Anda di halaman 1dari 26

BAB I PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit heterogen yang memiliki karakterikstik inflamasi kronik saluran
napas 1,2. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak
napas, dada terasa berat dan batuk yang bervariasi dalam hal waktu dan intensitas
disertai variasi hambatan aliran udara ekspirasi 1,2. Asma masih merupakan masalah di
dunia dengan angka kejadian sebanyak 3.000.000 penduduk dengan angka kematian
sebanyak 250.000 penduduk setiap tahunnya 1,2. Prevalensi meningkat dibanyak negara
meskipun beberapa negara telah mengalami penurunan rawat inap dan kematian akibat
asma. Sekitar 300 juta manusia di dunia menderita asma dan diperkirakan akan terus
meningkat hingga mencapai 400 juta pada tahun 2025 2.
Asma merupakan salah satu penyakit saluran napas yang sering dijumpai dalam
kehamilan dan persalinan. Pengaruhnya terhadap kehamilan tidaklah selalu sama pada
setiap penderita, bahkan serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan
berikutnya. Kurang dari sepertiga penderita asma akan membaik dalam kehamilan,
lebih dari sepertiga akan menetap serta kurang dari sepertiga lagi akan menjadi buruk
atau serangan akan bertambah. Eksaserbasi sering terjadi karena faktor infeksi virus
pada saluran napas (34%) dan ketidakpatuhan menggunakan inhalasi kortikosteroid
(29%). Biasanya serangan akan timbul pada umur kehamilan 24 minggu sampai 36
minggu dan pada akhir kehamilan serangan jarang terjadi 2,3.

Di Amerika serikat prevalens asma dalam kehamilan 3,7-8,4% sedangkan di Indonesia


berkisar antara 5-6% dari populasi penduduk 1. Pada kehamilan, asma tidak hanya
mempengaruhi ibu hamil tetapi juga bisa mempengaruhi pasokan oksigen ke janin. Hampir
sekitar 8% ibu hamil memiliki asma. Ibu hamil yang menderita asma terkontrol dengan baik
umumnya memiliki kehamilan normal dengan sedikit atau tidak ada peningkatan risiko pada
kehamilan atau janin mereka 4. Turner dkk dalam suatu penelitian yang melibatkan 1.054
perempuan asma yang hamil menemukan bahwa kehamilan menyebabkan perbaikan asma
pada 29% kasus, menetap pada 49% kasus dan memburuk pada 22% kasus 1,2.

1
Penelitian di RSUP Persahabatan pada tahun 2006, Santi dkk mendapatkan dari 33
perempuan asma yang hamil 63,64% membaik, 3,03% menetap dan 33,33%
memburuk 2. Di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau tahun 2018 didapatkan data
pasien dengan diagnosis asma sebanyak 144 kasus, asma dalam kehamilan
ditemukan sebanyak 9,7 % (14 orang) 5. Pengaruh serangan asma pada ibu dan janin
sangat tergantung frekuensi dan beratnya serangan karena ibu dan janin dapat
mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera diatasi akan memberikan
pengaruh yang buruk yaitu abortus, persalinan prematur, pertumbuhan janin terhambat
dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur kehamilan atau Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) 2,3. Pedoman nasional untuk pengobatan asma dalam kehamilan saat
ini menekankan pengukuran yang objektif dari kontrol, pendidikan pasien, motivasi,
perhatian dan kepatuhan pengobatan 4.

SISTEM PERNAPASAN SELAMA KEHAMILAN

Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernapasan yang disebabkan oleh
faktor mekanis dan perubahan hormonal. Perubahan ini terjadi untuk mencukupi
peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan janin, plasenta dan
uterus. Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas
sebelum hamil akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari 450 menjadi 600 cc
sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi per menit selama kehamilan
antara 19-50%. Peningkatan volume tidal ini di sebabkan oleh efek progesteron
terhadap resistens saluran napas dan dengan meningkatkan sensitifitas pusat
pernapasan terhadap karbondioksida (CO2) 6,7.
Faktor mekanis

Dari faktor mekanis terjadi pendorongan diafragma terutama setelah trimester kedua
kehamilan akibat membesarnya janin yang menyebabkan

2
turunnya kapasitas residu fungsional yang merupakan volume udara yang tidak
digunakan dalam paru sebesar 20%. Selama kehamilan terjadi penurunan resistens
saluran napas sebesar 50%. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan kimia dan gas
darah. Meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan PCO2 menjadi 30 mmHg
sedangkan PO2 tetap berkisar dari
90 sampai 106 mmHg, akibat penurunan PCO2 akan terjadi mekanisme sekunder
ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18 sampai 22 mEq/L sehingga pH
darah tidak mengalami perubahan 6,7,8. Kehamilan juga menghasilkan peningkatan 15%
dalam tingkat metabolisme ibu yang dipenuhi dengan peningkatan 20% dalam
konsumsi oksigen. Bila fungsi paru terganggu karena penyakit paru maka kemampuan
untuk meningkatkan konsumsi oksigen terbatas dan bahkan tidak mencukupi untuk
persalinan normal, sebagai konsekuensi fetal distress dapat terjadi 6,8.
Perubahan hormonal

Keadaan hormonal selama kehamilan sangat berbeda dengan keadaan tidak hamil dan
mengalami perubahan selama perjalanan kehamilan. Perubahan- perubahan ini akan
memberikan pengaruh terhadap fungsi paru. Progesteron tampaknya memberikan
pengaruh awal dengan meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan
3,7
terjadinya hiperventilasi ringan yang disebut sebagai dispnea selama kehamilan .
Selama kehamilan kadar estrogen meningkat dan menyebabkan menurunnya kapasitas
difusi pada jalinan kapiler karena meningkatnya jumlah sekresi asam mukopolisakarida
perikapiler. Estrogen memberikan pengaruh terhadap asma selama kehamilan dengan
menurunkan klirens metabolik glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan kadar
kortisol. Estrogen juga mempotensiasi relaksasi bronkial yang diinduksi oleh
isoproterenol 3,7.
Kadar kortisol bebas pada plasma meningkat selama kehamilan, demikian

pula kadar total kortisol plasma. Peningkatan kadar kortisol ini seharusnya memberikan
perbaikan terhadap keadaan penderita asma tetapi dalam kenyataannya tidak
demikian. Tampaknya beberapa ibu hamil refrakter

3
terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar dalam serum 2-3 kali lipat. Hal
ini disebabkan terjadinya kompetisi pada reseptor glukocortikoid oleh progesteron,
deoksikortikosteron dan aldosteron yang semuanya meningkat selama kehamilan3,7.
Prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama kehamilan terutama menjelang
persalinan aterm. Peningkatan kadar metabolit prostaglandin 2x yang merupakan suatu
bronkokonstriktor kuat dalam serum sebesar 10%-30%. Hal ini tidak selalu
memberikan pengaruh buruk pada penderita asma selama persalinan. Pada jaringan
janin ditemukan histamin dalam konsentrasi tinggi. Sebagai respons terhadap stimulus
ini maka plasenta menghasilkan histaminase diaminoksidase dalam jumlah besar
mencapai 1000 kali lipat dibandingkan perempuan yang tidak hamil 3,7.
PATOFISIOLOGI
Pada asma terdapat penyempitan saluran napas yang disebabkan oleh spasme otot
polos saluran napas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental.
Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi
ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas
ditingkat alveoli. Akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan
asidosis pada tingkat lanjut 7. Peradangan kronik saluran napas pada asma tidak hanya
sebatas inflamasi alergik dengan sel utama sel mast dan sel eosinofil namun juga

merupakan proses imun yang melibatkan respons imun innate dan adaptive 2,9.
Peradangan kronik saluran napas tidak hanya melibatkan sel-sel inflamasi tetapi juga
melibatkan otot polos bronkus dan epitel saluran napas. Proses inflamasi ini juga
melibatkan sel limfosit T, yaitu sel Th1, Th2, Treg (meregulasi respon Th2) dan Th17
(mendorong respon Th2). Konsep imunopatogenesis asma melalui jalur sel Th2 dan
produksi sitokin-sitokinnya terutama IL-4, IL-5 dan IL13 yang menstimulasi proses
inflamasi alergik melalui sel mast, sel limfosit B, sel otot polos dan sel epitel saluran
napas, yang semuanya menghasilkan akumulasi dan aktivasi sel eosinofil, hal ini

4
dapat dilihat gambar 1. Infeksi virus atau bakteri serta pajanan polutan mengakibatkan
sel epitel mengalami perubahan fungsi, melepaskan berbagai mediator inflamasi yang
menimbulkan migrasi sel dendrit menuju mukosa epitelium dan sel dendrit tersebut
mengalami maturasi dan aktivasi, mampu mendeteksi alergen di saluran napas dan
melakukan fungsinya sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell) sehingga terjadi
aktifasi sel Th2 9.

Gambar 1. Perkembangan konsep proses inflamasi pada asma

Dikutip dari(9)

Pada asma dalam kehamilan terjadi perubahan imunologis. Kelompok aktif di dalam sel
T CD4, CD8 dan jumlah sel T Nature Killer (NK) meningkat pada asma tetapi pada
asma dalam kehamilan aktivasi limfosit menurun. Hal ini menyebabkan apoptosis sel
T dan jumlah sel T CD95 terdeteksi lebih tinggi pada ibu hamil. Menurunnya jumlah
sel Treg menyebabkan terganggu respons kekebalan asma dan perubahan pertumbuhan
janin. Tipe sel lain yang terlibat dalam patogenesis asma adalah sel Treg yang

5
menghambat respons inflamasi yang diinduksi oleh sel T efektor CD4+ CD25,
menekan

6
respons Th2 terhadap alergen, dan mencegah eosinofilia saluran napas, hipersekresi
mukus, dan hiperresponsif saluran napas. Berkurangnya jumlah sel Treg, peningkatan
sel Th17, meningkatnya ratio Th17/Treg terlibat dalam patogenesis asma dalam
kehamilan. Dalam kehamilan, jaringan plasenta akan mengadakan kontak langsung
dengan sistem imun maternal. Hal ini disebabkan oleh sel-sel trofoblas akan
menginvasi hingga pembuluh darah maternal 10.

Peningkatan
Jumlah Sel T yang
Gangguan Pertumbuhan

Asma
Kegagalan
menghambat Aktifasi

Proliferasi Sel

Gangguan inhibisi
Proliferasi sel Th17

-Penurunan Jumlah Sel Treg


-Penurunan Perubahan sel Treg selama
Trimester
-Proliferasi Sel Th17

Fetus
Darah Perifer Maternal

Gambar 2. Perubahan imunologi asma dalam kehamilan

Dikutip dari (10)

PENGARUH ASMA PADA KEHAMILAN

Asma pada kehamilan pada umumnya tidak mempengaruhi janin namun serangan
asma berat dan asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan hipoksemia ibu
7
sehingga berefek pada janin. Hipoksia janin terjadi sebelum hipoksia ibu terjadi. Asma
pada kehamilan berdampak penting bagi ibu dan

8
janin selama kehamilan dan persalinan. Dampak yang terjadi dapat berupa kelahiran
prematur, usia kehamilan muda, hipertensi pada kehamilan, abrupsio plasenta,
2,6,11
korioamnionitis, dan seksio sesaria . Asma tidak terkontrol pada kehamilan
menyebabkan komplikasi baik bagi ibu maupun janin. Komplikasi asma pada
kehamilan bagi ibu asma tidak terkontrol dapat menyebabkan stres yang berlebihan bagi
ibu. Komplikasi asma tidak terkontrol bagi ibu termasuk preeklampsia, hipertensi
kehamilan, hiperemesis gravidarum, perdarahan pervaginam dan induksi kehamilan.
Komplikasi ini bergantung pada derajat penyakit asma. Status asmatikus dapat
menyebabkan gagal napas, pneumotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale
akut dan aritmia jantung6,7,11. Kekurangan oksigen ibu ke janin menyebabkan
beberapa masalah kesehatan janin, termasuk kematian perinatal, Intrauterine Growth
Restriction (IUGR) (12 %) yaitu gangguan perkembangan janin dalam rahim
menyebabkan janin lebih kecil dari umur kehamilannya, kehamilan preterm (12 %),
hipoksia neonatal yaitu oksigen tidak adekuat bagi sel-sel dan berat bayi lahir rendah.
Satu studi mencatat kematian janin disebabkan oleh asma berat sebagai akibat episode
wheezing yang tidak terkontrol. Mekanisme penyebab berat bayi lahir rendah pada ibu
hamil dengan asma masih belum diketahui akan tetapi terdapat beberapa faktor yang
mendukung seperti perubahan fungsi plasenta, derajat berat asma dan terapi asma11,12.
PENGARUH KEHAMILAN PADA ASMA

Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita tidaklah
sama bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada kehamilan
pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai usai
kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu dan akan berkurang pada akhir kehamilan.
Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner dkk dalam suatu penelitian
yang melibatkan 1054 ibu hamil yang menderita asma menemukan bahwa 29% kasus
membaik dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti sebelum terjadinya
kehamilan,

9
dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar 60% ibu
hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya dengan baik
dan 10% akan mengalami eksaserbasi pada persalinan 2,3.
DIAGNOSIS

Banyak pasien dengan asma pada kehamilan sudah memiliki diagnosis asma sebelum
hamil. Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan gejala yang khas yang meliputi mengi,
sesak napas, batuk, dan dada terasa berat. Gejala ini cenderung episodik atau
setidaknya intensitasnya berfluktuasi dan biasanya memburuk pada malam hari.
Idealnya diagnosis asma akan dikonfirmasi dengan menunjukkan obstruksi jalan napas
pada spirometri yang setidaknya sebagian reversibel (> 12% peningkatan Volume
Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) setelah bronkodilator). Perbedaan yang paling
umum dalam diagnosis adalah dyspnea kehamilan yang dapat terjadi pada awal
kehamilan sekitar 70% perempuan hamil. Evaluasi klinis meliputi penilaian subjektif
dan tes fungsi paru. Pada pasien yang tidak menggunakan terapi pengontrol hal ini
berguna untuk menilai klasifikasi keparahan. Pada pasien yang memakai terapi
pengontrol hal ini berguna untuk menilai kontrol. Menilai keparahan atau pengendalian
asma melibatkan frekuensi gejala siang hari, gejala malam hari, batasan aktivitas,
frekuensi terapi pengontrol dan VEP1. Ibu hamil dengan asma harus diikuti
perjalanan penyakit selama kehamilan sehingga setiap perubahan dapat disesuaikan
dengan perubahan yang tepat dalam terapi. Demonstrasi terjadinya penurunan VEP1
atau rasio VEP1 dan Kapasitas Vital Paksa (KVP) atau terjadinya peningkatan VEP1
>12% setelah pemberian inhalasi albuterol menegaskan diagnosis asma pada kehamilan
13
.
Pengujian metakolin yang digunakan untuk mengkonfirmasi hiperreaktivitas

bronkus pada pasien dengan fungsi paru normal merupakan kontraindikasi selama
kehamilan karena kurangnya data keselamatan pengujian pada pasien hamil. Dengan
demikian, perempuan dengan gambaran klinis yang konsisten dengan tidak
dikonfirmasi atas dasar pengujian untuk reversibilitas

1
0
dari penurunan fungsi paru harus dirawat sampai pengujian metakolin dapat dilakukan.
Inhalasi nitrat oksida belum diteliti sebagai diagnostik ukuran asma pada ibu hamil.
Pasien dengan asma persisten yang sebelumnya telah diuji untuk alergi harus menjalani
tes darah untuk antibodi IgE spesifik terhadap alergen seperti tungau debu, kecoa,
spora jamur dan hewan peliharaan. Tes kulit umumnya tidak dianjurkan selama
kehamilan karena pengujian kulit dengan antigen potensial dapat dikaitkan dengan
reaksi sistemik 13,14.
Kontrol asma harus dinilai menurut frekuensi dan keparahan gejala, frekuensi
penggunaan terapi, riwayat eksaserbasi yang membutuhkan penggunaan kortikosteroid
sistemik dan hasil tes fungsi paru. Spirometri adalah metode yang disukai menilai
fungsi paru, namun pengukuran aliran puncak dapat dijadikan alternatif. VEP1 dan laju
aliran puncak tidak berubah secara substansial sebagai akibat dari kehamilan sehingga
langkah-langkah ini dapat digunakan untuk menilai kontrol asma pada pasien yang
sedang hamil seperti pada pasien yang tidak hamil. Pasien yang memiliki asma yang
terkontrol dengan baik dan tidak menerima obat pengontrol dapat diklasifikasikan
sebagai asma intermiten 14.
Tabel 1. Penilaian kontrol asma pada ibu hamil

Asma terkontrol Asma sangat tidak


Variabel Asma terkontrol
terkontrol
sebagian

Gejala harian < 2 hari/minggu > 2 hari/minggu Setiap hari Gejala


malam < 2 kali/bulan 1-3 kali/minggu > 4 kali/minggu
Keterbatasan aktivitas Tidak ada Kadang-kadang Sangat terbatas
Penggunaan
SABA pengontrol < 2 hari/minggu > 2 hari/minggu Beberapa kali/hari
gejala

1
1
VEP1 atau APE > 80 % 60-80 % < 60 %

Penggunaan 0-1 dalam 12 > 2 kali dalam 12 bulan terakhir

1
2
kortikostreoid
sistemik bulan terakhir

Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan derajat beratnya asma pada ibu hamil

VEP1
Derajat asma Gejala harian Gejala malam Keterbatasa n
atau
aktivitas
APE

Intermitten < 2 hari/minggu < 2 kali/bulan Tidak ada > 80%

> 2 hari/minggu,
Persisten tetapi tidak setiap > 2 kali/minggu Sedikit
> 80%
ringan hari terbatas

Persisten
sedang Setiap hari > 1 kali/minggu Terbatas 60-80%

Sangat
Persisten berat Terus menerus > 4 kali/minggu
< 60%
terbatas

10
TATALAKSANA

Penatalaksanaan asma selama kehamilan membutuhkan pendekatan kooperatif antara


dokter kandungan, bidan, dokter paru serta perawat yang khusus menangani asma dan
ibu hamil itu sendiri. Tujuan dan terapi pada prinsipnya sama dengan pada penderita
asma yang tidak hamil namun kebanyakan ibu hamil dengan asma menghentikan
pengobatan. Kurangnya kepatuhan dalam menggunakan obat serta infeksi virus sering
menjadi pencetus serangan. Prinsip dasar pengobatan adalah memberikan terapi
optimal sehingga dapat mempertahankan asma terkontrol yang bertujuan
mempertahankan kesehatan dan kualitas hidup ibu serta pertumbuhan janin yang
normal selamakehamilan 2.
Tujuan utama pengobatan asma selama kehamilan adalah untuk mencegah

11
eksaserbasi akut, episode hipoksia pada ibu sehingga oksigenasi janin tetap terjaga.
Pemberian pengobatan yang optimal serta menghindari penggunaan obat yang berlebihan
guna menjadikan asma terkontrol dengan indikasi yang jelas dan aman bagi janin 2. Pada
survei yang dilakukan di Australia tahun 2009, 19% ibu hamil menggunakan pencegah untuk
pengobatan asma pada kehamilan, 57% dilaporkan penggunaan obat pereda saja dan 24%
tidak menggunakan obat 16. Sebuah penelitian di Amerika Serikat tahun 2007 dilaporkan ibu
hamil yang menderita asma hanya 63% yang menggunakan obat asma, sekitar seperempat
dari ibu hamil ini menggunakan Inhaled Corticosteroid (ICS) dan 4% menggunakan
kombinasi ICS dan Long Acting β2 Agonis (LABA) 17
. Sebuah penelitian di Korea
menganalisis data dari 2009 hingga 2013 menemukan bahwa ICS digunakan oleh 15% ibu
hamil dengan asma, dan ICS / LABA oleh 10,5% 18.

Ketidakpatuhan terhadap penggunaan obat ICS telah diuraikan dalam banyak penelitian
pada ibu hamil dengan asma. Sebuah studi kecil di Turki dari 32 ibu hamil dengan asma
lebih dari separuh perempuan (56%) adalah pengguna obat asma yang tidak teratur
selama kehamilan yang tidak berbeda secara signifikan dengan pra-kehamilan (68%).
Selama kehamilan 52% ibu hamil menggunakan ICS sementara 22% tidak
menggunakan obat apa pun untuk asma saat hamil. Eksaserbasi di antara populasi
penelitian ini tinggi dengan 13% dirawat di rumah sakit, 22% menerima Oral
Corticosteroid (OCS) dan 47% memiliki kunjungan darurat selama kehamilan19.

Powell dkk menemukan bahwa ibu hamil menetapkan risiko minimal terhadap Short
Acting β2 Agonis (SABA) seperti salbutamol dengan risiko lebih besar untuk ICS dan
OCS. Ini diterjemahkan menjadi penurunan penggunaan obat asma terutama pada awal
kehamilan dilaporkan penurunan 13% dalam penggunaan SABA, penurunan 23%
pada penggunaan ICS dan penurunan 54% pada penggunaan OCS pada trimester
pertama dibandingkan dengan 20 minggu sebelum kehamilan 20. Data baru-baru ini telah
diterbitkan

12
dari Xolair Pregnancy Registry, sebuah studi prospektif tentang hasil di antara 160 bayi yang
ibunya menggunakan obat anti-IgE omalizumab selama kehamilan. Omalizumab
digunakan pada pasien dengan asma sedang-berat yang tidak cukup terkontrol dengan ICS.
Mayoritas ibu hamil yang dipantau dalam penelitian ini terpapar omalizumab selama
trimester pertama dengan total durasi rata-rata paparan selama kehamilan 8,8 bulan. Bayi
dilahirkan pada usia kehamilan rata-rata 38,3 minggu, tingkat prematuritas (14,5%), kecil
untuk usia kehamilan (10,9%) dan berat lahir rendah (3,2%). Malformasi kongenital
dilaporkan pada 20 bayi, di antaranya tujuh dianggap malformasi mayor 21.

Penatalaksaan asma kronis pada kehamilan


Penilaian obyektif fungsi paru dan kesejahteraan janin yaitu mengukur Peak Expiratory
Flow Rate (PEFR) 2 kali sehari dengan target 380 – 550 liter/menit. Tiap pasien memiliki
15
nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat disesuaikan . Mengenali serta
menghindari faktor pencetus asma dapat meningkatkan kesejahteraan ibu dengan
kebutuhan medikasi yang minimal. Asma dapat dicetuskan oleh berbagai faktor
termasuk alergi, infeksi saluran napas atas, sinusitis, exercise, aspirin, obat anti inflamasi
non steroid (OAINS) dan factor pencetus iritan seperti: asap rokok, asap kimiawi,
kelembaban dan emosi. Di samping itu, pencetus tersering serangan asma termasuk
serbuk/tepung, tungau, kecoa, jamur, bulu hewan, makanan, dan hormon 12.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) dikenal sebagai pencetus asma dan terjadi
pada hampir 1/3 ibu hamil. Asma yang dicetuskan oleh GERD dapat disebabkan oleh
aspirasi isi lambung ke dalam paru sehingga menyebabkan bronkospasme maupun
aktivasi arkus reflex vagal dari esofagus ke paru sehingga menyebabkan
bronkokonstriksi. Ibu hamil perokok harus berhenti merokok dan menghindari paparan
asap tembakau serta iritan lain di sekitarnya. Ibu hamil yang merokok berhubungan
dengan peningkatan risiko wheezing dan kejadian asma pada anaknya. Mengontrol
asma selama

13
kehamilan penting bagi kesejahteraan janin. Ibu hamil harus
mampu mengenali dan mengobati tanda-tanda asma yang memburuk agar mencegah
hipoksia ibu dan janin. Ibu hamil harus mengerti cara mengurangi paparan agar dapat
mengendalikan faktor-faktor pencetus asma 12.

Terapi farmakologi selama kehamilan


Kelompok kerja National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP)
merekomendasikan prinsip serta pendekatan terapi farmakologis dalam
penatalaksanaan asma pada kehamilan dan laktasi. Prednison, teofilin, antihistamin,
kortikosteroid inhalasi, β2 agonis dan kromolin bukan merupakan kontraindikasi
pada penderita asma yang hamil dan menyusui. Rekomendasi penatalaksanaan asma
selama laktasi sama dengan penatalaksanaan asma selama kehamilan. Terapi asma
modern dengan teofilin, kortikostreoid dan beta agonis menurunkan risiko komplikasi
kehamilan menjadi rendah baik pada ibu maupun janin. Farmakoterapi tidak boleh
bersifat teratogenik pada janin atau berbahaya pada ibu. Penggunaan beta agonis seperti
metaproterenol dan albuterol dapat digunakan pada pengobatan darurat pada asma
berat dalam kehamilan tetapi penggunaan jangka panjang seharusnya dihindari pada
kehamilan muda 15.
Tahap 1: Asma Intermitten
Bronkodilator kerja singkat terutama β2 agonis inhalasi direkomendasikan sebagai
pengobatan pelega cepat untuk mengobati gejala pada asma intermiten. Aksi utama β2
agonis adalah untuk merelaksasikan otot polos jalan napas dengan menstimulus β2
reseptor sehingga meningkatkan siklik AMP dan menyebabkan bronkodilatasi.
Salbutamol adalah β2 agonis inhalasi yang memiliki profil keamanan baik. Belum
terdapat data yang membuktikan kejadian cedera janin pada penggunaan β2 agonis
inhalasi kerja singkat maupun kontra indikasi selama menyusui 2,15.
Tahap 2 : Asma Persisten Ringan
Terapi yang dianjurkan untuk pengobatan kontrol jangka lama pada asma

14
persisten ringan adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah. Kortikosteroid merupakan
terapi preventif dan bekerja luas pada proses inflamasi. Efek klinisnya ialah mengurangi
gejala beratnya serangan, perbaikan arus puncak ekspirasi dan spirometri, mengurangi
hiperresponsif jalan napas, mencegah serangan dan mencegah remodeling dinding
jalan napas. Kortikosteroid mencegah pelepasan sitokin, pengangkutan eosinofil
jalan napas dan pelepasan mediator inflamasi. Kortikosteroid inhalasi mencegah
eksaserbasi asma dalam kehamilan dan merupakan terapi profilaksis pilihan.
Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, budesonid lebih banyak
digunakan pada ibu hamil. Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa penggunaan
kortikosteroid inhalasi selain budesonid tidak aman selama kehamilan. Oleh
karenanya, kortikosteroid inhalasi selain budesonid juga dapat diteruskan pada pasien
yang sudah terkontrol dengan baik sebelum kehamilan terutama bila terdapat dugaan
perubahan formulasi dapat membahayakan asma yang terkontrol 2,15.
Kromolin sodium memiliki toleransi dan profil keamanan yang baik, tetapi
kurang efektif dalam mengurangi manifestasi asma baik secara objektif maupun
subjektif bila dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi. Kromolin sodium memiliki
kemampuan anti inflamasi, mekanismenya berhubungan dengan blokade saluran
klorida. Kromolin ialah suatu terapi alternatif, bukan terapi yang dianjurkan bagi asma
persisten ringan. Antagonis reseptor leukotrien (montelukast dan zafirlukast)
digunakan untuk mempertahankan terapi terkontrol pada pasien asma sebelum hamil.
Menurut opini kelompok kerja NAEPP, saat memulai terapi baru untuk asma
pada kehamilan, antagonis reseptor leukotriene merupakan terapi alternatif dan tidak
dianjurkan sebagai terapi pilihan bagi asma persisten ringan 15.
Tahap 3 : Asma Persisten Sedang
Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan β2
agonis inhalasi kerja lama atau meningkatkan dosis kortikosteroid inhalasi sampai
dosis medium. Data yang menunjukkan keefektifan dan atau

15
keamanan penggunaan kombinasi terapi ini selama kehamilan sangat terbatas tetapi
menurut data uji coba kontrol acak pada orang dewasa tidak hamil menunjukkan bahwa
penambahan β2 agonis inhalasi kerja lama pada kortikosteroid inhalasi dosis rendah
menghasilkan asma yang lebih terkontrol daripada hanya meningkatkan dosis
kortikosteroid. Profil farmakologi dan toksikologi β2 agonis inhalasi kerja lama dan
singkat hampir sama, terdapat justifikasi bahwa β2 agonis inhalasi kerja lama memiliki
profil keamanan yang sama dengan salbutamol dan β2 agonis inhalasi kerja lama aman
digunakan selama kehamilan. Contoh β2 agonis inhalasi kerja lama adalah salmeterol
dan formoterol 2,15.
Tahap 4 : Asma Persisten Berat
Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai tetapi masih membutuhkan
tambahan terapi, maka dosis kortikosteroid inhalasi harus dinaikkan sampai batas dosis
tinggi. Jika cara ini gagal dalam mengatasi gejala asma, maka dianjurkan untuk
2,15
penambahan kortikosteroid sistemik . Kortikosteroid oral selama kehamilan
meningkatkan resiko preeklampsia, kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah.
Bagaimanapun juga, mengingat pengaruh serangan asma berat bagi ibu dan janin,
penggunaan kortikosteroid oral tetap diindikasikan secara klinis selama kehamilan 12,15.
Selama kehamilan, penggunaan prednison untuk mengontrol gejala asma penting
diberikan bila terdapat kemungkinan terjadinya hipoksemia ibu dan janin. Prednisolon
dimetabolisme sangat rendah oleh plasenta (10%). Beberapa studi menyebutkan tidak
ada peningkatan risiko aborsi, bayi lahir mati, kelainan kongenital, reaksi penolakan janin
12,15
ataupun kematian neonatus yang disebabkan pengobatan ibu dengan steroid .
Penggunaan teofilin selama kehamilan membutuhkan dosis titrasi yang hati-hati serta
pemantauan ketat untuk mempertahankan konsentrasi teofilin serum 5 – 12 mcg/mL
2,15
.
Tabel 3. Tatalaksana asma pada kehamilan dan menyusui
Klasifikasi Terapi

16
Asma

Intermiten Tidak ada terapi rutin, jika terjadi eksaserbasi berat dapat diberikan
kortikosteroid sistemik

Persisten Inhalasi kortikosteroid dosis rendah


ringan
Terapi alternatif: kromolin, antileukotrien, teofilin lepas lambat

Inhalasi kortikosteroid dosis rendah dan beta 2 agonis kerja lama


Persisten
atau
sedang
Inhalasi kortikosteroid dosis sedang, jika perlu ditambah beta 2
agonis kerjalama

Terapi alternatif: Inhalasi kortikosteroid dosis rendah dan teofilin


atau antileukotrien jika perlu Inhalasi kortikosteroid dosis sedang dan
teofilin atau antileukotrien

Persisten berat Inhalasi kortikosteroid dosis tinggi dan

Inhalasi beta 2 agonis kerja lama dan jika perlu


kortikosteroid oral 2 mg/kgBB/hari maksimal 60 mg/hari

Terapi alternatif: Inhalasi kortikosteroid dosis tinggi dan teofilin lepas


lambat dengan kadar serum 5-12 µg/ml

Penatalaksaan asma akut pada kehamilan


Eksaserbasi asma adalah masalah klinis yang signifikan terjadi selama kehamilan.
Hingga 45% ibu hamil dengan asma memiliki eksaserbasi sedang- berat yang
memerlukan intervensi medis selama kehamilan. Penanganan asma akut pada
kehamilan sama dengan keadaan tidak hamil, tetapi hospitality threshold lebih rendah.
Dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi intravena, pemberian masker oksigen,
pemeriksaan analisis gas darah, pengukuran VEP1, APE (Arus Puncak Ekspirasi),
pulse oximetry, dan fetal monitoring 6. Penanganan lini pertama adalah β adrenergic
agonis (sub-kutan, oral, inhalasi) loading dose 4 – 6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan
dosis 0,8

17
– 1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma sebesar
10 – 20 μg/ml dan metilprednisolon 40- 60 mg I.V. tiap 6 jam. Terapi selanjutnya
bergantung pada pemantauan respons hasil terapi 2.
Asma berat yang tidak berespons terhadap terapi dalam 30 – 60 menit dimasukkan
dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif, di ICU dan intubasi dini serta
penggunaan ventilasi mekanik pada keadaan kelelahan, retensi CO2 dan hipoksemia
akan memperbaiki morbiditas dan mortalitas 2. Walaupun obat asma yang telah diteliti
tidak memiliki efek teratogenik atau efek yang dapat menimbulkan kecacatan kepada
bayi, akan tetapi seorang ibu hamil harus tetap memperhatikan jenis obat-obatan yang
akan dikonsumsinya. Food and Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat
membuat sitem klasifikasi obat yang membantu dalam memahami risk- benefit ratio
sebuah obat sesuai kategori klasifikasinya 22.
Tabel 4. Kategori obat berdasarkan klasifikasi FDA
obat Keterangan
Kategori

A Golongan obat yang pada studi (terkontrol) dengan kehamilan tidak


menunjukkan resiko bagi janin pada trimester 1 dan trimester
berikutnya. Obat dalam kategori ini kecil kemungkinan pengaruhnya
terhadap janin.

B Golongan obat yang pada studi terhadap sistem reproduksi binatang


percobaan tidak menunjukkan resiko bagi janin. Belum ada studi
terkontrol pada ibu hamil yang menunjukkan adanya efek samping
kecuali adanya penurunan fertilitas pada kehamilan trimester pertama,
sedangkan pada trimester berikutnya tidak didapatkan bukti adanya
resiko.

C Golongan obat yang pada studi terhadap sistem reproduksi binatang


percobaan menunjukkan adanya efek samping bagi janin. Sedangkan
pada ibu hamil belum ada studi terkontrol. Obat golongan ini hanya
dapat dipergunakan jika manfaatnya lebih besar dibandingkan risiko
yang mungkin terjadi pada janin.

18
D Golongan obat yang menunjukkan adanya risiko bagi janin. Pada
keadaan khusus obat ini digunakan jika manfaatnya kemungkinan
lebih besar dibanding risikonya. Penggunaan obat golongan ini
terutama untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa atau jika
tidak ada obat lain yang lebih aman.

X Golongan obat yang pada studi terhadap binatang percobaan maupun


pada manusia menunjukkan bukti adanya risiko bagi janin. Obat
golongan ini tidak boleh dipergunakan (kontra indikasi) untuk ibu
hamil atau kemungkinan dalam keadaan hamil.

Tabel 5. Obat asma berdasarkan kategori FDA


Obat Kategori

Kortikosteroid inhalasi

 Budesonide B

 Beclomethasone C

 Fluticasone C

LABA

 Salmeterol C

 Formoterol C

Leukotriene inhibitors

 Montelukast B

 Zafirlukast B

Kromolin B

Kortikosteroid sistemik

 Dexamethasone C

19
 Hydrocortisone C

 Methylprednisolone C

 Prednisone C

SABA

 Albuterol C

 Terbutaline C

Teofilin C

KESIMPULAN
1. Asma merupakan salah satu penyakit saluran napas yang sering dijumpai dalam
kehamilan
2. Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernapasan yang
disebabkan oleh faktor mekanis dan perubahan hormonal.
3. Banyak pasien dengan asma pada kehamilan sudah memiliki diagnosis asma
sebelum hamil. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang khas yang
meliputi mengi, sesak napas, batuk dan dada terasa berat.
4. Penatalaksanaan asma selama kehamilan membutuhkan pendekatan kooperatif
antara dokter kandungan, bidan, dokter paru serta perawat yang khusus
menangani asma dan ibu hamil.
5. Prinsip dasar pengobatan asma dalam kehamilan sama dengan penderita asma
yang tidak hamil dan memberikan terapi optimal sehingga dapat
mempertahankan asma terkontrol.
6. Asma tidak terkontrol pada kehamilan menyebabkan komplikasi baik bagi ibu
maupun janin

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma (GINA). Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. Update 2018 P.68-69.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 2018 P. 137-
142.
3. Murphy VE. Managing Asthma in Pregnancy. Breathe 2015; 11: 258- 267.
4. Barman RC, Alam MT, Hossain AM, Ahmed S, Fattah SA, Yusuf M.
Treating Asthma in Pregnancy. Faridpur Med Coll. J. 2013; 8: 85-91.
5. Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad. Electronic data processing.
Available from : http://rsudarifinachmad.riau.go.id (diunduh 8 April 2019).
6. Diego J, Maselli, Sandra G, Adams, Jay I, Peters et al. Management of asthma
during pregnancy. Ther Adv Respir Dis. 2013; 7: 87-100
7. Cuningham F, Leveno K, Bloom S, Dashe J, Hoffman B, Casey B et al.

20
Pulmonary Disorders. Williams Obstetrics 24th edition. USA: McGraw-
Hill;2014. P. 1011-16.
8. Abbey J, Fairbanks H, Baker R. Asthma in Pregnancy: Pathophysiology,
Diagnosis and Management. Obstet Gynecol Clin N Am. 2010; 37: 159- 72.
9. Holgate ST. Asthma: a simple concept but in reality a complex disease.
Eur J Clin Invest. 2011; 41: 1339-52.
10. Tamasi L, Schatz M, Losonczy G. Asthma in Pregnancy: immunology,
diagnosis and treatment. J Med Resp. 2011; 105: 159-64.
11. Murphy VE, Namazy JA, Powell H. Severity of asthma in pregnancy
affects perinatal outcomes. BJOG 2012; 119: 508-9.
12. Ali Z, Hansen A, Ulrik S. Impact on pregnancy complications and
outcome. J Obst Gyn. 2015; 6: 53-9.
13. Namazy JA, Schatz M. Pregnancy and Asthma. J Allergy Clin Immunol.
2011; 128; 1384-5.
14. Schatz M, Dombrowski MP. Asthma morbidity during pregnancy can be
predicted by severity classification. J Allergy Clin Immunol. 2003; 112:283-8.
15. National Asthma Education and Prevention Program. Expert panel report 3:
guidelines for the diagnosis and management of asthma: full report 2007.
16. Sawicki E, Stewart K, Wong S. Management of asthma by pregnant women
attending an Australian maternity hos¬pital. J Obstet Gynaecol. 2012; 52:183-8
17. Hansen C, Joski P, Freiman HC. Medication exposure in pregnancy risk
evaluation program: the prevalence of asthma medication use during
pregnancy. Matern Child Health J. 2013; 17: 1611-21.
18. Kim S, Kim J, Park SY. Effect of pregnancy in asthma on health care use and
perinatal outcomes. J Allergy Clin Immu¬nol. 2015; 136: 302-6.
19. Yilmaz I, Erkekol FO, Celen S. Does drug compli¬ance change in

21
asthmatic patients during pregnancy? Multi¬discip Respir Med.2013; 8: 38-42.
20. Powell H, Caffery K, Murphy VE. Psychosocial out¬comes are related to
asthma control and quality of life in preg¬nant women with asthma. J Asthma
2011; 48: 1032-39.
21. Namazy JA, Cabana MD, Scheuerle AE. The Xolair Pregnancy Registry: the
safety of omali¬zumab use during pregnancy. J Allergy Clin Immunol. 2015;
135: 407-12.
22. Joan C, Gluck M, Paul A. Asthma controller therapy during pregnancy.
Am J Obstet Gynaecol. 2005; 192: 369-80.

22

Anda mungkin juga menyukai