukuf
dibagian manapun dari Arafah berarti ia telah melakukan Sunnah Rasul, sekalipun
mereka berwukuf jauh dari wukuf Rasulullah SAW.
=)
Dari Abu Al Baddah bin 'Ashim dari bapaknya berkata, “Rasullullah SAW memberi
keringanan dalam urusan bermalam bagi para penggembala untuk melontar pada hari
Nahar dan menggabungkan lontaran 2 hari setelah hari Nahar dengan melontarkannya
pada salah satu dari kedua hari tersebut.
1. Boleh melontar jumrah pada hari pertama dari hari-hari tasyriq, mereka (penggembala)
kembali menjaga onta-onta gembala mereka, mereka dapat bermalam disana dan
meninggalkan hari nahar pertama untuk kembali lagi pada hari ketiganya kemudian boleh
melontar jumrah yang tertingggal di hari kedua bersama dengan lontaran mereka dihari
ketiga.
2. Orang yang memiliki udzur yang menyerupai udzur yang diberikan keringanan oleh
Rasullullah SAW boleh untuk tidak melakukan mabit. (pendapat jumhur ulama).
Misal: keringanan bagi petugas siqayah (penyalur air untuk jemaah haji) dan
penggembala onta.

=)
Dari Al Hajjaj bin Amr Al Anshari ia berkata, “Aku mendengar Rasullullah SAW
bersabda, “Barangsiapa mengalami patah tulang atau menjadi pincang, maka ia boleh
tahallul dan ia wajib mengerjakan haji pada waktu lainnya.” kemudian aku menceritakan
hal itu kepada Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, mereka mengatakan, “Hadist itu benar”.

Kandungan Hukum Hadist:


Konteks tersebut berlaku bagi orang yang berhaji dengan haji fardhu.(pendapat
Malik dan Syafi'i.
Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wajib mengulangi haji dan
umrahnya. Sedangkan pendapat yang dinukil dari Mujahid dan Ikrimah wajib untuk
melaksanakan haji pada kesempatan berikutnya”.

DAFTAR PUSTAKA

Ulfah, isratin.2009.Fiqih Ibadah.Yogyakarta:Nadi offset.


Muhammad.2006.Kumpulan Hadits yang Disepakati 4 Imam.Jakarta:Buku Islam Rahmatan.

Dunia Guru, Madrasah dan Tulisan Sekedar


Celoteh Ringan Seorang Guru Madrasah

Tulisan ditandai ‘ibadah mahdhah’


Ibadah Ritual dan Ibadah Sosial
tinggalkan komentar »

Dalam pandangan umat Islam pada umumnya, istilah ibadah sering hanya dipahami
dalam konteks ibadah ritual saja, yakni ibadah yang hanya berkaitan dengan Allah SWT
saja, seperti shalat, puasa, zakat, dan lain-lain. Sedangkan ibadah yang sifatnya sosial
(ibadah sosial) dan menjadi hajat hidup serta melibatkan kepentingan khalayak banyak
sering tidak dianggap sebagai bentuk ibadah.

Kesalahan persepsi ini agaknya telah berlangsung cukup lama dalam benak sebagian
besar umat Islam, sehingga yang muncul ke permukaan kemudian adalah munculnya
sikap yang cenderung dikhotomik (memisahkan) dalam memandang ibadah yang bersifat
ritual dan ibadah yang bersifat sosial. Ibadah ritual dalam pelaksanaannya bersifat
personal (individual) yang semata-mata menjadi urusan antara makhluk dengan sang
khalik (Allah), sedangkan ibadah sosial dalam pelaksanaannya selalu melibatkan
kepentingan orang lain, atau masyarakat secara umum, seperti gotong-royong
membangun jalan, sedekah kepada fakir miskin, membantu anak yatim, dan sebagainya.

Dalam hubungan ini, dapatlah dikemukakan bahwa antara ibadah ritual dan ibadah sosial,
keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Kemenyatuan
hubungan kedua bentuk ibadah tersebut, dalam pandangan Amin Rais digali berdasarkan
paradigma konsep tauhid, yakni suatu pandangan hidup yang bukan saja mengesakan
Allah, melainkan juga meyakini kesatuan penciptaan. Dengan kata lain, sesuatu yang
bersifat ukhrowi dan sesuatu yang bersifat duniawi, adalah satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, dan oleh karenanya, segala bentuk penciptaan ini harus dilihat sebagai
bentuk ekosistem yang saling berkait, saling berhubungan, dan saling melengkapi.[1]

Baca entri selengkapnya »

Anda mungkin juga menyukai