Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus
auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. sembilan puluh persen (90%) terletak pada
rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon bahkan seluruh usus (Total Colonic
Aganglionois (TCA)). Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan
peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang
berlebihan pada kolon yang lebih proksimal.
Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch
pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang
mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886. Namun patofisiologi terjadinya
penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan
menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan
peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion.
Pada tahun 1888 Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan perut
gembung oleh kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses. Penyakit ini disebut
megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang tersering dijumpai sebagai penyebab
obstruksi usus pada neonatus. Pada penyakit ini pleksus mienterikus tidak ada, sehingga
bagian usus yang bersangkutan tidak dapat mengembang.
HD terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi penyakit Hirschsprung di
Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup.
Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono
mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta.
Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa decade ini dapat dikurangi dengan
peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik pembedahan dan
diagnosis dan penatalaksanaan HD dengan enterokolitis

1
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

1. Identitas Pasien
Nama : An. F
Umur : 4 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kp. Jati Baru
Berat Badan : 11 kg
Tanggal masuk RS : 9 April 2019
Tanggal pemeriksaan : 11 April 2019

2. Identitas Orang Tua


Ayah
Nama : Tn. S
Umur : 41 tahun
Alamat : Kp. Jati Baru
Pekerjaan : Karyawan swasta
Hubungan dengan orang tua : Anak kandung

Ibu
Nama : Ny. M
Umur : 38 tahun
Alamat : Kp. Jati Baru
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Hubungan dengan orang tua : Anak kandung

2
II. ANAMNESIS
Diambil dari : Alloanamnesis dengan ibu pasien
Tanggal : 11 April 2019
Tempat : PICU

1. Keluhan utama :
Ibu pasien mengatakan pasien sulit buang air besar sejak usia 7 bulan

2. Keluhan Tambahan :
Perut membuncit, berat badan tidak naik

3. Riwayat Penyakit Sekarang :


Ibu pasien mengeluhkan anaknya sulit buang air besar sejak pasien berusia 7 bulan.
Setiap buang air besar pasien selalu berkeringat dikarenakan buang air besarnya sulit.
Ibu pasien mengatakan, feses pasien berbentuk bulat-bulat, berukuran kecil, berwarna
coklat kehitaman dan darah (-). Ibu pasien sudah memberikan makanan yang
mengandung serat, seperti buah-buahan dan sayuran, tetapi pasien masih sulit untuk
buang air besar. Ibu pasien juga mengatakan perut anaknya semakin lama semakin
membuncit. Berat badan pasien juga tidak meningkat, walaupun nafsu makan pasien
baik. Pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri perut, muntah, diare maupun demam.

4. Riwayat Penyakit Dahulu :


Tidak ada riwayat penyakit seperti ini sebelumnya

5. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada riwayat penyakit seperti pasien pada keluarga

6. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :


Pasien lahir spontan, cukup bulan, dibantu oleh Bidan.
Berat lahir : 3.500 gram
Ibu pasien menyangkal menggunakan obat-obatan saat kehamilan.

3
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sadang
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Frekuensi nadi : 102 x/menit
 Frekuensi napas : 23 x/menit
 Suhu : 36,0°C

B. Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normochepale, rambut hitam, rambut tidak mudah dicabut
Mata : Pupil bulat, isokor, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Simetris kanan-kiri, sekret (-/-)
Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), sekret (-)
Mulut : Bibir tidak kering, Sianosis (-)
Leher : Trakea letak normal, pembesaran KGB (-)
Thorax
Inspeksi : Simetris bilateral saat statis dan dinamis
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+), wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ 1 & 2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak distensi abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (-), batas hepar normal, massa (-)
Perkusi : Hipertimpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) lemah
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”, edema -/-, sianosis -/-

4
C. Status Lokalis
Tampak distensi abdomen, nyeri tekan (-), massa (-), hipertimpani di seluruh lapang
abdomen, bising usus (+) melemah.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium darah (09 April 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 11,3 g/dL 10,7-14,7
Hematokrit 32 % 31,0-43,0
Eritrosit 4,76 106/uL 3,70-5,70
MCV 66 fL 72-88
MCH 24 pg/mL 23-31
MCHC 36 g/dL 32-36
Trombosit 400 103/dL 150-450
Leukosit 14,2 103/dL 5,00-14,50
Basofil 0 % 0,0-1.0
Eosinofil 6 % 1,0-6,0
Neutrofil 44 % 50-70
Limfosit 42 % 20-40
Monosit 8 % 2-9
LED 5 mm/jam <15
GDS 123 mg/dL 80-170
Natrium 135 mmol/L 135-145
Kalium 3,1 mmol/L 3,4-4,4
Klorida 112 mmol/L 96-106

5
2. Rongent Toraks (02 Januari 2019)

Kesan: Cor dan pulmo dalam batas normal.

3. Barium Enema (27 Desember 2018)

6
4. CT Scan Abdomen (01 Desember 2018)

Kesan: Dilatasi usus dan gaster disebabkan penyempitan anorektal junction curiga
Hirscprung disease (?).

5. Patologi Anatomi (18 Februari 2019)


Kesimpulan: Histologik menunjukkan jaringan mukosa usus dengan peradangan
kronik ringan. Adanya ganglion pada lapisan submukosa dan intermuskularis belum
dapat ditentukan.

V. Diagnosis Kerja
Hirschprung Disease

VI. Penatalaksanaan
IVFD RL 14 TPM
Ceftriaxon 1×500 mg

7
VII. Prognosis
 Ad vitam : ad bonam
 Ad functionam : ad bonam
 Ad sanationam : ad bonam

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Kelainan kongenital berupa tidak adanya ganglion parasimpatis pada lapisan submucosal
(Meissner) maupun lapisan muskularis (Auerbach) pada kolon. Penyakit ini disebut juga
megakolon kongenital.
Tidak terdapatnya ganglion Meissner dan Auerbach mengakibatkan usus yang
bersangkutan tidak dapat bekerja normal. Peristaltik tidak mempunyai daya dorong, sehingga
usus yang bersangkutan tidak ikut dalam proses evakuasi feses ataupun udara. Gambaran
klinis penderita tampak sebagai gangguan pasase usus.

2.2 ETIOLOGI
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf parasimpatis
myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu tidak ditemukan dimulai
dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.
a) Ketiadaan sel-sel ganglion
Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus
myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk
Hirschsprung’s disease. Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa hal ini
disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest vagal servikal dari
esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan. Teori terbaru mengajukan
bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun gagal unutk berkembang menjadi ganglia
dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka mengalami hambatan sewaktu bermigrasi atau
mengalami kerusakan karena elemen-elemen didalam lingkungn mikro dalam dinding
usus. Faktor-faktor yang dapat mengganggu migrasi, proliferasi, differensiasi, dan
kolonisasi dari sel-sel ini mingkin terletak pada genetik, immunologis, vascular, atau
mekanisme lainnya.
b) Mutasi pada RET Proto-oncogene
Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11.2,
telah ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprung’s disease segmen panjang dan
familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat molekular
yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. Gen lainnya
yang rentan untuk Hirschsprung’s disease adalah endothelin-B receptor gene

9
(EDNRB) yang berlokasi pada kromososm 13q22. sinyal darigen ini diperlukan untuk
perkembangan dan pematangan sel-sel neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi
pada gen ini paling sering ditemukan pada penyakit non-familial dan short-segment.
Endothelian-3 gene baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang rentan juga. Defek
dari mutasi genetik ini adalah mengganggu atau menghambat pensinyalan yang
penting untuk perklembangan normal dari sistem saraf enterik. Mutasi pada proto-
oncogene RET adalah diwariskan dengan pola dominan autosom dengan 50-70%
penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus familial dan pada hanya 15-20%
kasus spordis. Mutasi pada gen EDNRB diwariskan dengan pola pseudodominan dan
ditemukan hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang sporadis.
c) Kelainan dalam lingkungan
Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi
sel-sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan bermakna dari
antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah terbukti terdapat pada
segmen aganglionik dari usus pasien dengan Hirschsprung’s disease, namun tidak
ditemukan pada usus dengan ganglionik normal pada kontrol, mengajukan suatu
mekanisme autoimun pada perkembangan penyakit ini.
d) Matriks Protein Ekstraseluler
Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan
pergerkan dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan kolagen
tipe IV yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus aganglionik.
Perubahan dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat mencegah migrasi sel-sel
normal neural crest dan memiliki peranan dalam etiologi dari Hirschsprung’s disease.

2.3 EPIDEMIOLOGI
Insidens penyakit hirschsprung di Amerika serikat adalah 1 dari 5000 kelahiran. Laki-laki
lebih banyak dengan perbandingan 4:1. Tidak terdapat distribuasi rasial, tetapi ditemukan
pada angka yang lebih tinggi pada negara federal micronesia yaitu 1 dari 3000 kelahiran.
Hampir semua penyakit ini didignosis dalam 2 tahun pertama kehidupan.
Di Indonesia insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar
1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat
kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit
Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap
tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta.
10
2.4 PATOFISIOLOGI
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon dan sphincter
anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang abnormal akan mengalami
kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang normal akan mengalami dilatasi di
bagian proksimalnya. Bagian aganglionik selalu terdapat dibagian distal rectum.
Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive dan abnormalitas
atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan aganglionosis,
hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar.

Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis. Area tersebut
dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel
ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari
jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus berkurang 50% dari normal.
Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai
seluruh colon.
Imaturitas dari sel ganglion
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan pemeriksaan LDH
(laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki sitoplasma yang dapat menghasilkan
dehidrogenase. Sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwann’s dan sel saraf
lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi
succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah pada minggu pertama kehidupan.
Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh reaksi SDH yang memerlukan waktu
pematangan penuh selama 2 sampai 4 tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas
dan hipoganglionosis.

11
Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari vaskular atau
nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah infeksi Trypanosoma cruzi
(penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan
iskemik pada sel ganglion karena aliran darah yang inadekuat, aliran darah pada segmen
tersebut, akibat tindakan pull through secara Swenson, Duhamel, atau Soave.

2.5 GEJALA KLINIS


Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala
klinis mulai terlihat:
(1). Periode Neonatal.
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang
terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih
dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan. Swenson mencatat angka 94%
dari pengamatan terhadap 501 kasus, sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu
24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen
biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan
enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit
Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia
2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea,
distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3
kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi
meski telah dilakukan kolostomi.

12
(2). Anak.
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan
gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen.
Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot,
konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak
teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.

Pada anak-anak yang lebih tua atau dewasa, gejala dapat mencakup konstipasi dan nilai
rendah dari sel darah merah (anemia) karena darah hilang dalam feses juga disertai dengan
leukositosis.

2.6 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada heteroanamnesis, sering didapatkan adanya keterlambatan pengeluaran
mekonium yang pertama, mekonium keluar >24 jam; adanya muntah bilious
(berwarna hijau); perut kembung; gangguan defekasi/ konstipasi kronis; konsistensi
feses yg encer; gagal tumbuh (pada anak-anak); berat badan tidak berubah; bahkan
cenderung menurun; nafsu makan menurun; ibu mengalami polyhidramnion; adanya
riwayat keluarga.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit di seluruh lapang pandang. Apabila
keadaan sudah parah, akan terlihat pergerakan usus pada dinding abdomen. Saat
dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising usus melemah atau jarang. Untuk
menentukan diagnosis penyakit Hirschsprung dapat pula dilakukan pemeriksaan rectal

13
touche dapat dirasakan sfingter anal yang kaku dan sempit, saat jari ditarik terdapat
explosive stool.

3. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Biopsi
Memastikan keberadaan sel ganglion pada segmen yang terinfeksi, merupakan
langkah penting dalam mendiagnosis penyakit Hirschsprung. Ada beberapa teknik,
yang dapat digunakan untuk mengambil sampel jaringan rektum. Hasil yang
didapatkan akan lebih akurat, apabila spesimen/sampel adekuat dan diambil oleh ahli
patologi yang berpengalaman. Apabila pada jaringan ditemukan sel ganglion, maka
diagnosis penyakit Hirschsprung dieksklusi. Namun pelaksanaan biopsi cenderung
berisiko, untuk itu dapat di pilih teknik lain yang kurang invasive, seperti Barium
enema dan anorektal manometri, untuk menunjang diagnosis.
2) Pemeriksaan Radiologi
Pada foto polos, dapat dijumpai gambaran distensi gas pada usus, tanda obstruksi
usus. Pemeriksaan yang digunakan sebagai standar untuk menentukan diagnosis
Hirschsprung adalah contrast enema atau barium enema. Pada bayi dengan penyakit
Hirschsprung, zona transisi dari kolon bagian distal yang tidak dilatasi mudah
terdeteksi. Pada total aganglionsis colon, penampakan kolon normal. Barium enema
kurang membantu penegakan diagnosis apabila dilakukan pada bayi, karena zona
transisi sering tidak tampak. Gambaran penyakit Hirschsprung yang sering tampak,
antara lain; terdapat penyempitan di bagian rectum proksimal dengan panjang yang
bervariasi; terdapat zona transisi dari daerah yang menyempit (narrow zone) sampai
ke daerah dilatasi; terlihat pelebaran lumen di bagian proksimal zona transisi.

14
Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang
melebar.

3) Pemeriksaan Anorectal Manometry


Pada individu normal, distensi pada ampula rectum menyebabkan relaksasi
sfingter internal anal. Efek ini dipicu oleh saraf intrinsic pada jaringan rectal,
absensi/kelainan pada saraf internal ini ditemukan pada pasien yang terdiagnosis
penyakit Hirschsprung. Proses relaksasi ini bisa diduplikasi ke dalam laboratorium
motilitas dengan menggunakan metode yang disebut anorectal manometry. Selama
anorektal manometri, balon fleksibel didekatkan pada sfingter anal. Normalnya pada
saat balon dari posisi kembang didekatkan pada sfingter anal, tekanan dari balon akan
menyebabkan sfingter anal relaksasi, mirip seperti distensi pada ampula rectum
manusia. Namun pada pasien dengan penyakit Hirschsprung sfingter anal tidak
bereaksi terhadap tekanan pada balon. Pada bayi baru lahir, keakuratan anorektal
manometri dapat mencapai 100%.

2.7 TATALAKSANA
Preoperatif
a. Diet
Pada periode preoperatif, neonatus dengan HD terutama menderita gizi buruk
disebabkan buruknya pemberian makanan dan keadaan kesehatan yang disebabkan oleh
obstuksi gastrointestinal. Sebagian besar memerlukan resulsitasi cairan dan nutrisi
parenteral. Meskipun demikian bayi dengan HD yang didiagnosis melalui suction rectal
biopsy danpat diberikan larutan rehidrasi oral sebanyak 15 mL/ kg tiap 3 jam selama
dilatasi rectal preoperative dan irigasi rectal.
b. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologik pada bayi dan anak-anak dengan HD dimaksudkan untuk
mempersiapkan usus atau untuk terapi komplikasinya. Untuk mempersiapkan usus adalah
dengan dekompresi rectum dan kolon melalui serangkaian pemeriksaan dan pemasangan
irigasi tuba rectal dalam 24-48 jam sebelum pembedahan. Antibiotik oral dan intravena
diberikan dalam beberapa jam sebelum pembedahan.

Operatif
Tindakan operatif tergantung pada jenis segmen yang terkena.

15
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa
kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini
dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai
salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan
angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber
usus pada penderita penyakit Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan
dilakukan anastomosis.

Teknik pembedahan pada Hirschprung Disease

b. Tindakan Bedah Definitif


1) Prosedur Swenson
Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan
operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit
Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi
dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea
dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam
pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan.
Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan

16
melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum
bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior.

Teknik pembedahan pada Hirschprung Disease


Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi
eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi
serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan
melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik,
selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi
bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan
rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada
bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon
proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis
jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke
kavum pelvik/ abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum
abdomen ditutup.
2) Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan
diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik
kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang
aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding

17
anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan
anastomose. Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering
terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum
yang ditinggalkan apabila terlalu panjang.

Teknik pembedahan dengan prosedur Duhamel


3) Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk
tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966
diperkenalkan untuk tindakan bedah definitive Penyakit Hirschsprung. Tujuan utama
dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik,
kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen
rektum yang telah dikupas tersebut.
4) Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan
anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator
ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan
intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi
secara rutin guna mencegah stenosis.

18
Post Operatif
Pada awal periode post operatif sesudah PERPT (Primary Endorectal pull-through),
pemberian makanan peroral dimulai sedangkan pada bentuk short segmen, tipikal, dan long
segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan beberapa bulan kemudian baru
dilakukan operasi definitif dengan metode Pull Though Soave, Duhamel maupun Swenson.
Apabila keadaan memungkinkan, dapat dilakukan Pull Though satu tahap tanpa kolostomi
sesegera mungkin untuk memfasilitasi adaptasi usus dan penyembuhan anastomosis.
Pemberian makanan rata-rata dimulai pada hari kedua sesudah operasi dan pemberian nutisi
enteral secara penuh dimulai pada pertengahan hari ke empat pada pasien yang sering muntah
pada pemberian makanan. Intolerasi protein dapat terjadi selama periode ini dan memerlukan
perubahan formula. ASI tidak dikurangi atau dihentikan.

2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post operatif, konstipasi
dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil jangka panjang
dengan menggunakan 3 prosedur sebanding dan secara umum berhasil dengan baik bila
ditangani oleh tangan yang ahli. Ketiga prosedur ini juga dapat dilakukan pada aganglionik
kolon total dimana ileum digunakan sebagai segmen yang di pull-through.
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya berhasil baik,
walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah gejala
tersering pada pascaoperasi.

2.9 PROGNOSIS
Terdapat perbedaan hasil yang didapatkan pada pasien setelah melalui proses perbaikan
penyakit Hirschsprung secara definitive. Beberapa peneliti melaporkan tingkat kepuasan
tinggi, sementara yang lain melaporkan kejadian yang signifikan dalam konstipasi dan
inkontinensia. Belum ada penelitian prospektif yang membandingkan antara masing-masing
jenis operasi yang dilakukan.
Kurang lebih 1% dari pasien dengan penyakit Hirschsprung membutuhkan kolostomi
permanen untuk memperbaiki inkontinensia. Umumnya, dalam 10 tahun follow up lebih dari 90%
pasien yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan. Kematian akibat
komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.

19
BAB III
KESIMPULAN

Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus auerbach
dan pleksus meisneri pada kolon. Sembilan puluh persen (90%) terletak pada rectosigmoid.
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf parasimpatis
myentericus dari cephalo ke caudal. Dasar patofisiologi karena tidak adanya gelombang
propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang
disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar. Gejala
kardinalnya yaitu gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi abdomen
dan muntah. Pemeriksaan penunjang diantaranya Barium enema, Anorectal manometry dan
Biopsy rectal sebagai gold standard. Tatalaksana operatif dengan cara tindakan bedah sementara
dan bedah definitive (Prosedur Swenson, Duhamel, Soave dan Rehbein).Komplikasi utama
adalah enterokolitis post operatif, konstipasi dan striktur anastomosis. Prognosis baik. Umumnya,
dalam 10 tahun follow up lebih dari 90% pasien yang mendapat tindakan pembedahan mengalami
penyembuhan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat R, Prasetyono TO, Rudiman R, et all. Buku Ajar Ilmu Bedah Vol 1-3. Edisi 4.
Jakarta: EGC, 2017.

Oldham K.T., Colombani, Paul,dkk.Principles of Pediatric Surgery.4thedition.Hirschsprung's


Disease. USA.Lippincott Williams & Wilkins.2010.

Darmawan Kartono, Penyakit Hirscprung, cetakan ke 1, jakarta, Cv. Sagung Seto.2014

Swenson O.Hirschsprung’s disease : A Review. J Pediatr 2012.

21

Anda mungkin juga menyukai