Anda di halaman 1dari 9

Teori belajar dan pembelajaran

Belajar adalah sebuah proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, merasa, dan bergerak
untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk menghasilkan sebuah perilaku,
pengetahuan, atau teknologi atau apapun yang berupa karya dan karsa manusia tersebut. Belajar
berarti sebuah pembaharuan menuju pengembangan diri individu agar kehidupannya bisa lebih baik
dari sebelumnya. Kegiatan dari proses belajar itu dinamakan pembelajaran. Supaya kegiatan belajar
dan pembelajaran itu dapat terealisasi sesuai dengan tujuan yang dikehendaki maka diperlukan
suatu pengetahuan yang harus dimiliki oleh calon-calon para pendidik, yaitu pemgetahuan mengenai
teori-teori pembelajaran. Berikut ini akan dibahas mengenai teori -teori balajar dan pembelajaran:

1. Teori Behavioristik

Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena
jasmaniah, dan mengabaikan aspek - aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui
adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar
semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu. Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi
aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek
pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik.

Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya
interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu
menunjukkan perubahan tingkah laku. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan
yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai
hasil interaksi antara stimulus dan respon.Menurut teori ini yang terpenting adalah masuk atau
input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yang
terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila
penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila
penguatan dikurangi (negative reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan.

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa
yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat
ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik
ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan
tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak
konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan
pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak
dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Watson mendefinisikan belajarsebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus
dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia
mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun
dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat
diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan
dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik
semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin.
Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk
menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis
(drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi
sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun
hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin
dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga
dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang
disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang
sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon
untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan
mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar
hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon
yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan
belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon
bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang
peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
mengubah tingkah laku seseorang

Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan
lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar
stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan.

2. Teori Belajar Kognitif

Psikologi kognitif dianggap sebagai perpaduan antara Psikologi Gestalt dan psikologi behaviorisme.
Menurut teori kognitif belajar adalah suatu proses perubahan persepsi dan pemahaman, yang
tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diukur dan diamati. Dalam teori ini lebih
menekankan bagaimana proses atau upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang
dimiliki oleh orang lain. Teori ini tentunya sangat berbeda dengan teori behavioristik, yang lebih
menekankan pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dengan cara kemampuan merespon
terhadap stimulus yang datang kepada dirinya.

Teori kognitif memandang bahwa proses belajar akan dapat berjalan dengan baik jika materi
pelajaran atau informasi baru dapat beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh
seseorang. Dengan kata lain teori belajar kognitif mengemukakan bahwa belajar merupakan
proses dimana seorang manusia yang memiliki otak dengan dilengkapi akal pikirannya dapat
memproses suatu pemahaman dan persepsi tentang suatu informasi. Secara umun teori belajar
kognitif adalah suatu proses yang lebih menitikberatkan proses membangun ingatan, retensi,
pengolahan informasi, emosi dan aspek-aspek intelektual lainnya. Oleh sebab itu belajar dapat
dikatakan suatu proses berpikir yang kompleks dan komprehensisif. Sehingga sebagai seorang
pendidik dalam menciptakan suatu pembelajaran harus memperhatikan aspek-aspek kognitif yang
dimiliki oleh siswanya. Sehingga pembelajaran yang telah diterima oleh siswa dapat dicerna oleh
alat-alat kognisi mereka. Informasipun diharapkan dapat tersimpan dengan baik di dalam memori
anak dan dapat digunakan sebagai modal untuk menerima informasi selanjutnya.

4. Teori Belajar Humanisme

Teori belajar humanisme menjelaskan bahwa proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk
kepentingan memanusiakan manusia (proses humanisasi). Oleh sebab itu teori humanisme lebih
menekankan pada bagimana memahami persoalan manusia dari berbagai dimensi yang dimilikinya,
baik dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Teori ini lebih banyak membahas mengenai konsep-
konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar
dalam bentuknya yang paling ideal.

Dengan kata lain, teori lebih tertarik kepada pengertian belajar dalam bentuknya paling ideal
daripada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji
oleh teori-teori belajar lainnya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun sarana
dan prasarana apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manuasia yaitu
mencapai kesempurnaan hidup bagi manusia dengan indikasi (a) kemampuan aktualisasi diri (b)
kualitas pemahaman diri (c) kemampuan merealisasikan diri dalam kehidupan yang nyata. Oleh
karena itu dalam proses pembelajaran harus mampu menciptakan situasi dan kondisi yang
menyebabkan manusia memiliki kebebasan untuk berfikir alternative dan kebebasan untuk
menemukan konsep dan prinsip.

Konsekuensi yang mutlak yang perlu dimiliki oleh seorang pendidik dalam kontek teori humanistik ini
adalah guru harus mampu memiliki sifat, karakter dan tampilan sesuai dengan situasi dan kondisi
yang dihadapi. Menurut Oliva F. Peter dalam buku Pendidik Profesional (dalam saekhan:2008)
dinyatakan bahwa guru harus memiliki sifat sebagai berikut:

a. Guru harus berperan sebagai seorang kakek, yang lebih menekankan kemampuan menceritakan
hubungan kekerabatan

b. Guru harus mampu berperan sebagai seorang nenek, yang lebih senang bercerita dan memberi
nasehat kepada para cucunya.

c. Guru harus mampu berperan sebagai seorang bapak/atau ayah, yang lebih berperan sebagai sosok
orang yag paling bertanggung jawab atas segala hal yang ada dalam rumah tangga. Guru juga harus
menampilkan sosok pribadinya di mata murid adalah sosok manusia yang paling bertanggung jawab
dalam proses pembelajaran.

d. Guru harus mamou berperan sebagai seorang ibu, yang lebih menekankan kemampuan
menampilkan sifat atau karakter membimbing, mengasuh dengan penuh kesabaran.

e. Guru harus mampu berperan sebagi seorang kakak, yang lebih menekankan sifat kemampuan
melindungi. Guru juga harus mampu menamplikan sosok manusia yang melindungi para siswanya.y
f. Guru harus mampu berperan sebagai seorang kakak ipar, yang lebih cenderung menampilkan
karakter tidak mau ikut campur dengan urusan orang lain. Guru dalam waktu tertentu tidak boleh
selalu mengintervensi terhadap urusan siswa.

g. Guru harus mampu berperan sebagai sersan mayor yang lebih menampilkan sosok manusia yang
memiliki kedisiplinan tinggi.

h. Guru harus mampu berperan sebagai seorang editor buku, yang lebih cenderung menampilkan
sosok manusia yang mampu memberikan koreksi atau mengedit tentang berbagai ilmu pengetahuan
atau informasi.

Dengan memiliki karakteristik di atas diharapkan seorang guru bisa menjadi sosok yang paling ideal
menurut mereka. Sehingga dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran siswa dapat benar-benar
menghargai dan menghormati gurunya. Menurut teori ini seorang guru juga harus memiliki
kemampuan untuk tetap memiliki sifat yang dapat memanusiakan manusia (manghargai siswa
sebagai manusia). Dalam kegaiatan pembelajaran guru harus bisa mengaktualisasikan dirinya untuk
kegiatan pembelajaran. Serta guru harus memiliki kemampuan untuk merealisasikan suatu mata
pelajaran ke dalam kehidupan nyata peserta didik, sehingga peserta didik tidak merasa bahwa apa
yang dipelajarinya hanyalah suatu keabstrakan belaka.

Tokoh-tokoh yang terkenal dalan teori ini antara lain Carl Rogers menyatakan bahwa setiap individu
itu mempunyai cara belajar yang berbeda dengan individu yang lain, Kolb dengan pendapatnya yang
terkenal mengenai "Belajar empat tahap"nya, Honey dan Mumford dengan pembagian tentang
macam-macam siswa, Humbermas dengan Tiga macam tipe balajar, dan Bloom dan Krathwohl
dengan taksonomi Bloomnya.

1. Teori belajar Piaget

Piaget adalah seorang tokoh pendidikan yang terkenal karena karya/teori tersohornya"Advance
Organiser"dan teori "appersepsi" adalah seorang tokoh yang mampu mempengaruhi alam pikiran
tokoh-tokoh pendidikan lain pada zamannya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif seorang atau
siswa adalah suatu proses yang bersifat genetik. Artinya proses belajar itu didasarkan atas
mekanisme biologis perkembangan system saraf. Oleh karena itu makin bertambahnya umur
seseorang siswa mengakibatkan kompleksnya susunan sel-sel syaraf dan juga semakin meningkatkan
kemampuannya khususnya dalam bidang intelektual (kognitif). Ketika seorang siswa berkembang
dalam proses menuju kedewasaan diri, mereka pasti melakukan atau mengalami proses adaptasi
biologis dengan lingkungannya sehingga terjadi proses perubahan-perubahan secara kualitatif
maupun kuantitatif. Ada beberapa konsep dalam teori piaget dalam (M.SaekhanMuchtin:2008)

a) Intelegensi

Proses atau kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan. Seorang yang memiliki
intelegensi dari perspektif social adalah orang yang mampu melakukan adaptasi terhadap
lingkungan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, Piaget menjelaskan bahwa kognitif seseorang
akan dapat dibangun secara optimal jika memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap
lingkungan.
b) Organisasi

Dalam istilah ilmu manajemen, organisasi diartikan kemampuan untuk memberdayakan segala
potensi untuk mencapai tujuan. Dalam teori Piaget organisasi dimaknai sebagai suatu proses untuk
mengadakan sistematisasi, mengorganisasi berbagai elemen untuk mewujudkan sebuah teori atau
pemahaman

c) Skema

Merupakan suatu format atau bentuk dalam realitas miniatur. Artinya kualitas kognitif akan mudah
dibangun jika diawali dari proses secara bertahap terhadap suatu objek tertentu.

d) Asimilasi

Adalah suatu proses pengintegrasian konsep ke dalam pengalaman nyata. Asimilasi dapat
dimaksudkan proses untuk menyesuaikan konsep dengan realitas di lapangan atau penyempurnaan
persepsi terhadap obyek tertentu.

e) Akomodasi

Proses untuk menyempurnakan konsep atau persepsi setelah mencocokkan antara konsep dengan
realitas lapangan. Akomodasi mampu melahirkan teori atau konsep baru (Paul Suparno dalam
M.Saekhan:2007)

Hal di atas merupakan pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Dengan mengetahui
dan mamahami hal-hal di atas diharapkan seorang guru mampu memehami siswanya dan mampu
menggunakan teknik-teknik yang sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswanya. Sehingga
ketercapaian tujuan dari pembelajaran dapat terwujud dengan sempurna.

Beberapa tahapan perkembangan kognitif anak antara lain:

1) Tahap sensori motor (Umur 0-2 tahun)

Tahap ini yang menonjol adalah kegiatan motorik dan persepsi yang sangat sederhana. Secar umum
ciri dalam tahapan ini adalah:

a. Melakukan rangsangan melalui sinar dan suara yang datang ke dalam dirinya

b. Suka memperhatikan sesuatu, kemudian dijadikan idola secara verbalis (membabi buta)

c. Mendefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya sesuai dengan persepsinya sendiri

d. Selalu ingin atau segala obyek sehingga memiliki kecenderungan untuk melakukan perubahan
(merubah)

2) Tahap Praoperasional (Umur 2-7/8 tqhun)

Tahap ini lebih ditandai dengan penggunaan simbol atau bahasa tanda. Tahap ini juga dimulai
berkembangnya konsep-konsep intuitif. Tahap ini memiliki dua macam tahapan yaitu:
praoperasional (umur 2-4), tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan bahasa dalam
mengembangkan konsep yang dimiliki meskipun konsep itu masih sederhana. Akibatnya, anak sering
melakukan kesalahan dalam memahami objek yang dilihat. Tahap ini memiliki beberapa ciri khusus
yaitu:

a. Self counternya sangat dominan

b. Mampu melakukan klasifikasi objek yang bersifat sederhana

c. Belum mampu memusatkan perhatian terhadap berbagai objek yang bervariasi atau berbeda-
beda

d. Memiliki kemampuan untuk mengumpulkan benda atau barang menurut criteria yang benar serta
memiliki kemampuan untuk menyusun benda-benda meskipun mereka belum mampu menjelaskan
makna dari benda-benda tersebut

Tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun). Pada tahap ini anak mampu memperoleh pengetahuan atau
informasi yang didasarkan terhadap kesan, makna, konsep yang bersifat abstrak. Tahap ini memiliki
karakteristik sebagi berikut:

a. Memiliki kemampuan untuk membentuk kelas-kelas atau kategori dari sebuah objek

b. Memiliki kemampuan mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang lebih kompleks

c. Memiliki kemampuan melakukan tindakan terhadap berbagai fenomena atau ide yang komlpeks

d. Memiliki kemampuan memperoleh prinsip-prinsip secara tepat dan benar

3) Tahap Operasional Konkret (Umur 7/8-11/12 tahun)

Tahap ini ditandai dengan adanya kemampuan menggunakan aturan-aturan yang sistematis, logis,
dan empiris. Tahap ini adalah tahap melakukan transformasi informasi ke dalam dirinya sehingga
tindakannya lebih efektif. Diharapkan dalam tahap ini tidak ada proses trial and error(coba-coba).
Dalam tahap ini anak diasumsikan sudah dapat berfikir dengan menggunakan model "kemungkinan"
dalam melakukan kegiatan tertentu. Anak dapat menggunakan atau mengaplikasikan hasil yang
telah dicapai sebelumnya. Dengan kata lain dalam tahap operasional ini anak memilikim
kemampuan untuk menyelesaikan atau menangani suatu system klsifikasi.

4) Tahap Operasional Formal (Umur 11/12-18 tahun )

Tahap ini ditandai dengan adanya kemampuan anak dalam berpikir abstrak dan logis, serta memiliki
kemampuan menggunakan pola berpikir abstrak dan logis serta memiliki kemampuan menggunakan
pola berpikir "kemungkinan" mampu berpikir ilmiah dengan pendekatan hipothetico-deductive dan
inductive. Tahap ini memiliki ciri khusus sebagai berikut:

a. Memiliki kemampuan bekerja secara efektif, sistematis, logis dan realistis.


b. Mampu melakukan analisis secara kombinasi

c. Mampu berpikir secara proporsional, yakni menentukan macam-macam proporsional mengenai


C1,C2 dan r misalnya.

d. Mampu menarik generalisasi secara mendasar terhadap suatu objek.

Proses dan realitas pembelajaran anak pada tahap sensorimotor, memiliki perbedaan dengan proses
belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap praoperasional, juga berbeda pula dengan para
siswa yang telah ada pada tahap operasional formal. Artinya tahap perkembangan itu akan berjalan
secara linier atau relevan dengan kualitas berpikir, makin tinggi tahap perkembangan kognitif
membawa implikasi terhadap teraturnya dan semakin abstraknya cara berpikir yang dilakukan oleh
seorang anak. Oleh karena itu konsekuensi bagi para pendidik adalah bahwa mereka harus benar-
benar memahami tahap-tahap perkembangan peserta didik, sehingga dalam merancang kegiatan
pembelajaran, sehingga pembelajaran menjadi efektif dan efisien serta berkesan bagi anak.

2. Teori belajar Vygotsky

Vygotsky adalah salah satu tokoh konstruktivisme. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah
penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan
interaksi antara aspek "internal" dan "eksternal" dari pebelajaran dan penekanannya pada
lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial
masing - masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi
saat siswa bekerja menangani tugas - tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada
dalam "zone of proximal development" mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara
tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah
secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam
kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
mampu.

Teori Vygotsky yang lain adalah "scaffolding". Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang
anak sejumlah besar bantuan selama tahap - tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi
bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan
guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang
memungkinkan siswa dapat mandiri.

Oleh karena itu, menurut teori ini kita sebagai seorang pendidik kita harus mampu menciptakan
kelas social dalam pembelajaran. Kelas social disini mengandung makna bahwa seorang guru harus
mampu menciptakan kelas yang bisa menciptakan suatu proses interaksi baik antar guru dengan
murid atau murid dengan murid. Sehingga permasalahan-permasalahan yang ada dalam kegiatan
pembelajaran dapat diselesaikan dengan memunculkan strategi-strategi baru dalam kegiatan
pembelajaran dan strategi tersebut didapat dari hasil interaksi itu. Serta penemuan suatu konsep-
konsep baru atau konsep yang menjadi tujuan utama dari pembelajaran dapat segera ditemukan
oleh adanya interaksi sosial tersebut.

3. Teori belajar Ausubel

Ausubel (dalam Dahar:1988:137) mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna (meaningful)


jika informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki
peserta didik sehingga peserta didik dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif
yang dimilikinya (Ausubel dalam Dahar:1988:142). Serta menghubung-hubungkan antara informasi
yang akan diperoleh dengan informasi yang telah telah diperolehnya dilain waktu.

Menurut Ausubel, Novak,dan Hanesian ada dua jenis belajar:

a. Belajar bermakna (meaningful learning)

b. Belajar menghafal (rote learning)

Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan
struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar .Belajar bermakna terjadi
bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru dengan konsep yang telah ada sebelumnya.
Bila konsep yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada maka informasi baru tersebut harus
dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseoarang memperoleh informasi baru
dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang ia ketahui
sebelumnya.

Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama
berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan kepada siswa melalui
penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua menyangkut bagaimana siswa dapat
mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Jika siswa hanya mencoba
menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka
terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi
baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna.

Dalam kaitannya dengan kegiatan belajar mengajar, kita sebagai seorang pendidik kita harus bisa
merancang kegiatan pembelajaran yang mampu mengantarkan siswa untuk memperoleh informasi
yang dapat diterima oleh alat-alat kognisinya. Sehingga siswa tidak akan melakukan pembelajaran/
belajar menghafal tetapi belajar yang bermakna bagi dirinya atau belajar yang bisa direspon oleh
alat-alat kognisinya. Penyampaian pelajaran harus selalu mengalami pengembangan dan kolaborasi
antar-antar konsep yang dipelajari.
5. Teori Belajar Konstruktivisme

Teori Konstruktivisme juga merupakan bagian dari teori kognitif. Teori konstruktivisme lahir dari ide
Piaget dan Vygotsky. Belajar menurut teori ini adalah proses untuk membangun pengetahuan
melalui pengalaman nyata di lapangan. Penekanan teori konstruktivisme bukan pada membangun
kualitas kognitif, tetapi lebih pada proses untuk menemukan teori yang dibangun dari realita
lapangan, belajar bukanlah proses teknologisasi (robotisasi) bagi siswa, melainkan proses untuk
membangun penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Konsekuensinya pembelajaran
harus mampu memberikan pangalaman nyata kepada peserta didik. Agar siswa cepat memiliki
pengetahuan, jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas yang ada dalam masyarakat.
Sehingga model pembelajaran yang dilakukan adalah model pembelajaran secara natural. Dalam
teori ini proses belajar tidak hanya menyampaikan materi yang bersifat normative(tekstual) tetapi
harus juga menyampaikan materi yang yang bersifat konstektual.

Peran guru dalam pembelajaran menurut teori konstruktivisme adalah sebagi fasilitator atau
moderator. Artinya guru bukan satu-satunya sumber belajar yang harus selalu ditiru dan segala
ucapan dan tindakannya selalu benar, sedangkan murid adalah sosok manusia yang bodoh, yang
segala ucapan dan tindakannya tidak selalu dapat dipercaya atau salah. Proses pembelajaran yang
seperti ini cenderung menempatkan siswa sebagai sosok manusia yang pasif, statis, dan tidak
memiliki kepekaan dalam memahami persoalan. Posisi siswa dalam pembelajaran menurut teori ini
adalah siswa yang harus aktif, kreatif, dan kritis.

Paul Suparno Sj (dalam M.Saekhan:2008) menyatakan bahwa model pembelajaran dianggap tepat
menurut teori konstruktivisme adalah model pembelajaran yang demokratis dan dialogis.
Pembelajaran harus memberikan ruang kebebasan untuk siswa melakukan kritik, memiliki peluang
yang luas untuk mengungkapkan idea tau gagasannya, guru tidak memiliki jiwa otoriter dan diktator.

Pembelajaran akan efektif jika didasarkan pada empat komponen dasar antara lain(a) pengetahuan
(knowledge) yaitu pembelajaran harus mampu dijadikan sarana untuk tumbuh kembangnya
pengetahuan bagi siswa (b) ketrampilan (skill), pembelajaran harus benar-benar memberikan
ketrampilan bagi siswa baik ketrampilan kognitif, afektif maupun psikomotorik (c) sifat alamiah
(disposisions), proses pembelajaran harus benar-benar berjalan secara alamiah, tanpa adanya
paksaan dan tidak semata-mata rutinitas belaka.(d) Perasaan (feeling), perasaan ini bermakna
perasaan atau emosi atau kepekaan, pembelajaran harus mampu menumbuhkan kepekaan social
terhadap dinamika dan problematika kehidupan masyarakat.

Guru adalah seorang yang bertanggung jawab atas jalannnya suatu proses pembelajaran. Oleh sebab
itu sebagai seorang pendidik harus bisa merancanng suatu pembelajaran yang mampu mengaktifkan
siswanya Serta dalam konteks ini guru harus memiliki kesadaran penuh bahwa guna pembelajaran
adalah untuk siswa bukan untuk gurunya. Sehingga seorang guru pastinya akan memiliki trik-trik
khusus untuk merancang pembelajaran yang bisa membuat siswanya aktif dan selalu antusias untuk
mengikuti pelajaran yang ada

Anda mungkin juga menyukai